1
Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and
Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden,
The Netheralands, 1999, hlm. 21.
2
Ibid., lihat pula The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid
III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 109.
3
Fajri Nursyamsi, Pengawasan Peraturan Daerah Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 3 Tahun 2015, hlm. 528.
4
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Ilmu Hukum FH UII, 2001,
hlm. vii.
Demokrasi:
Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan, dalam perkembangannya sulit
dilaksanakan jika secara langsung. Faktor luas wilayah dari suatu negara dan besaran
jumlah penduduk serta pertambahan kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen
bahwa demokrasi langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.5
Berdasarkan kenyataan demikian, dalam penjelasan Eddy Purnama, muncullah yang
dikenal sebagai demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang pelaksanaan
kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui
lembaga perwakilan rakyat.6 Hal semacam ini lazim dinamakan demokrasi perwakilan
(representative democracy)7 yang dapat diwujudkan dengan bantuan otonomi daerah.
Selanjutnya, Bagir dengan jelas memberi hubungan antara otonomi daerah dan
demokrasi: Dari sudut demokrasi dalam arti formal, otonomi daerah diperlukan dalam
rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dari segi materiil
otonomi daerah mengandung makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan yang
bersandingan dengan prinsip negara kesejahteraan dan sistem pemencaran kekuasaan
menurut dasar negara berdasarkan atas hukum.8
Kehadiran satuan pemerintahan otoonom dalam kaitannya dengan demokrasi akan
menampakkan hal-hal berikut:9
(1) Secara umum, satuan pemerintahan otonom itu tersebut akan lebih mencerminkan
cita demokrasi daripada sentralisasi;
(2) Satuan pemerintahan otonom dapat dipandang sebagai esensi sistem demokrasi
(3) Satuan pemerintahan otonom dibutuhkan untuk mewujudkan prinsip kebebasan
dalam penyelenggaraan pemerintahan; dan
(4) Satuan pemerintahan otonom dibentuk dalam rangka memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan tuntutann
yang berbeda-beda.
10
Penelitian Pola Hubungan Antara Pusat dan Daerah: Kerja sama PSKN FH UNPAD dengan DPD,
Jakarta, 2009, hlm. 18
11
Bagir Manan, Menyongsong..., Op Cit., hlm. 26.
12
J. A. Logemann, Over de Theorie van Een Stellig Staatrecht (1948) sebagaimana dikutip Jimmly,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 22
Bagir Manan, Hukum Pemerintahan Daerah: disampaikan pada Kuliah Umum Fakultas Hukum
Universitas Lampung (FH UNILA), 13 Februari 2010.
14
Bagir Manan, Menyongsong..., Op Cit., hlm. 3
ternyata dibutuhkan juga dalam hal perluasan pelaksanaan demokrasi dan sarana
kesejahteraan umum. Pengalaman sejarah Indonesia membuktikkan bahwa sedari dulu
sudah ada kesadaran akan pentingnya otonomi daerah walaupun dalam pelaksanaannya
tidak mencerminkan asas-asas otonomi.
Menurut Soehino, keberadaan VOC yang awalnya hanya berkedudukan di Batavia
(Jakarta) menunjukkan bahwa penerapan sistem pemerintahan yang dianut Hindia
Belanda ketika itu masih hanya terbatas pada asas sentralisasi. 15 Namun seiring dengan
upaya ekspansi maupun perluasan kekuasaan yang dilakukan VOC terhadap beberapa
daerah tertentu di tanah air, maka asas sentralisasi yang semula diimplementasikan itupun
mulai mengalami pergeseran makna. Batavia kemudian ditempatkan sebagai pusat
pemerintahan, sedangkan daerah-daerah tertentu menjadi cabang VOC dalam
memperluas daerah jajahannya. Selanjutnya, seiring dengan tingkat perkembangan zaman
tindakan serius pun dilakukan terhadap regulasi otonomi daerah. Hal itu bisa dilihat dari
upaya Pemerintah Hindia Belanda yang membentuk daerah-daerah otonom 16 meskipun
dalam bentuk dan pola yang masih terbatas. Namun ternyata, dapat dipahami bahwa
sesungguhnya Pemerintah Hindia Belanda masih lebih menitikberatkan penerapan asas
sentralisasi. Pembagian menjadi beberapa daerah hanya untuk mempermudah
pengawasan terhadap wilayah teritorial jajahannya. 17 Hal tersebut juga masih terjadi
sampai Orde Lama dan Orde Baru. Otonomi daerah yang salah satu fungsinya adalah
memelihara perbedaan dan keragaman malah tidak dimunculkan. Yang ada adalah serba
kesatuan. Setiap perbedaan dianggap ancaman yang membahayakan. Otonomi adalah
ancaman, karena itu tidak boleh dilaksanakan sebagaimana mestinya. 18 Akibatnya adalah
mengancam NKRI karena daerah-daerah merasa terkekang dan tidak diberi tempat yang
layak. Seperti yang dikemukakan Bagir Manan: Daerah-daerah otonom yang bebas dan
mandiri mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri, merasa diberi
15
Soehino, Hukum Tata Negara: Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta: BPFE, 2004, hlm. 15
16
Pembentukan daerah otonom didasarkan pada Decentralisatiewet 1903 (Wet 23 Juli 1903, Ind. Stb.
