Anda di halaman 1dari 61

MODUL I

PEMBENTUKAN KARAKTER

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pada Pasal 1
Undang Undang No.20 Tahun 2003Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa
“pendidikan adalah usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara”. Amanah Undang-
Undang Sistem Penididikan Nasional tahun 2003 Pasal 1 itu bermaksud agar pendidikan tidak
hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter,
sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang
bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena pikiran merupakan
pelopor segalanya, di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman
hidupnya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang dapat membentuk pola
berpikir yang bisa mempengaruhi perilakunya. Menurut Doni Koesoema, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam membentuk karakter anak, yaitu pembiasaan tingkah laku sopan,
kesadaran terhadap kebersihan, kerapian, dan ketertiban, serta pembiasaan untuk berlaku jujur
dan bersikap disiplin. Dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pembentukan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh orang tua untuk mempengaruhi karakter
anak. Orang tua membantu membentuk karakter anak dengan memberikan keteladanan, cara
berbicara atau menyampaikan sesuatu yang baik, toleransi, dan hal yang terkait lainnya.

B. RUANG LINGKUP

Isi dari Modul 1 ini secara garis besar meliputi pembahasan tentang :
1. Pengertian karakter
2. Proses pembentukan karakter
3. Faktor- Faktor pembentukan karakter
4. Nilai- nilai Karakter
5. Unsur- unsur karakter
6. Metode pembentukan karakter
7. Karakter muslimah yang tangguh

C. SASARAN PEMBELAJARAN

Peraturan Pembelajaran
Selama proses pembelajaran dosen-mahasiswa yang dipandu dengan modul masing-
masing, maka dosen dapat menggali capaian kompetensi mahasiswa terkait Fiqh yang
indikatornya adalah kemampuannya dalam hal:
1. Mampu menjelaskan tentang pengertian karakter
2. Mampu menjelaskan Proses pembentukan karakter
3. Mampu menjelaskan Faktor- Faktor pembentukan karakter
4. Mampu merinci Nilai- nilai karakter
5. Mampu merinci Unsur- unsur karakter
6. Mampu menjelaskan Metode pembentukan karakter
II. MATERI PEMBELAJARAN
A. PENGERTIAN KARAKTER
Karakter berasal dari bahasa latin “kharakter”, “kharassein”, “Kharax”, dalam
bahasa Inggris: charakter dan Indonesia “karakter”, Yunani Character, dari charassein
yang berarti membuat tajam.
Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai tabiat; watak;
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain. Sementara dalam kamus sosiologi, karakter diartikan sebagai ciri khusus dari
struktur dasar kepribadian seseorang (karakter; watak).
Menurut Hasan Alwi (2002), Karakter merupakan “Sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain”. Sedangkan menurut Coon
(Zubaedi, 2011: 8), Karakter sebagai “Suatu penilaian subjektif terhadap kepribadian
seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima
oleh masyarakat”. Karakter itu akan membentuk motivasi dengan metode dan proses
yang bermartabat. Karakter yang baik mencakup kepedulian dan tindakan berdasarkan
nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral
(Jamal Ma’mur Asmani, 2011: 27).
Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas
seseorang atau sekelompok orang serta nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter
dapat diartikan sama dengan akhlak, sehingga karakter identik dengan akhlak. Bangsa
yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak, sebaliknya bangsa yang tidak
berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki norma
dan perilaku yang baik.
Suyanto dan Masnur Muslich menyatakan bahwa karakter yaitu cara berfikir dan
berperilaku seseorang yang menjadi ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam keluarga, masyarakat dan negara. Berdasarkan beberapa
pengertian diatas, dapat dimaknai bahwa karakter adalah ciri khas seseorang dalam
berperilaku yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Pengertian karakter, watak, kepribadian (personality), dan individu (individuality)
memang sering tertukar dalam penggunaanya. Hal ini karena istilah tersebut memang
memiliki kesamaan yakni sesuatu yang asli dalam diri individu seseorang yang
cenderung menetap secara permanen.
Istilah watak, dalam pengertian karakter dan watak juga sulit dibedakan. Di dalam
watak terdapat sikap, sifat dan tempramen yang ketiganya merupakan komponen-
komponen watak. Seperti Pedjawijatna yang menyamakan kedua istilah ini. Ia
mengemukakan bahwa “watak atau karakter ialah seluruh aku yang ternyata dalam
tindakannya (insani, jadi dengan pilihan) terlibat dalam situasi, jadi memang terlibat
dalam situasi, jadi memang di bawah pengaruh dari pihak bakat, tempramen, keadaan
tubuh, dan lain sebagainya. Watak adalah sturktur batin manusia yang tampak dalam
kelakuan dan perbuatannya, yang tertentu dan tetap. Pernyataan-penyataan tentang
tingkah laku seperti: sikap, sifat, tempramen yang termasuk dalam komponen watak,
semua itu merupakan sifat-sifat dari kepribadian. Istilah karakter dan kepribadian
(personality) dalam pengertiannya hampir tidak dapat dibedakan, karena keduanya
memiliki makna sama yaitu ciri khas atau khusus yang dimiliki seseorang. Kata
kepribadian berasal dari kata Personality (bhs. Inggris) yang berasal dari kata Persona
(bhs. Latin) yang berarti kedok atau topeng. Koswara menegaskan bahwa definisi
kepribadian dapat diketegorikan menjadi dua penegrtia yaitu:
a. Menurut pengertian sehari-hari
Kepribadian (personality) adalah suatu istilah yang mengacu pada gambaran-
gambaran sosial tertentu yang ditrima oleh individu dari kelompoknya atau
masyarakatnya, kemudian individu tersebut diharapkan bertingkah laku berdasarkan
atau sesuai dengan gambaran sosial (peran) yang diterimanya itu.
b. Menurut psikologi
1. George Kelly, menyatakan bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu
dalam mengartiakan pengalaman-pengalaman hidupnya.
2. Gordon Allport, menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu organisasi yang
dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan
pemikiran individu secara khas.
3. Igmund freud, menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu stuktur yang terdiri
dari tiga sistem, yakni id, ego, dan super-ego, sedangkan tingkah laku tidak lain
merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga unsur dalam sistem
kepribadian tersebut.
Kepribadian itu dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa perubahan. Ia menunjukkan
tingkah laku yang terintegrasi dan merupakan interaksi antara kesanggupan-kesanggupan
bawaan yang ada pada individu dan lingkungan. Ia juga bersfat unik, artinya kepribadian
seseorang sifatnya khas, mempunyaio ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari
individu yang lain.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian (Personality) adalah ciri
khas seseorang dalam berperilaku sesuai dengan gambaran sosial yang diterimanya.
Sedangkan individu (individuality), berarti bahwa setiap orang itu mempunyai
kepribadiannya sendiri yang khas, yang tidak identik dengan orang lain. Yang tidak dapat
diganti atau disubstitusikan oleh orang lain. Jadi ada ciri-ciri atau sifat-sifat individual
pada aspek psikisnya, yang biasa membedakan dirinya dengan orang lain.
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat ditegaskan bahwa karakter merupakan
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud. dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, budaya
dan adat istiadat.
Dengan mengetahui adanya karakter (watak, sifat, tabiat ataupun perangai) seseorang
dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap berbagai fenomena yang muncul
dalam diri ataupun hubungannya dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta
bagaimana mengendalikannya. Karakter dapat ditemukan dalam sikap-sikap seseorang,
terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap tugas-tugas yang dipercayakan padanya
dan dalam situas-situasi yang lainnya.
Pengertian karakter sering kali dihubungkan dengan pengertian moral dan budi
pekerti. Moral berasal dari bahasa latin “ Mores ” yang berarti adat kebiasaan. Kata “
mores ” bersinonim dengan mos, moris, manner mores, manners, moral. Dalam bahasa
Indonesia kata moral berarti akhlak atau kasusilaan yang mengandung makna tata tertib
batin atau tata tertib hati atau tata tertib hati nurani yang menjadi bimbingan tingkah laku
batin dalam hidup. Lebih lanjut Ya’kub menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan moral
ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang
baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran tindakan-tindakan yang oleh umum diterima,
yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Terminologi Pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara
umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika di ruang kelas dan
sekolah. Setelah itu nilai-nilai pendidikan lebih umum. Pengajaran etika dalam
pendidikan moral lebih cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang salah. Sedangkan
penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat tidak
mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain sangat normatif dan kurang
bersinggungan dengan ranah efektif dan psikomotorik siswa. Keyakinan siswa mengenai
perilaku bermoral dan tidak bermoral, yaitu keyakinan mengenai mana yang benar dan
mana yang salah, mempengaruhi perilaku mereka di sekolah. Dapat disimpulkanbahwa
moral adalah pengetahuan mengenai tindakan-tindakan seseorang yang sesuai dengan
nilai-nilai yang ada dilingkungannya.
Selanjutnya yaitu budi pekerti dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu: secara
epistemologi budi pekerti berarti penampilan diri yang berbudi. Secara leksikal, budi
pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak, dan watak. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, kata budi artinya akal (alat bantu untuk menimbang baik buruk, benar salah
dan lain-lain), tabiat, akhlak, perangai, kesopanan. Jadi budi pekerti artinya perangai,
akhlak, watak. Dan baik budi pekerti dapat diartikan baik hati.
Secara operasional, budi pekerti adalah perilaku yang tercermin dalam kata, perbuatan,
pikiran, sikap, perasaan, keinginan dan hasil karya. Budi pekerti memiliki hubungan
dengan etika,akhlak, dan moral. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Moral juga berarti akhlak,
budi pekerti dan susila. Istilah moral diartikan ajaran tentang perbuatan dan kelakuan.
Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti kebiasaan salah satu cabang filsafat
yang dibatasi dengan nilai moral apa yang diperbolehkan atau tidak, yang baik atau tidak
baik, yang pantas tau tidak pantas pada perilaku manusia. Pendeknya etika adalah batasan
baik buruk.
Sementara itu menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi (2001), budi pekerti berisi
nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur mengenai kebaikan dan keburukannya
melalui norama agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya dan
adat istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang
diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan
kepribadian peserta didik. Elemen-elemen dari karakter Elemen-elemen dasar dari
karakter ialah:
1. Elemen-elemen dasar dari karakter, yaitu:
a. Dorongan-dorongan (drives)
Dorongan-dorongan (drives): Dorongan-dorongan ini dibawa sejak lahir untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup tetentu. Dorongan individul seperti
dorongan makan, dorongan aktif, dorongan bermain. Kemudian dorongan sosial
seperti dorongan seks, dorongan sosialitas atau hidup berkawan, dorongan meniru
dan sebagainya.
b. Insting
Insting: ialah kemampuan untuk berbuat hal-hal yang kompleks tanpa latihan
sebelumnya dan terarah pada tujuan yang berarti, untuk mempertahankan
eksistensi manusiawinya. Insting ini dibawa sejak lahir; sering tidak disadari dan
berlangsung secara mekanistis. Bersana dengan dorongan-dorongan, insting ini
menjadi faktor pendorong bagi segala tingkah laku dan aktivitas manusia; dan
menjadi tenaga dinamis yang tertanam sangat dalam pada kepribadian manusia.
c. Refleks-refleks
Refleks-refleks: adalah reaksi yang tidak disadari terhadap perangsang-
perangsang tertentu, berlaku diluar kesadaran dan kemauan manusia. Ada reflek
tidak bersyarat yang dibawa sejak manusia lahir, misalnya manusia akan batuk
jika ada zat cair yang masuk dalam jalan pernafasan, menangis, memejamkan
mata danm lain-lain. Sedang reflek bersyarat, disebabkan oleh pengaruh
lingkungan, atau sebagai hasil daripada latihan dan pendidikan yang disengaja.
d. Sifat-sifat karakter
1) Kebiasaan: ekpresi terkondisionir dari tingkah laku manusia.
2) Kecenderungan-kecenderungan: hasrat atau kesiapan-reaktif yang tertuju
pada satu tujuan tertentu, ataupun tertujuan pada suatu obyek yang konkrit,
dan selalu muncul secara berulang-ulang.
e. Organisasi perasaan, emosi dan sentimen.
Perasaan disebut pula sebagai renca emosi atau getaran jiwa. Perasaan yang di
hayati seseorang itu bergantung pada dan erat berkaitan dengan segenap isi
kesadaran dan kepada kepribadiannya. Sentimen adalah semacam perasaan atau
kesadaran yang mempunyai kedudukan sentral, dan menjadi sifat karakter yang
utama atau yang kardinal.
f. Minat atau interesse/ Perhatian dan minat/Interesse ;
Perhatian dan minat (bersama dengan emosi-emosi dan kemauan) menentukan
luasnya kesadaran. Derajat yang meninggi merupakan itu merupakan awal dari
perhatian. Perhatian sifatnya bisa spontan, langsung, atau tidak dengan sengaja
tertarik secara langsung. Dan ada perhatian yang tidak langsung/indirect atau
dengan sengaja yang disetimulir oleh kemauan, mengarah pada suatu obyek.

g. Kemauan
Kemauan adalah dorongan kehendak yang terarah kepada tujuan-tujuan
tertentu, dan dikendalikan oleh pertimbangan akal/pikiran. Jadi, pada
kemauan ini ada unsur pertimbangan akal dan Besinnung (wawasan), serta
ada tujuan finalnya. Lagi pula, kemauanitu merupakan organisator dari
karakter.
B. PROSES PEMBENTUKAN KARAKTER

Karakter kita terbentuk dari kebiasaan kita. Kebiasaan kita saat anak-anak biasanya
bertahan sampai masa remaja. Orang tua bisa mempengaruhi baik atau buruk, pembentukan
kebiasaan anak-anak mereka (Lickona, 2012:50).
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran yang di
dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan
pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya
dapat membentuk pola berpikir yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang
tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya
berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan
kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip universal,
maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu
pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima
tahun, kemampuan nalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar
(subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang
dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan
keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi,
internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan
mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis
dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin
dominan. Sering berjalannya waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang melalui
pancaindra dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan
pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasaan, dan karakter unik dari
masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem
kepercayaan (belief system), citra diri (self-Image), kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem
kepercayaanya benar dan selaras karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka
kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya jika sistem
kepercayaanya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka
hidupnya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Ryan & Lickona seperti yang dikutip Sri lestari mengungkapkan bahwa nilai dasar yang
menjadi landasan dalam membangun karakter adalah hormat (respect). Hormat tersebut
mencakup respek pada diri sendiri, orang lain, semua bentuk kehidupan maupun lingkungan
yang mempertahankannya. Dengan memiliki hormat, maka individu memandang dirinya
maupun orang lain sebagai sesuatu yangberharga dan memiliki hak yang sederajat.
Karakter kita terbentuk dari kebiasaan kita. Kebiasaan kita saat anak-anak biasanya
bertahan sampai masa remaja. Orang tua bisa mempengaruhi baik atau buruk, pembentukan
kebiasaan anak-anak mereka.
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran yang di
dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan
pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya
dapat membentuk pola berpikir yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang
tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya
berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan
kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip universal,
maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu
pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
C. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUKAN KARAKTER
Karakter ialah Aki-psikis yang mengekspresikan diri dalam bentuk tingkah laku dan
keseluruhan dari Aku manusia. Sebagian disebabkan bakat pembawaan dan sifat-sifat
hereditas sejak lahir: sebagian lagi dipengaruhi oleh meleniu atau lingkungan. Karakter ini
menampilkan Akunya manusia yang menyolok, yang karakteristik,yang unik dengan ciri-ciri
individual.
Dalam Masnur Muslich dijelaskan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental
seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah, nature) dan
lingkungan (sosialisasi pendidikan, nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia
sebelum dilahirkan, tetapi potansi-potensi tersebut harus dibina melalui sosialisi dan
pendidikan sejak usia dini.
Karakter tidak terbentuk begitu saja, tetapi terbentuk melalui beberapa faktor yang
mempengaruhi, yaitu: faktor biologis dan faktor lingkungan :
a. Faktor Biologis
Faktor biologis yaitu faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor ini
berasal dari keturunan atau bawaan yang dibawa sejak lahir dan pengaruh keturunan dari
salah satu sifat yang dimiliki salah satu dai keduanya.
b. Faktor Lingkungan
Di samping faktor-faktor hereditas (faktor endogen) yang relatif konstan
sifatnya,beberapa faktor lain yaitu lingkungan sekitar, pendidikan, kondisi dan situasi
hidup dan kondisi masyarakat (semuanya merupakan faktor eksogen) semuanya
berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter.
Termasuk di dalamnya adat istiadat peraturan yang berlaku dan bahasa yang digerakkan.
Sejak anak dilahirkan sudah mulai bergaul dengan orang di sekitarnya. Pertama-tama
dengan keluarga. Keluarga mempunyai posisi terdepan dalam memberikan pengaruh
terhadap pembentukan karakter anak. Keluarga adalah lingkungan pertama yang
membina dan mengembangkan pribadi anak. Pembinaan karakter dapat dilakukan dengan
melalui pembiasaan dan contoh yang nyata.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasanya karakter seseorang tumbuh dan
berkembang atas dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam yang berupa faktor biologis dan
kekuatan dari luar yaitu faktor lingkungan.
D. NILAI-NILAI KARAKTER
Nilai–nilai karakter yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari
dalam Muchlas Samani dan Hariyanto, yaitu:
Jangkuan Sikap dan Perilaku Butir-Butir Nilai Budi Pekerti

