Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PENDIDIKAN KARAKTER ANAK

A. Pengertian Pendidikan Karakter Anak

Apa itu pendidikan karakter? Sebelum dijelaskan makna pendidikan

karakter, terlebih dahulu akan diuraikan definisi karakter. Secara etimologis,

kata karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi

pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Definisi lain mengatakan, bahwa karakter adalah kualitas mental atau

moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Karakter adalah “ciri khas” yang

dimiliki suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah “asli” dan

mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut dan merupakan

mesin pendorong bagi seseorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespon

sesuatu.

Karakter juga diartikan sebagai nilai dasar yang membangun pribadi

sesorang, terbentuk baik karna pengaruh hereditas maupun pengaruh

lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan

dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari

Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin,

mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (Knowing the

good), mencintai kebaikan (Loving the good), dan melakukan kebaikan

(doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu sering kali

diragukan dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian, maka pendidikan

12
13

karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju

standar-standar baku.1

Karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukan bagaimana

seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang tidak berlaku jujur, kejam atau

rakus, maka orang tersebut memanifestasikan prilaku buruk, sebaliknya,

apabila seseorang berprilaku jujur, suka menolong, maka orang tersebut

memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter tersebut erat

kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa di sebut orang yang

berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan

kaedah moral.

Para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai karakter.

Dalam kamus sosiologi, istilah karakter menurut sunarta adalah ciri khusus

dari struktur dasar kepribadian seseorang,

Menurut Doni Koesoema menjelaskan bahwa kita sering

mengasosiasikan karakter dengan apa yang disebut temperamen yang

memberinya definisi yang menentukan unsur psikososial yang dikaitkan

dengan pendidikan dan konteks lingkungan.2

Karakter itu sama dengan akhlak dalam pandangan islam. Akhlak

sendiri dalam pandangan islam ialah kepribadian. Kepribadian di anggap

sebagai ciri atau karakteristik sifat khas dari seseorang yang bersumber dari

bentukan-bentukan yang di terima baik dari lingkungan atau keluarga

1
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 2017), cet. IV, h, 11.
2
Amirulloh Sarbini, Buku Pintar Pendidikan Karakter (Jakarta: as@-Prima pustaka,
2012), h. 13.
14

Kepribadian itu memiliki tiga komponen yaitu: Pengetahuan, Sikap,

dan Prilaku. Maka kepribadian akan dianggap benar jika pengetahuan sama

dengan sikap dan sama dengan prilaku.

Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang memberikan

kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam kedamaian

serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebajikan, yang

bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak bermoral. Karakter

dimaknai sebagai cara berfikir dan berprilaku yang khas tiap individu untuk

hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa,

dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat

membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari

keputusannya.3

Dari berbagai pendapat itu dapat disimpulkan bahwa karakter adalah

sifat yang mantap stabil dan khusus yang melekat dalam pribadi seseorang

yang membuatnya bersikap dan bertindak secara spontan, tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan dan tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu.

Lalu, apa itu pendidikan karakter? Dalam Rencana Aksi Nasional

Pendidikan Karakter disebutkan bahwa pendidikan karakter adalah

pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral dan pendidikan

akhlak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk

memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan

mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehai-hari dengan sepenuh hati.

3
Muchlas Samani dan Hariyanto,Konsep dan ModelPendidikan Karakter, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2017) cet. VI, h. 41
15

Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana

yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter

menanamkan kebiasaan tentang hal mana yang baik, sehingga peserta didik

menjadi paham tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan nilai

yang baik dan biasa melakukannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter

harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik, akan tetapi juga

merasakan dengan baik, dan perilaku yang baik.4

Pendidikan karakter dewasa ini bukan saja hal yang penting bagi

lembaga pendidikan, tetapi menjadi kebutuhan yang harus diberikan kepada

peserta didik, karena kebutuhan bangsa ini bukan hanya mengantarkan dan

mencetak peserta didik cerdas dalam nalar, tetapi juga harus cerdas dalam

moral. Mencetak anak yang berprestasi secara nalar memang tidak mudah,

tetapi mencetak anak bermoral jauh lebih sulit dilakukan, apalagi dengan

perkembangan teknologi canggih yang semakin cepat dan pesat, yang

tentunya akan berdampak terhadap perkembangan anak

B. Metode Mendidik Karakter Anak di Rumah

Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan sangat penting

guna mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian

dalam menentukan metode. Menurut Islam, metode yang biasa digunakan

untuk mendidik karakter anak adalah antar lain: metode keteladanan,

perhatian dan kasih sayang, nasihat, pembiasaan, cerita/kisah, penghargaan

dan hukuman, curhat, dan lainnya.5

4
Amirulloh Sarbini,op.cit., h. 17
5
ibid., h. 64
16

1. Mendidik melalui keteladanan

Konsep dan persepsi pada diri seorang anak dipengaruhi oleh unsur

dari luar diri mereka. Hal ini terjadi karena sejak usia dini telah melihat,

mendengar, mengenal, dan mempelajari hal-hal yang berada diluar diri

mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan

diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu. Agar anak

meniru sesuatu yang positif dari orang tua ataupun orang yang ia idolakan,

maka menjadi kemestian mereka itu semua harus menjadikan dirinya sebagai

uswatun hasanah dengan menampilkan diri sebagai sumber norma, budi yang

luhur, dan perilaku yang mulia.

Begitu juga Allah SWT telah meletakkan pada pribadi nabi

muhammad SAW gambaran yang sempurna tentang manhaj Islam. Hal ini

bertujuan agar beliau menjadi gambaran hidup yang kekal dengan

kesempurnaan akhlak dan keagungannya untuk generasi-generasi setelahnya.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 21

           
 
   
Artinya:“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”(QS. Al-Ahzab:
21).6

Oleh karena itu, keteladanan dalam mendidik anak adalah sangat

penting, apalagi sebagai orang tua yang diamanahi Allah SWT berupa anak-

anak, maka kita harus menjadi teladan yang baik buat mereka. Kita harus

6
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam,(Solo: Insan Kamil, 2017), cet.
ke-10, hh. 516-517
17

menjadi figur yang ideal bagi anak-anak, kita harus menjadi panutan yang

bisa mereka andalkan dalam mengarungi kehidupan. Tanpa adanya

keteladanan ini, pendidikan apapun tidak berguna bagi anak dan nasihat

apapun tidak berpengaruh untuknya. Maka bertakwalah kepada Allah SWT,

wahai pendidik, dalam hal anak-anak kalian. Laksanakanlah tanggung jawab

kepada mereka, agar anda semua melihat sendiri anak-anak anda menjadi

matahari perbaikan diri dan bulan yang menunjukkan jalan. Mereka akan

menjadi inspirasi kebaikan bagi yang lain dari akhlak dan etika mereka.

2. Mendidik melalui perhatian

Dalam masa pertumbuhan menjadi manusia dewasa, anak

memerlukan perhatian khusus dalam masalah emosi. Hal ini sangat beralasan

karena gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang terjadi pada

siapapun, termasuk pada anak, bisa menimbulkan setres. Pada usia ini

bimbingan orang tua menjadi hal yang mutlak mengingat emosi anak yang

masih labil dan efek lanjutan yang mungkin timbul akibat gangguan tersebut.

Islam dengan prinsip-prinsipnya yang menjaga dan mendorong para

orang tua dan pendidik lainnya untuk selalu memperhatikan dan mengawasi

anak-anak mereka disemua aspek kehidupan dan pendidikannya. Karena

bagaimanapun anak adalah amanah bagi orang tuanya, mereka bertanggung

jawab atas pendidikan, agama, dan akhlaknya. Anak-anak yang lebih baik

akan menjadi permata hati bagi mereka di dunia dan akhirat. Sebagaimana

firman Allah SWT:

     


    
18

         


Artinya: “dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka (di dalam syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun
dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya”. (QS. Ath-Thur: 21).7

3. Mendidik melalui kasih sayang

Banyak orang bilang, kasih sayang menciptakan kerja sama di antara

manusia. Oleh sebab itu, sikap kasih sayang sesama manusia, khususnya

dalam hal mendidik, adalah hal esensial. Di samping itu kasih sayang juga

menyebabkan lahirnya rasa aman dan nyaman, baik secara jasmani maupun

rohani, dan menjadi solusi tepat dalam memperbaiki perilaku moral dan

mengharmoniskan hubungan manusia.

Oleh karenanya, orang tua atau pendidik yang mengabaikan cinta dan

kasih sayang tidak akan mampu membangun hubungan yang baik dengan

anak didiknya, dan ia pasti gagal dalam menyampaikan pesan-pesan

pendidikan kepadanya. Seorang guru yang lebih dahulu membuka pintu mata

hatinya ketimbang penalaran dan pemikiranya akan lebih memberikan

pengaruh terhadap anak-anak didiknya. Namun guru yang miskin cinta tidak

akan dapat menjadikan anak didiknya sebagai pendengar yang baik. Cinta

Allah SWT menjadi faktor pendidikan dan penyempurnaan bagi para hamba-

Nya, sehingga jiwa-jiwa mereka jauh dari segala kotoran dan kemaksiatan.

