Anda di halaman 1dari 22

TUGAS TERSTRUKTUR MAKALAH HUKUM PIDANA KHUSUS

KEKHUSUSAN UNDANG – UNDANG PENDANAAN TERORISME


SERTA PERBEDAANNYA DENGAN UNDANG – UNDANG TERORISME
LAMA TERKAIT PENGATURAN TINDAK PIDANA PENDANAAN
TERORISME

Disusun oleh :
Intani Rachmatilla Ilman
E1A018069
Kelas A

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini
tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada Mata Kuliah Hukum Pidana Khusus. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Agus Raharjo,
S.H., M.Hum selaku dosen dalam mata kuliah ini yang telah membimbing saya
dalam penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat saya harapkan untuk
menyempurnakan makalah ini.
Demikian yang dapat saya sampaikan , semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaratuh.

Bandung, 18 Oktober 2020

Intani Rachmatilla Ilman

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1. 1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3. Tujuan............................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1. Pengertian Tindak Pidana Pendanaan Terorisme........................................3
2.2. Sebab Perundang – Undangan Pendanaan Terorisme Termasuk dalam
Lingkup Hukum Pidana Khusus serta Kekhususannya.......................................5
2.3. Perbedaan Ketentuan Terkait Pendanaan Terorisme antara Undang – Undang No.
15 Jo. Perpu No. 1 Tahun 2002 dengan Undang Undang No. 9 Tahun 2013................10
BAB III...............................................................................................................................14
PENUTUP..........................................................................................................................14
3.1. Kesimpulan............................................................................................................14
3.2. Saran.....................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengancam
kedaulatan setiap negara. Definisi terorisme sampai saat ini masih menjadi
perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga telah dirumuskan
di dalam peraturan perundang – undangan. Akan tetapi ketiadaan definisi yang
seragam menurut Hukum Internasional mengenai terorisme tidak serta merta
meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing – masing negara
berdasarkarkan hukum nasionalnya telah mengatur, mencegah dan menanggulangi
terorisme.
Kata “ terorisme “ atau “ teror “ diambil dari bahasa latin yaitu “terrere” ,
yang memiliki arti sesuatu yang memberikan efek ngeri atau berbahaya dan juga
dapat diartikan sebagai kondisi yang gemetar atau menggetarkan. Istilah terorisme
itu sendiri sering dikaitkan dengan sebuah konsep yang memiliki konotasi negatif
karena terorisme mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Terorisme itu sendiri tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extra –
ordinary crimes ) yang saat ini menjadi perhatian dunia dan digolongkan sebagai
kejahatan kemanusiaan (Crime Against Humanity ), serta merupakan ancaman
yang serius terhadap kedaulatan negara karena terorisme juga merupakan
kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap
keamanan , perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.
Di balik itu semua, terdapat aspek pendanaan yang merupakan “urat nadi”
terjadinya suatu kegiatan terorisme. Dalam melaksanakan aksinya, para pelaku
terorisme tentunya membutuhkan berbagai dukungan, tidak terkecuali dukungan
pendanaan. Dana dibutuhkan untuk proses perekrutan, propaganda , pelatihan,
persediaan logistik, pembelian senjata dan alat penunjang lainnya. Dana yang
didapatkan oleh organisasi atau kelompok teroris ini berasal dari berbagai sumber
baik legal maupun illegal.
Pendanaan terorisme merupakan elemen penting dalam kegiatan terorisme.
Oleh karena itu,pemberantasan tindak pidana terorisme bukan hanya dengan
mengkrimalisasi pada kegiatan aksi aktual teror,tetapi juga harus

