LANDASAN TEORI
Karakter secara etimologi berasal dari bahasa latin character, yang antara lain
watak, tabiat, sifat, kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. 1 Sedangkan menurut
terminologi karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang menjadi ciri
khas sekelompok orang. Karakter merupakan nilai-nilai yang berhubngan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.2
Kata karakter diambil dari bahasa Inggris character, yang juga berasal dari
bahasa Yunani character. Awalnya kata ini digunakan untuk menandai hal yang
mengesankan dari koin (keeping uang). Kemudian, secara umum istilah character
digunakan untuk mengartikan hal yang berbeda antara satu hal dengan yang lainnya,
dan akhirnya juga digunakan untuk menyebut kesamaan kualitas pada tiap orang yang
membedakan dengan kualitas lainnya.3
Ada istilah yang hampir sama dengan karakter, yaitu personality karakter yang
artinya bakat, kemampuan, sifat, dan sebagainya, yang secara konsisten diperagakan
oleh seseorang termasuk pola-pola perilaku, sifat-sifat fisik, dan ciri-ciri kepribadian.
Sedangkan secara terminologis (istilah), karakter diartikan sebagai sifat manusia pada
umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri. karakter adalah sifat
kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang menjadi ciri khas seorang atau sekelompok orang.4
1
Agus Zaenal Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Dan Etika Sekolah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), pp. 20–21.
2
Fitri, pp. 20–21.
3
Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoretik Dan Praktik (Yogyakarta: Ar- ruzz Media, 2011),
p. 162.
4
Fitri, p. 20.
Menurut Akhmad Sudrajat pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang
dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan. Kemudian nilai-nilai tersebut
dapat terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan, berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.5
1) Menurut sofan, Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam,
rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya,
orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter
mulia. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional,
logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung
jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat
dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf,
berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir
positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis,
hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri,
produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga
memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul dan individu juga
5
Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter Di Sekolah (Yagyakarta: Diva
Press, 2011), p. 35.
6
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), p. 4.
mampu bertindak sesuai potensi dan kesadaranya tersebut.7
2) Menurut Imam al-Ghazali karakter karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu
spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam
diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikir lagi.8
b. Pembentukan Karakter
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun atau mungkin hingga sekitar
lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah
sadar masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang
7
Dkk Sofan Amri, Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran (Jakarta: Tim Prestasi Pustaka,
2011), pp. 3–4.
8
Mansur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Kritis Multidimensial (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), p. 70.
9
Mu’in, p. 160.
10
Mu’in, p. 160.
11
Muchlas Samani and Hariyanto, Konsep Dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013), p. 43.
dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan
keluarga. Dari lingkungan keluarga itulah pondasi awal karakter anak sudah terbangun.12
Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Semakin banyak
informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang
terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasaan dan karakter unik dari masing-
masing individu. Dengan kata lain, setiap ndividu akhirnya memiliki sistem
kepercayaan (belief system), citra diri (self image), dan kebiasaan (habit) yang unik.13
Secara teori, pembentukan karakter anak dimulai dari usia 0-8 taun. Artinya di
masa usia tersebut karakter anak masih berubah-ubah tergantung dari pengalaman
hidupnya. Oleh karena itu, membentuk karakter anak harus dimulai sedini mungkin
bahkan sejak anak itu dilahirkan, karena berbagai pengalaman yang dilalui oleh anak
semenjak perkembangan pertamanya, mempunyai pengaruh yang besar. Berbagai
pengalaman ini berpengaruh dalam mewujudkan apa yang dinamakan pembentukan
karakter secara utuh.14
12
Abdul Majid and Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), p. 18.
13
Majid and Andayani, p. 18.
14
Arismantoro, Tinjauan Berbagai Aspek Character Building Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter
(Yagyakarta: Tiara Wacana, 2008), p. 124.
15
Sri Narwanti, Pendidikan Karakter (Yagyakarta: Familia, 2011), p. 5.
Integrasi diantara ketiganya akan menciptakan satu tatanan terpadu yang bermuara pada
proses pembentukan karakter.
