Anda di halaman 1dari 14

Volume III, Nomor 1, Juni 2012

DESENTRALISASI DAN KONFLIK KEWENANGAN


(Studi kasus konflik kewenangan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara
dengan Pemerintah Kota Kendari dalam kasus pemberian izin investasi PT. Artha
Graha Group)

Muhammad Ali Azhar


Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Udayana

E-mail: muhammad23ib@yahoo.co.id

Abstract
Political policy of decentralization in Indonesia was originally formulated as an
antidote to the central government to defuse separatist unrest rife in the local level.
However, in the progress of decentralization would lead to fresh turmoil with
vertical conflict at the local level. An article called decentralization and conflict of
authority as it did between the provincial government of southeast Sulawesi and
municipal government of Kendari is just a testament to how decentralization is the
antidote that does not give any effect to the local government, let alone bring
prosperity to the region. As a result, decentralization is just a conflict of authority
between governments in the region and measures the goodwill neglect of regional
autonomy implementation by the ruling elites in the region.
Key words: decentralization, conflict of authirity, local elit

Pendahuluan devolutions mengacu kepada


Menurut Rondinelli desentralisasi desentralisasi administrasi, delegation
mencakup kepada empat bentuk dan privatization sebagai tugas sub-
(Pramusinto, 2005). Pertama, contracting (Pramusinto, 2005: 164).
devolution merupakan penyerahan Otonomi daerah merupakan
urusan fungsi-fungsi pemerintahan pemberian hak-hak secara luas kepada
pusat kepada pemerintahan daerah. daerah-daerah yang merupakan salah
Kedua, decosentration, adanya satu resep politik penting untuk
pelimpahan kewenangan dari mencapai sebuah stabilitas sistem dan
pemerintah pusat kepada pejabat sekaligus membuka kemungkinan bagi
daerah, ketiga delegation yang proses demokrasi yang pada gilirannya
merupakan penunjukan pemerintahan semakin mengukuhkan stabilitas
pusat kepada pemerintahan daerah sistem secara keseluruhan (Lay, 2003).
untuk melakukan atau melaksanakan Dalam diskursus pelaksanaan
tugas-tugas dan wewenang tanggung otonomi daerah saat ini di Indonesia,
jawabnya, sedangkan yang keempat menurut Cornelis Lay (2003), bahwa
adalah privatization, yang merupakan pergulatan politik kebangsaan
pengalihan kewenangan dari Indonesia adalah untuk mewujudkan
pemerintah kepada organisasi non- sebuah sistem yang stabil yang
pemerintah. Pada prinsipnya ditegakkan di atas kebanggaan dan

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 62


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

kepatuhan kepada ke-Indonesia-an, desentralisasi sekarang ini malah sering


maka pilihan pada pemberian otonomi terjadi tumpang tindih mengenai
daerah yang seluas-luanya adalah kebijakan-kebijakan dan kewenangan
jawabannya. Pemancaran secara yang ada. Kalau Nanang Indra
geografis lewat pemberian otonomi Kurniawan mengatakan dalam sistem
daerah yang luas sekaligus akan otonomi yang sering terjadi malah
berakibat pada proses demokratisasi monopoli atas tafsir dan aspek praktek
sistem secara keseluruhan. otonomi daerah yang akan
Sementara menurut Pratikno (2003), menghilangkan semangat demokrasi
otonomi daerah bukanlah jawaban yang dan partisipasi yang ingin dibangun
final. Ketika desentralisasi melahirkan hanya menjadi retorika para elit untuk
benih-benih otonomi yang membuka memberi pembenaran kepentingan-
kran-kran kekuasaan, maka kepentingannya (Flamma, 2005). Jika
desentralisasi juga sering dianggap hal ini terjadi setidaknya apa yang
sebagai masalah. Jika dilihat dalam dikatakan Mc Cleanaghan sedikit
perjalanan otonomi yang sedang terbantahkan. Secara teoritis mungkin
berjalan di Indonesia, maka kita tidak otonomi akan mengarah kepada proses
heran bahwa konflik-konflik baru demokrasi, jika melihat kondisi riel
muncul, seperti antara pemerintah pusat Indonesia maka kita harus memperbaiki
dengan pemerintan provinsi, lagi sistem otonomisasi yang sedang
pemerintah provinsi dengan Kabupetan berjalan.
dan seterusnya sampai kepada struktur
yang paling kecil yang ada di wilayah Genealogis otonomi daerah di
tersebut. Indonesia
Sebenarnya desentralisasi muncul Desentralisasi di Indonesia
sebagai gendre dan ikon yang sangat sebenarnya telah diperkenalkan pada
berkaitan dengan demokrasi, tata tahun 1903 oleh pemerintah Hindia
pengelolaan negara, hak-hak Belanda yang dikenal dengan
masyarakat dalam bernegara, distribusi wethoudende decentrastie van het
wewenang dan kekuasaan, serta besturr in Nedelandsch Indie yang akan
tanggung jawab bersama antar negara. mengesahkan pembentukan Gewest
Desentralisasi merupakan salah satu atau bagian Gewest (daerah) yang
kerangka kerja demokrasi modern mempunyai keuangan sendiri untuk
(Syahdan, 2003). Seperti yang membiayai kegiatannya (Syahdan,
dikemukakan oleh Mc Cleanaghan 2003). Pada dasarnya ketika itu
seperti yang dikutip oleh Gregorius, desentralisasi mempunyai prinsip-
desentralisasi merupakan sebuah prinsip, pertama, kemungkinan
strategi bagaimana membuat demokrasi membentuk pemerintahan daerah
bekerja dalam sebuah negara. Jika berdasarkan keuangan sendiri, kedua,
dipahami sebagai pembuat kerangka daerah yang memenuhi persyaratan
bekerjanya demokrasi, maka distribusi dimungkinkan menerima uang dari kas
kekuasaan baik dalam bidang politik, negara untuk membiayai dan diberikan
ekonomi dan lain sebagainya haruslah hak membentuk badan pemerintahan,
dijalankan secara demokrasi pula, ketiga, para anggota badan
dengan cara melibatkan secara pemerintahan lokal untuk sebagian
keseluruhan aspek masyarakat sampai dipilih dan sebagian diangkat, keempat,
kepada tingkat yang paling rendah. badan pemerintah lokal berwenang
Akan tetapi dalam pola penerapan menjalankan tugas yang belum diatur