1
mengkriminalisasi pada elemen pendukung pendanaan kegiatan terorismenya.
Tindak Pendanaan Terorisme tidak diatur di dalam KUHP. Oleh karena itu,
Tindak Pendanaan Terorisme termasuk ke dalam lingkup Hukum Pidana Khusus
Hal ini menyebabkan pengaturan terkait tindak pendanaan terorisme diatur secara
khusus dan spesifik. Pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang – Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang – undang No.
15 Tahun 2003. Pada awalnya tindakan pidana pendanaan terorisme tersebut
terdapat pada Pasal 11 dan Pasal 13. Akan tetapi, kedua pasal tersebut dicabut
dengan adanya undang – undang tersendiri yang mengatur secara khusus dan
lebih terperinci terkait tindak pidana pendanaan terorisme, yaitu Undang –
Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ?
2. Mengapa Perundang – Undangan Pendanaan Terorisme termasuk ke dalam
lingkup Hukum Pidana Khusus dan apa kekhususannya itu?
3 Apakah terdapat perbedaan ketentuan terkait Pendanaan Terorisme antara
UU No. 9 Tahun 2013 dengan UU No.15 Tahun 2003?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang Tindak Pendanaan Terorisme
2. Untuk mengetahui sebab Undang – Undang Pendanaan Terorisme
termasuk ke dalam lingkup Hukum Pidana Khusus serta untuk mengetahui
kekhususan yang terkandung di dalamnya
3. Untuk mengetahui dan memahami perbedaan ketentuan terkait Pendanaan
Terorisme antara UU No. 9 Tahun 2013 ( UU Pendanaan Terorisme )
dengan UU No. 15 Tahun 2003 ( UU Terorisme Lama )

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Tindak Pidana Pendanaan Terorisme


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa istilah
pendanaan berarti penyediaan dana. Tindak pidana pendanaan terorisme
merupakan tindak pidana yang mendahului terjadinya tindak pidana terorisme.
Aksi terorisme itu sendiri tidak dapat dilakukan tanpa adanya dana. Oleh karena
sifat dari tindak pidana pendanaan terorisme adalah tindak pidana yang berpotensi
menimbulkan ancaman bahaya, terjadinya pelanggaran atas kepentingan hukum,
tidak ditunggu , tetapi hukum pidana dapat dikatakan melakukan upaya secara
preventif. Hukum pidana tidak menunggu munculnya akibat dari suatu perbuatan
(kerugian) , tetapi langsung bekerja begitu “ancaman” terhadap kepentingan
hukum yang hendak dilindungi muncul ancaman bahaya dalam perumusan tindak
pidana. Terkait tindak pidana pendanaan terorisme telah diatur secara khusus dan
spesifik dalam Undang – Undang No.9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Berdasarkan Undang – Undang No. 9 Tahun 2013 tepatnya pada Pasal 1
Angka 1, disebutkan bahwa Pendanaan terorisme adalah segala perbuatan dalam
rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana,
baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau
yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi
teroris, atau teroris. Selain itu di dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa dana
adalah semua aset atau benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan cara apapun dan dalam
bentuk apapun, termasuk dalam format digital atau elektronik , alat bukti
kepemilikan atau keterkaitan dengan semua asset atau benda tersebut, termasuk
tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang dikeluarkan oleh

3
bank, perintah pengiriman uang, saham,sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat
pengakuan uang.
Adapun rumusan lengkap tindak pidana pendanaan pencucian diuraikan
pada Pasal 4 yakni setiap orang yang dengan sengaja menyediakan,
mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung mapun
tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk
melakukan tindak pidana terorisme, organisasi teroris, atau teroris dipidana karena
melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Di dalam Pasal 5 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan
permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana
pendaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Kemudian di
dalam Pasal 6 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja merencanakan,
mengorganisasikan, atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dipidana Karenna melakukan tindak
pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Kriminalisasi pendanaan terorisme ditentukan dalam SR II dan SR III dari 9
(sembilan) Special Recommendation of FATF. Pada hakikatnya perbuatan yang
harus dikriminalisasikan sebagai tindak pidana pendanaan terorisme adalah
meliputi tindakan menyediakan atau mengumpulkan dana yang dimaksudkan
untuk digunakan oleh organisasi teroris atau teroris perseorangan, untuk semua
tujuan. Oleh karena itu, ruang lingkup pendanaan terorisme harus diperluas
sehingga menjadi sebagai berikut :
a. dana – dana (termasuk di dalamnya semua properti) yang digunakan untuk
pendanaan terorisme diperoleh dari sumber – sumber yang sah (legitimate)
maupun yang haram (illegitimate);
b. dana – dana tersebut yang walaupun pada kenyataannya tidak jadi digunakan
untuk melakukan terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan kegiatan
terorisme tertentu;

4
c. kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang dilakukan oleh organisasi
teroris maupun teroris perorangam, baik yang dilakukan di tempat yang sama
maupun di tempat yang berbeda dari penanggung jawab di bidang keuangan
terorisnya.

