Anda di halaman 1dari 29

Kata Pengantar

Segala puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Shalawat dan
salam juga senantiasa kiranya penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan
yang telah memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ini dan
dengan limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah pada mata kuliah Pacasila dan Kewarganegaraan yang berjudul
Hubungan Sipil-Militer guna untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Pancasila dan Kewarganegaraan.

Penulis meyakini bahwa di dalam penulisan makalah ini tentu masih


banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun penguasaan
materi. kami sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang membangun kemajuan dalam berfikir untuk penulis agar
makalah ini dapat dibuat dengan yang lebih sempurna lagi.

Akhirnya kepada Allah juga penulis minta ampun, semoga dengan adanya
makalah ini dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan
dapat menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Aamiin

Bandung, 11 februari 2018

Penulis

i
Daftar isi

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

A. Latar Belakang ............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3

A. Pengertian pemerintah, sipil dan militer....................................................3


B. Bentuk pemerintahan sipil dan pemerintahan militer..................................6
C. Karakteristik sipil dan militer…………………………………….............12
D. Hubungan antara sipil dan militer………………………………………14

BAB III PENUTUP..............................................................................................24

A. Kesimpulan................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Negara adalah sebuah istilah yang secara terminologi berarti organisasi
tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk
bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat.

Suatu Negara haruslah memiliki sedikitnya 3 unsur yang menjadikan Negara


tersebut berdaulat di tengah-tengah negara lainnya. Mahfud M.D.
menyebutkan 3 unsur penting tersebut sebagai unsur konstitutif. Unsur-unsur
tersebut antara lain adalah : Rakyat, Wilayah, dan Pemerintah, ditambah
dengan pengakuan dari Negara lain.  

Berbicara tentang bentuk pemerintahan, kita mesti faham terlebih dahulu apa


yang dimaksud dengan negara dan perbedaannya dengan pemerintah. Seperti
yang telah dijelaskan di awal, sejatinya negara adalah sebuah organisasi.
Selayaknya organisasi, maka negara pun memiliki peraturan, selain itu negara
juga memiliki sebuah badan yang berfungsi merumuskan, menjalankan dan
mengawasi peraturan itu.

Selanjutnya, dalam perjalanannya berkembang menjadi beberapa bentuk


pemerintahan, sejarah mencatat banyak negara yang memiliki bentuk
pemerintahan yang berbeda-beda karena hal tersebut berdasar kepada para
penguasa negara tersebut. Dalam konteks ini  muncul bentuk pemerintahan
sipil dan pemerintahan militer. Tentu saja kedua bentuk pemerintahan
tersebut mempunyai karakteristik yang satu sama lain berbeda.

Hubungan Sipil-Militer adalah satu perkara yang amat penting bagi satu
bangsa karena berpengaruh besar kepada ketahanan nasionalnya. Hal itu juga
berlaku bagi bangsa Indonesia. Pengertian HubunganSipil-Militer semula
tidak dikenal di Indonesia dan baru dipergunakan setelah pengaruh dunia
Barat, khususnya yang berpandangan liberal, makin kuat. Mula-mula itupun

1
terbatas pada kalangan terpelajar yang banyak berhubungan dengan ilmu
sosial yang berasal dari dunia barat. Akan tetapi lambat laun pengertian itu
menyebar di semua kalangan dan sekarang sudah menjadi pengertian yang
diakui dan dipergunakan secara umum di Indonesia. Namun ada satu
perbedaan yang menonjol dalam penggunaan pengertian itu antara mereka
yang hidup dalam alam sosial barat dengan bangsa Indonesia yang menerima
dan menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Di
dunia Barat yang berpaham liberal Hubungan Sipil-Militer senantiasa berarti
supremasi Sipil atas Militer, sedangkan di Republik Indonesia yang berhaluan
Pancasila tidak dengan sendirinya Hubungan Sipil-Militer berarti
supremasi sipil atas militer. Bahkan dengan memperhatikan bahwa Panca Sila
menekankan faktor kekeluargaan dan kerukunan justru tidak ada supremasi
satu golongan masyarakat atas yang lain, melainkan dalam kebersamaan
memperjuangkan dan mengusahakan hal yang terbaik bagi bangsa, negara
dan masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemerintah, Sipil dan Militer


a. Pengertian Pemerintah

Dari sisi bahasa (etimologis) pemerintah (government) berasal dari kata Yunani,
kubernan atau nahkoda kapal. Ini artinya, menatap ke depan. jadi "memerintah"
artinya adalah melihat kedepan, menentukan berbagai kebijakan yang
diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan arah
perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang, dan mempersiapkan
langkah-langkah kebijakan untuk menghadapi perkembangan masyarakat, serta
mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. Oleh sebab itu,
kegiatan pemerintah lebih menyangkut pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik dalam rangka mencapai tujuan masyarakat-negara. 1

Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah.
Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:

a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau;


b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau,
Negara;
c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah. 2

Adapun kata pemerintahan, setidak-tidaknya, mengandung tiga pengertian Tiga


pengertian ini dilihat dari aspek kegiatan (dinamika), Struktural fungsional, dan
aspek tugas dan kewenangan (fungsi). Pertama, apabila ditinjau dari segi dinamika,
pemerintahan berarti segala kegiatan atau usaha yang terorganisasikan, bersumber
pada kedaulatan dan berlandaskan pada dasar negara, mengenai rakyat dan wilayah
negara itu demi tercapainya tuiuan negara. Segala kegiatan yang terorganisasikan,
mengandung arti bahwa segala kegiatan yang memenuhi syarat-syarat organisasi.
Pengertian bersumber pada kedaulatan ialah bersumber pada pemegang kedaulatan
dalam negara, umpamanya rakyat. Berikutnya berlandaskan pada dasar negara
berarti segala kegiatan pemerintahan dilandasi ideologi dan falsafah negara,
umpamanya Pancasila dan UUD 1945 di negara indonesia.

Kedua, dari segi struktural fungsional, pemerintahan berarti seperangkat fungsi


negara, yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional, dan
melaksanakan fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi tercapainya tujuan negara.
Kemudian, ketiga, dari segi tugas dan kewenangan negara, pemerintahan berarti
seluruh tugas dan kewenangan negara. Mengacu pada tiga pengertian tersebut
kiranya dapat ditegaskan bahwa pemerintahan ialah segala kegiatan yang berkaitan

1
Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung : Fokus Media. 2011. hlm. 85
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia

3
dengan tugas dan kewenangan negara (fungsi negara). Sedangkan yang
melaksanakan tugas dan kewenangan negara itu adalah negara. 3

Berkaitan dengan pengertian pemerintahan di atas, maka kiranya terdapat


pengertian pemerintahan dalam pengertian luas dan pengertian sempit.
Pemerintahan dalam pengertian luas berarti seluruh fungsi negara, seperti legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, sementara pemerintahan dalam pengertian
sempitmenyangkut fungsi eksekutif saja. Demikian juga dengan pengertian
pemerintah, dapat dalam arti luas, yakni seluruh aparat yang melaksanakan fungsi-
fungsi negara, dan pengertian pemerintah dalam arti sempit yakni menyangkut
aparat eksekutif saja (kepala negara/ pemerintahan dan kabingtnya).

b. Pengertian Sipil

Istilah sipil dalam bahasa inggris “ civilian” yakni (person ) not serving with
armed forces (seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata ).
Dengan demikian sipil dapat diartikan sebagai semua orang dengan segala macam
profesi yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta , di luar struktrur
organisasi militer , termasuk polisi. Namun batasan seperti ini tentu berbeda
dengan di Indonesia, di mana polisi pada saat lalu dan saat ini cenderung masih
dianggap sebagai warga non-sipil.

Dalam mengamati hubungan sipil-militer,banyak pengamat militer memberikan


batasan pihak sipil secara beragam. Eliot A. Cohan mendefinisikan pihak sipil
dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan
negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai masyarakat politik yang
diwakili oleh partai politik . Sayidiman Suryohadiprojo membarikan batasan
pengertian sipil sebagai semua lapisan rakyat.

