Anda di halaman 1dari 26

e-Journal Lentera Hukum, Volume 4 Issue 3 (2017), pp.

150-163
doi: 10.19184/ejlh.v4i3.5361
© University of Jember, 2017
Published online 17 December 2017

Keabsahan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik


Indonesia Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
Perkara Korupsi E-KTP
Fahmi Ramadhan Firdaus
Faculty of Law, University of Jember
fhmiramadhan@gmail.com

Abstrak
Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan fungsi pengawasan memiliki 3 (tiga) hak
antara lain hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Pada tahun 2017 Dewan
Perwakilan Rakyat menggulirkan hak angket kepada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
dianggap inkonstitusional. Karena menurut penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No.
17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Pewakilan Rakyat Daerah mengklasifikasikan Komisi
Pemberantasan Korupsi bukan termasuk objek angket. Namun menurut Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan
lembaga eksekutif dan sebagai pelaksana undang-undang sehingga dapat diawasi melalui
mekanisme angket, putusan tersebut dinilai bertentangan dengan 4 (empat) putusan
Mahkamah Konstitusi terdahulu yang menggolongkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
lembaga independen. Artikel ini mengkaji keabsahan hak angket yang ditujukan Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan analisis konsistensi 5 (lima)
putusan Mahkamah Konstitusi yang memeriksa terkait kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi. Sesungguhnya hak-hak yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat termasuk hak angket
adalah mekanisme saling mengawasi dan kontrol terhadap lembaga-lembaga negara lain, tetapi
ada aturan secara formil dan materiil yang wajib dipenuhi agar pelaksanaannya sah secara
hukum, yang terjadi pada pengguliran hak angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam perkara korupsi e-KTP mengabaikan syarat tersebut.. Artikel ini
diakhiri dengan saran untuk mendorong DPR agar berhati-hati dalam menggunakan hak
angket sebagai mekanisme pengawasan serta mendorong Mahkamah Konstitusi untuk
konsisten terhadap putusan-putusan yang sudah diputus sebelumnya terkait perkara yang
sama demi tercapainya kepastian hukum.
Kata Kunci: Hak Angket, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Mahkamah Konstitusi

Abstract
The House of Representatives in carrying out the supervisory function has 3 (three) rights including interpellation
rights, inquiry rights and the right to express opinions. In 2017 the House of Representatives rolled out inquiry
rights to the Corruption Eradication Commission which was considered unconstitutional. Because according to
the explanation of Article 79 paragraph (3) Act No. 17 of 2014 concerning the People's Consultative Assembly, the
House of Representatives, the Regional Representative Council and the Regional People's Representative Council
classify the Corruption Eradication Commission not as the object of the questionnaire. But according to the
Decision of the Constitutional Court Number 36/PUU-XV/2017 said the Corruption Eradication Commission
is an executive institution and as the implementing law so that it can be monitored through a questionnaire
mechanism, the verdict is considered contrary to 4 (four) previous Constitutional Court decisions that classify
the Eradication Commission Corruption as an independent institution. This article examines the validity of the
questionnaire rights addressed by the House of Representatives to the Corruption Eradication Commission and
the consistency analysis of 5 (five) Constitutional Court decisions that examine the position of the Corruption
Eradication Commission. Indeed, the rights of the House of Representatives, including the right to inquiry, are
2 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

mechanisms for mutual oversight and control of other state institutions, but there are formal and material rules
that must be fulfilled so that their implementation is lawful, which occurs in the House of Representative inquiry
rights. against the Corruption Eradication Commission in the electronic identitity card corruption case ignored
the requirement. This article concludes with a suggestion to encourage the House of Representative to be careful
in using inquiry rights as a monitoring mechanism and encourage the Constitutional Court to be consistent with
decisions that have been previously decided regarding the same cases for achieving legal certainty.

Keywords: Inquiry rights, House of Representatives, Corruption Eradication Commission, Constitutional Court

PENDAHULUAN
Dewan Perwakilan Rakyat termasuk kategori kekuasaan legislatif, di dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangannya seperti yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, konsep tersebut menganut teori
Trias Politica yang dilahirkan oleh Montesquieu.1 DPR sebagai pelaksana kekuasaan
legislatif, dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPR mempunyai hak khusus yakni
hak angket yang diatur pada pasal 20 A ayat (2) UUD 1945. Hak tersebut diberikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna menjalankan mekanisme check and balances
system. Tetapi, pelaksanaan hak angket ini seringkali dianggap sebagai hambatan
dalam menjalankan penegakan hukum. Terakhir kali yang menyita perhatian publik
adalah penggunaan hak angket yang ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang disetujui oleh DPR di tahun 2017, yang dikhawatirkan pembentukan pansus
angket tersebut digunakan untuk agenda tertentu yaitu mengintervensi bahkan
cenderung melemahkan kewenangan serta fungsi KPK yang berkedudukan sebagai
lembaga negara independen dan tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan manapun 2
dengan tujuan menjalankan fungsinya untuk mencegah dan memberantas korupsi di
Indonesia.
Pada 30 Mei 2017, melalui rapat paripurna DPR resmi mengesahkan
pembentukan Pansus Hak Angket KPK. Pansus tersebut tetap dibentuk meskipun
banyak yang menolak mulai dari masyarakat dan beberapa Fraksi dalam DPR. Pansus
Hak Angket KPK diberikan waktu selama 60 hari masa kerja untuk melakukan upaya
menghimpun keterangan dan melakukan penyelidikan terkait fungsi memberantas
korupsi yang dimiliki KPK.3 Meskipun sudah disahkan di rapat paripurna, adanya
Pansus Hak Angket KPK tetap menuai respon negatif kalangan masyarakat dan
akademisi. Karena menduga akan timbul konflik kepentingan (conflict of interest), sebab
pengajuan hak angket bertujuan untuk mendesak KPK mengungkapkan rekaman
pemeriksaan Miryam S. Haryani, yang merupakan anggota DPR dan telah menjadi
terpidana karena telah memberikan kesaksian palsu dalam perkara korupsi E-KTP
yang menjerat banyak anggota dewan.

1
Charles De Montesquieu, Montesquieu: The spirit of the laws (Cambridge University Press, 1989).
2
Lihat Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
3
Lihat Pasal 206 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD
(MD3)
3 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

Hak Angket adalah hak DPR dalam melaksanakan penyelidikan pada


pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang mempunyai kaitan
dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Pengertian tersebut dijelaskan pada pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
No.17 tahun 2014. Menurut penjabaran pasal tersebut, Hak Angket yang dapat
dilaksanakan DPR limitatif hanya pada penyelidikan atas pelaksanaan undang-undang
atau kebijakan pemerintah yang bersifat penting, strategis, berdampak luas dan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sekilas merujuk pada ketentuan
tersebut, sesungguhnya KPK tidak dapat dijadikan objek angket oleh DPR, karena KPK
merupakan lembaga independen dan tidak termasuk eksekutif.
Di sisi lain, Pansus melihat ada alasan lainnya untuk melakukan penyelidikan
terhadap KPK, diantaranya ada 7 (tujuh) indikasi tidak taatnya KPK kepada peraturan
perundang-undangan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepatuhan KPK
di tahun 2015 mengenai tata kelola anggaran.4 Diluar permasalahan pengelolaan
keuangan, Komisi III mendapatkan laporan mengenai pengelolaan dokumen untuk
proses penegakan hukum dugaan tindak pidana korupsi misalnya kebocoran dokumen
sprindik, surat cekal dan BAP.5 Dibentuknya Pansus Hak Angket KPK bermuara pada
permasalahan antara DPR dan KPK yang bukan kali ini terjadi, peristiwa ini seringkali
disebut Cicak vs Buaya, DPR bersikeras bahwa membentuk pansus adalah upaya
pengawasan yang dimiliki oleh lembaga legislatif dan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tapi pada kenyataannya, citra kelembagaan DPR yang selalu
buruk di mata publik melahirkan sentimen bahwa manuver DPR semata-mata hanya
untuk melemahkan KPK. Hal ini dibuktikan dengan survei LSI pada 18 Juni - 5 Juli 2018
yang menyatakan DPR merupakan lembaga negara dengan tingkat kepercayaan yang
rendah di mata publik, 65% responden masih percaya DPR, hanya 25,5% tidak percaya
dan 9,5% memilih tidak menjawab.6 Fungsi legislasi DPR juga dirasa belum
memberikan kontribusi sesuai dengan pengeluaran anggaran negara di sektor tersebut.7
Undang-undang yang disahkan memiliki masalah di berbagai aspek antara lain banyak
undang-undang yang sesungguhnya tak terlalu dibutuhkan, kualitas produknya tidak
memadai, masih banyak undang-undang yang bertentangan satu sama lain, tidak
terintegrasi dengan baik sejak awal, dan undang-undang mengenai kepentingan publik
seringkali menimbulkan masalah.8