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 63


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

dalam perundang-undangan pemerintah pemerintah provinsi dan pemerintah


pusat, sedangkan yang kelima, kota menurut UU No. 32 tahun 2004
pengawasan terhadap pemerintah tentang pemerintahan daerah? Kedua,
daerah dilakukan oleh Gubernur mengapa terjadi perebutan kewenangan
General (Gie, 2001). pemberian izin investasi antara
Perubahan politik yang terjadi pada pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara
tahun 1959 telah membuat peta politik dengan Pemerintah Kota Kendari?
semakin berubah, sehinggga mengubah Tulisan ini berangkat dari asumsi
tatanan terbelenggu yang ada. bahwa terjadinya ketidakselarasan
Kemungkinan setelah orde baru naik antara pihak provinsi dengan pihak
maka UU otonomi praktis terbelenggu pemkot tentang siapa yang berhak
dengan menguatnya sentralisasi yang mendistribusikan kewenangannya
dibangun pihak pusat sampai daerah- dalam hal pengaturan investasi
daerah. Ketika itu Soeharto dikenal dikarenakan masing-masing pihak
dengan pembangunan Repelitanya yang merasa mempunyai hak
terus berupaya menstabilkan keadaan menerjemahkan dan
daerah guna menciptakan mengimplementasikan undang-undang
perekonomian yang kondusif. Akan otonomi daerah. Inisiatif untuk
tetapi, semangat ini sangat melakukan pengelolaan semakin rumit
disayangkan, pada prakeknya cara-cara ketika salah satu pihak tetap bersikeras
yang non-demokratis juga diterapkan pada prinsipnya, bahwa merekalah yang
untuk menjaga stabilitas keamanan benar-benar berhak untuk mengatur
tersebut. Berikut ini adalah dan mempunyai kewenangan
perbandingan pembentukan otonomi pemberian izin investasi di daerah
daerah menurut periodesasi tersebut. Bagi teori konflik hal ini
pemerintahan Indonesia. dianggap sebagai persepsi mengenai
perbedaan kepentingan, (perceved
Rumusan Masalah divergence of interest), atau suatu
Adapun pertanyaan yang ingin kepercayaan bahwa aspirasi pihak-
dikupas dalam tulisan ini adalah pihak yang berkonflik tidak dapat
pertama, bagaimana bentuk hubungan dicapai (Pruit dan Rubin, 2004).

Tabel 1 Ragam makna otonomi daerah

Hakekat
Periodisasi Rejim politik UU otonomi
Otonomi
UU No 1
Perjuangan(1945-1949) Demokrasi Tahun1945 UU Otomi luas
No 22 tahun 1948
Pasca
UU No 1 tahun
kemerdekaan(1950- Demokrasi Otonomi luas
1957
1959)
Pilpres No 6 tahun
Demokrasi
Otoritarium 1959 UU No 18 Otonomi terbatas
terpimpin(1959-1965)
tahun 1965
Orde baru(1965-1998) Otoritarium UU No5 tahun Sentralisasi

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 64


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

1974
UU No 22 tahun
1999
pascaorde baru(1998-
Demokrasi UU No 25 tahun Otonomi luas
sekarang)
1999 dan revisi UU
32 tahun 2004

Sumber: diolah dari Sri Djoharwinarlien dalam tulisan yang berjudul “Otonomi
peluang atau beban daerah”.

