150-163
doi: 10.19184/ejlh.v4i3.5361
© University of Jember, 2017
Published online 17 December 2017
Abstrak
Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan fungsi pengawasan memiliki 3 (tiga) hak
antara lain hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Pada tahun 2017 Dewan
Perwakilan Rakyat menggulirkan hak angket kepada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
dianggap inkonstitusional. Karena menurut penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No.
17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Pewakilan Rakyat Daerah mengklasifikasikan Komisi
Pemberantasan Korupsi bukan termasuk objek angket. Namun menurut Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan
lembaga eksekutif dan sebagai pelaksana undang-undang sehingga dapat diawasi melalui
mekanisme angket, putusan tersebut dinilai bertentangan dengan 4 (empat) putusan
Mahkamah Konstitusi terdahulu yang menggolongkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
lembaga independen. Artikel ini mengkaji keabsahan hak angket yang ditujukan Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan analisis konsistensi 5 (lima)
putusan Mahkamah Konstitusi yang memeriksa terkait kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi. Sesungguhnya hak-hak yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat termasuk hak angket
adalah mekanisme saling mengawasi dan kontrol terhadap lembaga-lembaga negara lain, tetapi
ada aturan secara formil dan materiil yang wajib dipenuhi agar pelaksanaannya sah secara
hukum, yang terjadi pada pengguliran hak angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam perkara korupsi e-KTP mengabaikan syarat tersebut.. Artikel ini
diakhiri dengan saran untuk mendorong DPR agar berhati-hati dalam menggunakan hak
angket sebagai mekanisme pengawasan serta mendorong Mahkamah Konstitusi untuk
konsisten terhadap putusan-putusan yang sudah diputus sebelumnya terkait perkara yang
sama demi tercapainya kepastian hukum.
Kata Kunci: Hak Angket, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Mahkamah Konstitusi
Abstract
The House of Representatives in carrying out the supervisory function has 3 (three) rights including interpellation
rights, inquiry rights and the right to express opinions. In 2017 the House of Representatives rolled out inquiry
rights to the Corruption Eradication Commission which was considered unconstitutional. Because according to
the explanation of Article 79 paragraph (3) Act No. 17 of 2014 concerning the People's Consultative Assembly, the
House of Representatives, the Regional Representative Council and the Regional People's Representative Council
classify the Corruption Eradication Commission not as the object of the questionnaire. But according to the
Decision of the Constitutional Court Number 36/PUU-XV/2017 said the Corruption Eradication Commission
is an executive institution and as the implementing law so that it can be monitored through a questionnaire
mechanism, the verdict is considered contrary to 4 (four) previous Constitutional Court decisions that classify
the Eradication Commission Corruption as an independent institution. This article examines the validity of the
questionnaire rights addressed by the House of Representatives to the Corruption Eradication Commission and
the consistency analysis of 5 (five) Constitutional Court decisions that examine the position of the Corruption
Eradication Commission. Indeed, the rights of the House of Representatives, including the right to inquiry, are
2 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
mechanisms for mutual oversight and control of other state institutions, but there are formal and material rules
that must be fulfilled so that their implementation is lawful, which occurs in the House of Representative inquiry
rights. against the Corruption Eradication Commission in the electronic identitity card corruption case ignored
the requirement. This article concludes with a suggestion to encourage the House of Representative to be careful
in using inquiry rights as a monitoring mechanism and encourage the Constitutional Court to be consistent with
decisions that have been previously decided regarding the same cases for achieving legal certainty.
Keywords: Inquiry rights, House of Representatives, Corruption Eradication Commission, Constitutional Court
PENDAHULUAN
Dewan Perwakilan Rakyat termasuk kategori kekuasaan legislatif, di dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangannya seperti yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, konsep tersebut menganut teori
Trias Politica yang dilahirkan oleh Montesquieu.1 DPR sebagai pelaksana kekuasaan
legislatif, dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPR mempunyai hak khusus yakni
hak angket yang diatur pada pasal 20 A ayat (2) UUD 1945. Hak tersebut diberikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna menjalankan mekanisme check and balances
system. Tetapi, pelaksanaan hak angket ini seringkali dianggap sebagai hambatan
dalam menjalankan penegakan hukum. Terakhir kali yang menyita perhatian publik
adalah penggunaan hak angket yang ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang disetujui oleh DPR di tahun 2017, yang dikhawatirkan pembentukan pansus
angket tersebut digunakan untuk agenda tertentu yaitu mengintervensi bahkan
cenderung melemahkan kewenangan serta fungsi KPK yang berkedudukan sebagai
lembaga negara independen dan tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan manapun 2
dengan tujuan menjalankan fungsinya untuk mencegah dan memberantas korupsi di
Indonesia.
