Anda di halaman 1dari 15

CATATAN UAS KS PERDATA

Pertemuan 1
SISTEMATIKA BUKU III KUHPERDATA TENTANG PERIKATAN
Di dalam Buku III KUHPerdata ini keseluruhannya itu terdiri dari 18 bab. Berdasarkan
susbtansinya dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Bagian umum / Ketentuan Umum, yang terdiri dari :
Bab I : Perikatan pada umumnya
Mengatur hal – hal yang bersifat umum, baik perikatan yang lahir dari perjanjian maupun
perikatan yang lahir dari undang – undang. Sehingga dalam bab ini akan ditemukann materi
tentang wanprestasi. Karena wanprestasi berlaku untuk baik tidak dipenuhinya perikatan dari
perjanjian maupun tidak dipenuhinya perikatan yang lahir dari undang – undang.
Bab II : Perikatan dari perjanjian
Dalam bab ini secara khusus mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian.
Bab III : Perikatan dari Undang - Undang
Dalam bab ini mengatur perikatan yang khusus lahir dari undang – undang.
Bab IV : Hapusnya perikatan
Dari sini kita bisa melihat bahwa hapusnya perikatan itu baik perikatan dari perjanjian
maupun perikatan dari undang – undang.

2. Ketentuan Khusus ( berisikan perjanjian – perjanjian tertentu )


Bab V : Tentang Jual – Beli
Bab VI : Tentang Tukar Menukar
dst
Bab XVIII : Tentang Perdamaian

Ketentuan umum berisikan prinsip – prinsip dan asas – asas yang nantinya mendasari
ketentuan – ketentuan bagian khusus. Artinya bagian umum ini bersifat umum lalu diuraikan
lebih lanjut di dalam bagian khusus sehingga di dalam bagian khusus itu nanti ia berlaku
ketentuan khusus yang bersangkutan dan juga berlaku bagian umum. Ini juga berlaku asa lex
specialis , kalau nantinya di bagian khusus ada hal yang menyimpang dari ketentuan umum maka
yang berlaku adalah ketentuan khusus.
Yang harus dipahami lebih lanjut adalah mengenai Bab II di dalam ketentuan umum. Karena
di dalam Bab II ini ada 1 pasal yang sangat krusial, sangat penting dan terkenal yang menjadikan
KUHPerdata dari tahun 1837 hingga saat ini masih berlaku karena adanya pasal 1338 ini. Di
dalam pasal ini terkandung suatu asas yang sangat terkenal yaitu asas kebebasan berkontrak.
Artinya khusus di dalam hukum perjanjian, orang itu bebas membuat perjanjian dengan isi apa
saja, bebas membuat perjanjian dalam bentuk apa saja, dan bebas membuat perjanjian dengan
siapa saja, artinya Buku III KUHPerdata ini mengakui perjanjian – perjanjian yang berkembang
di masyarakat di luar dari perjanjian – perjanjian yang diatur di bagian khusus. Hal ini
dikarenakan kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang sedangkan KUHPerdata
mengenai perjanjian ini hanya mengatur 14 bab perjanjian – perjanjian khusus yang kausal
antara yang satu dengan yang lainnya berbeda maka kebutuhan masyarakat itu tidak cukup
apabila hanya diwadahi di dalam ketentuan khusus ini. Oleh sebab itu, KUHPerdata
menyediakan ketenntuan umum yang nantinya berlaku memayungi perjanian – perjanjian yang
berkembang di masyarakat yang tidak diatur di bagian khusus. Kemudian terhdap perjanjian –
perjanjian yang berkembang di masyarakat ini disebut dengan perjanjian tidak bernama. Kenapa
disebut tidak bernama? Karena dilawankan dengan perjanjian – perjanjian yang ada di
Bab V – Bab VXIII yang mempunyai nama tertentu, kausa tertentu yang khas. Tetapi harus
diingat meskipun perjanjian yang berkembang di masyarakat itu perjanjian yang tidak bernama
tetapi ia punya nama. Misalnya ketika KUHPerdata hanya mengatur jual beli , sewa menyewa ,
tetapi masyarakat tidak cukup terpenuhi hanya dengan kedua lembaga hukum itu sehingga
munculah campuran antara sewa menyewa dan jual beli yang oleh masyarakat dinamakan sewa
beli yang mengandung 2 unsur tadi. Jadi sewa beli itu termasuk perjanjian tidak bernama
meskipun punya nama. Lalu apa itu perngertian Perjanjian Tak Bernama ? Yaitu
Perjanjian – perjanjian yang berkembang di masyarakat dan belum mendapat pengaturan
secara khusus di dalam undang – undang.
Perjanjian yang ada di Bab V – Bab XVIII itu disebut oleh doktrin maupun oleh masyarakkat
dengan sebutan perjanjian bernama. Perjanjian bernama ini tunduk pada ketentuan perjanjian
bernama yang bersangkutan dan tunduk pada ketentuan umum. Misalnya jual beli, kalau ada jual
beli pasti harus tunduk pada ketentuan Bab V, juga disamping itu tunduk pada ketentuan
umumnya misalnya tentang syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Bab II, termasuk juga
kalau misalnya salah satunya wanprestasi. Hal ini tentu berbeda dengan perjanjian tidak
bernama. Perjanjian tidak bernama itu tunduk pada yang disepakati oleh amsyarakat dan tunduk
pada ketentua umum.
Lalu darimana kita tahu bahwa perjanjian – perjanjian yang berkembang di masyarakat ini
tunduk pada ketentuan umum? Dapat ditemukan di dalam Pasal 1319 dimana disana ditentukan
bahwa “ tidak ada perjanjian – perjanjian yang diatur di dalam bab – bab berikut dan perjanjian –
perjanjian yang tidak diatur di dalam bab berikut itu tunduk pada ketentuan umum”
Buku III itu pengaturannya memiliki prinsip yang bersifat mengatur yang artinya Buku III ini
bersifat mengisi manakala masyarakat tidak membuat aturan tersendiri (ini khusus mengenai
perjanjian). Di samping itu, terhadap ketentuan – ketentuan yang ada di dalam ketentuan khusus /
bagian khusus ini dalam hal tertentu boleh disimpangi masyarakat meskipun diatur, tetapi kalau
tidak disimpangi dan masyarakat tidak membuat aturan secara khusus maka otomatis berlaku.
Oleh karena itu, kita diuntungkan kalau jual beli tidak harus tau bagaimana Bab V secara detail
yang penting sepakati bendanya dan harganya selesai. Karena selebihnya nanti akan diisi
aaturannya secara adil dan logis oleh Bab V tentang jual beli.