Naiknya Ali Mazi sebagai Gubernur beberapa investasi yang ingin


Sultra pada tahun 2002 lalu merupakan ditanamkan di daerah ini, seperti
babak baru bagi kehidupan ekonomi terlihat pada Tabel 2 dibawah ini.
provinsi sulawesi Tenggara. Daerah Investasi-investasi yang ditanamkan
yang sebelumnya tidak di kenal oleh taipan nasional ini sangat beragam
para investor, sekarang menjadi antara lain di bidang jasa perbankan,
terkenal. Pada periode pemerintahan ada bank Artha Graha, sektor industri
sebelumnya, strategi mendatangkan yaitu pembangunan pabrik semen
investor ini telah ada dalam setiap curah, dan di bidang konstruksi
rancangan PAD dari tahun ke tahun, bangunan yaitu pembangunan Hotel
namun strategi tersebut dapat Kendari Beach. Dua investasi jasa
dikatakan tidak pernah terwujud. Dalam konstruksi dan pembangunan taman
periode pemerintahan ini dapat kota Kendari. Keduanya merupakan
dikatakan iklim investor di daerah ini investasi bernilai strategis bagi kota
benar-benar belum ada. Hal ini menjadi kendari karena letaknya berada tepat di
terbalik ketika Ali Mazi naik jantung kota Kendari. Akan tetapi
menakhodai daerah itu menjadi operasionalisasi investasi ini ternyata
Gubernur. tidak berjalan mulus sebagaimana yang
Di awal pemerintahan Ali Mazi diharapkan. Di tengah jalan
istilah investor menjadi populer di operasionalisasi investasi ini,
Sulawesi Tenggara. Hal ini terkait pemerintah kota kendari tidak
dengan program kerja Ali Mazi yang mengizinkan lagi bagi investor Artha
selalu mengandalkan pentingnya Graha beroperasi di Kendari. Hal ini
penciptaan iklim investasi bagi terkait dengan sepak terjang investor ini
Sulawesi Tenggara yang ramah bagi di lapangan dalam menjalankan izin
pihak investor untuk memajukan operasi usahanya.
perekonomian daerah ini kedepan. .Pemerintah kota Kendari selalu
Dengan program kerja yang merasa dirugikan dengan
mengandalkan iklim investasi. beroperasinya investasi itu di wilahnya.
Akhirnya ada investor yang merasa Akibatnya pemerintah kota mengambil
tertarik menanamkan investasinya di tindakan sepihak untuk menghentikan
wilayah ini, salah satunya investor seluruh operasional investasi Artha
ternama Tommy Winata. Graha di kota Kendari.
Tommy Winata, investor yang Dalam konflik ini pemerintah
membawa bendera Artha Graha Group provinsi yang diwakili Gubernur
ini, kemudian menetapkan kota Kendari menyalahkan pemerintah kota Kendari
sebagai salah satu tujuan utamanya dari tidak bijaksana dalam memberikan

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 65


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

suasana aman bagi beroperasinya kewenangan dalam pemberian izin atau


investasi di wilayahnya. Situasi ini kemudahan beroperasinya investor
kemudian menimbulkan peta konflik untuk menanamkan investasinya di kota
dua arah pertama, pihak investor dan Kendari menjadi pemicu terjadinya
pemprov melawan pihak pemkot konflik antara pemerintah kota kendari
kendari yang merasa diri mempunyai dengan pemerintah provinsi Sulawesi
hak kewenangan dalam pemberian izin Tenggara. Pihak pemkot memandang
operasi usaha investor. Kedua, terjadi investor, akibat dari kemudahan
mis-interpretasi kewenangan antara pemberian operasi dari pihak pemprov,
pemprov dan pemkot dalam di beberapa operasi usahanya telah
memberikan izin operasi usaha bagi terjadi penunggakan pajak yang
investor AGG, sehingga terjadi seharusnya di bayarkan pihak investor
persaingan dalam pemberian fasilitas ke pihak pemkot Kendari.
terhadap investor. Persaingan

Tabel 2; Konflik kewenangan yang diperebutkan antara Gubernur dan


Walikota
Pembangunan Beach Hotel Kendari Di wilayah pemerintahan Kota Kendari
Pembangunan pabrik semen curah Wilayah pemerintah Kota Kendari
Pembangunan Taman Kota (alun-alun) Dibawah Teritorial Kota Kendari
Jasa Perbankan (Bank Artha Graha) Dibawah Teritorial Kota Kendari
Sumber: Kendari Pos, edisi 12 s/d 14 Maret 2005

Kondisi ini kemudian disikapi oleh antara Gubernur sebagai penguasa


pihak investor dengan respon merasa politik yang memiliki otoritas dan
tidak perlu berurusan dengan pihak legitimasi mengeluarkan kebijakan-
pemkot Kendari atas izin operasi kebijakan pembangunan dengan
usahanya karena fasilitas dan jaminan pengusaha (baca: Tommy Winata)
usaha tersebut telah diperolehnya dari sebagai pemilik modal dan sumber daya
pemprov Sultra. Akibat dari konflik finansial atas naiknya sang gubernur
persaingan ini mengakibatkan AGG ke kursi nomor satu di wilayah ini.
menghentikan seluruh operasi usahanya Pada tataran implementatif,
di kota Kendari dan akan kolaborasi yang pada awalnya berjalan
memindahkannya ke tempat lain. mulus ‘’disusupi’’ oleh masuknya
pemerintah kota Kendari atas nama
Peta Aktor penguasa di wilayah investasi, dan
Sebagaimana deskripsi diatas, relasi mengklaim sebagai pihak yang berhak
penguasa dan pengusaha dalam kasus untuk mengeluarkan ijin kewenangan.
Kendari ini tercipta dari kedekatan Peta aktor semakin melebar ketika,
personal antara Gubernur Ali Mazi dan Kepala dinas tata ruang kota (kadistra)
Tommy Winata, komisaris PT. AGG. Kendari mengklaim sebagai pihak yang
Relasi yang tercipta kemudian paling dirugikan atas adanya investasi
mengarah pada simbiosis mutualisme ini yang kemudian di tindak lanjuti

