Anda di halaman 1dari 14

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini secara terfokus!

1. Jelaskan dengan mengemukakan contoh mengenai hubungan antara otonomi


dengan konsep negara kesatuan, demokrasi, dan welfare state?
Negara Kesatuan
Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut
pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang
tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan. 1 Dalam
negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut
pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang
dipusatkan dan atau dipencarkan.2 Sementara itu setelah negara-negara di dunia
mengalami perkembangan yang sedemikian pesat, wilayah negara menjadi semakin luas,
urusan pemerintahannya menjadi semakin kompleks. Serta warga negaranya semakin
banyak dan heterogen, maka penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk
melaksanakan urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada di daerah. Hal tersebut terjadi
karena dalam pelaksanaannya tidak mungkin berjalan secara efektif, terlebih peran
negara sudah semakin kompleks dalam tataran negara modern, maka dianutlah otonomi
daerah.3 Bahkan peran penting otonomi daerah adalah sebagaimana yang dijelaskan Bagir
Manan: Otonomi adalah salah satu garda depan penjaga negara kesatuan4
Contoh: Negara Indonesia yang berbentuk Kesatuan (Pasal 1 angka 1 UUD 1945)
melakukan pembagian kekuasaannya melalui sistem otonomi daerah (Pasal 18 ayat 2
UUD 1945).

1
Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and
Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden,
The Netheralands, 1999, hlm. 21.
2
Ibid., lihat pula The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid
III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 109.
3
Fajri Nursyamsi, Pengawasan Peraturan Daerah Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 3 Tahun 2015, hlm. 528.
4
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Ilmu Hukum FH UII, 2001,
hlm. vii.

Demokrasi:
Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan, dalam perkembangannya sulit
dilaksanakan jika secara langsung. Faktor luas wilayah dari suatu negara dan besaran
jumlah penduduk serta pertambahan kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen
bahwa demokrasi langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.5
Berdasarkan kenyataan demikian, dalam penjelasan Eddy Purnama, muncullah yang
dikenal sebagai demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang pelaksanaan
kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui
lembaga perwakilan rakyat.6 Hal semacam ini lazim dinamakan demokrasi perwakilan
(representative democracy)7 yang dapat diwujudkan dengan bantuan otonomi daerah.
Selanjutnya, Bagir dengan jelas memberi hubungan antara otonomi daerah dan
demokrasi: Dari sudut demokrasi dalam arti formal, otonomi daerah diperlukan dalam
rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dari segi materiil
otonomi daerah mengandung makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan yang
bersandingan dengan prinsip negara kesejahteraan dan sistem pemencaran kekuasaan
menurut dasar negara berdasarkan atas hukum.8
Kehadiran satuan pemerintahan otoonom dalam kaitannya dengan demokrasi akan
menampakkan hal-hal berikut:9
(1) Secara umum, satuan pemerintahan otonom itu tersebut akan lebih mencerminkan
cita demokrasi daripada sentralisasi;
(2) Satuan pemerintahan otonom dapat dipandang sebagai esensi sistem demokrasi
(3) Satuan pemerintahan otonom dibutuhkan untuk mewujudkan prinsip kebebasan
dalam penyelenggaraan pemerintahan; dan
(4) Satuan pemerintahan otonom dibentuk dalam rangka memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan tuntutann
yang berbeda-beda.

Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 10.


Ibid., hlm. 11.
7
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas,
1993, hlm 61.
8
Bagir Manan, Menyongsong..., Op Cit., hlm. 59
9
Ibid., hlm. 177.
6