4 Gibran Maulana Ibrahim, “Ini Sederet Alasan DPR Gulirkan Hak Angket KPK”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/04/28/152648/3486828/10/ini-sederet-alasan-dpr-gulirkan-hak-
angket-kpk>.
5
Ibid.
6
Kompas Cyber Media, “Survei LSI: DPR, Lembaga Negara dengan Tingkat Kepercayaan Terendah”, (31
July 2018), online: KOMPAS.com <https://nasional.kompas.com/read/2018/07/31/17242921/survei-lsi-dpr-
lembaga-negara-dengan-tingkat-kepercayaan-terendah>.
7 Bayu Dwi Anggono, Perkembangan pembentukan undang-undang di Indonesia (Konstitusi Press, 2014).
8 Ibid.
4 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 menegaskan bahwa Komisi


Pemberantasan Korupsi termasuk lembaga negara dalam kategori eksekutif. Dalam
putusan tersebut lima dari sembilan hakim konstitusi menolak seluruhnya
permohonan uji materi UU MD3 mengenai hak angket DPR terhadap KPK. Kelima
hakim konstitusi meyakini, KPK menjalankan fungsi dan kewenangan lembaga
eksekutif yaitu sebagai pelaksana undang-undang. Maka KPK merupakan tergolong
lembaga negara di ranah eksekutif. Sedangkan empat hakim konstitusi lain yaitu Saldi
Isra, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo dan Maria Farida Indrati, memilih dissenting
opinion atau pendapat yang berbeda.9 Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,
tulisan ini hendak mengkaji bagaimana keabsahan penggunaan hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan
bagaimana konsistensi 5 (lima) putusan Mahkamah Konsistensi yang mengenai
kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi, antara lain putusan atas perkara nomor
012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-
IX/2011..

I. KEABSAHAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK


INDONESIA TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

A. Badan Badan yang Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman


Amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 terdapat
penambahan pasal baru pada Bab Kekuasaan Kehakiman yaitu Pasal 24 ayat
(3) yang berbunyi, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Mengenai badan-badan
apa saja yang termasuk dalam ketentuan tersebut tidak disebutkan secara
jelas. Untuk mencari badan atau lembaga apa yang memiliki fungsi berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman dapat digunakan kriteria mengenai siapa saja
yang mempunyai kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan.
Pertama, Kepolisian masuk dalam kategori eksekutif. Berdasarkan Pasal
14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dimana kepolisian bertugas menyelidik dan
menyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagai lembaga independen. Hal ini terdapat dalam Pasal 6 huruf c Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang
mengatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Ketiga,
Kejaksaan Kepolisian masuk dalam kategori eksekutif. Pada pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 16 Tahun 2014, disebutkan Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak

9
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017
5 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah


memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan
undang-undang. Keempat, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Menurut
Pasal 1 angka 5 PP No. 43 Tahun 2012, yang dimaksud dengan PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang
untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Misalnya, Penyidik PPNS di
lingkungan Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan, Bea Cukai dan
Otoritas Jasa Keuangan. Dalam melaksanakan tugasnya PPNS diawasi dan
wajib berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian.10
Ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 sebagai dasar hukum
lembaga atau lain yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman,
antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Hal-hal mengenai badan
lain itu diatur dalam undang-undang. Hal tersebut adalah mekanisme checks
and balances antara kekuasaan yudikatif Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi dengan kekuasaan
legislatif DPR dan kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan lembaga
penuntut guna mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judiciary
system) di Indonesia.11 Ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 juga
untuk mengantisipasi perkembangan ketatanegaraan mengenai kekuasaan
kehakiman yang terjadi di masa mendatang.

B. Fungsi dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut Undang-
Undang No. 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali
Diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD
Fungsi DPR RI sebagaimana diamanatkan UUD NRI 1945 diatur lebih
lanjut didalam Undang-Undang No. 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan
DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan Undang-Undang No. 2
Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD pada Bagian Kedua pada Pasal 69
ayat (1) dan (2) serta Pasal 70 ayat (1), (2) dan (3). Berdasarkan pasal 69 ayat
(1), DPR mempunyai fungsi yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan.
Dijelaskan pada ayat (2) yang mana ketiga fungsi legislasi, pengawasan, dan
anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka
representasirakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam
melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

10
“Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)”, online: hukumonline.com/klinik
<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5116a70500028/mengenai-penyidik-pegawai-negeri-sipil-
ppns>.
11
admin, “Penjelasan Pasal 24 Sampai Pasal 24C UUD 1945”, (19 July 2015), online: LIMC4U
<http://limc4u.com/uud-1945/penjelasan-pasal/penjelasan-pasal-24-sampai-pasal-24c-uud-1945/>.
6 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

Fungsi-fungsi tersebut dijelaskan pengertiannya pada pasal 70. Ayat (1)


mengatur tentang fungsi legislasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang
kekuasaan membentuk undang-undang. Kemudian ayat (2) menjelaskan
mengenai fungsi anggaran dimana dalam pasal 69 ayat (1) huruf b
dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN
yang diajukan oleh Presiden. Terakhir ayat (2) mengatur tentang fungsi
pengawasan, yang dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan
melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Sedangkan kewenangan DPR RI sebagaimana diamanatkan UUD NRI
1945 diatur lebih lanjut didalam Undang-Undang No. 17 tahun 2014 Tentang
MPR, DPR dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan Undang-
Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD pada Bagian
Ketiga pada Pasal 71 huruf a -n. Kewenangan DPR pada pasal 71 huruf a
ialah, membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan Bersama. Huruf b, memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-
undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.
Huruf c, membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD
sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Huruf d,
memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang
APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak,pendidikan, dan agama. Huruf e, membahas bersama Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas
rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
Huruf f, membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya,pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Huruf g,
memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan
membuat perdamaian dengan negara lain. Huruf h memberikan persetujuan
atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang. Huruf i, memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam
pemberian amnesti dan abolisi. Huruf j, memberikan pertimbangan kepada
7 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta
besar negara lain. Huruf k, memilih anggota BPK dengan memperhatikan
pertimbangan DPD. Huruf l, memberikan persetujuan kepada Presiden atas
pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Huruf m,
memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial
untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden dan terakhir huruf n,
memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada
Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.

