Segala puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Shalawat dan
salam juga senantiasa kiranya penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan
yang telah memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ini dan
dengan limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah pada mata kuliah Pacasila dan Kewarganegaraan yang berjudul
Hubungan Sipil-Militer guna untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Pancasila dan Kewarganegaraan.
Akhirnya kepada Allah juga penulis minta ampun, semoga dengan adanya
makalah ini dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan
dapat menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Aamiin
Penulis
i
Daftar isi
A. Kesimpulan................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................25
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara adalah sebuah istilah yang secara terminologi berarti organisasi
tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk
bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat.
Hubungan Sipil-Militer adalah satu perkara yang amat penting bagi satu
bangsa karena berpengaruh besar kepada ketahanan nasionalnya. Hal itu juga
berlaku bagi bangsa Indonesia. Pengertian HubunganSipil-Militer semula
tidak dikenal di Indonesia dan baru dipergunakan setelah pengaruh dunia
Barat, khususnya yang berpandangan liberal, makin kuat. Mula-mula itupun
1
terbatas pada kalangan terpelajar yang banyak berhubungan dengan ilmu
sosial yang berasal dari dunia barat. Akan tetapi lambat laun pengertian itu
menyebar di semua kalangan dan sekarang sudah menjadi pengertian yang
diakui dan dipergunakan secara umum di Indonesia. Namun ada satu
perbedaan yang menonjol dalam penggunaan pengertian itu antara mereka
yang hidup dalam alam sosial barat dengan bangsa Indonesia yang menerima
dan menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Di
dunia Barat yang berpaham liberal Hubungan Sipil-Militer senantiasa berarti
supremasi Sipil atas Militer, sedangkan di Republik Indonesia yang berhaluan
Pancasila tidak dengan sendirinya Hubungan Sipil-Militer berarti
supremasi sipil atas militer. Bahkan dengan memperhatikan bahwa Panca Sila
menekankan faktor kekeluargaan dan kerukunan justru tidak ada supremasi
satu golongan masyarakat atas yang lain, melainkan dalam kebersamaan
memperjuangkan dan mengusahakan hal yang terbaik bagi bangsa, negara
dan masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dari sisi bahasa (etimologis) pemerintah (government) berasal dari kata Yunani,
kubernan atau nahkoda kapal. Ini artinya, menatap ke depan. jadi "memerintah"
artinya adalah melihat kedepan, menentukan berbagai kebijakan yang
diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan arah
perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang, dan mempersiapkan
langkah-langkah kebijakan untuk menghadapi perkembangan masyarakat, serta
mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. Oleh sebab itu,
kegiatan pemerintah lebih menyangkut pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik dalam rangka mencapai tujuan masyarakat-negara. 1
Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah.
Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
1
Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung : Fokus Media. 2011. hlm. 85
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia
3
dengan tugas dan kewenangan negara (fungsi negara). Sedangkan yang
melaksanakan tugas dan kewenangan negara itu adalah negara. 3
b. Pengertian Sipil
Istilah sipil dalam bahasa inggris “ civilian” yakni (person ) not serving with
armed forces (seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata ).
Dengan demikian sipil dapat diartikan sebagai semua orang dengan segala macam
profesi yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta , di luar struktrur
organisasi militer , termasuk polisi. Namun batasan seperti ini tentu berbeda
dengan di Indonesia, di mana polisi pada saat lalu dan saat ini cenderung masih
dianggap sebagai warga non-sipil.
Dalam kajian ini, pengertian sipil dibatasi – dengan mangacu pendapat Alfred
Stepan-hanya pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis
dalam kajian ini adalah praktek-praktek politik kedua belah pihak dalam
memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik
adalah sebuah arena tempat masyarakat bernegara secara khusus mengatur dirinya
sendiri dalam kontestasi (contestation) politik guna memperoleh kontrol atas
kekuasaan pemerintah dan aparat negara. 4
c. Pengertian Militer
Militer dalam bahasa inggris “military” adalah “the soldiers ; the army, the armed
forces” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan prajurit atau tentara; angkatan
darat ;angkatan bersenjata( terdiri dari beberapa angkatan , yakni : darat, laut dan
atau marinir serta udara). Di negarabangsa modern ,apa yang dinamakan militer
3
Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Op. Cit.
4
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca ORBA, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
2002. hlm 29-30
4
adalah angkatan bersenjatayang biasanya terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang ,
yakni darat, laut, udara dan atau marinir. Sedangkan polisi , meskipun diberikan
kewenangan memegang senjata, tidak termasuk di dalamnya. Di Indonesia ,
batasan milietr berbeda dari waktu ke waktu. Militer dalammasaorde lama adalah
Angkatan Perang republik Indonesia (APRI ) yang terdiri atas angklatan darat,
angkatan laut dan angkatan uadara. Pada tahun 1959 Sebutan APRI diubah menajdi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( ABRI) . Melalui UU Nomor 13/1961
pasal 3,Keppres Nomor : 225/1962, Keppres Nomor : 290/1964 menetapkan
Kepolisian Negara RI adalah ABRI. Dengan demikian, ABRI meliputi angkatan
Darat(AD), Angkatan Laut(AL), Angkatan Udara(AU) dan Kepolisian Negara RI.