Contoh: DPD sebagai pemerintahan daerah, merupakan sarana pelaksana paham


kedaulatan rakyat yang menjalankan pemerintahan secara demokratis (lihat pasal 22D
UUD 1945).
Welfare State:
Welfare state atau negara kesejahteraan mewajibkan negara melakukan upaya terbaik
untuk menyejahterakan rakyatnya. Penyelenggaraan negara yang baik adalah yang dapat
menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat sampai ke pelosok wilayah negara,
mempertimbangkan pertama, tujuan penyelenggaraan negara, yaitu kesejahteraan rakyat
di satu sisi, dan kedua, jarak yang jauh antara pusat pemerintahan dengan bagian-bagian
daerah yang harus diperintah di sisi lain. 10 Maka, fungsi kesejahteraan harus diusahakan
diletakkan pada satuan-satuan pemerintahan yang lebih dekat pada pusat-pusat
kesejahteraan. Otonomilah sebagai ujung tombak usaha mewujudkan kesejahteraan
tersebut.11
Contoh: Demi mensejahterakan rakyat, setiap daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur sendiri perizinan/birokrasi yang biasanya terdapat lembaganya di masingmasing daerah.
2. Mengapa dikatakan bahwa Hukum Pemerintahan Daerah sebagai Kajian Hukum
Tata Negara dan juga sebagai Kajian Hukum Administrasi Negara?
Sebagai Kajian Hukum Tata Negara:
Menurut pandangan Logemann, Hukum Tata Negara mempelajari hukum tentang
organisasi negara.12 Pemerintahan Daerah adalah organisasi negara tingkat lebih rendah
atau dapat disebut sebagai sub organisasi negara. Dengan demikian, hukum mengenai
pemerintahan daerah merupakan bagian dari hukum organisasi negara yang menjadi
objek Hukum Tata Negara.
Sebagai Kajian Hukum Administrasi Negara:

10

Penelitian Pola Hubungan Antara Pusat dan Daerah: Kerja sama PSKN FH UNPAD dengan DPD,
Jakarta, 2009, hlm. 18
11
Bagir Manan, Menyongsong..., Op Cit., hlm. 26.
12
J. A. Logemann, Over de Theorie van Een Stellig Staatrecht (1948) sebagaimana dikutip Jimmly,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 22

Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur (menentukan) cara-cara


pemerintah (adminitrasi negara) menjalankan pemerintahan (menjalankan administrasi
negara), yang mencakup:
(1) Hukum yang mengatur internal administrasi negara
(2) Hukum yang mengatur hubungan administrasi dengan warga atau penduduk
negara
(3) Hukum yang mengatur hak dan kewajiban warga atau penduduk terhadap
pemerintah (administrasi negara)
Dengan demikian karena hukum yang mengkaji pemerintahan daerah hanya mengenai
tata cara pemerintahan daerah menjalankan pemrintahan (administrasi negara), maka
masuk rumpun hukum administrasi negara. Sebagai pengajaran tersendiri, Hukum
Pemerintahan Daerah adalah hukum adminitrasi negara khusus (special adminitrative
law: bijzondere administrative recht) diamping hukum administrasi negara umum
(algemenel adminitratief recht).13
3. Secara teoretis, mengapa dibutuhkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan? Buktikan alasan yang saudara kemukakan tersebut
berdasarkan pengalaman sejarah di Indonesia
Mengutip pendapat Bagir Manan: Sejarah ketatanegaraan RI sudah sejak semula
meletakkan otonomi daerah sebagai salah satu sendi penting penyelenggaraan
pemerintahan negara. Otonomi daerah diadakan bukan sekedar menjamin efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan negara. Bukan pula sekedar menampung kenyataan
negara yang luas, penduduk banyak, dan berpulau-pulau. Lebih dari itu, otonomi daerah
merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen mewujudkan
kesejahteraan umum. Tidak kalah penting, otonomi daerah merupakan cara memelihara
negara kesatuan.14 Dapat kita pahami dari penjelasan Bagir Manan diatas bahwa
kebutuhan terhadap otonomi tidak hanya karena negara tersebut memiliki wilayah luas,
banyak penduduk, memudahkan pemerintah untuk menjangkau daerah terluar,
menyesuaikan kharakteristik dan keberagaman daerah, dsb. Namun, otonomi daerah
13

Bagir Manan, Hukum Pemerintahan Daerah: disampaikan pada Kuliah Umum Fakultas Hukum
Universitas Lampung (FH UNILA), 13 Februari 2010.
14
Bagir Manan, Menyongsong..., Op Cit., hlm. 3