Sikap dan perilaku dalam Berdisiplin, beriman, bertakwa, berfikir jauh


hubungannya dengan Tuhan kedepan, bersyukur, jujur, mawas diri, pemaaf,
pemurah, pengabdian.
Sikap dan perilaku dalam Bekerja keras, berani memikul risiko (the risk
hubungannya dengan diri sendiri taker), berdisiplin, berhati lembut/berempati,
berfikir matang, berfikir jauh ke depan (future
oriented, visioner), bersahaja, bersemangat,
bersikap konstruktif, bertanggung jawab,
bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih,
hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh
hati, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai
waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian,
pengendalian diri, produktif, rajin, ramah tamah,
rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela
berkorban, sabar, setia, adil, hormat, tertib,
sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tepat
janji/amanah,terbuka ulet.
Sikap dan perilaku dalam Bekerja keras, berfikir jauh ke depan, bijaksana,
hubungannya dengan keluarga cerdik, cermat, jujur, berkemauan keras, lugas,
menghargai kesehatan, menghargai waktu, tertib,
pemaaf, pemurah, pengabdian, ramah tamah,
rasa kasih sayang, rela berkorban, sabar, setia,
adil, hormat, sportif, susila, tegas, tepat
janji/amanah, terbuka
Sikap dan perilaku dalam Bekerja keras, berfikir jauh ke depan,
hubungannya dengan masyarakat dan bertenggang rasa/ toleran, bijaksana, cerdik,
bangsa cermat, jujur, berkemauan keras, lugas, setia,
menghargai kesehatan, menghargai waktu,
pemurah, pengabdian, ramah tamah, rasa kasih
sayang, rela berkorban, adil, hormat, tertib,
sportif, susila, tegas, tepat janji/ amanah, terbuka
Sikap dan perilaku dalam Bekerja keras, berfikir jauh ke depan,
hubungannya dengan alam sekitar menghargai kaesehatan, pengabdian.

E. UNSUR-UNSUR KARAKTER
Secara psikologis dan sosiologis pada manusia terdapat hal-hal yang berkaitan dengan
terbentuknya karakter. Unsur-unsur ini menunjukan bagaimana karakter seseorang. Unsur-
unsur tersebut antara lain:
1. Sikap
Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, bahkan dianggap cerminan karakter
seseorang tersebut. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada di
hadapannya, biasanya menunjukan bagaimana karakter orang tersebut. Jadi, semakin baik
sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter baik. Dan sebaliknya,
semakin tidak baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter yang tidak
baik.
2. Emosi
Emosi merupakan gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai
dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Tanpa
emosi, kehidupan manusia akan terasa hambar karena manusia selalu hidup dengan berfikir
dan merasa. Dan emosi identik dengan perasaan yang kuat.
3. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosio-psikologis.
Kepercayaan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas,
pengalaman, dan intuisi sangatlah penting dalam membangun watak dan karakter manusia.
Jadi, kepercayaan memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang
lain.
4. Kebiasaan dan Kemauan
Kebiasaan merupakan aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis
pada waktu yang lama, tidak direncanakan dan diulangi berkali-kali. Sedangkan kemauan
merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang karena kemauan
berkaitan erat dengan tindakan yang mencerminkan perilaku orang tersebut.
5. Konsepsi diri (Self-Conception)
Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar tentang
bagaimana karakter dan diri seseorang dibentuk. Jadi konsepsi diri adalah bagaimana saya
harus membangun diri, apa yang saya inginkan dari, dan bagaimana saya menempatkan
diri dalam kehidupan.
F. METODE PEMBENTUKAN KARAKTER
G. KARAKTER MUSLIMAH TANGGUH
1. Akidah yang Lurus (Salimul Aqidah )
Makna Akidah
Akidah secara bahasa adalah mengikatkan hati pada sesuatu dan melekat
kepadanya. Di dalam hadits disebutkan, al-khailu ma’qudum fi nawashihal khairu; pada
ubun-ubun kuda itu terdapat kebaikan.
Kata ma’qidun pada hadits di atas maksudnya adalah melekat hingga seolah-olah
terikat dengannya. Meyakini sesuatu berarti membuat sesuatu itu menjadi kuat, kokoh
dan tetap. Segala sesuatu yang dijadikan oleh seseotrang untuk menjadi kemantapan hati
dan bagi dirinya itulah yang disebut keyakinan. Jadi makna akidah adalah kemantapan,
keteguhandan kekokohan terhadap pilar-pilar islam yang dibangun di atasnya. Akidah
itu adanya di dalam hati, ia mengakar kuat dan tertancap padanya, senantiasa
membersamai seorang hamba yang tidak surut dan tidak pula lenyap Karena
kegoncangan, kebimbangan maupun keraguan.
Pokok-pokok akidah adalah iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah,
para Rasul-Nya, hari akhir serta kepada takdir baik dan buruk. Iman adalah kepercayaan
yang mantap yang tiada keraguan padanya.
Syahadatain
Dua kalimat syahadat itu berisi ikrar diri bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad utusan Allah. Seorang hamba dikatakan masuk kedalam Islam dengan
mengikrarkan dua kalimat syahadat ini, dianggap keluar dari Islam dengan menentang
dua kalimat syahadat tersebut –baik pengingkarannya terhadap sesuatu yang ditunjukkan
oleh kedua kalimat itu maupun karena kesombonngan terhadap sesuatu yang menjadi
konsekuensi dari keduanya. Untuk itulah Rasulullah SAW tidak pernah menyeruh kepada
sesuatu sebelum menyeru kepada kedua kalimat syahadat, karena Allah tidak akan
menerima apapun dari seseorang tanpa kedua kalimat itu. Syahadat pertama untuk
mengetahui zat yang disembah dan kewajiban kepada-Nya, sedangkan syahadat kedua
untuk mengetahui bagaimana menyembahnya dengan jalan apa bisa sampai kepada-Nya.
Pada syahadat pertama terdapat penauhidan terhadap zat yang disembah, yang
menciptakan makhluk supaya mereka beribadah kepada-Nya semata. Sedangkan pada
syahadat kedua terdapat penauhidan terhadap satu-satunya jalan yang akan
menyampaikan kepada Allah.
Seorang muslim hukumnya wajib menyakini dalam hati dan mengatakan dengan
lisan, “Aku berikrar tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah SWT.” Dengan kedua kalimat syahadat ini berarti dia masuk kedalam agama
Islam dan secara umum dianggap beriman sehingga tidak termasuk orang yang kekal di
dalam neraka, di mana kalaupun masuk neraka karena maksiat-maksiat yang
dilakukannya, kemudian setelah itu masuk surga dan kekal di dalamnya karena
keimanannya.
Syahadat adalah nikmat teragung yang Allah SWT karuniakan dan tunjukkan
kepada seorang hamba diantara hamba-hamba-Nya. Ia adalah pokok agama,
fondasinya, inti segala perkaranya, tonggaknya, dan pilar bangunannya.
Menurut Sa’id bin Jubair dan Adh- Dhahhak, syahadat adalah al-‘urwah al-
wutsqa (ikatan yang kokoh) yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
Barang siapa ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka sungguh, dia
telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus (Al-Baqarah:
256)
Menurut Abdullah bin abbas r.a, syahadat adalah Al-‘ahd (perjanjian) yang
tersebut didalam firman Allah Azza wa Wajalla:
Mereka tidak berhak mendapat syafaat (pertolongan), kecuali orang yang telah
mengadakan perjanjian di sisi (Allah) Yang Maha Pengasih. (Maryam: 87)

Menurut Abu Abdirrahman As-Sulaiman, Adh-Dhahhak, dan riwayat Athiyyah


Al-Aufi dari Abdullah bin Abbas r.a., syahadat adalah al-husna (sesuatu yang terbaik)
yang tersebut didalam firman Allah Azza wa Jalla:
Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenrkan (adanya pahala) yang terbaik (surga) maka akan Kami mudahkan jalan
menuju kemudahan (kebahagiaan). (A-Lail: 5-7)
Menurut Al-Baghawi, syahadat adalah kalimat haqq (kalimat yang benar) yang
tersebut didalam firman Allah swt:
Kecuali orang yang mengakui yang hak (tauhid;kalimat yang benar dan mereka
meyakini.(Az-Zukhruf:86)
Menurut Ibnu Jarir, Abdullah bin Ahmad bin Hnbal dan tirmidzi dari Ka’ba r.a.
dari Nabi saw., syahadat adalah kalimat at-taqwa (kalimat takwa) yang terdapat dalam
firman Allah Azza wa Jalla:
dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa
dan mereka lebih berhak dengan itu dapat patut memilikinya. (Al- Fath:26)

Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Al-Barra bin Azib r.a. dari Nabi
saw., syahadat adalah al-qaul ats-tsabit (ucapan yang teguh) yang terdapat dalam firman
Allah Azza wa Jalla:

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh
(dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat. (Ibrahim: 27)

Syahadat adalah al-kalimah ath-thayyibah al-madhrubah matsalan (kalimat yang


baik yang dibuat sebagai perumpamaan) sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,
akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim:24)
Itulah yang dikatakan oleh Ali bin Thalhah dari Abdullah bin Abbas r.a. Akarnya
kokoh di dalam hati seorang mukmin sedangkan cabangnya adalah amal saleh yang
menjulang ke langit naik kepada Allah. Ini juga yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair,
Ikrimah, dan Mujahid.
Syahadat adalah al-hasanah (kebaikan) yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
Barang siapa berbuat kebaikan maka ia mendapat balasan sepuluh kali lipat
amalnya. (Al-An’am:160)
Itulah yang dikatan oleh Zainul Abidin dan Ibrahim An-Nakha’I, dan
diriwayatkan dari Abu dDzar Al-Ghifari secara marfu’ bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“ Syahadat adalah sebaik-baik kebaikan, dan syahadat juga menghapus dosa-dosa dan
kesalahan.” Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir di dalam
tafsir keduanya.
Syahadat merupakan sabab an-najah (sebab keselamatan) sebagaimna yang
disebutkan dalam Shahih Muslim bahwasanya Nabi saw. Mendengar seorang muadzin
mengucapkan, “ asyhadu an la ilaha illallah,” kemudian Rasulullah bersabda, “Engkau
telah keluar dari neraka.” (HR. Tirmidzi)
Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit r.a bahwa ia
mendengar Rasulullah saw. Bersabda yang artinya: “Siapa saja yang berikrar bahwa
tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka
Allah mengharamkan neraka baginya”
Syahadat adalah sabab dukhul al-jannah (sebab masuk surga) sebagaimana yang
disebutkan dalam shahih Bukhari dan muslim dari Ubadah bin Ash-Shamit r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang mengucapkan: aku berikrar bahwa tidak ada
tuhan kecuali hanya Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya
Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan Isa adalah hambah Allah dan anak
dari hamba (perempuan)-Nya, kalimat-Nya disampaikan kepada Maryam dan ruhnya
berasal dari-Nya, dan bahwasanya surge itu benar dan neraka itu beenar, niscaya Allah
masukkan ia ke surga dari delapan pintu yang ia mau”
Syahadat adalah afdhalu ma dzukirallah (zikir kepada Allah yang paling utama)
dan atsqalu syai’in fil mizan (sesuatu yang paling berat dalam timbangan) pada hari
kiamat, sebagaimana yang disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Abdullah bin
Amr r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Nuh a.s. mengatakan kepada
anaknya ketika menjelang wafat, “ Aku memerintahkanmu untuk memegang teguh
kalimat la ilaha illallah karena sungguh seandainya tujuh langit dan tujuh bumi
diletakkan pada suatu neraca, kemudian kalimat la ilaha illallah diletakkan pada neraca
yang lain, niscaya kalimat la ilaha illallah mengungguli semua itu; seandanta tujuh
langit dan tujuh bumi itu terhimpun dalam satu lingkaran niscaya kalimat la ilaha
illallah bisa memecahkannya”.
Syahadat adalah al-aman (keamanan) dari kegelisahan alam kubur dan dari
kengerian yaumul mahsyur sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ahmad dan
selainnya dari Nabi saw bersabda:“Tidak ada kegelisahan bagi ahli la ilaha illallah di
dalam kubur dan tidak pula pada hari kebangkitan, dan seolah-olah aku melihat mereka
pada hari kebangkitan itu mengakibatkan kepala mereka dari debu seraya mengatakan, “
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka dan kesedihan dari kami.”
Makna la ilaha illallah
Makna la ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Ia
ilaha merupaka peniadaan terhadap segala yang disembah selain-Nya, sedangkan illaallah
adalah penegasan bahwa ibadah itu hanya untuk Allah karena Dialah yang berhak dan
layak untuk diibadahi. Allah Ta’ala berfirman:
Demikian (kebesaran Allah) karena Allah, Dialah (Tuhan) yang Hak. Dan apa
saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil, dan sungguh Allah, Dialah Yang
Maha Tinggi, Maha Besar.(Al-Hajj: 62)

2. Ibadah yang benar


Sahihul Ibadah Berarti Ibadah yang Sempurna dan Tanpa Cacat
Ibnu Manzhur di dalam Lisân Al-Arab mengatakan bahwa akar kata ibâdah
(ubúdiyyah) adalah tunduk dan patuh, di mana hanya Allah vang berhak disembah
sebagai Tuhan oleh seluruh makhluk Menurut Ibnu manzhur, ibadah adalah ketaatan,
dan beribadah adalah menghinakan diri serta menunjukkan kepatuhan. Di dalam Al-
Quran Allah swt. berfirman, mengisahkan tentang Fir'aun yang artinya:

...Padahal kaum mereka (bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri
kepada kita. (Al-Mu'minûn: 47)