Nomor 329 Tahun 1903). Kemudian Wet tersebut lebih disempurnakan pada tahun 1922 seiring dengan
dikeluarkannya Bestuurhervormingswet 1922 (Wet 6 Februari 1922, Ind. Sbt. Nomor 216 Tahun 1922). Wet ini
memuat ketentuan mengenai Desentralisasi dan Dekonsentrasi, Ibid., hlm. 16
17
Janpatar Simamora, Otonomi Daerah: Desentralisasi Korupsi dan Upaya Penanggulangannya,
Yogyakarta: Capiya Publishing, 2014, hlm. 13
18
Bagir Manan, Menyongsong..., Op Cit., hlm. vii
tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada
alasan untuk keluar dari RI.19
Maka, dapat disimpulkan bahwa secara teoretis, otonomi daerah memang dibutuhkan
dalam hal wilayah negara yang luas, jumlah penduduk yang banyak, menjaga keragaman,
memlihara demokrasi dan kesejahteraan, dsb. Namun, jika dikaitkan berdasarkan
pengalaman sejarah di Indonesia, otonomi daerah dibutuhkan untuk menjaga kesatuan
NKRI, rasa trauma terhadap sentralisasi otoritarian, membuat daerah merasa diakui
keberadaannya, dsb.
4. Berikan alasan konseptual bahwa pengertian Dekonsentrasi dalam UU 23 Tahun
2014 tidak tepat
Definisi Dekonsentrasi Pasal 1 angka (9) UU 23 Tahun 2014:
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali
kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Dari definisi dekonsentrasi diatas, kita tahu bahwa telah terjadi perluasan pihak yang
menerima limpahan urusan pemerintahan, yaitu: bupati/wali kota sebagai penanggung
jawab urusan pemerintahan umum. Lazimnya, pemberian tugas kepada bupati/wali kota
atas urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat berada pada rezim
tugas pembantuan (medebewind), karena yang masih diberi dwi status adalah gubernur
(sebagai wakil pemerintah dan sebagai Kepala Daerah). Artinya, UU 23 Tahun 2014 ini
inskonstitusional dengan Pasal 18 UUD 1945 sebagai landasan pemencaran kekuasaan.
Gagasan pemencaran urusan dalam UU 23 Tahun 2014 ini, lebih merujuk pada Pasal 4
daripada Pasal 18 dan Pasal 18A. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dalam paradigma UU Pemda 2014 lebih
dimaknai sebagai instrumen resentralisasi. Untuk menempatkan landasan kebijakan
otonomi daerah dari UUD 1945 yang tepat, seharusnya makna Pasal 4 dimaknai sebagai
tanggung jawab Presiden untuk menjamin pelaksanaan Pasal 18, karena itulah di antara
19
Ibid., hlm. 3
tugas konstitusionalnya. Akan tetapi, jika Pasal 4 dikehendaki sebagai alasan instrumen
sentralisasi sebagai sebuah opsi dalam negara kesatuan, maka tidak sepenuhnya salah.
Asalkan Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 dihapus terlebih dulu.
Bagir Manan, Problematik Penyelenggaraan Otonomi Daerah: disampaikan pada wisuda Sekolah
Tinggi Hukum Pasundan Sukabumi, 11 November 2010
konsepsional,
pengawasan
menurut
sifat/bentuk
dan
tujuannya
dapat
dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) pengawasan preventif dan; (2) pengawasan
represif atau pengawasan detektif.
Pengawasan preventif pada dasarnya dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan
daerah,
maka
pengawasan
preventif
bertujuan
untuk
mencegah
penyimpangan-
21
Ateng Syafrudin, Masalah Hukum dalam Pemerintahan di Daerah, Makalah untuk pendidikan non-gelar
anggota DPRD tingkat II se-Jawa Barat di Fakultas ISIP Unpad, 28 Desember 1992, hlm. 7.
22
Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid I, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm. 197.
No.
1.
Model
Pengawasan
Executive preview
UU Pemda 2004
UU Pemda 2014
23
24
Executive review
3.