ternyata dibutuhkan juga dalam hal perluasan pelaksanaan demokrasi dan sarana
kesejahteraan umum. Pengalaman sejarah Indonesia membuktikkan bahwa sedari dulu
sudah ada kesadaran akan pentingnya otonomi daerah walaupun dalam pelaksanaannya
tidak mencerminkan asas-asas otonomi.
Menurut Soehino, keberadaan VOC yang awalnya hanya berkedudukan di Batavia
(Jakarta) menunjukkan bahwa penerapan sistem pemerintahan yang dianut Hindia
Belanda ketika itu masih hanya terbatas pada asas sentralisasi. 15 Namun seiring dengan
upaya ekspansi maupun perluasan kekuasaan yang dilakukan VOC terhadap beberapa
daerah tertentu di tanah air, maka asas sentralisasi yang semula diimplementasikan itupun
mulai mengalami pergeseran makna. Batavia kemudian ditempatkan sebagai pusat
pemerintahan, sedangkan daerah-daerah tertentu menjadi cabang VOC dalam
memperluas daerah jajahannya. Selanjutnya, seiring dengan tingkat perkembangan zaman
tindakan serius pun dilakukan terhadap regulasi otonomi daerah. Hal itu bisa dilihat dari
upaya Pemerintah Hindia Belanda yang membentuk daerah-daerah otonom 16 meskipun
dalam bentuk dan pola yang masih terbatas. Namun ternyata, dapat dipahami bahwa
sesungguhnya Pemerintah Hindia Belanda masih lebih menitikberatkan penerapan asas
sentralisasi. Pembagian menjadi beberapa daerah hanya untuk mempermudah
pengawasan terhadap wilayah teritorial jajahannya. 17 Hal tersebut juga masih terjadi
sampai Orde Lama dan Orde Baru. Otonomi daerah yang salah satu fungsinya adalah
memelihara perbedaan dan keragaman malah tidak dimunculkan. Yang ada adalah serba
kesatuan. Setiap perbedaan dianggap ancaman yang membahayakan. Otonomi adalah
ancaman, karena itu tidak boleh dilaksanakan sebagaimana mestinya. 18 Akibatnya adalah
mengancam NKRI karena daerah-daerah merasa terkekang dan tidak diberi tempat yang
layak. Seperti yang dikemukakan Bagir Manan: Daerah-daerah otonom yang bebas dan
mandiri mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri, merasa diberi

15

Soehino, Hukum Tata Negara: Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta: BPFE, 2004, hlm. 15
16
Pembentukan daerah otonom didasarkan pada Decentralisatiewet 1903 (Wet 23 Juli 1903, Ind. Stb.
Nomor 329 Tahun 1903). Kemudian Wet tersebut lebih disempurnakan pada tahun 1922 seiring dengan
dikeluarkannya Bestuurhervormingswet 1922 (Wet 6 Februari 1922, Ind. Sbt. Nomor 216 Tahun 1922). Wet ini
memuat ketentuan mengenai Desentralisasi dan Dekonsentrasi, Ibid., hlm. 16
17
Janpatar Simamora, Otonomi Daerah: Desentralisasi Korupsi dan Upaya Penanggulangannya,
Yogyakarta: Capiya Publishing, 2014, hlm. 13
18
Bagir Manan, Menyongsong..., Op Cit., hlm. vii

tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada
alasan untuk keluar dari RI.19
Maka, dapat disimpulkan bahwa secara teoretis, otonomi daerah memang dibutuhkan
dalam hal wilayah negara yang luas, jumlah penduduk yang banyak, menjaga keragaman,
memlihara demokrasi dan kesejahteraan, dsb. Namun, jika dikaitkan berdasarkan
pengalaman sejarah di Indonesia, otonomi daerah dibutuhkan untuk menjaga kesatuan
NKRI, rasa trauma terhadap sentralisasi otoritarian, membuat daerah merasa diakui
keberadaannya, dsb.
4. Berikan alasan konseptual bahwa pengertian Dekonsentrasi dalam UU 23 Tahun
2014 tidak tepat
Definisi Dekonsentrasi Pasal 1 angka (9) UU 23 Tahun 2014:
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali
kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Dari definisi dekonsentrasi diatas, kita tahu bahwa telah terjadi perluasan pihak yang
menerima limpahan urusan pemerintahan, yaitu: bupati/wali kota sebagai penanggung
jawab urusan pemerintahan umum. Lazimnya, pemberian tugas kepada bupati/wali kota
atas urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat berada pada rezim
tugas pembantuan (medebewind), karena yang masih diberi dwi status adalah gubernur
(sebagai wakil pemerintah dan sebagai Kepala Daerah). Artinya, UU 23 Tahun 2014 ini
inskonstitusional dengan Pasal 18 UUD 1945 sebagai landasan pemencaran kekuasaan.
Gagasan pemencaran urusan dalam UU 23 Tahun 2014 ini, lebih merujuk pada Pasal 4
daripada Pasal 18 dan Pasal 18A. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dalam paradigma UU Pemda 2014 lebih
dimaknai sebagai instrumen resentralisasi. Untuk menempatkan landasan kebijakan
otonomi daerah dari UUD 1945 yang tepat, seharusnya makna Pasal 4 dimaknai sebagai
tanggung jawab Presiden untuk menjamin pelaksanaan Pasal 18, karena itulah di antara
19

Ibid., hlm. 3

tugas konstitusionalnya. Akan tetapi, jika Pasal 4 dikehendaki sebagai alasan instrumen
sentralisasi sebagai sebuah opsi dalam negara kesatuan, maka tidak sepenuhnya salah.
Asalkan Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 dihapus terlebih dulu.