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 66


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

dengan kebijakan radikal, memutus pemprov. Secara sederhana peta aktor


rantai investasi PT. Artha Graha Group dapat dilihat pada diagram di bawah
di wilayah kota Kendari. Bagi kadistra ini:
alasan penolakan investasi jelas, bahwa
pemerintah kota Kendari dirugikan atas
investasi ini, karena pajak dan retribusi
investasi tidak masuk ke pemkot
melainkan ke pemprov Sulawesi
Tenggara dalam jumlah yang cukup
besar, + Rp. 800 juta rupiah1.
Beberapa permasalahan silang
sengketa antara investor dengan pemkot
Kendari dapat dilihat dalam Tabel 2
sebagai berikut:

Tabel 2 Silang sengketa investor


dengan Pemerintah Kota Kendari

Investasi PT.
Sumber
No. AGG di Kota
Konflik
Kendari
PT. Arta Graha
tidak mau
Pembangunan
mengurus izin
1. Hotel Kendari
IMB kepada
Beach
Pemkot
Kendari
Tidak ada
realisasi
Perbaikan alun-
2. kegiatan yang
alun(taman Kota)
dilakukan oleh
PT. AGG
Dianggap
mengganggu
Pembangunan lalu lintas
3. Pelabuhan Semen pelayaran
Curah masuk dan
keluar di Kota
Kendari
Sumber: diolah dari beragam sumber.

Permasalahan di atas, akhirnya menjadi


titik tolak munculnya konflik yang
lebih luas antara pemkot dengan

1
Angka Rp. 800 juta muncul dalam
perdebatan Kadis Kimpraswil Kota Kendari
dengan Pemprov. Sulawesi Tenggara

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 67


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

Gubernur Pemkot

Patrcon Izin
client usaha

Investor AGG

Konflik Kewenangan merupakan penentu kebijakan ditingkat


Substansi UU No 22/1999 lokal.
merupakan simbolis pada daerah yang UU No22/1999 menyebut bahwa
otonom. Istilah tingkatan daerah desentralisasi telah direalisasikan dan
otonom yang semula di kenal dengan untuk kelancaran tugas-tugas bidang
Dati 1 dan Dati 11 kemudian di penanaman modal. Mendagri juga telah
hapuskan, kemudian digantikan dengan menerbitkan keputusan No. 130-167
istilah yang dianggap lebih netral yakni tahun 2002 tentang pengakuan
tingkat provinsi, kabupaten dan kota. kewenangan Bupati/ Walikota untuk
Ini diupayakan untuk menghindari citra menerbitkan persetujuan dan ijin
bahwa tingkatan lebih tinggi Dati 1 pelaksanaan penanaman modal dalam
secara hirarkis lebih berkuasa dari pada negeri, sedangkan untuk administrasi
tingkatan lebih rendah Dati 11, seperti penanaman modal asing dilakukan oleh
era sebelumnya (Pratikno, 2003). pihak provinsi (Pangaribuan, 2006).
Kedua-duanya merupakan badan Keppres No 29/2004 mengatakan
hukum yang terpisah dan sejajar yang bahwa kewenangan penanaman modal
mempunyai kewenangan berbeda. diakui berada pada tingkat
Konflik kewenangan yang terjadi di Gubernur/Bupati/Walikota. Berikut ini
Kendari mengenai investor AGG adalah petikan keppres tersebut.
justru membuat jurang hirarkis semakin
melebar. Adanya arogansi dari pihak “Gubernur/Bupati/Walikota dapat
provinsi yang secara arogan dengan melimpahkan kewenangan
memberikan perijinan investor tanpa pelayanan persetujuan, perijinan
mematuhi rambu-rambu dari pihak dan fasilitas penenaman modal
kabupaten ternyata menimbulkan kepada BKPM melalui sistem
resistensi dari pihak kabupaten/kota pelayanan satu atap”
dimana pihak kabupaten dengan
sengaja menutup lahan-lahan investor Akan tetapi menurut Tiolina belum
AGG yang sedang berjalan yang ada pemerintah provinsi maupun
mengakibatkan konflik antar Gubernur kabupaten kota yang melimpahkan
dengan Walikota. Sebuah fenomena kepada BKPM. Disinilah sering
yang sangat tragis mengingat kedua- terjadinya konflik tersebut, kerena
duanya merupakan elit-elit politik yang kewenangan diartikan tetap masih
berada ditingkat provinsi dan