Pada masa Orde Baru militer indonesia masih menggunakan sebutan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang terdiri dari TNI AD, TNI AL, TNI AU dan
POLRI terhitung sejak diberlakukan Keppres No. 290 tahun 1964 tanggal 12
Januari 1964 dimana angkatan Kepolisian RI ditetapkan sebagai angkatan
bersenjata yang kedudukannya sama dan sederajat dengan ketiga Angkatan
Lainnya dengan garis-garis komando dan hirarki yang utuh dan bulat. Namun pada
tanggal 27 januari 1969 melalui Keppres No. 52 Tahun 1969 terjadi perubahan
Nama Angkata Kepolisian RI (AKRI) menjadi Kepolisian RI (POLRI) namun tetap
berada dibawah ABRI dan kedudukannya secara organisasi tetap di bawah
Dephankam/Pangab. Kemudian melalui Keppres No. 80 tahun 1969, Keppres No.7
Tahun 1874 ditetapkan bahwa ABRI terdiri dari 3 Angkatan yaitu TNI AD, TNI
AL, TNI AU dan 1 (satu) POLRI, yang selanjutnya dikukuhkan melalui UU No. 20
Tahun 1982 tentang Ketenteuan-Ketentuan Pokok HanKamNeg yang dipimpin
oleh Panglima ABRI yang kedududukannya dibawah presiden selaku Kepala
Negara. Pada masa Pasca-Orde Baru (era reformasi), terhitung mulai 1 April 1999,
yang disebut militer adalah bukan lagi ABRI melainkan TNI yang terdiri dari TNI
AD, TNI AL dan TNI AU. POLRI secara organisasi terpisah dari TNI dan berdiri
sendiri dengan kedudukan langsung di bawah presiden. Sedangkan TNI tetap
berada di bawah Komandi Panglima TNI yang kedudukannya dibawah Presiden
sebagai Panglima Tertinggi Angkatanb Bersenjata. 5
5
Ibid. hlm 27-28
5
B. Bentuk Pemerintahan Sipil dan Pemerintahan Militer
a. Bentuk Pemerintahan Sipil
Menurut Eric A. Nordlinger, bentuk pemerintahan sipil dibagi dalam tiga model,
yakni 1) Model Tradisional; 2) Model Liberal; 3) Model serapan. 6
Model Tradisional adalah bentuk pemerintahan sipil di mana tidak ada perbedaan
yang mencolok antara pihak sipil dan militer. Apabila terjadi campur tangan militer
berarti menggambarkan konflik antara pihak sipil dan militer. Sedangkan adanya
konflik pasti karena adanya perbedaan antara dua pihak tersebut. Jadi secara
sederhana jika militer dan sipil tidak banyak perbedaan, baik dalam latar belakang
status sosial, budaya, agama, pendidikan, gagasan maupun kepentingan mereka,
maka pihak sipil dapat dengan mudah mempertahankan kekuasaan, karena militer
tidak ada alasan untuk melakukan intervensi. Bentuk pemerintahan sipil pertama
terjadi, karena tidak ada perbedaan antara sipil dan militer, tanpa perbedaan
tersebut, maka. Dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer.
6
Eric Nordlinger, Militer dalam Politik, Jakarta : Rineka Cipta. 1994. hlm 18-25
6
saja merupakan gabungan individu yang berbeda, tetapi juga mempunyai latar
belakang latihan, keahlian, dan sikap yang berbeda pula. Seorang yang
memperoleh keahlian dalam mengelola dan mengendalikan birokrasi militer,
mereka tidak cenderung menganggap diri mereka politisi, walaupun ketika sedang
memerintah, mereka telah dipengaruhi oleh ciri-ciri sikap politik yang sama, yang
ternyata kurang dikembangkan oleh elit sipil. Selain itu, para perwira militer juga
menekankan tentang pentingnya melindungi kepentingan bersama mereka, yang
memungkinkan terjadinya pertentangan dengan kelompok sipil. Iadi penggunaan
bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sudah semakin berkurang kalaupun tidak
dapat dihapuskan secara langsung.
Model yang kedua adalah Model Liberal. Model ini secara jelas mendasarkan diri
pada pemisahan para elit militer dan sipil sesuai dengan keahlian dan tanggung
jawab masing-masing dalam jabatan pemerintahan, baik mereka dipilih melalui
pemilihan umum, atau diangkat. Elit sipil sesuai keahliannya menjalankan
tanggung jawab di bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya;
mengawasi dan melaksanakan undang-undang serta menyelesaikan konflik antar
kelompok. Sedangkan militer sesuai dengan keahliannya dalam mengelola dan
menggunakan kekerasan, bertanggung jawab mempertahankan negara dari
serangan luar dan kekacauan yang timbul di dalam negeri, Dengan melihat
tanggung jawab sipil yang lebih besar
dan menyeluruh tersebut, maka militer terpaksa harus menerima kedudukan lebih
rendah. Kelompok militer juga tidak dapat mencampuri urusan di luar keamanan
nasional, serta harus menerima arahan dari pihak sipil seandainya kedua kelompok
itu pandangan yang berbeda.
Secara singkat, model liberal ini akan menutup kemungkinan militer untuk ikut
campur tangan dalam kegiatan politik. Model ini sering digunakan untuk
mempertahankan legitimasi sipil di negara non-Barat. Misalnya dalam pidatonya
pada tahun 1961 di depan para kadet Akademi Ghana, Presiden Nkrumah dengan
jelas menegaskan model liberal ini:
Lima tahun kemudian, beberapa orang yang mendengar pidato itu ternyata ikut
ambil bagian dalam kudeta yang berhasil menggulingkan Nkrumah, walaupun
Nkrumah pernah menegaskan bahwa politik bukan tugas militer. Dengan demikian,
jelas bahwa pihak pemerintah tidak semata-mata mendasarkan diri pada dukungan
dan amanat pihak sipil, tetapi juga harus memperhatikan militer juga. Oleh karena
itu bentuk pemerintah sipil liberal, meskipun menegaskan bahwa pihak militer
7
kedudukannya lebih rendah dari otoritas sipil, namun pemerintah sipil harus
menghormati kedudukan pihak militer. Begitu juga pihak militer juga harus
menanamkan dalam-dalam pada setiap diri prajurit bahwa mereka harus menerima
kedudukannya yang lebih rendah dari otoritas sipil sebagai satu keyakinan dan nilai
hakiki-disebut ”etika sipil”-yang harus dipegang teguh. Dengan demikian,
walaupun kedudukan militer lebih rendah, tetapi mereka dapat menerima otoritas
sipil serta mempertahankan satu sikap pendirian yang netral dan tidak berbau
politik, meskipun mereka kadang tidak sepaham dengan pemerintah. Etika sipil
akan berpengaruh untuk membendung gejolak apabila terdapat isu atau konflik
yang mencerminkan motif untuk melakukan intervensi.
