Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Setiap Negara menganut system pemerintahan yang sesuai dengan falsafah
Negara dan undang-undang dasar yang dimilikinya. Indonesia memiliki falsafah
Negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itulah, Indonesia menganut
system pemerintahan yang sesuai dengan falsafah Negara, yaitu Pancasila dan
UUD 1945.
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia, menurut konstitusi Undang-undang
dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan
dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah
yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya
menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah
yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah. Oleh karena itu, di
daerah pun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan. 1
Dalam

territorial

Negara

Indonesia

terdapat

lebih

kurang

250

zelfbestuurendelandchappen dan volksgemeen schappen, Daerah-daerah di


Indonesia mempunyai susunan asli dan karenany dapat dianggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa dan segala peraturan Negara mengenai daerah-daerah itu
akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah seusai denagan amanat
UUD Negara RI tahun 1945 maka kebjiakan politik hukum yang ditempuh oleh
1

Dr.H. Siswanto Sunarno, S.H., M.H., Hukum Pemerintahan Daerah di


Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm.1.

pemerintah terhadap pemerintah daerah yang dapat mengatur dan mengurus


sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.2.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hukum pemerintah daerah ?
2. Bagaimana analisi pengaturan pemerintahan daerah masa kini ?

1.3.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut
1. Memahami sejarah hukum pemerintah daerah yang pernah berlaku di
Indonesia.
2. Mempelajari tentang pengaturan pemerintah daerah di masa kini.

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1. Arti Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari Bahasa latin, autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti
aturan. Berdasarkan pengertian diatas, otonomi daerah dapat diartikan sebagai
kegiatan mengatur atau memerintah sendiri. Sehingga dapat disimpulkan otonomi
daerah adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah.
Terdapat beberapa pendapat para ahli dalam pengertian Otonomi Daerah 2
a) Menurut Ateng Syarifuddin
Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
b) Menurut F. Sugeng Istianto
Otonomi Daerah merupakan hak dan wewenang untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah.
c) Menurut Syarif Saleh
Otonomi Daerah merupakan hak mengatur dan memerintah daerah sendiri
dimana hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat.
Menurut Undang-Undang No.32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pengertian otonomi daerah adalah wewenang daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat dan
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan kepentingan masyarakat sesuai dengan
2

NN, Pengertian Otonomi Daerah, Polewali Mandar, West Sulawesi


(http://otonomidaerah.com/pengertian-otonomi-daerah)

peraturan

perundang-undangan.

Prinsip

penyelenggaran

pemerintah

daerah

menggunakan asas asas sebagai berikut :

Asas Desentralisasi
Penyerahan wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan tanggung
jawab mengenai urusan urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi
tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan,
dan pelaksanaannya maupun mengenai segi-segi pembiyaannya adalah
perangkat daerah sendiri. 3

Asas Dekonsentrasi
Pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di wilayah tertentu untuk mengurus urusan pemerintahan.

Asas Tugas Pembantuan


Penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dan dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten / kota dan desa serta sebaliknya untuk
melaksanakan tugas tertentu dalamm jangka waktu tertentu disertai pendnaan
dan dalam hal tertentu disertai sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia

dengan

kewajiban

melaporkan

pelaksanaan

dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.


Otonomi Daerah dibuat agar masing-masing daerah dapat memberdayakan
wilayahnya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, menumbuhkan
3

Prof. Drs. C.S.T . Kansil, S.H. Pemerintahan Daerah di Indonesia,( Jakarta : PT.
Sinar Grafika, 2004)
hlm. 3.

demokrasi serta keadilan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai
budaya dan masyarakat yang beragam

2.2. Hubungan Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Pengertian desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya mempunyai
tempatnya masing masing. Istilah otonomi lebih cenderung pada aspek politik,
sedangkan desentralisasi pada aspek administrative.

Jika berbicara mengenai

otonomi daerah tentu akan menyangkut pertanyaan seberapa besar wewenang untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan telah diberikan sebagai wewenang rumah
tangga daerah. Besaran penyerahan wewenang ini sudah masuk dalam ranah politik.
Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antara level
pemerintahan dalam lingkup suatu Negara. Pada system ini, otoritas pemerintah
daerah pada Negara kesatuan tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu
system control yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan. 5
Bagi Indonesia, bentuk Negara yang telah disepakati adalah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan dalam rangka pembagian kekuasaan Negara ( secara
vertical ) dibentuk daerah-daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan
pemrintahab yang diatur dalam undang-undang. Dengan demikian terhadapat
Pemerintah Pusat disatu sisi, dan Pemerintah Daerah disisi lain yang hubungan
keduanya

dibingkai

menyelenggarakan

dalam

system

pemerintahan

Negara
nasional,

kesatuan.
dan

Pemerintah

Pemerintah

Pusat
Daerah

menyelenggarakan Pemerintahan Daerah. Dalam hubungan inilah pemerintah perlu


melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan
4

Drs. Bambang Yudoyono, M.Si., Otonomi daerah,( Jakarta : Pustaka Sinar


Harapan, 2003) hlm.4.
5

Pheni Chalid, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik,


Kemitraan, (Jakarta: Kemitraan 2005) hlm. 15

istilah desentralisasi, yang bentuk dan kadarnya tampak dari ketentuan-ketentuan di


dalam Undang-Undang yang mengaturnya.