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 68


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

kabupaten/kota. Setidaknya ini akan kewenangan dari departemen


menjadikan investor akan semakin sektoral yang bersangkutan, yang
kebingungan karena ketidakjelasan dan telah ditetapkan sebelum berlakunya
ketidakpastian peraturan yang mengatur UU No 22/1999.
bidang investasi sehingga banyak 5. Konflik juga akan terjadi antara
investor yang masih menunggu pemerintah kabupaten/kota dengan
kejelasan mengenai UU tersebut. pihak BUMN atau otoritas sebagai
Penelitian Yayasan Harkat Bangsa akibat ketentuan yang diatur dalam
mengatakan bahwa UU No 22/1999, pasal 199, dimana berdasarkan
memiliki beberapa persoalan mengenai ketentuan tersebut pemerintah
potensi munculnya konflik-konflik kabupaten/kota merasa lebih berhak
kewenangan. Berikut ini adalah dalam fungsi pemerintahan yang
beberapa hasil penelitian mereka ditangani oleh BUMN. Mengenai
(Ratnawati, 2006). hal ini YGB memiliki contoh
1. lemahnya koordinasi dalam konflik antara pemerintah daerah
penyelenggaraan fungsi tangerang dengan PT Angkasa Pura
pemerintahan diantara tingkat sebagai pengelola Bandara Sukarno-
pemerintahan, baik pusat provinsi Hatta dan konflik antara
maupun kabupaten/kota. Dalam pemerintah Daerah Batam dengan
penyediaan public goods seringkali Badan Otorita Batam.
menjadi polemik siapa sebenarnya 6. Pemerintah daerah merasa berhak
yang bertanggung jawab. dalam mengelolah sumber daya
2. UU No 22/1999 pasal 3 telah alam jika mengacu kepada asal 10
memasukan wilayah laut sebagai UU No 22/1999 pen sehingga terjadi
wilayah provinsi maupun konflik dengan instansi departemen
kabupaten/kota, yang bertentangan sektoral atau BUMN yang selama
deangan UU pembentukan daerah ini menanganinya. Hal ini terjadi
dimana laut dinyatakan sebagai pada konflik Perum Perhutani yang
batas daerah wilayah. memiliki kewenangan untuk
3. Konflik kewenangan antara tingkat pengurusan hutan dengan
pusat, provisi kabupaten/kota Pemerintah Provinsi yang juga
berdasarkan pasal 7 dan 9 serta pasal memiliki kewenangan pada bidang
11 menyatakan bahwa semua kehutanan.
kewenangan diluar kewenangan 7. Konflik juga di perparah dengan
pemerintah pusat maupun provinsi ketentuan dalam pasal 133 UU No
menjadi menjadi kewenangan 22/1999 yang menyatakan bahwa
kabupaten/kota yang berdampak ketentuan paraturan perundang-
pada konflik penyelenggaraan suatu undangan yang bertentangan
fungsi pemerintahan. dan/atau tidak sesuai dengan
4. Konflik penyelenggaraan fungsi undang-undang ini diadakan
pemerintahan, terutama oleh penyesuaian.
kabupaten/kota dengan pemerintah 8. Provinsi tidak dapat menjalankan
pusat departemen yang mengenai kewenangan sebagai daerah otonom
bidang sektoral. Daerah mengacu secara maksimal, yaitu kewenangan
kepada pasal 7, 11 dan pasal 119, yang mencakup lintas
sedangkan departemen sektoral kabupaten/kota maupun
mengacu kepada pasal 7(b) serta kewenangan yang tidak atau belum
undang- undang yang mengatur dapat dilakukan oleh

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 69


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

kabupaten/kota. Pengaturan fenomena. Pertama, konflik muncul


kewenangan provinsi dalam pasal 4 disebabkan tidak ada kejelasan batas-
PP No 25/2000 pada batas kewenangan dan sisi-sisi mana
pelaksanaannya seringkali sering wilayah yang menjadi otoritas yang
kali berbenturan dengan harus dikontrol atau yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota yang tanggungjawab masing-masing
mengacu pada pasal 7, 9 dan 111 pemerintah daerah. Kedua, otonomi
UU No 22/1999. masih berjalan setengah hati atau sesuai
9. Distribusi kewenangan dalam pasal istilah yang diungkapkan Pratikno pada
11 tidak membagi secara jelas elit belum menyepakati otonomi
fungsi pemerintahan apa yang sebagai the only game in this country,
menjadi pemenuhan kebutuhan pera elit lokal sebagai pemimpin daerah
dasar masyarakat lokal dan masih menunjukkan arogansinya sesuai
merupakan sektor unggulan. dengan struktur-struktur yang ada,
Kabupaten/kota dalam pasal 11 juga sehingga akan menimbulkan suasana
mengemban bidang pemerintahan yang tidak tidak demokratis apalagi
yang wajib, tanpa membedakan dalam perebutan sumber-sumber
karakteristik daerah perkotaan ekonomi yang menghasilkan banyak
maupun pedesaan. pundi-pundi uang.
Pemerintah kota Kendari kelihatan
Hasil penelitian diatas mengatakan masih menggunakan pemikiran bahwa
bahwa sebenarnya UU No. 22/1999 dengan UU no. 22 tahun 1999 yang
tersebut masih meningglakna celah mengatakan bahwa desentralisasi bukan
untuk terciptanya konflik kewenangan untuk pemerintah provinsi, tetapi
daerah. Untuk melihat konflik ang kepada Kabupaten/Kota. Jadi
sedang terjadi di Kendari maka kita pengelolaan SDA ataupun adanya
sedikit mengurai lebih mendalam, hal Investor harus mempunyai lisensi resmi
ini berkaitan dengan investor dimana dari pihak kabupaten/kota. Secara
sudah menjadi rahasia umum Ali Mazi teoritis apa ang diungkapkan banyak
dengan Tommy Winata mempunyai pakar, dengan diberlakukannya
hubungan personalitas yang cukup otonomi daerah untuk kabupaten/kota
harmonis. Desentralisasi kadang kala maka, akan lebih baik mendekatkan
menjadi sebuah pintu masuk bagi rent- pemerintah dengan publik atau
seeker dan predatory elit (Martanto, masyarakatnya.
2003). Politik ditingkat lokal Kedua, struktur yang ada di Kendari
melibatkan aktor-aktor yang memiliki saling bersitegang dan tetap bersikukuh
kepentingan yang berbeda-beda, bahkan terhadap pedomannya masing-masing,
dalam banyak kasus pejabat politik di sehingga menimbulkan posisi yang sulit
daerah tidak seirama dengan birokrasi bagi PT AGG selaku investor untuk
daerah di daerah. Oleh sebab itu, melanjutkan investasinya. Konflik
kadang-kadang komitmen untuk antara pihak Provinsi dengan
menjalankan perumusan implementasi kabupaten/kota seperti yang dikatakan
otonomi daerah dalam hal pengelolaan Nanang Indra Kurniawan menjadi awal
SDA sering berbeda-beda maupun konflik yang menimbulkan dua
saling tumpang tindih kepentingan. argumen (Flamma, 2005). Pertama,
Konflik kewenangan yang terjadi pihak provinisi menganggap otonomi
apabila ditinjau dari kasus di Kendari berbasis kebupaten/kota merupakan
bahwa sengketa ini muncul dengan dua sumber konflik antara Provinsi dengan