Ketiga proses diatas boleh terpisahkan karena yang satu akan memperkuat
proses yang lain. Pembentukan karakter hanya menggunakan proses pemahaman tanpa
pembiasaan dan keteladanan akan bersifat verbalistik dan teoritik. Sedangkan proses
pembiasaan tanpa pembiasaan hanya akan menjadikan manusia berbuat tanpa
memahami makna.17
16
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf (Semarang: Rasail Media Group, 2009), pp. 36–40.
17
Nasirudin, p. 41.
18
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter : Panduan Lengkap Mendidika Siswa Menjadi Pentar Dan Baik
(Bandung: Nusa Media, 2013), p. 74.
komponen, antara lain: (a) kesadaran moral, (b) pengetahuan nilai moral, (c)
pengambilan perspektif, (d) penalaran moral, (e) pengambilan keputusan, (f)
pengetahuan diri.
2) Moral feeling (sikap moral) merupakan tahapan tingkat lanjut pada komponen
karakter yang dijabarkan dalam 6 sub komponen, antara lain: (a) hati nurani, (b)
penghargaan diri, (c) empati, (d) menyukai kebaikan, (e) kontrol diri, dan (f)
kerendahan hati.
3) Moral action (perilaku moral) dibangun atas 3 sub komponen antara lain: (a)
kompetensi, (b) keinginan, dan (c) kebiasaan.
c. Nilai-nilai Karakter
19
Novan Ardy Wiyani, Konsep, Praktik, Dan Strategi Membumikan Pendidikan Karakter Di SD (Yogyakarta:
Arruz Media, 2013), p. 22.
yang menjadi nilai dasar karakter bangsa. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam
pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber yaitu:
3) Budaya. Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat
tersebut.
Terdapat sembilan pilar karakter dasar. Karakter dasar inilah yang menjadi
tujuan pendidikan karakter. Kesembilan pilar karakter dasar ini, antara lain: 20
3) Jujur
Ari Ginanjar Agustian dengan teori ESQ menyodorkan pemikiran bahwa setiap
karakter positif sesungguhnya akan merujuk kepada sifat-sifat mulia Allah, yaitu al
Asma al Husna. Sifat-sifat dan nama-nama Tuhan inilah sumber inspirasi setiap
karakter positif yang dirumuskan oleh siapapun. Dari sekian banyak karakter yang bisa
diteladani dari nama-nama Allah itu, Ari merangkum tujuh karakter dasar, yaitu :21
1) Jujur
2) Tanggung jawab
3) Disiplin
4) Visioner
5) Adil
6) Peduli
7) Kerja sama
21
Narwanti, p. 26.
nilai-nilai pendidikan karakter yang harus dimiliki oleh anak bangsa, sebagai berikut :
Tabel 2.1
Nilai-nilai Karakter Peserta Didik Menurut Kementrian Pendidikan Nasional dan
Kebudayaan Republik Indonesia
NO Nilai Karakter Definisi
1. Religius Pikiran, perkataan dan tindakan
seseorang yang diupayakan selalu
berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan
dan atau ajaran agamanya.22
2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan dan pekerjaan baik terhadap
diri dan orang lain.23
3. Bertanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia
lakukan terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial
dan budaya), negara dan Tuhan.24
4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.25
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan guna menyelesaikan
tugas (atau bekerja) dengan sebaik-
22
Zainal Aqib and Sujak, Panduan Dan Aplikasi Pendidikan Karakter (Bandung: Yrama Widya, 2011), p. 7.
23
Aqib and Sujak, p. 7.
24
Aqib and Sujak, p. 7.