2.3.

Hubungan Pempus dengan Pemda


Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan,
Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan
negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari
penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah
adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities
(dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung
jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat
menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol
dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan
otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada
tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah
berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah
dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma,
standard dan prosedur yang ditentukan Pusat. 6

BAB III
6

Prof. Drs. C.S.T . Kansil, S.H. Pemerintahan Daerah di Indonesia,( Jakarta : PT


Sinar Grafika, 2004)
hlm. 3.

PEMBAHASAN
3.1.

Sejarah Hukum Pemerintah Daerah


3.1.1

Pengaturan Pemerintah Daerah di Masa Hindia Belanda


Jika kita menelusuri sejarah pengaturan desa kita bisa mulai pada tahun

1854, Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Regeeringsreglement yang


merupakan cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan Desa.

Dalam pasal 71

(pasal 128.I.S.) menegaskan tentang kedudukan Desa, yakni: Pertama, bahwa


Desa yang dalam peraturan itu disebut inlandsche gemeenten atas pengesahan
kepala daerah (residen), berhak untuk memilih kepalanya dan pemerintah
Desanya sendiri. Kedua, bahwa kepala Desa itu diserahkan hak untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah
(residen).

Gubernur

Jenderal

menjaga

hak

tersebut

terhadap

segala

pelanggarannya.
Subtansi dalam ordonansi itu juga ditentukan keadaan dimana Kepala
Desa dan anggota pemerintah Desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk
itu. Kepala Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah
tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau Pemerintah otonom yang
ditunjuk dengan ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi diatur wewenang dari
Desa Bumiputera untuk: (a) memungut pajak di bawah pengawasan tertentu; (b)
di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas
aturan yang diadakan oleh Desa (Suhartono, 2001: 46-47).
Hukum asli yang menjadi pokok-pokok dasar kebudayaan bangsa,
meskipun telah terpendam dibawah reruntuhan Desa asli selama ratusan tahun,
7

Soetandyo Wignosubroto, dkk. Pasang-Surut Otonomi Sketsa Perjalanan 100


Tahun, (Jakarta : Institute for Local Development, 2005) hlm. 6.

setelah kesatuan Desa sebagai daerah hukum itu di daerah Swapraja di Jawa
dihidupkan kembali, maka ia hidup kembali juga.
Jika ditelusuri baik di Kasultanan dan Pakualaman, diluncurkan peraturan
tentang pengangkatan, pemberhentian sementara, pemecatan dari jabatan, tentang
penghasilan dan kewajiban pemerintah Desa. Peraturan ini unutk Kasultanan
dimuat dalam Rijksblad tahun 1918 No. 23, diubah dalam Rijksblad tahun 1925
No. 17 dan buat Pakualaman dimuat dalam Rijksblad tahun 1918 No. 25 diubah
dalam Rijklsblad No. 17/1925.
Sedangkan daerah-daerah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran tidak
mempunyai peraturan serupa. Di daerah-daerah itu berlaku peraturan-peraturan
lain; bagi Kasunanan termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 33; bagi
Mangkunegaran termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 14, yakni peraturanperaturan yang membagi daerah Kasunanan dan daerah Mangkunegaran dalam
sejumlah wilayah Desa.
Berdasarkan riwayat pasal 71 Regeringsreglement 1854 memang yang
hendak diatur hanya kedudukan Desa di Jawa dan Madura. Beberapa tahun
kemudian pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa di luar Jawa dan
Madura ada juga daerah-daerah hukum seperti Desa-Desa di Jawa. Karena itu,
pemerintah kolonial juga menyusun peraturan untuk mengatur kedudukan daerahdaerah itu semacamInlandsche Gemeente Ordonnantie yang berlaku di Jawa dan
Madura. 8
Untuk karesidenan Bangka termuat dalam Stbl. 1919 No. 453. Peraturan
untuk karesidenan Palembang termuat dalam Staatblad 1919 No. 814;

untuk

Lampung termuat dalam Stbl. 1922 No. 564; untuk Tapanuli termuat dalam
Stbl. 1923 No. 469; untuk daerah Bengkulu termuat dalam Stbl. 1923 No. 470;
untuk

daerah Belitung termuat

dalam Stbl.1924

No.

75

dan

untuk

daerah Kalimantan Selatan dan Timur termuat dalam Stbl. 1924 No. 275;
8

Ibid.