Dalam kajian ini, pengertian sipil dibatasi – dengan mangacu pendapat Alfred
Stepan-hanya pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis
dalam kajian ini adalah praktek-praktek politik kedua belah pihak dalam
memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik
adalah sebuah arena tempat masyarakat bernegara secara khusus mengatur dirinya
sendiri dalam kontestasi (contestation) politik guna memperoleh kontrol atas
kekuasaan pemerintah dan aparat negara. 4

c. Pengertian Militer

Militer dalam bahasa inggris “military” adalah “the soldiers ; the army, the armed
forces” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan prajurit atau tentara; angkatan
darat ;angkatan bersenjata( terdiri dari beberapa angkatan , yakni : darat, laut dan
atau marinir serta udara). Di negarabangsa modern ,apa yang dinamakan militer
3
Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Op. Cit.
4
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca ORBA, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
2002. hlm 29-30

4
adalah angkatan bersenjatayang biasanya terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang ,
yakni darat, laut, udara dan atau marinir. Sedangkan polisi , meskipun diberikan
kewenangan memegang senjata, tidak termasuk di dalamnya. Di Indonesia ,
batasan milietr berbeda dari waktu ke waktu. Militer dalammasaorde lama adalah
Angkatan Perang republik Indonesia (APRI ) yang terdiri atas angklatan darat,
angkatan laut dan angkatan uadara. Pada tahun 1959 Sebutan APRI diubah menajdi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( ABRI) . Melalui UU Nomor 13/1961
pasal 3,Keppres Nomor : 225/1962, Keppres Nomor : 290/1964 menetapkan
Kepolisian Negara RI adalah ABRI. Dengan demikian, ABRI meliputi angkatan
Darat(AD), Angkatan Laut(AL), Angkatan Udara(AU) dan Kepolisian Negara RI.
Pada masa Orde Baru militer indonesia masih menggunakan sebutan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang terdiri dari TNI AD, TNI AL, TNI AU dan
POLRI terhitung sejak diberlakukan Keppres No. 290 tahun 1964 tanggal 12
Januari 1964 dimana angkatan Kepolisian RI ditetapkan sebagai angkatan
bersenjata yang kedudukannya sama dan sederajat dengan ketiga Angkatan
Lainnya dengan garis-garis komando dan hirarki yang utuh dan bulat. Namun pada
tanggal 27 januari 1969 melalui Keppres No. 52 Tahun 1969 terjadi perubahan
Nama Angkata Kepolisian RI (AKRI) menjadi Kepolisian RI (POLRI) namun tetap
berada dibawah ABRI dan kedudukannya secara organisasi tetap di bawah
Dephankam/Pangab. Kemudian melalui Keppres No. 80 tahun 1969, Keppres No.7
Tahun 1874 ditetapkan bahwa ABRI terdiri dari 3 Angkatan yaitu TNI AD, TNI
AL, TNI AU dan 1 (satu) POLRI, yang selanjutnya dikukuhkan melalui UU No. 20
Tahun 1982 tentang Ketenteuan-Ketentuan Pokok HanKamNeg yang dipimpin
oleh Panglima ABRI yang kedududukannya dibawah presiden selaku Kepala
Negara. Pada masa Pasca-Orde Baru (era reformasi), terhitung mulai 1 April 1999,
yang disebut militer adalah bukan lagi ABRI melainkan TNI yang terdiri dari TNI
AD, TNI AL dan TNI AU. POLRI secara organisasi terpisah dari TNI dan berdiri
sendiri dengan kedudukan langsung di bawah presiden. Sedangkan TNI tetap
berada di bawah Komandi Panglima TNI yang kedudukannya dibawah Presiden
sebagai Panglima Tertinggi Angkatanb Bersenjata. 5

5
Ibid. hlm 27-28

5
B. Bentuk Pemerintahan Sipil dan Pemerintahan Militer
a. Bentuk Pemerintahan Sipil

Menurut Eric A. Nordlinger, bentuk pemerintahan sipil dibagi dalam tiga model,
yakni 1) Model Tradisional; 2) Model Liberal; 3) Model serapan. 6

Model Tradisional adalah bentuk pemerintahan sipil di mana tidak ada perbedaan
yang mencolok antara pihak sipil dan militer. Apabila terjadi campur tangan militer
berarti menggambarkan konflik antara pihak sipil dan militer. Sedangkan adanya
konflik pasti karena adanya perbedaan antara dua pihak tersebut. Jadi secara
sederhana jika militer dan sipil tidak banyak perbedaan, baik dalam latar belakang
status sosial, budaya, agama, pendidikan, gagasan maupun kepentingan mereka,
maka pihak sipil dapat dengan mudah mempertahankan kekuasaan, karena militer
tidak ada alasan untuk melakukan intervensi. Bentuk pemerintahan sipil pertama
terjadi, karena tidak ada perbedaan antara sipil dan militer, tanpa perbedaan
tersebut, maka. Dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer.

Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini berpengaruh sekali di bawah sistem


pemerintahan kerajaan pada abad ketujuh belas dan delapan belas, karena golongan
aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga elit militer; suatu kelanjutan dari
zaman feodal di mana golongan bangsawan merupakan pahlawan dan pemimpin di
jajahan masing-masing. Walaupun golongan elit itu berbeda, di mana kebanyakan
mereka memainkan salah satu peranan saja, pandangan dan kepentingan mereka
tidak jauh berbeda. Para perwira militer dan pemimpin sipil berasal dari kalangan
aristokrat, mereka mempunyai nilai yang sama dan mempertahankan ikatan
kekeluargaan melalui persaudaraan dan perkawinan. Keluarga bangsawan yang
mempunyai anak laki-laki akan memasukkan anak-anak mereka ke berbagai
bidang yang berbeda, seperti militer, pemerintahan dan keagamaan. Jika terjadi
ketegangan antara keduanya, golongan aristokrat lebih menganggap dirinya mereka
sebagai lebih dari seorang sipil daripada seorang militer. Mereka lebih
mengutamakan kekuasaan, kekayaaa dan status sebagai seorang sipil. Golongan
bangsawan juga tidak menggunakan kedudukan mereka dalam militer untuk
menentang raja. Karena tindakan demikian hanya akan memperlemah kedudukan
politik, ekonomi dan sosial mereka, yang banyak hal memang sangat tergantung
pada raja. Jadi merebut kekuasaan berdasarkan kedudukan Sebagai perwira militer
hanya akan merusak kedudukan dan hak-hak istimewa mereka sebagai seorang
sipil.

Secara singkat bentuk pemerintahan sipil tradisional ini dapat mempertahankan


legitimasi pihak sipil disebabkan oleh tidak adanya perbedaan yang jelas antara
sipil dan militer. Sungguhpun model ini berpengaruh dalam mempertahankan
pemerintahan sipil, tetapi tidak dapat dijadikan rujukan pada zaman sekarang.27
Elit militer dan sipil mempunyai kedudukan terpisah. Kedua kelompok ini bukan

6
Eric Nordlinger, Militer dalam Politik, Jakarta : Rineka Cipta. 1994. hlm 18-25

6
saja merupakan gabungan individu yang berbeda, tetapi juga mempunyai latar
belakang latihan, keahlian, dan sikap yang berbeda pula. Seorang yang
memperoleh keahlian dalam mengelola dan mengendalikan birokrasi militer,
mereka tidak cenderung menganggap diri mereka politisi, walaupun ketika sedang
memerintah, mereka telah dipengaruhi oleh ciri-ciri sikap politik yang sama, yang
ternyata kurang dikembangkan oleh elit sipil. Selain itu, para perwira militer juga
menekankan tentang pentingnya melindungi kepentingan bersama mereka, yang
memungkinkan terjadinya pertentangan dengan kelompok sipil. Iadi penggunaan
bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sudah semakin berkurang kalaupun tidak
dapat dihapuskan secara langsung.

Model yang kedua adalah Model Liberal. Model ini secara jelas mendasarkan diri
pada pemisahan para elit militer dan sipil sesuai dengan keahlian dan tanggung
jawab masing-masing dalam jabatan pemerintahan, baik mereka dipilih melalui
pemilihan umum, atau diangkat. Elit sipil sesuai keahliannya menjalankan
tanggung jawab di bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya;
mengawasi dan melaksanakan undang-undang serta menyelesaikan konflik antar
kelompok. Sedangkan militer sesuai dengan keahliannya dalam mengelola dan
menggunakan kekerasan, bertanggung jawab mempertahankan negara dari
serangan luar dan kekacauan yang timbul di dalam negeri, Dengan melihat
tanggung jawab sipil yang lebih besar

dan menyeluruh tersebut, maka militer terpaksa harus menerima kedudukan lebih
rendah. Kelompok militer juga tidak dapat mencampuri urusan di luar keamanan
nasional, serta harus menerima arahan dari pihak sipil seandainya kedua kelompok
itu pandangan yang berbeda.

Secara singkat, model liberal ini akan menutup kemungkinan militer untuk ikut
campur tangan dalam kegiatan politik. Model ini sering digunakan untuk
mempertahankan legitimasi sipil di negara non-Barat. Misalnya dalam pidatonya
pada tahun 1961 di depan para kadet Akademi Ghana, Presiden Nkrumah dengan
jelas menegaskan model liberal ini:

”Saudara-saudara harus mempunyai keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh


pemerintah adalah baik untuk negara dan saudara-saudara harus mendukungnya tanpa
kritik. Bukanlah tugas seorang prajurit untuk mengritik atau mencoba mencampuri
urusan politik negara; militer harus menyerahkan bidang itu untuk diurus oleh para
politisi sipil. Pemerintah membutuhkan saudara setiap saat untuk berbakti dengan setia
kepada negara dan rakyat Ghana.”

Lima tahun kemudian, beberapa orang yang mendengar pidato itu ternyata ikut
ambil bagian dalam kudeta yang berhasil menggulingkan Nkrumah, walaupun
Nkrumah pernah menegaskan bahwa politik bukan tugas militer. Dengan demikian,
jelas bahwa pihak pemerintah tidak semata-mata mendasarkan diri pada dukungan
dan amanat pihak sipil, tetapi juga harus memperhatikan militer juga. Oleh karena
itu bentuk pemerintah sipil liberal, meskipun menegaskan bahwa pihak militer

7
kedudukannya lebih rendah dari otoritas sipil, namun pemerintah sipil harus
menghormati kedudukan pihak militer. Begitu juga pihak militer juga harus
menanamkan dalam-dalam pada setiap diri prajurit bahwa mereka harus menerima
kedudukannya yang lebih rendah dari otoritas sipil sebagai satu keyakinan dan nilai
hakiki-disebut ”etika sipil”-yang harus dipegang teguh. Dengan demikian,
walaupun kedudukan militer lebih rendah, tetapi mereka dapat menerima otoritas
sipil serta mempertahankan satu sikap pendirian yang netral dan tidak berbau
politik, meskipun mereka kadang tidak sepaham dengan pemerintah. Etika sipil
akan berpengaruh untuk membendung gejolak apabila terdapat isu atau konflik
yang mencerminkan motif untuk melakukan intervensi.