Pada 30 Mei 2017, melalui rapat paripurna DPR resmi mengesahkan
pembentukan Pansus Hak Angket KPK. Pansus tersebut tetap dibentuk meskipun
banyak yang menolak mulai dari masyarakat dan beberapa Fraksi dalam DPR. Pansus
Hak Angket KPK diberikan waktu selama 60 hari masa kerja untuk melakukan upaya
menghimpun keterangan dan melakukan penyelidikan terkait fungsi memberantas
korupsi yang dimiliki KPK.3 Meskipun sudah disahkan di rapat paripurna, adanya
Pansus Hak Angket KPK tetap menuai respon negatif kalangan masyarakat dan
akademisi. Karena menduga akan timbul konflik kepentingan (conflict of interest), sebab
pengajuan hak angket bertujuan untuk mendesak KPK mengungkapkan rekaman
pemeriksaan Miryam S. Haryani, yang merupakan anggota DPR dan telah menjadi
terpidana karena telah memberikan kesaksian palsu dalam perkara korupsi E-KTP
yang menjerat banyak anggota dewan.
1
Charles De Montesquieu, Montesquieu: The spirit of the laws (Cambridge University Press, 1989).
2
Lihat Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
3
Lihat Pasal 206 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD
(MD3)
3 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM
4 Gibran Maulana Ibrahim, “Ini Sederet Alasan DPR Gulirkan Hak Angket KPK”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/04/28/152648/3486828/10/ini-sederet-alasan-dpr-gulirkan-hak-
angket-kpk>.
5
Ibid.
6
Kompas Cyber Media, “Survei LSI: DPR, Lembaga Negara dengan Tingkat Kepercayaan Terendah”, (31
July 2018), online: KOMPAS.com <https://nasional.kompas.com/read/2018/07/31/17242921/survei-lsi-dpr-
lembaga-negara-dengan-tingkat-kepercayaan-terendah>.
7 Bayu Dwi Anggono, Perkembangan pembentukan undang-undang di Indonesia (Konstitusi Press, 2014).
8 Ibid.
4 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
9
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017
5 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM
B. Fungsi dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut Undang-
Undang No. 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali
Diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD
Fungsi DPR RI sebagaimana diamanatkan UUD NRI 1945 diatur lebih
lanjut didalam Undang-Undang No. 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan
DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan Undang-Undang No. 2
Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD pada Bagian Kedua pada Pasal 69
ayat (1) dan (2) serta Pasal 70 ayat (1), (2) dan (3). Berdasarkan pasal 69 ayat
(1), DPR mempunyai fungsi yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan.
Dijelaskan pada ayat (2) yang mana ketiga fungsi legislasi, pengawasan, dan
anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka
representasirakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam
melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
10
“Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)”, online: hukumonline.com/klinik
<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5116a70500028/mengenai-penyidik-pegawai-negeri-sipil-
ppns>.
11
admin, “Penjelasan Pasal 24 Sampai Pasal 24C UUD 1945”, (19 July 2015), online: LIMC4U
<http://limc4u.com/uud-1945/penjelasan-pasal/penjelasan-pasal-24-sampai-pasal-24c-uud-1945/>.
6 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta
besar negara lain. Huruf k, memilih anggota BPK dengan memperhatikan
pertimbangan DPD. Huruf l, memberikan persetujuan kepada Presiden atas
pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Huruf m,
memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial
untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden dan terakhir huruf n,
memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada
Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.