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 70


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

kabupaten/kota, munculnya “raja-raja modal penentuan titik usaha, baik


kecil” di kabupetan/kota yang arogan dalam bentuk investasi langsung
dan mbalela serta menimbulkan maupun tidak langsung dan bergerak
penyelenggaraan pemerintahan yang pada level ekonomi. Titik singgung
tidak efektif dan efisien. Kedua simbiosis mutualisme kemudian terjadi
penganut pandangan ini yakni pihak disini, ketika pengusaha membutuhkan
kabupaten/kota mengkritik bahwa dana dan modal untuk menjalankan
otonomi daerah berbasis pada provinsi program kerja dan penguasa
menghambat pelaksanaan desentralisasi membutuhkan kebijakan politik dan ijin
yang sudah berjalan dan menjauhkan usaha dari birokrasi yang dikendalikan
jarak antara pemerintah dan pengusaha.
masyarakatnya. Persinggungan penguasa dan
Indra Jaya Piliang (2006), pengusaha sesungguhnya tidak hanya
mengatakan bahwa seharusnya UU 32 terjadi pada momentum implementasi
tahun 2004 memberikan kepastian program kerja pemerintah, tetapi telah
hukum tentang wewenang daerah jauh dari sebelumnya bahkan ketika
dalam urusan investasi. Padahal untuk proses pemilihan kepala daerah
melakukan tujuan pelayanan yang langsung (pilkada). Pengusaha
efektif agar tidak menimbulkan bertindak sebagai kreditor yang
tumpang tindih kewenangan dan memberikan infus keuangan kepada
menciptakan sebuah institusi yang pasangan calon yang dianggap
sering dikenal dengan istilah satu atap pontensial dan sanggup memberikan
untuk menyelesaikan beberapa konsensi ekonomi-politik pasca
permasalahan yang menyangkut pilkada. Kondisi ini pada akhirnya
masalah kewenangan dan perijinan membuat calon-calon penguasa dan
(Piliang, 2006). penguasa itu sendiri menjalin relasi
dengan penguasa guna mendukung
Hubungan Relasi Elit penguasa, Elit kegiatan kerja politiknya. Kasus
Pengusaha dalam Kewenangan Pilkada Sleman menjelaskan fenomena
Pengusaha dan punguasa menjadi ini, ketika partai-partai politik dengan
dua sisi mata uang, berbeda kuasa dan segera merekrut calon-calon penguasa
ranah, namun saling membutuhkan satu dari kalangan pengusaha dengan tujuan
dengan yang lainnya. Tanpa kehadiran jelas partai mendapat dana dan
sisi yang satu, seperti apapun pengusaha mendapat kuasa ekonomi
bentuknya tetap tdak dapat disebut mata (Rahayu, 2006).
uang. Dalam hubungan ini, penguasa Pasca pemilu maka yang terjadi
jelas membutuhkan sumber dana untuk adalah masa pemenuhan janji bagi
membiayai dan menjalankan program- pasangan penguasa terpilih atas
progran kerja. Pada titik ini, penguasa pengusaha-pengusaha kreditor dana
dan pengusaha bersinggungan, terlepas kampanye. Konsesi politik di belakang
dari self interest masing-masing. meja sering kali terjadi dan berujung
Penguasa (Gubernur/Bupati/Walikota) dengan pemberian hak monopoli pada
memiliki otoritas penuh menentukan pengusaha atau konsorsium tertentu
blue print arah pembangunan daerah, atas satu lahan ekonomi. Implikasi
pun dalam pengambilan keputusan lebih lanjut adalah lahirnya orang kuat
politik dan bergerak dalam level politik. ditingkat lokal (local strong man) ataas
Pada sisi lain pengusaha sebagai keukuasaan sumber daya ekonomi dan
pemilik modal mempunyai kuasa atas finansial, bukan atas otoritas politik.