Pertemuan II
PERJANJIAN RIIL
Kalau pada perjanjian konsensuil, sepakat para pihak begitu tercapai maka perjanjian tersebut
lahir. Jadi lahirnya perjanjian konsensuil ditentukan pada detik tercapainya sepakat dan sudah
terikat kedua belah pihak. Sedangkan kalau pada perjanjian riil kalau para pihak sudah sepakat
maka belum lahir perjanjian riil yang bersangkutan akan tetapi lahirnya digantungkan pada
momen – momen tertentu, misalnya adalah pada momen penyerahan benda yang menjadi pokok
perjanjian. Salah satu contohnya adalah perjanjian pinjam pakai yang diatur dalam Pasal 1740
KUHPerdata yang pada intinya berbunyi “ suatu pinjam pakai itu adalah perjanjiian dengan
mana pihak yang satu memberikan suatu barang untuk dipakai secara cuma – cuma dengan
syarat pihak yang menerima itu setelah memakai atau setelah lewatnya waktu tertentu akan
mengembalikan”
Skema :
Pemilik Peminjam
Pinjam Pakai
A B
Ps. 1740

Penyerahan Sepeda

Sebagai Syarat Adanya Perjanjian Pinjam Pakai

Hak Pengembalian Kewajiban Perikatan

Kalau misalnya A dan B sepakat. Si B datang kepada si A dan bilang “A saya mau pinjam
sepeda ya” , si A mengatakan “ iya ” tapi B belum yakin , akhirnya mereka jabat tangan. Apakah
dengan berjabat tangan perjanjian tersebut dikatakan sudah lahir ? Belum, perjanjian pinjam
pakai baru lahir setelah si A menyerahkan sepeda kepada si B. Dengan demikian perbuatan
penyerahan barang / sepeda oleh pemilik kepada peminjam ini merupakan unsur esensi atau
unsur yang menjadikan lahirnya perjanjian pinjam pakai. Kalau pada perjanjian konsensuil
sepakatnya seseorang mengikatkan dirinya , tetapi ketika si A ini yang menyapakati /
mengiyakan ketika B mengatakan pinjam sepedanya, maka iya nya si A ini belum mengikat
sebagai kewajiban tetapi ketika si A memberikan sepeda itulah yang melahirkan perjanjian
pinjam pakai. Setelah perjanjian pinjam pakai lahir barulah perikatannya lahir. Mana
perikatannya? Perikatannya adalah kewajiban si B selaku peminjam untuk mengembalikan
benda / sepeda setelah lewatnya waktu atau setelah memakainya yang menjadi haknya untuk
menuntut kembali. Dan inilah yang disebut perikatan pokok. Dalam Pasal 1750 KUHPerdata
disana diatur kewajiban si pemilik, orang yang meminjamkan ternayata memiliki kewajiban.
Kewajiban pemilik adalah tidak akan meminta kembali sebelum waktunya sepakat itu berakhir.
Jadi misalnya kalau meminjam sepeda selama seminggu, maka sebelum seminggu si A (pemilik)
wajib untuk membiarkan sepedanya dipakai / tidak mengambil sepedanya sebelum waktunya.
Pasal 1750 KUHPerdata ini merupakan konsekuensi dari adanya penyerahan. Oleh sebab itu,
kalau itu merupakan perikatan maka perikatannya itu ada perikatan accessoir , sehingga tidak
dipakai untuk menentukan apakah perjanjian itu sepihak atau timbal balik. Dengan demikian
kalau kita melihat adanya perikatan yang timbul maka kita bisa mengatakan bahwa di dalam
perjanjian pinjam dilihat dari perikatan yang timbul maka perjanjian itu merupakan perjanjian
sepihak. Karena perjanjian itu hanya menempatkan hak di satu pihak yaitu si pemilik untuk
meminta kembali benda yang diserahkan dan kewajiban si peminjam untuk mengembalikan
barang yang dipinjam.
Dalam pasal 1754 atau di perjanjian penitipan barang bahwa itu juga merupakan perjanjian riil,
sehingga penyerahan benda yang menjadi pokok perjanjian ini menjadi syarat adanya / lahirnya
perjanjian riil yang bersangkutan.
Sepakat merupakan unsur esensi dari lahirnya perjanjian (perjanjian apa saja ), juga ada pasal
1338 bahwa ada kebebasan berkontrak, orang boleh buat perjanjian apa saja. Kalau A dan B ini
baru sepakat, B datang ke A menyatakan niatnya untuk pinjam kebendaan kepada A dan A juga
memberikan sepakatnya / akseptasi kemudian dibuktikan dengan akta tetapi benda yang
dipinjam belum diserahkan maka harus secara tegas dinyatakan bahwa dalam hal itu belum lahir
perjanjian pinjam pakai meskipun telah ada alat bukti. Lalu apakah sepakat nya tersebut jadi
tidak ada fungsinya ? Apabila merujuk pada pasal 1338 dan merujuk pada sepakat merupakan
unsur esensi lahirnya perjanjian, maka kesepakatan A dan B tadi juga merupakan perjanjian
tetapi bukan perjanjian pinjam pakai akan tetapi termasuk perjanjian tak bernama atau oleh para
sarjana disebut perjanjian pendahuluan tetapi sifatnya termasuk peprjanjian tak bernama
sehingga tidak tunduk pada 1740 melainkan tunduk pada ketentuan umum. Perjanjian yang
semacam itu disebut perjanjian pactum de contrahendo atau perjanjian pendahuluan untuk
mengadakan perjanjian pinjam pakai.
Di dalam Pasal 1740 tidak ada kata mengikatkan diri tetapi memberikan lain halnya kalau pada
jual beli pihak yang satu meletakkan kewajiban pada diri sendiri, sedangkan pada pinjam pakai
pihak yang satu menyerahkan maka penyerahan ini menjadi syarat timbulnya perjanjian pinjam
pakai.