C. Hak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut Undang Undang No. 17
tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD
Hak DPR RI diatur lebih lanjut didalam Undang-Undang No. 17 tahun
2014 Tentang MPR, DPR dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah
dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD
pada Bagian Kelima pada Pasal 79 ayat (1), (2), (3) dan (4). Pada pasal 79
ayat (1) disebutkan hak DPR meliputi a. hak interpelasi, b. hak angket dan c.
hak menyatakan pendapat.
Dijelaskan pada ayat (2) dimana hak interpelasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada
Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemudian pada ayat (3) dijelaskan hak angket sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Terakhir pada ayat (4) hak menyatakan pendapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat
atas a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi
di tanah air atau di dunia internasional, b. tindak lanjut pelaksanaan hak
interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan c. dugaan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun
perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
D. Pengertian Hak Angket Menurut Undang Undang No. 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR
dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun
2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD
8 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
12
Bryan A Garner, “Black’s law dictionary” (2004) at 638.
13
Pusat Bahasa Depdiknas, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (2002) Ed Ketiga Jkt Balai Pustaka at 69.
9 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM
F. Keabsahan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi
Kronologis bergulirnya hak angket KPK dimulai pada 18 April 2017,
Bermula dari rapat dengar pendapat DPR bersama KPK. Dalam rapat dengar
pendapat ini, Komisi III meminta KPK agar membuka rekaman proses
pemeriksaan BAP Miryam S. Haryani dan KPK menolak membuka hasil
rekaman tersebut walaupun untuk mengklarifikasi adanya indikasi-indikasi
dalam penyelesaian kasus korupsi e-KTP yang menyeret beberapa nama
anggota DPR.14
Keesokan harinya pada 19 April 2017, rapat dengar pendapat kembali
dilanjutkan antara Komisi III dengan KPK. Dengan sikap yang sama, KPK
tetap menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan BAP Miryam. Benny K
Harman selaku pimpinan Komisi III, mendorong komisinya untuk
menggunakan upaya paksa melalui penggunaan hak angket. Beberapa fraksi
setuju digunakannya hak angket, fraksi yang setuju diantaranya Gerindra,
Golkar, PDIP, Demokrat, PPP dan, NasDem. Sedangkan, PAN, PKS, dan
Hanura memilih untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan
fraksi dan PKB belum ada sikap resmi karena absen saat rapat berlangsung.15
20 April 2017, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan pihaknya
tidak hanya akan menggulirkan hak angket terhadap KPK. Komisi III juga
melakukan penyelidikan terhadap laporan hasil pemeriksaan (LHP) KPK
oleh BPK yang diduga terdapat penyimpangan dan tidak wajar.16
Seminggu kemudian pada 26 April 2017, dalam sidang paripurna
disebutkan surat masuk usulan mengenai hak angket belum dikirimkan oleh
Komisi III. Untuk menindaklanjutinya pimpinan DPR beserta pimpinan
fraksi melaksanakan rapat badan musyawarah dan memutuskan pembahasan
hak angket e-KTP dilaksanakan dalam sidang paripurna esok hari. Fahri
Hamzah menyebutkan 8 fraksi setuju terhadap pengusulan hak angket.
Tetapi Demokrat, Gerindra dan PKB berubah sikap untuk menolak hak
angket. Keesokan harinya PKS menolak keberadaan hak angket terkait kasus
e-KTP.
14
Elza Astari Retaduari, “Perjalanan Hak Angket KPK hingga Disetujui Paripurna DPR”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/04/28/130354/3486565/10/perjalanan-hak-angket-kpk-hingga-
disetujui-paripurna-dpr>.
15 Ibid.
16 Ibid.
10 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
17 Ibid.
18
Koentjoro Purbopranoto, Beberapa catatan hukum tata pemerintahan dan peradilan administrasi negara (Alumni,
1975) at 48–49.
19 Lihat Pasal 206 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD
(MD3)
11 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM
20Lihat Pasal 201 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD
(MD3)
12 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
memutuskan sikap setuju atau tidak setuju terhadap usulan penggunaan hak
angket tersebut, dalam hal ini hak angket KPK.21
Prosedur pengambilan keputusan persetujuan terhadap hak angket KPK
yang dilaksanakan hanya melalui penjelasan pengusul hak angket, dan
dilanjutkan pengambilan keputusan langsung secara sepihak oleh pimpinan
sidang paripurna Fahri Hamzah selaku pimpinan, tanpa melalui mekanisme
pengambilan suara terhadap seluruh anggota DPR yang hadir dalam rapat
paripurna, jelas tindakan tersebut menyalahi ketentuan Pasal 199 ayat (3)
UU MD3.
Fahri Hamzah menyatakan hal tersebut dilaksanakan secara aklamasi
sehingga tidak perlu melaksanakan pengambilan suara setiap anggota DPR
yang hadir dalam rapat paripurna sebagaimana diatur Pasal 199 ayat (3) UU
MD3. Jelas hal ini sudah menyalahi aturan. Padahal beberapa fraksi yang
diwakili oleh beberapa anggota DPR saat sidang paripurna tersebut
menyatakan tidak setuju atas penggunaan hak angket KPK, penolakan dari
beberapa angota DPR membuktikan mekanisme aklamasi tidak bisa
dilaksanakan. Sehingga, jika sesuai peraturan maka harus dilakukan voting
untuk setiap anggota DPR yang hadir.
Selanjutnya ada indikasi pelanggaran substansi terkait digulirkannya
hak angket DPR terhadap KPK. Dalam rangka fungsi pengawasan DPR
memliki 3 (tiga) hak antara lain hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. Terkait pengertian dan siapa saja yang termasuk
kedalam subjek angket diatur pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3.
Pengertian hak angket tercantum pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang
berbunyi: Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Lantas siapakah pemerintah yang disebutkan pada Pasal 79 ayat (3) UU
MD3 tersebut, hal ini sudah dituangkan dalam penjelasan Pasal 79 ayat (3)
yaitu: Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah
dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil
Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.
Jika merujuk pada penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3, jelas KPK tidak
termasuk kedalam klasifikasi siapakah Pemerintah itu. Untuk mengetahui
apakah KPK termasuk kedalam kualifikasi Lembaga Pemerintah Non
21
Bayu Dwi Anggono, “Angket DPR untuk KPK Langgar Konstitusi”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/05/04/130644/3491659/103/angket-dpr-untuk-kpk-langgar-
konstitusi>.
13 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM
22 Ibid.
14 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
G. Implikasi Pengajuan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi
Ada 4 aspek yang menjadi rekomendasi pansus angket KPK sebagai hasil
mereka bekerja selama batas waktu yang ditentukan. Aspek yang dimaksud
antara lain, aspek kelembagaan, aspek kewenangan, aspek tata kelola
anggaran, dan aspek Sumber Daya Manusia (SDM). 24 Pertama dalam aspek
kelembagaan, KPK harus menyempurnakan struktural organisasi sehingga
sesuai dengan tugas dan kewenangannya seperti tercantum dalam Undang-
Undang KPK atara lain, koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan
monitoring. Kedua, KPK harus lebih meningkatkan upaya membangun
kerjasama dengan lembaga penegak hukum serta lembaga lain yang berkaitan
23Ibid.
24Joko Panji Sasongko, “Kerja Pansus Angket KPK Selesai dengan Empat Rekomendasi”, online: nasional
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-pansus-angket-kpk-selesai-
dengan-empat-rekomendasi>.
15 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM
dengan tugas dan kewenangan KPK seperti BPK, LPSK, PPATK, Komnas
HAM, dan pihak perbankan, sehingga pemberantasan korupsi berjalan
maksimal karena integrasi antar lembaga negara.
Ketiga, KPK diminta untuk membentuk lembaga pengawas independen
yang beranggotakan unsur internal dan eksternal KPK dengan kriteria
anggota merupakan tokoh-tokoh yang berintegritas. Pembentukannya
diserahkan menurut mekanisme internal KPK. Dalam aspek kewenangan,
pansus merekomendasikan yang pertama, agar KPK lebih meningkatkan
koordinasi dan melakukan supervisi dengan Kepolisian dan Kejaksaan
sebagai upaya Trigger Mechanism. Kedua, KPK diharapkan untuk
mempertimbangkan prinsip HAM atau due process of law dalam
menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta
berpedoman pada peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-
Undang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang tentang HAM.