kemudian

ditetapkan Hogere

Inlandsche

Verbanden

Ordonnantie

Buitengewesten Stbl. 1938 No. 490 jo. Stbl. 1938 No. 681.
Selanjutnya sejarah hukum mencatat, bahwa Pemerintah Hindia Belanda
pada tanggal 23 Januari 1941 menyampaikan rancangan Rancangan Desaordonannantiebaru kepada Volksraad. , Desa tidak lagi dikekang dengan berbagai
peraturan-peraturan (regulasi) yang mengikat dan instruktif. Berdasarkan atas
prinsip itu dalam Desa-ordonanntie baru dinyatakan perbedaan antara Desa yang
sudah maju dan Desa yang belum maju. Untuk Desa yang sudah maju,
pemerintahan dilakukan oleh sebuah Dewan Desa (Desaraad), sedang Desa untuk
yang belum maju pemerintahan disusun tetap sediakala, yaitu pemerintahan
dilakukan oleh Rapat Desa yang dipimpin oleh kepala Desa yang dibantu oleh
parentah Desa. Selanjutnya dalam Desa-ordonnantie baru itu, pemerintah
hendaknya sedikit mencampuri dalam rumah tangga Desa dengan peraturanperaturan yang mengikat, pemerintahan Desa itu diharuskan lebih banyak
menggunakan hukum adat. Namun sampai pada waktu jatuhnya pemerintahan
Hindia Belanda Desa-ordonnantie itu belum bisa dijalankan.
3.1.2 Pengaturan Pemerintah Daerah di masa Jepang
Memasuki pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa
diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun
Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan
bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan.
Sedangkan dewan yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syaratsyarat lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa
jabatan

Kucoo

adalah

tahun.

Kucoo

dapat

dipecat

oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985: 189-190).


Kemudian menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada masa tersebut Desa
ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah.
Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa

dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa


dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho,
Kaibodan, Seinendan,dan lain-lain. Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas
rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan
tebu.
Pemerintah Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan)
pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi Desa dan Amir (mengerjakan
urusan agama). 9

3.1.3 Pengaturan Pemerintah Daerah 1945-1948


Memahami dimulainya desentralisasi dan otonomi daerah menjadi
perhatian awal menyusul lahirnya UUD 1945, 18 Agustus 1945. Pada bab IV
Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan
bahwa: 10
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang

dan

mengingati

dasar

permusyawaratan

dalam

sistem

pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang


bersifat istimewa. Dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa Dalam
territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan
Volksgemeenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Selanjutnya dinyatakan juga: Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan
9

Ibid. hlm. 51

10

Ibid. hlm. 74

segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati


hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Berkaitan Volksgemeenschappen penjelasan pasal 18 UUD 1945 tidak
menyebutkan jumlah tertentu, akan tetapi menyebutkan contoh yaitu Desa di
Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya.

Meski

dalam

UUD

1945 Zelfbesturende

Landschappen dan Volksgemeenschappen diberlakukan sama namun antara


keduanya ada perbedaan mendasar. Tidak ada Landschappen atau swapraja
yang berada dalam wilayah Volksgemeeschappen. Istilah Desa digunakan
sebagai istilah yang menggantikan istilah Volksgemeenschappen. Desa telah
menjadi istilah yang digunakan tidak hanya di pemerintahan dalam negeri,
tetapi juga digunakan di lingkungan akademik khususnya dalam ilmu-ilmu
sosial (Yando Zakaria, 2000).
Selanjutnya untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945,
Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang
kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan
Desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang
dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Di dalamnya terlihat bahwa letak
otonomi terbawah bukanlah kecamatan melainkan Desa, sebagai kesatuan
masyarakat yang berhak mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri.
Desentralisasi itu hanya sempat dilakukan sampai pada daerah tingkat II.
Memperhatikan isinya yang terlalu sederhana, Undang-undang No.
1/1945 ini dianggap kurang memuaskan. Maka dirasa perlu membuat undangundang baru yang lebh sesuai dengan pasal 18 UUD 1945. Pada saat itu
pemerintah menunjuk R.P. Suroso sebagai ketua panitia. Setelah melalui
berbagai perundingan, RUU ini akirnya disetujui BP KNIP, yang pada tanggal
10 Juli 1948 lahir UU No. 22/1948 Tentang Pemerintahan Daerah. Bab 2 pasal 3
angka 1 UU No. 22/1948 menegaskan bahwa daerah yang dapat mengatur

rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi
biasa dan daerah otonomi istimewa. Daerah-daerah ini dibagi atas tiga
tingkatan, yaitu Propinsi Kabupaten/kota besar, Desa/kota kecil. Sebuah skema
tentang pembagian daerah-daerah dalam 3 tingkatan itu menjadi lampiran
undang-undang. Daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul
yang di zaman sebelum RI mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa.
UU No. 22/1948 menegaskan pula bahwa bentuk dan susunan serta wewenang
dan tugas pemerintah Desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur
dan mengurus pemerintahannya sendiri (Yando Zakaria, 2000).
3.1.4 Pengaturan Pemerintah Daerah 1957-1960
Selanjutnya memasuki periode Republik Indonesia Serikat (RIS),
Pemerintah Negara Republik Indonesia Timur (NIT ) menetapkan suatu
peraturan desentralisasi yang dinamakan undang-undang pemerintahan daerah
daerah Indonesia Timur, yang dikenal dengan UU No. 44/1950. Mengenai
tingkatan daerah otonom, menurut UU No.44/1950, tersusun atas dua atau tiga
tingkatan. Masing-masing adalah (1) Daerah; (2) Daerah bahagian dan (3)
daerah anak bagian.