2.2. Sebab Perundang – Undangan Pendanaan Terorisme Termasuk dalam


Lingkup Hukum Pidana Khusus serta Kekhususannya
Dalam mengartikan konsep terkait hukum pidana khusus ini, terdapat
beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya. Hukum pidana khusus menurut
Jan Remelink secara sederhana disebut delicti propria. Suatu delik yang yang
dilakukan oleh seseorang dengan kualitas atau kualifikasi tertentu.
Selain itu, Teguh Prasetyo juga mengemukakan karena hukum tindak pidana
khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu, harus
dilihat dari substansi dan berlaku keepada siapa hukum tindak pidana khusus itu.
Hukum pidana khusus itu sendiri diatur dalam undang – undang di luar hukum
pidana umum.
Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam undang – undang
pidana merupakan indikator apakah undang – undang pidana itu termasuk ke
dalam hukum pidana khusus atau bukan, maka dari itu tindak pidana khusus
merupakan undang – undang atau hukum pidana yang diatur dalam undang –
undang tersendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pompe, Hukum Pidana
Khusus mempunyai tujuand dan fungsi di luar KUHP.
Adapun KUHP yang ada saat ini tidak mampu lagi dan atau ketinggalan jaman
untuk mengikuti “trends” perkembangan kejahatan. Pengalaman mengenai
kodifikasi selama hampir dua abad menunjukkan bahwa tidak mungkin sebuah
kodifikasi itu lengkap dan tuntas, sehingga dimungkinkan munculnya undang –
undang pidana di luar KUHP yang secara parsial mengatur berbagai tindak pidana
sesuai dengan perkembangan kebutuhan yang ada. Undang – undang pidana di
luar KUHP disebut sebagai tindak pidana khusus. Tujuan pengaturan tindak
pidana khusus adalah untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak tercakup
pengaturannya dalam KUHP.

5
Ada tiga kelompok yang dapat dikualifkasikan sebagai undang – undang pidana
khusus, antara lain :
1. Undang – undang yang tidak dikodifikasikan
2. Peraturan – peraturan hukum administratif yang mengandung sanksi pidana

3. Undang – undang yang mengandung hukum pidana khusus yang mengatur


tentang delik – delik untuk kelompok – kelompok orang tertentu atau
perbuatan tertentu.
Sebagai suatu aturan khusus yang bersifat khusus di luar KUHP tersebut
harus tetap dan berada dalam batas – batas yang diperkenankan oleh hukum
pidana formil dan materiil. Menurut Bagir Manan, sebagai lex specialis harus
memenuhi beberapa syarat, antara lain :
1. Prinsip bahwa semua kaidah umum berlaku dan prevail kecuali secara
khusus diatur berbeda ;
2. Dalam pengertian lex specialis termasuk juga asas dan kaidah – kaidah yang
menambah kaidah umum yang diterapkan secara kumulatif antara kaidah
umum dan kaidah khusus dan bukan hanya mengatur penyimpangan;
3. Dalam lex specialis bermaksud menyimpangi atau mengatur berbeda dengan
lex generalis harus dengan motif lebih memperkuat asas dan kaidah – kaidah
umum bukan untuk memperlemah kaidah umum , selain itu harus dapat
ditujukan pula suatu kebutuhan khusus yang hendak dicapai yang tidak cukup
memadai hanya mempergunakan kaidah umum;
4. Semua kaidah lex specialis harus diatur secara spesifik sebagai kaidah
(norma) bukan sesuatu yang sekedar dilandaskan pada asas – asas umum atau
kesimpulan belaka;
5. Semua kaidah lex specialis harus berada dalam regim hukum yang sama dan
diatur dalam pertingkatan perundang – undangan yang sederajat dengan
kaidah – kaidah lex generalis.
Tolak ukur dari kekhususan suatu peraturan perundang – undangan khusus
dapat dilihat dari perbuatan yang diatur, masalah subjek tindak pidana, pidana dan
pemidanaannya. Subjek hukum Tindak Pidana Khusus diperluas, tidak saja
meliputi orang pribadi melainkan juga badan hukum (koorporasi). Sedangkan dari