5. Mengapa isi otonomi pada setiap daerah memungkinkan beragam?


Prinsip kekhususan dan keragaman daerah ini diatur dalam Pasal 18A ayat (1) UUD
1945:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Republik Indonesia merupakan negara dengan berbagai keragaman. Keragaman sosial,
budaya (bahasa, adat istiadat, susunan masyarakat), etnik, dan lain-lain. Keragamankeragaman ini menimbulkan pula keragaman pola hidup, kebutuhan, perbedaan
kemajuan, dan lain sebagainya. Salah satu fungsi otonomi adalah mengelola keragaman
tersebut agar dapat menjadi instrumen mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran,
kesejahteraan, dan keadilan sosial. Otonomi yang mempunyai keragaman cenderung
mempunyai peluang berhasil. Bukan saja fungsi pemerintahan dijalankan berdasarkan
realita yang ada. Pelaksanaan otonomi semacam ini dapat memaksimalkan partisipasi
karena masyarakat merasa diperhatikan dan diakui eksistensinya.20

6. Jelaskan alasan konsep pengawasan terhadap otonomi daerah!


Adapun alasan mengapa pengawasan (toezicht, supervision) diperlukan terhadap otonomi
daerah adalah karena pengawasan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan kemandirian berotonomi di satu pihak dan
pengawasan di pihak lain, merupakan dua sisi dari satu mata uang dalam negara kesatuan
dengan sistem otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian berotonomi dapat
dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap kecenderungan sentralisasi yang
20

Bagir Manan, Problematik Penyelenggaraan Otonomi Daerah: disampaikan pada wisuda Sekolah
Tinggi Hukum Pasundan Sukabumi, 11 November 2010

berlebihan. Sebaliknya pengawasan (toezicht) merupakan kendali terhadap desentralisasi


berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa sistem pengawasan.
Ateng Syafrudin menyebutkan 3 (tiga) tujuan dari pelaksanaan pengawasan, berkenaan
dengan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan daerah, yakni;21
(1) untuk menjaga kewibawaan pemerintah daerah dan kepentingannya;
(2) untuk menghindari atau mencegah penyalahgunaan wewenang;
(3) untuk mencegah kelalaian dalam administrasi yang dapat merugikan negara atau
daerah.
Namun demikian, perlu diketahui, pengertian pengawasan (toezicht, supervision) adalah
suatu bentuk hubungan dengan legal entity yang mandiri, bukan hubungan internal dari
entitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau
berdasarkan ketentuan undang-undang. Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan
terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.22

7. Berikan perbedaan pengawasan preventif dan pengawasan represif terhadap


Peraturan Daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jelaskan mekanisme dalam UU
manakah yang lebih tepat?
Secara

konsepsional,

pengawasan

menurut

sifat/bentuk

dan

tujuannya

dapat

dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) pengawasan preventif dan; (2) pengawasan
represif atau pengawasan detektif.
Pengawasan preventif pada dasarnya dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan
daerah,

maka

pengawasan

preventif

bertujuan

untuk

mencegah

penyimpangan-

penyimpangan yang terjadi di lapangan pemerintahan daerah. Relevan dengan pembentukan


produk hukum di daerah dan tindakan tertentu organ pemerintahan daerah, menurut Bagir

21

Ateng Syafrudin, Masalah Hukum dalam Pemerintahan di Daerah, Makalah untuk pendidikan non-gelar
anggota DPRD tingkat II se-Jawa Barat di Fakultas ISIP Unpad, 28 Desember 1992, hlm. 7.
22
Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid I, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm. 197.

Manan, pengawasan preventif ini berkaitan dengan wewenang mengesahkan (goedkeuring)23


atau menolak.
Sementara yang dimaksud pengawasan represif pada prinsipnya dilaksanakan setelah
dilakukannya tindakan yaitu dengan membandingkan antara hal yang telah terjadi dengan hal
yang seharusnya terjadi. Berkaitan dengan pembentukan produk hukum daerah dan tindakan
tertentu organ pemerintah daerah, pengawasan ini menurut Bagir Manan berkaitan dengan
wewenang pembatalan (Verneitiging) atau penangguhan (schorsing).24
Perbedaan Pengawasan UU 32 Tahun 2014 dan UU 23 Tahun 2014:
Pengawasan Preventif

No.
1.

Model
Pengawasan
Executive preview

UU Pemda 2004

UU Pemda 2014

Pasal 185 ayat 1


Rancangan Perda provinsi tentang
APBD yang telah disetujui
bersama dan rancangan Peraturan
Gubernur tentang penjabaran
APBD sebelum ditetapkan oleh
Gubernur paling lambat 3 (tiga)
hari disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri untuk dievaluasi.

Pasal 245 ayat 1


Rancangan Perda provinsi yang
mengatur
tentang
RPJPD,
RPJMD, APBD, perubahan
APBD,
pertanggungjawaban
pelaksanaan
APBD,
pajak
daerah, retribusi daerah dan tata
ruang daerah harus mendapat
evaluasi
Menteri
sebelum
ditetapkan oleh gubernur.

Pasal 186 (1)


Rancangan Perda kabupaten/kota
tentang APBD yang telah
disetujui bersama dan rancangan
Peraturan
Bupati/Walikota
tentang
Penjabaran
APBD
sebelum
ditetapkan
oleh
Bupati/Walikota paling lama 3
(tiga) hari disampaikan kepada
Gubernur untuk dievaluasi.
2.

23
24

Executive review

Pasal 245 ayat 3


Rancangan Perda kabupaten/kota
yang mengatur tentang RPJPD,
RPJMD, APBD, perubahan
APBD,
pertanggungjawaban
pelaksanaan
APBD,
pajak
daerah, retribusi daerah, dan tata
ruang daerah harus mendapat
evaluasi gubernur sebagai wakil
Pemerintah
Pusat
sebelum
ditetapkan oleh bupati/wali kota.
Pasal 185 ayat 5
Pasal 268 ayat 4
Apabila hasil evaluasi tidak Apabila hasil evaluasi tidak
ditindaklanjuti oleh Gubernur dan ditindaklanjuti oleh gubernur
DPRD, dan Gubernur tetap dan DPRD serta gubernur

Bagir Manan, Menyongsong..., Op Cit., hlm. 154


Ibid.,

menetapkan rancangan Perda


tentang APBD dan rancangan
Peraturan
Gubernur
tentang
penjabaran APBD menjadi Perda
dan Peraturan Gubernur, Menteri
Dalam Negeri rnembatalkan
Perda dan Peraturan Gubernur
dimaksud sekaligus menyatakan
berlakunya pagu APBD tahun
sebelumnya.

3.

Pengawasan
Preventif

menetapkan rancangan Perda


Provinsi tentang RPJPD menjadi
Perda, Menteri
membatalkan Perda dimaksud.

Pasal 269 ayat 4


Dalam hal hasil evaluasi tidak
ditindaklanjuti oleh gubernur
dan DPRD dan gubernur
menetapkan rancangan Perda
Provinsi
tentang
RPJMD
Pasal 186 ayat 5
menjadi Perda, Menteri
Apabila hasil evaluasi tidak membatalkan Perda dimaksud.
ditindaklanjuti
oleh
Bupati/Walikota dan DPRD, dan Pasal 270 ayat 4
Bupati/Walikota
tetap Dalam hal hasil evaluasi tidak
menetapkan rancangan Perda ditindaklanjuti oleh bupati/wali
tentang APBD dan rancangan kota dan DPRD kabupaten/kota,
Peraturan
Bupati/Walikota dan bupati/wali kota menetapkan
tentang
penjabaran
APBD rancangan Perda Kabupaten/Kota
menjadi Perda dan Peraturan tentang RPJPD menjadi Perda,
Bupati/Walikota,
Gubernur gubernur
sebagai
wakil
membatalkan Perda dan Peraturan Pemerintah Pusat membatalkan
Bupati/Walikota
dimaksud Perda dimaksud.
sekaligus menyatakan berlakunya
pagu APBD tahun sebelumnya.
Pasal 271 ayat 4
Dalam hal hasil evaluasi tidak
ditindaklanjuti oleh bupati/wali
kota dan DPRD kabupaten/kota
dan bupati/wali kota menetapkan
rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang RPJMD kabupaten/kota
menjadi
Perda, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat membatalkan
Perda dimaksud.
Pasal 185 ayat 5
Pasal 245 ayat 5
Apabila hasil evaluasi tidak Hasil evaluasi rancangan Perda
ditindaklanjuti oleh Gubernur dan Provinsi dan rancangan Perda
DPRD, dan Gubernur tetap Kabupaten/Kota
sebagaimana
menetapkan rancangan Perda dimaksud pada ayat (1) dan ayat
tentang APBD dan rancangan (3) jika disetujui diikuti dengan
Peraturan
Gubernur
tentang pemberian nomor register.
penjabaran APBD menjadi Perda
dan Peraturan Gubernur, Menteri
Dalam Negeri rnembatalkan

Perda dan Peraturan Gubernur


dimaksud sekaligus menyatakan
berlakunya pagu APBD tahun
sebelumnya.
Pasal 186 ayat 3
Apabila Gubernur menyatakan
hasil evaluasi rancangan Perda
tentang APBD dan rancangan
Peraturan
Bupati/Walikota
tentang Penjabaran APBD sudah
sesuai dengan kepentingan umum
dan
peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi,
Bupati/Walikota
menetapkan
rancangan dimaksud menjadi
Perda dan Peraturan
Bupati/Walikota.

Pasal 243
Rancangan Perda yang belum
mendapatkan nomor register
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 242 ayat (5) belum dapat
ditetapkan kepala Daerah dan
belum dapat diundangkan dalam
lembaran daerah.

Dari berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai pasal di atas, maka dapat dipahami
bahwa pengawasan preventif yang diterapkan oleh UU Pemda 2004 dapat dirumuskan,
pengawasan preventif khusus dilakukan untuk Perda yang menyangkut pajak daerah,
retribusi dan tata ruang (RUTR). Berbeda dengan UU Pemda 2014 yang model pengawasan
preventif terhadap produk hukum daerah, tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hanya
istilah saja yang berbeda yaitu penambahan istilah pemberian nomor registrasi pada
rancangan perda provinsi dan rancangan perda kabupaten/kota menurut UU Pemda 2014.
Melalui kedua undang-undang tersebut, menjadi sangat jelas bahwa terdapat suatu perubahan
yang signifikan dan mengindikasikan fungsi resentralisasi pada hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dengan daerah, karena bagaimanapun penerapan dari hubungan antar
pemerintah tersebut adalah melalui produk hukum daerah yang dirumuskan dalam bentuk
perda. Perda merupakan produk hukum yang dibentuk oleh pemda. Perda provinsi dibentuk
oleh gubernur bersama-sama dengan DPRD provinsi, perda kabupaten/kota dibentuk oleh
bupati/walikota bersama-sama dengan DPRD kabupaten/kota. Perda sebagai produk hukum
daerah merupakan bentuk hukum yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat
mengikat secara umum. Substansi perda harus mencerminkan suatu pelaksanaan dari segala
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan
kekhususan masing-masing daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dan dirumuskan dengan turut serta mempertimbangkan
kepentingan umum. Dalam masyarakat daerah, perda dibentuk dengan tujuan mengatur
masyarakat daerah secara umum, agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan
dan dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dibentuk
sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan desentralisasi.
Jika ditinjau dari tiga ajaran konsep otonomi daerah yaitu sistem rumah tangga secara
materiil, formil, dan riil, sistem rumah tangga riil adalah yang paling cukup. Hubungan
antara UU Pemda 2004 dengan UU Pemda 2014 menunjukkan bahwa terdapat perubahan
ajaran konsep otonomi daerah yang akan berimplikasi pada sistem pengawasannya. Pada UU
Pemda 2004, dianut sistem rumah tangga formil dan riil karena pengaturan tentang
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah diatur dalam
undang-undang secara umum. Pada UU Pemda 2014, dianut sistem rumah tangga materiil
karena seluruh pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah ditentukan
secara rinci dan detail seperti yang telah diulas pada penjelasan sebelumnya.
Kesimpulan Pengawasan Preventif
Pada UU Pemda 2014, hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah yang
berimplikasi pada pengawasannya, khususnya pengawasan preventif cenderung dilaksanakan
terlalu ketat, karena pemerintah pusat dinilai terlalu besar campur tangan dalam praktik
pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah secara ideal. Sehingga sistem pengawasan
sebagai implikasi dari kewenangan pemerintah pusat dan daerah menurut UU Pemda 2014
kurang tepat, karena cenderung melemahkan otonomi dan menuju ke arah resentralisasi. Hal
ini cukup bertentangan dengan esensi otonomi daerah yang seharusnya mengedepankan porsi
pemerintah daerah untuk mengurus segala kebutuhan daerahnya sesuai dengan kondisi
khusus yang dimiliki daerah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah daerah sebaiknya diberi
keleluasaan dalam mengurus daerah demi kesejahteraan masyarakat di daerah. Pada
pengawasan preventif dapat mengikutsertakan peran aktif masyarakat di daerah mengenai
substansi kebijakan daerah.
Pengawasan Represif
(1) Pada UU Pemda 2014, upaya yang dilakukan dengan menerapkan proses pengawasan
yang berjenjang, dengan cara perda kabupaten/kota diawasi oleh pemerintah daerah
provinsi, sedangkan perda provinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal itu tidak

dilakukan dalam UU Pemda 2004 yang memusatkan pengawasan kepada pemerintah


pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri.
(2) Permasalahan dalam UU Pemda 2004 adalah perihal lambatnya penyerahan perda oleh
pemerintah daerah untuk dievaluasi, bahkan terdapat keengganan pemerintah daerah
untuk menyerahkan perda untuk dilakukan evaluasi. Hal itu terjadi karena tidak ada
sanksi yang diatur dalam UU Pemda 2004 kepada pemerintah daerah.
Namun, dalam UU Pemda 2014 sudah ada sanksi yang diatur. Pada Pasal 249 ayat (2)
diatur bahwa gubernur yang tidak menyampaikan perda provinsi dan peraturan gubernur
kepada menteri dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari menteri, serta
Pasal 249 ayat (4) dengan ketentuan yang sama dikenakan kepada bupati/wali kota yang
tidak menyampaikan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat akan dikenai sanksi administratif berupa
teguran tertulis dari gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
(3) Dalam Pasal 145 ayat (3) UU Pemda 2004 disebutkan bentuk hukum untuk membatalkan
perda ialah mengunakan Peraturan Presiden (selanjutnya disebut Perpres). Pada
praktiknya, pembatalan perda dilakukan dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam
Negeri (Kepmendagri). Hal tersebut mengindikasikan adanya kesalahan dalam
pelaksanaan pembatalan perda selama ini.
Pada Pasal 251 ayat (1) UU Pemda 2014 disebutkan bahwa pembatalan perda provinsi
ditetapkan dengan keputusan menteri dan pembatalan perda kabupaten/kota ditetapkan
dengan keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kesan sentralistik semakin
terasa pada ketentuan Pasal 251 ayat (3) yang dinyatakan bahwa menteri berwenang
untuk membatalkan perda kabupaten/kota apabila gubernur sebagai perwakilan
pemerintah pusat tidak melakukan kewajibannya itu. Pilihan kebijakan dengan
menempatkan menteri sebagai aktor yang dapat mengeluarkan keputusan untuk
membatalkan suatu perda semakin mengindikasikan bahwa posisi pemerintah pusat
sangat kuat terhadap pemerintah daerah.
Kesimpulan Pengawasan Represif
Melalui UU Pemda 2004, pendulum diarahkan kembali pada kutub sentralisasi, yakni
saat kekuasaan pemerintah pusat diperkuat. Pendulum semakin mengarah ke sisi
sentralisasi ketika UU Pemda 2014 disahkan. Ada empat elemen yang membuktikan hal

itu, yaitu konsep pengaturan mengenai pengawasan oleh pemerintah pusat dibuat secara
hierarkis, pemberian sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak menaati mekanisme
pengawasan perda, kewenangan pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri)
yang dalam satu kondisi dapat membatalkan perda sampai kepada tingkat
kabupaten/kota, dan penghapusan mekanisme banding atau keberatan pemeritah daerah
terhadap pembatalan perda yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Mekanisme pengawasan yang paling tepat dari kedua undang-undang tersebut adalah UU
Pemda 2004, karena jika UU Pemda 2014 sangat sentralistik dan tidak sesuai dengan
amanat otonomi daerah kita yang desentralistik.

Anda mungkin juga menyukai