11

UU No. 1/1957 ini berisikan mengenai pengaturan tentang, antara lain,


jumlah tingkatan daerah sebanyak-banyaknya tiga tingkatan, kedudukan kepala
daerah dan tentang pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Daerah
Otonom terdiri dari dua jenis, yaitu otonom biasa dan daerah swapraja.
Mengenai pembentukan daerah Tingkat III, menurut UU No. 1/1957, harus
dilakukan secara hati-hati, karena daerah itu merupakan batu dasar pertama dari
susunan negara, sehingga harus diselenggarakan secara tepat pula karena daerah
itu bertalian dengan masyarakat hukum Indonesia yang coraknya beragam, yang
sulit sembarangan untuk dibikin menurut satu model.
11

Drs. H. Syaukani, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, ( Yogyakarta :


Pustaka Pelajar Offset, 2003), hlm. 125.

Artinya dalam rangka pembentukan daerah Tingkat III, disebutkan pula


bahwa pada dasarnya tidak akan dibentuk kesatuan kesatuan masyarakat hukum
secara bikin-bikinan tanpa berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
seperti Desa, nagari, kampung dan lain-lain. Karena itu Desapraja (sebagai
daerah Tingkat III) dan sebagai daerah otonom terbawah hingga UU No. 1/1957
digantikan UU yang lain, belum dapat dilaksanakan.
Kemudian pada tanggal 5 Juli 1959 keluarlah Dekrit Presiden, yang
menyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Atas dasar dekrit ini UUDS 1950
tidak belaku lagi. Dekrit Presiden ini mengantar Republik Indonesia ke alam
demokrasi terpimpin dan Gotong Royong. Untuk menyesuaikannya dengan
prinsip-prinsip demokrasi terpimpin dan kegotong-royongan, maka pada
tanggal 9 September 1959 Presiden mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959
tentang Pemerintah Daerah. Dari Pidato Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah ketika menjelaskan isi Penpres No. 6/1959, dapat ditarik kesimpulan
pokok bahwa, dengan pemberlakuan Penpres No. 6/1959 terjadi pemusatan
kekuasaan ke dalam satu garis birokrasi yang bersifat sentralistis.
Berdasarkan pasal 1 UU No. 19/1965, yang dimaksud dengan Desapraja
adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak
mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai
harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa kesatuan-kesatuan
yang

tercakup

dalam

18, Volksgemeenschappen seperti

penjelasan
Desa

di

UUD
Jawa

dan

1945
Bali,

pasal

Nagari

di

Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya, yang bukan


bekas swapraja adalah Desapraja menurut undang-undang ini. Dengan
demikian, persekutuan-persekutuan masyarakat hukum yang berada dalam
(bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai Desapraja (Yando
Zakaria, 2000).
Istilah yang digunakan adalah dengan memggunakan nama Desapraja,
UU No.19 /1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam untuk

menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang termasuk dalam


penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuan masyarakat hukum di
berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli yang beragam. UU
No.19/1965 juga memberikan dasar dan isi Desapraja secara hukum yang
berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya dan
berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan memiliki
harta benda sendiri. 12
Adapun Alat-alat perlengkapan Desapraja menurut UU No. 19/1965
adalah: (a) kepala Desa, (b) badan musyawarah Desa, (c) Pamong Desapraja,
(d) Panitera Desapraja, (e) Petugas Desapraja, (f) badan pertimbangan
Desapraja. Disebutkan pula bahwa kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk;
kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga Desapraja
dan sebagai alat pemerintah pusat; kepala Desapraja mengambil tindakan dan
keputusan-keputusan

penting

setelah

memperoleh

persetujuan badan

musyawarah Desapraja; kepala Desapraja tidak diberhentikan karena suatu


keputusan

musyawarah;

dan kepala

Desapraja

menjadi

ketua

badan

musyawarah Desapraja.
3.1.5 Pengaturan Pemerintah Daerah 1965-1975
Sejarah mencatat, bahwa Pemerintah Orde Baru menempatkan isu
desentralisasi pemerintahan daerah/Desa setelah atau bahkan di bawah agenda
konsolidasi

politik

dan

pembangunan.

Pada

tahun

1969

pemerintah

mengeluarkan UU No. 6/1965 yang dimaksudkan untuk membekukan UU


sebelumnya. Lima tahun kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 5/1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang betul-betul merupakan versi
Orde Baru, yakni UU itu merupakan instrumen untuk memperkuat birokratisasi,
otoritarianisme, sentralisasi dan pembangunan. UU itu bukanlah kebijakan yang
berorientasi pada desentralisasi untuk memperkuat otonomi daerah atau
12

Ibid.

membentuk pemerintahan daerah (local government), melainkan berorientasi


pada pembentukan pemerintahan pusat yang bekerja di daerah (the local state
government). Ini bisa dilihat begitu kuatnya skema dekonsentrasi (desentralisasi
administratif) ketimbang devolusi (desentralisasi politik) dalam UU No. 5/1979.
UU No. 6/1965 dapat dikemukakan susunan pemerintah daerah sebagai
berikut :

Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah ;
Kepala Daerah dalam menjalankan Pemerintahan sehari-hari di bantu oleh

wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Daerah ;


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai pimpinan yang teridiri dari
seorang ketua dan beberapa wakil ketua yang jumlahnya menjamin poros

Nasakom ;
Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas
pemerintahan daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.

Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh :


1. Presiden bagi Daerah Tingkat I ;
2. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah
Tingkat II ;
3. Kepala Daerah Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri
bagi Daerah Tingkat II.
Posisi Kepala Daerah tergambar sebagai berikut :
Kepala Daerah memegang memegang jabatan untuk masa 5 tahun atau
masa yang sama dengan masa duduk DPRD ;
Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan DPRD
kecuali apabila penguasa yangberhak mengangkat menghendakinya ;

Kepala Daerah adalah pegawai negara, pelaksana politik pemerintah dan


bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut
hirarki yang ada
a. Sebagai alat Pemerintah Pusat, Kepala Daerah :
1) Memegang pimpinan kebijaksanaan politik potensionil daerahnya,
dengan mengindahkan wewenang-wewenang yang ada pada pejabat yang
bersangkutan berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku ;
2)

Menyelenggarakan

koordinasi

antara

jawatan-jawatan

dengan

pemerintah daerah ;
3) Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintah daerah ;
4) Menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh
pemerintah pusat.
b. Sebagai alat pemerintah daerah Kepala Daerah memimpin peleksanaan
kekuasaan eksekutif Pemerintah Daerah baik dibidang urusan rumah tangga
daerah maupun di bidang perbantuan.
Kepala Daerah memberikan pertanggungjawaban sekurang-kurangnya sekali
setahun kepada DPRD atau apabila diminta oleh dewan tersebut atau apabila
dipandang perlu oleh Kepala Daerah sendiri. Dalam hubungan ini Kepala
Daerah tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD. Kepala Daerah merupakan wakil
dari pada daerahnya di dalam dan diluar pengadilan.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan Undang-undang sebelumnya, maka
pada masa pemerintahan Orde baru dilakukan perombakan mendasar dalam
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang
tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR
No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :

a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi


dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau
pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya,
melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR
dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di
samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan
seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Kalau dilihat dari susunan Pemerintahan Daerah dimana dalam Undangundang ini menyatakan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan
DPRD. Susunan yang demiukian dimaksudkan untuk menghilangkan kesan
yang ada dalam Undang-Undang tersebut, dimana eksistensi dan peran DPRD
lebih banyak didominasi oleh kepala daerah sehingga kepala daerah
merupakan komponen utama dalam penyelenggaran pemerintahan di daerah,
hal mana tampak dengan adanya predikat sebagai Penguasa Tunggalyang
melekat dalam jabatan tersebut.
Sejalan dengan kebijaksanaan itu, posisi Kepala Daerah/wilayah
senagaja diletakkan pada titik yang lebih mendekat kepada pusat, dengan
peranan yang mengarah kepada upaya agar keinginan daerah tidak
dimanifestasikan dalam bentuk tuntutan yang memaksa Pemerintah Pusat.
Konstruksi seperti itu diharapkan akan menjamin tumbuhnya kerjasama
yang serasi antara kedua unsur, demi terwujudnya tertib pemerintahan di

daerah. Ada pembagian tugas yang jelas antara kepala Daerah dengan DPRD
yaitu Kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD membuat Peraturan
Daerah, dan peraturan daerah yang dibuat bersama itu ditandatangani oleh
Kepela Daerah dan Ketua DPRD. Walaupun DPRD unsur pemerintah daerah
tetapi tidak boleh mencampuri bidang eksekutif, karena bidang eksekutif adalah
wewenang dan tanggungjawab Kepala Daerah. (Mustari Pide, A., 135 : 1999)
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut sistem otonomi
materiil. Sehingga bentuk Dinas Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 363 Tahun 1977 tentang Pedoman Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah, yang mana dalam pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa : yang dimaksud dengan Dinas Daerah Tingkat I dan Dinas
Daerah Tingkat II, yang dibentuk berdasarkan terjadinya penyeraha n
sebagian

urusan

Pusat

kepada

Daerah

berdasarkan

Peraturan

Pemerintah. (Sujamto, 1984 : 116).


Ketentuan tersebut diatas merupakan pelaksanaan yang konsekuen
kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dalam penjelasan umumnya
antara laian menyatakan bahwa : Dinas Daerah adalah unsur pelaksana
Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Dinas-dinas
Daerah adalah urusan-urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah.
Pembentukan Dinas daerah untuk melaksnakan urusan-urusan yang menajdi
wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada Daerah dengan
suatu undang-undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah
tangganya, tidak dibenarkan.
3.1.6

Pengaturan Pemerintahan Daerah UU No. 22/1999

Bergulirnya UU No. 22/1999 memang tidak mengenal desentralisasi Desa,


tetapi para perumusnya, misalnya Prof. M. Ryaas Rasyid, menegaskan bahwa
semangat dasar UU No. 22/1999 adalah memberikan pengakuan terhadap