Model pemerintahan sipil liberal juga didasarkan pada prinsip penting lainnya,
yakni pihak sipil harus menghormati pihak militer. Didalam tindakan dan
pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas
pihak militer. Pemerintah tidak menghina para perwira militer, mencampuri urusan
profesional militer, memasukkan pertimbangan politik kedalam angkatan
bersenjata, misalnya menaikkan pangkat perwira karena kesetiaan mereka di
bidang politik, atau melibatkan militer untuk kepentingan politik domestik. Dengan
demikian model pemerintahan sipil liberal, merupakan satu bentuk yang terkesan
untuk menjamin keabsahan pemerintah sipil. Jika pihak sipil menghargai
keabsahan militer, semakin kecil alasan militer untuk melakukan intervensi.
Sementara itu etika sipil juga akan mengurangi kecenderungan militer untuk ikut
campur tangan dalam bidang politik dan pemerintahan.
Namun demikian, model liberal bukan merupakan dasar yang kokoh untuk
pemerintahan sipil seperti diharapkan pada awalnya. Pihak sipil sendiri tidak
selamanya mematuhi setiap peraturan yang dianggap penting, yakni: tidak
mencampuri urusan kemiliteran. Bukanlah hal yang aneh bagi presiden, perdana
menteri atau raja untuk mencampuri urusan militer yang bersifat eksklusif, seperti
kenaikan pangkat atau mutasi perwira ke jabatan tertentu. Pihak sipil juga tidak
memungkiri kalau mereka menggunakan atau melibatkan angkatan bersenjata di
bidang politik untuk tujuan-tujuan pribadi dan pemerintahan mereka. Gejala
demikian cenderung mengundang motif pihak militer untuk masuk dalam urusan
politik. Meng' hadapi intervensi pihak sipil, pihak militer secara otomatis diajak
bermain dalam politik, sehingga pihak militer pun turut campur tangan untuk
mempertahankan otonomi, profesionalisme, kesatuan dai1 kemegahan pihak
militer.
8
militer. Persamaan ide politik pihak militer dengan pihak sipil yang muncul
kemudian akan menghapuskan gejala konflik di antara mereka. Penerimaan para
perwira terhadap ide-ide politik yang ortodok telah digunakan sebagai satu syarat
penting dalam kenaikan pangkat, disamping kemampuan kemiliteran.
Penggunaan model serapan ini terbatas pada jenis pemerintahan rezim tertentu saja,
seperti rezim yang bersifat sentralistis seperti pemerintahan diktator serta rezim
partai tunggal yang terpusat. Ia tidak dapat digunakan apabila pemerintahan
terdapat persaingan kekuasaan (misalnya dalam rezim yang menganut paham
persaingan partai) ataupun di dalam rezim yang menganut paham pembagian
kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Model serapan ini tidak dapat digunakan
dalam rezim tersebut karena pihak militer perlu diindoktrinasi dengan serangkaian
ide dan penguasaan politik yang bersifat monolitik. Jika terdapat lebih dari
kelompok pemimpin yang berbuat demikian (perebutan kekuasaan), maka hal ini
akan memecah belah pihak militer, serta akan menimbulkan konflik antara pihak
militer dan sipil. Semua elit sipil lebih menyenangi supremasi sipil, tetapi Ia ingin
melaksanakannya sendiri. Apabila terdapat dua atau lebih kelompok yang
memperebutkan kekuasaan, sekurang-kurangnya ada satu di antara mereka tidak
akan menerima bentuk serapan yang ada menguatkan kekuasaan lawan.
Diperkirakan hanya terdapat beberapa percobaan saja untuk menerapkan model ini
dalam rezim yang mempunyai dua atau lebih kelompok penguasa karena pihak
sipil menyadari model ini tidak dapat dilaksanakan. 7
7
Arif Yulianto, Op. Cit. hlm 48-53
9
persatuan yang terlibat dalam organisasi politik dibekukan; surat kabar ditutup;
pemilihan umum diadakan hanya sekedar sebagai tameng politik, sedang
kebanyakan organisasi eksekutif dan legislatif berada di bawah kekuasaan militer.
Sebab utama ditiadakan persaingan dan partisipasi politik adalah untuk tetap
mempertahankan kekuasaan yang direbut dengan alasan kegagalan pemerintahan
sipil sebelumnya. Pihak sipil ataupun siapa saja yang mengancam dan menentang
kekuasaannya (militer) akan dikenakan sanksi atau hukuman. Pemerintah militer
menekankan kepada masyarakat umum bahwa naiknya pemerintahan militer
didorong oleh tanggung jawab menyelesaikan krisis akibat kegagalan pemerintahan
sipil.
Pemerintahan militer adalah rezim yang tertutup karena sikap politik mereka yang
tersendiri. Penghargaan mereka terhadap ketertiban politik menyebabkan mereka
mengabaikan kebebasan bersuara dan kepentingan politik, karena militer
menganggap hal tersebut dapat menimbulkan kekacauan politik, Militer cenderung
beranggapan bahwa aktivitas politik hanya mementingkan dirinya sendiri dan
bersifat memecah belah. Sikap anti politik militer ini juga membatasi adanya
kompromi, persaingan, keterlibatan dan artikulasi elit sipil sehingga dapat
mengurangi hasutan-hasutan oleh elit non-militer.
Namun demikian, ada juga rezim pemerintahan militer yang tidak terlalu tertutup
atau membiarkan partisipasi dan persaingan politik terjadi dalam suatu
pemerintahannya, yang oleh Eric Nordlinger disebut The Gurdians Pretorian.
Mereka melakukan itu dengan maksud dalam jangka waktu tertentu mereka tidak
lagi menjadi penguasa pemerintahan, melainkan akan kembali ke barak, disamping
karena mereka tidak mempunyai target politik dan ekonomi yang begitu besar.