C. Hak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut Undang Undang No. 17
tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD
Hak DPR RI diatur lebih lanjut didalam Undang-Undang No. 17 tahun
2014 Tentang MPR, DPR dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah
dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD
pada Bagian Kelima pada Pasal 79 ayat (1), (2), (3) dan (4). Pada pasal 79
ayat (1) disebutkan hak DPR meliputi a. hak interpelasi, b. hak angket dan c.
hak menyatakan pendapat.
Dijelaskan pada ayat (2) dimana hak interpelasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada
Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemudian pada ayat (3) dijelaskan hak angket sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Terakhir pada ayat (4) hak menyatakan pendapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat
atas a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi
di tanah air atau di dunia internasional, b. tindak lanjut pelaksanaan hak
interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan c. dugaan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun
perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

D. Pengertian Hak Angket Menurut Undang Undang No. 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR
dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun
2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD
8 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

Pada Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang


MPR, DPR dan DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan Undang-
Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR dan DPRD, Hak Angket ialah
hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Selain pengertian yang dijelaskan oleh undang-undang. Black Law
Dictionary juga memberikan pengertian angket yaitu enquete yang artinya:12
“An examination of witneses (take down a writing) by or before an authorized judge for the
purpose of gathering testimony to be used in tria.”
Dapat disimpulkan pengertian hak angket dalam kamus Black Law
Dictionary adalah tindakan penyelidikan kepada saksi secara tertulis dengan
tujuan mengumpulkan kesaksian yang digunakan untuk kepentingan di
pengadilan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pula pengertian hak
angket:13
“Angket adalah penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan
pemerintah.”
E. Subjek Hak Angket Menurut Undang Undang No. 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan
DPRD Sebagaimana Terakhir Kali Diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2018
Tentang MPR, DPR dan DPRD
Berdasarkan pasal 79 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014,
hak angket ialah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu Undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah terkait
dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Mengenai siapa saja yang dapat dikenai atau
menjadi subjek angket disebutkan lebih lanjut pada penjelasan pasal 79 ayat
(3) Undang-Undang No. 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan DPRD
Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat
berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden,
menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian.
Sebagai catatan, bahwa penggunaan hak angket kepada Kepolisian
dan Kejaksaan tidak dapat diajukan dalam ranah penegakan hukum, karena
proses tersebut memiliki jaminan independensi yang diatur didalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, objek yang dapat diangket

12
Bryan A Garner, “Black’s law dictionary” (2004) at 638.
13
Pusat Bahasa Depdiknas, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (2002) Ed Ketiga Jkt Balai Pustaka at 69.
9 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

terhadap kedua lembaga tersebut misalnya masalah administrasi,


pengelolaan keuangan maupun dokumen. Sedangkan untuk KPK, angket
tidak dapat diajukan terhadap segala tugas dan kewenangannya baik dalam
pencegahan maupun penindakan, karena terdapat penegasan didalam
Undang-Undang KPK atas jaminan independensi bebas dari intervensi
manapun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

F. Keabsahan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi
Kronologis bergulirnya hak angket KPK dimulai pada 18 April 2017,
Bermula dari rapat dengar pendapat DPR bersama KPK. Dalam rapat dengar
pendapat ini, Komisi III meminta KPK agar membuka rekaman proses
pemeriksaan BAP Miryam S. Haryani dan KPK menolak membuka hasil
rekaman tersebut walaupun untuk mengklarifikasi adanya indikasi-indikasi
dalam penyelesaian kasus korupsi e-KTP yang menyeret beberapa nama
anggota DPR.14
Keesokan harinya pada 19 April 2017, rapat dengar pendapat kembali
dilanjutkan antara Komisi III dengan KPK. Dengan sikap yang sama, KPK
tetap menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan BAP Miryam. Benny K
Harman selaku pimpinan Komisi III, mendorong komisinya untuk
menggunakan upaya paksa melalui penggunaan hak angket. Beberapa fraksi
setuju digunakannya hak angket, fraksi yang setuju diantaranya Gerindra,
Golkar, PDIP, Demokrat, PPP dan, NasDem. Sedangkan, PAN, PKS, dan
Hanura memilih untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan
fraksi dan PKB belum ada sikap resmi karena absen saat rapat berlangsung.15
20 April 2017, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan pihaknya
tidak hanya akan menggulirkan hak angket terhadap KPK. Komisi III juga
melakukan penyelidikan terhadap laporan hasil pemeriksaan (LHP) KPK
oleh BPK yang diduga terdapat penyimpangan dan tidak wajar.16
Seminggu kemudian pada 26 April 2017, dalam sidang paripurna
disebutkan surat masuk usulan mengenai hak angket belum dikirimkan oleh
Komisi III. Untuk menindaklanjutinya pimpinan DPR beserta pimpinan
fraksi melaksanakan rapat badan musyawarah dan memutuskan pembahasan
hak angket e-KTP dilaksanakan dalam sidang paripurna esok hari. Fahri
Hamzah menyebutkan 8 fraksi setuju terhadap pengusulan hak angket.
Tetapi Demokrat, Gerindra dan PKB berubah sikap untuk menolak hak
angket. Keesokan harinya PKS menolak keberadaan hak angket terkait kasus
e-KTP.

14
Elza Astari Retaduari, “Perjalanan Hak Angket KPK hingga Disetujui Paripurna DPR”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/04/28/130354/3486565/10/perjalanan-hak-angket-kpk-hingga-
disetujui-paripurna-dpr>.
15 Ibid.
16 Ibid.
10 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

Puncaknya pada 28 April 2017, Rapat paripurna penutupan masa sidang


sebelum masuk masa reses anggota DPR dengan agenda pembahasan
pengajuan hak angket. Dinamika usulan hak angket ini membuat pimpinan
DPR secara mendadak melangsungkan rapat informal menjelang sidang
paripurna dimulai.
Setelah sidang paripurna dimulai, perwakilan Komisi III DPR M.
Taufiqulhadi, membacakan usulan hak angket tersebut. Kemudian timbul
interupsi dari beberapa anggota DPR. Fraksi PKB, dan Demokrat sepakat
untuk menolak hak angket. Masinton Pasaribu selaku anggota Fraksi PDIP
mengkritik sejumlah fraksi yang tidak konsisten dari yang awalnya sepakat
berubah menjadi menolak. Kemudian secara sepihak Fahri Hamzah yang
merupakan pimpinan sidang saat itu mengetok palu yang berarti usulan hak
angket disetujui dan tidak menanggapi interupsi dari anggota yang tidak
sepakat. Akibat keputusan tersebut, tidak sedikit anggota DPR yang walk
out, termasuk Fraksi Gerindra. Terkait pembentukan pansus hak angket
KPK, akan dilaksanakan setelah masa reses berakhir.17
Ada dua hal yang menjadi tolak ukur apakah keputusan suatu lembaga
negara itu sah atau tidak, yaitu prosedur (formal) dan substansi (materi). 18
Dalam konteks ini, adanya dugaan bahwa hak angket DPR terhadap KPK
merupakan cacat hukum. Secara prosedur, menurut Undang-undang Nomor
17 Tahun 2014 ada 3 tahap pelaksanaan hak angket, yaitu: pengusulan,
pembahasan, dan pengambilan keputusan.
Dalam tahap pengusulan, hak angket diajukan oleh minimal 25 orang
anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi. Pengajuan wajib disertai dengan
dokumen yang memuat materi kebijakan atau implementasi undang-undang
yang akan diselidiki beserta alasan penyelidikan. Setelah diajukan oleh
minimal 25 orang anggota DPR, kemudian perwakilan mengusulkan angket
kepada Pimpinan DPR. Lalu Pimpinan DPR akan menindaklanjutinya
dengan Rapat Paripurna dan membahas usulan tersebut. Jika Rapat
Paripurna dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR kemudian usulan
tersebut disetujui oleh mereka, maka usul akan ditindaklanjuti dalam
pelaksanaan oleh DPR.
Setelah disetujui dalam Rapat Paripurna, langkah selanjutnya DPR
membentuk panitia angket yang merupakan panitia khusus untuk tahap
pelaksanaan. Anggota dari Panitia Angket berasal dari semua unsur fraksi di
DPR. Panitia angket memiliki waktu selama 60 hari untuk melaksanakan
penyelidikan.19 Setelah waktu yang ditentukan maka pansus angket
berkewajiban melaporkan temuannya dalam Rapat Paripurna.