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 71


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

Pada gilirannya, orang kuat inilah yang dijadikan sebagai instrumen untuk
lebih menentukan berlakunya mencapai tujuan. Dan instrumen
kekuasaan politik atas kebijakan- tersebut harus digunakan secara
kebijakan pembangunan di daerah. bijaksana oleh kepala derah tanpa harus
Munculnya local strong man meninggalkan konflik antara
sebagai implikasi langsung dari system pemerintah, baik pemerintah pusat
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dengan provinsi, maupun provinsi
baik melalui pelaksanaan demokrasi dengan kabupaten/kota. Terjadinya
prosedural dalam pemilihan kepala tumpang tindih kewenangan berarti
daerah maupun dalam kebijakan akan mengaburkan sistem otonomi
desentralisasi. Landasan normatif derah.
penyelenggaraan pemerintah daerah Liberalisasi politik dan demokrasi
yang terus berubah ikut memberi warna ditingkat nasional di era reformasi saat
tersendiri terhadap pola kegiatan, pola ini berpengaruh terhadap dinamika
kekuasaan dan pola perilaku politik kedaerahan. Beberadaan
pemimimpin kepala daerah. undang-undang no. 22 tentang otonomi
Pengaturan dalam semua undang- daerah, dapat menyababkan konflik
undang tentang pamerintahan daerah yang terjadi ditingkatan daerah.
membuat peranan kepala daerah sangat Keberadaan sejajar antara kabupaten
strategis, karena kepala daerah dengan pihak provinsi ternyata
merupakan komponen signifikan bagi membuat pihak kabupaten/kota berani
keberhasilan pembangunan nasional, untuk melakukan resistensi baik secara
sebab pemerintahan daerah merupakan tertutup maupun secara terbuka. Tidak
sub-sistem dari pemerintahan nasional jarang juga kepentingan-kepentingan
atau negara (Kaloh, 2003). Kalau lebih banyak berbicara pada saat
mengatakan bahwa dalam konteks otonomi daerah yang akan menyulut
otonomi daerah, seorang kepala daerah kepada sebuah konflik kewenangan.
baik Gubernur, Walikota, Bupati, dan Sebenarnya, rancangan peraturan
seterusnya dalam implementasi pola pemerintah dibidang penanaman modal
kepemimpinan seharusnya tidak telah menyebutkan bahwa kewenangan
berorientasi pada tuntutan untuk pemerintah pusat adalah memberikan
memperoleh kewenangan yang sebesar- persetujuan prinsip penanaman modal
besarnya, tanpa memperhatikan makna asing dan penanaman modal dalam
dari otonomi daerah itu sendiri yang negeri, sementara kewenangan
lahir dari suatu kebutuhan akan pemerintah provinsi adalah
efisiensi dari efektivitas manajemen memberikan persetujuan terhadap
penyelengaraan pemerintahan. penanaman modal dalam negeri.
Seharusnya otonomi daerah harus Konflik yang sedang terjadi di Kendari
diterjemahkan kepala daerah sebagai memperkuat argumentasi dimana,
upaya bagaimana mengatur munculnya arogansi Ali Mazi sebagai
kewenangan pemerintahan sehingga Gubernur yang memberikan ijin
serasi dan fokus pada tuntutan terhadap investor Tommy Winata
kebutuhan masyarakat (Kaloh, 2003: tanpa memperhitungkan peranan pihak
16). pemerintah kota. Jika dilihat dari segi
James W. Fasler (1965), teritorial ada, konflik yang terjadi di
mengatakan bahwa, otonomi daerah kota Kendari, maka segala investasi
bukanlah sebuah tujuan, akan tetapi yang telah dijalankan oleh Tommy
bagaimana otonomi daerah dapat

