Anda di halaman 1dari 21

Eks. yang didasarkan pada titel eksekutorial yaitu : Pertama , putusan pengadilan.

Putusan pengadilan
itu sendiri ada putusan pengadilan negeri, putusan pengadilan agama ; putusan pengadilan perselisihan
hubungan industrial atau putusan pengadilan niaga (perdata khusus).

Eksekusi yang didasarkan pada putusan pengadilan tentunya harus ada proses gugatan, jawaban, replik,
duplik, pembuktian, kemudian putusan. Sehingga putusan tersebut bisa dieksekusi.

Kedua, eksekusi juga di dalam hukum perdata juga bisa didasarkan grose akte. Grose akte dibagi
menjadi dua yaitu : grose akte hipotik (kapal laut atau pesawat terbang ) dan grose akte pengakuan
hutang. Jadi dalam hal ini eksekusi tidak dilakukan berdasarkan putusan pengadilan tetapi berdasarkan
grose akte. Grose akte itu sendiri dibuat oleh notaris. Dasar hukumnya Pasal 224 HIR.

Ketiga, eksekusi dapat didasarkan selain putusan dan selain grose akte. Dalam hal ini eksekusi bisa
didasarkan pada Sertifikat Hak Tanggungan ( UU No. 4 Tahun 1996 ttg Hak Tanggungan ) ; didasarkan
pada Sertifikat Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999 ttg Jaminan Fidusia). Di samping itu eksekusi juga
dapat didasarkan pada Resi Gudang (pengaturan baru) ; didasarkan pada akte, misal : putusan arbitrase
( Arbitrase bukan badan peradilan , maka eksekusinya melalui fiat eksekusi ), putusan komisi pengawas
persaingan usaha (KPPU bukan badan peradilan tetapi jika putusannya akan dieksekusi maka dapat
melalui pengadilan / fiat eksekusi ). Semuanya didasarkan pada titel eksektorial.

Ada eksekusi yang tidak didasarkan pada titel eksekutorial : Pertama, didasarkan pada parate eksekusi.
Kedua, penjualan di bawah tangan.

EKSEKUSI DIDASARKAN PADA PUTUSAN


Eksekusi didasarkan pada putusan maka harus melalui proses gugatan, jawaban, replik , duplik, dll. Kalau
melalui proses di pengadilan itu konsekuensinya bisa jadi ada upaya hukum banding, kasasi, PK, derden
verzet. Jadi proses perkara perdata itu dapat memakan waktu yang lama. Kalau kita bicara eksekusi yang
didasarkan pada putusan, maka ada prinsip – prinsip / asas – asas yang harus diikuti :

1. Putusan yang dapat dieksekusi itu harus putusan yang sudah berkekuatan hukum yang pasti

Di dalam putusan yang sudah berkekuatan hukum itu sudah ada hubungan hukum. Putusan ini
biasanya terdapat pada tingkat kasasi. Dalam asas ini terdapat pengecualian, yaitu terhadap putusan
uitvoerbaar bij voorraad atau putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu lalu ada upaya
banding, kasasi / derden verzet. Dasar hukumnya Pasal 80 HIR. Jadi putusan uitvoerbaar bij vooraad ini
meskipun belum memiliki kekuatan hukum pasti tetapi bisa di ekseksusi. Juga terhadap putusan provisi
(Pasal 180 HIR).

Contoh putusan Uitvoerbaar bij voorad :

A gugat si B di dalam dalil gugatannya, si A menyatakan bahwa si B mendiami rumah miliknya tanpa
alas hak. Kemudian A meminta bahwa B telah melakukan perbuatan melawan hukum dan juga
meminta agar rumah yang didiami oleh si B tersebut adalah sah milik si A. Kemudian si A minta ganti
rugi. Lalu si A meminta putusan Uitvoerbaar bij voorad. Kemudian dalam proses sidang di pengadilan
akhirnya gugatan si A dikabulkan , bahwa berdasarkan bukti si B itu melakukan perbuatan melawan
hukum dan juga mengabulkan permohonan agar putusan itu dapat dilaksanakan terlebih dahulu
walaupuna ada banding,kasasi ,dll. Kemudian atas putusan itu, B itu banding ke Pengadilan Tinggi.
Kalau kita bicara di tingkat banding itu sendiri belum ada kekuatan hukum pasti , sedangkan pada
prinsipnya putusan yang dapat dieksekusi itu adalah putusan yang sudah berkekuatan hukum yang
pasti. Jadi meskipun B mengajukan banding, A itu karena dikabulkan Uitvoerbaar bij voorad nya maka
A dapat mengajukan permohonan eksekusi agar si B mengosongkan rumahnya karena rumah itu
terbukti milik A meskipun si B mengajukan banding. Yang dapat menjadi persoalan yaitu kemudian A
mengajukan permohonan eksekusi, oleh Ketua Pengadilan si B itu diusir untuk mengosongkan rumah
tersebut, akhirnya si B mengosongkan rumah yang didiami tadi. Ketika sudah kembali ke si A, oleh si A
dijual kepada si C , setelah dijual kepada si C putusan banding turun. Dan sekarang putusannya
berbalik, yang dimenangkannya itu justru si B bukan si A. Sehingga bagaimana si B dapat menikmati
hasil putusan tersebut karena rumah itu sudah dijual oleh si A kepada C.

Jadi, meskipun di dalam ketentuan Pasal 180 HIR tadi diakui, tetapi di dalam praktek menimbulkan
berbagai persoalan.

Contoh putusan provisi :

Andi gugat orang yang sedang membuat tower, menurut Ando pembuatan tower itu tidak seizin dia
(rumah sebelahnya). Tower tersebut baru 30% dikerjakan. Andi minta putusannya agar diputuskan
terlebih dahulu agar tower tersebut diberhentikan terlebih dahulus sebelum ada putusan pengadilan ,
kemudian putusan tersebut dikabulkan oleh hakim. Dan pada akhirnya si Andi itu terkalahkan.
Sehingga adanya gugatan yang dilakukan oleh Andi itu memberikan kerugian terhadap orang yang
membuat tower tersebut.

2. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang bersifat menghukum atau condemnatoir.

Jadi di dalam amar putusannya itu bunyinya menghukum . Misal : Menghukum Tergugat untuk
mengosongkan rumah yang didiaminya, menghukum Tergugat untuk membayar uang sewa. Itu bisa
dieksekusi. Sedangkan yang bersifat deklaratoir atau menyatakan atau bersifat konsitutif (menyatakan
dan mengadakan keadaan hukum baru ) itu tidak dapat dieksekusi.

3. Putusan tidak dilaksanakan secara sukarela

Apabila putusan dilaksanakan dengan sukarela, maka tidak ada eksekusi. Misalnya : Seseorang
tersebut kalah dan dengan sendirinya orang itu keluar dari rumahnya ( eksekusi riil atau eksekusi
membayar sejumlah uang ).

4. Eksekusi itu atas perintah Ketua Pengadilan

5. Adanya permohonan eksekusi

Jadi prinsip – prinsip di atas itu kalau eksekusi didasarkan pada putusan pengadilan.

Di dalam prakteknya, eksekusi yang didasarkan pada putusan tadi mengalami kendala. Kendalanya itu
hampir pasti pihak yang kalah / Termohon Eksekusi itu mesti minta adanya penundaan eksekusi. Jadi
ketika ada permohonan eksekusi kemudian termohon eksekusi meminta agar eksekusi ditunda terlebih
dahulu. Sebetulnya, alasan yang bisa dijadikan penundaan eksekusi secara yuridis itu hanya kalau
terjadi perdamaian. Perdamaian yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1851 KUHPerdata. Tetapi di
dalam prakteknya, penundaan eksekusi tidak hanya didasarkan pada adanya perdamaian tetapi juga
didasarkan pada adanya upaya hukum peninjauan kembali (PK). Di dalam UU MA No. 3 Tahun 2009 itu
sebetulnya meskipun mengajukan PK, eksekusi tetap dapat dijalankan.

