Pertemuan II
a. Pentingnya etika profesi
Etika profesi itu sendiri merupakan suatu ilmu mengenai hak dan kewajiban yang dilandasi
dengan pendidikan keahlian tertentu. Dasar ini tentunya merupakan hal yang sangat diperlukan
dalam beretika profesi. Sehingga tidak terjadi pernyimpangan – penyimpangan yang
menyebabkan ketidaksesuaian. Profesionalisme sangat penting dalam suatu pekerjaan, bukan
hanya loyalitas tetapi etika profesilah yang sangat penting. Etika sangat penting dalam
menyelesaikan suatu masalah, sehingga bila suatu profesi tanpa etika akan terjadi penyimpangan
– penyimpangan yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan yang dirasakan
oleh orang lain akan mengakibatkan kehilangan kepercayaan yang berdampak sangat buruk,
karena kepercayaan itu sendiri merupakan suatu dasar atau landasan yang dipakai dalam suatu
pekerjaan.
Etika profesi menjadi sangat penting utuk dipelajari, terlepas bahwsa di luar etika profesi pun
sudah tersedia ajaran – ajaran moral yang juga mengajarkan kebaikan. Kehadiran etika,
termamsuk etika profesi tetap diperlukan karena beberapa alasan berikut :
1. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita
bingung harus mengukuti moralitas yang mana.
2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya
menantang pandangan pandangan moral tradisional.
3. Adanya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup, yang masing-masing dengan
ajarannya sendiri mengajarkan bagaimana manusia harus hidup.
4. Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak diperlukan untuk menemukan dasar
kemantapan dalam iman kepercayaan mereka, di lain pihak mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan
dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu
b. Pengertian etika
Etika berasal dari bahasa Yunani , ethos dengan bentuk jamaknya yakni ta etha, yang berarti
kebiasaan, Etika juga sering dipadankan dan dikenal dengan kata “moral” atau moralitas yang
berasal dari bahasa latin, yaitu mos dengan bentuk jamaknya yakni mores, dimana artinya juga
sama yakni kebiasaan.
Pemadanan makna antara etika dengan moral bukanlah hal yang salah, namun dianggap
kurang teapat. Hal ini dikarenakan etika memiliki makna yang lebih luas daripada moral. Etika
memiliki arti tidak hanya terbatas pada suatu sikap tindak dari seseroangan saja namun juga
mencakup motif – motif seseorang melakukan sikap tersebut dan hal ini tentunya berbeda
dengan moral yang terbatas pada sikap tindak lahiriah saja.
Masyarajat Indonesia memiliki kebiasaan tersendiri dalam hal penyebutan etika, yakni “susila”
atau “kesusilaan”. Kesusilaam berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua suku kata
yakni su dan sila. Kta su berarti bagus, indah, cantik. Sedangkan sila memiliki arti adab,
kelakuan,perbuatan adab, akhlak, moral. Sehingga dapat disimpulkan bahwa “susila” merupakan
suatu kelakuan atau perbuatan yang baik dan sesuai dengan norma – norma maupun kaidah yang
ada dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam agama islam, etika itu merupakan bagian dari akhlak. Hal ini dikarenakan tidak hanya
berkaitan dengan perbuatan manusia secara lahiriah saja namun juga keterkaitannya dengan
akidah, ibadah dan syariah (etos, etis, moral, estetika).
Dengan mengikuti penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dirasa belum mampu
menjelaskan secara kompherensif maka K. Bertens berusahan menjelaskankembali makna dari
etika dengan menyatakan bahwa etika dapat dibedakan dalam tiga arti yakni :
1. Etika dalam arti nilai – nilai dan norma – norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur perilakunya. Contohnya : etika suku Indiann, etika agama
Budha, etika Protestan
2. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai mpral. Contohnya adalah kode etik suatu profesi.
3. Etika sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Apa yang disebutkan terakhir ini sama
artinya dengan etika sebagai cabang filsafat.