17 Ibid.
18
Koentjoro Purbopranoto, Beberapa catatan hukum tata pemerintahan dan peradilan administrasi negara (Alumni,
1975) at 48–49.
19 Lihat Pasal 206 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD

(MD3)
11 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

Kemudian tahap pengambilan keputusan. Kuorum dalam Rapat


Paripurna untuk pengambilan keputusan hasil kerja Panitia Angket,
jumlahnya sama dengan kuorum awal dalam pengajuannya, yaitu jika
dihadiri lebih dari setengah jumlah keseluruhan anggota DPR dan disetujui
oleh lebih dari setengah dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Dalam pelaksanannya prosedur tersebut tidak dilaksanakan oleh DPR,
yang pertama dalam tahap pengusulan. Menurut Pasal 199 UU No. 17 tahun
2014 tentang MD3, Hak angket wajib diajukan minimal 25 anggota DPR dan
lebih dari 1 fraksi (ayat 1). Lalu harus disepakati dalam rapat paripurna DPR
yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR kemudian keputusan
disepakati dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang
hadir (ayat 3).
Sebagai ketua sidang paripurna yang dilaksanakan pada 28 April 2017
yang mengesahkan hak angket KPK. Nyatanya Fahri Hamzah tidak
menjalankan mekanisme tersebut. Padahal hanya disetujui oleh 25 anggota
DPR dari 8 fraksi di DPR. Parahnya lagi Fahri Hamzah tidak memberikan
ruang berpendapat bagi anggota yang menolak hak angket yang diusulkan
sehingga terjadi walk out dan tidak mengikuti voting oleh 3 fraksi yaitu
Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, dan Fraksi Gerindra.
Kesimpulannya hak angket KPK oleh DPR RI dapat dikatakan cacat
secara prosedural karena tidak sesuai dengan aturan yang tercantum dalam
UU No. 17 Tahun 2014 sehingga keabsahan hak angket KPK masih
menimbulkan pertanyaan.
Kedua, bukti lain cacat prosedur penerapan Hak Angket KPK adalah
panitia angket harus diisi oleh seluruh fraksi yang ada di dalam DPR. 20
Padahal sampai akhir,ada 3 fraksi yang tidak masuk dalam panitia angket,
yaitu Fraksi Demokrat, PKB, dan PKS. Hal ini juga menunjukkan adanya
penyimpangan prosedur lainnya.
Ketiga, pengambilan keputusan persetujuan hak angket KPK tidak
dijalankan menurut mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Seperti yang
disebutkan pada pasal 199 ayat (3) yang mengatur bahwa usul hak angket
oleh pengusul (minimal 25 anggota DPR lebih dari 1 fraksi) dapat dikatakan
sebagai hak angket DPR jika disetujui oleh lebih dari setengah jumlah
anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna.
Mekanisme pengambilan suara atau voting secara terbuka merupakan
cara untuk dapat mengetahui bahwa lebih dari setengah jumlah anggota DPR
yang hadir menyetujui pelaksanaan hak angket. Setiap anggota DPR yang
hadir dalam rapat paripurna mempunyai hak suara (one man one vote) untuk

20Lihat Pasal 201 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD
(MD3)
12 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

memutuskan sikap setuju atau tidak setuju terhadap usulan penggunaan hak
angket tersebut, dalam hal ini hak angket KPK.21
Prosedur pengambilan keputusan persetujuan terhadap hak angket KPK
yang dilaksanakan hanya melalui penjelasan pengusul hak angket, dan
dilanjutkan pengambilan keputusan langsung secara sepihak oleh pimpinan
sidang paripurna Fahri Hamzah selaku pimpinan, tanpa melalui mekanisme
pengambilan suara terhadap seluruh anggota DPR yang hadir dalam rapat
paripurna, jelas tindakan tersebut menyalahi ketentuan Pasal 199 ayat (3)
UU MD3.
Fahri Hamzah menyatakan hal tersebut dilaksanakan secara aklamasi
sehingga tidak perlu melaksanakan pengambilan suara setiap anggota DPR
yang hadir dalam rapat paripurna sebagaimana diatur Pasal 199 ayat (3) UU
MD3. Jelas hal ini sudah menyalahi aturan. Padahal beberapa fraksi yang
diwakili oleh beberapa anggota DPR saat sidang paripurna tersebut
menyatakan tidak setuju atas penggunaan hak angket KPK, penolakan dari
beberapa angota DPR membuktikan mekanisme aklamasi tidak bisa
dilaksanakan. Sehingga, jika sesuai peraturan maka harus dilakukan voting
untuk setiap anggota DPR yang hadir.
Selanjutnya ada indikasi pelanggaran substansi terkait digulirkannya
hak angket DPR terhadap KPK. Dalam rangka fungsi pengawasan DPR
memliki 3 (tiga) hak antara lain hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. Terkait pengertian dan siapa saja yang termasuk
kedalam subjek angket diatur pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3.
Pengertian hak angket tercantum pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang
berbunyi: Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Lantas siapakah pemerintah yang disebutkan pada Pasal 79 ayat (3) UU
MD3 tersebut, hal ini sudah dituangkan dalam penjelasan Pasal 79 ayat (3)
yaitu: Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah
dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil
Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.
Jika merujuk pada penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3, jelas KPK tidak
termasuk kedalam klasifikasi siapakah Pemerintah itu. Untuk mengetahui
apakah KPK termasuk kedalam kualifikasi Lembaga Pemerintah Non

21
Bayu Dwi Anggono, “Angket DPR untuk KPK Langgar Konstitusi”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/05/04/130644/3491659/103/angket-dpr-untuk-kpk-langgar-
konstitusi>.
13 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

Kementerian (LPNK) dapat berpedoma kepada peraturan yang mangatur


lembaga mana saja yang dapat dikategorikan sebagai LPNK.
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan kedelapan
atas Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan
Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Kementerian merupakan regulasi
yang mengatur LPNK hingga saat ini. Sebagai catatan, pada Pasal 1 Perpres
4/2013 memberikan batasan dan mengkategorikan lembaga mana saja yang
termasuk LPNK.
Ada 14 lembaga yang termasuk kedalam LPNK antara lain: Lembaga
Administrasi Negara (LAN); Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI);
Badan Kepegawaian Negara (BKN); Perpustakaan Nasional Republik
(PERPUSNAS); Badan Standardisasi Nasional (BSN); Badan Pengawas
Tenaga Nuklir (BAPETEN); Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN);
Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG); Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN); Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional
(LAPAN); Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT); dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM).
Jika melihat penjabaran Pasal 1 Perpres 4/2013 sudah sangat jelas KPK
tidak masuk dalam LPNK. Karena KPK tidak dikategorikan sebagai LPNK
dan juga dalam klasifikasi Presiden, Wakil Presiden, menteri negara,
Panglima TNI, Kapolri, atau Jaksa Agung sehingga KPK tidak memenuhi
pengertian pemerintah menurut penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3.
Pihak yang mengusulkan hak angket berpandangan, jika hak angket
DPR bukan hanya sebatas kebijakan pemerintah tetapi juga dapat digunakan
sebagai pengawasan untuk penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-
undang yang dilaksanakan lembaga negara. Sehingga pihak pengusul
berkesimpulan meski KPK tidak termasuk kedalam kategori pemerintah,
namun KPK merupakan lembaga negara negara pelaksana undang-undang
sehingga berdasarkan argumen tersebut KPK dapat dijadikan subjek angket.
Namun pandangan dari pengusul tidak dapat diterima begitu saja.
Karena menurut ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 KPK memiliki
kedudukan sebagai badan-badan lain yang berkaitan fungsinya dengan
kekuasaan kehakiman. Menurut Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 mengatur
bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 huruf
c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menjelaskan
bahwa salah tugas KPK adalah untuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, sehingga KPK masuk
kedalam kategori Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.22

22 Ibid.
14 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

Sebagai badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.