keragaman dan keunikan Desa (atau dengan nama lain) sebagai self-governing
community, yang tentu saja merupakan manifestasi terhadap makna istimewa
dalam Pasal 18 UUD 1945. Secara politik UU No. 5/1979 bermaksud untuk
menundukkan Desa dalam kerangka NKRI, yang berdampak menghilangkan
basis self-governing community.
Berpijak pada semangat pengakuan itu, UU No. 22/1999 mendefinisikan
Desa sebagai berikut:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
Daerah Kabupaten.
Teks hukum rumusan normatif di atas merupakan lompatan yang luar biasa
bila dibandingkan dengan rumusan tentang Desa dalam UU No. 5/1979. Secara
normatif UU No. 22/1999 menempatkan Desa tidak lagi sebagai bentuk
pemerintahan terendah di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan hak asal-usul Desa. Implikasinya adalah, Desa berhak membuat
regulasi Desa sendiri untuk mengelola barang-barang publik dan kehidupan Desa,
sejauh belum diatur oleh kabupaten.
Subtansi UU No. 22/1999 membuat kabur (tidak jelas) posisi Desa karena
mencampuradukkan antara prinsip self-governing community (otonomi asli)
dan local-self government (desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas.
Pengakuan Desa sebagai self-governing community (otonomi asli) lebih bersifat
simbolik dan nostalgia, ketimbang substantif. Setelah UU No. 22/199 dijalankan,
tidak serta-merta diikuti dengan pemulihan otonomi asli Desa, terutama otonomi
dalam mengelola hak ulayat Desa adat.
Mengacu kepada UU No. 22/1999, kewenangan Desa mencakup: (1)
kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (2) kewenangan

yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan


oleh Daerah dan Pemerintah; dan (3) Tugas Pembantuan dari Pemerintah,
Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Pada Ayat (1) menunjukkan bahwa Desa memiliki kewenangan asli yang
tidak boleh diintervensi oleh pemerintah supraDesa. Namun hal ini dalam
kenyataannya tidak jelas kewenangan yang dimaksud, sehingga Desa tetap saja
tidak mempunyai kewenangan yang benar-benar berarti (signifikan) yang dapat
dilaksanakan secara mandiri (otonom). Kewenangan yang selama ini benar-benar
dapat dilaksanakan di Desa hanyalah kewenangan yang tidak mempunyai
kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat Desa itu sendiri.
3.1.7

Peraturan Pemerintahan Daerah UU No. 32/2004.

Dari analisis sebelum kita melihat, bahwa Undang-undang No. 22/1999 telah
meletakkan kerangka landasan desentralisasi, otonomi daerah dan demokrasi lokal
yang jauh lebih maju di era reformasi, setelah republik Indonesia dibelenggu oleh
sistem yang sentralistik-otoritarian selama tiga dekade. Tetapi undang-undang
transisional itu telah memicu konflik kekuasaan-kekayaan antara pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan Desa; mengundang multitafsir yang beragam sehingga membuat
pemahaman kacau-balau; serta memicu ketidakpuasan dan kritik dari berbagai pihak.
Karena itu semua pihak menghendaki revisi untuk penyempurnaan.
Sebenarnya arah dan substansi revisi telah lama diperdebatkan namun tidak
terbangun visi bersama untuk memperkuat otonomi daerah, karena fragmentasi
kepentingan. Pemerintah mempunyai kehendak kuat untuk merevisi karena UU No.
22/1999

dinilai

melenceng

jauh

dari

prinsip

NKRI.

Pemerintah

kabupaten/kota sangat risau dengan intervensi dan kontrol yang berlebihan oleh
DPRD. Pihak Desa (kepala Desa dan BPD) telah lama mengusulkan revisi karena
UU No. 22/1999 tidak memberikan ruang bagi desentralisasi kewenangan dan
keuangan untuk mendukung otonomi Desa. Pihak LSM terus-menerus melakukan
kajian dan kritik terhadap UU No. 22/1999, tetapi yang paling krusial di mata

mereka adalah lemahnya jaminan legal partisipasi masyarakat dan lemahnya


komitmen pada pembaharuan Desa.
Selanjutnya pada tanggal 15 Oktober 2004 telah disahkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UndangUndang ini pengaturan mengenai Desa terdapat dalam Bab XI yaitu dari Pasal 200
Pasal 216. Sedangkan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan di atas adalah dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang telah disahkan pada
tanggal 30 Desember 2005. Keluarnya Undang-undang no. 32 Tahun 2004 dan PP
No. 72/ 2005 masih menyisakan beberapa persoalan dari sisi substansi dan regulasi.
Ada beberapa isu krusial yang muncul dalam kerangka substansi dan regulasi itu.
3.2.

Keuangan Daerah
3.2.1

Anggaran Pendapatan dan Pembelanjaan Daerah

3.2.1.1 Fungsi APBD


APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam
masa satu tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah dalam penyusunan.
Rancangan APBD (RAPBD) menetapkan prioritas dan plafon
anggaran sebagai dasar penyusunan rencan kerja dan anggaran satuan
kerja (RKASK) perangkat daerah. Bedasarkan prioritas dan plafon
anggaran tersebut kepala satuan kerja yang akan dicapai. RKASK
perangkat daerah disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan
daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD
tahun berukitnya.
13

13

Dr.H. Siswanto Sunarno, S.H., M.H. Hukum Pemerintahan Daerah di


Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003) hlm 87.