Misal : Si A kalah kemudian lawannya mengajukan perrmohonan eksekusi. Lalu si A mengajukan


penundaan eksekusi dengan alasan A akan mengajukan PK.

Apabila dilihat dari UU MA No. 3 Tahun 2009 itu sebetulnya PK tidak menunda eksekusi. Tetapi kadang –
kadang Ketua Pengadilan itu ragu kalau misalnya itu tidak ditunda sedangkan pihak yang kalah itu
mengajukan PK kalau nanti eksekusi dilaksanakan dan PK turun , putusannya berbalik , seperti putusan
uitvoerbaar bij voorad tadi ternyata yang dimenangkan itu yang mengajukan PK, yang kalah tadi
ternyata di PK itu menang, sedangkan barang tersebut juga sudah beralih ( ini juga menjadi persoalan ).

Ini juga terjadi pada perkara pidana. Di dalam perkara pidana itu kadang – kadang, eksekusi itu ditunda
karena adanya PK, contoh : kasus Mary Jane

Dalam kasus ini Mary Jane, penyelundup narkoba asal Filipina ini sudah hampir di tembak yang
eksekusinya dilakukan di Nusa Kambangan , tetapi dia kemudian mengajukan PK. Lalu hakim
mengabulkan bahwa eksekusi ditunda dengan menunggu putusan PK.

Alasan berikutnya yang sering kali digunakan untuk penundaan eksekusi itu adalah adanya derden
verzet (perlawanan pihak ketiga), pihak ketiga melakukan perlawanan terhadap eksekusi jadi disini
bukan pemohon eksekusi. Anehnya, di dalam prakteknya itu yang sering terjadi yang menjadi pihak
ketiganya itu adalah si istri atau suami dengan dalil bahwa harta tersebut belum terbagi karena
merupakan harta gono gini.

Di dalam UU MA juga, adanya derden verzet itu juga tidak menutup adanya eksekusi, jadi eksekusi tetap
bisa dijalankan. Namun, kadang – kadang Ketua Pengadilan tadi mengabulkan adanya penundaan
eksekusi. Kemudian juga upaya hukumnya untuk penundaan eksekusi tadi adanya partij verzet
(perlawanan dari pihak tereksekusi).

Kemudian adanya alasan non yuridis atau alasan sosiologis. Jadi apabila dilihat dari alasan sosiologis itu,
penundaan eksekusi biasanya didasarkan pada situasi di lapangan. Artinya di lapangan itu , ketika akan
di eksekusi itu terjadi konflik. Misal : Tereksekusi menyewa preman , kemudian ada satpol pp atau polisi
kemudian terjadi clash , maka Ketua Pengadi lan menunda eksekusi karena melihat situasi di lapangan di
dalam pelaksanaan eksekusi.

Kalau berdasarkan pengalaman Pak Anton di dalam prakteknya, penundaan eksekusi , baik itu
mengajukan PK, derden verzet, ataupun partij verzet. Itu sebetulnya hanya menunda kekalahan saja
supaya dia masih bisa menikmati.

Apabila penundaan eksekusi tadi dikabulkan itu sifatnya esepsional , yang berarti kalau eksekusi ditunda
itu merupakan pengecualian dari asas eksekusi. Karena prinsipnya eksekusi itu dijatuhkan kepada
putusan yang telah berkekuatan hukum yang pasti ( sudah pasti ko ditunda?). Dan sifatnya kasuistik
(kasus per kasus ). Jadi tidak semua pengajuan penundaan eksekusi kemudian dikabulkan , karena
apabila ditunda tunda itu menjadi tidak pasti, sedangkan hukum itu adalah kepastian.
Di samping itu, di dalam praktek terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti
tidak bisa dijalankan atau eksekusi
yang akan dieksekusi itu ketika akan di eksekusi ternyata
non eksekutabel (eksekusi tidak bisa dijalankan).
Contoh :

1). Putusan tumpang tindih atau over laping

Tumpang tindihnya itu antara putusan pengadilan negeri dan pengadilan agama, antara putusan
pengadilan negeri dengan PTUN. Atau bisa terjadi putusan itu tumpang tindih antara putusan pidana
dengan putusan perdata.

Contoh kasus antara putusan tumpang tindih pengadilan negeri dan pengadilan agama : Ada
pasangan suami istri yang mempunyai 4 orang anak ( 2 perempuan dan 2 laki – laki). Singkat cerita,
orang tuanya itu meninggal , maka disini pecah waris. Yang menjadi persoalan itu 2 anak laki – laki itu
menghendaki pembagian waris menurut hukum islam , sedangkan 2 anak perempuan itu
menghendaki pembagian waris menurut hum adat ( karena di dalam hukum adat perbandingannya
1:1, sedangkan di dalam hukum islam perbandingannya 2:1) lalu tidak tercapai perdamaian.
Kemudian kedua anak laki laki itu menggugat kedua anak perempuannya itu mengenai pembagian
pewarisan melalui Pengadilan Agama , kedua anak perempuan tadi juga mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri dan tergugatnya itu kedua anak laki – laki tadi. Kemudian diputus. Jadi dari kasus
ini, terhadap putusan tersebut tidak bisa dijatuhkan eksekusi karena saling tumpang tindih.

Contoh kasus putusan tumpang tindih perkara pidana dengan perkara perdata :

Si A membeli rumah tanah kepada si B seharga 500 juta, pada saat itu baru dibuatkan akta jual beli
ke notaris, belum diadakan peralihan, belum didaftarkan ke BPN. Kemudian pada saat didafftarkan,
si B ditangkap oleh kejaksaan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi. Menurut jaksa antara
lain hasil korupsi itu dibelikan rumah itu. Kemudian si A menggugat secara perdata kepada si B , lalu
si A meminta sita jaminan terhadap barang yang sebetulnya sudah dibeli oleh si A , dan kemudian
oleh pengadilan negeri dikabulkan. Kemudian oleh jaksa diajukan proses perkara pidana dan juga
mengajukan sita, dan kemudian oleh pengadilan juga dikabulkan sita perkara pidana tersebut. Proses
sita berlangsung, si A di dalam perkara perdata dimenangkan dan jaksa juga dimenangkan , bahwa si
B terbukti melakukan tindak pidana dan menurut hakim , hasil korupsi nya itu berupa rumah tadi.
Jadi terhadap kasus ini terjadi tumpang tindih.

2). Putusan itu bersifat deklaratoir atau konstitutif

Contoh : Menyatakan bahwa barang yang diperoleh selama perkawinan antara A dan B adalah
merupakan barang gono gini.

Karena yang hanya dapat dilakukan eksekusi adalah putusan yang bersifat condemnatoir

3). Objek yang akan dieksekusi ada di pihak ketiga / dalam penguasaan pihak ketiga

Misal : Barang disewakan oleh Tergugat , penyewaannya juga berdasarkan itikad baik , sewanya
belum habis

4). Objek yang akan dieksekusi ada di luar negeri


Ini tidak dapat dieksekusi, karena sistem hukumnya juga berbeda

5). Tanah yang akan dieksekusi sudah berubah status menjadi tanah milik negara

6). Tanah batasnya tidak jelas

Tetapi apabila mengenai batas ini, dapat diminta dilakukan pemeriksaan setempat (mengundang BPN)
untuk mengukur untuk pelaksanaan eksekusi itu.

Eksekusi kebanyakan tidak bisa dijalakan atau eksekusi non eksekutabel di ranah hukum keluarga.