Pertemuan III
PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM
Pinjam sepeda, uang, dsb. Apapapun dari lembaga pinjam senantiasa untuk dipakai. Pinjam
sepeda untuk dipakai, pinjam uang juga untuk dipakai. Akan tetapi yang namanya peminjam itu
adalah suatu pihak yang hanya berhak menikmati kegunaan benda yang dipinjam. Jadi haknya
kepada benda yang dipinjam itu terbatas yaitu sebatas menikmati kegunaan benda yang
bersangkutan. Di dalam prakteknya, menikmati kegunaan benda ini membawa konsekuensi yang
berbeda terhadap tiap – tiap benda, misalnya kalau yang dinikmatinya kegunaannya adalah
kebendaan berupa sepeda, maka ketika benda itu dinikmati kegunaannya, sepeda itu tidak
menjadi musnah atau tidak menjadi habis, lain hal nya kalau yang dipinjam itu adalah kebendaan
beras atau uang, maka ketika si orang itu menikmati kegunaan benda tersebut maka konsekuensi
benda tersebut (beras/uang) menjadi habis atau hangus.
Maka di dalam KUHPerdata dibedakan, kalau benda yang dipinjam itu menjadi habis karena
pemakaiannya maka itu menjadi perjanjian pinjam meminjam / pinjam mengganti, tetapi kalau
benda yang dipinjam itu begitu dinikmati kegunaannya itu tidak menjadi habis maka undang –
undang membuat aturan tersendiri dengan titel pinjam pakai.
Perjanjian pinjam meminjam / perjanjian pinjam mengganti ini objek perjanjiaannya adalah
benda – benda yang habis karena dipakai / benda – benda yang hangus karena dipakai
(kebendaan yang habis/musnah ketika dipakai)

Pemilik Peminjam
Pinjam Meminjam
A B

Sebagai Syarat Adanya Perjanjiaan Pinjam Meminjam

f Penyerahan Uang

Hak Pengembalian Kewajiban Perikatan

Pihak – pihak dalam perjanjian pinjam meminjam itu ada pemilik dan peminjam, tetapi juga ada
sebutan lain apabila perikatannya telah muncul yaitu si pemilik yang bisa disebut dengan
kreditur sedangkan si peminjam disebut debitur. Perjanjian pinjam meminjam / pinjam
mengganti ini termasuk ke dalam Perjanjian Riil. Dimana perjanjian itu baru lahir kalau benda
yang menjadi objek prestasi itu sudah diserahkan.
Kalau kita lihat dari Pasal 1754 dari situ kita bisa menggambarkan kalau si B menyatakan
kepada A untuk meminjam sejumlah uang dan si A menyepakati maka dengan sepakat belum
lahir perjanjian. Perjanjian pinjam meminjam baru lahir kalau perbuatan penyerahan uang itu
sudah dilakukan oleh si A (pemilik) kepada si peminjam (B)
Sehingga uang setelah dikuasai oleh si peminjam (B) maka terjadilah / lahirlah perjanjian pinjam
meminjam. Suatu perjanjian yang lahir melahirkan sebuah perikatan. Mana perikatan yang lahir
dari perjanjian pinjam meminjam? Ketika uang telah diserahkan kepada si B (peminjam) maka
perikatan yang timbul adalah kewajiban si B untuk mengembalikan sejumlah uang yang dulu
diterima kepada si pemilik.
Yang perlu diingat, ketika si B ini memakai uang akan berakibat uang itu menjadi habis atau
musnah. Padahal kedudukannya hanya sebagai peminjam. Di dalam Hukum Perdata, seseorang
yang boleh memusnahkan benda hanyalah seorang pemilik kalau bukan pemilik yang
memusnahkan benda maka akan kena konsekuensi yaitu ajaran perusakan benda (bisa dituntut).
Akan tetapi karena konsekuensi penikmatan kegunaan benda, benda yang habis karenan
pemakaian ini menjadi musnah maka pembuat undang – undang agar nanti menghilangkan
keraguan si peminjam nanti, apakah memusnahkan benda yang dipinjam ini apakah kena ajaran
perusakan benda atau tidak. Maka undang – undang dengan secepatnya akan menyusuli pasal
berikutnya yaitu pada pasal 1755 yang intinnya menjelaskan bahwa perjanjian pinjam meminjam
ini, si peminjam dijadikan pemilik. Artinya seorang peminjam di dalam pinjam meminjam tidak
perlu ragu – ragu memusnahkan benda itu atau bahkan menjual kembali benda kalau yang
dipinjam itu beras dijual pun tidak masalah. Maka disini kewajiban peminjam adalah pada
saatnya nanti harus mengembalikan di dalam junlah yang sama, jenis yang sama dan kualitas
yang sama.
Saudara bisa temukan di dalam masyarakat ada figur si pemilik yang kalau dilihat dari
perikatannya menjadi kreditur. Krediturnya satu debiturnya banyak. Jadi satu pemilik
memberikan pinjaman ke banyak pihak. Ada juga figure yang lain debiturnya satu (yang pinjam)
nya satu tetapi ia pinjam ke banyak kreditur. Misalnya suatu perusahaan yang tidak hanya
meminjam ke satu pihak saja tetapi biasanya ke beberapa kreditur.
Ini juga menjadi konsekuensi bila misalnya si debitur itu pailit, sehingga di dalam masyarakat ini
pastinya akan banyak variasi, konsekuensinya, yang penting yang harus kita pahami adalah
bagaimanakah cara si kreditur ini mewujudkan haknya. Mengenai hal ini undang – undang tidak
mengatur secara det aill tetapi terserah para pihak bagaimana, apakah nanti ketika si kreditur ini
ketika akan mewujudkan haknya harus mendatangi tempatnya debitur atau diperjanjikan bahwa
debitur lah nanti yang menyerahkan. Ini tergantung pada kesepakatan para pihak. Kalau para
pihak tidak menyepakati hal itu, maka berlaku perjanjian murni tidak ada ketentuan waktu
sehingga nanti caranya ketika si kreditur tidak mewujudkan haknya harus menagih kepada
debitur. Menagihnya bagaimana? Di dalam undang – undang sudah diatur ketentuannya seperti
harus diberikan peringatan terlebih dahulu, kalau nanti misalnya peringatan itu diabaikan lalu
menyebabkan debitur itu wanprestasi.
Yang penting yang harus dipahami di dalam perikatan yang muncul di dalam perjanjian pinjam
meminjam ini adalah kalaupun nanti disepakati cara pembayaran,dsb. Yang penting adalah
pembayaran si debitur (pengembalian) harus benar – benar secara yuridis harus bisa menghapus
kewajibannya. Jadi kalau B punya hutang tidak sekedar B mengeluarkan sejumlah uang yang
sama untuk mengembalikan tetapi di samping itu pengeluaran uang itu harus menghapuskan
kewajibannya kepada kreditur. Di lihat dari sisi kreditur (secara yutidis), kalau si krediturr telah
mendapatkan nominal haknya ini juga harus menghapuskan tuntutannya sehingga tidak menjadi
tuntutan dua kali. Terhadap prinsip ini bahwa yang penting debitur ketika membayar harus
melunasi, harus membebaskan dirinya dari tagihan maka inilah yang akan disepakati seacar
teknis seperti apa.
Yang penting bagi debitur adalah yang menagih atau yang meminta pengembalian itu memang
krediturnya yang berhak. Sehingga ketika ia sudah mengeluarkan uang maka bebaslah ia dari
kewajiban.