25
Aqib and Sujak, p. 7.
baiknya.26
6. Toleransi Sikap memberikan respek/hormat
terhadap berbagai macam hal, baik
yang berbentuk fisik, sosial, budaya,
suku maupun agama.27
7. Kreatif Yakni perilaku yang mencerminkan
inovasi dalam berbagai segi dalam
memecahkan masalah, sehingga selalu
menemukan cara-cara baru, bahkan
hasil-hasil baru yang lebih baik dari
sebelumnya.28
8. Mandiri Yakni sikap dan perilaku yang tidak
tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan berbagai tugas maupun
persoalan. Namun hal ini bkan berarti
tidak boleh bekerjasama secara
kolaboratif, melainkan tidak boleh
melemparkan tugas dan tanggung
jawab kepada orang lain.29
9. Demokrasi Cara berpikir, bersikap dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.30
10. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang berupaya
untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari apa yang dipelajarinya,
dilihat dan didengar.31
11. Semangat kebangsaan Yakni sikap tindakan yang
26
Aqib and Sujak, p. 7.
27
Aqib and Sujak, p. 7.
28
Aqib and Sujak, p. 8.
29
Aqib and Sujak, p. 8.
30
Aqib and Sujak, p. 8.
31
Aqib and Sujak, p. 8.
atau nasionalisme menempatkan kepentingan bangsa dan
Negara di atas kepentingan pribadi atau
induvidu dan golongan.32
12. Cinta tanah air Sikap dan perilaku yang mencerminkan
rasa bangga, setia, peduli dan
penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, budaya, ekonomi, politik dan
sebagainya, sehingga tidak mudah
menerima tawaran bangsa lain yang
dapat merugikan bangsa sendiri.33
13. Menghargai prestasi Sikap terbuka terhadap prestasi orang
lain dan mengakui kekurangan diri
sendiri tanpa mengurangi semangat
berprestasi yang lebih tinggi.34
14. Komunikatif Senang bersahabat atau proaktif yakni
sikap dan tindakan terbuka terhadap
orang lain melalui komunikasi yang
santun sehingga tercipta kerja sama
secara kolaboratif dengan baik.35
15. Cinta damai Sikap dan perilaku yang mencerminkan
suasana damai, aman, tenang dan
nayaman atas kehadiran dirinya dalam
komunitas atau masyarakat tertentu.36
16. Gemar membaca Kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk
menyediakan waktu secara khusus guna
membaca berbagai informasi, baik
buku, jurnal, majalah, Koran, dan
32
Aqib and Sujak, p. 8.
33
Aqib and Sujak, p. 8.
34
Aqib and Sujak, p. 9.
35
Aqib and Sujak, p. 9.
36
Aqib and Sujak, p. 9.
sebagainya sehingga menimbulkan
kebajikan bagi dirinya.37
17. Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya menjaga dan melestarikan
lingkungan sekitar.38
18. Peduli social Sikap dan perbuatan yang
mencerminkan kepedulian terhadap
orang lain maupun masyarakat yang
membutuhkan.39
37
Aqib and Sujak, p. 9.
38
Aqib and Sujak, p. 9.
39
Aqib and Sujak, p. 9.
40
Samani and Hariyanto, p. 51.
diambil.
3. Cerdas Berpikir secara cermat dan tepat,
bertindak dengan penuh perhitungan,
rasa ingin tahu yang tinggi,
berkomunikasi efektif dan empatik,
bergaul secara santun, menjunjung
kebenaran dan kebajikan, mencintai
Tuhan dan lingkungan.
4. Sehat dan Bersih Menjaga diri dan lingkungan,
menerapkan pola hidup yang seimbang.
5. Peduli Memperlakukan orang lain dengan
sopan, bertindak santun, toleran
terhadap perbedaan, tidak suka
menyakiti orang lain, mau mendengar
orang lain, mau berbagi, tidak
merendahkan rang lain, tidak
mengambil keuntungan dari rang
lain, mampu bekerja sama, mau terlibat
dalam kegiatan masyarakat,
menyayangi manusia dan makhluk lain,
setia, cinta damai dalam menghadapi
persoalan.
6. Kreatif Mampu menyelesaikan masalah secara
inovatif, luwes, kritis, berani
mengambil keputusan dengan cepat dan
tepat, menampilkan sesuatu secara luar
biasa, memiliki ide baru, ingin terus
berubah, dapat membaca situasi dan
memanfaatkan peluang baru.