Model pemerintahan sipil liberal juga didasarkan pada prinsip penting lainnya,
yakni pihak sipil harus menghormati pihak militer. Didalam tindakan dan
pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas
pihak militer. Pemerintah tidak menghina para perwira militer, mencampuri urusan
profesional militer, memasukkan pertimbangan politik kedalam angkatan
bersenjata, misalnya menaikkan pangkat perwira karena kesetiaan mereka di
bidang politik, atau melibatkan militer untuk kepentingan politik domestik. Dengan
demikian model pemerintahan sipil liberal, merupakan satu bentuk yang terkesan
untuk menjamin keabsahan pemerintah sipil. Jika pihak sipil menghargai
keabsahan militer, semakin kecil alasan militer untuk melakukan intervensi.
Sementara itu etika sipil juga akan mengurangi kecenderungan militer untuk ikut
campur tangan dalam bidang politik dan pemerintahan.

Namun demikian, model liberal bukan merupakan dasar yang kokoh untuk
pemerintahan sipil seperti diharapkan pada awalnya. Pihak sipil sendiri tidak
selamanya mematuhi setiap peraturan yang dianggap penting, yakni: tidak
mencampuri urusan kemiliteran. Bukanlah hal yang aneh bagi presiden, perdana
menteri atau raja untuk mencampuri urusan militer yang bersifat eksklusif, seperti
kenaikan pangkat atau mutasi perwira ke jabatan tertentu. Pihak sipil juga tidak
memungkiri kalau mereka menggunakan atau melibatkan angkatan bersenjata di
bidang politik untuk tujuan-tujuan pribadi dan pemerintahan mereka. Gejala
demikian cenderung mengundang motif pihak militer untuk masuk dalam urusan
politik. Meng' hadapi intervensi pihak sipil, pihak militer secara otomatis diajak
bermain dalam politik, sehingga pihak militer pun turut campur tangan untuk
mempertahankan otonomi, profesionalisme, kesatuan dai1 kemegahan pihak
militer.

Model ketiga pemerintahan sipil adalah Model Serapan. Pemerintal'l sipil


memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide-ide politik
kedalam tubuh angkatan bersenjata. Sepanjang hidupnya, mereka (militer)
senantiasa didoktrinasi dengan ide-ide politik oleh pimpinan sipil mereka. Di
dalam akademi militer pusat latihan, tempat kursus atau sekolah dasar dan
kelanjutan militer, diskusi-diskusi formal dan informal, baik dalam unit besar atau
kecil, sering dilakukan usaha-usaha intensif untuk membentuk ide dan sikap politik

8
militer. Persamaan ide politik pihak militer dengan pihak sipil yang muncul
kemudian akan menghapuskan gejala konflik di antara mereka. Penerimaan para
perwira terhadap ide-ide politik yang ortodok telah digunakan sebagai satu syarat
penting dalam kenaikan pangkat, disamping kemampuan kemiliteran.

Disamping melalui penyebaran ide-ide politik, supremasi pemerintahan sipil juga


dipertahankan melalui penyidikan, pengontrolan dan sanksi. Ahli politik
ditempatkan di setiap unit dan peringkat hirarki militer. Mereka bertanggung jawab
kepada politisi yang lebih tinggi dan pemimpin sipil, bukan kepada perwira militer
yang pangkatnya lebih tinggi. Bahkan, perwira yang mempunyai tanggung jawab
pengawasan politik biasanya mengawasi perwira militer yang sama pangkatnya
dengan mereka. Penyidikan dan kontrol mungkin diperkuat lagi melalui polisi
rahasia dan para pemberi informasi di angkatan bersenjata, dan penguasaannya
meningkat sampai ke elit sipil. Jika penyerapan ide politik dan dorongan yang
diberikan kurang memadai untuk mewujudkan persamaan ide dan sikap politik,
pengawasan tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah dan
menghambat kecenderungan untuk melakukan campur tangan.

Penggunaan model serapan ini terbatas pada jenis pemerintahan rezim tertentu saja,
seperti rezim yang bersifat sentralistis seperti pemerintahan diktator serta rezim
partai tunggal yang terpusat. Ia tidak dapat digunakan apabila pemerintahan
terdapat persaingan kekuasaan (misalnya dalam rezim yang menganut paham
persaingan partai) ataupun di dalam rezim yang menganut paham pembagian
kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Model serapan ini tidak dapat digunakan
dalam rezim tersebut karena pihak militer perlu diindoktrinasi dengan serangkaian
ide dan penguasaan politik yang bersifat monolitik. Jika terdapat lebih dari
kelompok pemimpin yang berbuat demikian (perebutan kekuasaan), maka hal ini
akan memecah belah pihak militer, serta akan menimbulkan konflik antara pihak
militer dan sipil. Semua elit sipil lebih menyenangi supremasi sipil, tetapi Ia ingin
melaksanakannya sendiri. Apabila terdapat dua atau lebih kelompok yang
memperebutkan kekuasaan, sekurang-kurangnya ada satu di antara mereka tidak
akan menerima bentuk serapan yang ada menguatkan kekuasaan lawan.
Diperkirakan hanya terdapat beberapa percobaan saja untuk menerapkan model ini
dalam rezim yang mempunyai dua atau lebih kelompok penguasa karena pihak
sipil menyadari model ini tidak dapat dilaksanakan. 7

b. Bentuk Pemerintahan Militer

Bentuk pemerintahan militer cenderung bersifat otoritarian. Tindakan awal


pemerintahan militer setelah kudeta adalah memusatkan kekut asan yang semi
eksklusif dalam genggaman mereka. Hak dan kebebasan politik-apabila ada pada
masa pemerintahan sebelumnya dibatalkan, lembaga otoritas legislatif dibatasi,
batasan-batasan yang melumpuhkan dikenakan terhadap kegiatan partai politik dan

7
Arif Yulianto, Op. Cit. hlm 48-53

9
persatuan yang terlibat dalam organisasi politik dibekukan; surat kabar ditutup;
pemilihan umum diadakan hanya sekedar sebagai tameng politik, sedang
kebanyakan organisasi eksekutif dan legislatif berada di bawah kekuasaan militer.

Sebab utama ditiadakan persaingan dan partisipasi politik adalah untuk tetap
mempertahankan kekuasaan yang direbut dengan alasan kegagalan pemerintahan
sipil sebelumnya. Pihak sipil ataupun siapa saja yang mengancam dan menentang
kekuasaannya (militer) akan dikenakan sanksi atau hukuman. Pemerintah militer
menekankan kepada masyarakat umum bahwa naiknya pemerintahan militer
didorong oleh tanggung jawab menyelesaikan krisis akibat kegagalan pemerintahan
sipil.

Pemerintahan militer adalah rezim yang tertutup karena sikap politik mereka yang
tersendiri. Penghargaan mereka terhadap ketertiban politik menyebabkan mereka
mengabaikan kebebasan bersuara dan kepentingan politik, karena militer
menganggap hal tersebut dapat menimbulkan kekacauan politik, Militer cenderung
beranggapan bahwa aktivitas politik hanya mementingkan dirinya sendiri dan
bersifat memecah belah. Sikap anti politik militer ini juga membatasi adanya
kompromi, persaingan, keterlibatan dan artikulasi elit sipil sehingga dapat
mengurangi hasutan-hasutan oleh elit non-militer.

Namun demikian, ada juga rezim pemerintahan militer yang tidak terlalu tertutup
atau membiarkan partisipasi dan persaingan politik terjadi dalam suatu
pemerintahannya, yang oleh Eric Nordlinger disebut The Gurdians Pretorian.
Mereka melakukan itu dengan maksud dalam jangka waktu tertentu mereka tidak
lagi menjadi penguasa pemerintahan, melainkan akan kembali ke barak, disamping
karena mereka tidak mempunyai target politik dan ekonomi yang begitu besar.
Oleh karenanya mereka tidak menghancurkan semua organisasi politik atau partai
politik dan tidak pula menghapuskan semua bentuk partisipasi. Dengan demikian
partai politik tidak dihancurkan kecuali mereka benar-benar bertentangan dengan
sasaran ekonomi dan politik pemerintahan militer dimaksud. Pemilihan umum juga
diadakan untuk menjalankan tugas perundang-undangan pada tingkat nasional dan
daerah, tetapi hanya partai dan calon yang diterima oleh pemerintahan militer saja
yang dibenarkan bersaing.