Maksud menghambakan diri (abiduna) pada ayat di atas adalah merendahkan diri.
Barang siapa yang merendahkan diri di hadapan seorang raja maka sama saja ia
menghambakan diri kepada sang raja. Ibnul Anbari pun juga mengatakan bahwa
seseorang dikatakan menghamba jika ia patuh kepada sang tuan dan berserah diri di
hadapannya serta selalu menjalankan perintahnya.
Di dalam kitab Syarh Fâtihatul Kitâb, Ibnul Qayyim menuliskan bahwa ibadah itu
sebenarnya menghimpun dua faktor, yaitu puncak rasa cinta, dan puncak ketundukan
serta kepatuhan sekaligus. Thariq mu'abbad berarti jalanan yang menurun (mudzallal).
Jadi, beribadah adalah ketundukan dan kepatuhan.
Ibadah Mensalehkan Pribadi Muslim dan Menyebabkan Kecintaan Allah
Seorang muslim dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, yang mana hal itu
merupakan wujud ibadah kepada Allah, hendaknya tidak memercayai bid'ah dalam
agama ini, tidak melakukan dosa besar, memakan barang haram, tidak menyerang sesama
muslim dan menjaga lisan serta tangannya dari menganggu kehormatan dan harta kaum
muslimin. Hendaklah seorang muslim senang sesama muslim dengan penuh kepedulian,
terlebih lagi kepada para pemimpin umat.
Dengan semua itu maka akan tampaklah kesalehan dalam diri, dan kecintaan
Allah pun akan tercurah kepadanya. Sebab Allah mencintal kebaikan dan orang yang
mengerjakannya, serta menjauhi keburukan dan orang yang mengerjakannya.
Seorang muslim yang saleh akan melaksanakan perintah wajib dengan segera. Dia
juga dengan senang hati melakukan perbuatan sunnah apabila mampu, bahkan merasa
sedih jika kehilangan kesempatan mengerjakannya.
Seorang muslim yang saleh akan meninggalkan perkataan dan perbuatan apa pun
yang tidak bermanfaat. Dia menghindari takalluf, yaitu amalan atau pantangan yang
sebenarnya tidak diperintahkan ataupun disunnahkan.
Seorang muslim yang saleh akan konsisten mendirikan shalat lima waktu
berjamaah. Dia menjauhi ghibah atau membicarakan crang lain. Dia pun memperlakukan
seluruh umat sebagaimana memperlaku- kan dirinya sendiri, baik dalam hal yang
disenanginya maupun hal yang dibencinya. Dia juga bersegera melakukan kebajikan,
berlomba mengerjakan perbuatan baik dan segala bentuk ibadah. la adalah sosok yang
sering berdiam diri, lembut perangainya, merendah kepada sesama mukmin dan bersikap
tangguh di hadapan orang yang suka menyombongkan diri.
Seorang muslim yang saleh tidak akan berdebat dalam urusan kebatilan serta
tidak mau tawar-menawar dalam urusan agama. Dia tidak akan membenci kebenaran
sekalipun bertentangan dengan dirinva sendiri atau jika dirinya dalam kondisi yang
sangat tidak mendukung. Begitu juga dia tidak akan menyukai kebatilan sekalipun
kebatilan itu mendukungnya maupun jika dirinya dalam kondisi yang memungkinkan
untuk itu.
Seorang muslim yang saleh tidak mengharap pujian dari crang yang
menyenanginya, dan siap menerima nasihat dari orang yang membencinya. Baginya,
pujian dan kritikan memiliki tempat yang sama di dalam hati. Dia menyadari dan
menahan diri dari hal-hal yang membahayakan, serta tidak terburu-buru mengejar suatu
manfaat untuk diri sendiri. Apa yang tersembunyi dari dirinya jauh lebih baik daripada
apa yang tampak. Dia selalu siap menerima rintangan dari orang lain, bersabar dalam
menghadapi gangguan mereka, serta dapat menempatkan diri. Dia tidak turut dalam
perkumpulan pelaku bid'ah demi menjaga diri dari syubhat yang ia khawatirkan akan
merasuki- nya atau akan membalikkan hatinya.
Seorang muslim yang saleh memahami bahwa setiap muslim memiliki hak yang
harus ditunaikan untuk saudaranya. Hak-hak sesama muslim adalah sebagai berikut.
a. Mengucapkan salam ketika bertemu.
b. Menjawab saat dipanggil dan memenuhi undangannya.
c. Mendoakannya di saat bersin.
d. Menjenguknya ketika sakit.
e. Melayat jenazahnya ketika wafat.
f. Menepati janji kepada saudaranya.
g. Menasihatinya jika dimintai nasihat.
h. Menjaga nama baiknya dari ghibah.
i. Menginginkan kebaikan bagi saudaranya sama seperti kebalka untuk dirinya
sendiri.
j. Membenci keburukan atas saudaranya sama seperti keburukan atas dirinya
sendiri.
k. Berbaik sangka (husnuzhan).
l. Mendoakan ampunan dan kesalehan untuknya.
m. Menjaga rahasianya.
n. Membantunya tatkala dibutuhkan.
o. Membimbingnya di saat kesusahan.
p. Menjaga keluarganya tatkala bepergian.
q. Bersikap lembut kepadanya jika diberikan beban.
r. Memaafkannya jika ia meminta maaf.
s. Memberikan pinjaman jika ia memintanya.
t. Memenuhi haknya tanpa memperlambatnya.
u. Merendahkan hati kepadanya serta tidak merendahkannya
v. Menghargai dan memberikan imbalan kepadanya.
w. Mendengar perkataannya dan memerhatikannya.
x. Tidak menzaliminya serta tidak menelantarkannya.
Keimanan adalah Amal Saleh
Keimanan seseorang termanifestasi pada amal saleh yang dilakukannya,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullab saw. Bersabda yang artinya:
“Keimanan terdiri atas 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabangnya wang paling utama
adalah perkataan lá ilâha illallah, dan cabangnya yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan di jalanan. Dan aca malu ialah cabang dari keimanan”. (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Ash-Shiddigi menuliskan dalam kitab Dalil Al-Fatihin yang merupakan syarah
dari kitab Riyâdhush-Shálihin bahwa angka tersebut dimaksudkan untuk
mengindikasikan jumlah yang banyak. Pokok dari setiap cabang keimanan itu sebenarnya
adalah penyempurnaan lwa dengan kesalehan demi kebaikan di akhirat. Yang demikian
itu bisa dicapai dengan meyakini yang haq serta konsisten dalam beramal.
Sementara itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menuliskan dalam kitab Fathul
Bari yang merupakan syarah kitab Shahih Bukhari bahwa cabang-cabang keimanan
tersebut terdiri atas amalan hati, lisan, dan anggota badan.
Cabang keimanan yang berupa amalan hati adalah dalam bentuk kepercayaan dan
niat yang terdiri dari 24 cabang, yaitu beriman kepada Allah, termasuk beriman kepada
dzat dan sifat-sifat-Nya, tnenauhidkan-Nya di mana tidak ada satu pun yang serupa
dengan- Nya, serta meyakini bahwa selain Allah adalah huduts (makhluk yang tidak
azali); beriman kepada malaikat Allah; beriman pada kitab-kitab Allah; beriman kepada
para rasul Allah; beriman pada takdir yang baik maupun yang buruk; beriman pada hari
akhir, termasuk meyakini adanya pertanyaan kubur, hari kebangkitan, penghimpunan,
hisab, timbangan amal, titian (shirath), surga, dan neraka; mencintai Allah dan mencintai
serta membenci sesuatu karena-Nya; mencintai Nabi saw., bersikap takzim kepadanya,
berselawat, dan mengikuti sunah- sunahnya; ikhlas, termasuk di dalamnya meninggalkan
sifat riya' dan munafik; tobat; takut (khauf); pengharapan (raja'); syukur; sabar ridha
terhadap takdir Allah; tawakal; berkasih sayang; rendah hat (tawadhu); menghormati
yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda; meninggalkan sifat sombong (takabur);
ujub; hasad; dengki dan meninggalkan amarah.
Adapun cabang keimanan yang berupa amalan lisan terdiri atas 38 cabang, yaitu
di antaranya melafalkan kalimat tauhid; tilawah Al-Quran; menuntut ilmu dan
mengajarkannya; berdoa; berzikir istighfar; dan menjauhi omongan kosong.
Sedangkan cabang keimanan yang berupa amalan anggota badan terdiri atas 38
cabang. 15 di antaranya khusus bersifat fisik, enam di antaranya terkait dengan kerabat,
tujuh di antaranya berkaitan dengan masyarakat umum, dan selainnya terkait dengan hal-
hal ke islaman umum.
15 cabang yang khusus bersifat fisik yaitu menyucikan diri (thaharah) baik secara
lahir maupun batin; menghindari najis; me- nutup aurat; melaksanakan shalat baik yang
wajib maupun sunnah; menunaikan zakat; membebaskan budak; menyedekahkan harta;
memberi dan membagi makanan; menjamu tamu; melakukan shaum baik yang wajib
maupun sunnah; menyelamatkan diri demi agama; berhijrah dari negeri kekafiran;
menepati nazar; berhati-hati bersumpah; dan melaksanakan kafarat.
Adapun 6 cabang yang berkaitan dengan kerabat yaitu menjaga diri dengan
menikah; memenuhi hak-hak keluarga; berbakti kepada kedua orang tua; menjauhi sifat
durhaka kepada orang tua; mengembu pendidikan anak (tarbiyatul aulad); dan menjaga
silaturahmi.
Sedangkan 7 cabang yang berkaitan dengan masyarakat um yaitu menjadi
pemimpin yang adil; melakukan monitor terhadap jamaah; menaati ulil amri;
menciptakan perdamaian antarmasyarakat memerangi pemberontak; tolong menolong
dalam kebaikan, dan amar ard nahi mungkar.
Cabang lainnya adalah menegakkan hukum had, jihad; ribath, emenuhi amanah;
membayar utang, memuliakan tetangga dan berinteraksi yang baik; menghimpun
kekayaan dari yang halal, mem belanjakan harta sesuai dengan haknya, meninggalkan
sifat boros mubadzir) dan berlebihan (israf), menjawab salam, mendoakan sese rang yang
bersin; melindungi manusia dari marabahaya, menjauhi nda gurau; dan menyingkirkan
ganggian dari jalanan.
Ajaran Islam yang syamil mutakamil (komprehensif dan menye ) mencakup
semua amal perbuatan seorang hamba dalam ke idpannya. Dengan begitu, seluruh
kehidupan seorang muslim adalah badah. Tentang hal ini Allah swt. berfirman:
Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan Semesta Alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah). (Al An'dm: 162-163)
Segala hal yang terdapat dalam kehidupan seorang muslim seperti waktu,
kekuatan, dan kekayaan, semuanya merupakan anugerah dar Allah supaya digunakan
untuk menyembah-Nya. Kelak, seseorang Ma dimintai pertanggungjawaban atas semua
anugerah itu. Allah wt, berfirman:
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabannya. (Al-lrd': 36)
Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam fimidzi dari Abu
Barzah Al-Aslami: “Di hari kiamat nanti, semua hamba akan tetap berdiri sampai di-
tanya tentang bagaimana ia menghabiskan umurnya, bagaimana ilmunya dipergunakan,
bagaimana ia mendapatkan kekayaannya dan bagaimana ia membelanjakannya, serta
bagaimana ia menggunakan anggota badannya”. (HR. Tirmidzi. Beliau menaatak hadits
ini hasan sahih. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dan lain-lain)
Dengan ini, setiap muslim hendaklah menjadikan seluruh umur ilmu, kekayaan,
dan semua anggota badannya sebagai tiket untuk masuk surga.
Seorang muslim wajib meyakini bahwa dunia adalah milik Allah dan Allah telah
mengatur semua urusan dunia ini dengan sebaik baiknya. Seorang muslim juga harus
meyakini bahwa istiqamah dalam syariat Allah akan membawa kehidupan menuju
kebaikan, dan bahwa keluar dari syariat serta manhaj-Nya akan menyebabkan dunia
menjadi rusak. Oleh sebab itu, seluruh penganut agama Allah, yakni umat nabi
Muhammad saw. seharusnya tidak membiarkan orang-orang kafir dan zalim menebar
kerusakan di muka bumi. Mereka hendaklah memanfaatkan sumber daya bumi tanpa
melibatkan orang-orang kafr yang tidak memahami aturan Allah, supaya segala sumber
daya itu dimanfaatkan untuk ketaatan kepada Allah swt., bukannya untuk maksiat
menentang perintah Allah. Di dalam Al-Quran Allah swt berfirman:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan
itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu. (Al-Anfål: 60)

Sahihul Ibadah: Shalat dengan Benar


Agar ibadah shalat berlangsung secara benar dan sempurna maka seorang muslim
Saat berwudu, seorang muslim hendaklah memastikan bahwa yang digunakan adalah
wadah air yang suci, dan air yang dipakai sua serta mensucikan. Rukun wudu dimulai
dengan berniat di dalam hati, lalu membasuh wajah dari ujung rambut hingga ujung dan
sela-sela janggut, termasuk permukaan antara telinga dan janggut, kemudian
membersihkan kedua tangan sampai kedua siku, mengusap kepai dan membasuh kedua
kaki sampai mata kaki.
Sedangkan sunnah wudu di antaranya adalah mengucapkan basmalah, membasuh
kedua telapak tangan, berkumur-kumur, menghio air lewat hidung dan mengeluarkannya
kembali, membersihkan sela- sela janggut, membersihkan kedua telinga, membersihkan
setiap ang gota wudu sebanyak tiga kali, mendahulukan anggota bagian kanan, dan
membersihkan sela-sela jari kaki.
Adapun cara mandi junub dan mandi secara umum adalah membaca basmalah
terlebih dahulu, mengalirkas air ke tangan sebanyak tiga kali sebelum menciduk air dari
wadah, meberskkan kemalisan sambil melakukan istinja, berwudu secara sempurna
seperi akan shalat, membersihkan kedua kaki, kemudian mengguyur seluruh badan
dengan air dimulai dari sebelah kanan das menbersikan sela sela rambut
Sebelum melaksanakan shalat, seorang muslim hendaklah memenuhi syarat-yarat
sahnya, yaitu hadan yang suci, pakalas yang suci, tempat shalat yang suci, menutap aurat,
menghadap kiblat, den telah memasuki waktu shalat.
Sedangkan ketika melaksanakan shalat, seorang mudlis hendaklah memenuhi
rukun-rukunnya, yaitu membaca niat das takbiratul ihram, membaca surat Al-Fatihah,
rukuk dengan tumakninah, berdiri dari ruku tumakninah, bersujud dengan tumakninah,
duduk di antara dua sujud, tasyahhud akhir, membaca selawat kepada Nabi, dan salam.
Adapun sunnah shalat di antaranya adalah mengangkat kedua tangan saat
takbiratul ihram, yaitu menyejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak, di mana
posisi jempol sejajar dengan ujung daun telinga dan jari-jari lainnya sejajar dengan daun
telinga, lantas menyedekapkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada, membaca
doa iftitah, membaca taawudz, membaca satu surat ataugun sebagian ayat Al-Quran,
mengangkat kedua tangan saat bertakbir untuk rukuk dan bangkit dari rukuk, membaca
tasbih ruink dan sujud, serta tasyahhud awal.
Seorang muslim juga hendaklah tahu bahwa hukumaya makruh melakukan shalat
bagi orang yang haqin, hagib, dan haziq. Haqin adalah orang yang menahan kencing,
hagib adalah orang yang menahan buang air besar, dan haziq adalah orang yang memakai
alas kaki terlalu sempit. Mereka makruh melakukan shalat karena ketika kondisi tersebut
menjadikan hati masygul. Hal ini juga berlaku bagi orang yang sedang marah, berduka,
atau yang hatinya bimbang karena makanan sudah tersaji. Ibnu Abbas r.a. mengatakan
bahwa khusyuk dalam shalat adalah melaksanakan shalat tanpa menyadari apa yang ada
di kanan dan kirinya. Utsman r.a. permah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Jika
seorang muslim telah memasuki waktu shalat wajib, kemudian ia menyempurnakan
wudhunya, menyempurnakan khusyuk dan rukuknya maka semua itu akan menjadi
penghapus semua dosa yang telah lalu selama bukan termasuk dosa besar dan hal itu
berlangsung seumur hidupnya”. (HR. Muslirm)
Sahihul Ibadah: Menginfakkan Sebagian Rezeki yang Allah Berikan
Rezeki dari Allah begitu luar biasa dan banyak. Ada rezeki berupa harta, akhlak
yang baik, rezeki keislaman, kesehatan, kekuasaan, waktu luang, anak-anak, dan
keluarga. Harta-harta tersebut di dalamnya ada hak yang harus disalurkan selain zakat
wajib. Hak-hak antara sesama muslim jumlahnya sangat banyak dan tidak hanya
kewajiban zakat saja. Apabila hak-hak ini tidak ditunaikan maka akan meng akibatkan
dosa. Allah swt. berfirman:
dan (mereka) menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka
secara sembunyi atau terang-terangan. (Ar-Ra'du: 22)
Ketika kita menyalurkan rezeki yang diberikan oleh Allah kepada orang yang
berhak menerimanya maka kita laksana seorang perantara yang menyalurkan hak-hak
manusia sesuai yang telah Allah tentukan bagiannya, dan hal itu bernilai ibadah.
Diriwayatkan dari Rafi bin Khadij r.a. berkata bahwa dia mendengar Rasulullah
saw. bersabda: “Seorang amil zakat yang melakukan tugasnya dengan jujur dan ikhlas
laksana orang yang berperang di jalan Allah sampai ia kembali ke rumahnya” (HR.
Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah)
Hadits ini mencakup orang-orang yang turut menghimpun harta zakat dan harta
kaum muslimin secara umum. Karena setiap muslim pada hakikatnya adalah pekerja
yang bekerja untuk Allah yang telah memberi berbagai kenikmatan untuk mereka.
Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa melepaskan suatu
kesulitan dari seorang muslim maka Allah akan melepaskan suatu kesulitan baginya pada
hari kiamat Barang siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang kesulitan al dunia
maka Allah akan mudahkan ia di dunia dan akhirat. Barang lapa menutup aib sesama
muslim di dunia maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu
membantu seorang hamba selama dia selalu membantu saudaranya.” (HR. Muslir
Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim)
Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah saw, bersabda:
“Sesungguhnya Allah menyiapkan segolongan makhluk-Nya untuk membantu kebutuhan
manusia. Banyak manusia berbondong- bondong menuju mereka untuk memenuhi
kebutuhannya. Mereka itulah yang akan selamat dari siksa Allah”. (HR. Thabrani dan
Ihru Hibban)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasul saw. bersabda “Sesungguhnya Allah
mengkhususkan nikmat-Nya kepada segolongan kaum untuk memberi manfaat bagi
kaum muslimin. Selama mereka tetap memberdayakan nikmat tersebut maka Allah akan
tetap menjaga nikmat tersebut untuk mereka. Adapun jika mereka malah menghalangi
nikmat tersebut dari kaum muslimin maka Allah akan mencabutnya dan mengalihkannya
kepada kaum lainnya”. (HR. Baihagi)
Nikmat Allah yang harus disedekahi tidak hanya terbatas pada harta benda. Hal
ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw “Setiap muslim wajib bersedekah. Ada
sahabat yang bertanya "Bagaimana jika tidak mampu melakukannya?" Rasul menjawab:
hendaklah ia bekerja dengan tangannya untuk manfaat dirinya sendiri serta untuk
bersedekah. Sahabat itu bertanya lagi, "Bagaimana jika ia tidak mampu?" Beliau
bersabda, "Hendaknya ia membantu orang yang kesusahan." Kemudian sahabat itu
bertanya lagi, "Bagaimana jika ia tidak mampu mengerjakannya?" Beliau menjawab,
Hendaknya ia mengajak kepada kebajikan dan kebaikan, Kemudian ditanyakan lagi,
"Bagaimana jika ia tidak melakukannya?" Rasulullah menjawab, "Hendaknya ia menahan
diri dari berbuat buruk, karena itu adalah sedekah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits riwayat Al-Ashbahani dan Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin
Umar r.a. dikisahkan bahwa seorang pria mendatangi Rasulullah saw. dan berkata,
"Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah?" Beliau menjawab,
"Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, dan
amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah berbagi kebahagiaan kepada sesama
muslim, meringankan bebannya, atau membayar utangnya, atau memberinya makanan di
kala lapar. Dan sungguh apabila aku mendampingi saudaraku untuk membantunya, itu
lebih baik daripada iktikaf di masjidku ini. Dan barang siapa yang dapat menahan
amarahnya kendati ia dapat saja menumpahkan amarahnya semaunya maka Allah akan
mengisi penuh hatinya dengan keridhaan di hari kiamat. Dan barang siapa yang
mendampingi saudaranya untuk membantunya hingga tuntas maka kelak Allah akan
menguatkan kedua kakinya di suatu hari yang semua kaki manusia menjadi tunduk lemas
(hari kiamat).
Menurut sebagian ulama, suatu perbuatan dapat dikategorikan kebaikan jika
memenuhi tiga hal, yaitu ketika pelakunya menganggap kecil apa yang dikerjakannya
(tashghir), bersegera melakukannya (ta’jil) dan merahasiakannya (sitr). Untuk itu, para
ulama menganjurkan upaya mengeluarkan ratusan bahkan ribuan harta untuk zakat
sedekah di luar kewajiban.
Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a.pernah berkata, "Bagiku menyambung tali
silaturahmi dengan sesama saudara ke tempat mereka lebih baik ketimbang bersedekah
dua puluh dirham."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa seorang pria mengeluhkan sifat keras
hatinya kepada Rasulullah, lalu Rasulullah saw. Bersabda: “Belailah kepala (kasihilah)
anak yatim, dan berilah makanan orang miskin. (HR. Ahmad).
3. Akhlak yang Kokoh (Matinul Khuluq)
Makna Matinul Khuluq

Secara bahasa, matin berarti tangguh dalam segala hal lagi kuat. Sedangkan
khuluq berarti tabit. Ibnu manzur menuliskan didalam kitab lisan Al-arab bahwa hakikat
akhlak adalah karakter batin manusia, substansi dan sifat khusus sebagai mahluk lahirlah
yang tampak dari luar. Dengan begitu, arti kata matinul khuluq adalah sifat dan perangai
baik manusia tangguh dan kuat yang tidak akan goyah oleh kejadian apa pun.
Akhlak adalah kepribadian manusia, entah yang baik maupun yang buruk. Allah
telah menciptakan nabi Muhammad dengan kepribadiannya lalu Allah menyempurnakan
dan memperindah kepribadian Allah SWT. Befirman
Dan sesungguhnya kamu yang benar-benar berbudi pekerti yang agung (Al-
Qalam:4)
Juga sebagaimana doa Beliau saw: “Ya Allah sebagaimana engkau telah
memperindah penampilanku maka perindah akhlakku”. (HR. Baihaqi)
Maksud dari doa diatas adalah permohonan agar dianugrahi akhlak yang indah
sempurna dan tidak akan lekang. Allah telah mengistimewakan dan memilih Rasulullah
dari sekian mahluk. Allah SWT berfirman:
Dan Allah menentukan siapa yang dikehendakiNya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian) (Al-baqarah:105)
Rahmat Allah tidak dapat dicapai dengan pemahaman akal, dan sesungguhnya
Rasulullah adalah rahmat dari-Nya bagi seluruh makhluknya.
Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam (Al-Anbiya’ 107)

Muslim Adalah Pribadi Yang Tangguh Dan Berakhlak Rabbani


Seorang muslim adalah sosok pribadi yang tangguh dan berakhlak rabbani. Tiada
yang mereka harapkan kecuali Allah dan negeri akhirat. Tujuan mereka adalah Allah dan
keridhaan-Nya. Diriwayatkan dari fbnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Barang siapa yang kesibukannya hanyalah kesibukan akhirat niscaya Allah akan
menyelesaikan kesibukan dunianya. Dan barang siapa yang hidupnya dipenuhi berbagai
kesibukan dunia maka Allah tidak peduli ia akan binasa di mana saat melakukan
kesibukan dunianya.”(HR. Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:”Barang
siapa menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan
urusannya, menjadikan kemiskinan di antara kedua matanya, dan tidak memeraleh bagian
dunianya kecuali apa yang telah dituliskan untuknya. Sedangkan barang siapa
menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya maka Allah akan mengumpulkan semua
urusannya, memenuhi hatinya dengan kekayaan, dan dunia mau tidak mau akan
mendatanginya.” (HR. Ibnu Majah)
Al-Baihaqi di dalam kitab Zuhud menambahkan redaksinya dengan: Dan tidaklah
seorang hamba menghadap Allah dengan sepenuh hatinva kecuali Allah akan menjadikan
hati orang-orang beriman condong kepadanya dengan penuh rasa cinta dan kasih, dan
Allab lebih dekat kepadanya untuk mengantarkan segala kebaikan.
Sungguh umat ini memang umat rabbani yang tiada mengharapkan apa pun
kecuali Allah dan akhirat. Seumur hidup mereka terbi berzikir kepada Allah, karena
Allah adalah tujuan mereka dan Ras lullah teladan mereka. Allah swt. berfirman:
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu
lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (Al-Fath: 29)
Mungkin saja ada yang berkata bahwa para sahabat bisa seperti itu karena mareka
hidup di zaman Rasulullah dan mereka hidup bersama beliau. Adapun kita sekarang
berada di zaman kerusakan sehingga sulit untuk mengikuti akhlak dan perilaku mereka.
Kepada orang yang berkata seperti itu maka jawabannya adalah: Agama ini
memang dibawa oleh Nabi saw. untuk seluruh makhluk dan seluruh zaman. Allahlah
yang menjaganya dan menjamin untuk menjaganya. Dan fitrah makhluk itu tidak akan
berubah. Allah swt. berfirman:
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menunut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (Ar-Rum 30)
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Al-Hajj: 78)
Kalaupun pada zaman sekarang terjadi berbagai fitnah, bencana, dan kerusakan
yang merajalela, hukum agama tetaplah sama dan akhlak seorang muslim juga tidak akan
berubah. Umat ini justru harus semakin memegang teguh agamanya sehingga kerusakan
yang ada teratasi dan kesalehan serta kebaikan tersebar di tengah para hamba Allah.
Karena Rasulullah Saw, telah bersabda: “Beribadah pada masa penuh fitnah bagaikan
berhijrah kepadaku. (HR. Muslim)
Abu Umayyah Asy-Sya'bani pernah bertanya kepada Abu Tsa'labah Al-Khusyani
r.a. tentang ayat 105 surat Al-Ma'idah yang artinya berbunyi,"Hai orang-orang yang
beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat
kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali
semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamù kerjakan”. Lalu
Abu Tsa'labah menjawab, "Demi Allah aku pun telah menanyakannya kepada seseorang
yang lebih utama, aku telah menanyakannya kepada Rasulullah. Beliau lalu menjawab,
"[Maksud dari ayat tersebut adalah] laksanakanlah hal yang makruf (kebajikan) dan
berhentilah dari kemungkaran walaupun kalian menyaksikan keadaan di mana kekikiran
selalu dituruti, hawa nafsu selalu diikuti. dunia selalu membayangi, dan semua orang
mengagumi pendapatnya sendiri. Lindungilah dirimu sendiri serta janganlah engkau
hiraukan kalangan awam. Karena sungguh, setelah zaman kalian ini akan datang zaman
kesabaran. Hari-hari di saat itu bagaikan menggenggam bara api. Siapa pun orang yang
beramal saat itu pahalanya setara amalan lima puluh orang." Kemudian ada yang
bertanya, "Wahai Rasulullah, setara pahala lima puluh orang dari kami ini atau dari
mereka? Rasulullah menjawab, setara lima puluh orang dari kalian ini” (HR. Abu Dad,
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hal yang perlu diketahui di sini, kepribadian Nabi Muhammad dan para sahabat
itu tidak menjadi kekhususan bagi mereka saja, tetapi merupakan kepribadian
ibadurrahman (para hamba Allah yang Maha Pengasih) secara umum yang mesti
dikenakan di setiap masa Hal ini adalah keniscayaan bagi seluruh individu demi
menjadikan Rasulullah sebagai qudwah bagi dirinya.
Kebaikan Akhlak Seseorang Tergantung Pada Usahanya
Imam Al-Ghazali menuliskan di dalam kitabnya, Ihyd' Ulimi Din pada bagian
Riyadhatun Nafs: “Akhlak yang baik merupakan sifat sang penghulu para nabi, amalan
terbak para shiddigin, separuh agama, buah perjuangan orang-orang bertakwa dan
merupakan latihan bagi para ahli ibadah. Sedangkan akhlak yang buruk ialah racun yang
mematikan, penghancur yang membinasakan, kenistaan yang mencoreng, kehinaan yang
nyata, dan kekotoran yang hanyamenjauhkan diri dari sisi sang Rabb jagat raya. Akhlak
yang buruk menggiring pelaku ke jalan setan, di mana berbagai pintu terbuka menuju
neraka yang menyala-nyala dan membakar sampai ke hati
Akhlak yang buruk juga merupakan penyakit hati dan jiwa yang dapat enusak
kehidupan abadi. Penyakit fisik yang hanya menyerang fisik saja tidak ada artinya bila
dibanding dengan penyakit hati yang dapat merusak kehidupan abadi. Untuk itu,
sebagaimana perhatian para dokter angat tinggi dalam mengatur teknis pengobatan untuk
badan kendati penyakitnya hanya mengganggu kehidupan fana maka seharusnya per-
hatian untuk mengatur pengobatan penyakit hati yang dapat merusak kehidupan kekal
harus lebih diutamakan. Jenis pengobatan semacam ini wajib dipelajari oleh setiap orang
ya satu hati pun yang bebas dari penyakit yang jikalau dibiarkan maka akan menumpuk,
bertindihan dan menggunung. Setiap orang harus mahir menangani penyakit hati,
memahami berbagai penyebabnya, lalu menyingsingkan lengan baju untuk bersiap
mengobati dan memperbaikinya. Mengobati inilah yang dimaksud dengan menyucikan
jiwa dalam firman Allah surat Asy-Syams ayat 9, "Sesungguhnya beruntunglah orang
yang menyucikan jiwa itu." Orang yang tidak peduli terhadap masalah ini oleh Allah
disebut sebagai orang yang mengotori jiwa, sebagaimana tersebut di dalam surat Asy-
Syams ayat 10, "Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."
Rasulullah saw. menegaskan bahwa orang yang paling dekat kedudukannya
dengan beliau besok di hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Di dalam riwayat yang lain Rasulullah
juga bersabda: “Aku menjamin rumah di pekarangan surga bagi mereka yang men- jauhi
berdebat sekalipun dia benar. Dan rumah di pertengahan surga bagi mereka yang
menjauhi kedustaan sekalipun dia hanya bercanda Serta rumah di surga tertinggi bagi
mereka yang memperbagus akhlaknya. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Masuk surga adalah murni karena rahmat Allah, adapun deraiat- derajat surga
ditentukan oleh usaha dan akhlak. Sejauh mana akhlak mulia ini diamalkan maka itulah
yang menentukan derajat perteman annya di surga dengan Rasulullah. Siapa yang
berusaha mendekat sifat-sifat Rasulullah sebagai qudwah saat di dunia maka dengan hal
itu ia akan melesat menuju surga tertinggi bersama para nabi dan shiddiqin, dan ia akan
mendampingi mereka untuk selama-lamanya Kualitas akhlak seseorang dan
kesesuaiannya dengan sifat Rasulllah saw. yang menentukan kedekatan dan posisi
seseorang di surga bersama Rasulullah.
Nabi Muhammad saw. telah mencapai kesempurnaan akhlak sehingga meraih
posisi tertinggi di akhirat. Akan halnya manusia selain belia mereka berbeda-beda
kesempurnaan akhlaknya. Siapa yang met dekati akhlak Rasulullah maka dialah yang
akan bisa berdekatan dengan Rasulullah di akhirat kelak. Hal ini menghajatkan usaha dan
perjuangan.
Akhlak adalah Rezeki dari Allah, dan Rezeki Menuntut Usaha untuk Meraihnya
Akhlak termasuk bagian dari rezeki Allah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas'ud r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda”Sesungguhnya Allah telah
membagi akhlak kalian sebagaimana Dia Juga yang membagi rezeki kalian.
Sesungguhnya Allah memberikan dunia ini baik kepada orang yang Dia cintai maupun
yang tidak dicintai-Nya. Namun Allah tidak akan menganugerahkan agama ini kecuali
kepada orang yang Dia cintai. Maka barang siapa diberikan Allah nikmat agama berarti
Allah telah mencintainya. Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, seorang hamba
bukanlah termasuk muslim sampai hatinya dan lisannya juga berserah diri kepada Allah.
Dan dia belumlah dikatakan sebagai mukmin sampai tetangganya merasa aman dari
gangguannya. Aku (Abdullah bin Mas'ud r.a.) pun bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang
dimaksud mengganggunya?" Beliau menjawab, "Berbuat keji dan zalim kepadanya."
Apabila seseorang memeroleh harta dari yang haram lalu dia berinfak dengan harta itu
maka harta itu tidak akan diberkahi. Begitu pula jika dia bersedekah maka tidak akan
diterima sedekahnya. Bahkan apabila harta itu ditinggalkannya pun malah akan
menambah bebannya di neraka. Karena sesungguhnya Allah tidaklah menghapus ke-
jahatan dengan kejahatan lainnya, namun kejahatan dihapus dengan kebaikan. Suatu
kotoran tidak akan membersihkan kotoran lainnya (HR. Ahmad)
Akhlak vang baik merupakan buah perjuangan para muttagin kedisiplinan ahli
ibadah, pergulatan dengan setan, dan mengalahkan hawa nafsu demi menggapai
keridhaan Allah. Rasulullah saw. bersabda kepada Jarir bin Abdillah yang saat itu adalah
raja bagi kaumnya sebelum ia masuk Islam, "Sesungguhnya engkau telah diperindah oleh
Allah keadaanmu, karena itu perindahlah akhlakmu. (HR. Al-Khare'ithi dalam kitab Al-
Makarim, dan Ad Daghuli dalam kitab Al-Adab.
Nabi saw. juga bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba dengan akhlaknya yang
baik betul- betul akan meraih pelbagai derajat agung dan kedudukan mulia di akhirat
kelak, kendati dia lemah dalam ibadahnya. (HR. Thabrani dengan sanad jayyid)
Putra Lukman Al-Hakim pernah bertanya kepada ayahnya, "Wahai ayahku, apa
satu hal yang baik pada manusia?" Lukman menjawab, "Agamanya." Kemudian
ditanyakan lagi, "Bagaimana kalau dua hal? Lukman menjawab, "Agama dan harta
kekayaan." Kemudian ditanya kan lagi, "Bagaimana kalau tiga hal?" Ayahnya menjawab,
Agama, kekayaan, dan rasa malu." Kemudian ditanyakan lagi, "Bagaimana kalau empat
hal?" Ayahnya berkata, "Agama, kekayaan, rasa ma, dan akhlak yang mulia." Kemudian
ditanyakan lagi, "Bagaimana kalau lima hal?" Ayahnya berkata, "Agama, kekayaan, rasa
malu, akhlak mulia, dan dermawan." Kemudian ditanyakan lagi, "Bagaimana kalau enam
hal?" Lukman pun menjawab, "Wahai anakku, jika lima hal ini dihimpunkan dalam diri
maka ia akan menjadi suci, menjadi wali di sisi Allah, membebaskan dari setan.”
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Setiap bangunan memiliki fondasi, dan fondasi Islam
ialah akhlak mulia.
Atha' juga berkata, "Tidaklah mulia seseorang tanpa akhlak galia, tiadalah
seorang pun yang mencapai kesempurnaan kecuali Al- Musthafa saw. Maka makhluk
yang paling dekat kepada Allah adalah yang menempuh tuntunan beliau dengan akhlak
yang mulia.
Makna dari Akhlak Mulia
Imam Al-Ghazali menuliskan dalam kitab Ihya' 'Ulimid-Din a vang dimaksud
dengan rupa (khalqu) adalah penampilan luar, danokan akhlak (khuluq) adalah
penampilan batin. Demikian itu ana manusia tersusun dari tubuh yang dapat dilihat oleh
indra renglihatan, dan dari ruh serta jiwa yang dikenali oleh mata batin. Setiap keduanya
memiliki citra dan bentuk, baik itu yang buruk maupun yang elok. Ruh yang bisa dikenali
lewat batin lebih bernilai letimbang jasad yang dilihat dengan indra penglihatan. Karena
itulah Allah mengagungkan kedudukan ruh dengan melekatkannya kepada dini-Nya
sendiri sebagaimana firman Allah swt.:
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, "Sesung- guhnya Aku
akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadanya." (Shâd: 71-72)
Ayat di atas, Allah menegaskan bahwa jasad berkaitan erat dengan tanah liat,
sedangkan ruh berkaitan erat dengan Allah Dalam hal ini, pengertian ruh dan jiwa adalah
sama.
Akhlak adalah definisi tentang dinamika dalam lubuk jiwa, yang menjadi sumber
berbagai perbuatan hingga terlaksana dengan mudah dan lancar tanpa perlu berpikir dan
menimbang lagi. Karena dinamika tersebut menjadi sumber berbagai perbuatan mulia
baik dalam pandangan logika maupun syariat maka dinamika tersebut dinamakan akhlak
mulia. Adapun jika yang keluar dari dinamika tersebut adalah perbuatan-perbuatan buruk
maka dinamika yang menjadi sumber tersebut dinamakan akhlak yang buruk
Tentu sebagaimana penampilan luar tidaklah cukup sebatas keelokan kedua mata,
memiliki hidung, mulut, atau pipi, namun harus baik semuanya supaya keelokan
penampilan menjadi sempurna. Demikian pula halnya batin, ia mesti menerapkan empat
perilaku yang semuanya wajib dipenuhi demi kesempurnaan kemuliaan batin. Empat
perkara ini merupakan akhlak-akhlak paling mendasar, sebagaimana dijelaskan oleh
Imam Al-Ghazali, yaitu bijaksana (hikmah), ber (syaja'ah), iffah, dan adil.
Menurut Al-Ghazali, makna bijaksana (hikmah) adalah suatu sifat dalam jiwa
yang berfungsi mengenali benar dan salah dalam setiap perbuatan bebas. Adapun makna
adil adalah sifat dan kekuatan dalan jiwa yang mengendalikan serta mengarahkan amarah
dan nafsu pada lingkup kearifan, yang mengatur cara melepas dan mengekangnya sesuai
koridor tersebut. Sedangkan keberanian maknanya adalah mengondisikan kekuatan
amarah untuk dikendalikan akal sehat baik dalam melepaskannya maupun menahannya.
Adapun iffah adalah mendidik pengaruh nafsu dalam didikan akal sehat dan syaria.
Barang siapa dapat mengatur keseimbangan empat sifat pokok ini maka segala perbuatan
mulia akan terwujud darinya.
Semua kekuatan itu mesti dipenuhi secara seimbang. Siapa pun yang memenuhi
semua hal itu dengan seimbang maka akhlaknya akan baik secara mutlak. Bila yang
terpenuhi hanya sebagian saja maka akhlak seseorang tetap baik, namun dia ibarat orang
yang memiliki wajah indah separuh saja.
Kekuatan akal budi yang prima tecermin dalam sifat bijaksan (hikmah), di mana
Anda dapat dengan mudahnya mengetahul bedaan antara perkataan jujur atau dusta,
antara keyakinan haq deng batil, atau antara perbuatan baik dengan buruk. Jika saja
kekuatan ini dipenuhi dengan baik serta seimbang maka memancarlah bah kearifan.
Kebijaksanaan (hikmah) adalah pangkal akhlak mulia, sebagaimana disebutkan Allah
dalam firman-Nya, "Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia ng banyak. (Al-Baqarah: 269)
Penyalahgunaan kekuatan pikiran untuk tujuan-tujuan yang ter cela dapat disebut
sebagai perbuatan keji (khabats). Adapun peman- atannya secara tidak optimal dapat
disebut sebagai sifat pandir balah). Sifat yang khusus berada dalam pertengahan itulah
yang disebut bijaksana (hikmah).
Selaniutnya adalah 'kekuatan amarah yang tecermin dalam sifat rani (syaja'ah).
Dalam menahan atau melepas amarah itu idealnya dalah sesuai batasan yang dituntut oleh
kebijaksanaan (hikmah). Jika nancaran amarah melewati kewajaran maka disebut nekat
(tahawwur) edangkan jika malah cenderung melemah dan menurun maka disebut
pecundang (jabn, khawar).
Sementara itu, sifat iffah (menjaga kesucian) tecermin pada dorongan syahwat
yang normal dan stabil. Jika dorongan syahwat cenderung bertambah maka disebut liar
(syarah), sedangkan jika cenderung melemah disebut lemah gairah (jumud),
Adapun sifat adil adalah menyetel kekuatan syahwat dan amarah dengan petunjuk
akal dan syariat.
Itulah empat sifat utama yang merupakan pangkal segala perilaku mulia. Selain
keempat sifat itu adalah cabang-cabangnya. Kestabilan kekuatan akal yang berupa ilmu
dan hikmah kebijaksanaan akan menghasilkan kerapihan manajemen, pemikiran
berkualitas dan ber barga, tepat intuisi, serta kecerdasan dalam setiap urusan yang rumit.
Adapun penyalahgunaan batas akal akan menghasilkan perbuatan konspiratif, kelicikan,
dan tipu daya. Sedangkan akal yang kurang dimaksimalkan dapat menyebabkan
kepandiran, kepongahan akal, kebodohan, maupun ketidakwarasan.
Keberanian (syaja'ah) akan menghasilkan kemuliaan, martabat, keluhuran,
kematangan, ketangguhan, mengendalikan amarah, dan kehormatan. Adapun
penyalahgunaan batasnya yang disebut tahawwr (nekat) akan menghasilkan sifat besar
kepala, amukan berlebihan, kesombongan, ujub, dan berlebihan. Sedangkan keberanian
yang kurang dioptimalkan akan menghasilkan kekerdilan jiwa, kehinaan, kepengecutan
diri, dan kerendahan derajat.
Sementara itu, sifat iffah atau kesucian adalah sumber dari murah hati, kesabaran,
toleran, qanaah, wara', kelembutan, kecemerlangan, dan mengurangi ketamakan. Jika
sifat iffah tidak berimbang maka akan menyeret pada sikap ambisius, liar, sembrono,
kekejian, pemborosas ataupun kekikiran, riya, main-main, meremehkan, hasad, dan
dengki kesumat.
Al-Quran telah mengisyaratkan pelbagai akhlak mulia ini ketiks mendefinisikan
orang-orang mukmin, sebagaimana firman Allah swt.:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka
itulah orang-orang yang benar. (Al-Hujurât: 15)
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang
yang khusyuk dalam shalatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna orang-orang yang menunaikan zakat, orang-orang yang
menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela Barang siapa mencari yang di
balik itu maka mereka itulah orang orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang
memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang aka mewarisi, (yakni) yang akan
mewarisi surga Firdaus. Mereka kek di dalamnya. (Al-Mu'minûn: 1-12) 192
4. Jasmani yang Kuat (Qawiyyul Jismi)
Imam Qurthubi ketika menjelaskan makna firman Allah swt ayat 247 Al-Baqarah yang
berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang
luas dan tubuh yang perkasa, “mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, anugerah
jasmani yang dimaksud adalah memiliki kebaikan dan keberanian yang besar, dan bukan
berarti tubuhnya yang besar.
Para ahli psikologi dan filsafat berpendapat: Allah yang Maha Pencipta telah
menitipkan kepada manusia banyak sekali potensi yang terpendam dalam fitrah. Manusia
pun memberdayakan dalam aksinya. Jikalau manusia tidak memberdayakan dalam
perbuatan maka potensi tersebut hanya akan terpendam saja dalam jiwa dan tidak
bermanfaat. Potensi tersebut ada banyak ragamnya; mulai dari kekuatan otot, kekuatan
ruhani, pengetahuan insting, potensi akal, kemampuan emosional, dan berbagai potensi
lainnya.
Kekuatan jasmani tidak hanya badan dan otot yang kuat saja, tetapi seorang
muslim harus melatih dirinya untuk mengeluarkan segala potensi terpendam dalam diri
sebagai amanah dari Allah Sang Pencipta, untuk mengerjakan ketaatan-ketaatan yang
diridhai oleh Allah, dan yang paling utama adalah berjihad, serta melaksanakan semua
kataatan itu di jalan Allah saja.
Melatih Diri untuk Mengeluarkan Potensi
Qawiyyul jismi bukan hanya dilihat dari fisik yang menarik, perawakan yang
baik, badan yang tinggi menawan, atau dari otot yang kekar saja. Karena tidak semua
orang dapat memilikinya. Hal yang memang dimiliki oleh semua manusia adalah
kekuatan yang tersimpan dalam diri. Setiap manusia dapat saling bersaing dalam
menggali potensi terpendam itu serta mempergunakannya dalam perbuatan-perbuatan
baik untuk mewujudkan tujuan hidup yang sentosa.
Nabi Muhammad dan para sahabatnya tidak melakukan eksplorasi kekayaan bumi
ketika mereka sudah berhasil mewujudkan peradaban terbaik yang dikenal oleh sejarah.
Namun mereka lebih mengutamakan menggali potensi diri mereka seluruhnya, sehingga
mampu melakukan segala aksi kebaikan, dan dari situ pula mereka dapat menggali
kekayaan bumi.
Manusia unggul adalah yang memulai perbaikan dirinya sendiri sebelum bergerak
memperbaiki bumi dan juga memberdayakan potensi diri terlebih dahulu sebelum
memberdayakan kekyaan bumi.begitulah yang diperbuat oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Lebih jauh lagi, begitulah Allah menciptakan Rasul-Nya dengan perilaku
tersebut sehingga ia menjadi qudwah bagi orang beriman yang percaya pada beliau.
Seluruh jiwa pun mengikuti perilaku beliau, sehingga raga dan akhlak menjadii
sempurna, dan jiwa pun menjadi saleh demi menyongsong perbaikan masyarakat
Tarbiyah ruhiyah membutuhkan usaha yang istiqamah meskipun sedikit demi
sedikit sehingga akhirnya semua terhimpun secara bertahap menjadi karakteristik
kebaikan, membuat jiwa terkondisikan dengannya dan menjadi suatu karakter.
Kesimpulannya, tarbiyah dilakukan dengan usaha berulang ulang dalam jangka
waktu yang lama, sehinngga jiwa dapat menghasilkan suatu karakter, persis seperti
anggota badan yang bisa melatih kemahiran tertentu.
5. Wawasan yang Luas (Mutsaqqaful Fikri)
Tsa-ga-fa dalam bahasa Arab bermakna al-hadzqu, yakni ke- terampilan dalam
segala pekerjaan, di mana seseorang dikatakan cerdas jika telah mencapai keterampilan
tersebut. Rajulun tsaqfun atau triqfun berarti seseorang yang cerdas pemahamannya, dan
sescorang dikatakan memiliki pemahaman yang cerdas jika cermat terhadap apa yang
dipahami dan juga melaksanakannya. Kecerdasan adalah kecepatan belajar, dan anak
yang cerdas adalah anak yang benar dalam memahami kebutuhannya
Sedangkan al-fikru maksudnya adalah berpikir, yakni memfungsi- kan akal
pikiran dalam nemahami sesuatu. Al-fikru memiliki irisan dengan tafakkur yang artinya
mercnung.
Jadi, Mutsaqqaful Fikri secara umum maknanya adalah kecakapan yang dimiliki
seseorang sehingga mampu memperoleh informasi dan keterampilan yang menjadikanya
mengetahui kebenaran segala sesuatu dan memanfaatkannya. Kecakapan seperti ini
merupakan salah satu produk akal dalam kapasitasnya sebagai garizah yang dengannya
seseorang mampu mcmahami ilmu-ilmu. Akal laksana cahaya yang dilemparkan ke
dalam hati sehingga hati memiliki kesiapan untuk memahami segala sesuatu. Di antara
buah dari akal itu adalah ilmu yang diperoleh dari hasil eksperimen. Puncak dari
kecakapan itu adalah ketika seseorang mengetahui dampak dari segala hal dan mampu
mengendalikan syahwat yang mendorong pada kesenangan instan serta mengekangnya.
Orang yang tidak mampu mengambil manfaat dari garizalı ini sungguh telah
terhalang dari apa yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Allah swt. Bcrfirman
Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan
manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak diperqunakan- nya untuk memahami (ayat-
ayat Allah), dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda lah), dan mereka meipunyai telinga (tetapi) tidak kekuasaan
dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak,
bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang- orang yang lengah. (Al-A'râf. 179)
Allah menjadikan penglihatan dan pendengaran kita sebagai instrumcn untuk
mendapatkan berbagai informasi yang menjadi landasan dan pijakan bagi akal dengan
memfungsikannya. Allah swt berfirman:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati
nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78)
Kalaulah bukan karena pendengaran dan penglihatan maka akal tidak akan
bekerja dan bermanfaat. Kalaulah akal tidak dipergunakan sebagaimana mestinya maka
seseorang tidak layak disebut manusia. Allah swt. berfirman
Dan perumpamaan bagi (penyeru) orang yang kafir adalah seperti
(penggembala) yang meneriaki (binatang) yang tidak mendengar selain panggilan dan
teriakan. (Mereka) tuli, bisu dan buta maka mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah: 171)
Orang kafir tidak bisa memahami segala sesuatu dengan sebenar- nya meskipun
banyak informasi yang datang kepadanya, sebagaimana diimankan oleh Allah swt.

Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; se- dangkan
terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai. (Ar-Rûm: 7)
Orang yang oleh Allah diberi nikmat akal, ketajaman berpikir, dan petunjuk jalan
atas hal yang mereka perselisihkan, orang yang seperti itu apabila menggunakan nikmat
akalnya untuk hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat maka dialah orang berakal.
Dialah orang yang mutsaqqaful fikri. Dialah pribadi muslim yang pandai harsyukur
terhadap nikmat-nikmat Rabb-nya. Allah swt. Berfirman:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang vang berakal. (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan
mercka memikir- kan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan
kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka." (Ali Imrân: 190-191)
Mereka inilah para pemilik akal yang mampu menembus batas batas ruang
angkasa dan segala sisi bumi, dengan penglihatan, pen- dengaran dan hatinya sambil
mengagungkan dan mercnungi ayat-ayat Allah. Sctclah itu mereka mengenali
Penciptanya dan lujuan dari penciptaannya hingga sampailah pada tujuan dari
eksistensinya di. alam ini, yaitu selamat dari neraka dan masuk surga. Seorang muslim
yang diberi Allah petunjuk sehingga mampu nenggunakan nikmat akal sebagaimana
mestinya, orang seperti itu lainya lebih baik dibanding dengan seribu orang lainnya. Hal
ini ebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Umar r.a bahwa Rasulullah
saw. bersabda: Tidak ada sesuatu yang lebih baik dari seribu kali yang semisal dengannya
kecuali seorang mukmin. (HR. Thabrani)

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits panjang dari Sahl bin Sa'd r.a. yang
berkata, "Seseorang melintas melewati Rasulullah saw. Beliau kemudian bertanva kepada
sahabat yang sedang duduk di sisinya, "Apa pendapatmu terhadap orang itu?" Dia lalu
berkata. "Seseorang dari kalangan orang-orang mulia, lelaki ini demi Allah jika dia
melamar maka akan diterima lanarannya, dan jika meminta pertolonga maka akan
dikabulkan permintaannya." Sahl berkata, "Rasulullah diam, kemudian lewat lagi
sesecrang yang lain dan Rasulullah kenbali bertanya, "Apa pendapatmu tentang orang
ini?" Sahabat yang sedang duduk di sisi Rasulullah tu menjwab, "Wahai Rasulullah, dia
itu seseorang dari kalangan crang-o:ang fakir, yang jika melamar maka layak ditolak
lamarannya, jika meminta pertolongan maka tidak akan diterima permintaan tolongnya,
dan jika berkata maka tidak akan didengar perkataannya." Rasulullah saw. bersabda,
"(tidaklah demikian). Lelaki ini lebih baik daripada sepenuh isi bumi yang diisi dengan
samisal orang pertama tadi."

Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa seorang muslim yang memiliki
keunggulan dalam akal dan agamanya dapat mengalahkan semua orang di muka bumi
yang tidak memiliki keunggulan akal dan agama Seseorang itu unggul dan istimewa
lantaran ketajaman akal serta kecerdasannya yang selaras dengan syariat. Keistimewaan
seperti ini hanya akan dimiliki oleh seseorang apabila dia berguru kepada Rasulullah
yang mendapatkan wahyu dari Allah berupa Al-Quran dan yang diajarkan kepadanya
oleh (Jibril) yang sangat kuat (An- Najm: 5). Pada gilirannya, Rasulullah menyampaikan
kepada umat apa yang diajarkan oleh Rabb-nya tersebut, kemudian para sahabat
menyampaikan kepada generasi sesudahnya, dan begitu seterusnya.

Begitulah ilmu diperoleh secara talaqqi dan bersambung dari murabbi pertama.
Salah satu keistimewaan dari umat ini adalah ilmunya bersambung dari generasi salaf
kepada generasi khalaf sampai hari kiamat. Kalau ilmu tidak diperoleh secara talaqqi
maka akal bisa tersesat dalam kesimpang siuran informasi. Ini artinya, menjaga akal agar
tetap sehat dan ilmu agar dapat bermanfaat merupakan salah satu kewajiban manusia.
Untuk itulah seseorang diperintahkan supaya berguru dan bertafakur agar dapat selalu
terlindungi dan tidak keluar dari lingkaran orang-orang yang berakal.
IImu Didapat dengan Belajar
Untuk mencapai kondisi mutsaqqaful fikri, seseorang harus menguasai ilmu, dan
ilmu hanya diperoleh lewat belajar. Dari Mu awiyah r.a. discbutkan bahwa Rasulullah
saw, bersabda: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya ilmu itu hanya didapat dari
belajar, dan fiqih hanya didapat dari bertafaqquh (mengkaji fiqih). Barang siapa yang
dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Allah akan memahamkannya dalam agama,
dan sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para
ulama. (HR Thabrani)
Imam Al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya Ihya' 'Ulumid-Din bahwa barang
siapa ingin menjadi orang yang faqih jiwanya, yakni memperoleh sifat dan keahlian fiqih
maka tidak ada jalan haginya kecuali mempraktikkan perbuatan-perbuatan ahli fiqih. Hal
itu dilakukan dengan mengulang-ulang fiqih hingga sifat fiqih terbentuk dalam hatinya,
kemudian ia menjadi seorang yang faqih jiwanya dan fiqih menjadi kebiasaannya. Karena
tidak akan pernah sampai kepada tingkatan ini kecuali dengan mengulang-ulang latihan
fiqih. Sungguh pengaruh latihan tersebut muncul sedikit demi sedikit secara bertahap
seperti badan yang tumbuh perlahan dan akhimya menjadi tinggi. Maka sedikit fiqih yang
dipelajari hari demi hari itu, tidak boleh cianggap remeh. Karena jumlah yang banyak itu
juga asalnya dari serpihan-serpihan yang apabila terkumpul bisa menjadi sesuatu yang
mampu memberikan pengaruh, meskipun satu di antara serpihan itu lemah pengaruhnya.
Betapa banyak orang faqih meremehkan dengan menyia-nyiakan sehari semalam dan
demikianlalı hal itu berlanjut hingga menunda hari demi hari sampai kebiasaannya itu
keluar dari kebiasaan fiqih. Untuk itulah Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya amal yang
paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan meskipun sedikit" (HR. Bukhari dan
Muslim).
Mutsaqqaful Fikri: Pandai Memanfaatkan Waktu
Pemanfaatan waktu bagi seorang mukmin tidak akan lepas dari tiga hal. Pertama,
waktu yang dimanfaatkan untuk amalan fardhu, baik amalan fardhu itu berupa sesuatu
yang wajib dilakukan, maupun sesuatu yang wajib ditinggalkan. Kedua, waktu yang
dimanfaatkan untuk amalan sunnah yang dianjurkan syariat, sebagai bentuk sikap
bersegera dalam kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah sebelum kesempatan itu
terlewat. Adapun yang ketiga adalah waktu yang dimanfaatkan untuk melakukan amalan
mubah berupa keperluan jasmani dan hati. Tidak ada permanfaatan waktu untuk yang
keempat bagi seorang mukmin, karena pemanfaatan waktu yang keempat berarti
melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar
hukum-hukum Allah maka sungguh dia telah menzalimi dirinya sendiri. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
Dan Dia (pula) yang merjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang
ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur (Al-Furgân: 62)
Waktu adalah untuk zikir dan syukur. Zikir adalah iman dan ilmu, sementara
syukur adalah beramal dengan ilmu. Untuk itu Allah Azza wa Jalla berfirman

"Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah)" (Saba': 13)

Seseorang yang memiliki pribadi mutsaqqaful fikri, yang menghambakan diri


kepada rabb-nya dan mengikuti rasul-Nya dalam setiap urusan maka tidak akan
mengalokasikan waktunya kecuali untuk tiga hal, yaitu untuk mengumpulkan bekal di
hari akhir, mencari harta untuk penghidupan, dan bersenang-senang pada hal yang tidak
diharamkan. Tanda dari itu semua adalah ia mengenali zamannya, menyelesaikan
urusannya, dan menjaga waktunya.

6. Mandiri dalam Bekerja


Qadirun Alal Kasbi Diraih Lewat Praktik dan Latihan
Manusia memiliki keunggulan dibanding makhluk yang lain karena bisa
mengerjakan bermacam pekerjaan yang mampu mengubah lingkungan tempat tinggal.
Manusia tidak cukup hanya dengan mengandalkan sesuatu yang tumbuh dari bumi, akan
tetapi ia berusaha untuk menanam, berladang, dan mengubah bermacam tanaman. Ia
membuat berbagai bentuk barang kemudian mengembangkannya, membangun pabrik,
membelah sungai, dan terbang di udara. Ia menjelajahi semua tempat dan samudra,
menyelami kedalamannya, dan mengekstrak apa yang ada di dalamnya.
Adapun makhluk yang lain, mereka hidup untuk makan dari hasil memetic dan
berburu, atau memakan dari apa yang dikeluarkan bumi tanpa campur tangan dan proses
pengolahan. Apa yang dilakukan dan dimakan oleh induk-induk mereka, itu juga yang
dilakukan dan dimakan oleh mereka. Hal ini berbeda dengan manusia. Sudah menjadi
keharusan baginya untuk bekerja agar tetap hidup. Ia harus melakukan aktivitas tukar-
menukar sesuatu yang bernilai manfaat agar kehidupannya menjadi begitu mudah. Ia
harus berusaha untuk menjemput rezeki di belahan bumi manapun. Ia juga harus bisa
mengubah kondisi segala sesuatu kemudian mengembangkannya, agar kehidupan itu
menjadi mudah.
Allah telah menundukkan segala yang ada di bumi untuk manusia, dan kita tidak
mengetahui satu jenis pun dari semua makhluk yang ada, bisa menundukkan manusia.
Karena itulah, manusia dituntut mampu mengambil manfaat dari apa yang ada di dalam
bumi dan di atasnya. Ia juga dituntut untuk melakukan perbaikan dalam segala kondisi
dan menolak segala kerusakan.
Manusia tanpa makhluk yang lain itu lemah, baik pada masa kecilnya maupun
ketika sudah dewasa hingga bertahun-tahun lamanya. Ia membutuhkan makanan,
pakaian, obat-obatan, pelayanan, an perlindungan. Untuk itu, ia harus memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan mencukupi kebutuhan dirinya dan kebutuhan
orang lemah yang membutuhkan. Harus ada sikap saling bertukar perandan aksi
manakala ia mampu mendapatkan apa yang mencukupi diri sendiri dan orang lain yang
berada dalam kondisi tidak mampu. Oleh karena itu, tidak masuk akal dan tidak bisa
dibenarkan oleh syariat jika seseorang hidup tanpa kerja. Seseorang hendaklah bekerja
dan mampu bekerja sedari kecil untuk mencukupi dirinya, sebagian besar dari
kebutuhannya, dan untuk menata masa depannya ketika suatu saat ia dalam kondisi
lemah dan tidak mampu, atau ketika orang lain sangat membutuhkan uluran tangannya.
Sifat qadirun ‘alal kasbi (kemandirian dalam bekerja) adalah sifat yang diperoleh
melalui praktik dan latihan dalam berbagai usaha, pekerjaan, dan profesi. Untuk itu,
anak-anak hendaklah diajari, dilatih, dan ditransfer berbagai pengalaman kerja. Sebab
jika tidak, maka yang ada anak hanya belajar malas, ketidakmandirian, dan terus-menerus
bergantung kepada orang lain. Ketika dewasa nanti, anak seperti itu akan susah karena ia
harus belajar bekerja atau menekuni dan menggeluti suatu pekerjaan yang tidak pernah ia
praktikkan dan dapatkan keterampilannya ketika masih kecil.
Sifat qadirun ‘alal kasbi mengharuskan seseorang mengetahui berbagai informasi
dan pengetahuan yang wajib ia pelajari, dimana keinginan untuk belajar itu berasal dari
dorongan di dalam diri, selain mengharuskan seseorang untuk memahami tentang
pentingnya kerja, memperoleh berbagai keterampilan, mencintai usaha, pekerjaan,
menabung, investasi, berkeyakinan bahwasanya Allah telah mewajibkan itu semua dan
Allah akan memberi pahala kepadanya karena pekerjaannya dan memberikan balasan
kepadanya karena kemanfaatannya terhadap orang lain.
Sifat qadirun ‘alal kasbi dibutuhkan bagi orang yang akan menegakkan amar
makruf nahi mungkar. Sifat ini juga merupakan salah satu kewajiban dakwah dan mampu
mencukupi kebutuhan keluarga ketika pekerjaannya mendapat gangguan akibat aktivitas
dakwah yang dilakukannya. Seorang da’I sudah semestinya memiliki etos kerja yang
tinggi agar menjadi teladan bagi mad’u dan menjadi contoh nyata dari nilai-nilai yang
didakwahkannya: memberikan manfaat kepada yang lain, memperbaiki dunia, menjaga
diri dari meminta-minta atau bergantung kepada orang lain, dan mampu melakukan
ekspansi dakwah dengan segala tuntutannya. Seorang da’I harus siap menanggung beban
dakwah dan memikulnya, bukan justru dakwah yang memikul da’i.
Sifat qadirun ‘alal kasbi sangat diperlukan sebagaimana sifat yang lain dalam
aspek pengetahuan, perasaan, dan keterampilan bekerja. Aspek yang paling penting dari
sifat qadirun ‘alal kasbi adalah aspek keterampilan bekerja. Untuk itu, aspek ini harus
dimulai sejak kecil dengan latihan kerja, dengan cara mendapatkan berbagai pengetahuan
dan mengambil Pendidikan umum dan kejuruan. Seorang siswa dan atau mahasiswa
dituntut memperoleh Pendidikan dari yayasan-yayasan pendidikan, sembari melakukan
beberapa pekerjaan yang bermanfaat sebagai ajang usaha dan latihan, atau sebagai ajang
untuk mendapatkan keterampilan dalam pekerjaan, profesi dan bisnis secara bertahap.
Kurang tepat bila seorang siswa dan mahasiswa tidak memiliki pekerjaan hingga usia 20
tahun atau lebih dengan alasan belajar, kemudian hidup dalam liburan panjang menanti
Pekerjaan.
ANJURAN UNTUK GIAT DAN BERPAGI-PAGI DALAM MENCARI REZEKI
Dalam sebuah riwayat dari shakhr bin wada’ah al-ghamidi r.a. disebutkan bahwa
rasulullah saw. Bersabda “allahumma mabarik li-ummati fi bukuriha; ya Allah berkahilah
umatku di pagi harinya”
Dahulu beliau SAW. ketika mengirim pasukan atau angkatan perang, beliau
mengirim mereka dipagi hari. Shakhr sendiri adalah seorang pedagang yang biasa
mengangkut barang dagangannya dipagi hari maka ia menjadi kaya dan banyak harta.
Diriwayatkan oleh imam abu dawud, tirmidzi, ibnu majah dan ibnu hibban dalam
shahihnya
Dalam riwayat yang lain, sebagaimana disampaikan oleh al-bazzar, at-thabrani,
dan al-mundziri dari aisyah r.a. bahwa rasulullah saw bersabda “bergegaslah kalian
dipagi haridalam necari rezeki, karena sesungguhnya dipagi hari itu ada keberkahan dan
kesuksesan.”
Bahkan dalam riwayat ahmad, al-baihaqi, al-mundziri dari ustman bin affan r.a.
rasulullah saw bersabda tidur dipagi hari itu menghalangi rezeki.”
Imam baihaqi dan almundziri meriwayatkan dari Fatimah binti Muhammad saw.,
“Rasulullah saw. melewatiku sementara aku dalam kondisi berbaring di pagi hari, maka
beliau mengerakkanku dengan kakinya, kemudin bersabda, wahai anakku, bangunlah dan
saksikan rezeki tuhanmu, janganlah kau termasuk orang-orang yang lalai karena
sesungguhnya Allah membagi rezeki-rezeki manusia antara terbit fajar sampai terbit
matahari.”
Dalam riwayat yang lain, ali bin abi thalib r.a mengatakan bahwa rasulullah saw
melarang tidur sebelum matahari terbit. (HR. Ibnu majah dan al-mundziri)
7. Teratur Urusannya (Munazzamun Fi Syu’unihi)
Makna Munazzamun Fi Syu’unihi
An-nazhmu bermakna penyusunan. Jika dikatakan “semuanya telah aku
hubungkan dengan yang lain” atau “aku telah menggabungkan sebagiannya dengan
sebagian yang lain” sama saja artinya dengan “aku telah menyusunnya”. Bentuk jamak
dari kata nizhamun adalah anzhimatun dan nuzhumun. Jika dikatakan “urusannya itu
tidak memiliki aturan” maka yang dimaksud adalah prosedurnya tidak terarah. Aturan
juga berarti petunjuk dan jalan. Jika dikatakan “urusan mereka tidak memiliki aturan”
maka yang dimaksud adalah mereka tidak memiliki petunjuk dan keterarahan.
Sedangkan asy-sya’nu adalah permasalahan, urusan, dan hal. Bentuk jamaknya
adalah syu,unun.
Prioritas Dalam Memilih Urusan
Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan saat menentukan skala prioritas dalam
beramal.
a. Mendahulukan urusan yang penting dan mudah sebelum urusan yang penting dan
susah.
b. Mendahulukan urusan yang menghabiskan waktu singkat atas urusan yang
menghabiskan waktu lama.
c. Mendahulukan urusan yang berlimpah menfaatnya atas yang sedikit manfataanya.
d. Mendahulukan sesuatu yang dibangun dari satu urusan atau lebih atas sesuatu
yang dibangun dari urusan yang sangat sedikit atau tidak lama sama sekali.
e. Mendahulukan urusan yang apabila terlambat maka lenyaplah kesempatan untuk
mengerjakannya atas urusan yang tidak lenyap disebabkan keterlambatan.
f. Mendahulukan urusan yang berisi kemulian dan keutamaan atas urusan yang
kosong dari keutamaan atau sedikit keutamaannya.
Skala Prioritas Saat Aktivitas Sangat Padat
Ketika agenda sangat padat, berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan saat
menentukan skala prioritas.
a. Mendahulukan kewajiban agama atas kewajiban dunia.
b. Mendahulukan kewajiban syariat yang terkait dengan hati atas kewajiban syariat
yang terkait dengan badan. Contohnya: zikir dan membaca Al-Qur’an
didahulukan atas beberenang dan menunggang kuda untuk berlatih jihad.
c. Mendahulukan kewajiban akhlak dan pendidikan jiwa atas pengembangan
berbagai keterampilan fisik, seperti menyapu rumah dan membantu keluarga
terkait pekerjaan-pekerjaan rumah tangga didahulukan atas menekuni
keterampilan dan profesi. Hal ini sebagai pembelajaran untuk bersikap rendah
hati, lemah lembut, dan ramah terhadap orang lain.
d. Mendahulukan kewajiban menuntut ilmu dan mengasah akal sehat atas mencari
harta dan mengembangkan usaha.
e. Mendahulukan kewajiban syariat untuk mendapatkan ilmu agama atas kewajiban
syariat untuk mendapatkan ilmu dunia. Batas-batas Ilmu agama dipelajari meliputi
halal dan haram, kewajiban dan anjuran, dan mempelajari hukum-hukum syariat
terkait perniagaan sebelum yang lainnya jika dia seorang pedagang. Karena ilmu
agama itu wajib ‘ain (kewajiban tiap individu) sedangkan ilmu dunia adalah wajib
kifayah (kewajiban kolektif).
f. Mendahulukan pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat atas amalan-amalan
sunnah, sebagaimana wajibnya mempelajari perkara-perkara yang wajib
dikerjakan atau ditinggalkan atas pembelajaran terhadap perkara-perkara sunnah
dan keutamaan-keutamaan. Karena betapa banyak manusia menyibukkan dirinya
dengan keutamaan-keutamaan sementara mereka bodoh atau menyia-nyiakan
beberapa kewajiban, betapa banyak manusia yang menaruh perhatian yang dalam
terhadap amalan-amalan wajib.
g. Apabila dua kewajiban atau lebih bertabrakan maka dahulukanlah kewajiban yang
jika terlambat hilang keutamaanya, seperti sholat di awal waktu ketika sibuk
dengan kewajiban yang masih memungkinkan untuk dikejar apabila sholat tetap
dikerjakan diawal waktu.
h. Apabila dua kewajiban syariat bertabrakan dahulukanlah kewajiban yang besar
pahalanya dan berlimpah keutamaannya, seperti berbaktikepada kedua orang tua
atas menyambung tali silahturahmi, dan seperti kewajiban jihad dan kewajiban
puasa.
i. Apabila wajib ‘ain berbarengan dengan wajib kifayah, sedang wajib ‘ain akan
terlewat jika melakukan wajib kifayah maka mendahulukan wajib ‘ain kemudian
segera menyusul wajib kifayah dan jika tidak, meninggalkan wajib kifayah dan
melaksanakan wajib ‘ain. Seperti shalat fardhu dan shalat jenazah, atau amalan
yang tidak bisa dilaksanaka noleh orang lain. Amalan yang tidak bisa ditunaikan
oleh orang lain didahulukan atas amalan yang bias ditunaikan oleh orang lain.
j. Apabila dua urusan atau lebih bertabrakan, maka dahulukanlah urusan yang
dampaknya paling banyak dibandingkan yang lain.
k. Apabila ada dua kewajiban atau lebih, dimana yang satu berkaitan dengan
berkaitan dengan Sang Pencipta sementara yang lain berkaitan dengan makhluk
maka dahulukanlah yang berkaitan dengan Sang Pencipta “karena utang kepada
Allah itu lebih utama untuk dibayarkan.” Seperti puasa wajib dan perjalanan
mengunjungi kerabat, atau mengeluarkan zakat dan hak-hak belanja keluarga
(diluar kebutuhan pokok).
l. Apabila amalan-amalan sunnah bertabrakan maka dahulukanlah sunnah
muakkadah (amalan sunnah yang bersifat anjuran), dan sunnah ratibah (shalat
sunnah muakkadah yang mengiringi sholat fardhu) atas sholat sunnah yang bukan
ratibah.
m. pabila dua amalan sunnah bertabrakan maka dahulukanlah yang keutamaannya
termaktub dalam nas-nas syariat.
n. Apabila dua urusan bertabrakan maka dahulukan urusan yang memakan waktu
singkat dan usaha yang sedikit agar dapat segera menyelesaikan urusan yang lain.
o. Apabila dua amalan mubah bertabrakan maka dahulukanlah amalan mubah yang
bisa menunjang amalan wajib dan mendahulukan wajib syar’i atas wajib duniawi,
seperti olahraga untuk menunjang kewajiban jihad atau meningkatkan ketaatan
didahulukan atas rekreasi dan melakukan hobi seperti berburu dan permainan
mengasah otak. Begitu pula rekreasi didahulukan atas permainan mengasah otak
untuk menghilangkan kejenuhan sehingga jiwa pun tak lelah dan hatipun tak
bosan.
p. Apabila dua urusan yang sama bertabrakan, dahulukanlah urusan keluarga atas
urusan orang lain, karena Nabi saw. bersabda. “mulailah dari orang yang menjadi
tanggunganmu.”
8. Pandai Menjaga Wakt (Harishun Ala Waqtihi)
Makna Harishun Ala Waqtihi