7. Gotong Royong Mau bekerja sama dengan baik,
berprinsip bahwa tujuan akan lebih
mudah dan cepat tercapai jika
dikerjakan bersama-sama, tidak
memperhitungkan tenaga untuk saling
berbagi dengan sesama, mau
mengembangkan potensi diri untuk
dipakai saling berbagi agar
mendapatkan hasil yang terbaik, tidak
egois.
Karakter dipengaruhi oleh hereditas. Perilaku seorang anak sering kali tidak
jauh dari perilaku ayah atau ibunya. Ada sebuah pribahasa yang mengatakan “buah
jatuh tak jauh dari pohonnya”. Kecuali terdapat benturan dari lingkungannya yang turut
1) Faktor intern
41
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter : Konsep Dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012), p. 19.
Faktor kebiasaan ini sangat penting dalam membentuk karakter.
Kebaiasaan merupakan perbuatan yang diulang- ulang sehingga mudah
dikerjakan maka hendaknya seorang individu memaksakan dirinya untuk
mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi kebiasaan dan dari
kebiasaan itu terbentuklah karakter yang baik padanya.
e) Keturunan
2) Faktor ekstern
a) Pendidikan
b) Lingkungan
Pendidikan agama merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata “pendidikan”
dan “agama”. Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie
yang berarti “ pendidikan” dan paedagogie yang berati “pergaulan dengan anak-
anak”.42 Dengan demikian pendidikan adalah usaha yang dilakukan oleh orang dewasa
dalam pergaulannya dengan anak-anak guna untuk membimbing serta memimpin
42
Aat Syafaat, Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), pp. 11–12.
perkembangan jasmani dan rohaninya kearah pendewasaan. Sedangkan “agama” adalah
menyembah atau menghormati kekuatan yang lebih agung dari manusia yang di anggap
mengatur dan menguasai jalannya alam semesta dan jalannya peri kehidupan manusia. 43
Islam itu sendiri adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw yang
berpedoman pada kitab suci al-Qur’an, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah
swt.
3) Abu Ahmad dan Noor Salimi, mendefinisikan bahwa Pendidikan Islam adalah
agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Untuk diturunkan
kepada seluruh umat manusia, yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan
(aqidah) yang menetukan proses berpikir, merasa dan berbuat dan proses
terbentuknya kata hati.
43
Aslam Hadi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Rajawali, 198AD), p. 6.
44
Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Proyek Pembinaan Tinggi Agama, 1983), p. 1.
45
Mappanganro, Implementasi Pendidikan Agama Islam Di Sekolah (Ujung Pandang: Yayasan al-ikhlas,
1996), p. 10.
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-
nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. Dengan istilah lain,
manusia muslim yang yang telah mendapatkan pendidikan Islam itu harus mampu hidup
didalam kedamaian dan kesejahteraan sebagai yang diharapkan oleh cita-cita Islam.
Demikian dapat dikatakan bahwa dengan sistem pendidikan Islam yang terus
tampil dan eksis akan terhadap kepribadian siswa yang sesuai dengan
48
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik (Bandung,
2004), pp. 13–14.
49
Arief, p. 41.
50
Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), pp. 48–49.
51
Fathiyah Hasan Suaiman, Al- Mazhabut Trabawy: Inda Al-Ghazali, Terjemahan Fatur Rahman, Sistem
Pendidikan Versi Al-Ghazali (Bandung: al-Ma’rif, 1986), p. 24.
perkembangannya setelah mereka melalui proses pembelajaran dengan mempelajari
berbagai pelajaran dengan baik sehigga dapat membentuk karakter siswa sesuai dengan
nilai-nilai taqwa yang terdapat dalam nilai-nilai pendidikan yaitu sebagai berikut: 52
1) Tolong menolong
2) Cinta mencintai
3) Pengendalian emosi
4) Kesabaran
5) Keikhlasan
6) Rendah hati
7) Jujur h. Amanah
8) Menjaga kehormatan
9) Malu
10) Berani
12) Setia
15) Membantu orang yang membutuhkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
52
Suaiman, p. 24.