6
aspek pemidanaan, dilihat dari pola perumusan ataupun pola sanksi, Tindak
Pidana Khusus juga dapat menyimpang dari ketentuan KUHP.
Ruang lingkup Tindak Pidana Khusus bersifat tidak tepat atau dapat berubah
sesuai dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan
khusus dari Undang – Undang Pidana yang mengatur substansi tersebut.
Pendanaan Terorisme diatur secara khusus pada awalnya dalam Undang –
Undang No. 15 Tahun 2003, tetapi dalam pelaksanaannya masih terdapat
kekuranggan. Sehingga terkait Pendanaan Terorisme diatur secara khusus dan
spesifik dalam Undang – Undang No. 9 Tahun 2013. Dalam undang – undang ini
secara khusus merumuskan secara komprehensif mengenai kriminalisasi tindak
pidana pendanaan terorisme dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana pendanaan terorisme, penerapan prinsip mengenai pengguna jasa
keuangan, pelaporan dan pengawasan kepatuhan, pengawasan kegiatan
pengiriman uang melalui sistem transfer atau melalui sistem lainnya yang
dilakukan oleh PJK, pengawasan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia, mekanisme
pemblokiran, pencatuman dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris,
pengatutan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, serta kerja sama baik nasional maupun internasional dalam rangka
pencegahan dan pemberantas tindak pidana pendanaan terorisme.
Sebagai undang – undang khusus, berarti Undang – Undang No. 9 Tahun
2013
(UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme )
mengatur secara materil dan formal sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari
asas yang secara umum diatur dalam KUHP dan KUHAP (lex specialis derogat
lex generalis). Keberlakuan lex specialis derogate lex generalis, harus memenuhi
kriteria :
1). Bahwa pengecualian terhadap undang – undang yang bersifat umum dilakukan
oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang – Undang.
2). Bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam undang – undang khusus
tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang

7
dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksanaan undang – undang khusus tersebut.
Sebagai tindak pidana yang termasuk ke dalam ruang lingkup hukum pidana
khusus. Kejahatan pendanaan terorisme termasuk kejahatan yang dirumuskan di
luar KUHP (di luar kodifikasi) dan mengatur beberapa kekhususan, baik substansi
maupun hukum acaranya. Kejahatan pendanaan terorisme melibatkan pendanaan
dari sumber national dan internasional, maka dalam penegakan hukumnya tidak
menutup kemungkinan memerlukan kerjasama dengan yuridiksi internasional.
Dapat dikatakan, bahwa tindak pidana pendanaan terorisme termasuk ke dalam
international crime yang melewati lintas negara, maka dalam undang – undang
tindak pidana ini memuat pasal – pasal tersendiri yang menyangkut kerjasama
dengan negara lain ataupun internasional. Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
juga merupakan extraordinary crime sehingga terkait tindak pidana ini
menggunakan pengaturan yang khusus daripada delik umum yang diatur dalam
KUHP.
UU Pendanaan Terorisme mengatur beberapa substansi penting yang
berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaaan
terorisme. Pertama, mengenai pemblokiran aliran dana terorisme. Pemblokiran
ini dilakukan terhadap dana yang secara langsung atau tidak langsung atau yang
diketahui atau patut diduga digunakan atau akan digunakan, baik seluruh maupun
sebagian, untuk Tindak Pidana Terorisme. Kedua, substansi berikutnya yaitu
mengenai daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang dikeluarkan oleh
Pemerintah. Ketiga, mengenai pendanaan terorisme bagi pelaku pendanaan
terorisme maupun perbuatan permufakatan jahat; baik dengan perbuatan
percobaan maupun pembantuan tindak pidana pendanaan terorisme, serta
mengatur subyek hukum korporasi yang melakukan perbuatan pendanaan
terorisme. Keempat, pengaturan tentang pencegahan tindak pidana pendanaan
terorisme.
Dalam Undang – Undang No. 9 Tahun 2013 ( UU Pendanaan Terorisme )
terdapat beberarapa kekhususan yaitu :
a. UU Pendanaan Terorisme mengatur subjek hukum lebih luas yakni tidak hanya
dikenakan pada subjek hukum orang perseorangan (persoon), tetapi juga pada