Pertemuan IV
KEGIATAN POKOK BANK DILIHAT DARI ASPEK PERJANJIAN PINJAM
MEMINJAM
Di dalam Undang – Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kita dapat melihat kegiatan
pokok dari suatu bank, yaitu : 1). Menghimpun dana dari masyarakat yang surplus, 2).
Menyalurkan dana ke masyarakat yang membutuhkan.
Ketika bank itu menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat tadi yang disalurkan kembali
ke masyarakat itu bentuknya adalah berupa kredit. Sebagaimana yang kita ketahui bentuk –
bentuk kredit yaitu : komsumtif, modal kerja, multi guna,dll. Beberapa jenis kredit ini
sebenernya terkait dengan misalnya adalah persyaratan pengajuannya, penggunaannya, mungkin
jasanya, dll.
Intinya setelah kita cermati, menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit ini ternyata
didasarkan pada perjanjian pinjam meminjam.
Bank dalam hal menghimpun dana dari masyarakat itu dapat dilakukan dalam beberapa bentuk
simpanan , berupa :
- Giro : antara bank dengan penyimpan itu disepakati bahwa simpanan tersebut tidak bisa
diambil secara tunai tetapi mengambilnya dengan cara pemindah bukuan. Artinya untuk
transaksi pembayaran dari rekening giro ke rekening yang lain.
-Deposito : disepakati bahwa si pennyimpan hanya bisa mengambil setelah jangka waktu tertentu
yang disepakati, apakah itu dalam jangka waktu sebulan, setahun,dst. Hal ini tergantung dengan
kesepakatan yang ada.
- Sertifikat Deposito : Apabila deposito itu belum waktunya untuk ditarik tetapi si penyimpan
sudah membutuhkan dana maka bank memberi peluang/kesempatan bahwa deposito itu dapat
dialihkan
- Tabungan : ini disepakati bahwa sewaktu – waktu dapat diambil secara tunai dengan syarat –
syarat tertentu
Di dalam kaitannya dalam wujud / bentuk menghimpun dana dari masyarakat ini, undang –
undang perbankan hanya menyebut simpanan, maka secara yuridis teoritis, kita harus
mengkontruksikan, menafsirkan apa yang dimaksud dengan simpanan. Apakah simpanan ini
masuknya penitipan? Nampaknya kalau diartikan sebagai penitipan itu tidak tepat, karena setelah
bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk apapun terutama deposito dan tabungan.
Si bank ini mempunyai kewenangan untuk menyalurkan kembbali ke masyarakat, artinya uang
simpanan penyimpan dana di bank ini ternyata tidak bisa dikatakan sebagai penyimpanan, karena
apabila diartikan sebagai penyimpanan maka dalam hal ini bank hanya “dititipi” saja tyang
berarti bank tersebut tidak bisa menggunakan uang itu. Oleh karena si bank itu dapat
menggunakan uang itu, maka kita bisa menyimpulkan bahwa dasar dari bank yang menghimpun
dana dari masyarakat itu lebih tepat kalau disebut sebagai pinjam meminjam.
Kemudian ketika bank menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit ini secara jelas di
dalam undang – undang menyatakan didasarkan pada pinjam meminjam.
Yang harus kita ketahui mengenai bentuk simpanan ini ternyata apabila kita cermati, suatu
simpanan baik giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan ini ternyata sebenarnya secara hakiki
terkait dengan bagaimanakah si bank itu mengembaloikan simpanan / pinjaman kepada
masyarakat. Misalnnya kalau simpanan itu berbentuk giro, berarti pinjam meminjam itu
klausulnya adalah giro maka disepakati bahwa bank dalam mengembalikan simpanan/ pinjaman
kepada pemilik/penyimpan ini dengan cara pindah buku tidak dengan tunai. Kalau dalam bentuk
deposito disepakati bahwa bank ketika mengembalikan pinjaman kepada masyarakat kalau
waktu yang disepakati itu telah jatuh tempo , sedangkan kalau dalam bentuk tabungan maka
dsiepakati bahwa sewaktu – waktu kalau si penyimpan/pemberi pinjaman yaitu masyarakat ini
menghendaki pengembalian dapat dilakukan sewaktu – waktu atau dengan kata lain apabila
dilihat dari sisi bank maka bank sewaktu -waktu harus bisa mengembalikan ketika masyarakat
yang menyimpan menghendaki pengembalian.
Dari sisi bank klausul – klausul (giro,deposito,dll) ini adalah bagaimana bank itu
mengembalikan. Dengan demikian maka yang haarus diperhatikan dan menjadi krusial adalah
ketika si pemberi pinjaman ini (penyimpan dana) ini menarik simpanannya, kalau dilihat dari
perjanjian pinjam meminjam ini adalah bagaimana bank ini mengembalikan pinjamannya maka
harus dipastikan bahwa bank mengeluarkan uang benar – benar untuk si pemberi pinjaman.
Kalau dulu sebelum ada teknologi yang maju, si peminjam dana datang ke bank sehingga bank
meminta identitas diri dan sebagainya , hal ini dmaksud agar bank ini membayar secara tepat
kepada krediturnya. Akan tetapi, dengan kemajuan jaman , kemajuan teknologi disepakti juga
bahwa si penyimpan dana dilihat dari perjanjian pinjam meminjam ini adalah si pemberi
pinjaman ini hendak meminta kembali pinjamannya atau ketika bank ini mengembalikan
pinjamkannya kepada masyarakat ini disepakati digunakan alat tertentu misalnya kartu atm.
Dengan alat itu maka orang tidak harus datang ke tempat debitur (bank) tetapi cukup di suatu
tempat yang disepakati dan untuk memastikan bahwa nanti ketika uangnya bank ini keluar yang
artinya ketika bank mengembalikan kepada kreditur ini tepat dan benar maka disepakati si
penyimpan dana (kreditur) yang memberi pinjaman kepada bank ini diberikan password/pin
yang tidak bisa orang lain tau. Hal ini memiliki konsekuesi bahwa bank tidak harus memastikan
kalau yang menggunakan pin tersebut adalah benar – benar orang yang menjadi kreditur. Karena
dalam hal ini bank tidak mungkin mengetahui yang menggunakan pin tersebut adalah orang yang
berhak karena bisa saja yang menggunakan pin tersebut adalah saudaranya, temannya, dll. Tetapi
secara yuridis, ketika pin itu digunakan berarti itu harus dianggap kreditur yang berhak, sehingga
konsekuensi berikutnya apabila kartu atm itu hilang maka harus segera memberitahukan kepada
bank. Bank juga akan memberikan peringatan agar pin tersebut tidak sembarang diberikan
kepada pihak lain dan bahkan dalam tempo – tempo tertentu bank selalu memberikan intruksi
agar mengganti pin tersebut secara berkala. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa bank benar –
benar membayar kepada yang berhak dan ini harus dipahami oleh para penyimpan dana sehingga
tidak boleh sembarangan memberikan pin kepada orang lain jadi kalau misalnya orang lain itu
memanfaatkan hal tersebut maka bank menjadi tidak bertanggung jawab.
Karena ini merupakan pinjam meminjam maka uang masyarakat yang disimpan di bank ini
dengan dasar perjanjian pinjam meminjam maka uang itu menjadi milik bank, sehingga dalam
hal ini bank bisa menggunakan uang tersebut untuk kegiatannya. Demikian pula ketika bank
menyalurkan dana ke masyarakat juga apabila berdasarkan pinjam meminjam maka uang yang
disalurkan kepada masyarakat melalui kredit apapun namanya pada prinsipnya uang tersbeut
juga menjadi milik pengambil kredit.