Sehingga dapat difahami bahwa dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan
memegang peran yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut,
karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta
mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada
generasi penerus. Demikian pula halnya dengan peranan pendidikan Islam di kalangan
umat Islam merupakan salah satu manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk
melestarikan, mengalihkan dan menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan
nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai
kultural religius yang di cita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam
masyrakat dari waktu ke waktu.
Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa karakter tidak bisa dipahami hanya
sekedar pembentukan moralitas atau kepribadian, tetapi juga bagaimana seorang siswa
mampu berperilaku secara wajar. Sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan adat
istiadat yang menjadi pedoman dinegara tercinta. Sehingga pendidikan Islam yang
bertujuan untuk membentuk siswa kearah perbaikan akhlak dan kepribadiannya dimana
dalam berpikir dan bertindak dapat menghasilkan sesuatu yang lebih kepada kejujuran
dan bertoleransi dalam kehidupan sehari-hari. Dimana pendidikan Islam tidak hanya
diajarkan dari segi toritis, akan tetapi guru pendidikan agama Islam juga diharapkan
mampu untuk mencapai atau memberi sesuatu yang positif.
Pendidikan Islam sangat memegang peran dimana dalam sistem ajaran Islam
dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu bagian akidah (keyakinan, bagian syariah
(aturan-aturan hukum tentang aqidah dan muamalah), serta bagian akhlak ( karakter).
53
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), p. 14.
Ketiga bagian ini tidak dapat dipisahkan dalam ajaran Islam, tetapi harus menjadi satu
kesatuan yang saling memengaruhi. Akidah merupakan pondasi yang menjadi tumpuan
untuk mewujudkan syariah dan akhlak. Sementara itu, syariah merupakan bentuk
banguna yang akan bisa terwujud dan berdiri kokoh apabila dilandasi oleh kaidah yang
benar-benar akan mengarah pada pencapaian akhlak(karakter) sebenarnya merupakan
hasil atau akibat terwujudnya bangunan syariah yang benar-benar dilandasi oleh
fondasi akidah yang kokoh.54
Jadi, dari semua teori yang telah penulis paparkan diatas Pendidikan Agama Islam
merupakan pilar dari pembentukan karakter, karena dari pendidikan Agama Islamlah adanya
pengetahuan tentang akidah, dimana akidah merupakan dasar dari penanaman akhlak
(karakter).
Seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah
asalkan kegiatan tersebut masih di bawah tanggung jawab guru (sekolah) disebut
kurikulum. Yang dimaksud kegiatan tersebut tidak terbatas pada kegiatan intra atau
ekstrakurikuler. Misalnya kegiatan mengerjakan tugas kelompok, mengadakan
observasi, wawancara dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum,
karena memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas- tugas yang diberikan guru dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah.56
54
Mohamad Mustari, Nilai-Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014), p. 11.
55
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), p. 59.
56
Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, p. 6.
Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.57
Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum
sebagai berikut :58
1) Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang
dicita-citakan sebagaimana tertuang dalam dokumen kurikulum.
2) Kurikulum actual atau factual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam proses
pengajaran dan pembelajaran. kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda
dengan harapan. Namun demikian, kurikulum actual seharusnya mendekati
kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang tidak
dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk pada bahan ajar yang telah direncanakan
yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Adapun pengajaran merujuk
pada pelaksanaan kurikulum tersebut tersebut secara bertahap dalam belajar
mengajar.
Melihat berbagai pengertian tersebut penulis lebih setuju dengan pendapat Dede
Rosyada bahwa hidden curriculum adalah segala kegiatan yang mempengaruhi siswa,
59
Caswita, The Hidden Curriculum (Yogyakarta: Leutikaprio, 2013), p. 45.
60
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Kencana Penada Media Group, 2007), p. 31.
61
Rohinah M. Noor, The Hidden Curriculum (Yogyakarta: Insan Madani, 2012), p. 28.
baik menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas, pola interaksi, guru dengan siswa
di dalam kelas, bahkan pada kebijakan serta manajemen pengelolaan sekolah. Dalam
kebijakan sekolah yaitu bagaimana sekolah menerapkan kebiasaan atau berbagai aturan
disiplin yang harus diterapkan pada seluruh komponen sekolah atau warga sekolah.