8
korporasi (Pasal 6 UU Pendanaan Terorisme ). Ketentuan ini tentu berbeda
dengan KUHP yang hanya mengatur subjek hukum persoon saja.
b. UU Pendanaan Terorisme ini memuat ketentuan tentang yuridiksi yang
didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif
sehingga diharapkan secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak
pendanaan terorisme sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pendanaan
Terorisme ini yang melampaui batas – batas teritorial Negara Republik
Indonesia.
c. Di dalam UU Pendanaan Terorisme ini ditegaskan, bahwa tindak pidana
pendanaan terorisme yang diatur dalam Undang-Undang ini dikecualikan dari
tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan
politik yang menghambat proses ekstradisi dan/atau permintaan bantuan timbal
balik dalam masalah pidana. ( Pasal 3 UU Pendanaan Terorisme ).
d. UU Pendanaan Terorisme menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa
Keuangan.
e. Di dalam UU Pendanaan Terorisme, terkait pengaturan ancaman pelaku
penyertaan yang terdiri dari pemufakatan jahat dan pembantuan dijatuhi
ancaman yang sama dengan pelaku pembuat (Pasal 5 UU Pendanaan
Terorisme), maka ketentuan Pasal 53 KUHP yang menjelaskan mengenai
pengurangan ancaman pidana pokok sepertiga pada perbuatan percobaan dan
Pasal 57 KUHP yang menjelaskan adanya pengurangan ancaman pidana
sepertiga pada pembantuan. Sehingga dapat dikatakan UU Pendanaan
Terorisme tidak menganut konsep ancaman pidana percobaan dan pembantuan
dalam KUHP.
f. Di dalam ketentuan Pasal 38 UU Pendanaan Terorisme mengatur alat bukti
yang sah dalam pembuktian tindak pidana terorisme ialah : a). alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Hukum Acara Pidana, b). alat
bukti lain
berupa informasi yang diucapkan , dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik;dan/atau c). dokumen.
Sehingga ketentuan dalam UU Pendanaan Terorisme ini memperluas alat bukti

9
yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, dimana dalam pasal ini disebutkan
bahwa alat bukti yang sah adalah : a).keterangan saksi, b). keterangan ahli, c).
surat, d. petunjuk, e). keterangan terdakwa.
g. Di dalam ketentuan Pasal 39 UU Pendanaan Terorisme menjelaskan bahwa
“Pemeriksaann saksi dan ahli di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
pendanaan terorisme dapat dilakukan melalui komunikasi jarak jauh dengan
media audiovisual yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang
dihadapi.” Sehingga dalam ketentuan pasal ini, dapat dikatakan bahwa saksi
dan ahli tidak harus datang ke sidang pengadilan untuk melakukan
pemeriksaan, sedangkan di dalam ketentuan KUHAP, saksi dan ahli harus
datang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
. h. Di dalam UU Pendanaan Terorisme dimungkinkan penegak hukum
melakukan pemblokiran terhadap dana – dana yang dicurigai secara langsung
atau tidak langsung berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme.

2.3. Perbedaan Ketentuan Terkait Pendanaan Terorisme antara Undang –


Undang No. 15 Jo. Perpu No. 1 Tahun 2002 dengan Undang Undang No. 9
Tahun 2013
Tindak Pendanaan Terorisme pada awalnya UU No, 15 Tahun 2003 yaitu
pada Pasal 11 dan 12. Namun, pada pelaksanaannya, masih terdapat kelemahan, di
antaranya bahwa tindak pidana pendanaan terorisme termasuk ke dalam rumpun
“tindak pidana terorisme”. Sehingga terkait Pendanaan Terorisme diatur tersendiri
yaitu dalam UU No.9 Tahun 2013.
Terdapat rumusan delik yang berbeda antara ketentuan dalam UU No.15
Tahun 2003 jo Perpu No. 1 Tahun 2002 dengan UU No. 9 Tahun 2013, yakni :
Pertama, dalam UU No. 9 Tahun 2013 bukan hanya mengatur subjek hukum
persoon (individu,kelompok,dan organisasi teroris), tetapi mengatur subjek
hukum yang lebih luas yaitu terhadap korporasi. Dalam UU No. 15 Tahun 2003 jo
Perpu No. 1 Tahun 2002, hanya ditujukan kepada subjek hukum persoon saja.
Kedua, dalam UU No. 9 Tahun 2013 perbuatan hukum yang tergolong
sebagai kriminalisasi yaitu :
1. Perbuatan dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau
meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud

10
digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme,
organisasi teroris, teroris, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
2. Perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan permufakatan
jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan
terorisme, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
3. Perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja
merencanakan, mengorganisasikan, atau menggerakan orang lain untuk
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dipidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
4. Terhadap korporasi dijatuhi pidana pokok berupa pidana denda dan pidana
tambahan
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi;
c. pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang;
d. pembubaran korporasi;
e. perampasan aset korporasi untuk negara;
f. pengambilalihan korporasi oleh negara; dan/atau
g. Pengumuman putusan pengadilan.
5. Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda, diganti dengan
perampasan harta kekayaan milik korporasi dan/atau personel pengendali
korporasi yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme yang
nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
6. Dalam hal penjualan harta, kekayaan milik korporasi yang dirampas tidak
mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personel
pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
7. Bahwa direksi, komisaris, pengurus, atau pegawai PJK dilarang
memberitahukan kepada Pengguna Jasa Keuangan atau pihak lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun mengenai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme yang sedang
disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.