Pemerintahan militer juga cenderung untuk mengubah sistem politik dan ekonomi
yang diterapkan oleh pemerintah sipil sebelum-nya yang gagal.32 Dengan
demikian mereka harus menghancurkan kekuasaan para penentang guna
memungkinkan perubahan sistem politik tersebut dan kemudian
mempertahankannya. Peningkatan upaya yang diperlukan oleh pemerintah militer
untuk mengubah sistem politik dan ekonomi, akan dicapai melalui penghapusan
partai politik, serikat kerja dan organisasi bebas yang berbau politik lainnya. Hanya
organisasi yang dapat dikontrol oleh pemerintah yang dibenarkan beroperasi.
Persaingan dan partisipasi elit politik melalui pemilihan umum ditiadakan sama
sekali atau dapat dikatakan pemilihan umum hanya sebagai syarat yang tidak

10
berarti, di mana lebih dari 90% pemberi suara pemilih calon-calon yang disahkan
resmi_ Berita-berita koran disaring atau diterbitkan oleh mereka yang diangkat
oleh pemerintah militer.

Sedikit ada perbedaan dalam pemerintahan militer khususnya antara pemerintahan


militer dalam bentuk guardian pretorian (pretorian pengawas) dengan ruler
pretorian (pretorian pemerintah). Jika pretorian pengawas melakukan kontrol dan
indoktrinasi pada tingkat rendah, maka pretorian pemerintah melakukan kontrol
dan indoktrinasi pada tingkat tinggi. Hal ini disebabkan pretorian pemerintah
mempunyai tujuan jangka panjang dalam bidang politik dan ekonomi, sedangkan
pretorian pengawas yang berkuasa pada jangka waktu tertentu sesudah itu
dikembalikan ke sipil dan militer kembali ke barak. Oleh karena itu pretorian
pemerintah berusaha dapat merang. kul organisasi politik massa yang teratur yang
dapat memobilisasi penduduk untuk kepentingan politik pemerintah. Sehingga
apabila ini dapat tercapai maka pemerintah dengan mudah dapat menghancurkan
dan melemahkan pusat-pusat kekuasaan setempat, menghapuskan sifat tradisional,
mewujudkan dukungan yang luas untuk tercapainya cita-cita mereka yang tinggi
serta menentukan kegiatan politik dan ekonomi sampai tingkat lapisan bawah.

Menurut Eric A. Nordlinger, pemerintah militer, meskipun anti politik, untuk


mempertahankan kekuasaannya, ada sebagian yang mencoba membentuk sebuah
gerakan massa namun ada pula yang percaya bahwa tanpa harus membentuk
gerakan massa, pemerintahan militer dengan kekuatannya sendiri mampu
mempertahankan kekuasaannya. Mereka beranggapan bahwa kekuasaan monopoli
mereka sudah cukup memadai; keputusan yang dibuat pada tingkat atas bukan saja
akan dilaksanakan pada peringkat bawah, namun akan berpengaruh penting pada
sebagian besar kehidupan politik dan ekonomi, Jadi, komunikasi, teguran,
ganjaran, organisasi lain dari indoktrinasi dianggap tidak penting dan gerakan
massa tidak dibutuhkan.

Sebaliknya pemerintahan militer yang percaya bahwa pembentukan gerakan massa


adalah sangat dibutuhkan, memandang perlu adanya indoktrinasi, ganjaran bagi
mereka yang loyal; menghapuskan sikap takut pada pemerintah militer,
menyadarkan masyarakat umum yang tidak berminat politik; melemahkan
hubungan yang bercorak ikatan persaudaraan dan kesetiaan terhadap partai dan lain
sebagainya yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Tetapi, menurut
Nordlinger, karena para perwira militer ini tidak begitu pandai dan berpengalaman
dalam politik apalagi didukung sikapnya yang anti politik menjadikan mereka tidak
begitu mahir dalam membentuk partai politik. Namun hal ini tidak berlaku di
Indonesia pada masa pemerintahan militer Jenderal Soeharto-yang membentuk
sejenis organisasi politik yang bernama Golongan Karya yang ikut serta dalam
pemilihan umumuntuk mempertahankan kekuasaannya, bahkan dapat dikatakan
sukses dan bertahan selama 32 tahun.

11
Pemerintahan militer juga mempunyai kecenderungan gaya memimpin yang
berbeda sekali dengan pemerintahan sipil. Pemerintahan militer dalam menerapkan
kebijakannya tanpa harus mempertimbangkan masukan dari kalangan ahli politik
maupun warga negaranya. Militer terlalu takut akan dirugikan jika harus
merundingkan masalah-masalah yang akan diambil dalam keputusan negara
bersamasama para ahli politik. Kalaupun terjadi kompromi dan perundingan dapat
dipastikan pemerintah militer akan melakukan penekanan supaya tidak dirugikan.
Sehingga apa keputusan yang keluar dari pemerintah tak jarang merugikan dan
tidak efektif bagi masyarakat umum. Sikap tidak menghiraukan para ahli politik
sipil dalam pemerintahan negara ini diperkuat oleh kepercayaan para perwira
kepada diri sendiri sebagai anggota profesional yang cukup terlatih. Apalagi bila
dibandingkan dengan para ahli politik sipil yang dikatakan tidak cakap, militer
menganggap diri mereka paling mampu untuk mengatasi masalah-masalah
kenegaraan. Tidak banyak hal yang dapat mereka pelajari dari para ahli politik dan
warga negara.

Berbeda dengan hal di atas, dalam pemerintahan militer ada pula yang cenderung
sangat tergantung dengan para ahli ekonomi, teknisi, ahli ekonomi daerah dan tata
kota sehingga pemerintahannya dianggap sebagai pemerintahan koalisi militer-
teknokrat, meskipun kekuasaan politik tetap ditangan militer.36 Hal ini terjadi di
negara Brazil pada masa pemerintahan Mali yang menggulingkan Kieta dan
Indonesia di bawah Soeharto.

Hal lainnya yang berhubungan dengan gaya kepemimpinan militer adalah


kepercayaan yang berlebihan mengenai pengaruh terhadap langkah-langkah yang
diambil oleh pemerintah.37 Pemerintah militer tingkat atas, jika mengeluarkan
kebijakan, baik bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya, dipercaya penuh
membawa pengaruh yang luar biasa untuk dapat efektif dijalankan pada semua
lapisan masyarakat. Namun, penerimaan masyarakat atas kebijakan yang
dikeluarkan itu, sebenarnya lebih dikarenakan adanya tindakan tegas atau
pemaksaan oleh militer.8

Pemerintahan militer ini pada dasarnya merupakan bagaimana partisipasi


militer dalam politik dan pemerintahan. Keikutsertaan ini didasarkan pada
perasaan mereka tentang tanggung jawab dalam melindungi keutuhan
negara, termasuk didalamnya tanggung jawab tehadap konstitusi negara. 

Seperti yang kita ketahui bahwa Negara mempunyai kelegalan dalam


monopoli dan penggunaan kekerasan terhadap warganya ataupun terhadap
siapapun atas alasan dan sebab-sebab tertentu. Dalam hal ini keberadaan
militer boleh dikatakan merupakan konsekuensi dari kebutuhan Negara akan
perangkat keamanan dan kekerasan dalam tujuan pertahanan Negara.

8
Ibid. hlm 54-57

12
Sejauh mana keterlibatan militer ke dalam kehidupan politik, dalam
pandangan Amos Perlmutter, pada gilirannya telah melahirkan
pengelompokkan militer ke dalam tiga jenis militer, yakni militer
professional, militer pretorian dan militer revolusioner.

Adapun partisipasi militer dalam pemerintahan sipil sering juga disebut


dengan pretorianisme. Kajian ini digunakan dalam rangka menggambarkan
keikutsertaan tentara sebagai aktor utama yang sangat dominan dalam
menggunakan kekuasaannya. Istilah tersebut diambil  dari contoh kasus
campur tangan militer yang paling awal dan paling terkenal dalam
pemerintahan kerajaan romawi pada abad 17 dan 18. Pada masa ini tentara
pretorian mereka digunakan sebagai prajurit khusus yang digunakan untuk
mengawal raja.  

Sebagaimana dalam pemerintahan sipil, di dalam pemerintah militer


terdapat tiga model: 

a)        Moderator pretorian

Ciri khas dalam model ini adalah adanya penggunaan hak veto terhadap
keputusan dalam pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan
itu sendiri. Sekalipun  kelompok sipil yang memerintah, mereka masih bisa
untuk tidak mengikuti sepenuhnya supremasi pihak sipil. Kelompok
pretorian masih bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat
dalam politik

Dalam praktiknya, apabila ada ketidak sepakatan dengan kebijakan sipil,


pretorian mediator ini dapat melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil
dan menggantikannya dengan sekelompok elit sipil yang dapat dikuasai dan
diterima oleh militer. Perilaku politik dalam metode ini hanya sebatas
mempertahankan status-quo, menjaga keseimbangan atau
ketidakseimbangan kekuasan di antara fraksi-fraksi atau kelompok politik
yang bersaing. Serta melarang setiap percobaan penting dalam hal
pengalihan hasil ekonomi, dan menjaga stabilitas politik dan pemerintahan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa kelompok militer ini merupakan kekuatan


politik konservatif yang lebih menyukai untuk mengalihkan perubahan
daripada pelaksanaanya yang dapat diperoleh dengan pemerintahan. Alasan-
alasan inilah yang melatari mengapa kelompok ini tidak meguasai puncak
pemerintahan.