Pertemuan V
HUTANG PIUTANG DALAM KUHPERDATA
Di masyarakat, kita sering menyaksikan dan kita juga sering melakukan pinjam apakah itu
pinjam sepeda, buku, uang atau beras, dsb. Kalau kita melakukan peminjaman tentunya benda
yang kita pinjam itu untuk dipakai (dalam hal ini dipakai kegunaannya). Di dalam bahasa hukum
perdata namanya dinikmati kegunaannya. Di dalam masyarakat itu orang tidak akan
membedakan apakah nanti pinjam buku dengan pinjam uang itu ada perbedaannya atau tidak
yang penting pinjam sesuatu kebendaan itu untuk dipakai kegunaannya.
Di dalam hukum perdata khususnya dilihat dari peraturan perundang – undangan lebih khusus
lagi di dalam KUHPerdata, pembuat undang -undang nampaknya menyadari adanya pembeda –
bedaan itu terkait juga dengan konsekuensi apakah benda tersebut yang dinikmati kegunaannya
itu menjadi habis atau tidak.
Ada benda – benda bergerak yang ketika dinimakti kegunaannya benda itu menjadi hangus, dan
ada juga benda – benda yang ketika dinikmati kegunaannya bendanya tidak hangus atau masih
utuh. Di dalam KUHPerdata, kalau suatu benda dinikmati kegunaannya tidak habis maka
menurut peratura perundang – undangan ketentuan yang mengaturnya di dalam KUHPerdata itu
ada di dalam Bab XII , Pasal 1740 dst dengan judul pinjam pakai. Berbeda kalau ketika
meminjam bend aitu menjadi habis maka di dalam KUHPerdata, ketentuan itu atau
pengaturannya diatur di dalam Bab XIII, Pasal 1754 dst dengan judul pinjam meminjam atau
pinjam mengganti.
Mengenai perbedaan pinjam pakai dan pinjam meminjam ini adalah pembicaraan di dalam lalu
lintas hukum perdata, sedangkan di dalam masyarakat orang tidak membedakan itu.
Kalau kita menelusuri KUHPerdata, tidak akan ditemukan istilah hutang piutang tetapi yang ada
adalah istilah pinjam memimjam yang ada pada pasal 1754 KUHPerdata.

Pasal 1754 KUHPerdata

A B

Pasal 1755 : Peminjam


menjadi pepemilik BENDA pemilik (berlaku pasal 570
KUHPerdata)