3.2.1.2 Pengajuan Ranperda APBD


Kepala daerah mengajukan Ranperda tentang APBD disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD
untuk memperoleh persetujuan bersama. Ranperda tersebut dibahas
pemerintah daerah bersama DPRD berdasarkan kebijakan umum
APBD, serta prioritas dan plafon Anggaran. Pengambilan keputusan
DPRD untuk menyetujui Ramperda tersebut dilakukan selambatlambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Atas
dasar persetujuan DPRD tersebut, kepala anggaran dilaksanakn. Atas
dasar persetujuan DPRD tersebut, kepala daerah menyiapkan
rancangan peraturan kepala daerah tentangpenjabaran APBD dan
rancangan dokumen pelaksanaan anggarans atuan kerja perangkat
daerah.
3.2.1.3 Terjadinya Perubahan APBD
Perubahan APBD dapat dilakukan apa bila terjadi : 14
a.Perkembangan yang tidak sesuai dengan asusmsi kebijakan umum
APBD;
b.

Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran


anggaran antar-unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis
belanja;

c.Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun


sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun
anggaran berjalan.

14

Dr. H. Siswanto Sunarno, S.H., M.H., Hukum Pemerintahan Daerah di


Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) hlm. 88.

Pemerintahan daerah mengajukan rancangan Perda tentang


perubahan APBD disertai penejelasan dan dokumen-dokumen
pendukungnya kepada DPRD, dan pengambilan keputusan mengenai
Ranperda tentang perubahan APBD tersebut dilakukan oleh DPRD
paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir.
3.2.1.4 Pertanggung jawaban Pelaksanaan APBD
Kepala

daerah

menyampaikan

RAnperda

tentang

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa


laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan paling lambat enam bulansetelah tahun anggaran berakhir.
Laporan keuangan tersebut sekurang-kuranganya meliputi realisasi
APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan,
yang dilampiri dengan laporan keuangan badna usaha milik daerah.
Laporan kkeuangan tersebut disusun dan disajikan sesuai dengan
standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah. 15

3.3 Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus


3.3.1 Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikakn berdasarkan presentase
tertentu dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN.
DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang
menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan

15

Ibid.

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan perhitungan DAU


nya ditetapkan sesuai undang undang.
3.3.2 Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan dari APBN kepada daerah
tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk mendanai
kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah atas dasar prioritas nasional, dan
juga untuk mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu.
Penyusunan kegiatan khusus yang ditentukan oleh pemerintah tersebut
dikoordinasikan dengan gubernur, sedangkan penyusunan kegiatan khusus
dilakukan setelah dikoordinasikan oleh daerah yang bersangkutan.
Lain lain pendapatan daerah yang sah, merupakan seluruh
pendapatan daerah selain Pendapatan Asli Daerah (PAD)

dan dana

perimbangan yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain lain pendapatan
yang ditetapkan pemerintah. Pendapatan dana darurat adalah bantuan
pemerintah dari APBN kepada pemerintah daerah untuk mendanai keperluan
mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat ditanggulangi
APBD. Besarnya alokasi dana darurat ditetapkan oleh menteri keuangan
dengan memperhatikan pertimbangan menteri dalam negeri dan menteri
teknis terkait. Pemerintah dapat mengalokasikan dana darurat kepada daerah
yang dinyatakan mengalami krisis keuangan, yang tidak mampu diatasi
sendiri sehingga mengancam keberadaannya sebagai daerah otonom.
Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah.
Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat tersebut
diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas umum yang layak serta
mengembangkan system jaminan sosial. Belanja daerah tersebut harus

mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja,


dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang undangan.

3.4

Analisis Mengenai Sistem Pemda


3.4.1

Sistem Hindia Belanda


Jika kita analisis, maka berbagai peraturan itu tampak ambigu. Di satu sisi

pemerintah kolonial membuat peraturan secara beragam (plural) yang


disesuaikan dengan konteks lokal yang berbeda. Di sisi lain berbagai
peraturan itu tidak lepas dari kelemahan. Dengan berpegang pada ketetapan
itu pemerintah Hindia Belanda telah membentuk daerah-daerah baru yang
diberi hak otonomi, dari masyarakat-masyarakat yang belum mempunyai
kedudukan

sebagai

masyarakat

hukum;

ataupun

kesatuan-kesatuan

masyarakat yang dulu memang sudah mempunyai kedudukan sebagai daerah


hukum, akan tetapi kemudian dirusak oleh kekuasaan Raja-raja atau
kekuasaan asing, sehingga hak otonominya telah hilang.
Dengan demikian, bahwa sejak lahirnya otonomi baru bagi Desa
yang disajikan dalam Inlandsche Gemeente-ordonnantie tahun 1906, maka
berturut-turut dengan segala kegiatan diadakan aturan-aturan baru tentang
kas Desa, tentang lumbung Desa, bank Desa, sekolah Desa,
pamecahan Desa, bengkok guru Desa bale Desa, tebasan pancen dan

pajak bumi, seribu satu aturan berkenaan dengan (mengatur, mengurus,


memelihara dan menjaga keamanan hutan), yang semuanya itu menimbulkan
satu akibat yaitu menambah beban rakyat berupa uang dan tenaga. Padahal
berbagai aturan itu umumnya bukan hanya tidak dimengerti oleh rakyat Desa,
akan tetapi juga disangsikan akan manfaatnya bagi rakyat Desa, malah
sebagian besar nyata-nyata sangat bertentangan dengan kepentingan Desa dan
melanggar hak-hak asasi.