Oleh karenanya mereka tidak menghancurkan semua organisasi politik atau partai
politik dan tidak pula menghapuskan semua bentuk partisipasi. Dengan demikian
partai politik tidak dihancurkan kecuali mereka benar-benar bertentangan dengan
sasaran ekonomi dan politik pemerintahan militer dimaksud. Pemilihan umum juga
diadakan untuk menjalankan tugas perundang-undangan pada tingkat nasional dan
daerah, tetapi hanya partai dan calon yang diterima oleh pemerintahan militer saja
yang dibenarkan bersaing.
Pemerintahan militer juga cenderung untuk mengubah sistem politik dan ekonomi
yang diterapkan oleh pemerintah sipil sebelum-nya yang gagal.32 Dengan
demikian mereka harus menghancurkan kekuasaan para penentang guna
memungkinkan perubahan sistem politik tersebut dan kemudian
mempertahankannya. Peningkatan upaya yang diperlukan oleh pemerintah militer
untuk mengubah sistem politik dan ekonomi, akan dicapai melalui penghapusan
partai politik, serikat kerja dan organisasi bebas yang berbau politik lainnya. Hanya
organisasi yang dapat dikontrol oleh pemerintah yang dibenarkan beroperasi.
Persaingan dan partisipasi elit politik melalui pemilihan umum ditiadakan sama
sekali atau dapat dikatakan pemilihan umum hanya sebagai syarat yang tidak
10
berarti, di mana lebih dari 90% pemberi suara pemilih calon-calon yang disahkan
resmi_ Berita-berita koran disaring atau diterbitkan oleh mereka yang diangkat
oleh pemerintah militer.
11
Pemerintahan militer juga mempunyai kecenderungan gaya memimpin yang
berbeda sekali dengan pemerintahan sipil. Pemerintahan militer dalam menerapkan
kebijakannya tanpa harus mempertimbangkan masukan dari kalangan ahli politik
maupun warga negaranya. Militer terlalu takut akan dirugikan jika harus
merundingkan masalah-masalah yang akan diambil dalam keputusan negara
bersamasama para ahli politik. Kalaupun terjadi kompromi dan perundingan dapat
dipastikan pemerintah militer akan melakukan penekanan supaya tidak dirugikan.
Sehingga apa keputusan yang keluar dari pemerintah tak jarang merugikan dan
tidak efektif bagi masyarakat umum. Sikap tidak menghiraukan para ahli politik
sipil dalam pemerintahan negara ini diperkuat oleh kepercayaan para perwira
kepada diri sendiri sebagai anggota profesional yang cukup terlatih. Apalagi bila
dibandingkan dengan para ahli politik sipil yang dikatakan tidak cakap, militer
menganggap diri mereka paling mampu untuk mengatasi masalah-masalah
kenegaraan. Tidak banyak hal yang dapat mereka pelajari dari para ahli politik dan
warga negara.
Berbeda dengan hal di atas, dalam pemerintahan militer ada pula yang cenderung
sangat tergantung dengan para ahli ekonomi, teknisi, ahli ekonomi daerah dan tata
kota sehingga pemerintahannya dianggap sebagai pemerintahan koalisi militer-
teknokrat, meskipun kekuasaan politik tetap ditangan militer.36 Hal ini terjadi di
negara Brazil pada masa pemerintahan Mali yang menggulingkan Kieta dan
Indonesia di bawah Soeharto.
8
Ibid. hlm 54-57
12
Sejauh mana keterlibatan militer ke dalam kehidupan politik, dalam
pandangan Amos Perlmutter, pada gilirannya telah melahirkan
pengelompokkan militer ke dalam tiga jenis militer, yakni militer
professional, militer pretorian dan militer revolusioner.
Ciri khas dalam model ini adalah adanya penggunaan hak veto terhadap
keputusan dalam pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan
itu sendiri. Sekalipun kelompok sipil yang memerintah, mereka masih bisa
untuk tidak mengikuti sepenuhnya supremasi pihak sipil. Kelompok
pretorian masih bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat
dalam politik
13
b) Pengawal Pretorian
14
menguasai pemerintahan namun juga mendominasi rezim yang berkuasa,
bahkan kadang kala mencoba menguasai sebagian ekonomi-politik dan
sosial melalui mobilisasi. Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok
moderis radikal atau kelompok revolusioner dengan visi menata kembali
negara dari segi moral, institusi dan materi lainnya.
9
Ibid, hlm 18-19
10
Ibid, hlm 20-21
15
Dalam model serapan ini, pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan
kesetiaan dengan cara menanamkan ide untuk menyatakan ideologi, dan para
ahli politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata mereka. Model serapan ini
telah digunakan secara meluas dalam rezim-rezim komunis. Militer dipisahkan
dari bidang sipil karena keahlian profesionalnya, tetapi sejalan dari segi
ideologi. 11
Pemerintahan Sipil Menggunakan "Kontrol sipil obyektif " (objective civilian
control). " istilah ini mengandung 1) profesionalisme militer yang tinggi dan
pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi
bidang mereka; 2) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin
politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan
militer; 3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut
atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer; dan 4) akibatnya,
minimalisasi intervensi politik dalam militer.12
Dalam hal ini muncul karakteristik pemerintahan sipil yang berpijak atas
hubungannya dengan militer, antara lain pemerintahan sipil adalah sebuah
bentuk pemerintahan yang bergaya sipil, semua keputusan pemerintah dapat
menjadi perintah apabila telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diambil
keputusannya dalam suatu pemungutan suara (referendum). Dan telah
mendapat pengesahan dari lembaga negara yang berwenang.
b. Karakteristik Militer
Dalam militer tidak ada kontrol sipil dan pemimpin serta organisasi militer sering
melakukan fungsi yang luas dan bervariasi yang jauh dari misi militer yang
normal . Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk
memastikan bahwa militer disusupi dan di kontrol oleh kaki tangan dan kroni-
kroninya, yang memecah belah dan bekerja untuk menjaga cengkraman kekuasaan
diktator. Dalam pemerintahan satu partai, hubungan sipil-militer tidak begitu
berantakan, tetapi militer dipandang sebagai instrumen dari partai, pejabat militer
11
Ibid, hlm 24-25
12
Larry Diamond dan Marc. F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer & Konsolidasi Demokrasi, Terj. Tri Wibowo
Budi santoso, Jakarta :Raja Grafindo. 2001. hlm 4
13
Dra. Ninik Widiyanti, YW. Sunindhia,SH., Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Bina
Aksara. 1988. hlm 8-9
16
harus merupakan anggota partai, komisaris politik dan unsur-unsur partai paralel
dengan rangkaian komando militer, dan loyalitas tertingginya lebih diutamakan
kepada partai daripada kepada Negara. 14
salah satu variabel penting dalam hubungan sipil – militer adalah militer dan politik,
yakni apakah militer terlibat dalam politik ataukah tidak ? berkaitan denbgan itu,
setidaknya tiga aliran pemikiran yang menjelaskan mengapa militer cenderung terlibat
dalam bidang non-militer atau arena politik. Pertama, militer yang berbasis karakteristik
organisasi militer profesional barat seperti komando sentralistik, hirarki, disiplin dan
kohesif. Disini fungsi militer berkaitan dengan management of violence. Sementara
perilaku politik tentara dalam organisasi lebih banyak di tekankan kepada dimanisasi
internal organisasi militer dari pada keluar dari tataran lingkungan kemiliteran. Kedua,
aliran pemikiran yang lebih menekankan kepada aspek kemasyarakatan sebagai suatu
keseluruhan unit analisa dari aturan aturan kemiliteran.
Kedua, militer pretorian, yakni jenis militer yang keahlian dan pengetahuan kemiliteran
nya tidak terspesialisasikan. Orientasi nya mengarah ke pengabdian masyarakat
dannegara secara bersamaan dengan melalui kelompok politik dominan, suku, atau klik
militer, dan grup primodial. Jenis militer ini memiliki kecendrungan untuk melakukan
intervensi kepada politik bersifat permanen dan berkelanjutan.
Dan ketiga, militer revolusioner, yakni jenis miloter yang memiliki keahlian dan
pengetahuan profesional yang di tunjukan kepada nilai nilai sosial dan politik. Di
Indonesia, militer jenis ini juga kerap disebut “ militer pejuang “. Orientasi militer
revolusioner ini bersifat pergerakan perjuangan kemerdekaan. Sifat institusi militernya,
baik pra maupun selama revolusi sangat egalitarian dan sangat mobil. Selanjutnya
berkaitan dengan intervensi pra dan selama revolusi adalah tinggi dan pasca masa
revolusi cenderung berkadar rendah.
Michael C. Desch dalam buku politisi dan jenderal, kontrol silip di atas arus yang
bergeser menyampaikan bahwa perkemnbangan pola hubungan sipil militer
dipengaruhi oleh berubahnya lingkungan keamanan internasional secara global
pasca perang dingin. Pada masa perang dingin ada sua negara yang bertikai, yaitu :
14
Larry Diamond dan Marc. F. Plattner, Op, Cit. hlm 4
17
antara Uni Sovyet ( sekarang rusia ) dan amerika serikat ( USA ) . bersamaan
dengan itu hubungan otoritas sipil militer memburuk. Amerika dan uni sovyet
pernah menjadi model bagi subordinasi militer pada otoritas sipil, dimana
keduanya mengalami pelemahan kontrol sipil. Umpamanya sejak upaya kudeta
agustus 1991 di Uni Soviet, sering muncul pertanyaan apakah militer Soviet
sepenuh nya berada di bawah kendali sipil. Sementara di pihak lain, adanya ‘krisis’
di dalam hubungan sipil militer di USA, justru tidak sampai menimbulkan adanya
ancaman kudeta militer atau pembangkangan terang – terangan dari pihak militer.
Itulah sebabnya di Amerika Serika tidak banyak orang berminat lebih lanjut
memperdebatkan secara terbuka hubungan sipil dan militer.
Ada beberapa alasan mengapa minat hubungan sipil- militer tidak menonjol dalam
debat publik di AS. Pertama para pemimpin sipil tidak begitu tertarik untuk
membicarakan persoalan persoalan yang mereka hadapi menyangkut hubungan
dengan militer, sebab persoalan persoalan itu akan membuat sipil lemah. Kedua,
militer tidak ingin menyoroti atau melemahkan kontrol sipil disebabkan gagasan
subordinasi militer terhadap otoritas sipil telah berurat akar dalam kultur
profesional militer. Ketiga, minat publik AS terhadap hubungan sipil- militer sudah
berkurang secara dramatis sejak pasca perang dingin dan melemahnya kontrol sipil
atas militer tampak dengan mudah. Keempat, ada anggapan bahwa persoalan sipil-
militer adalah persoalan di dunia ketiga dan menurutnya selama tidak ada kudeta
militer maka hubungan antara sipil- militer baik baik saja. Hal ini merupakan
persoalan yang menjadi perdebatan panjang. Anggapan ini sebenarnya sangat
lemah karena, persoalan hubungan sipil militer adalah merupakan persoalan yang
di hadapi hampir oleh semua negara.
Dari perdebatan yang muncul menyangkut hubungan sipil militer, tampak dengan
jelah bahwa permasalahan sipil dan militer adalah permasalahan yang sangat
kompleks. Hubungan sipil militer yang ideal adalah militer di bawah kendali atau
di bawah otoritas sipil, militer di kendalikan oleh sipil.
Dalam dunia ideal akan berarti tidak ada kudeta militer,militer berada dalam
dunianya “ militer’ dan memberikan konsribusi positif bagi kebijakan nasional,
tidak terjadi komplik sipil dan militer, pejabat sipil dan milier saling menyukai dan
menghormati satu sama lain dan lahir kebijakan nasional yang efektif.
Dalam dunia nyata atau realita yang merupakan dasar dari demokrasi maju adalah
kontrol sipil atas militer dan dapatmenjadikan militer melakukan apa yang mereka
inginkan. Indikator paling baik adalah siapa yang paling dominan ketika terjadi
18
perbedaan pilihan atau referensi antara pihak sipil dan militer. Jika militer lebih
kuat maka ada persoalan, tapi jika sipil lebih kuat maka tidak ada persoalan.
Gambaran pola hubungan sipil militer di indonesia setidaknya dapat di telaah, pada
even polotik pemilihan presiden pemilihan presiden 2004. Dimana menjelang
pilpres 2004, diskursus dikotomi sipil militer mencuat ke pemukaan demokrasi
indonesia bersamaan dengan tampilnya calon presiden ( capres ) dan calon wakil
presiden ( cawapres ) dari kalangan jendral purnawirawan. Setdaknya wacana
tersebut kian ramai, sesaat setelah di dominasikan jendral TNI ( purn ) wiranto
sebagai calon presiden dari partai golkar melalui mekanisme konveksi nasional
(19-20/4/2004). Dan jauh jauh hari sebelumnya, jendral TNI purnawirawan Susilo
Bangbang Yudhoyono ( SBY ) telah di jagokan oleh partai demokrat. Menyusul
kemudian letjen ( purn) Agum Gumelar maju sebagai calon wakil presiden
( cawapres ) mendampingi calon presiden dari partai persatuan pembangunan.
Hamzah Haz.
Menariknya disini, untuk konteks negara demokrasi maju, sebut saja Amerika
Serikat, seperti telah di lukiskan di awal sesungguhnya wacana dikotomi sipil
militer tidak lagi banyak di minati publik. Dalam proses penyaringan dan
pemilihan calon presiden, seperti dalam menghadapi pemilihan presiden Amerika
Serikat bulan November 2004 yang menampilkan capres George W Bush dari
partai republik dan John F Kerry capres dari partai demokrat, latar belakang sosial
tidak terlalu diperkarakan, mereka lebih fokus pada mekaisme pemilihan, platform
dan track recond sang kardidat. Dengan suasana itu semua individu anggota
masyarakat dari begbagai latar belakang sosial tentara, pengusaha, selebritis,
politisi, akademis dll memiliki kesempatan yang sama dalam menjadi kardidat
presiden.
c. Kualitas demokrasi
Untuk yang pertama hubungan sipil militer di tinjau dari aspek kualitas demokrasi.
Dalam konteks ini, demokrasi indonesia masih berwajahkan “transisi “ hal itu
tentunya berbeda dengan Amerika Serikat, dimana kualitas dempkrasi di negara
paman syam tersebut berwajahkan “ demokrasi industri “. Prakternya tercermin
dari proses demokrasi yang stabil dengan ditopang oleh pembangunan ekonomi
yang mantap dan kepemimpinan politik yang accountable dan kredibel. Mereka
sangat menghindari persoalan persoalan demokrasi yang tidak subtil, seperti
memperkarakan hubungan sipil militer.
19
pemilihan umum, termasuk hasil pemilu legislatif 5 April 2004. Hal itu, tentunya
potensial mengundang militer dalam menciptakan tertib pilitik dan stabilitas
keamanan.
Menurut Guillermo O’Donnel dan Schmitter paling tidak ada lima kemungkinan
yang bis aterjadi dari suatu proses demokrasi transisi.
Pertama, terbenntuknya restorasi atau sistem otoriter dalam bentuk baru.
Dua terjadi revolusi sosial yang di sebabkan menajamnya komflik komflik
kepentingan di tengah masyarakat.
Tiga liberalisasi terhadap sistem otoriter, yang dilakukan oleh penguasa pasca masa
transisi, dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan politis dan mengurangi
tekanan tekanan masyarakat.
Keempat merupakan kebalikan dari yang ketiga, yaitu menyempit proses
demokrasi dari sistem liberal kepada demokrasi limitatif
Kelima Terbentuknya pemerintahan yang demokratis.
Untuk menghindari tiga kemungkinan negatif dari lima kemungkinan masa transisi
yang di sebutkan Guillermo O’Donnel dan Schmitter di atas, yakni kembalianya
otoliter dalam bentuk baru “ neo militerisme “ terjadi revolusi sosial dan
penyempitan proses demokrasi, kiranya “ percepatan konsolidasi demokrasi “
menjadi “ penawar jitu “. Hal demikian telah banyak di kemukakan dan di
tawarkan oleh para ilmuan politik. Hutington misalnya menyebutkan dua pariabel
paling menentukan yang mempengruhi percepatan konsolidasi demokrasi di era
transisi, yakni pembangunan ekonomi dan kepemimpinan politik.
Dalam konteks Indonesia yang berwajah transisi, dua pariabel penting yang
diisyaratkan hutington di atas masih tertatih tatih dan mencemaskan. Kini,
pembangunan ekonomi dan kepemimpinan politik sebagai penompang proses
kondolidasi demokrasi tengah di uji melalui ritual pemilu 2004, baik pemilu
legislatif 5 April maupun pemilu 5 juli mendatang. Dari sinilah kita meritis dan
menguatkan kembali harapan pembangunan ekonomi bisa nyata yang di dukung
oleh kepemimpinan politik yang clean, accountable, dan crediable. 15
d. AKAR HISTORIS
Kedua, hubungan sipil militer melalui pendekatan akar historis. Dalam catatan
sejarah di ketahui bahwa hubungan sipil militer di Indonesia tidak
menggembirakan atau buruk. Dalam Sejarah pola hubugan sipil-militer di
Indonesia berbagai perubahan pola-pola yang diterapkan didalamnya. Baik semasa
orde lama, orde baru, maupun era reformasi memiliki pola tersendiri yang lebih
banyak dipengaruhi faktor presiden yang memimpin. berikut kami uraikan sejarah
hubungan Sipil-Militer Indonesia yang telah diteliti oleh banyak peneliti politik.
15
Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung : Fokus Media. 2011.
Hlm 97-100
20
Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, Indonesia mempraktekan dua
model hubungan sipil-militer. model pertama adalah paham supremasi sipil. dua
bulan setelah proklamasi pemerintah melakukan perubahan mendasar dalam
pelakanaan UUD yang pada hakikatnya menyimpang dari isi UUD 1945 tanpa
mengubah secara formal UUD itu sendiri. Contohnya Pada tanggal 16 Oktober
1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X/1945 yang isinya menetapkan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai lembaga yang mempunyai
kekuasaan legislasi dan juga mempunyai wewenang menetapkan GBHN sebelum
terbentuknya DPR dan MPR. Pada waktu itu juga ditetapkan bahwa pekerjaan
sehari-hari KNIP dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja (BP) KNIP yang dipilih di
antara anggota KNIP dan yang bertanggung jawab terhadap KNIP-Pleno. Pada
tanggal 3 November 1945, pemerintah juga mengeluarkan maklumat yang
menganjurkan dibentuknya partai-partai politik untuk menampung segala aspirasi
dan aliran yang ada dalam masyarakat supaya dapat diarahkan ke jalan yang
teratur." Kemudian pada tanggal 14 November 1945, atas usul KNIP, pemerintah
mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. 5/ 1945 yang isinya mengumumkan
bahwa menteri-menteri negara diubah-yang menurut UUD 1945 adalah pembantu
presiden dan bertanggung jawab kepadanya-menjadi lembaga pemerintah yang
bertanggung jawab kepada Komite Nasional casu quo (cq.) BP-KNIP yang
berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat.
21
keamanan akibat adanya beberapa pemberontakan di daerah yang dilakukan oleh
para panglima daerah yang tidak puas dengan kepemimpinan markas besar tentara.
Masa Orde Baru Indonesia dipimpin oleh tokoh tentara (Jenderal Besar Soeharto)
dengan konsepnya ”Dwi Fungsi ABRI" yang dihasilkan melalui seminar Angkatan
Darat II tahun 1966. Kontrol Militer terhadap kehidupan sipil menjadi menjelma
dan dikembangkan menjadi kebijakan politik. dengan Konep tersebut, tentara aktif
bisa dengan leluaa menduduki jabatan poliyik strategis dan menguasai hampir
seluruh sendi kehidupan sipil, hampir tidak ada ruang publik, wilayah partisipasi da
kebebasan sipil.(PKN) Konsep ini pada awalnya menjadi pertentangan antara para
tokoh terkemuka saat itu setelah Soekarno jatuh. Setidaknya ada tiga versi yang
berbeda tentang peran politik militer di awal kelahiran Orde Baru; versi Soeharto-
Ali Murtopo, versi A.H. Nasution, dan versi Muhammad Hatta. Seoharto dan Ali
Murtopo menginginkan peran militer yang besar untuk melakukan stabilisasi
kehidupan politik. Nasution juga menginginkan peran militer yang besar namun
kemudian segera dikurangi dari waktu ke waktu sejalan dengan berkurangnya
krisis sosial, ekonomi dan politik warisan Orde Lama. Berbeda dengan keduanya,
Hatta justru menyarankan militer kembali ke tangsi untuk membuka jalan Orde
Baru merealisasikan janji-janji demokratisasi dan keadilan sosial.
Dari ketiga versi tersebut, ternyata versi Soeharto-Ali Murtopo lebih mendominasi
dalam proses penyelenggaraan negara selanjutnya, sementara versi Nasution
sebagai penggagas lahirnya Dwi Fungsi dan Hatta yang benar-benar menolak Dwi
Fungsi disingkirkan dan bahkan kedua tokoh terakhir ini terdepak peranannya dari
kekuasaan pemerintahan Soeharto.23 Oleh karena itu, dari kalangan militer senior
yang turut mengembangkan konsep Dwi Fungsi ABRI menilai bahwa peran ABRI
telah melebihi proporsi sebagaimana pada tahap kelahiran Dwi Fungsi
dimaksudkan. ABRI telah melakukan banyak penyimpangan dari tujuan semula
dengan berbagai tindakan yang jelas bukan membela kepentingan negara, tetapi
cenderung membela pemerintah yang berkuasa. ABRI sendiri ikut aktif
merumuskan format politik Orde Baru dan membidani kelahiran mesin politik
Golongan Karya (Golkar) sebagai kekuatan politik yang sangat dominan sampai
memenangkan pemilu 6 kali berturut-turut tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997.
Keberpihakan ABRI kepada GOLKAR selama orde baru diklaim sebagai rangka
menanggulangi dan menyelesaikan pertikaian antar-partai politik yang hanya
mendasarkan pada kepentingan kekuasaan dan kelompoknya sendiri, bukan
kepentingan negara dan bangsa. Hal ini diwujudkan dalam usaha dan strategi
militer untuk memenangkan GOLKAR dalam setiap emilihan umum.
22
alat penekan dan pengontrol stabilitas politik dalam rangka pengamanan
kekuasaan. jabatan-jabatan strategis, baik di departe. men maupun non-departemen,
lebih banyak dipegang oleh kalangan militer. Jabatan Seperti MenDagRI yang
selalu dipegang anggota ABRI kemudian jabatan-jabatan strategis di tingkat daerah
seperti Gubernur, Wali Kota, dan Bupati Hampir mayoritas dipegang oleh militer.
Kedudukan ABRI sebagai kekuatan sosial politik yang telah banyak menimbulkan
dampak negatif dan distorsi dalam pelaksanaannya justru semakin dikukuhkan
secara de jure melalui Undang-undang No. 20/1982 tentang Ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara dalam pasal 26 dan 28, Tap MPR dari tahun 1973
sampai dengan 1993, dan Undangundang No.2 Tahun 1988 tentang Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pasal 6. Dalam perjalanan peran sosial
politik ABRI sepanjang 32 tahun Orde Baru, konsep Dwi Fungsi ABRI dan
implementasinya seolah-olah menjadi sesuatu yang sakral dan tabu untuk
dipertanyakan. Berbagai pernyataan yang dikemukakan, klaim yang didengungkan
dan argumentasi yang diajukan, justru lebih banyak menonjolkan hal-hal yang
positif dibandingkan sisi negatifnya, sehingga semakin mengukuhkan keberadaan
Dwi Fungsi ABRI.