Pengertian etika yang pertama dan kedua dalam penjelasan K. Bertens sebenarnya mengacu
pada pengertian etika yang sama, yaitu etika sebagai sistem nilai. Jika kita berbicara tentang
etika profesi hukum, berarti kita juga bicara tentang sistem nilai yang menjadi pegangan suatu
kelompok profesi, mengenai apa yang baik dan yang buruk menurut nilai-nilai profesi itu.
Biasanya nilai-nilai itu dirumuskan dalam suatu norma tertulis, yang kemudian disebut kode etik.
Jadi, kiranya cukup jelas apabila etika diartikan dalam dua hal, yaitu: etika sebagai sistem nilai
dan etika sebagai ilmu, atau lebih tegas lagi sebagai cabang filsafat.
Etika menurut para filsuf :
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The
principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan
manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. (The science of
human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)
- Menurut Sudikno Mertokusumo, etika pada hakekatnnya merupakan pandangan hidup dan
pedoman tentang bagaimana seyogyanya seseorang itu bertindak
- Menurut Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukan filsafat miral yang menjelaskan fakta
moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan, dan suara hati.
Pertemuan III
a. Etika sebagai Filsafat Moral
Etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik dan buruk.
b. Metaetika
Istilah “metaetika” (awalan meta dalam bahasa Yunani berarti “melebihi” atau “melampaui”)
dibuat untuk menunjukkan pembahasan yang bukan moralitas secara langsung, melainkan
mengacu berbagai konsep yang digunakan dalam bidang moralitas. Metaetika seolah-olah
bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa
yang digunakan dalam bidang moral. Dapat dikatakan bahwa metaetika mempelajari logika
khusus dari ucapan-ucapan etis.
Dipandang dari segi tata bahasa, kalimat-kalimat etis tidak berbeda dari kalimat-kalimat jenis
lain (khususnya, kalimat-kalimat yang mengungkapkan fakta). Akan tetapi studi lebih mendalam
menunjukkan bahwa kalimatkalimat etika (bahasa etika) mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak
dimiliki oleh kalimat-kalimat lain. Metaetika mengarahkan perhatiannya pada arti khusus dari
bahasa etika itu. Filsuf Inggris George Moore (1873-1958), misalnya melakukan analisis
terhadap kata yang sangat penting dalam konteks etika, yaitu kata “baik”. Ia tidak bertanya
apakah menjadi donor organ tubuh untuk ditransplantasi pada pasien yang membutuhkan boleh
disebut baik dari sudut moral, dan apakah syarat-syarat agar dapat disebut baik (apakah
perbuatan itu masih baik, jika organ itu dijual). Ia hanya bertanya apakah artinya kata “baik”,
bila dipakai dalam konteks etis, ia hanya menyoroti arti khusus kata “baik” dengan
membandingkan kalimat “menjadi donor organ tubuh adalah perbuatan yang baik” dengan
kalimat jenis lain seperti “mobil ini masih dalam keadaan baik”. Metaetika ini dapat ditempatkan
dalam rangka “filsafat analitis”, suatu aliran penting dalam filsafat abad ke-20. Filsafat analitis
menganggap analisis bahasa sebagai tugas terpenting bagi filsafat, bahkan sebagai satu-satunya
tugas filsafat. Aliran ini mulai berkembang di Inggris pada awal abad ke-20, dan George Moore
adalah salah seorang pelopornya. Dari Inggris filsafat analitis meluas ke berbagai negara lain,
tetapi di negara-negara berbahasa Inggris (seperti Amerika Serikat dan Australia) posisinya
selalu paling kuat. Demikian pula dapat dikatakan tentang perkembangan metaetika. Karena
berkaitan dengan filsafat analitis ini, metaetika kadang-kadang juga disebut “etika analitis”.
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question.