EKSEKUSI JAMINAN KREDIT


Eksekusi jaminan kredit dibedakan menjadi :

1. Utang / kredit tanpa jaminan / jaminan biasa

Misal : B hutang kepada A sebesar 500 juta tanpa jaminan, si B ternyata tidak membayar hutang tadi.
Maka si A tadi sebagai kreditur harus mengajukan gugatan ke pengadilan, maka produknya itu putusan.
Putusan tersebut dijadikan dasar eksekusi. Kalau misalnya B juga hutang kepada C kemudian C juga
gugat si B maka kedudukan B dan A sama yaitu kreditur konkuren.

2. Kredit dilindungi oleh jaminan

3. Hak tanggungan ( UU No. 4 Tahun 1996 )

Apabila jaminannya benda tidak bergerak ( tanah ), maka eksekusinya didasarkan pada UU No. 4
Tahun 1996 ttg hak tanggungan

4. Jaminan Fidusia ( UU No. 42 Tahun 1999 )

Apabila jaminannya benda bergerak dan benda tersebut masih berada pada debiitur maka
eksekusinya didasarkan pada UU No. 42 Tahun 1999

5. Hak Gadai ( Ps. 1150 – 1161 KUHPerdata )

Eksekusinya didasarkan pada KUHPerdata

6. Hipotik kapal ( Ps. 314 KUHD jo Ps. 1162 – 1232 BW )

7. Hipotik pesawat terbang (Ps. 12 UU No. 15 Tahun 1992 jo 1162 – 1232 BW )

Apakah semua kekayaan debitur itu dapat dijadikan jaminan / bisa dieksekusi ?

Dalam menjawab pertanyaan ini harus melihat ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1131
KUHPerdata disebutkan bahwa : Barang yang bergerak maupun tidak bergerak , baik yang ada maupun
yang akan ada menjadi pelunasan hutang. Kalau dilihat dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan
bahwa semua kekayaan debitur itu bisa dieksekusi untuk pelunasan bahkan yang akan ada (waris ) juga
bisa diieksekusi. Tetapi di dalam prakteknya, ternyata ketentuan pasal 1131 itu bisa diperluas dan juga
dipersempit. Diperluas misalnya harta milik pihak ketiga yang dijadikan jaminan, barang – barang milik
pihak ketiga yang ada di tangan debitur karena gadai/ hipotik. Juga dapat dipersempit misal barang
tertentu tidak dapat dieksekusi didasarkan pada pasal 197 ayat (8) HIR, contoh : barang yang digunakan
untuk mencari mata pencaharian , binatang atau hewan ; apabila debitur menggadaikan barangnya
(Pasal 1150 KUHPerdata) ; apabila debitur menghipotikan barangnya (Pasal 1162 KUHPerdata) ; jika
banyak kreditur terhadap satu debitur diantara kreditur itu ada yang mempunyai tuntutan khusus (Pasal
1139,1149 KUHPerdata)

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN


Misal : Si A mau hutang ke bank sebesar 700 juta, kemudian bank minta jaminan lalu si A mempunyai
rumah dan tanah (sertifikat hak milik), kemudian petugas bank datang untuk menganalisis, ternyata
pemohonan pengajuan kredit si A dikabulkan. Kemudian si A dan bank membuat perjanjian (perjanijian
kredit / utang piutang ) disertai dengan jaminan. Ketika kita membuat tentunya menggunakan dasar
hukum materiil (mendasarkan pada KUHPerdata). Karena hutangnya dengan jaminan (disini jaminannya
pake barang tidak bergerak ) jadi disamping KUHPerdata, UU Perbankan, juga diperlukan UU No. 4
Tahun 1996 lalu dibuatlah perjanjian tadi (APHT), didalam APHT itu ada perjanjian pihak pertama, pihak
kedua telah bersepakat hutang, perbulan bayar berapa, sampe batas waktu. Apabila sudah sepakat lalu
tannda tangan , maka kalau udah mendasarkan pada kententuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian
yang dibuat secara sah maka berlaku sebagai undang – undang bagi yang membuatnya. Kemudian dari
APHT tadi didaftarkan ke BPN. Setelah itu, BPN mengerluarkan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat itu
disimpan oleh kreditur (bank). Maka konsekuensi telah didaftar itu, setifikat si A tadi sudah dajadikan
jaminan oleh bank tadi , oleh sebab itu bank tadi memiliki hak preferen (didahulukan pelunasannnya).

- Apabila melakukan wanprestasi, bank tidak perlu menggugat bisa langsung eksekusi yang didasarkan
pada sertifikat tadi

- Ps. 20 UU Hak Tanggungan (cidera janji)

Akta Pemberian Hak Tanggungan ( APHT ) dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah

Jadi PPAT itu bisa notaris tetapi bisa juga bukan notaris.

Mengenai utang piutang tadi disertai jaminan dengan menggunakan hak tanggungan tadi dibauatkan
APHT. Itu kalau kita lihat di dalam ketentuan Pasal 10 (dibuat APHT). Kemudian, pembuatan APHT itu
kalau dilihat dari ketentuan Pasal 11 nya disitu harus mencantumkan nama dan identitas pemegang hak
tanggungan (kreditur ) dan pemberi hak tanggungan (debitur ), harus dimuat juga domisili. Apabila
diantara yang berdomisili di luar Indonesia, maka harus dicantumkan domisili pilihan di Indonesia.

Kemudian di dalam ketentuan Pasal 11 ayat 2, disitu dikemukakan dalam APHT dapat dicantumkan janji,
antara lain ……..

Jadi misalnya yang sering kali dilakukan janji itu adalah janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji.
Sekarang misalnya : Orang mengambil KPR BTN , itu kan pemilik tanah atau bangunan itu bukan
debiturnya tetapi pemilik tanah dan bangunan masih atas developernya, sekarang kalau itu akan
dijadikan jaminan utang bagaimana , sedangkan tadi harus diikat dengan APHT (dalam APHT juga harus
pemiliknya langsung), sedangkan ini belum menjadi miliknya orang yang mengambil KPR BTN tadi. Maka
di dalam prakteknya itu dilakukan dengan surat kuasa memberikan hak tanggungannya. Jadi yang
memberikan kuasa itu developer tadi kepada bank , memberikan kuasa untuk memberikkan hak
tanggungan ( SKMHT) nanti setelah itu dibuatkan APHT. Tapi prinsipnya kalau pembebanan itu
menggunakan hak tanggungan, APHT tadi mennggunakan hak tanggungan sebagai pemiliknya.

Kemudian APHT tadi berdasarkan ketentuan Pasal 13 itu harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan
selambat lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. Jadi APHT tadi yang dibuat di PPAT
kemudian didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Tanah di BPN atas pendaftaran itu nantinya terbit Sertifikat
Hak Tanggungan. Kemudian dengan Sertifikat Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Milik / Hak Guna
Bangunan nantinya itu disimpan oleh pemegang hak tanggungan ( bank / kreditur ). Nantinya di dalam
Sertifikat Hak Milik / Hak Guna Bangunan itu ada tulisannya bahwa sertifikat itu menjadi jaminan
berdasarkan APHT no berapa ..

Kemudian yang menjadi persoalan, di dalam APHT disitu dimuat berdasarkan Ps. 11 janji,
tengggang waktu, dsb. Persoalannya apa? Tenggang waktu pengembalian kredit itu 60 bulan
atau 5 tahun , tetapi kemudian debitur itu ternyata selama 10 bulan belum mengangsur sama
sekali. Persoalannya apakah si debitur tadi bisa dinyatakan wanprestasi karena kalau dinyatakan
wanprestasi dapat dilakukan upaya eksekusi . Kalau kita lihat upaya eksekusi hak tanggungan itu
diatur dalam Bab V Pasal 20 mengatakan (1) apabila debitur cidera janji… . Di dalam UUHT
tidak mengatur pengertian ap aitu cidera janji, karena tidak mengatur pengertian ap aitu cidera
janji maka kita lihat di dalam KUHPerdata yaitu di dalam Pasal 1243 dikatakan “Penggantian
biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila
debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya
dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”. Di samping Ps. 1243 tadi kita juga
harus lihat di dalam ketentuan Ps. 1763 yang dikatakan “Barangsiapa meminjam suatu barang
wajib mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang
diperjanjikan.” Jadi kalau kita lihat ketentuan Ps. 1243 tadi harus dinyatakan lalai , kalau kita
lihat ketentuan Ps. 1238 yang didalamnya ditentukan “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan
surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yg ditentukan.”