Ketiga, mendorong KPK agar membangun sistem pencegahan korupsi
yang sistematis sehingga maksimal dalam usaha agar korupsi tidak terulang
kembali yang akan menyelamatkan keuangan negara. Dalam segi anggaran,
Pansus Angket merekomendasikan, pertama, agar KPK mengoptimalkan dan
memperbaiki tata kelola anggarannya menurut hasil rekomendasi dari BPK.
Kedua, DPR mengupayakan usaha untuk meningkatkan anggaran KPK
dalam penggunaan anggaran untuk fungsi pencegahan, seperti pendidikan,
sosialisasi, dan kampanye antikorupsi sehingga pemberantasan korupsi
dapat berjalan optimal. Terakhir, dari aspek manajemen SDM, Pansus
Angket menghasilkan rekomendasi KPK untuk, pertama, memperbaiki
menajerial SDM berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang SDM
atau kepegawaian. Kedua, KPK diminta untuk transparan dan terukur dalam
proses pengangkatan, promosi, mutasi, rotasi, sampai pemberhentian SDM di
KPK berpedoman pada undang-undang yang mengatur tentang aparatur sipil
negara, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Merespon hasil rekomendasi Pansus Hak Angket, KPK mengirimkan
surat sebagai sikapnya yang berisi, bahwa KPK menghormati kewenangan
DPR sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi pengawasan, KPK
sepakat dengan beberapa rekomendasi pansus angket KPK dan juga putusan
Mahkamah Kontisusi Nomor 36/PUU-XV/2017 yang memutuskan KPK
sebagai subjek hak angket.25
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN) dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas merilis kajian yang ditandatangani oleh sebanyak 132
Guru Besar Hukum dari berbagai universitas, mengenai hak angket DPR
25 Ibid.
16 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
26 Fachrur Rozie14 Jun 2017 & 18:53 Wib, “132 Guru Besar Hukum Sebut Hak Angket KPK Cacat”,
online: liputan6.com <https://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-besar-hukum-sebut-hak-
angket-kpk-cacat>.
27 Dian Andryanto, “PUSaKO: KPK Sebaiknya Tidak Mengakui Keberadaan Pansus Hak Angket”, (11
31
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 at 105-106
32 Ibid at 124
19 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM
33 Andi Saputra, “KPK Bagian Eksekutif atau Yudikatif? Ini Jawaban MK”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/07/14/110419/3559954/10/kpk-bagian-eksekutif-atau-yudikatif-ini-
jawaban-mk>.
34 Ibid.
20 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
37
Lihat Pasal 29 angka 4 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
22 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
38 “Putusan MK Soal Hak Angket Dinilai Mengabaikan Asas Final and Binding”, (16 February 2018),
online: hukumonline.com <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a86c02da653c/putusan-mk-soal-
hak-angket-dinilai-mengabaikan-asas-ifinal-and-binding-i>.
39 Ibid.
40 Ibid.
24 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
III. PENUTUP
Hak Angket DPR terhadap KPK melanggar prinsip independensi yang dimiliki
oleh KPK, selain itu hak angket tesebut cacat hukum karena tidak memenuhi syarat
formil dan materil, karena panitia angket dalam tahap pengusulan, pelaksanaan sampai
pengambilan keputusan tidak sesuai dengan mekanisme ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam segi
materiil, dinilai KPK bukan merupakan cabang kekuasaan eksekutif yang dapat
diangket seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
No.17 tahun 2014. Namun KPK mempunyai kedudukan independen dalam
perkembangan teori ketatanegaraan modern dan menjalankan fungsi yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman namun bukan pelaku kekuasaan kehakiman
Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017 tidak konsisten terhadap
4 putusan yang menyinggung keberadaan KPK antara lain Putusan No.012-016-
019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan No.5/PUU-IX/2011.
Empat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa kedudukan KPK
murni sebagai lembaga negara independen dan bebas dari pengaruh serta intervensi
cabang kekuasaan manapun dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan
memberantas korupsi. Namun putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017
memasukan KPK sebagai eksekutif.