11
8. Pejabat atau pegawai LPP dilarang memberitahukan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan Terkait Pendaan Terorisme yang telah atau akan
dilaporkan kepada PPATK, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dengan cara apapun Pengguna Jasa Keuangan atau pihak lain. Jika undang-
undang ini dilanggar maka dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Sedangkan dalam Pasal 11 Perpu No. 1 Tahun 2002 jo. UU No. 15 Tahun 2003
perbuatan hukum yang tergolong sebagai kriminalisasi yaitu :
Perbuatan dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan
tujuan akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak
pidana terorisme dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga tahun) dan
paling lama 15 (lima belas tahun).
Ketiga, dalam UU No. 9 Tahun 2013 diatur mengenai politik hukum tentang
upaya penceghan pendanaan terorisme dengan penerapan prinsip mengenali
pengguna jasa keuangan, pelaporan dan pengawasan kepatuhan, pengawasan
kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer atau melalui sistem lainnya
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan, pengawasan pembawaan uang
tunai dan/atau instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean
Indonesia, mekanisme pemblokiran, pencatuman dalam daftar terduga teroris dan
organisasi teroris, pengaturan mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di sidang pengadilan, serta kerja sama, baik nasional maupun internasional, dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
Keempat, dalam UU No. 9 Tahun 2013, pendanaan terorisme yang diatur
mencakup perbuatan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dalam
rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana
kepada pihak lain yang diketahuinya akan digunakan untuk melakukan tindak
pidana terorisme.
Kelima, dalam UU No. 9 Tahun 2013 diatur mengenai organisasi teroris, yaitu
kumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berdasarkan putusan
pengadilan dinyatakan telah melakukan tindak pidana terorisme atau yang
berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan dalam daftar terduga organisasi
teroris. Teroris adalah orang atau individu yang berdasarkan putusan pengadilan

12
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana terorisme atau yang berdasarkan
penetapan pengadilan ditetapkan dalam daftar terduga teroris.
Keenam, dalam UU No. 9 Tahun 2013 diatur mengenai keterkaitan Penyedia
Jasa Keuangan (PJK) antara lain, bank, lembaga pembiayaan, perusahaan asuransi
dan perusahaan pialang asurans, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan
efek, manajer investasi, custodian, wali amanat, perposan sebagai penyedia jasa
giro, pedagang valuta asing, penyelenggaraan alat pembayaran menggunakan
kartu, penyelenggaraan e-money dan/atau e-wallet, koperasi yang melakukan
kegiatan simpan pinjam, pergadaian, perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan komoditas, atau penyelenggara kegiatan pendanaan terorisme.
Ketujuh, dalam UU No. 9 Tahun 2013 diatur bentuk kerjasama
internasional, khususnya aspek permintaan pemblokiran dari negara asing dan
yuridiksi asing.

13
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pendanaan Terorisme merupakan salah satu faktor utama dalam setiap aksi
teror, dan merupakan “urat nadi” dari segala bentuk kegiatan terorisme. Dalam hal
pengaturannya, tindak pendanaan terorisme ini diatur secara khusus dan spesifik
dalam UU No. 9 Tahun 2013 atau sering disebut sebagai UU Pendanaan
Terorisme. Dalam UU Pendanaan Terorisme ini terdapat penyimpangan dari
ketentuan yang ada dalam KUHP ataupun KUHAP, baik dari segi substansinya
maupun hukum acaranya. Sehingga UU Pendanaan Terorisme ini termasuk ke
dalam ruang lingkup hukum pidana khusus, Adapun kekhususannya,yaitu : a). UU
Pendanaan Terorisme mengatur subjek hukum lebih luas yakni tidak hanya
dikenakan pada subjek hukum orang perseorangan (persoon), tetapi juga pada
korporasi, b). UU Pendanaan Terorisme ini memuat ketentuan tentang yuridiksi
yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif
sehingga diharapkan secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak
pendanaan terorisme sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pendanaan
Terorisme ini yang melampaui batas – batas teritorial Negara Republik Indonesia,
c). Di dalam UU Pendanaan ini ditegaskan bahwa tindak pidana pendanaan