Dalam peryataan diatas terdapat pernyataan lalai. Di dalam prakteknya itu pernyataan lalai tadi
si kreditur itu membuat suatu somasi atau peringatan bahwa si debitur itu lalai dalam
memenuhi perikatakan. Maka kalau kita lihat ketentuan Ps. 1243 jo 1238 KUHPerdata sudah
dinyatakan lalai. Karena untuk menyatakan wanprestasi tadi harus ada pernyataan lalai terlebih
dahulu.

Kemudian kalau kita lihat ketentuan Ps. 1267 itu dikatakan “Pihak terhadap siapa perikatan
tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa
pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian,
disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”. Nah dari ketentuan pasal ini sebetulnya
meskipun debitur itu belum jatuh tempo, maka si debitur tadi itu bisa dinyatakan wanprestasi
berdasarkan Ps. 1243, Ps. 1238, dan juga Ps. 1267, kalau kita lihat ketentuan – ketentuan itu
memberikan dasar apabila debitur itu belum jatuh tempo, maka si debitur itu dapat dinyatakan
wanprestasi / cidera janji. Apabila debitur / wanprestasi atau cidera janji berdasarkan
ketentuan Pasal 20 ayat itu dikatakan (1) .“ Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan : a.
hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, atau b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor lainnya.” (2) “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,
penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu
akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.”

Pasal 6 : “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Pasal 14 ayat (2) : “Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Nah dari ketentuan Ps. 20 ayat 1 huruf a jo Pasal 6 ini namanya parate eksekusi. Jadi eksekusi
didasarkan pada menjual atas kekuasaan sendiri.

Apabila kita lihat ketentuan Pasal 20 ayat 1 huruf b , eksekusi itu didasarkan dengan Sertifikat
Hak Tanggungan, karena di dalam Sertifikat Hak Tanggungan itu pada sampul depannya ada
kata – kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Ketika Sertifikat Hak Tanggungan itu mempunyai kepala keputusan "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", maka kekuatannya itu sama dengan
putusan hakim, putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Dalam Pasal 20 ayat 2 itu mengatur eksekusi penjualan di bawah tangan ( sama dengan parate
eksekusi yaitu non titel eksekutorial ).

Jadi apabila debitur cidera janji maka bisa ditempuh untuk melakukan eksekusi didasarkan pada
parate eksekusi, berdasarkan sertifikat hak tanggungan dan penjualan di bawah tangan.

Dalam praktek perbankan di Indonesia, ketika debitur iitu dinyatakan wanprestasi yang
dilakukan / ditempuh oleh bank – bank di Indonesia itu biasanya dilakukan penjualan di bawah
tangan sebagaimana ketentuan Ps. 20 ayat (2) tadi. Kalau kita menempuh eksekusi penjualan di
bawah tangan itu ada syaratnya : Adanya kesepakatan antara pemberi hak tanggungan dan
pemegang hak tanggungan untuk dilakukan penjualan di bawah tangan (kesepakatan harus dalam
bentuk tertulis). Kalau kita lihat di dalam kesepakatan itu diperkirakan akan memperoleh harga
yang tinggi , kesepakatan akan dilakukan penjualan di bawah tangan tadi itu diumumkan /
diberitahukan lewat surat kabar , kalau sudah tidak ada keberatan maka 1 bulan sejak
diumumkan itu baru bisa dilakukan penjualan di bawah tangan , jadi tidak melalui proses
eksekusi, tidak melalui proses lelang. Jadi si debitur (pemberi hak tanggungan) tidak dikenai
biaya eksekusi dan biaya lelang.

Sebetulnya si pemegang hak tanggungan (kreditur / bank ) itu bisa menawarkan siapa yang mau
membeli tanah atau rumah milik dari si debitur. Tetapi dalam praktek perbankan di Indonesia itu
ternyata biasanya yang diminta mencari pembelinya itu adalah debitur.

Yang menjadi persoalan itu memang tidak ada persaingan bebas diantara pembeli karena tidak
dilakukan secara terbuka meskipun itu diumumkan lewat media. Karena yang mencari
pembelinya itu adalah debitur. Kalau misalnya yang mencari pembelinya itu si kreditur bisa saja
terjadi kong kali kong (persekongkolan antara pemegang jaminan ( kreditur ) dan pembeli ),
sehingga harganya tidak sesuai dengan keinginan debitur.

Kemudian model penjualan di bawah tangan ini ada juga di Amerika yang disebut dengan
Mortage. Mortage tu merupakan penjualan secara pribadi tanpa memerlukan prosedur formal dan
pengawasan pengadilan, hanya saja bedanya , kalau disana kreditur itu harus memperoleh akte
kepercayaan ( deed of trust ) dari pengadilan untuk menghidari kreditur tadi berbuat tidak jujur.

PARATE EKSEKUSI / EKSEKUSI ATAS KEKUASAAN SENDIRI

Di dalam penjelasan umum angka 9 UUHT dikatakan ciri khas Hak Tanggungan itu mudah dan
pasti eksekusinya, jika debitur wanprestasi , eksekusi hak tanggungan berdasarkan lembaga
parate eksekusi ( Ps. 224 HIR ) dan irahh – irah yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan
untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan ( Hukum Acara
Perdata ). Ini agak rancu, karena di dalam penjelasan umum parate eksekusi ko mengacu pada
ketentuan Ps. 224 HIR. Kalau itu mengacu Ps. 224 HIR itu bukan Sertifikat Hak Tanggungan ,
Parate Eksekusi karena di dalam kentuan Ps. 224 HIR yang dapat dieksekusi itu hanyalah grose
akte hipotik dan grose akte pengakuan hutang.

Parate eksekusi di dalam UU No. 4 Tahun 1996 diatur di dalam Ps. 6, dan dalam KUHPerdata
diatur di dalam ketentuan 1178 ayat (2) KUHPerdata, jadi bukan di dalam Ps. 224 HIR.

Parate , “paraat” artinya siap ditangan, parate eksekusi berarti sarana eksekusi yang siap
ditangan, kalau di dalam kamus hukum artinya pelaksanaan yang langsung tanpa melewati
pengadilan. Jadi eksekusi itu kalau kita menggunakan ketentuan Ps. 6 atau kita menggunakan
ketentuan Ps. 1178 ayat (2) KUHPerdata , eksekusi itu tanpa lewat pengadilan. Kalau kita lihat di
dalam ketentuan Ps. 1178 ayat (2) ada beberapa unsur yaitu :

1. Adanya klausula harus diperjanjikan


2. Adanya pada waktu diberikan hipotik

Jadi dulu itu, terhadap barang tidak bergerak itu diikat dengan hipotik kalau sekarang dengan hak
tanggungan

3. Diperjanjikan bagi hipotik pertama

4. Debitur sudah wanprestasi

5. Adanya kewenangan menjual atas kekuasaan sendiri

6. Adanya kuasa mutlak

7. Harus didaftarkan

8. Hak kreditur atas uang hasil penjualan

9. Tidak melalui proses pengadilan

Kalau dalam Pasal 6, debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan pertama diberikan
hak yaitu hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri syarat penjualan
melalui pelelangan umum. Hak kreditur mengambil pelunasan dari hasil penjualan . Jadi, hak
kreditur mengambil pelunasan …. sebatas hak tagih. Jadi sebetulnya ketentuan Ps. 1178 ayat (2)
itu hampir sama dengan ketentuan Ps. 6 UUHT.