Hak Pengembalian dengan cara mengganti Kewajiban


Benda sejenis, jumlah kualitas yang sama

Kalau A dan B sepakat mengadakan pinjam meminjam dimana si A adalah pemberi pinjaman
dan B adalah peminjam maka kalau A dan B ini baru sepakat maka belum lahir perjanjian, lahir
perjanjian kalau benda yang dipinjam sudah diserahkan kepada peminjam. Oleh sebab itu di
dalam perjanjian pinjam meminjam kita dapat mengatakan bahwa sifatnya adalah riil, karena
perjanjian itu baru lahir kalau benda yang dijadikan pokok perjanjian itu sudah diserahkan
kepada penerima pinjaman / peminjam. Dengan demikian penyerahan ini menjadi faktor / unsur
adanya pinjam meminjam. Oleh karena benda yang dipinjam ini adalah benda yang habis karena
dipakai maka pembuat undang – undang menyadari hal itu lalu menyusuli dengan pasal
berikutnya yaitu pasal 1755 KUHPerdata yang pada intinya mengatakan bahwa berdasarkan
pinjam meminjam itu si penerima pinjaman kedudukan hukumnya dijadikan sebagai pemilik.
Jadi misalnya ketika meminjam beras dan ketika beras itu sudah diserahkan kepada penerima
pinjaman maka penerima pinjaman menjadi pemilik atas beras itu karena sebagai pemilik (ketika
berasnya sudah ia kuasai) maka si peminjam itu juga bisa menikmati ketentuan Pasal 570
KUHPerdata mengenai isi hak milik. Begitu pinjam beras / uang sudah diserahkan maka
beras/uang menjadi milik peminjam , sebagai pemilik berdasarkan pasal 570 KUHPerdata, ia
mempunyai hak untuk menikmati kegunaan benda itu dengan leluasa. Di samping ia mempunya
hak untuk menikmati kegunaannya ia juga berhak berbuat bebas dengan kedaulatan penuh.
Berbuat bebas ini ada yang materiil dan ada yang yuridis. Kalau yuridis misalnya ketika pinjam
beras tidak untuk dimasak tetapi untuk dijual berarti menjual itu adalah perbuatan yuridis.
Karena beras / benda yang tadi ketika dinikmati menjadi habis maka bagaimana ia
mengembalikan kepada pemilik? Maka pengembaliannya yaitu dengan cara mengganti benda
yang sejenis dalam jumlah dan kualitas yang sama
Di dalam pembicaraan literatur, menurut doktrin yang terjemahan pinjam meminjam di Bab XIII
itu juga bisa dikatakan sebagai pinjam mengganti
Kalau misalnya benda yang dipinjam itu adalah uang maka kita biasa menamainya dengan
hutang dan kalau misalnya pemberi pinjaman itu adalah bank maka kita bisa menamakan
berdasarkan undang – undang perbankan adalah kredit. Jadi kita sekarang bisa mengatakan kalau
misalnya di dalam pinjam meminjam antara A dan B, si A adalah pemberi pinjaman dan si
pemberi pinjaman itu adalah bank maka berdasarkan undang – undang perbankan maka pinjam
meminjam itu dikenal dengan kredit. Kalau lahirnya itu karena perjanjian bank dengan ansabah
maka di dalam doktrin dikenal dengan istilah perjanjian kredit. Jadi kata kredit itu dari undang –
undang sedangkan perjanjian kredit lahir di dalam praktek perbankan yang dirumuskan oleh
doktrin. Sehingga apabila istilah kredit dicari di dalam KUHPerdata itu tidak akan ada tetapi
harus kita maknai bahwa kredit itu adalah pinjam meminjam uang yang pihaknya dimana si
pemberi pinjamannya itu adalah bank. Oleh sebab itu, nanti penyelesaiannya itu merujuk kepada
Bab XIII yaitu Pasal 1754 dst.
Sekarang bagaimana kalau misalnya bendanya itu berupa uang tetapi pihaknya adalah
perorangan maka kita menyebutnya sebagai hutang piutang. Jadi kalau kita mendengar istilah
hutang piutang lalu ada persoalan dan saudara mencari di KUHPerdata tentang hutang piutang
maka tidak akan ditemukan karena hutang piutang ini berkembang di dalam praktek untuk
menyebut suatu pinjam meminjam yang objek prestasinya adalah uang dan pihaknya bukan
bank. Yang harus dipahami lagi kalau kita mendengar kata hutang, kalau kata hutang ini di
dalam hukum perikatan maka maknanya jauh lebih luas tidak hanya hutang uang tetapi juga
berkaitan dengan hutang prestasi. Prestasi itu bisa untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu.
Dari sini kita bisa mengatakan bahwa istilah hutang piutang itu tidak ada di dalam norma
perundang – undangan tetapi istilah ini berkembang di dalam masyarakat.