Adanya KPK tidak dapat dipisahkan terhadap jaminan independensi
kekuasaan kehakiman di Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan kepada KPK berupa
kemerdekaan dalam menjalankan wewenangnya, sama halnya jaminan
kepada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bebas
dari pengaruh dan intervensi cabang kekuasaan mana pun dalam
menjalankan kewenangannya.
Independensi KPK juga diatur di dalam Undang-Undang KPK, tepatnya
pada Pasal 3 yang berbunyi: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Hal ini
berkesinambungan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Penggunaan hak angket DPR terhadap KPK selain tidak sesuai dengan
subjek yang seharusnya dikenakan angket, juga sebagai upaya DPR untuk
melakukan intervensi terhadap pelaksana kekuasaan kehakiman dan badan-
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan KPK.
Adanya indikasi cacat formil dan cacat materiil dalam pelaksanaan hak
angket DPR terhadap KPK, sehingga hak angket ini bisa dianggap batal demi
hukum dan apapun hasil atau rekomendasi pansus angket KPK. KPK tidak
mempunyai kewajiban untuk melaksanakan rekomendasi pansus. Namun
apabila DPR tetap memaksakan kehendaknya agar KPK menindaklanjuti
hasil pansus angket. Maka DPR sesungguhnya telah melanggar UUD 1945.23

G. Implikasi Pengajuan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi
Ada 4 aspek yang menjadi rekomendasi pansus angket KPK sebagai hasil
mereka bekerja selama batas waktu yang ditentukan. Aspek yang dimaksud
antara lain, aspek kelembagaan, aspek kewenangan, aspek tata kelola
anggaran, dan aspek Sumber Daya Manusia (SDM). 24 Pertama dalam aspek
kelembagaan, KPK harus menyempurnakan struktural organisasi sehingga
sesuai dengan tugas dan kewenangannya seperti tercantum dalam Undang-
Undang KPK atara lain, koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan
monitoring. Kedua, KPK harus lebih meningkatkan upaya membangun
kerjasama dengan lembaga penegak hukum serta lembaga lain yang berkaitan

23Ibid.
24Joko Panji Sasongko, “Kerja Pansus Angket KPK Selesai dengan Empat Rekomendasi”, online: nasional
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-pansus-angket-kpk-selesai-
dengan-empat-rekomendasi>.
15 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

dengan tugas dan kewenangan KPK seperti BPK, LPSK, PPATK, Komnas
HAM, dan pihak perbankan, sehingga pemberantasan korupsi berjalan
maksimal karena integrasi antar lembaga negara.
Ketiga, KPK diminta untuk membentuk lembaga pengawas independen
yang beranggotakan unsur internal dan eksternal KPK dengan kriteria
anggota merupakan tokoh-tokoh yang berintegritas. Pembentukannya
diserahkan menurut mekanisme internal KPK. Dalam aspek kewenangan,
pansus merekomendasikan yang pertama, agar KPK lebih meningkatkan
koordinasi dan melakukan supervisi dengan Kepolisian dan Kejaksaan
sebagai upaya Trigger Mechanism. Kedua, KPK diharapkan untuk
mempertimbangkan prinsip HAM atau due process of law dalam
menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta
berpedoman pada peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-
Undang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang tentang HAM.
Ketiga, mendorong KPK agar membangun sistem pencegahan korupsi
yang sistematis sehingga maksimal dalam usaha agar korupsi tidak terulang
kembali yang akan menyelamatkan keuangan negara. Dalam segi anggaran,
Pansus Angket merekomendasikan, pertama, agar KPK mengoptimalkan dan
memperbaiki tata kelola anggarannya menurut hasil rekomendasi dari BPK.
Kedua, DPR mengupayakan usaha untuk meningkatkan anggaran KPK
dalam penggunaan anggaran untuk fungsi pencegahan, seperti pendidikan,
sosialisasi, dan kampanye antikorupsi sehingga pemberantasan korupsi
dapat berjalan optimal. Terakhir, dari aspek manajemen SDM, Pansus
Angket menghasilkan rekomendasi KPK untuk, pertama, memperbaiki
menajerial SDM berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang SDM
atau kepegawaian. Kedua, KPK diminta untuk transparan dan terukur dalam
proses pengangkatan, promosi, mutasi, rotasi, sampai pemberhentian SDM di
KPK berpedoman pada undang-undang yang mengatur tentang aparatur sipil
negara, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Merespon hasil rekomendasi Pansus Hak Angket, KPK mengirimkan
surat sebagai sikapnya yang berisi, bahwa KPK menghormati kewenangan
DPR sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi pengawasan, KPK
sepakat dengan beberapa rekomendasi pansus angket KPK dan juga putusan
Mahkamah Kontisusi Nomor 36/PUU-XV/2017 yang memutuskan KPK
sebagai subjek hak angket.25
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN) dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas merilis kajian yang ditandatangani oleh sebanyak 132
Guru Besar Hukum dari berbagai universitas, mengenai hak angket DPR

25 Ibid.
16 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

terhadap KPK yang menyatakan hal tersebut merupakan cacat hukum.


Karena, DPR telah bertindak inkonstitusional dan salah sasaran.26
Menurut Feri Amsari selaku Direktur PUSaKO,27 KPK harus tahu ada
akibat hukumnya jika proses pelaksanaan hak angket tidak sesuai undang-
undang, sebagaimana tercantum pada pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang
secara jelas menyebutkan jika hak angket hanya untuk penyelidikan
terhadap pelaksaan undang-undang atau kebijakan pemerintah. Sehingga
jika merujuk pada pasal tersebut jelas hak angket terhadap KPK error in
obecto (salah objek), karena KPK bukan termasuk bagian pemerintah.
Kedua, seandainya KPK termasuk dalam objek penyelidikan hak angket,
tetapi proses persetujuan hak angket terdapat cacat prosedur. Karena
melanggar ketentuan pasal 199 ayat (3) Undang-Undang MD3 yang
mewajibkan persetujuan hak angket lewat voting, yaitu paling sedikit
setengah anggota DPR wajib hadir dan lebih dari setengah anggota DPR yang
hadir menyatakan setuju.