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 72


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

Winata berada diwilayah teritorial Otonomi selama ini dianggap


pemerintahan kota. sebagai pintu masuk bagi pelaksanaan
Desentralisasi seperti yang kekuasaan yang lebih baik dalam
dikatakan Tri Ratnawati bukanlah rangka pelaksanaan asas desentralisasi,
sebagai obat yang mujarab dalam tapi ternyata otonomi malah
mengatasi segala permasalahan yang menciptakan benih-benih konflik baru
pelik selama tiga puluh dua tahun, yang mengarahkan derah pada posisi
karena desentralisasi juga memiliki yang berhadap-hadapan saling bersaing
berbagai kelemahan. Desentralisasi dalam memperebutkan sumber daya
sering juga dipraktekan karena faktor yang ada.
kepentingan (interest) dan kontestasi Ada beberapa hal penting yang
politik diantara aktor yang bermain memberi pelajaran dalam konflik ini,
(Ratnawati, 2006). Tidak jarang bahwa pertama perlu adanya pemahaman baru
permainan para elit daerah dalam ditingkat elit bahwa otonomi dilakukan
mengelola sumber daya alam atau bukan atas kebebasan yang multi tafsir
mengelola sumber-sumber ekonomi sehingga bebas untuk melakukan tafsir
lainnya seperti permasalahan investor tersebut pada tataran implementasi.
akan memunculkan seperti apa yang Kedua, perlu perbaikan perundang-
dikatakan oleh John T Sidel sebagai undangan baik pada tingkat nasional
“bosisme” yang akan terjadi ditingkat maupun tingkat daerah.
lokal sebagai bukti dari kebijakan Ditingkat nasional perlunya
desentralisasi yang telah dipermainkan menggaransi undang-undang otonomi
oleh masing –masing daerah (Sidel, daerah dengan peraturan pemerintah
2005). (PP) yang mengikat adil dan bijaksana
Dalam konteks kasus Kendari, relasi dalam pelaksanaan otonomi daerah,
penguasa dan pengusaha muncul sedangkan ditingkat daerah perlu
sebagai implikasi kuatnya support perbaikan perda-perda yang lahir atas
Tommy Winata dalam mendukung pemahaman yang keliru terhadap
naiknya Ali Mazi sebagai Gubenur otonomi daerah.
Sultra terpilih. Dukungan politik dan Perbaikan ini semua berujung
finansial Tommy Winata pada Ali Mazi kepada upaya agar tidak terjadi
tidak lepas dari hubungan personal kesalahpahaman dalam menjalankan
antara keduanya yang telah terjalin otonomi daerah. Kecenderungan
lama. Atas dasar itulah, maka Ali Mazi perilaku koruktif dalam menjalankan
memberikan konsesi politik dan program otonomi daerah dewasa ini,
ekonomi pada Tommy Winata dalam sesutu yang tidak dapat dihindarkan.
bentuk pemberian hak dan izin investasi Perilaku ini memarginalkan esensi
di Sulawesi Tenggara. otonomi daerah ke arah kepentingan
sesaat yang dilakukan para elit politik
Refleksi Akhir daerah.
Konflik kewenangan pemerintahan Betapa otonomi daerah sekarang ini
yang melibatkan pemerintah provinsi telah menyimpang dari arahnya, dari
dan pemerintah kota yang terjadi di upaya mendekatkan pemerintah
Kota Kendari diatas memberi pelajaran terhadap rakyatnya, berubah
kepada kita betapa undang-undang mendekatkan elit dengan
otonomi daerah itu masih menyisakan kepentingannya. Celakanya
masalah di tingkat pemerintahan kepentingan elit ini digunakan untuk
daerah. memperlancar kekuasaan baru bagi elit-

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 73


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

elit lokal, sehingga otonomi daerah


hanya akan menciptakan konflik baru.
Dalam kasus kota Kendari, dengan
adanya konflik kewenangan
membuktikan bahwa undang-undang
otonomi daerah yang dilaksanakan
sekarang ini masih perlu pembenahan.
Pembenahan utama adalah bagaimana
upaya dalam undang-undang tersebut
tidak menimbulkan perilaku koruptif
elit politik daerah. Dalam era otonomi
daerah sekarang ini merupakan
tantangan pekerjaan semua komponen
bangsa dalam rangka menjawab
tantangan masa depan otonomi daerah
yang akan datang.

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 74


Volume III, Nomor 1, Juni 2012

Daftar Pustaka
Buku
Cornelis Lay (2003). “Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah” Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Dean G. Pruitt & Jefrey Z. Rubin (2004). Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Gregorius Sahdan (2003). Transisi Demokrasi Indonesia, Yogyakarta; Pustaka
Pelajar.
J. Kaloh (2003). “Kepala Daerah” Pola Kegiatan, kekuasaan, dan perilaku Kepala
Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta; PT Gramedia
John T Sidel (2005). “Bosisme dan Demokrasi Filipina, Thailand, dan Indonesia”
dalam John Harris dkk, Politisasi Demokrasi Politik lokal Baru, Jakarta;
Demos
Kajian Komprehensif untuk mendukung Sultra Raya 2020 “pendekatan gerakan
kebudayaan dan peradaban”, Visi Misi Calon Gubernur Sultra Ali Mazi,
edisi 2002 kerjasama badan Riset Daerah dengan Universitas Haluoleo
2003.
M. Zaki Mubarak dkk, (2006). Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, Jakarta;
Yayasan Harkat Anak Bangsa (The Habibe Center), Europian Union (UE),
dan Kemitraan.
Jurnal
Agus Pramusinto, CSIS edisi November 2005 . “Paradoks-paradoks pelaksanaan
otonomi daerah, beberapa catatan dari lapangan.
Indra J Piliang, Jurnal CSIS edisi November 2006. Desain Baru Sistem Politik
Indonesia, Jakarta; CSIS.
Nanang Indra Kurniawan, Flamma 2005. “Berebut Otonomi Daerah”, Yogyakarta;
IRE Press.
Ucu Martanto, Mandatory Edisi 3 tahun 2007 . “Kemiskinan Indonesia: Potret
Buram Desentralisasi”, Politik Kesejahteraan di Tanah Republik.
J.W Fasler, Jurnal Politik vol. 27 No. 4/1965. “Approach to the Understanding of
decentralization”.

Skripsi
Ilmiah A. Rahayu, Kuasa Uang atas Pemilu (studi kasus pada mobilisasi Pilkadal
Kabupaten Sleman). Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM Yogyakarta tahun
2006, tidak diterbitkan.

Jurnal Administrasi Negara (JAN) 75

Anda mungkin juga menyukai