Pertemuan VI
PENGGUNAAN UANG PINJAMAN
Pada prinsippnya, di dalam hutang piutang itu si penerima utangan mempunyai keleluasaan
untuk membelanjakan uang utangan karena hutang piutang termamsuk pinjam meminjam yang
oleh Pasal 1755 KUHPerdata, seorang peminjam ini dinyatakan sebagai pemilik atas benda yang
dipinjamnya karena bendanya ketika dinikmati kegunaannya ini menjadi hangus atau habis. Di
dalam masyarakat, biasanya ini di dalam hubungan perseorangan kalau seseorang ini hendak
menyatakan utang umumnya menyatakan tentang kegunaannya misalnya menyatakan utang
untuk bayar spp ternyata di kemudian hari setelah uang itu diterima tidak untuk membayar spp
tetapi untuk beli HP. Sekarang ada persoalan bagaimana kalau penggunaan uang pinjaman itu
tidak sesuai dengan pernyataan si peminjam pada saat mengadakan pinjam meminjam atau
hutang piutang karena sudah terbiasa orang itu ketika mengajukan utang tidak dengan begitu saja
menyatakan utang tetapi pasti menyampaikan alasan – alasannya sehingga nanti meyakinkan
pihak pemberi pinjaman / pemberi utang itu untuk memberikan pinjaman. Kalau misalnya ada
seseorang yang menyatakan pinjam uang untuk bayar spp tetapi ternyata untuk beli hp kira – kira
saudara setuju tidak kalau itu ada kebohongan, karena apa yang dilakukan tidak sesuai denga
napa yang dinyatakan saat ingin mendapatkan pinjaman. Bagaimana akibat hukumnya kalau ada
kebohongan seperti itu? Ternyata di dalam hukum perjanjian kalau hanya kata bohong ini tidak
masuk di dalam istilah yuridis sehingga kalau ada kejadian seperti itu tidak berpengaruh terhadap
keabsahan hutang piutang. Hutang piutangnya tetap lahir, hutang piutangnya tetap sah dan
mengikat. Pada umumnya di dalam hutang perseorangan seperti itu si pemberi pinjaman juga
tidak peduli uang itu digunakan untuk apa karena yang penting nanti pada saatnya uang itu bisa
kembali . Lain halnya kalau yang dilakukan oleh si penerima pinjaman ini terdapat rangkaian
kebohongan sehingga tampak runtut, logis dan meyakinkan sehingga salah satu pihak ini
membebrikan satu hutang / pinjaman. Di dalam ranah hukum kalau ada rangkaian kebohongan
atau yang dikenal dengan istilah tipu muslihat maka ini merupakan penipuan yang di dalam
hukum perdata diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata yang merupakan materi cacat kehendak
yang berakibat kalau ada rangkaian kebohongan lalu lawan janjinya ini punya kehendak untuk
memberikan utang karena ada rangkaian kebohongan maka ini masuk ke dalam materi penipuan
yang di kemudian hari menimbulkan hak bisa menimbulkan suatu hak untuk menuntut
pembatalan hutang piutang meskipun utang itu belum waktunya untuk dibayar kembali, karena
dalam hal ini persoalaannya menjadi persoalan mengenai keabsahan perjanjian. Di samping di
ranah perdata, penipuan ini juga masuk di dalam materi tindak pidana penipuan, bisa dilihat di
Pasal 378 KUHP. Dalam hal ini tentunya berbeda antara sanksi di ranah hukum perdata dengan
pidana. Kalau di ranah hukum perdata, sanksinya ada timbulnya tuntutan untuk pembatalan ,
tetapi kalau penipuan itu merupakan tindak pidana maka sanksinya adalah sanksi pidana. Ini
berlaku kalau ada pernyataan si peminjam yang tidak sesuai dengan penggunaan uangnya
termasuk bagaimana kalau penggunaan uang itu tidak sesuai dengan syarat – syarat yang
ditentukan oleh pemberi pinjaman artinya karena ada syarat – syarat seperti itu yang ditetapkan
oleh pemberi pinjaman maka konstruksinya hutang piutang itu tidak akan terjadi kalau
persyaratan itu tidak dipenuhi oleh si peminjam kalau syarat tidak dipenuhi maka hutang piutang
tesrsebut tidak akan pernah terjadi. Kalau maksudnya memberikan pinjaman dan penggunaannya
itu unntuk belanja tertentu atau untuk urusan – urursan tertentu maka kalau hal seperti itu
dituangkan dalam perjanjian pinjam meminjam maka ini sudah keluar dari kausa pinjam
meminjam jadi tidak bisa dikatakan pinjam meminjam, tidak bisa dikatakan lagi hutang piutang
karena memang tujuan bersama dari para pihak yaitu akibat hukum yang ditimbulkan itu sudah
tidak sesuai lagi dengan kausa pinjam meminjam karena ada persyaratan tentang penggunaan
tadi sehingga kalau tetap digunakan di dalam peerjanjian pinjam meminjam atau hutang piutang
maka disana ada kausa palsu karena ada akibat hukum tersendiri ketika ada maksud seperti itu
dituangkan dalam pinjam meminjam, misalnya di dalam Pasal 1336 KUHPerdata itu disana
dikatakan ada kausa palsu. Kalau ada kausa palsu tidak berarti perjanjian itu lalu perjanjian itu
dengan serta merta batal demi hukum kalau kausa yang sebenarnya juga tidak bertentangan
dengan undang – undang dn kausa yang palsu juga tidak bertentangan hanya berbeda antara
biasanya kalau akta itu perjanjian biasanya kalau akta itu perjanjian dengan harta maka antara
judul dan isi itu tidak sama dan itu tidak menjadi persoalan sepanjang kedua kausanya itu tidak
bertentangan dengan undang – undang. Kalau misalnya maksud dari pemberi pinjaman ini benar
– benar dimaksudkan penggunaannya ini untuk maksud tertentu maka ini sudah bukan kausa
pinjam meminjam atau bukan kausa utang piutang. Lalu kausa apa? Kita bisa meneliti di dalam
praktek dan ini sudah lembaganya di Indonesia meskipun belum dalam bentuk undang –
undang , kalau memang maksudnya seperti itu maka hal ini merupakan kausa dari perjanjian
pembiayaan yang dalam hal ini adalah pembiayaan konsumen. Jadi di dalam perjanjian
pembiayaan konsumen itu, perusahaan pembiayaan konsumen tidak memberikan utang, tidak
memberikan pinjaman uang tetapi ia menyediakan pendanaan untuk pembelian benda – benda
yang bersifat konsumtif. Misalnya sebuah perusahaan pembiayaan memang mensyaratkan bahwa
pendanaannya ini untuk pembelian kendaraan bermotor maka tidak bisa hal itu lalu si perusahaan
pembiayaan konsumen itu lalu menyerahkan uang akan tetapi perusahaan pembiayaan konsumen
langsung mendanai kebutuhan konsumen yaitu kebutuhan untuk mendapatk an sepeda motor
melalui jual beli maka perusahaan pembiayaan konsumen langsung membayar kepada penjual
lalu pembeli menerima benda yang ia beli dengan bayaran lunas dari perusahaan pembiayaan
konsumen lalu si pembeli ini selaku konsumen nanti akan mengangsur kepada perusahaan
pembiayaan konsumen.
Kalau saudara misalnya meneliti mengenai perjanjian pembiayaan konsumen disana kausanya,
konstrusinya bukan pemberian pinjam meminjam dan si konsumen ini juga bukan membeli
motor dengan kredit tetapi melalui pembiayaan, dia membelinya lunas yang dibayari oleh
perusahaan pembiayaan konsumen lalu mengembalikan pembelian itu dengan cara mengangsur
setiap bulan.