Diantara kebiasaan sekolah tersebut misalnya, kebiasaan ketepatan guru memulai
pelajaran, kemampuan dan cara guru menguasai kelas, bagaimana guru menyikapi
berbagai kenakalan siswa baik di luar ataupun di dalam sekolah.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hidden kurikulum
merupakan segala bentuk kegiatan yang dapat mempengaruhi siswa dengan berbagai
cara yang sebenarnya tidak direncanakan namun dapat bermanfaat bagi siswa. Hidden
kurikulum dapat mempengaruhi perilaku, sikap dan cara berperiaku siswa tergantung
dari cara pengajar berinteraksi dengan siswa, bagaimana keadaan lingkungan dari
sekolah tersebut dll.
1) Rules atau aturan, sekolah harus menciptakan berbagai aturan untuk menciptakan
63
Noor, p. 31.
64
Sanjaya, p. 28.
65
Caswita, p. 47.
situasi dan kondisi sekolah yang kondusif untuk belajar.
3) Routines atau kontinyu, sekolah harus menerapkan segala kebijakan dan aturan
secara terus menerus dan adaptif, tujuannya agar kebijakan tersebut dapat diterima
dengan baik daan terus dilaksanakan.
Sedangkan aspek yang dapat berubah meliputi variabel organisasi, sistem sosial
dan kebudayaan. Allan A. Glatthorn juga menjelaskan bahwa ketiga variabel tersebut
penting dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah. Variabel organisasi yakni
kebijakan guru dalam proses pembelajaran yang meliputi bagaimana guru mengelola
kelas, bagaimana pelajaran diberikan, bagaimana kenaikan kelas dilakukan. Sistem
sosial yakni suasana sekolah yang tergambar dari pola-pola hubungan semua kompnen
sekolah, yaitu meliputi bagaimana pola sosial antara guru dengan guru, guru dengan
peserta didik, guru dengan staf sekolah, dan lain sebagainya. Variabel kebudayaan
yakni dimensi sosial yang terkait dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan struktur
kognitif.67
1) Kebiasaan siswa
2) Keteladanan guru
68
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al Qur’an (Jakarta: Amzah, 2007), p. 86.
69
Ramayulis, p. 184.
dan kebiasaan- kebiasaan belajar siswa. Siswa akan menyerap sikap-sikap,
merefleksikan perasaan-perasaan, menyerap keyakinan- keyakinan, meniru
tingkah laku, dan mengutip pernyataan- pernyataan gurunya. Pengalaman
menunjukkan bahwa masalah- masalah sperti motivasi, disiplin, tingkah laku
sosial, prestasi, dan hasrat belajar yang terus menerus pada diri siswa yang
bersumber dari kepribadian guru.70
3) Pengelolaan kelas
70
Suyanto and Asep Jihad, Menjadi Guru Profesional (Jakarta: Esensi, 2013), p. 16.
71
Ramayulis, p. 181.
72
Suyanto and Jihad, p. 102.
73
Suyanto and Jihad, p. 48.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia, tata berarti aturan, system, dan
susunan, sedangkan tertib berarti peraturan. Jadi tata tertib menurut pengertian
etimology adalah sistem atau susunan peraturan yang harus ditaati.74 Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kehidupan di sekolah memerlukan tata
tertib, karena tata tertib merupakan salah satu alat pendidikan dan merupakan
bagian dari kelancaran kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Tata tertib sekolah tidak hanya membantu program sekolah, tetapi juga
untuk menunjang kesadaran dan ketaatan terhadap tanggung jawab. Karena rasa
tanggung jawab inilah yang merupakan inti dari kepribadian yang sangat perlu
dikembangkan dalam diri anak, mengingat sekolah adalah salah satu pendidikan
yang bertugas untuk mengembangkan potensi manusia yang dimiliki oleh anak
agar mampu menjalankan tugas- tugas kehidupan manusia, baik secara individu
maupun sebagai anggota masyarakat.75
Maka dapat dilihat bahwa hidden kurikulum ini dapat muncul dari hal
yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan atau habit,
dapat juga muncul dari refleksi perilaku, perasaan dan pernyataan seorang guru
sebagai role model bagi siswa, dapat juga muncul dari tata pengelolaan kelas
seperti pembelajaran menarik yang kemudian lama kelamaan akan membentuk
karakter peserta didik karena tertarik dengan metode pengajaran guru tsb, dan
kemudian dapat juga muncul dari tata tertib sebagai sistem atau aturan yang
harus dipatuhi oleh peserta didik.