Pengawasan
Preventif
Pasal 243
Rancangan Perda yang belum
mendapatkan nomor register
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 242 ayat (5) belum dapat
ditetapkan kepala Daerah dan
belum dapat diundangkan dalam
lembaran daerah.
Dari berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai pasal di atas, maka dapat dipahami
bahwa pengawasan preventif yang diterapkan oleh UU Pemda 2004 dapat dirumuskan,
pengawasan preventif khusus dilakukan untuk Perda yang menyangkut pajak daerah,
retribusi dan tata ruang (RUTR). Berbeda dengan UU Pemda 2014 yang model pengawasan
preventif terhadap produk hukum daerah, tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hanya
istilah saja yang berbeda yaitu penambahan istilah pemberian nomor registrasi pada
rancangan perda provinsi dan rancangan perda kabupaten/kota menurut UU Pemda 2014.
Melalui kedua undang-undang tersebut, menjadi sangat jelas bahwa terdapat suatu perubahan
yang signifikan dan mengindikasikan fungsi resentralisasi pada hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dengan daerah, karena bagaimanapun penerapan dari hubungan antar
pemerintah tersebut adalah melalui produk hukum daerah yang dirumuskan dalam bentuk
perda. Perda merupakan produk hukum yang dibentuk oleh pemda. Perda provinsi dibentuk
oleh gubernur bersama-sama dengan DPRD provinsi, perda kabupaten/kota dibentuk oleh
bupati/walikota bersama-sama dengan DPRD kabupaten/kota. Perda sebagai produk hukum
daerah merupakan bentuk hukum yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat
mengikat secara umum. Substansi perda harus mencerminkan suatu pelaksanaan dari segala
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan
kekhususan masing-masing daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan dirumuskan dengan turut serta mempertimbangkan
kepentingan umum. Dalam masyarakat daerah, perda dibentuk dengan tujuan mengatur
masyarakat daerah secara umum, agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan
dan dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dibentuk
sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan desentralisasi.
Jika ditinjau dari tiga ajaran konsep otonomi daerah yaitu sistem rumah tangga secara
materiil, formil, dan riil, sistem rumah tangga riil adalah yang paling cukup. Hubungan
antara UU Pemda 2004 dengan UU Pemda 2014 menunjukkan bahwa terdapat perubahan
ajaran konsep otonomi daerah yang akan berimplikasi pada sistem pengawasannya. Pada UU
Pemda 2004, dianut sistem rumah tangga formil dan riil karena pengaturan tentang
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah diatur dalam
undang-undang secara umum. Pada UU Pemda 2014, dianut sistem rumah tangga materiil
karena seluruh pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah ditentukan
secara rinci dan detail seperti yang telah diulas pada penjelasan sebelumnya.
Kesimpulan Pengawasan Preventif
Pada UU Pemda 2014, hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah yang
berimplikasi pada pengawasannya, khususnya pengawasan preventif cenderung dilaksanakan
terlalu ketat, karena pemerintah pusat dinilai terlalu besar campur tangan dalam praktik
pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah secara ideal. Sehingga sistem pengawasan
sebagai implikasi dari kewenangan pemerintah pusat dan daerah menurut UU Pemda 2014
kurang tepat, karena cenderung melemahkan otonomi dan menuju ke arah resentralisasi. Hal
ini cukup bertentangan dengan esensi otonomi daerah yang seharusnya mengedepankan porsi
pemerintah daerah untuk mengurus segala kebutuhan daerahnya sesuai dengan kondisi
khusus yang dimiliki daerah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah daerah sebaiknya diberi
keleluasaan dalam mengurus daerah demi kesejahteraan masyarakat di daerah. Pada
pengawasan preventif dapat mengikutsertakan peran aktif masyarakat di daerah mengenai
substansi kebijakan daerah.
Pengawasan Represif
(1) Pada UU Pemda 2014, upaya yang dilakukan dengan menerapkan proses pengawasan
yang berjenjang, dengan cara perda kabupaten/kota diawasi oleh pemerintah daerah
provinsi, sedangkan perda provinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal itu tidak
itu, yaitu konsep pengaturan mengenai pengawasan oleh pemerintah pusat dibuat secara
hierarkis, pemberian sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak menaati mekanisme
pengawasan perda, kewenangan pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri)
yang dalam satu kondisi dapat membatalkan perda sampai kepada tingkat
kabupaten/kota, dan penghapusan mekanisme banding atau keberatan pemeritah daerah
terhadap pembatalan perda yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Mekanisme pengawasan yang paling tepat dari kedua undang-undang tersebut adalah UU
Pemda 2004, karena jika UU Pemda 2014 sangat sentralistik dan tidak sesuai dengan
amanat otonomi daerah kita yang desentralistik.