3.4.2 Sistem Pemerintahan Jepang


Memasuki pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai
Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret
Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini
ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan
pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak untuk menentukan tanggal
pemilihan

dan

syarat-syarat

lain

dalam

pemilihan

Kucoo

adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo
dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985: 189-190).
Kemudian menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada jaman
penjajahan Jepang Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang
merupakan institusi terbawah. Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa
kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang
sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi
satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan,dan lain-lain.
Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman
yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu.

Pemerintah Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri dari 9


(sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi Desa dan
Amir (mengerjakan urusan agama).
Menurut Undang-Undang No. 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan
Daerah,
seluruh Pulau Jawa dan Madura (kecuali kedua koci, Surakarta dan
Yogyakarta) dibagi
atas enam wilayah pemerintahan. Ini berdasarkan
a. Syu (karesidenan), dipimpin oleh seorang syuco.
b. Syi (kotapraja), dipimpin oleh seorang syico.
c. Ken (kabupaten), dipimpin oleh seorang kenco.
d. Gun (kawedanan atau distrik), dipimpin oleh seorang gunco.
e. Son (kecamatan), dipimpin oleh seorang sonco.
f. Ku (kelurahan atau desa), dipimpin oleh seorang kuco.
Sistem Pemerintahan Pendudukan Jepang yang mulai efektif sejak
tanggal 9 Maret 1942 sampai tahun 1945 pada umumnya tetap meneruskan
sistem pemerintahan Hindia Belanda. Dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya kebijakan Politik Jepang tidak efektif karena pada dasarnya
mmpunyai dua prioritas yakni : a) menghapus pengaruh barat dikalangan
rayat, dan b) memobilisasi mereka demi kemenangan tentara Jepang tidak
berbeda jauh dengan tujuan Belanda untuk menguasai bumi Indonesia yang
banyak menyengsarakan rakyat Indonesia dengan sistem-sistem pemerintahan
yang diterapkanya, Walaupun selama pemerintahan militer Jepang berkuasa di
Indonesia, banyaklah dikeluarkan peraturan-peraturan baru dan tambahan
peraturan-peraturan lainya, akan tetapi peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pemerintah militer Jepang pada hakekatnya sekarang masih berlaku .

BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah,
maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan
mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif
dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki
kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis
mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan
berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut
kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun
perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
4.2 Saran

Berdasarkan penggambaran penjalanan penyusunan hukum pemerintahan


daerah, isi hukum dan pelaksanaan kebjakan otonomi daerah pada kurun waktu 1854
2004 banyak sekali sesungguhnya pelajaran berharga yang dapat kita petik untuk
memajukan kebijakan otonomi daerah di negeri ini pada masa kini.
1 ) Dalam pembuatan kebijakan otonomi daerah, kita harus selalu mengacu pada
konstitusi. Jangan pernah membuat kebijakan otonomi daerah yang menyimpang atau
bertentangan dengan konstitusi. Sementara itu, cetak biru kebijakan otonomi daerah
harus tercantum dengan lengkap dan terang benderang dalam konstiusi kita. Jangan
sampai ketentuan konstitusi yang mengatur perihal pemerintahan local tidak jelas,
tidak tuntas, mengambang dan bersifat multi-tafsir. Sebelum RUU pemerintah daerah
yang baru disusun, bentuklah sebuah panitia Negara promosi Otonomi Daerah yang
anggotanya berasal dari berbagai departemen / lembaga pemerintah non-departemen,
para akademisi, dan tokoh masyarakat dengan tugas memberikan rekomendasi
tentang pengembangan kebijakan Otonomi Daerah mendatang.
2) Dalam menetapkan isi kebijakan otonomi daerah, hendaknya pengaturan
desentralisasi politik, desentralisasi administrative, dan desentralisasi finansial
berjalan beriringan. Jangan pernah mengatur ketiganya secara terpisah, dan tidak
rinci, atau materinta bukan merupakan bidang yang masuk lingkup otonomi daerah.
Dalam hubungan itu, isi kebijakan otonomi daerah harus diselaraskan dengan kondisi
masyarakat daerah. Jangan pernah membuat aturan otonomi daerah yang isinya tidak
sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat local kita terlalu maju. Bentuk otonomi
yang riil dan luas cukup pas menjadi isi kebijakan otonomi daerah kita.
3) Dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah, hendaknya para aktor
pemerintahan selalu memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh secara internal
maupun eksternal Pemerintahan terhadap otonomi daerah kita. Apabila diperlukan,
agar kebijakan otonomi daerah tetap bisa diimplementasikan, maka jangan ragu dan
jangan segan melakukan penyesuaian-penyesuaian sepanjang tidak melanggar

peraturan yang berlaku. Tetapi, satu hal para pelaksana kebijakan harus konsisten
dalam menerapkan kebijakan otonomi daerah. Jangan pernah menahan-nahan atau
mengganjal sendiri kebijakan otonomi daerah yang telah ditetapkan. Akhirnya caracara melaksanakan kebijakan otonomi daerah seyogyanya tidak diikat dengan ketat
oleh pemerintah pusat, tetapi supaya diberi ruang kepada daerah untuk bisa berkreasi
dan berimprovisasi sesuai kondisi masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai