Anda di halaman 1dari 21

Sejarah Perkembangan Daerah Di Indonesia

Oleh:

Yuliyani Syafitri

E-mail: yuliyanisyafitri17@gmail.com

Abstrak

Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia pendek. Lebih dari setengah
abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu
pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Setidaknya ada tujuh tahapan hingga
bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini (2009). Pembagian tahapan ini didasarkan pada
masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum. Tiap-tiap
periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan
umum yang ditetapkan melalui undang-undang. Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang
digunakan juga turut memengaruhi corak dari undang-undang yang mengatur pemerintahan
daerah. Dalam artikel ini tidak semua hal yang ada pada pemerintahan daerah dikemukakan.
Dalam artikel ini hanya akan dibahas mengenai susunan daerah otonom dan pemegang
kekuasaan pemerintahan daerah di bidang legislatif dan eksekutif serta beberapa kejadian yang
khas untuk masing-masing periode pemerintahan daerah.

Kata kunci : Daerah, Sejarah, Otonomi

1. Pendahuluan

Sejarah perjalanan pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia senantiasa mengalami


pasang surut seiring dengan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia. Beragam
peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur secara khusus tentang pemerintahan
daerah bergulir sejak Negara ini berdiri.

Dimulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun


1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965,
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan terakhir Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015. Hal ini membuktikan bahwa implementasi terhadap
pemerintahan daerah begitu rumit dan kompleks karena banyaknya persoalan yang perlu diatur
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari hal di atas, tampak berbagai persoalan muncul seiring dengan semangat tuntutan akan
pelaksanaan desentralisasi secara utuh oleh pemerintah daerah. Pemerintahan daerah
senantiasa bergerak menuju kepada penataan kelembagaan yang lebih baik lagi mulai dari
tingkatan desa sampai dengan level provinsi. Kompleksitas pengaturan berkaitan dengan
kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah menjadi isu hangat setiap periodeisasi
dari pelaksanaan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.
Hubungan pemerintah dan pemerintah daerah tidak luput juga menaruh andil terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi. Pada level dibawahnya, hubungan antara pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta hubungan antara pemerintah kabupaten/kota
dengan desa-desa yang ada dibawahnya menjadi perbincangan hangat dalam rangka
menemukan formulasi yang tepat guna mengatur persoalan-persoalan di atas.

2. Tinjauan Pustaka
A. Konsep Sejarah
Sejarah merupakan peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau yang
kebenarannya bisa kita buktikan dari peninggalan-peninggalan yang masih ada saat ini
sebagai sumber informasi. Secara etimologi, sejarah berasal dari kata shajarah –
syajaratun yang berarti pohon. Sejarah dapat dimaknai sebagai pertumbuhan atau
perkembangan dari sebuah pohon, yang mana sejarah menjadi akarnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah dapat berarti asal-usul
(keturunan) silsilah. Definisi kedua menyebutkan sejarah sebagai kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau. Sejarah juga dapat dimaknai
sebagai pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar
terjadi di masa lampau. Pengertian yang satu ini menganggap sejarah sebagai suatu
ilmu. Sejarah sangat berperan bagi kehidupan manusia, terutama sebagai referensi
untuk hidup di masa depan.
Sejarah mengenal dua dimensi, yaitu spasial dan temporal. Spasial berarti ruang,
yang merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa sejarah. Sementara itu, temporal
berarti waktu, yang berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa sejarah. Istilah
ruang dan waktu serta ruang waktu kadang digunakan dalam dua konteks yang berbeda.
Konteks pertama dimaknai bahwa ruang dan waktu tidak dapat terpisahkan. Konteks
yang satunya menyatakan bahwa konsep ruang dan waktu hanya sebatas fisis saja.
Dalam sejarah, ruang dan waktu memiliki keterkaitan yang erat. Ruang merupakan
tempat terjadinya berbagai peristiwa sejarah dalam berdasarkan waktu. Oleh karena
itu, penelaahan peristiwa sejarah berdasarkan dimensi waktu tidak dapat terlepas dari
dimensi ruang sejarah. Waktu menitikberatkan pada aspek kapan peristiwa sejarah itu
terjadi. Sementara ruang tentu saja menitikberatkan pada di mana peristiwa itu terjadi.
Konsep ruang dan waktu merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan, baik dari
suatu peristiwa maupun perubahannya dalam sejarah. Segala aktivitas manusia mesti
berlangsung bersamaan dengan tempat dan waktu kejadian. Perjalanan manusia
sebagai pelaku sejarah tidak dapat dilepaskan dari unsur ruang dan waktu, sebab
perjalanan manusia itu sendiri merupakan perjalanan waktu pada suatu tempat yang
ditinggali oleh manusia itu sendiri.

B. Konsep Pemerintahan Daerah


Pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Pemerintahan dalam arti luas yang disebut regering atau goverment, yakni pelaksanaan
tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi
wewenang mencapai tujuan negara. Arti pemerintahan meliputi kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudisiil atau alat-alat kelengkapan negara yang lain yang juga bertindak
untuk dan atas nama negara. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit (bestuurvoering),
yakni mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan. Titik
berat pemerintahan dalam arti sempit ini hanya berkaitan dengan kekuasaan yang
menjalankan fungsi eksekutif saja.
Menurut Suhady, pemerintah (government) ditinjau dari pengertiannya adalah
the authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation
state, city, ect. Dalam bahasa Indonesia sebagai pengarahan dan administrasi yang
berwenang atas kegiatan masyarakat dalam sebuah Negara, kota dan sebagainya.
Pemerintahan dapat juga diartikan sebagai the governing body of a nation, state, city,
etc yaitu lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan Negara, Negara
bagian, atau kota dan sebagainya.
Dengan demikian lahirnya pemerintahan memberikan pemahaman bahwa
kehadiran suatu pemerintahan merupakan manifestasi dari kehendak masyarakat yang
bertujuan untuk berbuat baik bagi kepentingan masyarakat. Defenisi ini
menggambarkan bahwa pemerintahan sebagai suatu ilmu mencakup 2 (dua) unsur
utama yaitu: pertama, masalah bagaimana sebaiknya pelayanan umum dikelola, jadi
termasuk seluruh permasalahan pelayanan umum, dilihat dan dimengerti dari sudut
kemanusiaan; kedua, masalah bagaimana sebaiknya memimpin pelayanan umum, jadi
tidak hanya mencakup masalah pendekatan yaitu bagaimana sebaiknya mendekati
masyarakat oleh para pengurus, dengan pendekatan terbaik, masalah hubungan antara
birokrasi dengan masyarakat, masalah keterbukaan juga keterbukaan yang aktif dalam
hubungan masyarakat, permasalahan psikologi sosial dan sebagainya.
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia, saat ini telah mengakibatkan
pula terjadinya pergeseran paradigma dari sentralistik ke arah desentralisasi,yang
ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah. Pengalaman dari banyak negara
mengungkapkan bahwa pemberian otonomi kepada daerah-daerah merupakan salah
satu resep politik penting untuk mencapai sebuah stabilitas sistem dan sekaligus
membuka kemungkinan bagi proses demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan
semakin mengukuhkan stabilitas sistem secara keseluruhan. Pelaksanaan desentralisasi
dengan pemberian otonomi kepada daerah tidak demikian mudahnya memenuhi
keinginan daerah bahwa dengan otonomi daerah segalanya akan berjalan lancar dan
mulus. Keberhasilan otonomi daerah sangat bergantung pada pemerintah daerah dalam
hal ini adalah DPRD dan Kepala Daerah, serta Perangkat Daerah lainnya. Dengan
demikian, perlu adanya hubungan yang harmonis antara DPRD dan Kepala Daerah.
Pembentukan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 UUD 1945
menjadi dasar dari berbagai produk undang-undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang mengatur mengenai pemerintah daerah. Tujuan pembentukan
daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana
pendidikan politik di tingkat lokal.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari alinea ketiga dan
keempat Pembukaan UUD 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah
menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah Negara
Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung jawab mengatur dan mengurus
bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia
adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
kesatuan yang berbentuk republik.” Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah
dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama
kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk
Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat(2)
dan ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa “Pemerintahan Daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan
Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.”
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas,
dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada
pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada
Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah,
tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan
Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan
satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang
dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan
nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi,
inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di
tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara
keseluruhan.
Daerah otonom sebagai satuan yang pemerintahan yang mandiri yang memiliki
wewenag atributif, terlebih lagi sebagai subjek hukum (publick rechtpersoon publick
legal entity) berwenang membuat peraturan-peraturan untuk menyelenggarakan rumah
tangganya. Wewenang ini mengatur ini ada pemerintah daerah (pejabat
administrasiadministrasi daerah) dan DPRD sebagai pemegang fungsi legislasi di
daerah.

3. Metode
Dalam artikel jurnal ini menggunakan metode dan jenis penelitian studi pustaka

4. Hasil dan Pembahasan


A. Perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia dari awal merdeka hingga
sekarang
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, prioritas para pendiri bangsa tertuju
pada pembahasan struktur pemerintahan dan kelembagaan negara.Departemen dan
pemerintah daerah di Indonesia dicetuskan pada sidang PPKI II tanggal 19 Agustus
1945.Sidang PPKI II merupakan kelanjutan dari Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Pada sidang ini panitia kecil memaparkan struktur departemen dan pemerintah daerah
yang akan diterapkan di Indonesia.Panitia kecil beranggotakan Otto Iskandardinata
(ketua), Ahmad Subardjo, Sutarjo Kartohadikusumo dan Kasman Singodimejo.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (1977) karya Sartono Kartodirdjo
dkk, berikut hasil dari sidang PPKI II:Indonesia dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu
Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Borneo (Kalimantan), Sulawesi, Maluku,
Sumatera, dan Sunda Kecil.Setiap provinsi dipimpin oleh seorang Gubernur yang untuk
sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional.Setiap provinsi terdiri dari beberapa
kabuipaten.Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta berstatus sebagai Daerah
Istimewa di Indonesia.
Hasil keputusan sidang PPKI II menunjukan bahwa para pendiri bangsa
cenderung menghendaki sistem desentralisasi politik.Dalam buku Hubungan Pusat-
Daerah dalam Pembangunan (1995) karya C.M Andrews, sistem desentralisasi
bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan politik antar daerah, pemerataan kesejahteraan
ekonomi, dan mencegah pemusatan keuangan yang rawan disalahgunakan.
Daerah Republik Indonesia pada awal kemerdekaan hanya terdiri atas 8 provinsi.
Wilayah tersebut ditetapkan dalam sidang kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945.PPKI dibentuk pasca dibubarkannya BPUPKI
atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 7 Agustus
1945. Pembentukan PPKI dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang berkaitan
dengan proklamasi kemerdekaan dan hal-hal praktis lainnya.(Mustanir, Ali, et al. 2020)
Selama bertugas, PPKI telah melaksanakan tiga kali sidang, masing-masing
tanggal 18,19, dan 20 Agustus 1945. Sidang tersebut berhasil mengesahkan UUD 1945
yang dirancang oleh BPUPKI, memilih Presiden dan Wakil Presiden, pembentukan
Komite Nasional, penetapan wilayah Indonesia, pembentukan Partai Nasional
Indonesia, dan pembentukan Badan Keamanan Rakyat.

B. Identifikasi Masing-Masing Priode Sejarah Pemerintahan Daerah

Periode I (1945-1948)

Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang


mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan
yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional
Daerah. PPKI dalam rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah
dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang
sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk
membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI
Pusat. Oleh PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi.
Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-
masing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai
oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu
oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah
dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan
demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum
mendapat otonomi.
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat
pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte)
yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut.
Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayah-
wilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan). Wilayah-
wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun
melalui perwakilan yang disebut dengan Komisaris.

Tingkatan selengkapnya yang ada pada masa itu adalah:

1. Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang)


2. Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang)
3. Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat Hindia
Belanda disebut Regentschap/Gemeente/Stadsgemeente)
4. Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang)
5. Kecamatan (disebut Son oleh Jepang)
6. Desa (disebut Ku oleh Jepang)

Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945
tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan
setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota
otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali
daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan
membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-
sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari
dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin
oleh Kepala Daerah.

Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat
membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah. Daerah-
daerah Maluku (termasukdidalamnya Papua), Nusa Tenggara, Sulawesi,
dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan dari wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian
Linggajati. Begitu pula dengan daerah-daerah Sumatra
Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatra Selatan bagian timur, Jawa Barat, Jawa
Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian timur, dan Madura juga harus dilepaskan
dengan Perjanjian Renville.

Periode II (1948-1957)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan
kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua
jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang
disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur
"Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan
kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang telah ada
sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya. Masing-
masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang
berbeda-beda yaitu:
Tingkatan Nomenklatur
Nomenklatur Daerah
Daerah Daerah Otonom
Otonom Biasa
Otonom Khusus

Daerah Istimewa
Tingkat I Provinsi
Setingkat Provinsi

Daerah Istimewa
Tingkat II Kabupaten/Kota Besar Setingkat
Kabupaten

Desa, Negeri, Marga,


Daerah Istimewa
Tingkat III atau nama lain/Kota
Setingkat Desa
Kecil

DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Anggota DPRD dipilih
dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU pembentukan daerah. Masa jabatan
Anggota DPRD adalah lima tahun. Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam UU
pembentukan daerah yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan
dari anggota DPRD yang bersangkutan.

DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari. Anggota DPD secara bersama-sama


atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan diwajibkan memberi
keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan
dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan
politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang
bersangkutan. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah yang
bersangkutan.

Kepala Daerah menjadi ketua dan anggota DPD. Kepala Daerah diangkat dan
diberhentikan dengan ketentuan umum:

1. Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon yang diajukan
oleh DPRD Provinsi.

2. Kepala Daerah Kabupaten/Kota Besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari
calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten/Kota Besar.

3. Kepala Daerah Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil diangkat
oleh Kepala Daerah Provinsi dari calon yang diajukan oleh DPRD Desa, Negeri,
Marga atau nama lain/Kota Kecil.

4. Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas


usul DPRD yang bersangkutan.

5. Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang
berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat
tertentu. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah
Istimewa oleh Presiden dengan syarat yang sama dengan Kepala Daerah
Istimewa. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota DPD.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 disusun berdasarkan pada konstitusi


Republik I pasal 18. Pada mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan
daerah di wilayah Indonesia yang tersisa yaitu:

A. Wilayah Sumatra meliputi: Aceh, Sumatra Utara bagian barat, Sumatra


Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu,
dan Lampung.
B. Wilayah Jawa meliputi: Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta,
dan Jawa Timur bagian barat (daerah Mataraman)

Setelah pembentukan Republik III pada 15 Agustus 1950 UU ini berlaku


untuk daerah seluruh Sumatra, seluruh Jawa, dan seluruh Kalimantan. Sedangkan
pada daerah-daerah di bekas wilayah Negara Indonesia Timur yaitu wilayah
Sulawesi, wilayah Nusa Tenggara, dan wilayah Maluku masih berlaku UU NIT No.
44 Tahun 1950.

Periode III (1957-1965)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang tentang pokok-pokok
pemerintahan 1956. UU ini menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1948
dan UU NIT No. 44 Tahun 1950. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah
berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah
otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah
berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda
yaitu:

Nomenklatur Daerah
Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom Biasa
Otonom Khusus

Daerah Swatantra Tingkat ke Daerah Istimewa Tingkat


Tingkat I
I/Kotapraja Jakarta Raya ke I

Daerah Swatantra Tingkat ke Daerah Istimewa Tingkat


Tingkat II
II/Kotapraja ke II

Tingkat Daerah Istimewa Tingkat


Daerah Swatantra Tingkat ke III
III ke III

Kecuali Pemerintahan Daerah Kotapraja Jakarta Raya, dalam Pemerintahan


Daerah Kotapraja tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah.

Selain dua macam daerah berotonomi tersebut terdapat pula Daerah


Swapraja. Daerah ini merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan daerah
zaman Hindia Belanda dan Republik II (Pemerintahan Negara Federal RIS).
Menurut perkembangan keadaan Daerah Swapraja dapat dialihkan statusnya
menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra.

DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya


kecuali ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan penggantian
anggota DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri. Masa jabatan
anggota DPRD adalah empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar waktu
hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut. Jumlah anggota DPRD ditetapkan
dalam UU pembentukan, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu.
Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD.

Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan


oleh DPD. DPD menjalankan keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD dalam
menjalankan tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab kepada DPRD dan
wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh
dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan
politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa
jabatan DPRD yang bersangkutan. Anggota DPD antar waktu yang dipilih
memiliki masa jabatan hanya untuk sisa masa jabatan DPD yang ada.
Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang
bersangkutan. Kepala Daerah karena jabatannya menjadi ketua dan
anggota DPD. Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan dari, anggota DPD bersangkutan.
(Mustanir and Rusdi 2019)

Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut aturan yang


ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Untuk sementara waktu Kepala
Daerah dipilih oleh DPRD dengan syarat-syarat tertentu dan disahkan
oleh Presiden untuk Kepala Daerah dari tingkat ke I atau Menteri Dalam
Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya untuk Kepala Daerah dari tingkat ke
II dan ke III. Kepala Daerah dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi
mereka yang dipilih antar waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa
masa jabatan tersebut. (Dawabsheh, Mustanir, and Jermsittiparsert 2020)

Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan


oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman
sebelum Republik dengan memperhatikan syarat tertentu dan diangkat serta
diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I atau Menteri Dalam
Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan
III. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan
tata cara seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil Kepala Daerah
Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan
Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah. (Latif, Irwan, et al.
2019)

Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah


Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Tingkat
II dengan syarat tertentu. Kepala Daerah dapat diangkat baik dari calon yang
diajukan DPRD maupun dari luar calon yang diusulkan DPRD. Masa
jabatan Kepala Daerah sama seperti masa jabatan DPRD. Kepala
Daerah adalah Pegawai Negara dan karenanya tidak dapat diberhentikan karena
keputusan DPRD. (Mustanir, Muhammadiyah, and Rappang 2019)

Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang


berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah pada zaman sebelum Republik
Indonesia dengan syarat tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata
cara yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa. (Mustanir, Yasin, et al. 2018)

BPH terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari anggota
DPD sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang
ditetapkan Mendagri dan Otda. (Mustanir and Darmiah 2016)

Penyesuaian pada tahun 1960 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No.


5 Tahun 1960. Peraturan ini mengatur tentang DPRD Gotong Royong (DPRD-GR)
dan Sekretariat Daerah. Dalam aturan ini pula ditetapkan bahwa Kepala
Daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRD-GR. Masa jabatan Kepala
Daerah dan BPH disesuaikan dengan masa jabatan DPRD-GR. (Mustanir and
Yasin 2018)

Periode IV (1965-1974)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang


Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1
Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun
1960; Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun
1965. Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah
otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah. (Mustanir,
Hamid, and Syarifuddin 2019)

Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom

Tingkat I Provinsi/Kotaraya

Tingkat II Kabupaten/Kotamadya

Tingkat III Kecamatan/Kotapraja

Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut Undang-


Undang No. 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan
diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan
pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19
Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat
Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel
ini disingkat menjadi "UU Desapraja".

Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah dengan


dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa jabatan anggota DPRD adalah
5 tahun. Anggota DPRD antar waktu masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima
tahun tersebut. Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur
dengan UU tersendiri. Pimpinan DPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa
orang Wakil Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan DPRD dalam
menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah. (Latif,
Mustanir, and Irwan 2019a)

Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Anggota
BPH adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara. Kepala
Daerah merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dalam pemerintahan
daerah. Oleh karena itu Kepala Daerah harus melaksanakan politik pemerintah dan
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarki
yang ada. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Anggota BPH diangkat dan
diberhentikan oleh:

a. Presiden bagi Daerah tingkat I,


b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II, dan
c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah
tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.

Anggota BPH bagi masing-masing tingkatan daerah adalah:

a. bagi Daerah tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang.


b. bagi Daerah tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang.
c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.

Desapraja merupakan kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas


daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan
mempunyai harta benda sendiri. Alat-alat kelengkapan pemerintahan desapraja terdiri
atas Kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera
Desapraja, Petugas Desapraja, dan Badan Pertimbangan Desapraja. (Kholifah R and
Mustanir 2019)

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18 Konstitusi


Republik IV. Namun berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, UU ini
secara tegas tidak lagi mengakomodasi daerah-daerah dengan otonomi khusus dan
secara sistematis berusaha menghapuskan daerah otonomi khusus tersebut
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88. Hal tersebut juga diterangkan dengan
lebih gamblang dalam penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 pasal 1-2 serta
pasal 88. Akan tetapi, badai politik tahun 1965, yang terjadi hanya 29 hari
setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disahkan, menyebabkan UU pemerintahan
daerah ini tidak dapat diberlakukan secara mulus. Perubahan konstelasi politik yang
terjadi sepanjang akhir 1965 sampai dengan tahun 1968 mengakibatkan UU
Pemerintahan Daerah dan UU Desapraja tidak dapat diberlakukan. (Mustanir, Justira,
et al. 2018)

Periode V (1974-1999)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun
1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara
umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas
desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.
A. Daerah Otonom

Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom

Daerah Tingkat I (Dati I)/Daerah Khusus Ibu kota/Daerah


Tingkat I
Istimewa[10]

Tingkat II Daerah Tingkat II (Dati II)

B. Wilayah Administrasi

Tingkatan Nomenklatur Wilayah Administratif

Tingkat I Provinsi/Ibu kota Negara

Tingkat II Kabupaten/Kotamadya

Tingkat IIa Kota Administratif[11]

Tingkat III Kecamatan

Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah
Provinsi atau Ibukota Negara. Ibu kota Daerah Tingkat I adalah ibu kota Wilayah
Provinsi. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan
batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ibu kota Daerah Tingkat II adalah ibu
kota Wilayah Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif dan Daerah
Otonom disatukan.

1. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom Tingkat


I disebut Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh adalah Provinsi Daerah
Tingkat I Riau.

2. Untuk Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus


Ibukota Jakarta disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

3. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi


Istimewa disebut Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Untuk Yogyakarta disebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

4. Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom Tingkat


II disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kabupaten Daerah
Tingkat II Kampar.
5. Untuk Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat
II disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kotamadya
Daerah Tingkat II Pakanbaru.

Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah


tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik berat Otonomi
Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas Daerah. (Mustanir and Razak
2017)

Susunan, keanggotaan, dan pimpinan DPRD, begitu juga sumpah/janji, masa


keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi anggota-anggotanya diatur dengan
UU tersendiri.(Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi 2019)

Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat untuk masa
jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat
kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Kepala Daerah Tingkat
I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam
Negeri dan selanjutnya diangkat oleh Presiden. Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan
dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan Gubernur/Kepala Daerah
Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.(Latif, Mustanir, and
ir 2019)

Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat
I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Wakil
Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas
nama Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Apabila dipandang
perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu
Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam
rangka dekonsentrasi.(Rais et al. 2017)

Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah


Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya
adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara dan disebut Wakil
Gubernur. Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah
Kabupaten atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya
adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan disebut Wakil
Bupati atau Wakil Walikotamadya.(Siriattakul, Jermsittiparsert, and Mustanir 2019)

Sebutan Kepala Wilayah dan Kepala Daerah disatukan.

1. Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Kepala Daerah Tingkat I disebut Gubernur


Kepala Daerah Tingkat I. Sebagai contoh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Kalimantan Tengah.(Mustanir, Dema, et al. 2018)

2. Untuk Kepala Wilayah Ibukota Negara/Daerah Khusus Ibukota


Jakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.(Mustanir
2019b)

3. Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Daerah Istimewa disebut Gubernur Kepala


Daerah Istimewa. Untuk DI Aceh disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Aceh. Untuk DI Yogyakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta.(Irwan et al. 2019)

4. Untuk Kepala Wilayah Kabupaten/Daerah Tingkat II disebut Bupati Kepala


Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Barito
Selatan.(Mustanir, Barisan, and Hamid 2017)

5. Untuk Kepala Wilayah Kotamadya/Daerah Tingkat II disebut Walikotamadya


Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat
II Palangkaraya(Mustanir, Jermsittiparsert, et al. 2020).

Pemerintahan Desa diatur tersendiri dengan Undang-Undang No. 5 Tahun


1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di
bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala
Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Dalam menjalankan
pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri atas Sekretaris
Desa, Kepala-kepala Dusun, dan Kepala-kepala Urusan. Kepala Desa karena
jabatannya adalah Ketua LMD. Sekretaris Desa karena jabatannya adalah Sekretaris
LMD.

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 juga diatur


mengenai Kelurahan. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di
bawah Camat dan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri. Pemerintah Kelurahan terdiri atas Kepala Kelurahan dan Perangkat
Kelurahan yang meliputi Sekretaris Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan,
dan Kepala-kepala Urusan.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 disusun berdasarkan pasal 18 Konstitusi


Republik IV dan dikembangkan lebih jauh dengan mengadopsi "ide-ide" yang ada
dalam penjelasan Konstitusi. UU ini cukup lama bertahan yaitu selama 25 tahun.
Dalam perjalanannya Indonesia mengalami penambahan wilayah baru yang berasal
dari koloni Portugis pada 1976 dan dibentuk sebagai sebuah provinsi yaitu Provinsi
Daerah Tingkat I Timor Timur dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur. Pada tahun 1990 Kota
Jakarta mendapat status Daerah Khusus dengan tingkatan daerah otonom Daerah
Tingkat I melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan
Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta. Selain itu tidak banyak
yang menonjol dari pemerintahan daerah.

Periode VI (1999-2004)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi
satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah
yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakartadan satu tingkat wilayah administratif.
Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten,
dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak
ada hierarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah
administratif.

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan


nomenklatur "Pemerintahan Daerah". Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah
Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi(Mustanir n.d.).

DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi


mitra dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak,
keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang
tersendiri.(Irwan, Latif, and Mustanir 2021)

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun
dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara
bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk
untuk bertindak atas nama Presiden.

Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga
sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala
Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Kepala
Daerah Kabupaten disebut Bupati. Kepala Daerah Kota disebut Wali kota. Dalam
menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Wali
kota bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.

Peraturan mengenai Desa dipisahkan dalam bab yang berbeda dari peraturan
mengenai daerah otonom provinsi/kabupaten/kota. Ini dikarenakan Desa atau yang
disebut dengan nama lain (Nagari,Kampung, Huta, Bori, Marga dan lain sebagainya)
memiliki susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah
Kabupaten.

Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan


Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain
dan perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa. Masa
jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung
sejak tanggal ditetapkan. Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain
berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari
dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan
Desa dipilih dari dan oleh anggota. Di Desa dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai
dengan kebutuhan Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.
UU ini disusun berdasarkan Konstitusi Republik IV pasal 18 dan
dikembangkan dengan mengadopsi beberapa ide dalam penjelasan konstitusi pasal 18
khususnya bagian II. UU ini cukup istimewa karena diberlakukan dalam masa
Republik IV, Republik V, dan Republik VI. Dalam perjalanannya Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta diatur dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999. Provinsi
Aceh juga ditegaskan keistimewaannya dengan Undang-Undang No. 44 Tahun
1999 dan diberi otonomi khusus dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 serta
perubahan nomenklatur menjadi Aceh. Selain itu Provinsi Irian Jaya juga
diberi otonomi khusus dengan UU No. 21 Tahun 2001 serta perubahan nomenklatur
menjadi Provinsi Papua. Selain pemberian penegasan dan pemberian status khusus,
beberapa provinsi lainnya mengalami pemekaran menjadi provinsi baru. Provinsi
Timor-Timur juga memperoleh kemerdekaan penuh pada 2002 dengan nama Timor
Leste/Timor Lorosae dari Pemerintahan Transisi PBB. Kemerdekaan tersebut
berdasarkan hasil referendum atas status koloni Portugis pada 1999 setelah sekitar 23
tahun bergabung dengan Indonesia.(Mustanir 2019a)

Periode VII (mulai 2004)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan
perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain
itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah
yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain)
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.(Ahmad and Rahayu Bardan 2015)

Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom

Tingkat I Provinsi

Tingkat II Kabupaten/Kota

Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas Pemerintah Daerah


Provinsi dan DPRD Provinsi. Untuk Provinsi Aceh disebut Pemerintah
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh).
Khusus Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menjadi
mitra DPR Aceh dan Pemda Aceh. Untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat masing-masing disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR
Papua) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua Barat).
Khusus Papua dan Papua Barat juga terdapat masing-masing Majelis Rakyat Papua
(MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) sebagai representasi kultural orang
asli Papua.(Samad, Mustanir, and Pratama 2019)

Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Daerah


Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten/Kota di
lingkungan Provinsi Aceh disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPR
Kabupaten/Kota). Khusus Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi
Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten/Kota (MPU) yang
menjadi mitra DPR Kabupaten/Kota dan Pemda Kabupaten/Kota di dalam
lingkungan Provinsi Aceh.(Ar et al. 2021)

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan


sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak
diatur secara khusus berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Khusus untuk DPR Aceh, DPR Papua,
dan DPRD Provinsi DKI Jakarta dapat memiliki anggota sebanyak 125% dari jumlah
yang ditentukan dalam UU yang mengatur mengenai DPRD. (Ahmad mustanir,
monalisa ibrahim, Muhammad rusdi 2016)

Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur,


untuk kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Wali kota. Wakil kepala
daerah untuk provinsi disebut Wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut Wakil
Bupati dan untuk kota disebut Wakil Wali kota. Gubernur yang karena jabatannya
berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan
dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.(Latif, Mustanir, and
Irwan 2019b)

Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat


daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah
kabupaten/kota secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.(Mustanir, Kamarudding, et
al. 2018)

Desa atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara. Termasuk dalam pengertian ini
adalah Nagari di Sumatra Barat, Gampong di provinsi Aceh, Lembang di Sulawesi
Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku. Secara
bertahap, Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan.(Mustanir
2020)

Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang


terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah
Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh
dan dari penduduk desa yang syarat dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda.
Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi
menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat. Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil
dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan
mufakat. Masa jabatan anggota badan permusyawaratan desa adalah 6 (enam) tahun
dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.(Mustanir, Samad,
et al. 2019)
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan Konstitusi Republik
VI pasal 18, 18A, dan 18B. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah sebanyak dua
kali dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 8
Tahun 2005) dan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Selanjutnya daerah
Aceh dan Jakarta kembali diatur dengan UU tersendiri. Aceh diatur secara penuh
dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan Jakarta diatur
kembali dengan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Provinsi Papua tetap diatur dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat sebagai pemekaran
dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi khusus sebagaimana provinsi
induknya dengan Perppu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2008)(Akhmad, Mustanir, and Ramadhan
2018)

5. Kesimpulan

Pemerintahan daerah adalah sebuah badan cabang dari pemerintahan pusat yang
telah diberikan kewenangan khusus untuk mengatur politik pemerintahan yang ada di
daerah tertentu. Urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintahan daerah bisa
meliputi semua urusan pemerintahan. Namun, ada beberapa urusan yang cuma bisa diatur
oleh pemerintahan pusat, seperti urusan dengan negara lain. Urusan itulah yang tidak bisa
dilakukan oleh pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dan DPRD Pemerintah daerah dan
DPRD adalah unsur yang menjadi pelaku pelaksanaan urusan politik daerah yang
mempunyai kedudukan yang sejajar. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah,
Pemerintah Daerah memiliki posisi sebagai lembaga eksekutif di daerah. Lembaga
eksekutif ini terdiri dari kepala daerah/wakil kepala daerah dan perangkat daerah. Kalau
DPRD, dia memiliki posisi sebagai lembaga legislatif di daerah yang anggotanya dipilih
secara langsung oleh rakyat. Pemerintahan daerah memiliki dua tingkatan, yaitu
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten atau kota. Pemerintahan
ini dilakukan oleh gubernur, wakil gubernur dan DPRD Provinsi. Sedangkan pemerintahan
daerah kabupaten atau kota dipimpin oleh bupati atau wkail bupati jika kabupaten, dan
walikota atau wakil walikota jika ada di DPRD kabupaten atau kota.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Jamaluddin, and Sri Rahayu Bardan. 2015. “Analysis of Public Policy Formulation
Process in Irrigation Network Development Planning Office of Water Resources
Sidenreng Rappang Regency.” 5(1):27–35.

Ahmad mustanir, monalisa ibrahim, Muhammad rusdi, Madeali jabbareng. 2016.


“Pembangunan Partisipatif Dan Pemberdayaan Masyarakat.” (July):1–23.

Akhmad, Israwaty, Ahmad Mustanir, and Muhammad Rohady Ramadhan. 2018. Pengaruh
Pemanfaatan Tekhnologi Informasi Dan Pengawasan Keuangan Daerah
Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Kabupaten Enrekang.

Ar, Andi Asmawati, Ahmad Mustanir, Haeruddin Syarifuddin, Abdul Jabbar, Kamaruddin
Sellang, Muhammad Rais, Rahmat Razak, Monalisa Ibrahim, and Akhwan Ali.
2021. “SIPIL NEGARA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG.” 2(1).

Dawabsheh, Mohammad, Kittisak Mustanir, and Kittisak Jermsittiparsert. 2020. “School


Facilities as a Potential Predictor of Engineering Education Quality: Mediating
Role of Teaching Proficiency and Professional Development.” TEST Engineering
& Management 82(January):3511–21.

Irwan, Irwan, Adam Latif, and Ahmad Mustanir. 2021. “Pendekatan Partisipatif Dalam
Perencanaan Pembangunan Di Kabupaten Sidenreng Rappang.” GEOGRAPHY
Jurnal Kajian, Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan 9(2):137–51.

Irwan, Adam Latif, Sofyan, Ahmad Mustanir, and Fatimah. 2019. “Gaya Kepemimpinan,
Kinerja Aparatur Sipil Negara Dan Partisipasi Masyarakat Terhadap
Pembangunan Di Kecamatan Kulo Kabupaten Sidenreng Rappang.” Jurnal
Moderat 5(1):32–43.

Kholifah R, Emy, and Ahmad Mustanir. 2019. “Food Policy and Its Impact on Local Food.”
(October):27–38. doi: 10.32528/pi.v0i0.2465.

Latif, Adam, Irwan, Ahmad Mustanir, Jamaludin Ahmad, and Geminastiti Sakkir. 2019.
“Village Government Leadership Towards Optimizing Society Participation in
Development Planning.” 367(ICDeSA):12–16. doi: 10.2991/icdesa-19.2019.3.

Latif, Adam, Ahmad Mustanir, and ir. 2019. “Buku Kepemimpinan Adam Irwan 2020.Pdf.”
154.

Latif, Adam, Ahmad Mustanir, and Irwan Irwan. 2019a. “Pengaruh Kepemimpinan Terhadap
Partisipasi Masyarakat Pada Perencanaan Pembangunan.” JAKPP (Jurnal
Analisis Kebijakan & Pelayanan Publik) (December):144–64. doi:
10.31947/jakpp.v1i2.7977.

Latif, Adam, Ahmad Mustanir, and Irwan Irwan. 2019b. “Pengaruh Kepemimpinan Terhadap
Partisipasi Masyarakat Pada Perencanaan Pembangunan.” JAKPP (Jurnal
Analisis Kebijakan & Pelayanan Publik) 144–64. doi: 10.31947/jakpp.v1i2.7977.

Mustanir, Ahmad. 2019a. “Pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa Melalui Kelompok
Ekonomi Kewirausahaan Secara Partisipatif Empowerment of Badan Usaha Milik
Desa Through Participatory Entrepreneurship Economic Groups Unggul ,
Profesional , Islami Unggul , Profesional , Islami.” Jurnal (February):2–44.

Mustanir, Ahmad. 2019b. “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Bina Desa.” doi:


10.31219/osf.io/7gwb6.

Mustanir, Ahmad. 2020. “Implementasi E Government Pemerintahan Desa Dalam


Administrasi Pelayanan Publik (Studi Kasus Web Site Desa Kanie Kecamatan
Maritengngae Kabupaten Sidenreng Rappang).” doi: 10.31219/osf.io/9v273.

Mustanir, Ahmad. n.d. “Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Optimalisasi Pelayanan


Publik Dan Potensi Desa Sereang Utilization of Information Technology in
Optimizing Public Services and the Potential of Sereang Village.”

Mustanir, Ahmad, Akhwan Ali, Akhmad Yasin, and Budiman Budiman. 2020. “Transect on
Participatory Development Planning in Sidenreng Rappang Regency.” 250–54.
doi: 10.4108/eai.25-10-2019.2300523.

Mustanir, Ahmad, Barisan Barisan, and Hariyanti Hamid. 2017. “Participatory Rural
Appraisal As The Participatory Planning Method Of Development Planning.”
Proceedings Indonesian Association for Public Administration (IAPA)
International Conference Towards Open Government: Finding the Whole
Government Approach (February 2019):77–84.

Mustanir, Ahmad, and Darmiah Darmiah. 2016. “Implementasi Kebijakan Dana Desa Dan
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Di Desa Teteaji Kecamatan Tellu
Limpoe Kabupaten Sidenreng Rappang.” Jurnal Politik Profetik 4(2):225–38.

Mustanir, Ahmad, Herman Dema, Haeruddin Syarifuddin, Irwan, and Kiki Meity Sri
Wulandari. 2018. “Pengaruh Motivasi Dan Partisipasi Masyarakat Terhadap
Pembangunan Di Kelurahan Lalebata Kecamatan Panca Rijang Kabupaten
Sidenreng Rappang.” Jurnal Ilmiah Clean Government (JCG) 2(1):27–39.

Mustanir, Ahmad, Hariyanti Hamid, and Rifni Nikmat Syarifuddin. 2019. “Pemberdayaan
Kelompok Masyarakat Desa Dalam Perencanaan Metode Partisipatif.” Moderat:
Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 5(3):227–39.

Mustanir, Ahmad, Kittisak Jermsittiparsert, Akhwan Ali, Sam Hermansyah, and Sakinah
Sakinah. 2020. “Village Head Leadership and Bureaucratic Model Towards Good
Governance in Sidenreng Rappang.” doi: 10.4108/eai.21-10-2019.2291532.

Mustanir, Ahmad, Nur Justira, Kamaruddin Sellang, and Andi Ilham Muchtar. 2018.
“Democratic Model On Decision-Making At Deliberations Of Development
Planning.” International Conference on Government Leadership and Social
Science (ICOGLASS). Demanding Governance Accountability and Promoting
Democratic Leadership for Public Welfare Achievement (April):110 – 115.

Mustanir, Ahmad, Sellang Kamarudding, Ali Akhwan, Madaling, and Mutmainna. 2018.
“Peranan Aparatur Pemerintahan Desa Dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Desa Tonrongnge Kecamatan
Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang.” Jurnal Ilmiah Clean Government
2(1):67–84.
Mustanir, Ahmad, Universitas Muhammadiyah, and Sidenreng Rappang. 2019.
“Pemberdayaan Masyarakat Kewirausahaan Entrepreneurship Community
Empowerment.” Jurnal (February):1–14.

Mustanir, Ahmad, and M. Rais Rahmat Razak. 2017. “Nilai Sosial Budaya Pada Partisipasi
Masyarakat Etnik Towani Tolotang Dalam Musyawarah Rencana
Pembangunan.” Prosiding Konferensi Nasional Ke-6 Asosiasi Program
Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (APPPTMA) (February
2019):1–7.

Mustanir, Ahmad, and Muhammad Rusdi. 2019. “Participatory Rural Appraisal (PRA)
Sebagai Sarana Dakwah Muhammadiyah Pada Perencanaan Pembangunan Di
Kabupaten Sidenreng Rappang.” Prosiding Konferensi Nasional Ke-8 Asosiasi
Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (APPPTMA)
467–75.

Mustanir, Ahmad, Zainuddin Samad, Abdul Jabbar, Monalisa Ibrahim, and Juniati Juniati.
2019. “Kepemimpinan Lurah Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Di Kelurahan
Lautang Benteng Kabupaten Sidenreng Rappang.” Journal of Social Politics and
Governance (JSPG) 1(2):99–118. doi: 10.24076/jspg.v1i2.185.

Mustanir, Ahmad, and Akhmad Yasin. 2018. “Community Participation in Transect on


Development Planning.” Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik 8(2):137. doi:
10.26858/jiap.v8i2.7994.

Mustanir, Ahmad, Akhmad Yasin, Irwan, and Muhammad Rusdi. 2018. “Potret Irisan Bumi
Desa Tonrong Rijang Dalam Transect Pada Perencanaan Pembangunan
Partisipatif.” Jurnal MODERAT 4(November):1–14.

Rais, Muhammad, Hariyanti Hamid, Ahmad Mustanir, and Abd Jabbar A. 2017. “MAGANG
INTERNASIONAL ( Indonesia - Malaysia ) 3 s / d 12 Mei 2017 Joint Research.”
1–40.

Samad, Zainuddin, Ahmad Mustanir, and Muh Yusuf Putra Pratama. 2019. “Partisipasi
Masyarakat Dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Untuk Mewujudkan
Good Governance Kabupaten Enrekang.” Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu
Pemerintahan 5(4):379–95.

Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, W. 2019. “Peranan Camat Dan
Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di
Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang.” MODERAT: Jurnal Ilmiah Ilmu
Pemerintahan 5(2):33–48.

Siriattakul, Parinya, Kittisak Jermsittiparsert, and Ahmad Mustanir. 2019. “What Determine
the Organizational Citizenship Behavior in Indonesian Agriculture Manufacturing
Firms?” International Journal of Psychosocial Rehabilitation 23(4):778-`792. doi:
10.37200/ijpr/v23i4/pr190409.

Anda mungkin juga menyukai