II. KONSISTENSI KEDUDUKAN KPK MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH


KONSTITUSI NOMOR NO. 36/PUU-XV/2017 TENTANG HAK ANGKET KPK
TERHADAP PUTUSAN PERKARA NOMOR 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-
V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, DAN NOMOR 5/PUU-IX/2011

A. Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017


Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap pengajuan uji
perkara No.36/PUU-XV/2017 untuk pengujian Pasal 79 Ayat (3) dalam
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(UU MD3) terkait apa saja objek kewenangan DPR dalam pelaksanaan hak
angket pada 8 Februari 2018.
Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 memutus tiga permohonan sekaligus,
dalam hal ini pemohon antara lain Gabungan Mahasiswa dan Dosen
Fakultas Hukum yang menamai diri Forum Kajian Hukum dan Konstitusi
(FKHK) dengan perkara nomor 36/PUU-XV/2017. Kedua, Horas A. M.
Naiborhu merupakan Direktur Eksekutif Lira Institute dengan nomor
perkara 37/PUU-XV/2017 dan ketiga permohonan diajukan oleh sejumlah
pegawai KPK dengan nomor perkara 40/PUU-XV/2017.28 Dengan pokok

26 Fachrur Rozie14 Jun 2017 & 18:53 Wib, “132 Guru Besar Hukum Sebut Hak Angket KPK Cacat”,
online: liputan6.com <https://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-besar-hukum-sebut-hak-
angket-kpk-cacat>.
27 Dian Andryanto, “PUSaKO: KPK Sebaiknya Tidak Mengakui Keberadaan Pansus Hak Angket”, (11

June 2017), online: Tempo <https://nasional.tempo.co/read/883516/pusako-kpk-sebaiknya-tidak-


mengakui-keberadaan-pansus-hak-angket>.
28 Kodrat Setiawan, “Dissenting Opinion, 4 Hakim MK Tolak KPK Sebagai Objek Hak Angket”, (8

February 2018), online: Tempo <https://nasional.tempo.co/read/1058816/dissenting-opinion-4-hakim-mk-


tolak-kpk-sebagai-objek-hak-angket>.
17 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

permohonan dimana para pemohon menganggap Pasal 79 Ayat (3) UU MD3


khususnya frasa “…, pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan
pemerintah.” Tidak sesuai atau bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal
20A Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.29
Dalam putusannya tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya
permohonan yang diajukan para pemohon dan memutuskan KPK termasuk
dalam kategori cabang kekuasaan Eksekutif, yang berarti DPR berwenang
menjadikan KPK sebagai objek hak angket. Hak angket adalah salah satu
hak yang dimiliki oleh DPR dalam penyelidikan atas suatu undang-undang
dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.30 Hak ini sejalan dengan salah satu fungsi DPR sebagai wakil
rakyat, yaitu fungsi pengawasan terhadap berjalannya pemerintahan yang
dilakukan oleh eksekutif.
Kenyataannya KPK dalam Pasal 3 Undang-Undang KPK, merupakan
lembaga negara yang bersifat independen yang mana dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bebas dari intervensi kekuasaan manapun. KPK
lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) guna memaksimalkan
fungsi lembaga negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang
masih jauh dari harapan yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.
Dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017, terdapat dissenting
opinion mengenai keberadaan KPK dalam struktur ketatanegaraan
Republik Indonesia. menurut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim
Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul,
Hakim Konstitusi Aswanto, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams
berpendapat bahwa KPK dikategorikan sebagai lembaga eksekutif oleh
karenanya DPR berhak mengajukan angket terhadap KPK. Pandangan
tersebut disampaikan oleh Ketua Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, beserta
empat hakim anggota lainnya. Pertimbangannya bahwa ada delapan
lembaga negara yang mendapatkan langsung kewenangan konstitusional
dari UUD 1945 yaitu DPR, DPD, MPR, BPK, Presiden dan Wakil Presiden,
MA, MK dan KY.
Dari delapan lembaga diatas, terdapat dua kategori yang dikenal sebagai
lembaga negara utama (main state organ) yaitu MPR, DPR, DPD, Presiden –
Wakil Presiden, BPK, MA, dan MK. Sedangkan kategori lainnya ialah
lembaga negara penunjang (auxiliary state organ), yaitu Komisi Yudisial

29 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 at 34-35


30 Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD (MD3)
18 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

(KY) berkaitan tugasnya sejalan dengan Mahkamah Aagung tetapi tidak


termasuk kedalam pelaku kekuasaan kehakiman.31
Sedangkan empat hakim konstitusi lain yang berbeda pendapat atau
dissenting opinion antara lain Hakim Maria Farida Indrati, Hakim
Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim
Konstitusi Suhartoyo.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Suhartoyo,
dan Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa KPK tidak termasuk
kedalam kategori satu cabang kekuasaan pemerintahan sehingga DPR tidak
mempunyai dasar untuk mengajukan hak angket terhadap KPK. Pendapat
ini didasarkan atas pertimbangan beberapa pendapat ahli terkait dinamika
dalam teori hukum tata negara yang menyatakan sebuah lembaga dapat
dikategorikan independen apabila :32
1. Posisi independen tersebut dinyatakan secara tegas dalam dasar hukum
pembentukannya, baik yang diatur dalam konstitusi atau diatur dalam
undang-undang;
2. Pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu
lembaga saja;
3. Pemberhentian anggota lembaga independen hanya dapat dilakukan
berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang yang menjadi
dasar pembetukan lembaga negara yang bersangkutan;
4. Presiden dibatasi untuk tidak bebas memutuskan pemberhentian
pimpinan lembaga independen; dan
5. Pimpinan bersifat secara kolektif dan masa jabatan para pemimpin tidak
habis secara bersamaan, tetapi bergantian.

B. Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006


Putusan atas tiga perkara sekaligus dibacakan bersamaan dalam putusan
MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Pemohon perkara pertama oleh
Mulyana Wirakusumah, yang merupakan mantan anggota KPU sekaligus
tersangka kasus korupsi KPU. Pemohon perkara kedua oleh Nazaruddin
Sjamsuddin, Ramlan Surbakti, Rusadi Kantaprawira, Daan Dimara,
Chusnul Mar’iyah, Valina Singka Subekti yang merupakan Komisioner KPU
dan tiga orang staff Sekjen KPU. Perkara yang ketiga dimohonkan oleh
Capt.Tarcisius Walla, pensiunan PNS.
Dengan adanya perintah untuk membentuk Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang KPK
bersama dengan pembentukan lembaga KPK itu sendiri, pemohon
beranggapan. Akan timbul permasalahan terkait independensi dan
kemerdekaan Pengadilan Tipikot dalam menerima, memeriksa dan

31
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 at 105-106
32 Ibid at 124
19 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

memutus perkara. Pemohon berpendapat, pengadilan Tipikor akan rentan


diintervensi oleh KPK untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh KPK
dalam penghukuman terdakwa korupsi.
Dalam amar putusan, Permohonan pemohon pertama dan ketiga ditolak
untuk seluruhnya (perkara I dan III). Berbeda dengan perkara II,
Mahkamah mengabulkan permohonan untuk sebagian. Menyatakan Pasal
53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi masih mempunyai kekuatan
hukum mengikat sampai diadakan perubahan undang-undang tersebut
paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan dibacakan.
Mengutip keterangan ahli pada sidang tersebut yaitu Komariah Emong
Sapardjaja dari Universitas Padjadjaran menyatakan:33
“KPK adalah independent agency, yang sering diklasifikasikan sebagai komisi negara.
Komisi negara independen adalah organ negara (state organ) yang diidealkan independen
dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
namun justru mempunyai fungsi 'campur sari' ketiganya. Setelah menguraikan
perbandingan dengan negara-negara lain dan pendapat-pendapat sejumlah sarjana
tentang ciri-ciri komisi negara independen, ahli berpendapat bahwa KPK memenuhi ciri-
ciri atau kriteria demikian. Oleh karena itu, keberadaan KPK bukan hanya tidak berada
di luar sistem ketatanegaraan melainkan justru secara yuridis ditempatkan dalam sistem
ketatanegaraan,"
Senada dengan keterangan ahli Komariah Emong Sapardjaja, Mahkamah
menegaskan kedudukan KPK dalam pertimbangannya yang menyatakan:34
“Dalam perkembangan sistem ketatanegaraan saat ini, sebagaimana tercermin dalam
ketentuan hukum tata negara positif di banyak negara, terutama sejak abad ke-20,
keberadaan komisi-komisi negara semacam KPK telah merupakan suatu hal yang
lazim.”
Satu orang hakim menyatakan pendapat berbeda atau dissenting
opinion terhadap putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan para
pemohon tersebut, yaitu hakim konstitusi M. Laica Marzuki.