74
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), p. 1025.
75
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah Dan Pengelolaan Kelas Sebagai Lembaga Pendidikan (Jakarta: Tema
Baru, 1998), p. 27.
bertanggung jawab.76
Iklim yang kondusif serta suasana yang nyaman akan sangat mendukung
proses pembelajaran di sekolah. Untuk mewujudkan semua itu sekolah harus
mengembangkan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Kurikulum tersembunyi
tersebut meliputi perilaku serta komunikasi kepala sekolah dengan guru, guru dengan
guru, guru dengan peserta didik, serta suasana dan aturan sekolah lainnya.77
Menurut Hidayat, sumber hidden curriculum bisa berasal dari praktik, prosedur,
aturan, hubungan dan struktur, struktur sosial dari ruang kelas, latihan otoritas guru,
aturan yang mengatur hubungan antara guru dan siswa, aktifitas belajar, penggunaan
bahasa, buku teks, alat bantu audiovisual, ukuran disiplin, daftar pelajaran, dan prioritas
kurikulum.78
Ada beberapa cara untuk menciptakan iklim sekolah yang kondusif bagi
pembentukan karakter siswa. Contohnya dengan mendirikan kantin sekolah. Layanan
kantin merupakan salah satu bentuk layanan khusus di sekolah yang berusaha
menyediakan makanan dan minuman yang dibutuhkan siswa atau personil sekolah.
Beberapa fungsi dari layanan kantin sekolah, diantaranya adalah:79
4) Mengajarkan penggunaan tata karma yang benar dan sesuai dengan yang
berlaku di masyarakat.
Maka hidden curriculum sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku siswa. Tata tertib
sekolah yang demokratis akan menjadikan siswa dapat menerima masukan dari orang
lain. Tutur kata dan perilaku yang santun dari warga sekolah tentu akan membentuk
perilaku dan karakter siswa.
Hidden curriculum yang merupakan kurikulum tidak secara resmi tertulis banyak
dibentuk dari budaya sekolah serta iklim yang positif di lingkungan sekolah. Untuk
mewujudkan keberhasilan hidden curriculum maka komunitas sekolah harus menciptakan iklim
sekolah yang kondusif bagi proses pendidikan, karena iklim sekolah merupakan bagian dari
hidden curriculum.81
Tata tertib sekolah yang dibangun secara demokratis akan mengajarkan kepada siswa
bagaimana cara berdemokrasi dalam kehidupan. Hasilnya akan memberikan pengalaman
kepada siswa aturan main dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh yang baik dalam perilaku
tutur kata yang santun dari staf guru ataupun staf sekolah lainnya tentu akan ikut mewarnai
pola sikap siswa dalam kehidupan di masyarakat. sebaliknya, apabila lembaga pendidikan
melupakan keberadaan hidden curriculum, tentu pengalaman yang tidak diinginkan akan
tercerna oleh siswa yang selanjutnya akan membawa dampak yang merugikan.84
Dari beberapa teori tersebut dapat dijelaskan bahwa pengelolaan dan pelaksanaan
hidden curriculum yang baik dapat menciptakan iklim sekolah yang kondusif, dan akan
memberikan pengaruh positif terhadap karakter siswa. Pengaruh positif tersebut dapat
membentuk karakter yang semakin baik pada siswa. Namun sebaliknya, apabila pelaksanaan
hidden curriculum tidak diperhatikan atau bahkan dilupakan, maka yang dicerna oleh siswa
adalah pengalaman yang tidak diinginkaan dan tentunya akan berdampak negatif.
83
Caswita, p. 64.
84
Noor, p. 127.