14
terorisme yang diatur dalam Undang-Undang ini dikecualikan dari tindak pidana
politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana
dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik yang menghambat
proses ekstradisi dan/atau permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana,
d).UU Pendanaan Terorisme menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa
Keuangan, e). Di dalam UU Pendanaan Terorisme, terkait pengaturan ancaman
pelaku penyertaan yang terdiri dari pemufakatan jahat dan pembantuan dijatuhi
ancaman yang sama dengan pelaku pembuat, sehingga UU Pendanaan Terorisme
tidak menganut konsep ancaman pidana percobaan dan pembantuan dalam
KUHP, f).UU Pendanaan Terorisme memperluas ketentuan alat bukti yang diatur
dalam Pasal 184 KUHAP, g). Di dalam UU Pendanaan Terorisme, terdapat
ketentuan, bahwa saksi dan ahli tidak harus datang langsung datang ke sidang
pengadilan untuk melakukan pemeriksaan, sedangkan di dalam ketentuan
KUHAP, saksi dan ahli harus datang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, h).
Di dalam UU Pendanaan Terorisme dimungkinkan penegak hukum melakukan
pemblokiran terhadap dana – dana yang dicurigai secara langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme.
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme awalnya diatur dalam Undang –
Undang Terorisme lama, yaitu pada UU No. 15 Tahun 2003, namun pada
pelaksanannya terdapat kekurangan, sehingga Pendanaan Terorisme diatur
tersendiri dalam UU No. 9 Tahun 2013. Adanya UU No. 9 Tahun 2013 mengatur
ketentuan – ketentuan baru terkait tindak pendanaan terorisme dan merupakan
penyempurnaan dari ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU No. 15 Tahun
2003.

3.2. Saran
Pendanaan Terorisme merupakan mata rantai penting di balik sebuah aksi
terorisme, sehingga untuk memberantas aksi terorisme terlebih dahulu harus
mencegah dan memberantas “dana” yang mengaliri aksi terorisme itu sendiri.
Penanggulangan tindak pendanaan terorisme melibatkan banyak lembaga
pemerintah yang ikut berkepentingan di dalamnya, hal ini dikarenakan
bervariasinya bentuk pendanaan terorisme. Terkait UU Pendanaan Terorisme itu

15
sendiri harus disertai kerjasama antar lembaga, sehingga pola koordinasi antar
lembaga yang berperan dalam penanggulangan pendanaan terorisme harus lebih
ditingkatkan.Terutama pola koordinasi antara Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan dengan Pihak Pelapor dalam hal pelaporan laporan transaksi
keuangan mencurigakan, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
dengan Aparat Penegak Hukum agar penegakan hukum lebih efektif dan
memberikan efek jera. Di samping itu, UU Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme sudah mengatur pemblokiran aliran dana
terorisme , daftar terduga teroris dan organisasi terorisme,namun dalam
pelaksanaannya kedua kegiatan tersebut rawan terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Oleh karena itu, terkait tindakan pemblokiran tersebut harus sesuai
dengan apa yang telah diatur

di dalam UU tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi pelanggaran


Hak Asasi Manusia.

16
DAFTAR PUSTAKA

Mertokusumo, Sudikno,. 1996. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta:


Libery

Masyhar, Ali. Urgensi Revisi Undang – Undang Terorisme. Jurnal Masalah –


Masalah Hukum. Jilid 45. No.1, Januari 2016

Moeljatno. 1994. KUHP : Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Jakarta :


Bumi Aksara

Renggong, Ruslan.2017.Hukum Pidana Khusus : Memamahami Delik – delik di


Luar KUHP, Jakarta : Prenada Media

Sarwoko, Djoko. 2018. Pendanaan Terorisme: Pergeseran Politik Hukum


Pencegahan dan Pemberantasannya di Indonesia.Yogyakarta: Genta Publishing

17
Sudarto, Kedudukan Hukum Pidana Ekonomi Sebagai Hukum Positif Indonesia.
Jurnal Masalah – Masalah Hukum. Edisi Khusus, 1995

Sinar Grafika, Redaksi. 2015. KUHAP Lengkap, Jakarta : Sinar Grafika

Tim NRA. 2015. Penilaian Risiko Indonesia Terhadap Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme. Jakata: PPATK

18

Anda mungkin juga menyukai