Al-hirshu adalah kehendak yang kuat dan kerakusan pada apa yang dicari. Konon al-
hirshu juga bermakna ketamakan.
Sedangkan al-waqtu adalah ukuran dari zaman. Bentuk jamaknya adalah
awqåtun. Jika dikatakan waqtun mawqutun artinya adalah waktu yang telah diagendakan
untuk suatu hal, dan at-tawyit maknanya adalah menyediakan waktu khusus untuk
sesuatu.
Satuan dari waktu adalah jam yang terus terulang sebanyak 24 jam sehari dan
pekan yang terus terulang dalam beberapa hari, yaitu tepatnya tujuh hari. Tidak ada lagi
yang terus terulang selain dari ke- duanya.Karena bulan dan tahun sesungguhnya
merupakan kumpulan hari-hari saja. Apabila jam demi jam dipenuhi kesibukan hingga
berganti hari, kemudian hari demi hari dipenuhi kesibukan hingga 0erganti pekan maka
berarti seseorang seumur hidup dalam kesibukan.
Karena satuan waktu adalah jam dan pekan maka barang siapa engatur urusannya
lebih dari satu hari atau satu pekan, urusannya tidak akan teratur dan dia tidak akan
mampu mencapai targetnya. Allah Azza wa lalla berfirman:
Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya
dia akan melihat (balasan)nya. (Asy-Svarh 7-8)
Dari ayat di atas kita tahu bahwa segala yang dilakukan olel seorang hamba di
sepanjang usianya itu discbut sebagai amal meskipun kecil ukurannya atau sebentar
waktunya. Kita juga tahu bahwa usia itu dihabiskan untuk melakukan amal perbuatan.
Diriwayatkan dari Abu Barzah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan
bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang
empat hal: tentang usianya bagaimana ia menghabiskannya; tentang ilmunya bagaimana
ia mengamalkannya; tentang hartanya dari mana ia memerolehnya dan ke mana ia
membelanjakannya; dan tentang tubuhnya bagaimana ia memakainya. (HR. Tirmidzi)
Usia adalah waktu di mana amal itu terjadi di dalamnya. Satu pikiran, satu
ucapan, dan satu perbuatan, semuanya adalah amal perbuatan yang menghabiskan waktu.
Oleh karena itulah Allah mewajibkan kita untuk beramal karena Allah semata, sehingga
usia kita semuanya untuk Allah.
Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk kita. Dia telah
memberi kita kekuatan berupa akal, kecer- dasan, dan keterampilan yang dengannya kita
mampu melakukan semua amal yang telah disyariatkan. Di sisi lain, Allah juga telah
menetapkan waktu yang terbatas untuk kita, yaitu usia, yang tidak bisa bertambah dan
berkurang dari yang telah ditentukan. Di sini, Allah mewajibkan kita untuk menjadikan
kekuatan itu sebagai ama yang sesuai dengan syariat-Nya di sepanjang usia. Jadi, apabila
secuil usia berlalu tanpa amal berarti tidak ada waktu untuk melaksanakan amal tersebut,
karena waktu yang lain, pastinya telah terpakai untuk kewajiban yang lain.
Memanen hasil usaha di dunia ialah memanen semua amal yang ada di dunia
selelah dihisab. Dalam hal memanen hasil usaha di dunia ini sebagian kelompok ada yang
memasuki surga dan sebagian lagi memasuki neraka. Penduduk surga sendiri memiliki
beberapa žeraial dan kedudukan, sedangkan penduduk neraka berada dalam keterhinaan
dan kesengsaraan. Perbedaan nasib ini ditentukan oleh amal yang berada di sepanjang
usia seliap orang. Terkait hal ini Allah SWt. berfirman di dalam hadits qudsi:
“Wahai sekalian hamba-Ku, sesungguhnya itu semua adalah amal- amal kalian
yang telah Alku hitung, kemudian Aku berikan pahala sepenuhnya kepada kalian. Jadi
siapa saja yang mendapati kebaikan maka hendaklah memuji Allah, dan siapa saja yang
mendapati selain itu maka janganlah sekali-kali mencela kecuali dirinya sendiri. (HR
Muslim)
Orang yang istimewa adalah orang yang mampu menggunakan dengan baik
segala karunia Allah dalam usia yang terbatas.
Terkadang ada kekuatan, namun waktu tak ada-karena kewajiban memang lebih
banyak dari waktu yang tersedia. Untuk itu, seyogianya harus ada pengaturan waktu dan
aktivitas yang baik dengan memer- hatikan urutannya sembari menjaga waktu dari kesia-
siaan, baik kesia- siaan karena kosong dari aktivitas, maupun kesia-siaannya karena
aktivitas yang tidak penting dan kurang bermanfaat.
Terkadang ada kekuatan dan waktu namun keinginan, tekad dan kosang tanpa
amal. Ini adalah persoalan terburuk manusia. Kita berlindung kepada Allah dari
kelemahan, kemalasan, kelalaian, dan kesia-siaan.
Kadang-kadang ada kekuatan, ada waktu, dan ada tekad serta keinginan. Tetapi,
pengelolaan dan pengaturannya tidak baik. Misalnya kekuatan yang ada digunakan untuk
sesuatu yang tidak bermanfaat. yang tidak penting, dan yang tidak wajib padahal saat itu
ada amal yang wajib dilakukan. Karena itulah mesti ada pengaturan terhadap urusan-
urusan tersebut sembari bersungguh-sungguh agar waktu berjalan efisien.
Tentang Waktu
Waktu terdiri dari masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Waktu
harus terisi karena jika tidak maka ia menjadi kosong.
a. Masa lampau adalah waktu yang telah berlalu dan tidak mungkin memintanya
kembali. Waktu yang telah terlewat tidak bisa dikejar Untuk itu, jika berlalu tanpa
amal maka akan menjadi sesuatu yang hampa sampai tiba saatnva dihisab pada hari
kiamat. Tidak mungkin pada hari ini dan esok hari mengerjakan amal pada hari
yang telah berlalu. Oleh karena itu, kita harus memerhatikan waktu sekarang dan
esok jika bersungguh-sungguh menjaga waktu.
b. Masa sekarang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ter- buang percuma
seperti masa yang telah lalu. Kita harus mampu memanfaatkan dengan sebaik-
baiknya waktu sekarang dan tidak menyia-nyiakannya untuk terus mengenang masa
lampau atau meratapi kehilangan waktu yang telah berlalu. Kita hendaklah
melakukan kewajiban yang ada pada saat ini. Meratapi waktu yang telah lalu itu
tidak bermanfaat dan tidak akan membuatnya kembali. Oleh karena itu, tak usah
meratap, Fokuslah pada amal yang sekarang ini sehingga waktu tidak terbuang lagi.
Tak usah pula mengangan-angankan sesuatu yang belum terjadi di masa yang akan
datang karena hal itu juga termasuk membuang-buang waktu yang ada sehingga
waktu berlalu tanpa amal yang bisa dilakukan. Setan selalu berusaha agar usia kita
terbuang sia-sia. Misalnya, dengan cara memengaruhi kita agar mengisi waktu
sekarang dengan urusan di masa lalu atau masa yang akan datang, hingga kita tidak
dapat beramal untuk saat ini, sementara kita juga tidak mampu menyusul waktu
yang telah berlalu dan tidak pula meraih waktu yang akan datang. Setiap ada waktu,
setan membawa kita dengan sesuatu yang terlintas dalam pikiran, baik pada masa
lampau maupun masa yang akan datang. Bila demikian terus. lalu kapan kita
beramal? Allah swt. berfirman di dalam surat An-Nûr ayat 21, "Wahai orang-orung
yang heriman! Janganlah kamu mengikuli langkah-langkah setan." Setan bisa saja
menyesatkan kita satu langkah ke belakang atau satu langkah ke depan hingga tidak
ada satu kewajiban pun yang dapat kita lakukan.
Beberapa Hal yang dapat dilakukan untuk mengatur waktu
a. Kumpulkan semua aktivitas dan waktu yang telah diagendakan pada catatan-
catatan yang lalu ke dalam catatan pekanan".
b. Susun ulang semua kewajiban agama dan dunia kemudian angilah
susunannya berdasarkan tingkat urgensi dan kemudahan sesuai dengan unsur-
unsur yang telah disebutkan.
c. Susun ulang prioritas mana amalan-amalan yang utama, amalan- amalan
sunnah, dan adab vang termasuk ke dalam ibadah-ibadah yang tidak wajib.
d. Susun ulang aktivitas-aktivitas duniawi, hal-hal yang mubah dan yang lainnya
sesuai dengan unsur-unsur preferensi pada per- masalahan tersebut.
e. Urutkan semua aktivitas di atas berdasar lama pelaksanaannya sesuai jumlah
jam dalam sepekan, yaitu 168 jam, agar mengetahui sejauh mana waktu itu
efisien dalam sepekan.
f. Apabila satu aktivitas yang telah diagendakan bertabrakan dengan waktu
yang terbatas vang kita miliki dalam setiap pekan maka kita harus
mengulangi urutan aktivitas-aktivitas tersebut sesuai unsur-unsur preferensi.
g. Apabila pada suatu hari aktivitas kita bertambah sementara akti vilas tersebut
masih memungkinkan untuk dikejar pada jadwal di hari yang lain maka
ulangilah pembagian harinya. Apabila aktivitas pekanan bertambah dari
waktu yang tersedia kemudian masih memungkinkan untuk dikejar pada
jadwal di minggu yang lain meskipun dengan menukar setiap dua minggu
alau tiga minggu maka ulangilah pembagiannya sesuai waktu yang tersedia.
h. Membuat jadwal aktivitas untuk setiap pekan dan membuat jadwal untuk
aktivitas yang tidak terus-menerus dan insidental saja.
i. Sebaiknya tidak ada urusan yang terganggu apabila suatu aktivitas telah
berakhir atau waktunya telah habis. Hendaknya kita tidak disibukkan oleh
waktu yang telah habis kecuali apabila itu adalah kewajiban syariat.
j. Komitmen dengan janji, melakukan evaluasi, dan menguasai pekerjaan
dengan baik.
9. Bermanfaat Bagi Orang Lain (Nafiun Lighairihi)
An-naf’u atau manfaat adalah lawan kata dari adh-dhurru yang artinya bahaya.
Orang yang bermanfaat maksudnya adalah orang yang banyak memberi kan manfaat.
Artinya, ia bermanfaat untuk orang lain dan tidak membahayakan. An-nafi’ sendiri
merupakan salah satu asma Allah yang bermakna Dzat yang menyampaikan manfaat
kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, pribadi yang nafi;un li
ghairih itu seakan-akan disifati dengan sifat ketuhanan, di mana Allah Ta’ala
menyampaikan manfaat kepada hamba-hamba-Nya melalui perantara darinya.
Seorang hamba tidak biasa menjadi pribadi nafi’un li gairihi kecuali jika
mendalam keimanannya, ikhlas kepada Rabb-nya, mencintai akhiratnya, bersikap zuhud
dan mengorbankan waktu istirahatnya didunia, meninggalkan harta benda dunia yang
sedikit untuk menjamin dirinya diakhirat, dan memberi orang lain dari dirinya dari apa
yang Allah anugerahkan kepadanya untuk meraih pahala di akhirat kelah. Allah swt
berfirman:
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu. (Al-Qashash:77).
Nabi saw, adalah sosok penuh kebajikan dan kebaikan
Sifat dan kepribadian yang dipenuhi kebajikan, manfaat, serta kebaikan yang tak
terbatas dapat kita jumpai pada pribadi Rasulullah. Sifat-sifat tersebut telah menjadi
karakter dan perangai dalam kehidupannya. Dengarkanlah kesaksian Khadijah r.a.
sebagai sang istri pada hari di mana wahyu turun untuk pertama kali, sedang hati
Rasulullah saw. Guncang sembari berkata, “Aku takut terhadap diriku sendiri.” Lalu
Khadijah menentangnya, “tidak, Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu
selamanya, karena sesungguhnya engkau adalah orang yang suka menyambung
silaturahmi, berkata jujur, memuliakan tamu, meringankan beban orang lain,
mendermakan harta untuk orang miskin, dan membantu orang yang tertimpa bencana.”
Nabi saw juga disifati dengan sifat, “siapa saja yang melihatnya niscaya akan
hormat, dan siapa saja yang bergaul dengannya niscaya akan mencintainya.”
Sifat-sifat kebaikan itu ada dalam jiwa yang muncul secara nyata bukan
tersembunyi. Bagi orang yang melihat pemilik sifat tersebut niscaya ia tahu bahwa sifat-
sifat memancar pada wajahnya. Kesalehan dan sifat ihsan memunculkan cinta dalam hati,
simah pada wajah, indah dalam tutur kata serta manfaat dalam aktivitasnya di hadapan
orang-orang yang bergaul dengannya. Lalu orang yang berlaku ihsan itu menjadi tempat
menaruh kepercayaan dan keakraban serta tempat bersandar bagi orang-orang yang
membutuhkan dan meminta pertolongan.
Berbuat Kebajikan Kepada Manusia Berarti Berbuat Kebajikan Kepada Allah
Abdurrahman Pasha Azzam dalam bukunya Ar-Risalah Al-khalidah mengatakan:
orang yang beriman kepada Allah maka seluruh keutamaan berada dalam dirinya sendiri,
akan tetapi untuk saudara-saudaranya sesama makhluk Allah. Hampir-hampir saja
keburukan dengan segala ragamnya tidak ada pada diri seirang mukmin. Sesuatu yang
pertama kali tumbuh dalam dirinya adalah itsar (mengutamakan kepentingan saudaranya
atas dirinya sendiri), perjuangan, dan tadhiyah (pengorbanan)di jalan kebaikan secara
menyeluruh.
Jadi, orang mukmin itu bukan orang yang zalim. Karena kezaliman itu
bertentangan dengan salah satu sifat Allah, yaitu adil,. Orang mukmin juga bukan orang
yang keras dan kasar karena tuhannya sendiri adalah dzat yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Orang mukmin juga bukan orang yang keras dan kasar karena tuhannya
sendiri adalah dzat yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang. Orang mukmin juga
bukan pembohong, penipu dan munafik, karena perhitungan amalnya di sisi Allah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha teliti. Orang mukmin juga bukan orang yang minder lagi
penakut, karena ia tahu bahwa hal itu tidak bermanfaat baginya selama urusan ada dalam
genggaman Allah.
Al-birru (kebajikan) adalah rukun yang agung di antara rukun-rukun dakwah dan
jalan yang terang untuk memperbaiki masyarakat. Kata al-birru (kebajikan) dalam Al-
Quran memiliki makna yang beragam sesuai dengan konteksnya. Al-birru itu bias berarti
kejujuran, kebaikan, dan ihsan sesuai dengan cakupan maknanya dan bias berarti ketaatan
kepada Allah. Islam telah menjadikan sikap takaful (saling menanggung) dan ruh
berjamaah sebagai fondasi agama di mana jalan menuju Allah tidak mungkin istiqamah
kecuali dengannya. Tidak sempurna keimanan seseorang, tidak pula tertunaikan
kewajiban umat dan amanat Negara kecuali dengan amal berkelanjutan yang diteguhkan
dalam jiwa dan dijadikan sebagain aturan di antara aturan-aturan kehidupan.
Sesungguhnya Allah bersama hamba-hamba-Nya di setiap jengkal waktu dan
kondisi. Berbuat kebajikan kepada manusia berarti berbuat kebajikan kepada Allah. Dia
memang tidak membutuhkan kebajikan itu bukanlah kebajikan yang diniatkan hanya
untuk diri-Nya.
10. Terjaga Hawa Nafsnya (MUJAHIDUN LINAFSIHI)
Cara Mengendalikan Jiwa
Mengendalikan jiwa termasuk amal saleh terbaik untuk mendekatkan diri kepada
Allah yang mengantarkan seseorang mencapai derajat tinggi di surga dan masuk ke
dalam golongan orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn). Syariat agama yang lurus ini
banyak menyebutkan tentang jiwa dan pentingnya menyucikan serta mem- bersihkan
jiwa dari keburukan-keburukannya. Salah satunya adalah firman Allah swt. dalam Surat
Al-Ankabût:
Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya
dengan mengatakan, "Kami telah beriman," dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami
telah menguji orang-orang sebelum mereka maka Allah pasti mengetahui orang-orang
yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang
mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami?
Sangatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu! Barang siapa mengharap pertemuan
dengan Allah maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang. Dan Dia
Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Dan barang siapa berjihad maka
sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. (Al-'Anakabût: 1-6)
Surat Al-Ankabut pun ditutup dengan firman Allah swt. yang berbunyi: Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Karmi akan tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat
baik. (Al-'Ankabût: 69)