Pertemuan VII
AKIBAT TIDAK BAYAR UTANG
Pemberi pinjaman / pemberi utang : kreditur
Penerima utang / penerima pinjaman : debitur
Sebab – sebab seorang debitur tidak bayar hutang :
1. Tidak mampu membayar
a. Karena debitur sudah tidak mempunyai lagi harta kekayaan yang cukup untuk membayar
utang – utangnya kepada kreditur
b. Keadaan yang tidak terduga (overmacht)
Si debitur sebenarnya sudah punya itikad baik untuk membayar (sudah disiapkan uangnya)
tetapi karena keadaan yang tidak terduga uang itu dicuri/ dirampok , atau sebelum
membayar itu uang yang telah disiapkannya itu ternyata rumahnya dilanda banjir bandang
sehingga uangnya hanyut. Maka kalau ada keadaan overmacht terhadap debitur untuk
membayar hutang, ini secara hukum perdata, overmacht ini tidak berlaku. Artinya keadaan
overmacht / keadaaan yang tidak terduga yang membuat hangusnya uang yang disediakan
pembayaran itu tidak lagi dapat dijadikan alasan untuk hapusnya utang.
Bagaimana akibat hukumnya terkait kedua keadaan ini ?
Akibat hukumnya yaitu :
1. Utang tidak akan menjadi hapus (Ps. 1131 ) , artinya hak kreditur itu tidak akan hapus dan
tidak akan mengalami kadaluwarsa. Dapat dilihat dari Pasal 1131 yang menjelaskan bahwa
semua kebendaan debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, baik yang sudah ada atau yang baru aka nada di kemudian
hari semuanya menjadi jaminan perikatannya bagi kreditur. Oleh sebab itu, pada saat jatuh
tempo si debitur itu tidak mampu karena tidak memiliki lagi harta maka utang itu masih
dapat ditagih, masih dapat dibayar ketika suatu saat misalnya si debitur itu mendapakat suatu
undian yang menyebabkan si debitur mempunyai harta lagi. Atau usahanya menjadi tumbuh
berkembang lagi atau menerima warisan. Maka dalam hal ini si kreditur masih bisa menagih
dan kewajibannya itu masih melekat kepadanya. Dengan demikian terhdap debitur yang
tidak mampu membayar ini tidak dapat ditempuh hukum pidana / dipidana mskipun di
dalam undang – undang hak asasi manusia itu sudah ditegaskan bahwa tidak mampu
membayar itu tidak dapat dipidana, tetapi sebelum ada undang – undang itu kalau ada
debitur yang tidak mampu membyar ini tetap tidak dapat dilanjutkan ke dalam ranah pidana
karena dalam hal ini merupakan ranah perdata yang sanksinya itu , khususnya hukum
perjanjian itu menyasar kepada kekayaan debitur jd bukan pada diri si debitur. Kalau
kekayaannya tidak ada maka akan ditunggu sampai si debitur itu memiliki kekayaan
kembali.
Lalu bagaimana kalau si debitur itu pailit? Apabila terjadi kepailitan artinya si debitur itu
sebenarnya masih memiliki harta, akan tetapi si debitur itu memiliki kreditur yang lebih dari
satu yang jumlah tagihannya / utangnya debitur kepada kreditur itu jauh lebih besar
dibanding dengan kekayaan si debitur. Maka kalau nanti ada permohonan kepailitan, entah
permohonan dari kreditur ataupun debitur kalau itu dikabulkan pengadilan maka harus ada
penyelesaian kepailitan. Penyelesaian kepailitan itu harus ada : 1). Penetapan dari
pengadilan , 2) Ditetapkan harta kepailitan (seberapa besar ), 3). Diadakan verifikasi
terhadap kreditur. Dalam rangka membuat urut – urutan (diklarifikasikan apakah itu kreditur
konkuren, kreditur preferen, kreditur yg mempunyai hak istimewa) maka nanti akan
diselesaikan berdasarkan urutan – urutan itu. Akibat lebih lanjut apabila si kreditur preferen
ini sudah diselesaikan atau dibayar lebih dulu dan menyisakan harta yang diperuntukkan
untuk kreditur konkuren lalu harta itu tidak cukup membayar penuh semua kreditur
konkuren lalu ada sisa dan ada hutang yang masih harus dibayar kepada kredidur, maka
akibat hukumnya terhadap sisa hutang di dalam kepailitan atau tagaihannya yang tidak
dibayar penuh di dalam kepailitan ini statusnya berubah menjadi perikatan alamiah /
perikatan bebas. Kewajibannya si debitur ini adalah kewajibam bebas yang tidak dapat
digugat melaui pengadilan. Kreditur masih mempunyai tagihan terhadap debitur tetapi
tagihan itu tidak dapat diwujdukan melalui pengadilan. Apakah ada hutang ? Ada, Buktinya
apa? Kalau itu dibayar maka tidak dapat ditarik kembali
2. Tidak mau membayar
Artinya si debitur itu memiliki harta yang cukup tetapi tidak ada kehendak, kemauan untuk
membayar hutangnya kepada kreditur.
Lalu bagaimana akibatnya? Dengan bertitik tolak pada penyelesaian yang tadi di dalam
kondisi debitur yang tidak mampu bayar maka di dalam setiap kewajiban hukum perdata itu,
sanksinya adalah menyasar kepada harta kekayaan bukan pada diri seseorang. Maka
tindakan yang harus dilakukan oleh si kreditur adalah harus menempuh jalan gugatan
perdata ke pengadilan sekaligus disertai dengan permohonan sita jaminan. Ketika
memasukan gugatan sekaligus mengajukan permohonan, mengajukan benda – benda milik
debitur untuk diletakkan sita pada benda tersebut yang bertujuan untuk menjamin ketika
nanti si kreditur dimenangkan, untuk menjamin putusan pengadilan / eksekusi sdehingga
nanti benda yang disita itu bisa dijual lelang dan hasilmya itu untuk membayar kreditur.

Dengan demikian kalau kita menghadapi debitur yang tidak mau membayar hutang maka debitur
juga tidak dapat diajukan pidana / ditempuh pidana. Di dalam praktek, biasanya kalau
menghadapi debitur yang tidak mau membayar hutang biasanya si kreditur ini menyuruh
seseorng untuk menagih, biasanya debt collector.
Bagaimana kalau misalnya tidak mampunya debitur membayar utang ini karena adanya itikad
buruk (ketidakmampuannya itu mungkin karena kesengajaan) meskipun sudah dijamin dengan
keseluruhan harta tetapi dibuat tidak punya harta nantinya ada pasal yang memperkuat Pasal
1131 yaitu di Pasal 1341 yang kita kenal dengan istilah action pauliana.

Anda mungkin juga menyukai