Persoalannya kalau Saudara akan menggunakan eksekusi dengan ketentuan Ps 6 atau Ps 20 ayat
(1) huruf a , maka ada syaratnya yaitu pada saat pembuatan APHT maka di dalam akta
pemberian hak tanggungan sebagaimana ketentuan Ps. 11 maka dalam APHT dapat
dicantumkannya janji memberikan kuasa kepada kreditur untuk menjual objek hak tanggungan
apabila debitur cidera janji. Jadi di dalam APHT itu harus ada klausul menurut ketentuan Ps 11
yaitu janji memberikan kuasa kepada kreditur apabila debitur cidera janji maka memberikan
kuasa kepada kreditur untuk menjual. Jadi disini debitur memberikan kuasa kepada kreditur
apabila debitur cidera janji. Kalau tidak ada klausul itu tidak bisa seperti juga di dalam Ps. 1178
ayat (2).

Jadi penjualan oleh kreditur tadi atas kuasa, dan kuasa tadi harus diperjanjikan. Misalnya si
debitur tadi dinyatakan wanprestasi maka kemudian Saudara akan menempuh eksekusi
didasarkan pada parate eksekusi atau penjualaan atas kekusaan sendiri, maka di dalam tadi
APHT itu harus dilihat apakah ada klausul yang memberikan kuasa kepada kreditur apabila
debitur wanprestasi maka kreditur itu bisa menjual kalau tidak maka tidak bisa. Atas kuasa dari
debitur tadi, kreditu kemudian mengajukan permohonan lelang ke Kantor Lelang ( ini kalau
menggunakan ketentuan Ps. 20 ayat (1) huruf a)
Kalau melihat ketentuan dalam Ps. 1153 , disitu dikatakan debitur atau pemberi gadai
wanprestasi itu sudah lahir hak, penerima gadai berhak menjual barang gadai, hak itu
dirumuskan oleh undang undang tidak perlu diperjanjikan tapi penjualan juga di muka umum
tanpa adaanya titel eksekutorial, tanpa adanya bantuan dari juru sita. Jadi kalau misalnya saudara
itu menggadaikan laptop atau komputer, dsb di pegadaian , maka saudara tidak peprlu
memberikan janji kepada krediturnya pegadaian itu untuk menjual apabila debitur itu
wanprestasi , karena disitu secara otomatis undang – undang telah memberikan hak kepada
debitur untuk menjual. Dasarnya itu ketentuan Ps. 1153 beda dengan Ps. 6, Ps 1178 ayat (2).

Jadi kalau menurut Ps. 1153 otomatis undang – undang memberikan hak kepada kreditur untuk
menjual, tetapi di dalam ketentuan Ps. 6 jo Ps. 1178 itu harus dibuat janji bahwa debitur itu
memberikan kuasa kepada kreditur untuk menjual objek hak tanggungan apabila debitur
wanprestasi.

Permasalahannya , misalnya Saudara bekerja di bank, debitur dinyatakan wanprestasi , Saudara


lihat APHTnya ternyata di dalam APHT ada klausul bahwa apabila debitur wanprestasi itu
memberikan kuasa kepada kreditur untuk menjual objek hak tanggungan. Nah Saudara atas nama
kreditur dari bank tadi itu bisa kemudian mengajukan penjualan objek hak tanggungan itu
langsung ke kantor lelang untuk dijual secara lelang ( dimuka umum ), tetapi kenyataannya,
kantoor lelang banyak sekali yang menolak kalau eksekusi itu didasarkan pada ketentuan Ps. 6
tadi. Kantor lelang itu menghendaki agar eksekusi / penjualan tadi lewat pengadilan ( viat
ekseksusi dari pengadilan ) / atas perintah ketua pengadilan. Jadi seharusnya tidak lewat
pengadilan tetapi kantor lelang tadi itu tidak mau , harus lewat pengadilan , tidakk boleh
langsung ke kantor lelang. Sebetulnya dalam ketentuan Ps. 6 jo 1178 itu tanpa lewat pengadilan,
karena kalau lewat pengadilan itu kena biaya eksekusi , nanti juga kena biaya lelang.

Karena seringkali kantor lelang didasarkan pada ketentuan buku II pedoman yang dikeluarkan
oleh MA ( harus melalui pengadilan ) dan ini juga didasarkan pada Putusan MA No. 3210 K /
Pdt. G / 1984 , di dalam putusan dikatakan bahwa parate eksekusi itu harus lewat pengadilan.

Misal : Tadi tidak lewat pengadilan , jadi misalnya kreditur tadi diberikan kuasa oleh debitur
untuk menjual kebetulan debitur itu wanprestasi, maka atas kuasa debitur tadi , kreditur menjual
lewat kantor lelang tidak lewat pengadilan. Objek hak tanggungan tadi di lelang oleh kantor
lelang , katakanlah debitur tadi misalnya si A, jadi objek hak tanggugan (rumah,tanah) milik si A
kemudian di jual oleh kantor lelang atas permohonan debitur , sudah laku dan pemenang lelang
itu si C. Persoalannya kemudian uang hasil lelang tadi untuk pelunasan hutang milik kreditur
ternyata sudah beralih ke C, si A tidak mau meninggalkan rumah, tanah yang dijual lewat lelang
tadi. Sekarang persoalannya itu siapa yang memaksa si A untuk keluar dari rumah, sedangkan
rumah itu sudah laku lewat lelang dan yang menangnya itu si C.

Minta ke pengadilan, tetapi pengadilan tidakk mau karena eksekusi tidak lewat pengadilan ,
kalau eksekusi lewat pengadilan, yang mengajukan permohonan eksekusi itu ketua pengadilan
bukan krediturnya. Untuk permohonan penjualan itu ketua pengadilan , untuk permohonan
eksekusi baru kreditur ke ketua pengadilan , ketua pengadilan lalu meminta kantor lelang untuk
melakukan lelang.

EKSEKUSI DIDASARKAN PADA SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN

Kalau itu didasarkan pada Sertifikat Hak Tanggungan, setelah debitur dinyatakan wanprestasi,
maka kreditur itu atas dasar Sertifikat Hak Tanggungan itu mengajukan permohonan eksekusi
kepada ketua pengadilan negeri. Atas permohonan dari kreditur tadi, ketua pengadilan negeri itu
memberikan aamaning (peringatan) kepada debitur untuk melaksanakan secara sukarela
(membayar hutang) dalam tenggang waktu 8 hari, kalau dalam tenggang waktu 8 hari itu tidak
mau melaksanakan pembayaran secara sukarela, maka kemudian ketua pengadilan negeri tadi
mengajukan permohonan ke kantor lelang untuk menjual disertai dengan meletakkan sita
eksekusi terhadap barang milik debitur. Ini hampir sama dengan eksekusi putusan.

Atas permohonan tadi, kantor lelang menjual barang tersebut, sehingga disini yang bertindak
sebagai penjual / pemohon itu ketua pengadilan negeri, bukan krediturnya karena kreditur sudah
mengajukan permohonan eksekusi saja.

Ada beberapa persoalan di dalam proses eksekusi hak tanggungan :

Jadi kalau kita lihat yang menjadi persoalannya yaitu seringkali di dalam pelaksaan eksekusi /
lelang terhadap objek hak tanggungan tadi mengalami berbagai kendala / hambatan.

Yang menjadi pertanyaan : Di dalam eksekusi hak tanggungan tadi, apakah itu didasarkan pada
penjualan di bawah tangan atau parate eksekusi atau sertifikat hak tanggungan

Contoh : Suatu ketika ada beberapa mahasiswa ekonomi mendatangi biro konsultasi bantuan
hukum Pak Anton, singkat cerita ada suatu kejadian katakanlah A (mahasiswa) belum
mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya maka si A itu pinjam uang ke B, lalu si B ini minta
jaminan dan oleh A diberikan jaminan berupa laptop dan sepeda ( berarti ini dapat dikatakan
gadai karena jaminannya barang bergerak). Kemudian si B meminta dibuat suatu perjanjian, di
dalam perjanjian tersebut antara ppihak pertama dan kedua sepakat untuk melakukan perjanjian
pinjam meminjam disertai dengan jaminan berupa laptop dan sepeda, di dalam perjanjian
tersebut terdapat suatu klausul dikatakan apabila debitur wanprestasi maka setelah diberi
tenggang waktu 2 bulan setelah wanprestasi tidak melunasi, maka objek gadai laptop dan sepeda
itu menjadi milik si B (kreditur). Ternyata si A tadi wanprestasi bahkan setelah wanprestasi itu 4
bulan baru bisa mengembalikan uang tadi dan si B tidak mau karena sudah melewati batas waktu
, maka si B mengatakan bahwa laptop dan sepeda itu menjadi miliknya berdasarkan perjanjian.

Dapat dikaatakan bahwa janji seperti itu batal demi hukum, kalau batal demi hukumm apabila
dilihat dari ketentuan Ps. 1320 KUHPerdata yaitu “klausanya tidak halal” atau kalau saudara
lihat ini sebetulnya pinjam meminjam atau jual beli, kalau saudara lihat dalam buku III pinjam
meminjam itu tidak ada peralihan haknya, kecuali jika jual beli terdapat peralihan hak terhadap
barang tersebut. Tetapi kalau pinjam meminjam disertai dengan jaminan barang itukan tidak ada
peralihan haknya sehingga ini juga hal tertentunya tidak jelas, apakah itu jual beli atau apakah
pinjam meminjam disertai jaminan ( tidak jelas hal tertentunya), sedangkan kalau tidak sesuai
dengan unsur ke 3 dan ke 4 maka dapat dikatakan batal demi hukum.

Ini sama dengan apabila di dalam akta pemberian hak tanggungan ada klausul seperti itu apabila
debitur wanprestasi maka objek hak tanggungan menjadi milik kreditur. Janji seperti itu tidak
diperbolehkan. Di dalam Ps. 12 itu dikatakan janji yang memberi kewenangan kepada pemegang
hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji itu batal demi
hukum.

Apakah bisa si kreditur itu untuk memiliki objek hak tanggungan untuk kreditur ?

- Bisa, tetapi juga harus ikut serta menjadi peserta lelang

Sebetulnya ketika Grosse Akte, Hipotik , Pengakuan hutang terutama grosse akte , hipotik itu
diganti dengan UU 4 Tahun 1996 , maka grosse akte tadi itu disamakan dengan Sertifikat Hak
Tanggungan. Jadi dulu kan terhadap barang tidak bergerak itu dengan jaminan hipotik ,
kemudian setelah diganti menjadi UU 4 Tahun 1996 terhadap grosse akte, hipotik tadi (Ps. 224
HIR ) diganti menjadi Sertifikat Hak Tanggungan . Grosse akte dan Sertifikat Hak Tanggungan
itu sama, sedangkan kalau kita lihat itu berbeda karena grosse akte itu yang buat notaris, sedak
sertifikat hak tanggungan itu yang buat Badan Pertanahan Nasional

Kemudian pertanyaannya : Meskipun di dalam Grosse Akte dan Sertifikat Hak Tanggungan itu
sama – sama ada kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME “, sama – sama
mempunyai titel eksekutorial tetapi kalau kita lihat ada perbedaan antara grosse akte berdasarkan
Ps. 224 dengan Sertifikat Hak Tanggungan karenan pada umumnya sertifikat itu ditunjukan
sebagai tanda bukti kepemilikan, misalnya : hak atas tanah, sedangkan grosse akte itu merupakan
salinan suatu akta / suatu tulisan yang dipergunakan kepada yang berkepentingan sehingga dalam
sertifikat itu biasanya hanya berisi pernyataan konstitutif dari pejabat yang menerbitkan.

Secara keilmuan banyak sekali yang berpendapat bahwa pencantuman kata – kata “ Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME ” yang ada di dalam sertifikat hak tanggungan itu
bertentangan dengan prinsip – prinsip hukum eksekusi karena di dalam HIR telah mengatur
secara limitatif yang bisa dijadikan dasar eksekusi selain putusan itu hanyalah grosse akte

Tetapi ini sertifikat, sedangkan grosse akte tadi menunjuk pada ketentuan Ps. 224 HIR ini sering
dipersoalkan di dalam prakteknya.

Kemudian misalnya :

A itu meminjam uang kepada bank sebesar 200 juta dengan jaminan rumah dan tanah. Kemudian
A itu juga mempunyai deposito di bank tersebut. Kemudian, A dinyatakan wanprestasi , objek
hak tanggungan yang dijadikan jaminan oleh si A dijual tetapi ternyata hasil penjualan tadi masih
kurang untuk membayar hutang beserta bunga ke bank tadi. Saudara sebagai pegawai bank
diminta oleh atasan saudara dapatkah bank sebagai kreditur itu mengambil deposito yang ada di
bank tersebut untuk pelunasan hutang?

- Kalau kita bicara dapat atau tidak dapat , pertama saudara akan melihat mengenai ketentuan Ps.
1131 KUHPerdarta , di dalam ketentuan pasal tersebut dikemukakan “Segala kebendaan si
berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.
Lalu di dalam posisi si debitur itu punya deposito di bank tersebut, maka antara bank dengan
debitur tadi kedudukannya bagaimana? Yang menjadi krediturnya si A tadi atau bank kalau
dalam hal deposito seperti ini? si A tadi kan sekarang mempunyai uang di bank, bisakah si A tadi
menjadi kreditur nya bank karena ia mempunyai uang di bank tersebut?

Maka disampimg itu juga harus lihat ketentuan Pasal 1426 KUHPerdata, di dalam pasal tersebut
dikatakan “ Perjumpaan terjadi demi hukum bahkan dengan tidak setaunya orang – orang yang
berhutang dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat
hutang – hutang itu bersama – sama ada bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama “. Kalau
kita lihat ketentuan Ps. 1426, itu seringkali dalam praktek disebut ipso jure compensator , yang
artinya kompensasi demi hukum. Di dalam pasal 1426 itu : 1). terdapat 2 pihak secara timbal
balik saling berutang antara yang satu dengan yang lain. A itu berutang kepada si bank tadi, bank
tadi sebetulnya juga berutang kepada si A karena deposito tadi (jadi berutang secara timbal
balik). 2). Kemudian objek persetujuan atau perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak
terdiri dari sejumlah uang atau barang yang dapat diganti dengan yang sejenis. Di dalam
perjanjian tadi kan berupa uang jadi yang satu tadi utang yang lain juga utang (timbal balik),
kemudian sejenis yaitu berupa uang juga bisa berupa barang, 3).tuntutan atau salah satu tuntutan
dapat ditagih pemenuhannya, 4). Tuntutan dapat diminta pelunasan segera.

Jadi kalau kita lihat dari ketentuan kedua pasal tersebut tadi, sebetulnya pengambilan uang
deposito milik dari si A tadi bisa dilakukan.

Persoalannya, apakah bisa secara otomatis atau tidak si bank tertebut langsung mengambil untuk
pelunasan hutang atau ada mekanisme yang harus dilakukan ?

Kalau kita lihat dalam ketentuan Ps. 1425 KUHPerdata, itu dikatakan “Perjumpaan utang
dilakukan demi hukum ”. Artinya bank tadi berhak untuk menncairkan deposito milik nasabah
tadi guna memenuhi pembayaran sebagai akibat yang timbul dari penjualan hak tanggungan
yang tidak mencukupi. Jadi kalau kita lihat ketentuan Ps. 1425 tadi dapat dikatakan bahwa si
bank tadi otomatis dapat mengambil uang deposto mili si A tadi yang ada di bank tersebut
sebagai akibat dari kurangnya pembayaran tadi. Kalau kita lihat dari ketentuan Ps. 1425 itu tanpa
persetujuan dari A / pihak debitur berarti disini telah terjadi kompensasi secara otomatis tanpa
sepengetahuan debitur tadi. Karena itu kompensasi demi hukum.
Kemudian di dalam prakteknya, itu kalau terjadi demikian jadi si bank tadi akan mengambil
deposito tadi membutuhkan putusan hakim (biasanya hanya penetapan). Jadi bank tadi
mengajukkan permohonan ke pengadilan, disini dibutuhkan putusan atau penetapan hakim.
Artinya di dalam praktek, pelaksanaannya tidak secara langsung harus melaui suatu permohonan
ke pengadilan karena ini untuk mencegah adanya gugatan dari si debitur dengan dalil bahwa si
bank tadi melakukan perbuatan melawan hukum.

Penjualan mengenai objek hak tanggungan itu harus dilakukan di Kantor Lelang.Kalau kita
bicara tentang kantor lelang itu jenis eksekusinya adalah pembayaran sejumlah uang.

- Eksekusi riil : berkaitan dengan sengketa hak milik , hanya didsarkan pd putusann pengadilan

- Eksekusi pembayaran uang / verhaal eksekusi : berkaitan tentang ganti rugi berdasarkan
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum , tidak hanya didsarkan pd putusan pengadilan
tetapi juga bisa didasarkan pd sertifikat hak taggungan, sertifikat jaminan fidusia,grosse
akte,dsb.

jika debitur meolak melakukan scr sukarela maka diletakan Sita Eksekusi
Dalam prakteknya, Debitur dinyatakan wanprestasi Kemudian Kreditur mengajukan permohonan
eksekusi ke KPA/KPN lalu KPA memanggil kreditur dan debitur agar debitur menacri pembeli
untuk dilakukan pembelian dibawah tangan. KPA/KPN memberikan tenggang waktu 2 bulan
Ini berkaitan dg harga limit yg dikendalikan debitur keinginan debitur dan kreditur berbeda

Lelang adalah
Pasal 200 ayat 1 HIR RV
Suatu cara penjualan dilakukan pada waktu dan tempat yang ditentukan pada tempat tertetu
 Suatu cara penjualan yg ditentukan pada tempat tertentu kemudian dilakuakan di depan
umum lalu dilaksanakan dg cara penawran harga yg khusus. Peserta yg mengjukan
penawaran harga yg tinggi dinyatakan pemenangnya
Dikaitkan dg pasal 200 ayat 1 HIR
 Lelang adalah penjualan di muka umum terhadap harta kekayaan tergugat yg disita.
 Penjualan umum hanya boleh dilakukan di hadapan juru lelang
 Cara dari harga penawaran yg semakin meningkat atau menurun
Fungsi Lelang
scr privat merupakan suatu instusi pasar yaitu mempertemukan penjual dan pembeli
Penjual = KPN/KPA atas permintaan dri kreditur untuk menjual atau kreditur langsung yg
menjual

scr Publik, Lelang sebagai pengamanan asset yg dimiliki dilakukan oleh negara meningkatkan
efesiensi dan tertib administrasi pengelolaan.
 Lelang yg melakukan institusi negara dibawah kemenkeu dg dilakukan lelang melakukan
pembiayaan negara dengan biaya lelang yang nantinya masuk ke kas negara
 Mendukung badan Peradilan tetapi juga Kejaksaan
 Pamitnya urusan piutang negara

Jenis Lelang
Lelang Non eksekusi
Lelang Eksekusi,
 misalnya eksekusi thdp putusan pengadilan. Hal ini berkaitan masalah gugatan utang
piutangnya tidak ada jaminan, maka eksekusi didasarkan putusan pengadilan
 Eksekusi lelang pajak, Orang tidak bayar pajak kemudian dilakukan penyitaan maka melalui
kantor lelang
 Eksekusi Hak tanggungan
 Eksekusi Jaminan Fidusia
 Eksekusi Barang Rampasan, biasanya berkaitan dg tindak pidana
 Eksekusi Barang Temuan
 Eksekusi Harta Pailit
Semua hal tersebut Didasarkan pada title Eksekutorial
Tetapi bisa tidak didasarkan pada title eksekutorial
 Lelang Kayu
 Lelang barang barang Pemerintah melalui kantor lelang
Seperti Komputer,kursi, Kertas KPU

Apakah lelang itu merupakan jual beli?


 Melihat ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata mengenai jual beli adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yg satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkankan suatu kebendaan
dan pihak lain untuk membayar harga yg telah dijanjikan
 Unsur unsur
1) Adanya Subjek Hk adanya penjual dan pemebeli
2) Adanya kesepakatan antr penjual dan pembeli mengenai barang dan harga
3) Adanya hak dan kewajiban yg timbul antara penjual dan pembeli

 Didalam Pasal 1319 dikatakan semua perjn baik yg memp nama khusus maupun yg tidak
memp nama tunduk pada ketentuan pada KUH Perdata.

 lelang termasuk perj bernama


esensi dari pasal 1457 adanya perjanjian timbal balik (Penyerahan barang lalu adanya
pembayaran)
dalam pasal 1456 Harga beli harus ditetapkan oleh kedua belah pihak (tidak termasuk pada perj
baku)

Perjanjian jual beli ini merupakan konsesualitas, artinya sudah dilahirkan sebagai suatu
perjanjian yg sah mengikat dan memp kekuatan hk pada detik tercapaimya sepakat antara
penjual dan pembeli ttg barang dan harga
Ketentual Pasal 1458 Jual beli itu dianggap terjadi antara kedua belah pihak seketika org
tersebut sepakat barang dan harga meskipun blm ada pembayaran dan penyerahan barang (Perj
Konsesuil)
Ketentuan 1459 Perjnjian obligatoir, jual beli blm memindahkan hak milik, baru meletakan
hak dan kewajiaban memberikan hak kepada pembeli untuk menuntut diserahkannya hak milik
atas barang yg dibelu
apakah Jual beli pada Lelang merupakan jual beli dalam ketentuan KUH Perdata?
Lelang merupakan perj jual beli karena ada unsur penjual dan pemebeli tetapi memang cara jual
belinya berbeda dg jual beli biasa karena jual beli pd lelang harus mengumpulkan peminat,
harus diumumkan dan harus dilakukan dihadapan juru lelang kemudian sistem penawaran
semaikin naik ataupun turun
Tetapi esensi Jual belinya sama, sehingga jualbeli lelang tunduk pada ketentuan KUH Perdata.
Karena jual beli lelang termasuk perj konsesuil dan obligatoir (1458 & 1459) digunakan dalam
KUH Perdata
Penjualan lelang yg berdasarkan dari eksekusi barang jaminan dilaksanakan atas perintah UU
menguasai bukan atas pemiliknya. Jual beli lelang terhadp barang yg dieksekusi tadi bukan
pemiliknya tetapi atas Perintah UU
Pengikatan sampai penjualan lelang terjadi Pertautan antar hk Publik dan Hk Privat
 Ketika barang jaminan itu diserahkan ke bank sebgai perj accesoir dari perj utang piutang
maka merupakan perbuatan didalam Hk privat. Jadi ada perjanian kreditur dg debitu
diserrtai jaminan tersebut dg bank merupakan perbuatan perdata dihadapan pejabat
pembuat akte tanah tetapi ketika akte pertanggungan tersebut didaftarkan ke BPN. Maka
ketika BPN mengeluarkan SHT merupakan Perbuatan didalam Hukum publik (HAN) .
 Kemudian barang diserahkan kepada lmbg eksekusi, yaitu kantor lelang, pgndilan, ketika
pejabat menunjuk yg membeli lelang. merupakan perbuatan perdata tetapi dilakukan oleh
pejabat publik karena pejabat publiknya kantor lelang termasuk Pejabat Administrasi
Negara dibawah Kemenkeu. Seharusnya perbuatan tersebut merupakan Perbuatan
Administrasi Negara.