C. Putusan MK Nomor 19/PUU-V/2007


Pemohon dalam perkara ini adalah Ravavi Wilson, yang merupakan
Ketua Umum Badan Penyelamat Kekayaan Negara (BPKN). Untuk materi
pasal yang diuji adalah pasal 29 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun

33 Andi Saputra, “KPK Bagian Eksekutif atau Yudikatif? Ini Jawaban MK”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/07/14/110419/3559954/10/kpk-bagian-eksekutif-atau-yudikatif-ini-
jawaban-mk>.
34 Ibid.
20 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang


berbunyi:
“Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : berijazah sarjana hukum atau
sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan”,
Pasal 29 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 diuji terhadap
Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (5), dan Pasal 28J ayat
(1) UUD 1945. Amar Putusan MK Nomor 19/PUU-V/2007, menyatakan
permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya karena dalil yang
dikemukakan tidak memiliki alasan hukum yang jelas.
Dalam pertimbangannya Mahkamah sepakat dengan keterangan dari
Pemerintah dan DPR yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan extraordinary crime yang hal ini juga diakui dalam United
Nations Convention Against Corruption Preamble yang menyatakan:35
“Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to
stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy
and the rule of law,
Concerned also about the links between corruption and other forms of crime, in
particular organized crime and economic crime, including money-laundering,
Concerned further about cases of corruption that involve vast quantities of assets,
which may constitute a substantial proportion of the resources of States, and that threaten
the political stability and sustainable development of those States,
Convinced that corruption is no longer a local matter but a transnational
phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to
prevent and control it essential....”
Sedemikian bahayanya tindak korupsi sehingga pembentuk undang-
undang, dalam konsideran huruf a dan penjelasan Undang-Undang KPK
memandang bahwa institusi penegak hukum yang telah ada sebelum
terbentuknya KPK dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan kurang optimal
dalam menjalankan fungsinya dalam pemberantasan korupsi.36
Atas dasar itu pembentuk undang-undang mendorong pembentukan
lembaga khusus dan independen, yaitu Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK), yang diberi kewenangan sangat luas untuk fungsi
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara maksimal.

D. Putusan MK Nomor 37-39/PUU-VIII/2010

35United Nations Convention Against Corruption Preamble


36Lihat Konsideran huruf a Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
21 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

15 Oktober 2010, Mahkamah Konstitusi membacakan dua putusan


secara bersama-sama yaitu Putusan MK Nomor 37-39/PUU-VIII/2010.
Pemohon perkara pertama ialah Farhat Abbas berprofesi advokat. Pemohon
kedua adalah O.C. Kaligis yang juga merupakan advokat.
Materi pasal yang dimohonkan untuk diuji antara lain, dalam provisi
Meminta Panitia Seleksi calon Pengganti Pimpinan Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi agar menerima berkas pendaftaran Pemohon dan
menyatakan Pemohon lolos dalam proses seleksi administratif serta
memerintahkan Panitia Seleksi calon Pengganti Pimpinan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menyertakan Pemohon dalam
setiap tahapan pelaksanaan seleksi calon pengganti pimpinan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian dalam pokok perkara Pasal 29 angka 4 Undang-Undang KPK
khususnya frasa pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: berijazah sarjana hukum atau
sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15
(lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau
perbankan37 dianggap oleh pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa pengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun untuk dapat diangkat menjadi
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bidang yang telah
dijelaskan pada pasal tersebut itu penting, mengingat lembaga yang akan
dipimpinnya nanti adalah lembaga negara yang mempunyai sifat
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang bebas dari
intervensi cabang kekuasaan lain. Dalam putusan MK menyatakan
permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya karena dalil yang diajukan
tidak mempunyai alasan hukum.

E. Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011


Pihak pemohon dalam perkara ini antara lain Feri Amsari, Ardisal, Teten
Masduki dan Zainal Arifin Mochtar Husein sebagai pemohon pertama dan
Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai pemohon kedua. Dalam amar
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, Mahkamah
Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Menyatakan bahwa Pasal 34 Undang-Undang KPK bertentangan dengan
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan KPK baik pimpinan
yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang
diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa

37
Lihat Pasal 29 angka 4 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
22 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya


dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Terkait kedudukan KPK. Keterangan ahli Saldi Isra berpandangan
bahwa KPK merupakan lembaga negara independent hal ini tercantum
secara ekplisit di dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, bukti kedua, KPK tidak termasuk dalam bagian dari struktur
lembaga eksekutif, karena jika KPK jadi bagian dari struktur cabang
kekuasaan eksekutif, maka KPK akan disebut sebagai executive agencies
bukan independent agencies.
Senada dengan keterangan ahli Saldi Isra, Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangannya menyebutkan KPK merupakan lembaga negara
independen yang diberi tugas dan wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan
kehakiman antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara
korupsi yang dilakukan oleh lembaga negara yang lain.
Guna merealisasikan maksud dan tujuan berdirinya KPK yang
merupakan lembaga negara khusus untuk memberantas korupsi, maka
dalam menjalankan tugas serta kewenangan secara efektif, KPK diwajibkan
untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan.
Dalam putusan ini hakim konstitusi M. Akil Mochtar menyatakan pendapat
berbeda (dissenting opinion) terkait legal standing dan pokok
permohonannya.

F. Analisis Konsistensi Kedudukan KPK Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


36/PUU-XV/2017 Tentang Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi Terhadap
Putusan Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-
VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 dianggap
berlawanan dengan putusan-putusan sebelumnya, sehingga Mahkamah
Konstitusi yang merupakan Guardian of the Constitution tak patuh
terhadap putusan sebelumnya. Padahal, sifat putusan Mahkamah
Konstitusi final dan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang berbeda
dalam mengadili substansi perkara yang sama menunjukkan inkonsistensi
sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan
asas kepastian hukum. Idealnya para hakim konstitusi mengacu pada teori
precedent agar terciptanya kesatuan hukum dan konsistensi putusan
lembaga peradilan.
Menurut Direktur PUSaKO, Feri Amsari bahwa menempatkan KPK
dalam kategori cabang kekuasaan eksekutif, berarti DPR dapat menjadikan
KPK sebagai objek angket. Tetapi ada pengecualian dalam putusan
tersebut, dimana angket terhadap KPK tidak dapat digulirkan atas
23 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam penanganan


perkara korupsi.38
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi pernah menerbitkan putusan
No.012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan
No.5/PUU-IX/2011. dalam putusan MK terbaru No.36-40/PUU-XV/2017
dipandang bertentangan dengan keempat putusan tersebut yang
menyinggung soal kedudukan lembaga KPK dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia.
Feri Amsari menyatakan, sifat independensi KPK adalah hal yang sesuai.
Karena ada dinamika pembagian kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan.
Adalah hal yang aneh jika putusan MK No.36-40/PUU-XV/2017 hanya ada
tiga pembagian kekuasaan. Yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Padahal
sejauh ini sistem ketatanegaraan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan.39
Tak terkecuali ada penambahan pembagian kekuasaan salah satunya
lembaga independen berintegritas. Namun oleh Mahkamah Konstitusi KPK
malah dikategorikan kedalam kekuasaan eksekutif. Sehingga hal ini
bertentangan terhadap 4 putusan sebelumnya yang menyatakan KPK
berada di luar ketiga cabang kekuasaan atau independen. Sehingga
Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dengan putusannya yang final dan
binding.
Sesungguhnya putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai keberlakuan
terhadap siapapun yang berkaitan dengan putusan tersebut, tak terkecuali
lembaga konstitusi. Ada hal yang menjanggal saat Mahkamah Konstitusi
memberikan putusan uji materi yang dimana putusan tersebut
bertentangan dengan putusan sebelumnya bahkan dalam putusan hak
angket ini ada 4 putusan yang ditentang. Implikasi putusan ini berakibat
pada hak angket DPR tidak terbatas sehingga hal ini malah akan
menimbulkan masalah baru.
Firmansyah Arifn selaku Sekretaris Eksekutif Indonesia Legal
Roundtable (ILR) menyatakan putusan MK No.36-40/PUU-XV/2017
membuat KPK akan sangat kesulitan dalam pemberantasan korupsi.
Bahkan dapat dimungkinkan jika, lembaga lainnya semisal, Komnas HAM,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan PPATK dapat dijadikan objek hak
angket oleh DPR. Dikarenakan lembaga tersebut merupakan pelaksana
undang-undang.40
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti
menyebutkan putusan Mahkamah Konstitusi terkait Hak Angket,