13
b)        Pengawal Pretorian

Pemerintahan model ini merupakan lanjutan dari moderator pretorian. Jika


yang pertama bersifat konservatif, kelompok ini lebih bersifat reaksioner
terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan pemerintahannya. Setelah para
moderator berhasil menggulingkan  kekuasaan pemerintah, akhirnya mereka
mengubah diri sebagai pengawal pretorian sebelum akhirnya berkuasa
penuh atas pemerintahan.

Setelah penggulingan elit sipil, umumnya kelompok ini akan memegang


tampuk pemerintahan untuk periode singkat antara dua sampai empat tahun.
Seperti halnya kelompok pertama, para pengawal pretorian tidak setuju
terhadap perubahan politik serta akan berusaha untuk mempertahankan
poltik yang lama. Perbedaan mencolok kelompok ini ialah keyakinan
mereka akan agenda pemerintahan yang mereka canangkan hanya mereka
sendirilah yang dapat melaksanakannya. Keyakinan ini muncul dari asumsi
mereka tentang tidak adanya elit di luar mereka yang mampu
mempertahanan status-quo politik dan ekonomi. Atau tanpa tindakan
kudeta, kekuasaan akan berpindah ke tangan elit politik yang memiliki tujan
dan agenda politik yang berbeda.

Langkah selanjutnya setelah kudeta  adalah tindakan pemecatan ahli politik


sipil yang diduga melakukan kecurangan dalam penyusunan kembali
struktur pemerintahan dan administrasi serta pembagian kekuasaan dan
fungsi ekonomi di kalangan kelompok sipil. Sisi lain dari kelompok ini ialah
sikap yang tidak terlalu otoriter, karena kebebasan politik, kebebasan pers
dan berserikat adalah dibenarkan.

Sebagai kelompok reaksioner mereka berusaha melakukan perubahan-


perubahan, prinsip-prinsip dasar dalam politik, ekonomi dan kehidupan
sosial. Namun seluruh agenda perubahan yang mereka lakukan tetap dalam
koridor membatasi kegiatan dan hak sipil. Bagi mereka perubahan mendasar
dalam hal-hal tersebut tidaklah dibutuhkan, karenanya kelompok ini tidak
menganggap penting untuk membentuk sebuah rezim yang dapat menguasai
orang banyak.

c)        Penguasa  Pretorian

Pemerintahan model ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan model


yang dua sebelumnya. Yang membedakan model ini dengan model yang
lain ialah luasnya wilayah kekuasaan serta tingginya cita-cita politik dan
ekonomi yang mereka agendakan. Model yang ketiga ini tidak hanya

14
menguasai pemerintahan namun juga mendominasi rezim yang berkuasa,
bahkan kadang kala mencoba menguasai sebagian ekonomi-politik dan
sosial melalui mobilisasi. Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok
moderis radikal atau kelompok revolusioner dengan visi menata kembali
negara dari segi moral, institusi dan materi lainnya.

Dengan agenda yang menyeluruh dan mendalam dari kelompok ini,


pastinya akan membutuhkan waktu yang lama. Maka mendominasi rezim
dan pemerintahan yang cukup lama adalah diperlukan. Jika kelompok
pengawal pretorian berkuasa dalam tempo sementara dan berjanji akan
mengembalikan kekuasaan ke tangan sipil dalam waktu singkat, sebaliknya
penguasa pretorian tidak demikian. Umumnya mereka mengatakan bahwa
rezim sipil akan dipulihkan kembali.
C. Karakteristik Sipil dan Militer
a. Karakteristik Sipil

Eric Nordlinger dalam bukunya “Militer dalam Politik” dikemukakan ada 3


bentuk pemerintahan sipil :
1. Pemerintahan sipil Tradisional
Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara
sipil dan militer, tanpa perbedaan maka tidak akan timbul konflik yang serius
diantara mereka. dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer.Bentuk
pemerintahan sipil tradisional begitu berpengaruh di bawah sistem
pemerintahan kerajaan pada abad ke-17 dan 18, mereka cenderung untuk tidak
menganggap diri mereka sebagai politisi, walaupun ketika sedang memerintah
mereka telah dicekoki dengan ciri-ciri sikap politik yang sama, yang ternyata
kurang dikembangkan oleh elit sipil.9
2. Pemerintahan sipil Liberal
Model pemerintahan liberal didasarkan pada pemisahan para elit berkenaan
keahlian dan tanggung jawab masing-masing pemegang jabatan tinggi di dalam
pemerintahan. Tapi sejalan Model liberal akan menutup kemungkinan militer
untuk menekuni arena dan kegiatan politik. Didalam tindakan dan
pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas
pihak militer. 10
3. Pemerintahan sipil Serapan

9
Ibid, hlm 18-19
10
Ibid, hlm 20-21

15
Dalam model serapan ini, pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan
kesetiaan dengan cara menanamkan ide untuk menyatakan ideologi, dan para
ahli politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata mereka. Model serapan ini
telah digunakan secara meluas dalam rezim-rezim komunis. Militer dipisahkan
dari bidang sipil karena keahlian profesionalnya, tetapi sejalan dari segi
ideologi. 11
Pemerintahan Sipil Menggunakan "Kontrol sipil obyektif " (objective civilian
control). " istilah ini mengandung 1) profesionalisme militer yang tinggi dan
pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi
bidang mereka; 2) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin
politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan
militer; 3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut
atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer; dan 4) akibatnya,
minimalisasi intervensi politik dalam militer.12
Dalam hal ini muncul karakteristik pemerintahan sipil yang berpijak atas
hubungannya dengan militer, antara lain pemerintahan sipil adalah sebuah
bentuk pemerintahan yang bergaya sipil, semua keputusan pemerintah dapat
menjadi perintah apabila telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diambil
keputusannya dalam suatu pemungutan suara (referendum). Dan telah
mendapat pengesahan dari lembaga negara yang berwenang.
b. Karakteristik Militer

Menurut Ninik Widiyanti Dalam militer, untuk menggerakkan bawahannya


digunakan sistem perintah yang biasa digunakan dalam ketentaraan, gerak geriknya
senantiasa tergantung kepada pangkat dan jabatannya senang akan formalitas yang
berlebih-lebihan, menuntut disiplin keras dan kaku dari bawahannya, senang akan
upacara-upacara untuk berbagai-bagai keadaan dan tidak menerima kritik dari
bawahannya dan lain sebagainya. 13

Dalam militer tidak ada kontrol sipil dan pemimpin serta organisasi militer sering
melakukan fungsi yang luas dan bervariasi yang jauh dari misi militer yang
normal . Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk
memastikan bahwa militer disusupi dan di kontrol oleh kaki tangan dan kroni-
kroninya, yang memecah belah dan bekerja untuk menjaga cengkraman kekuasaan
diktator. Dalam pemerintahan satu partai, hubungan sipil-militer tidak begitu
berantakan, tetapi militer dipandang sebagai instrumen dari partai, pejabat militer

11
Ibid, hlm 24-25
12
Larry Diamond dan Marc. F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer & Konsolidasi Demokrasi, Terj. Tri Wibowo
Budi santoso, Jakarta :Raja Grafindo. 2001. hlm 4
13
Dra. Ninik Widiyanti, YW. Sunindhia,SH., Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Bina
Aksara. 1988. hlm 8-9

16
harus merupakan anggota partai, komisaris politik dan unsur-unsur partai paralel
dengan rangkaian komando militer, dan loyalitas tertingginya lebih diutamakan
kepada partai daripada kepada Negara. 14

D. Hubungan Antara Sipil dan Militer

salah satu variabel penting dalam hubungan sipil – militer adalah militer dan politik,
yakni apakah militer terlibat dalam politik ataukah tidak ? berkaitan denbgan itu,
setidaknya tiga aliran pemikiran yang menjelaskan mengapa militer cenderung terlibat
dalam bidang non-militer atau arena politik. Pertama, militer yang berbasis karakteristik
organisasi militer profesional barat seperti komando sentralistik, hirarki, disiplin dan
kohesif. Disini fungsi militer berkaitan dengan management of violence. Sementara
perilaku politik tentara dalam organisasi lebih banyak di tekankan kepada dimanisasi
internal organisasi militer dari pada keluar dari tataran lingkungan kemiliteran. Kedua,
aliran pemikiran yang lebih menekankan kepada aspek kemasyarakatan sebagai suatu
keseluruhan unit analisa dari aturan aturan kemiliteran.

Sejauhmana keteribatan ( intervensi ) kedakam kehidupan politik, dalam pandangan


Amos Perlmuter, pada gilirannya telah melahirkan pengelompokan militer kedalam tiga
jenis militer. Pertama, militer propesional, yakni jenis militer yang memiliki keahlian
yang terspesialisasi dalam bidang kemiliteran dari sudut pandang knowledge dan skill.
Keahlian tersebut berkadar tinggi dan bersandar kepada standar keprofesionalan terutama
dalam memenuhi fungsi objektifnya sebagai management of violence.

Kedua, militer pretorian, yakni jenis militer yang keahlian dan pengetahuan kemiliteran
nya tidak terspesialisasikan. Orientasi nya mengarah ke pengabdian masyarakat
dannegara secara bersamaan dengan melalui kelompok politik dominan, suku, atau klik
militer, dan grup primodial. Jenis militer ini memiliki kecendrungan untuk melakukan
intervensi kepada politik bersifat permanen dan berkelanjutan.