Dipersoalkan di sini apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Bila sesuatu
ada atau merupakan kenyataan (is) apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau
boleh dilakukan (ought)? Dengan menggunakan peristilahan logika dapat ditanyakan: Apakah
dari dua premis deskriptif dapat ditarik satu kesimpulan preskiptif? Bila satu premis preskiptif
dan premis lain deskriptif, maka kesimpulannya pasti preskriptif. Misalnya: Setiap manusia
harus menghormati orang tuanya (Premis preskriptif) Lelaki ini adalah orang tua saya (Premis
deskriptif) Jadi, lelaki ini harus saya hormati (Kesimpulan preskriptif) 1.16 Etika Profesi
Kearsipan Akan tetapi, persoalannya adalah: Apakah dua premis deskriptif dapat menghasilkan
kesimpulan preskriptif? Dewasa ini para filsuf yang mendalami masalah ini umumnya
bersepakat bahwa hal itu tidak mungkin. Kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-
premis yang sekurang-kurangnya satu merupakan premis preskriptif. Berikut ini catatan akhir
tentang hubungan antara metaetika dan etika normatif. Sekalipun kita membedakan metaetika
dari etika normatif, namun tidak berarti keduanya terpisah. Berhubung bila kita berbicara tentang
bahasa moral, dengan mudah sekali pembicaraan kita beralih pada apa yang diacu oleh bahasa
itu, yaitu perilaku moral itu sendiri. Sambil mempelajari ucapanucapan etis, dengan hampir tanpa
disadari kita dapat mulai menilai apa yang dibicarakan itu. Sebaliknya, bila kita berbicara
tentang perilaku moral, dengan sendirinya kita berefleksi tentang istilah-istilah dan bahasa yang
kita pakai. Bila kita berusaha mendefinisikan berbagai pengertian etis, seperti “norma”, “nilai”,
“hak”, “keadilan” dan sebagainya, usaha itu dapat digolongkan dalam metaetika, tetapi dalam
etika normatif tentu tidak dapat dihindarkan merumuskan berbagai definisi semacam itu. Oleh
karena itu, garis perbatasan yang tajam dan definitif tidak mungkin ditarik antara etika normatif
dan metaetika.
Pertemuan IV
a. Perbedaan aturan etika dan aturan hukum
b. Kedudukan Peraturan Kode Etik, Apakah termasuk dalam Peraturan Perundang undangan
sesuai kualifikasi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
c. Perbedaan Sanksi Etika, Sanksi Hukum Pidana, Sanksi Hukum Perdata dan Sanksi
Administratif (contoh Kasus dan pemberian sanksinya)
- Sanksi Etika :
- Sanksi Hukum Pidana : sanksi pidana merupakan sanksi yang dinilai paling tajam jika
dibandingkan dengan sanksi yang lainnya. Sanksi pidana ini ditujukan kepada si pelanggar
dengan memberikan hukuman berupa nestapa. Dalam hukum pidana, sanksi hukum itu disebut
dengan hukuman. Menurut R. Soesilo, hukuman adalah:
“Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang
yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”
Adapun bentuk hukuman pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP ;
1. Pidana Pokok, yang terbagi atas :
a. Pidana Mati;
b. Pidana Penjara;
c. Pidana Kurungan;
d. Pidana denda;
e. Pidana Tutupan.
2. Pidana Tambahan, yang terbagi atas :
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim.
- Sanksi Hukum Perdata : pemberian sanksi dalam hukum perdata ini dapat berupa kewajiban
untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya suatu keadaan hukum, diikuti dengan
terciptanya suatu keadaan hukum baru
- Sanksi administratif : sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan
undang-undang yang bersifat administratif. Sanksi ini lebih ditujukan kepada perbuatan
pelanggarannya.
Pertemuan V
a. Syarat – syarat dan kriteria sebuah profesi
Syarat – syarat profesi :
Melibatkan kegiatan intelektual
- Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khsusus
- Mememerlukan persiapan professional yang alam dan bukan sekedar latiham
- Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan
- Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen
Kriteria profesi menurut Abdul Kadir Muhammad :
- Meliputi bidang tertentu saja (terspesialisasi)
- Berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus
- Bersifat tetap atau terus menerus
- Leih mendahulukan pelayanan ketimbang imbalan, penghasilan atau pendapatan
- Terkelompok dalam suatu organisasi
Pertemuan VI
1. UU 48/ 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan kode etik Profesi Hakim;
2. UU 16/ 2004 Tentang Kejaksaan dan Kode Etik Profesi Jaksa;
3. UU 18/ 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat.
Pertemuan VII
1. UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian dan Kode Etik Profesi Polisi
2. UU no 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Profesi Notaris