Berkaitan dengan tema ini, Imam Hasan Al-Banna dalam Risalah Taklim juga
menjelaskan tentang siapakah sebenarnya seorang mujahid yang tulus serta apa saja
kewajibannya bagi dirinya sendiri dengan berkata, "Engkau hendaknya mengendalikan
nafsu jiwa dengan keras, sampai jiwa itu menyerahkan kendalinya kepadamu. Engkau
mesti menundukkan pandangan matamu. Engkau pun harus mengatur emosi mu dan
melawan sergapan syahwat dalam dirimu. Sehingga syahwat itu senantiasa menuju yang
halal dan thayyib, dan engkau mampu menghalangi syahwat dari perkara yang haram di
setiap kondisi." Supaya seorang muslim mampu menghasilkan sifat, akhlak dan
mengendalikan nafsu maka pertama-tama dia harus memahami pentingnya
mengendalikan nafsu itu, selanjutnya dia wajib memonitor seluruh perbuatan diri lalu
mengendalikannya dengan mendorong jiwa untuk melakukan perbuatan baik dalam
setiap urusan adalah agama fitrah. Kedatangan Islam adalah untuk mengatur dan menata
seluruh kehidupan dengan manhaj dan agama Allah, yaitu agama Islam. Islamlah agama
relevan yang indah dan baik, yang senantiasa melakukan perubahan realitas kehidupan
menuju yang lebih baik. Allah swt. Berfirman:
Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya
dia akan melihat (balasan)nya. (Az-Zalzalah: 7-8)"
Baik maupun buruk, seluruh perbuatan manusia tidak akan luput dari balasan
Allah. Oleh karena itu, setiap orang harus berkomitmen melakukan kebajikan dan
meninggalkan perbuatan buruk. Tapi hal ini tidak akan terwujud tanpa pengendalian diri
yang baik serta dengan pengawasan diri pada setiap pekerjaan, di jalanan, di masjid, saat
sendiri ataupun ramai, kepada manusia, kepada Allah, saat mencari mata pencarian,
maupun saat sedang menikmati kesenangan hidup. Agama Islam membuat pemeluknya
menjadi semakin baik dalam segala hal. Baik dalam ibadahnya seperti shalat dan puasa,
dalam nilai akhlaknya, maupun dalam etika interaksinya. Islam menjadikan semua
perbuatan pemeluknya lebih baik dan semua itu melalui amalan-amalan terprogram yang
telah ditentukan oleh Islam. Jadi, manhaj Islam tidak melepaskan seseorang begitu saja
pada kehidupan nyata, tapi selalu dibimbing sehingga seseorang yang beramal
mengatasnamakan Islam maka amalnya senantiasa berupa pergerakan menuju yang lebih
baik dan unggul bagi diri dan masyarakatnya, di dunia dan akhirat Pertanyaannya
sekarang, apakah amal kebaikan yang hendaknya dilakukan oleh seseorang agar berhasil
mengendalikan jiwanya? Bagaimana semua amal kebaikan itu bisa menjadi suatu
karakteristik diri yang muncul secara otomatis dan natural?
Beberapa Amal Kebaikan untuk Mengendalikan Jiwa
No Kategori Contoh Aplikasi
1 Mengendalikan Jiwa a. Selalu ceria bersama pasangan, tersenyum
Terhadap Pasangan saat pasangan masuk rumah, membiasakan
dialog, dan perhatian kepada pasangan.
b. Berusaha tidak melukai perasaan pasangan.
c. Berusaha memudahkan urusan pasangan
selama bukan dalam maksiat.

2 Mengendalikan Jiwa Saat a. Tidak mencela makanan yang disajikan


Makan b. Sebisa mungkin meminimalisir menu
makanan dalam satu sajian
c. Menyantap makanan apa adanya dan
seadanya
3 Mengendalikan Jiwa a. Menunjukkan rasa cinta, kasih sayang, dan
Terhadap Anak-anak kelembutan kepada mereka.
b. Menampilkan keceriaan dan kegembiraan
saat melihat mereka.
c. Menyebut syukur dan pujian kepada Allah
atas anugerah ke- turunan kepadanya.

4 Mengendalikan Jiwa di Saat a. Tidur cepat pada malam hari dan bangun
Tidur cepat pagi harinya.
b. Membiasakan qiyamullail dan shalat subuh
pada waktunya.
c. Membiasakan diri melaksanakan adab-adab
tidur.

5 Mengendalikan Jiwa di Saat a. Mencicil menyelesaikan pekerjaan yang


Waktu Luang membutuhkan waktu lama dan sedang
dalam kondisi ditunda.
b. Menjenguk orang sakit, menengok teman,
kerabat dan tetangoa
c. Keluar bersama keluarga untuk rehat
sejenak.
6 Mengendalikan Jiwa di a. Membaca doa keluar rumah dan doa saat
kembali ke rumah, doa ke pasar, dan
Jalanan
sunnah-sunnah lainnya.
b. Menahan lidah dari perkataan yang
memancing kekesalan dan kemarahan
karena kejadian-kejadian selama perjalanan
c. Membiasakan zikir lisan, hati, dan
melantunkan Al-Quran demi memanfaatkan
waktu selama di jalan.

7 Mengendalikan Jiwa dalam a. Amanah dan profesional dalam pekerjaan


serta melaksanakan kewajiban kepada yang
Profesi dan Pekerjaan
berhak
b. Memberi saran dengan tulus kepada rekan-
rekan kerja dengan lemah lembut.
c. Menepati janji-janji, kesepakatan-
kesepakatan dan aturan dalam berkerja.

8 Mengendalikan Jiwa dalam a. Memberikan nasihat serta menampilkan


keteladanan
Aksi Dakwah
b. Menjauhi perdebatan dan adu mulut
walaupun dalam posisi sebagai pihak yang
benar dan mencukupkan diri untuk
memberikan sekadar opini saja.
c. Menjaga perasaan orang lain, tidak
bercanda yang membuat risih, dan sebisa
mungkin mengurangi candaan

Cara Mengubah Perbuatan Menjadi Karakter


Untuk menghasilkan suatu karakter harus melalui perbuatan yang terus diulang
dalam jangka panjang sampai menjadi perbuatan yang otomatis dan spontan maka perlu
melakukan hal-hal berikut:
a. Memilih beberapa contoh aktivitas pada sub pembahasan di atas, misalnya aktivitas
saat bersama pasangan, anak-anak, saat makan, saat tidur, saat waktu luang, di
jalanan, dalam profesi dan pekerjaan, dan dalam aktivitas dakwah dan keimanan,
kemu- dian beberapa contoh aktivitas itu dituliskan dalam satu tabel: perbuatan baru
yang harus selalu dilakukan.
b. Membagi-bagi semua perbuatan yang dipilih tadi ke dalam beberapa kategori baru
yang lengkap disesuaikan dengan kategori yang ada pada sub pembahasan di atas.
c. Mulai memerhatikan semua tabel kategori tadi yang semuanya harus dilakukan setiap
hari minimal satu kali sekurang-kurang nya selama tiga bulan sehingga menjadi
terbiasa dengan mudah, telaten dan tanpa terasa berat. Dilanjutkan dengan memilih
jenis perbuatan yang lain dalam tabel baru, kemudian dipraktikkan selama tiga bulan
sebagaimana tabel pertama, dengan tetap membiasakan perbuatan-perbuatan yang ada
di tabel pertama.
d. Jika setelah melewati tiga bulan yang telah ditentukan belum ada perbuatan pada
tabel di atas yang secara otomatis dan spontan dilaksanakan maka jangka waktunya
ditambah sesuai kebutuhan demi menghasilkan perbuatan-perbuatan yang diharapkan
dapat menjadi karakter diri.
e. Memberikan pemahaman kepada orang di sekitarnya, seperti istri dan anak-anak,
menjelaskan proyek kecilnya ini kepada mereka, supaya mereka membantu dalam
mengerjakan misi ini dan juga ut menjalankan misi ini bersama jika memang di
antara mereka Sudah memahaminya. Bahkan mereka bisa mengingatkan jika upa dan
memotivasi saat sedang ingat, sehingga terpacu untuk berhasil karena sudah menjadi
qudwah bagi mereka.
f. Memerhatikan perubahan-perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari perbuatan-
perbuatan itu, serta menceritakan dan me- nyebarkannya di tengah para ikhwah
supaya keyakinan kita ber- tambah dalam misi ini.
g. Di akhir jangka waktu melaksanakan misi ini, kita tulis semua perbuatan yang sudah
diterapkan mengetahui tingkat dan derajat keberhasilan. Misalnya kita sudah
menerapkan setengah dari semua secara nyata sehingga dapat perbuatan tersebut yang
berarti tandanya kita sudah berhasil. Atau jika lebih dari setengah maka tandanya kita
sudah mahir dalam menghasilkan suatu karakter.
h. Bisa pula cukup membatasi diri dengan melakukan salah satu kategori perbuatan di
atas, seperti perbuatan bersama pasangan, atau bersama anak-anak saja dan hanya
cukup di situ tanpa me- ngerjakan kategori lainnya jika memang hal itu yang
dibutuhkan dan mendesak.
i. Cara ini bisa diaplikasikan untuk menghasilkan perbuatan lainnya terkait akhlak dan
keimanan, seperti bagaimana supaya khusyuk ini, insya Allah kita akan dapat
mengukur misalnya. Dengan cara keberhasilan suatu sifat kejiwaan klaim pribadi.
secara nyata, bukan sekadar
III. DAFTAR PUSTAKA
1. Ali Mansur dan Muhammad Husain.2017.Syarah 10 Muwashafat. Solo:PT Era
Adicitra Intermedia
2. Fathul Muin, 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik.
Yogyakarta: Ar Ruzz.
3. Lickona, Thomas. 2012. Character Matters. Jakarta: Bumi Aksara.
4. Syarbini, Amirullah. 2012. Buku Pinter Pendidikan Karakter. Jakarta: as@prima
pustaka.
MODUL PRAKTIKUM I

PEMBENTUKAN KARAKTER

SASARAN PEMBELAJARAN:
Setelah proses praktikum yang dipandu dengan modul, maka dosen dapat menggali
capaian kompetensi mahasiswa terkait materi pembentukan karakter yang indikatornyma adalah
kemampuannya dalam hal:
1. Mengambil hikmah dan pesan moral dari tayangan video yang telah disajikan
2. Mengaplikasan dalam kehidupan sehari- hari
3. Membuat artikel beradasarkan materi yang telah diberikan dan memaparkannya.
TAHAPAN PRAKTIKUM
1. Diawal pertemuan, Mahasiswa membaca doa dan membaca surah Al-Fajr
2. Dosen/asisten menjelaskan kembali secara ringkas proses pelaksanaan praktikum.
3. Dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mempresentasikan hasil
praktikum dan diskusi.
4. Dosen memberikan tugas kepada mahasiswa untuk mengisi modul praktikum
PROSEDUR KERJA
1. Untuk Prakatikum I, Setiap mahasiswa menonton video yan telah dikirimkan oleh dosen
2. Setiap mahasiswa membuat resume minimal 1 halaman kertas double folio ditulis tangan,
tentang hikmah dan pesan moral berdasarkan video yang telah disajikan
3. Setiap mahasiswa mengumpulkan hasil resume dengan cara memfoto/menscan dan
dikirimkan melalui whatsapp/ GC/ email (tergantung kesepakatan denga dosen
penanggung jawab)
4. Praktikum II, Setiap mahasiswa membuat rancangan hidup/ daily activity atau
semacamnya berdasarakan 10 karakter muslim tangguh.
5. Uraikan dalam 10 karakter muslim tangguh yang mana telah dicapai dan belum dicapai.
6. Uraikan solusi dan rencana masa depan berdasarkan 10 karakter muslim tangguh
tersebut.
7. Setiap mahasiswa memaparkan dalam bentuk video dan dikirimkan melalui whatsapp/
GC/ email (tergantung kesepakatan denga dosen penanggung jawab)
TUGAS MODUL
1. Carilah contoh kisah Rasulullah dan para sahabat tentang 10 karakter muslim tangguh
(contohnya bisa dalam bentuk video, artikel ataupun cerita animasi). Tugas dikirimkan
melalui whatsapp/ GC/ email (tergantung kesepakatan denga dosen penanggung jawab)
INDIKATOR PENILAIAN
Indikator Penilaian Persen Penilaian
Kehadiran (Absen tepat waktu) 10 %
Tugas Modul 15 %
Keaktifan 20 %
Informasi yang diberikan secara tertulis 20 %
(Praktikum I)
Informasi yang diberikan secara lisan 20 %
(Praktikum II)
Laporan 15 %
Total 100%

Anda mungkin juga menyukai