Pada masa Orde Baru ini, meskipun stabilitas nasional mantap dan terkendali,
namun hubungan sipil-militer sudah bergeser dari pola kesetaraan atau kesejajaran
antara sipil-militer cenderung menjadi pola dominasi militer atas sipil. Hal ini
dikarenakan tingkat akomodasi sipil yang tidak seimbang. Kebijakan pemerintah
yang didukung penuh oleh militer mampu mengatasi gejolak-gejolak sosial-politik
yang timbul. Pendekatan keamanan yang represif dengan menggunakan segenap
kekuatan militer untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan, tidak memberikan
peluang masyarakat sipil untuk ikut andil dalam proses politik kenegaraan.
Keberadaan partai-partai politik oposisi dan organisasi sosial masyarakat tidak
lebih hanya dianggap sebagai rekayasa demokrasi dan legalisasi pelengkap sistem
politik yang ada. Partaipartai politik dikendalikan seperti ”wayang" yang mengikuti
gerakan ”dalang” sehingga fungsi-fungsi partai politik relatif kurang berjalan
sebagaimana mestinya.
Namun roda rupanya terus berputar hingga akhirnya terjadilah tragedi politik
dengan ambruknya Soeharto dari kursi kepresidenannya tanggal 21 Mei 1998.
Dengan jatuhnya presiden Soeharto, maka berakhir pula pemerintahan Orde Baru,
karena Soeharto dianggap sebagai personifikasi Orde Baru. Pasca-Orde Baru (era
reformasi) ditandai dengan munculnya kebebasan berkumpul, berserikat, dan
menyampaikan pendapat secara terbuka. Akumulasi kekesalan dan kekecewaan
bahkan penderitaan yang menumpuk selama lebih dari tiga dekade di bawah Orde
Baru akibat dari ekses pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI, khususnya ABRI sebagai
kekuatan politik, ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi
dengan menghujat dan mendesak ABRI kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu
mengurusi masalah pertahanan keamanan negara.
23
Dengan adanya paradigma baru tersebut, ABRI mulai melakukan perombakan-
perombakan besar dengan melakukan 14 perubahan mendasar menuju ABRI Abad
XXI yaitu kembali ke jati dirinya sebagai alat negara. Ke-14 perubahan tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran ABRI abad
XXI;
2) Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran Sosial Politik
(Sospol) ABRI;
3) Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari tubuh ABRI yang telah
menjadi keputusan pimpinan ABRI mulai 1 April 1999 sebagai transformasi awal;
4) Penghapusan Dewan Sosial Politik Pusat (Wansospolpus) dan Dewan Sosial
Politik Daerah (Wansospolda) Tingkat I;
5) Perubahan Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial;
6) Likuidasi Staf Karyawan (Syawan) ABRI, Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat (Kamtibmas) ABRI, dan Badan Pembinaan Karyawan (Babinkar)
ABRI;
7) Penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem, dan Sospoldim;
8) Penghapusan kekaryaan ABRI melalui pensiun atau alih status;
9) Pengurangan jumlah fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II;
10) ABRI tidak akan pernah lagi terlibat dalam politik praktis;
11) Pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak
yang sama dengan semua partai politik yang ada;
12) Komitmen dan konsistensi netralitas ABRI dalam pemilu;
13) Perubahan paradigma hubungan ABRI dengan keluarga besar ABRI;
14) Revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI disesuaikan era reformasi dan
peran ABRI abad ke-21.
Perubahan ini oleh kalangan masyarakat sipil dan kalangan militer Sendiri dinilai
positif sebagai upaya reaktif ABRI terhadap tuntutan da gugatan dari masyarakat,
khususnya tentang persoalan ekses pera sospol ABRI yang diimplementasikan dari
doktrin Dwi Fungsi ABRI. Langkah awal segera ditunjukkan ABRI untuk
merespon berbagai tuntutan masyarakat tersebut dengan melakukan reformas1
internal yaitu perubahan organisasi (reorganisasi), seperti perubahan Staf Sosial
Politik menjadi Staf Teritorial, demiliterisasi jabatan birokrasi, Pemisahan polisi
dari tubuh ABRI, perubahan nama ABRI menjadi TNI, Penghapusan Daerah
Operasi Militer (DOM), pembentukan Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem
Hukum (DPKSH) dan perubahan internal lainnya
24
merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Untuk mengukuhkan secara legalitas formal bahwa peran TNI hanya sebagai alat
pertahanan, maka pada tanggal 18 Agustus 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor:
VII/MPR/2000 ditetapkan bahwa disamping perannya sebagai alat negara dalam
bidang pertahanan, TNI juga mempuyai tugas bantuan, baik kepada Polri maupun
berupa civic mission, misi perdamaian dunia di bawah Perserikatan BangsaBangsa
(PBB) dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis day to day politics.
16
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca ORBA, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002.
hlm 6-20
25
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam Melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk
pemerintahan sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini
berdasarkan kriteris gaya dan sifat memerintah sebuah pemrintah.
Pemerintahan sipil adalah suatu bentuk pemerintahan yang menggunakan
gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan
pemerintahan militer adalah suatu pemerintahn yang dipimpin oleh
penguasa dictator yang mengandalkan gaya militer yang sarat dengan
disiplin dan kental dengan ketentaraan
Hubungan anatara sipil dan militer dalam sejarah lebih diungkapkan dalm
bentuk ekstrim karena kegagalan pemerintah sipil yang menyebabakan
terjadinya kudeta, dan ketidakstabilan rezim militer yang tidak punya opsi
memerintah lebih baik dari pemerintahan sipil. Sehingga pada akhirnya
kedua hal tersebut tidak dapat berkembang sesuai dengan semestinya.
26
DAFTAR PUSTAKA
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca ORBA, Jakarta : Raja
Grafindo Persada. 2002
27