Dan ketiga, militer revolusioner, yakni jenis miloter yang memiliki keahlian dan
pengetahuan profesional yang di tunjukan kepada nilai nilai sosial dan politik. Di
Indonesia, militer jenis ini juga kerap disebut “ militer pejuang “. Orientasi militer
revolusioner ini bersifat pergerakan perjuangan kemerdekaan. Sifat institusi militernya,
baik pra maupun selama revolusi sangat egalitarian dan sangat mobil. Selanjutnya
berkaitan dengan intervensi pra dan selama revolusi adalah tinggi dan pasca masa
revolusi cenderung berkadar rendah.

a. Pola hubungan sipil militer dan keamanan internasional

Michael C. Desch dalam buku politisi dan jenderal, kontrol silip di atas arus yang
bergeser menyampaikan bahwa perkemnbangan pola hubungan sipil militer
dipengaruhi oleh berubahnya lingkungan keamanan internasional secara global
pasca perang dingin. Pada masa perang dingin ada sua negara yang bertikai, yaitu :
14
Larry Diamond dan Marc. F. Plattner, Op, Cit. hlm 4

17
antara Uni Sovyet ( sekarang rusia ) dan amerika serikat ( USA ) . bersamaan
dengan itu hubungan otoritas sipil militer memburuk. Amerika dan uni sovyet
pernah menjadi model bagi subordinasi militer pada otoritas sipil, dimana
keduanya mengalami pelemahan kontrol sipil. Umpamanya sejak upaya kudeta
agustus 1991 di Uni Soviet, sering muncul pertanyaan apakah militer Soviet
sepenuh nya berada di bawah kendali sipil. Sementara di pihak lain, adanya ‘krisis’
di dalam hubungan sipil militer di USA, justru tidak sampai menimbulkan adanya
ancaman kudeta militer atau pembangkangan terang – terangan dari pihak militer.
Itulah sebabnya di Amerika Serika tidak banyak orang berminat lebih lanjut
memperdebatkan secara terbuka hubungan sipil dan militer.

Ada beberapa alasan mengapa minat hubungan sipil- militer tidak menonjol dalam
debat publik di AS. Pertama para pemimpin sipil tidak begitu tertarik untuk
membicarakan persoalan persoalan yang mereka hadapi menyangkut hubungan
dengan militer, sebab persoalan persoalan itu akan membuat sipil lemah. Kedua,
militer tidak ingin menyoroti atau melemahkan kontrol sipil disebabkan gagasan
subordinasi militer terhadap otoritas sipil telah berurat akar dalam kultur
profesional militer. Ketiga, minat publik AS terhadap hubungan sipil- militer sudah
berkurang secara dramatis sejak pasca perang dingin dan melemahnya kontrol sipil
atas militer tampak dengan mudah. Keempat, ada anggapan bahwa persoalan sipil-
militer adalah persoalan di dunia ketiga dan menurutnya selama tidak ada kudeta
militer maka hubungan antara sipil- militer baik baik saja. Hal ini merupakan
persoalan yang menjadi perdebatan panjang. Anggapan ini sebenarnya sangat
lemah karena, persoalan hubungan sipil militer adalah merupakan persoalan yang
di hadapi hampir oleh semua negara.

Dari perdebatan yang muncul menyangkut hubungan sipil militer, tampak dengan
jelah bahwa permasalahan sipil dan militer adalah permasalahan yang sangat
kompleks. Hubungan sipil militer yang ideal adalah militer di bawah kendali atau
di bawah otoritas sipil, militer di kendalikan oleh sipil.

Beberapa analisis menyebutkan ada beberapa indikator tentang hubungan sipil


militer seperti hubungan sipil militer akan membaik manakala perhatian militer
berpusat hanya pada soal soal militer, persoalan nya adalah dimana militer
menjalan kan fungsi sipil atas permintaan politisi sipil dan juga masalah garis batas
sipil militer juga tidak jelas.

Dalam dunia ideal akan berarti tidak ada kudeta militer,militer berada dalam
dunianya “ militer’ dan memberikan konsribusi positif bagi kebijakan nasional,
tidak terjadi komplik sipil dan militer, pejabat sipil dan milier saling menyukai dan
menghormati satu sama lain dan lahir kebijakan nasional yang efektif.

Dalam dunia nyata atau realita yang merupakan dasar dari demokrasi maju adalah
kontrol sipil atas militer dan dapatmenjadikan militer melakukan apa yang mereka
inginkan. Indikator paling baik adalah siapa yang paling dominan ketika terjadi

18
perbedaan pilihan atau referensi antara pihak sipil dan militer. Jika militer lebih
kuat maka ada persoalan, tapi jika sipil lebih kuat maka tidak ada persoalan.

b. Dinamika hubungan sipil militer di indonesia

Gambaran pola hubungan sipil militer di indonesia setidaknya dapat di telaah, pada
even polotik pemilihan presiden pemilihan presiden 2004. Dimana menjelang
pilpres 2004, diskursus dikotomi sipil militer mencuat ke pemukaan demokrasi
indonesia bersamaan dengan tampilnya calon presiden ( capres ) dan calon wakil
presiden ( cawapres ) dari kalangan jendral purnawirawan. Setdaknya wacana
tersebut kian ramai, sesaat setelah di dominasikan jendral TNI ( purn ) wiranto
sebagai calon presiden dari partai golkar melalui mekanisme konveksi nasional
(19-20/4/2004). Dan jauh jauh hari sebelumnya, jendral TNI purnawirawan Susilo
Bangbang Yudhoyono ( SBY ) telah di jagokan oleh partai demokrat. Menyusul
kemudian letjen ( purn) Agum Gumelar maju sebagai calon wakil presiden
( cawapres ) mendampingi calon presiden dari partai persatuan pembangunan.
Hamzah Haz.

Menariknya disini, untuk konteks negara demokrasi maju, sebut saja Amerika
Serikat, seperti telah di lukiskan di awal sesungguhnya wacana dikotomi sipil
militer tidak lagi banyak di minati publik. Dalam proses penyaringan dan
pemilihan calon presiden, seperti dalam menghadapi pemilihan presiden Amerika
Serikat bulan November 2004 yang menampilkan capres George W Bush dari
partai republik dan John F Kerry capres dari partai demokrat, latar belakang sosial
tidak terlalu diperkarakan, mereka lebih fokus pada mekaisme pemilihan, platform
dan track recond sang kardidat. Dengan suasana itu semua individu anggota
masyarakat dari begbagai latar belakang sosial tentara, pengusaha, selebritis,
politisi, akademis dll memiliki kesempatan yang sama dalam menjadi kardidat
presiden.

c. Kualitas demokrasi

Untuk yang pertama hubungan sipil militer di tinjau dari aspek kualitas demokrasi.
Dalam konteks ini, demokrasi indonesia masih berwajahkan “transisi “ hal itu
tentunya berbeda dengan Amerika Serikat, dimana kualitas dempkrasi di negara
paman syam tersebut berwajahkan “ demokrasi industri “. Prakternya tercermin
dari proses demokrasi yang stabil dengan ditopang oleh pembangunan ekonomi
yang mantap dan kepemimpinan politik yang accountable dan kredibel. Mereka
sangat menghindari persoalan persoalan demokrasi yang tidak subtil, seperti
memperkarakan hubungan sipil militer.

Sementara itu demokrasi transisi di indonesia cenderung menampilkan pendulum


demokrasi yang beranyun anyun dari satu ekstrim ke ekstrim lain. Sehingga
praktek proses pemilihan pun, sebagai bagian utama dari wajah dan arah
demokrasi, banyak di warnai kegamangan, kecurigaan dan labilnya hasil hsail

19
pemilihan umum, termasuk hasil pemilu legislatif 5 April 2004. Hal itu, tentunya
potensial mengundang militer dalam menciptakan tertib pilitik dan stabilitas
keamanan.

Menurut Guillermo O’Donnel dan Schmitter paling tidak ada lima kemungkinan
yang bis aterjadi dari suatu proses demokrasi transisi.
Pertama, terbenntuknya restorasi atau sistem otoriter dalam bentuk baru.
Dua terjadi revolusi sosial yang di sebabkan menajamnya komflik komflik
kepentingan di tengah masyarakat.
Tiga liberalisasi terhadap sistem otoriter, yang dilakukan oleh penguasa pasca masa
transisi, dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan politis dan mengurangi
tekanan tekanan masyarakat.
Keempat merupakan kebalikan dari yang ketiga, yaitu menyempit proses
demokrasi dari sistem liberal kepada demokrasi limitatif
Kelima Terbentuknya pemerintahan yang demokratis.

Untuk menghindari tiga kemungkinan negatif dari lima kemungkinan masa transisi
yang di sebutkan Guillermo O’Donnel dan Schmitter di atas, yakni kembalianya
otoliter dalam bentuk baru “ neo militerisme “ terjadi revolusi sosial dan
penyempitan proses demokrasi, kiranya “ percepatan konsolidasi demokrasi “
menjadi “ penawar jitu “. Hal demikian telah banyak di kemukakan dan di
tawarkan oleh para ilmuan politik. Hutington misalnya menyebutkan dua pariabel
paling menentukan yang mempengruhi percepatan konsolidasi demokrasi di era
transisi, yakni pembangunan ekonomi dan kepemimpinan politik.