38 “Putusan MK Soal Hak Angket Dinilai Mengabaikan Asas Final and Binding”, (16 February 2018),
online: hukumonline.com <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a86c02da653c/putusan-mk-soal-
hak-angket-dinilai-mengabaikan-asas-ifinal-and-binding-i>.
39 Ibid.
40 Ibid.
24 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

menjelaskan bahwa Mahkamah tidak paham pembagian kekuasaan dalam


makna luas. Karena Mahkamah hanya mengadopsi teori pembagian
kekuasaan klasik yang dicetuskan oleh Montesquieu, yaitu trias politica.
Disisi lain konsep pembagian kekuasaan telah mengalami dinamika diluar
trias politica.41

III. PENUTUP

Hak Angket DPR terhadap KPK melanggar prinsip independensi yang dimiliki
oleh KPK, selain itu hak angket tesebut cacat hukum karena tidak memenuhi syarat
formil dan materil, karena panitia angket dalam tahap pengusulan, pelaksanaan sampai
pengambilan keputusan tidak sesuai dengan mekanisme ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam segi
materiil, dinilai KPK bukan merupakan cabang kekuasaan eksekutif yang dapat
diangket seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
No.17 tahun 2014. Namun KPK mempunyai kedudukan independen dalam
perkembangan teori ketatanegaraan modern dan menjalankan fungsi yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman namun bukan pelaku kekuasaan kehakiman
Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017 tidak konsisten terhadap
4 putusan yang menyinggung keberadaan KPK antara lain Putusan No.012-016-
019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan No.5/PUU-IX/2011.
Empat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa kedudukan KPK
murni sebagai lembaga negara independen dan bebas dari pengaruh serta intervensi
cabang kekuasaan manapun dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan
memberantas korupsi. Namun putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-XV/2017
memasukan KPK sebagai eksekutif.
Saran bagi Dewan Perwakilan Rakyat, agar lebih berhati-hati dalam
menggunakan hak angket sebagai mekanisme pengawasan, harus ada kajian lebih
komperehensif dan mempertimbangkan dampak kedepannya. Penggunaan hak angket
harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku baik secara formil
dan materiil. Mahkamah Konstitusi harus lebih konsisten dan taat asas dalam
memutuskan sebuah perkara mengingat sifat putusannya yang final dan binding
sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum kembali serta harus mempertimbangkan
putusan-putusan yang telah diputus sebelumnya.

41 Ibid.
25 | E-JOURNAL LENTERA HUKUM

IV. DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Anggono, Bayu Dwi. Perkembangan pembentukan undang-undang di Indonesia (Konstitusi Press, 2014).

De Montesquieu, Charles. Montesquieu: The spirit of the laws (Cambridge University Press, 1989).

Purbopranoto, Koentjoro. Beberapa catatan hukum tatapemerintahan dan peradilan administrasi negara
(Alumni, 1975).

Depdiknas, Pusat Bahasa. “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (2002) Ed Ketiga Jkt Balai Pustaka.

Garner, Bryan A. “Black’s law dictionary” (2004).

Sumber Internet:
admin. “Penjelasan Pasal 24 Sampai Pasal 24C UUD 1945”, (19 July 2015), online: LIMC4U
<http://limc4u.com/uud-1945/penjelasan-pasal/penjelasan-pasal-24-sampai-pasal-24c-
uud-1945/>.

Andryanto, Dian. “PUSaKO: KPK Sebaiknya Tidak Mengakui Keberadaan Pansus Hak Angket”,
(11 June 2017), online: Tempo <https://nasional.tempo.co/read/883516/pusako-kpk-
sebaiknya-tidak-mengakui-keberadaan-pansus-hak-angket>.

Anggono, Bayu Dwi. “Angket DPR untuk KPK Langgar Konstitusi”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/05/04/130644/3491659/103/angket-dpr-untuk-kpk-
langgar-konstitusi>.

Ibrahim, Gibran Maulana. “Ini Sederet Alasan DPR Gulirkan Hak Angket KPK”, online:
detiknews <https://news.detik.com/read/2017/04/28/152648/3486828/10/ini-sederet-alasan-
dpr-gulirkan-hak-angket-kpk>.

Jun 2017, Fachrur Rozie14 & 18:53 Wib. “132 Guru Besar Hukum Sebut Hak Angket KPK
Cacat”, online: liputan6.com <https://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-
besar-hukum-sebut-hak-angket-kpk-cacat>.

Media, Kompas Cyber. “Survei LSI: DPR, Lembaga Negara dengan Tingkat Kepercayaan
Terendah”, (31 July 2018), online: KOMPAS.com
<https://nasional.kompas.com/read/2018/07/31/17242921/survei-lsi-dpr-lembaga-negara-
dengan-tingkat-kepercayaan-terendah>.

Retaduari, Elza Astari. “Perjalanan Hak Angket KPK hingga Disetujui Paripurna DPR”, online:
detiknews <https://news.detik.com/read/2017/04/28/130354/3486565/10/perjalanan-hak-
angket-kpk-hingga-disetujui-paripurna-dpr>.

Saputra, Andi. “KPK Bagian Eksekutif atau Yudikatif? Ini Jawaban MK”, online: detiknews
<https://news.detik.com/read/2017/07/14/110419/3559954/10/kpk-bagian-eksekutif-atau-
yudikatif-ini-jawaban-mk>.
26 | Judul Artikel Anda Dituliskan di sini

Sasongko, Joko Panji. “Kerja Pansus Angket KPK Selesai dengan Empat Rekomendasi”, online:
nasional <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-
pansus-angket-kpk-selesai-dengan-empat-rekomendasi>.

Setiawan, Kodrat. “Dissenting Opinion, 4 Hakim MK Tolak KPK Sebagai Objek Hak Angket”,
(8 February 2018), online: Tempo <https://nasional.tempo.co/read/1058816/dissenting-
opinion-4-hakim-mk-tolak-kpk-sebagai-objek-hak-angket>.

“Putusan MK Soal Hak Angket Dinilai Mengabaikan Asas Final and Binding”, (16 February
2018), online: hukumonline.com
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a86c02da653c/putusan-mk-soal-hak-
angket-dinilai-mengabaikan-asas-ifinal-and-binding-i>.

“Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)”, online: hukumonline.com/klinik


<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5116a70500028/mengenai-penyidik-
pegawai-negeri-sipil-ppns>.

Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Komisi Pemberantasan
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076); Undang-Undang No. 17 Tahun 2017
tentang MPR, DPR, DPD & DPRD sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang No. 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD & DPRD (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6187);
---------Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006;
---------Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-V/2007;
---------Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010;
---------Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011; dan
---------Putusan Mahkamah Konstitusi 36/PUU-XV/2017.

Anda mungkin juga menyukai