Mekasnisme Lelang
KPN sebagai penjual mengajukan permohonan ke kantor lelang untuk dijual, maka kantor lelang
menetapkan kapan pelelangangan lalu diumukan pelelangan pada surat kabar agar nantinya tidak
ada keberatan. Pelaksanaan lelang dipimpin juru lelang disitu ada penawaran dari peserta lelang.
Penawarang yg paling tinggi maupun rendah lalu dilakukan pembayaran lelang dan dikenakan
biaya lelang. Kemudian dibuat risalah lelang.

Risalah lelang berfungsi


bg penjual sebgai bukti penjualan
sebagai pembeli sebagai bukti pembelian
fungsinya sbg berupa kwitansi atau berita acara telah dilakukan lelang

Bg Pihak ketiga
Sbg dasar hk suatu hak bhw itu merupakan suatu hak nya pembeli

Bg kantor lelang
sebagai dasar perhitungan lelang. Dasar perhitungan biaya lelang berdasarkan kesepakatan
rentang barang tadi Lelang

dalam prakteknya Risalah Lelang dikualifikasi sbg KTUN karena risalah lelang dikeluarkan
kantor lelang
biasanya dijadikan objek gugatan ke PTUN dengan dasar bahwa risalah lelang itu merupakan
produk dari pejabat AN yaitu Kantor lelang
jika dilihat dalam BW dan V Regelement Risalah lelang sebetulnya semacam akte otentik,
perbuatan yg dilakuan pejabat publik tadi merupakan perbuatan yg didasarakan hk privat
sehingga produknya dalam ranah hukum Privat
Dalam Pasal 1868 1870 dan Vindu Regelement
1) Risalah memp kesamaan dg akte oetentik karena dibuat menurut UU. (Pasal 38 39 dan 37)
2) Dibuat dihadapan Pejabat Umum yaitu juru lelang
3) Dalam wilayah bersangkutan
Risalah lelang disamakan dg akte otentik sehingga jika risalah diajukan gugatan ke PTUN
tersebut tidak tepat.
Permasalahan Lelang di lapangan
Melihat Ketentuan Pasal 200 Ayat 2 sebetulnya pengadilan berhak melelang sendiri. Dalam
Prakteknya Pengadilan belum melaksanakan ketentuan tersebut
Eksekusi Pengosongn terhadap Pihak ketiga menimbulkan persoalan
Misalnya debitur tadi menjaminkan rumah dan tanah ke bank ternya jaminan tersebut telah
disewakan kepada C. Lalu ketika dilelang pemenangnya D, maka bagaiman hak D pada Tanah
yg didiami C, C tadi hubungannya ke debitur. Bagaimana eksekusi? Bagaiman perlindungan
pada si D yg beritikad baik tadi yg membeli pada lelang tadi berada pada pihak ketiga
 Dalam KUH Perdata bahwa jual beli tidak memutuskan sewa menyewa

Permasalahan lelang
1) Jual beli biasanya dihadapan PPAT dasarnya adalah akte jualbeli yg dibuat oleh PPAT. Atas
dasar akte yg dibuat PPAT Lalu kemudian ada peralihan hak dengan merubah sertifikat dari
debitur kepada pemenangnya tadi
Tetapi kalau jualbeli lelang berdsarkan pada risalah lelang, yang didasarkan peralihan hak
yaitu risalah lelang.
2) Kemudian Penetuan harga limit lelang mjd masalah antara debitur dg Penjual tidak sepakat
atas hasil penjualan lelang yg sudah dibeli oleh pihak ketiga
3) Pelaksaan lelang eksekusi terhadap saham
4) Pelaksanaan lelang eksekusi yg didasarkan pada putusan verstek
5) Pelaksanaan lelang eksekusi berdasarkan pada barang curian
Eksekusi didasarkan pd jaminan rumah dan tanah maka didasarkan pada pasal 20 Ayat 1 A atau
20 ayat 1 huruf B pasal 2
Barang jaminan terhadap barang bergerak masih pada kekuasaan debitur maka jaminannya
dikatakan jaminan fidusia. Menggunakan eksekusi jaminan fidusia. Kecuali barang bergerak
masih ada di tangan kreditur maka disebut gadai.
Soal
A debitur utang ke Bank jaminannya berupa Gedung pabrik, mesin pabrik, alat2 transportasi yg
dimiliki pabrik, pengusaha pengakutan laut kapal laut. Terhadap barang jaminan tadi masih
ditangan
 Kalau itu jamianannya rumah tanah maka berlaku pada jamianan hak tanggungan
 mesin pabrik, alat2 transportasi yg dimiliki pabrik masih pada tangan debitur itu jaminan
fidusia (UU 42/1999)
 jaminan pengusaha pengakutan laut kapal laut digunakan jaminan hipotek

Jaminan Fidusia
dalam UU 42 1999 tidak menyebutkan cidera janji itu apa maka dilihat dalam KUH perdata.
Eksekusi jaminan Fidusia
dalam pasal 29 UU Fidusia eksekusi jaminan fidusia bisa dilaksanakan dengan
1) Memakai title eksekutorial sebagaimana ketetuan pasal 15 Ayat 2 UU Fidusia
Eksuksi yg mendasarkan pasal 29 huruf a dasarnya itu serufikat jaminan fidusia, prosesnya
hampir sama dengan prose perolehan sertifikat hak tanggungan. Dilakukan kesepakatan
putang piutang dengan jamian barang bergerak tetapi barang tersebut berada pada tanagan
debitur. Akte pemberian jaminan fidusia didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia berada
dibawah kantor wilayah kemenkumham. Setelah didaftarkan kantoer pendaftaran fidusia tadi
mengeluarkan sertifikat jamianan fidusia. Didalam sertifikat tersebut terdapat title
eksekutorial.
Kemudian debitur wanpresatasi maka atas dasar sertifikat jaminan fidusia tadi dapat
dilakuakn eksekusi. Karena dalam sertifikat tadi memiliki kekutan hk yg pasti.sehingga
mempunyai kekuatan eksekutorial.

Dalam prateknya jamianan fidusia tidak didaftarkan sehingga tidak keluar sertifikat jaminan
fidusaia

Eksekusi terhadap jamianan fidusia bisa dilakukan atas dasar sertifikat jaminan fidusia,
penjualan dibawah tangan dan parate eksekusi

Permasalahannya
Debitur Dinyatakan cidera janji karena barang tadi dibawah kekuasaan debitur seringkali
tidak mau menyerahkan barang tersebut. Maka seringkali kreditur menggunakan
depkolektor bagi debitur yg tidak serta merta yg tidak mau meneyerahkan objek jaminan
untuk dilelang atau dijual. Kalau dilihat pasal 30 apabila debitur tidak maua menyerahkan
scr sukarela maka kreditur dapat meminta bantuan kpd pihak yg berwenang. Maka sering
terjadi konflik untuk menarik objek jaminan fidusia. Ketentuan tersebut menjadi persoalan
pada kepolisian. Namun Kapolri mengeluarkan peraturan menegnai jaminan fidusia
kaitannya dg pasal 30 UU Fidusia. Polisi sbg penegak hk apakah dapat melakukan eksekusi
pada jaminan fidusia

Ketentuan tersebut pernah diajukan uji materiil ke MK terkait leasing. Terobosan pada
perusahaan leasaing terhdp utang dibawah 500 juta tidak dilakukan penarikan karena MK
mempunyai cara tersendiri dengan sita jamianan menggunkan gugatan sederhana bagi
debitur yg mempunyai utangnya dibawah 500 Juta

Anda mungkin juga menyukai