Dalam konteks Indonesia yang berwajah transisi, dua pariabel penting yang
diisyaratkan hutington di atas masih tertatih tatih dan mencemaskan. Kini,
pembangunan ekonomi dan kepemimpinan politik sebagai penompang proses
kondolidasi demokrasi tengah di uji melalui ritual pemilu 2004, baik pemilu
legislatif 5 April maupun pemilu 5 juli mendatang. Dari sinilah kita meritis dan
menguatkan kembali harapan pembangunan ekonomi bisa nyata yang di dukung
oleh kepemimpinan politik yang clean, accountable, dan crediable. 15

d. AKAR HISTORIS
Kedua, hubungan sipil militer melalui pendekatan akar historis. Dalam catatan
sejarah di ketahui bahwa hubungan sipil militer di Indonesia tidak
menggembirakan atau buruk. Dalam Sejarah pola hubugan sipil-militer di
Indonesia berbagai perubahan pola-pola yang diterapkan didalamnya. Baik semasa
orde lama, orde baru, maupun era reformasi memiliki pola tersendiri yang lebih
banyak dipengaruhi faktor presiden yang memimpin. berikut kami uraikan sejarah
hubungan Sipil-Militer Indonesia yang telah diteliti oleh banyak peneliti politik.

15
Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung : Fokus Media. 2011.
Hlm 97-100

20
Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, Indonesia mempraktekan dua
model hubungan sipil-militer. model pertama adalah paham supremasi sipil. dua
bulan setelah proklamasi pemerintah melakukan perubahan mendasar dalam
pelakanaan UUD yang pada hakikatnya menyimpang dari isi UUD 1945 tanpa
mengubah secara formal UUD itu sendiri. Contohnya Pada tanggal 16 Oktober
1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X/1945 yang isinya menetapkan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai lembaga yang mempunyai
kekuasaan legislasi dan juga mempunyai wewenang menetapkan GBHN sebelum
terbentuknya DPR dan MPR. Pada waktu itu juga ditetapkan bahwa pekerjaan
sehari-hari KNIP dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja (BP) KNIP yang dipilih di
antara anggota KNIP dan yang bertanggung jawab terhadap KNIP-Pleno. Pada
tanggal 3 November 1945, pemerintah juga mengeluarkan maklumat yang
menganjurkan dibentuknya partai-partai politik untuk menampung segala aspirasi
dan aliran yang ada dalam masyarakat supaya dapat diarahkan ke jalan yang
teratur." Kemudian pada tanggal 14 November 1945, atas usul KNIP, pemerintah
mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. 5/ 1945 yang isinya mengumumkan
bahwa menteri-menteri negara diubah-yang menurut UUD 1945 adalah pembantu
presiden dan bertanggung jawab kepadanya-menjadi lembaga pemerintah yang
bertanggung jawab kepada Komite Nasional casu quo (cq.) BP-KNIP yang
berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat.

Dengan demikian, sistem presidensiil berubah menjadi sistem pemerintahan yang


bertanggung jawab kepada parlemen (demokrasi liberal). Dengan menggunakan
sistem pemerintahan seperti ini, maka pola hubungan sipil-militer yang dianut
adalah paham supremasi sipil di mana kebijakan-kebijakan pokok kenegaraan dan
pemerintahan diputuskan oleh lembaga-lembaga sipil yang pejabatnya adalah
orang-orang sipil. Tentara sebagai alat negara belaka yang didudukkan di bawah
dan dikendalikan oleh pemerintahan sipil yang berkuasa.

Pola hubungan sipil-militer mengalami perubahan ketika pemerintah


memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya memuat 3 (tiga) hal
pokok, yaitu: 1) pembubaran konstituante; 2) berlakunya kembali UUD 1945; dan
3) pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945, maka sistem pemerintahan Indonesia
kembali berubah menjadi sistem presidensiil, meskipun dalam pelaksanaannya
masih terjadi penyimpangan-penyimpangan dari UUD 1945 itu sendiri. Membawa
peluang militer untuk ikut serta dalam penyelenggaraan negara tidak hanya sebatas
bidang pertahanan keamanan, namun juga dalam bidang-bidang lainnya. Militer
mulai mendapatkan kesempatan untuk ikut serta dalam percaturan politik.

Dengan runtuhnya demokrasi parlementer-yang selanjutnya oleh Presiden


Soekarno sistem pemerintahan diubah menjadi sistem Demokrasi Terpimpin-maka
peran TNI dalam bidang politik semakin mendapatkan tempat yang kuat, apalagi
pada waktu itu tentara diberikan kewenangan melalui diberlakukannya SOB (Staat
van oorlog en beleg/negara dalam keadaan bahaya) untuk memulihkan stabilitas

21
keamanan akibat adanya beberapa pemberontakan di daerah yang dilakukan oleh
para panglima daerah yang tidak puas dengan kepemimpinan markas besar tentara.

Masa Orde Baru Indonesia dipimpin oleh tokoh tentara (Jenderal Besar Soeharto)
dengan konsepnya ”Dwi Fungsi ABRI" yang dihasilkan melalui seminar Angkatan
Darat II tahun 1966. Kontrol Militer terhadap kehidupan sipil menjadi menjelma
dan dikembangkan menjadi kebijakan politik. dengan Konep tersebut, tentara aktif
bisa dengan leluaa menduduki jabatan poliyik strategis dan menguasai hampir
seluruh sendi kehidupan sipil, hampir tidak ada ruang publik, wilayah partisipasi da
kebebasan sipil.(PKN) Konsep ini pada awalnya menjadi pertentangan antara para
tokoh terkemuka saat itu setelah Soekarno jatuh. Setidaknya ada tiga versi yang
berbeda tentang peran politik militer di awal kelahiran Orde Baru; versi Soeharto-
Ali Murtopo, versi A.H. Nasution, dan versi Muhammad Hatta. Seoharto dan Ali
Murtopo menginginkan peran militer yang besar untuk melakukan stabilisasi
kehidupan politik. Nasution juga menginginkan peran militer yang besar namun
kemudian segera dikurangi dari waktu ke waktu sejalan dengan berkurangnya
krisis sosial, ekonomi dan politik warisan Orde Lama. Berbeda dengan keduanya,
Hatta justru menyarankan militer kembali ke tangsi untuk membuka jalan Orde
Baru merealisasikan janji-janji demokratisasi dan keadilan sosial.

Dari ketiga versi tersebut, ternyata versi Soeharto-Ali Murtopo lebih mendominasi
dalam proses penyelenggaraan negara selanjutnya, sementara versi Nasution
sebagai penggagas lahirnya Dwi Fungsi dan Hatta yang benar-benar menolak Dwi
Fungsi disingkirkan dan bahkan kedua tokoh terakhir ini terdepak peranannya dari
kekuasaan pemerintahan Soeharto.23 Oleh karena itu, dari kalangan militer senior
yang turut mengembangkan konsep Dwi Fungsi ABRI menilai bahwa peran ABRI
telah melebihi proporsi sebagaimana pada tahap kelahiran Dwi Fungsi
dimaksudkan. ABRI telah melakukan banyak penyimpangan dari tujuan semula
dengan berbagai tindakan yang jelas bukan membela kepentingan negara, tetapi
cenderung membela pemerintah yang berkuasa. ABRI sendiri ikut aktif
merumuskan format politik Orde Baru dan membidani kelahiran mesin politik
Golongan Karya (Golkar) sebagai kekuatan politik yang sangat dominan sampai
memenangkan pemilu 6 kali berturut-turut tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997.

Keberpihakan ABRI kepada GOLKAR selama orde baru diklaim sebagai rangka
menanggulangi dan menyelesaikan pertikaian antar-partai politik yang hanya
mendasarkan pada kepentingan kekuasaan dan kelompoknya sendiri, bukan
kepentingan negara dan bangsa. Hal ini diwujudkan dalam usaha dan strategi
militer untuk memenangkan GOLKAR dalam setiap emilihan umum.

Keberadaan ABRI di birokrasi (eksekutif) dan legislatif melalui misi


penugaskaryaan, secara signifikan sangat berpengaruh dalam mendukung program-
program kebijakan pemerintah dalam usaha mempertahankan kekuasaannya. ABRI
di eksekutif, terutama dalam posisi penting merupakan salah satu strategi sebagai

22
alat penekan dan pengontrol stabilitas politik dalam rangka pengamanan
kekuasaan. jabatan-jabatan strategis, baik di departe. men maupun non-departemen,
lebih banyak dipegang oleh kalangan militer. Jabatan Seperti MenDagRI yang
selalu dipegang anggota ABRI kemudian jabatan-jabatan strategis di tingkat daerah
seperti Gubernur, Wali Kota, dan Bupati Hampir mayoritas dipegang oleh militer.