Saran bagi Dewan Perwakilan Rakyat, agar lebih berhati-hati dalam
menggunakan hak angket sebagai mekanisme pengawasan, harus ada kajian lebih
komperehensif dan mempertimbangkan dampak kedepannya. Penggunaan hak angket
harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku baik secara formil
dan materiil. Mahkamah Konstitusi harus lebih konsisten dan taat asas dalam
memutuskan sebuah perkara mengingat sifat putusannya yang final dan binding
sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum kembali serta harus mempertimbangkan
putusan-putusan yang telah diputus sebelumnya.
41 Ibid.
25 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM
Buku:
Anggono, Bayu Dwi. Perkembangan pembentukan undang-undang di Indonesia (Konstitusi Press, 2014).
De Montesquieu, Charles. Montesquieu: The spirit of the laws (Cambridge University Press, 1989).
Purbopranoto, Koentjoro. Beberapa catatan hukum tatapemerintahan dan peradilan administrasi negara
(Alumni, 1975).
Depdiknas, Pusat Bahasa. “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (2002) Ed Ketiga Jkt Balai Pustaka.
Sumber Internet:
admin. “Penjelasan Pasal 24 Sampai Pasal 24C UUD 1945”, (19 July 2015), online: LIMC4U
<http://limc4u.com/uud-1945/penjelasan-pasal/penjelasan-pasal-24-sampai-pasal-24c-
uud-1945/>.
Andryanto, Dian. “PUSaKO: KPK Sebaiknya Tidak Mengakui Keberadaan Pansus Hak Angket”,
(11 June 2017), online: Tempo <https://nasional.tempo.co/read/883516/pusako-kpk-
sebaiknya-tidak-mengakui-keberadaan-pansus-hak-angket>.
Anggono, Bayu Dwi. “Angket DPR untuk KPK Langgar Konstitusi”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/05/04/130644/3491659/103/angket-dpr-untuk-kpk-
langgar-konstitusi>.
Ibrahim, Gibran Maulana. “Ini Sederet Alasan DPR Gulirkan Hak Angket KPK”, online:
detiknews <https://news.detik.com/read/2017/04/28/152648/3486828/10/ini-sederet-alasan-
dpr-gulirkan-hak-angket-kpk>.
Jun 2017, Fachrur Rozie14 & 18:53 Wib. “132 Guru Besar Hukum Sebut Hak Angket KPK
Cacat”, online: liputan6.com <https://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-
besar-hukum-sebut-hak-angket-kpk-cacat>.
Media, Kompas Cyber. “Survei LSI: DPR, Lembaga Negara dengan Tingkat Kepercayaan
Terendah”, (31 July 2018), online: KOMPAS.com
<https://nasional.kompas.com/read/2018/07/31/17242921/survei-lsi-dpr-lembaga-negara-
dengan-tingkat-kepercayaan-terendah>.
Retaduari, Elza Astari. “Perjalanan Hak Angket KPK hingga Disetujui Paripurna DPR”, online:
detiknews <https://news.detik.com/read/2017/04/28/130354/3486565/10/perjalanan-hak-
angket-kpk-hingga-disetujui-paripurna-dpr>.
Saputra, Andi. “KPK Bagian Eksekutif atau Yudikatif? Ini Jawaban MK”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/07/14/110419/3559954/10/kpk-bagian-eksekutif-atau-
yudikatif-ini-jawaban-mk>.
26 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini
Sasongko, Joko Panji. “Kerja Pansus Angket KPK Selesai dengan Empat Rekomendasi”, online:
nasional <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-
pansus-angket-kpk-selesai-dengan-empat-rekomendasi>.
Setiawan, Kodrat. “Dissenting Opinion, 4 Hakim MK Tolak KPK Sebagai Objek Hak Angket”,
(8 February 2018), online: Tempo <https://nasional.tempo.co/read/1058816/dissenting-
opinion-4-hakim-mk-tolak-kpk-sebagai-objek-hak-angket>.
“Putusan MK Soal Hak Angket Dinilai Mengabaikan Asas Final and Binding”, (16 February
2018), online: hukumonline.com
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a86c02da653c/putusan-mk-soal-hak-
angket-dinilai-mengabaikan-asas-ifinal-and-binding-i>.