Kedudukan ABRI sebagai kekuatan sosial politik yang telah banyak menimbulkan
dampak negatif dan distorsi dalam pelaksanaannya justru semakin dikukuhkan
secara de jure melalui Undang-undang No. 20/1982 tentang Ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara dalam pasal 26 dan 28, Tap MPR dari tahun 1973
sampai dengan 1993, dan Undangundang No.2 Tahun 1988 tentang Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pasal 6. Dalam perjalanan peran sosial
politik ABRI sepanjang 32 tahun Orde Baru, konsep Dwi Fungsi ABRI dan
implementasinya seolah-olah menjadi sesuatu yang sakral dan tabu untuk
dipertanyakan. Berbagai pernyataan yang dikemukakan, klaim yang didengungkan
dan argumentasi yang diajukan, justru lebih banyak menonjolkan hal-hal yang
positif dibandingkan sisi negatifnya, sehingga semakin mengukuhkan keberadaan
Dwi Fungsi ABRI.

Pada masa Orde Baru ini, meskipun stabilitas nasional mantap dan terkendali,
namun hubungan sipil-militer sudah bergeser dari pola kesetaraan atau kesejajaran
antara sipil-militer cenderung menjadi pola dominasi militer atas sipil. Hal ini
dikarenakan tingkat akomodasi sipil yang tidak seimbang. Kebijakan pemerintah
yang didukung penuh oleh militer mampu mengatasi gejolak-gejolak sosial-politik
yang timbul. Pendekatan keamanan yang represif dengan menggunakan segenap
kekuatan militer untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan, tidak memberikan
peluang masyarakat sipil untuk ikut andil dalam proses politik kenegaraan.
Keberadaan partai-partai politik oposisi dan organisasi sosial masyarakat tidak
lebih hanya dianggap sebagai rekayasa demokrasi dan legalisasi pelengkap sistem
politik yang ada. Partaipartai politik dikendalikan seperti ”wayang" yang mengikuti
gerakan ”dalang” sehingga fungsi-fungsi partai politik relatif kurang berjalan
sebagaimana mestinya.

Namun roda rupanya terus berputar hingga akhirnya terjadilah tragedi politik
dengan ambruknya Soeharto dari kursi kepresidenannya tanggal 21 Mei 1998.
Dengan jatuhnya presiden Soeharto, maka berakhir pula pemerintahan Orde Baru,
karena Soeharto dianggap sebagai personifikasi Orde Baru. Pasca-Orde Baru (era
reformasi) ditandai dengan munculnya kebebasan berkumpul, berserikat, dan
menyampaikan pendapat secara terbuka. Akumulasi kekesalan dan kekecewaan
bahkan penderitaan yang menumpuk selama lebih dari tiga dekade di bawah Orde
Baru akibat dari ekses pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI, khususnya ABRI sebagai
kekuatan politik, ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi
dengan menghujat dan mendesak ABRI kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu
mengurusi masalah pertahanan keamanan negara.

23
Dengan adanya paradigma baru tersebut, ABRI mulai melakukan perombakan-
perombakan besar dengan melakukan 14 perubahan mendasar menuju ABRI Abad
XXI yaitu kembali ke jati dirinya sebagai alat negara. Ke-14 perubahan tersebut
adalah sebagai berikut:

1) Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran ABRI abad
XXI;
2) Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran Sosial Politik
(Sospol) ABRI;
3) Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari tubuh ABRI yang telah
menjadi keputusan pimpinan ABRI mulai 1 April 1999 sebagai transformasi awal;
4) Penghapusan Dewan Sosial Politik Pusat (Wansospolpus) dan Dewan Sosial
Politik Daerah (Wansospolda) Tingkat I;
5) Perubahan Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial;
6) Likuidasi Staf Karyawan (Syawan) ABRI, Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat (Kamtibmas) ABRI, dan Badan Pembinaan Karyawan (Babinkar)
ABRI;
7) Penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem, dan Sospoldim;
8) Penghapusan kekaryaan ABRI melalui pensiun atau alih status;
9) Pengurangan jumlah fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II;
10) ABRI tidak akan pernah lagi terlibat dalam politik praktis;
11) Pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak
yang sama dengan semua partai politik yang ada;
12) Komitmen dan konsistensi netralitas ABRI dalam pemilu;
13) Perubahan paradigma hubungan ABRI dengan keluarga besar ABRI;
14) Revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI disesuaikan era reformasi dan
peran ABRI abad ke-21.
Perubahan ini oleh kalangan masyarakat sipil dan kalangan militer Sendiri dinilai
positif sebagai upaya reaktif ABRI terhadap tuntutan da gugatan dari masyarakat,
khususnya tentang persoalan ekses pera sospol ABRI yang diimplementasikan dari
doktrin Dwi Fungsi ABRI. Langkah awal segera ditunjukkan ABRI untuk
merespon berbagai tuntutan masyarakat tersebut dengan melakukan reformas1
internal yaitu perubahan organisasi (reorganisasi), seperti perubahan Staf Sosial
Politik menjadi Staf Teritorial, demiliterisasi jabatan birokrasi, Pemisahan polisi
dari tubuh ABRI, perubahan nama ABRI menjadi TNI, Penghapusan Daerah
Operasi Militer (DOM), pembentukan Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem
Hukum (DPKSH) dan perubahan internal lainnya

Perkembangan perubahan selanjutnya mulai tampak serius ketika TNI di bawah


kepemimpinan Laksamana TNI Widodo AS, yang secara tegas, dalam Rapat
Pimpinan (Rapim) TNI pada tanggal 19-20 Mei 200 di Cilangkap menyatakan
bahwa TNI mulai saat ini sudah benar benar meninggalkan fungsi sosial dan politik
dan melepaskan fungsi keamanan menjadi wewenang dan tanggung jawab Polri.
Dengan demikian TNI kembali ke jati dirinya menjadi tentara profesional yang

24
merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Untuk mengukuhkan secara legalitas formal bahwa peran TNI hanya sebagai alat
pertahanan, maka pada tanggal 18 Agustus 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor:
VII/MPR/2000 ditetapkan bahwa disamping perannya sebagai alat negara dalam
bidang pertahanan, TNI juga mempuyai tugas bantuan, baik kepada Polri maupun
berupa civic mission, misi perdamaian dunia di bawah Perserikatan BangsaBangsa
(PBB) dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis day to day politics.

Perubahan Paradigma TNI tersebut, khususnya hilangnya keterlibatan TNI dalam


bidang politik (political disengangement), dalam konteks demokrasi, telah
membawa kesegaran tersendiri, bahwa hubungan sipil-militer menunjukkan tanda-
tanda menuju ke arah yang lebih baik yaitu mulai adanya kecenderungan
pengakuan supremasi sipil. Apalagi dengan adanya kemauan militer yang tunduk
terhadap hukum dan pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis dan
konstitusional, yang dibuktikan dengan pengakuan dan kerelaannya menerima
presiden dan menteri pertahanan dari kalangan sipil, juga dapat dianggap sebagai
kemajuan yang baik dal am hubungan Sipil-militer yang cenderung ke arah
supremasi sipil. Bentuk lain pengakuan militer terhadap pemerintahan Sipil adalah
kedudukan Panglima TNI Yang berada di bawah Presiden yang sipil yang berasal
dari partai politik, bahkan pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI oleh
presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Kedudukan semacam ini
menempatkan TNI di bawah kontrol sipil.

Keberhasilan dalam proses reformasi multidimensional tersebut sangat dipengaruhi


oleh format dan kualitas hubungan sipil-militer. Hubungan sipil-militer yang sehat
dan kondusif akan memberikan peluang cukup besar dalam proses transisi menuju
demokrasi. Namun proses reformasi politik sebagai tahapan transisi demokrasi
seringkali mengalami kendala sulitnya mempertemukan kepentingan yang berbeda-
beda antara politisi sipil dan kalangan militer. Bahkan, tak jarang pada masa
transisi ini justru proses tersebut mengarah pada sekadar negosiasi kepentingan
atau kontestasi antar kekuatan baik sipil maupun kalangan militer. 16

16
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca ORBA, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002.
hlm 6-20

25
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam Melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk
pemerintahan sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini
berdasarkan kriteris gaya dan sifat memerintah sebuah pemrintah.
Pemerintahan sipil adalah suatu bentuk pemerintahan yang menggunakan
gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan
pemerintahan militer adalah suatu pemerintahn yang dipimpin oleh
penguasa dictator yang mengandalkan gaya militer yang sarat dengan
disiplin dan kental dengan ketentaraan
Hubungan anatara sipil dan militer dalam sejarah lebih diungkapkan dalm
bentuk ekstrim karena kegagalan pemerintah sipil yang menyebabakan
terjadinya kudeta, dan ketidakstabilan rezim militer yang tidak punya opsi
memerintah lebih baik dari pemerintahan sipil. Sehingga pada akhirnya
kedua hal tersebut tidak dapat berkembang sesuai dengan semestinya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca ORBA, Jakarta : Raja
Grafindo Persada. 2002

Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung : Fokus


Media. 2011.

Larry Diamond dan Marc. F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer & Konsolidasi


Demokrasi, Terj. Tri Wibowo Budi santoso, Jakarta :Raja Grafindo. 2001.

Dra. Ninik Widiyanti, YW. Sunindhia,SH., Kepemimpinan dalam Masyarakat


Modern, Jakarta: Bina Aksara. 1988.

Eric Nordlinger, Militer dalam Politik, Jakarta : Rineka Cipta. 1994.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

27

Anda mungkin juga menyukai