Al-Quran banyak menyebutkan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Allah

sebagai pendidik yang baik berfirman kepada Nabi Musa AS.

 …       

7
Amirulloh Sarbini, op.cit., h. 72
19

Artinya: "... aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang
dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,” (QS.
Thaha:39).8

4. Mendidik melalui nasihat

Harold Alberty mengemukakan bahwa masa remaja merupakan

periode perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak

berakhirnya masa kanak-kanak sampai dengan awal masa dewasa. Pada masa

tersebut sering ditandai dengan adanya berbagai perubahan, baik secara fisik

ataupun psikis, yang mungkin saja dapat menimbulkan problema tertentu bagi

si remaja. Apabila tidak disertai dengan upaya pemahaman diri dan

pengarahan diri secara tepat, bahkan dapat menjurus pada berbagai tindakan

kenakalan remaja dan kriminal. Adapun metode nasihat sebagaimana Al-

Quran mengisahkan Luqman yang memberi nasihat kepada anaknya agar

menyembah Allah dan berbakti kepada orang tua serta melakukan sifat-sifat

yang terpuji seperti yang terdapat dalam QS. Luqman: 12-13:

         


   
          
  
        
Artinya:”Dan sungguh, telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.” Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman:12-13).9

8
ibid., h. 78
9
ibid., hh. 85-86
20

5. Mendidik melalui pembiasaan

Manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih. Dalam keadaan

seperti ini manusia akan mudah menerima kebaikan atau keburukan. Karena

pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk menerima kebaikan atau

keburukan. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

        


   
    
Artinya:“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya; maka dia
mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaan; Sungguh
beruntung orang yang mensucikannya (jiwa itu); dan sungguh rugi orang
yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syamsy: 7-10).10

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia mempunyai

kesempatan sama untuk membentuk karakternya, apakah dengan pembiasaan

yang baik atau dengan pembiasaan yang buruk. Hal ini menunjukan bahwa

metode pembiasaan dalam bentuk kerakter sangat terbuka luas, dan

merupakan metode yang tepat.

6. Mendidik melalui cerita/kisah

Bercerita adalah kegiatan yang sering dilakukan guru di sekolah

kepada murid-muridnya, orang tua kepada anak-anaknya, atau penceramah

bercerita kepada pendengarnya. Metode bercerita merupakan salah satu yang

bisa digunakan dalam mendidik karakter anak. Sebagai suatu metode,

bercerita mengundang perhatian anak terhadap pendidik sesuai dengan tujuan

mendidik.

An-Nahlawi menjelaskan tentang dampak positif mendidik dengan

cerita/kisah:
10
Ibid., h. 92
21

Pertama, dapat mengaktifkan dan membangun kesadaran pembaca

ataupun pendengar tanpa merasa digurui atau dinasehati.

Kedua, kisah/cerita dapat membina perasaan ketuhanan melalui cara-

cara seperti mempengaruhi emosi, lalu mengarahkan emosi tersebut menyatu

pada satu kesimpulan yang menjadi akhir kisah, dan mengikutsertakan unsur

psikis yang membawa pembaca ataupun pendengarnya larut dalam setting

emosional, sehingga terasa seolah hidup bersama dengan para tokohnya.

Dengan adanya metode bercerita diharap mampu menyentuh jiwa jika

didasari dengan ketulusan hati yang mendalam. Metode bercerita ini

diisyaratkan dalam Al-Qur’an:

        



      
Artinya:“Kami menceritakan kepadamu (muhammad) kisah yang paling baik
dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu
sebelum itu termasuk orang-orang yang belum mengetahui.”(QS: Yusuf: 3).11

7. Mendidik melalui curhat

Anak yang mulai menginjak remaja begitu cepat mengalami

perubahan fisik dan psikis, sehingga mengundang kebingungan dan

kegelisahan. Di sinilah pentingnya teman curhat bagi anak. Metode mendidik

dengan cara ini dapat diambil manfaatnya, di antaranya yaitu:

a. Terjadinya interaksi esensial antara seorang anak dengan orang

tuanya.

b. Pikiran anak didik akan terfokus dan terpusat pada pertanyaan yang

dilontarkan sebagai substansi dari pesan didikanya.

11
Ibid., h. 102
22

c. Jawaban yang menggunakan kalimat negatif merupakan metode

pendidikan yang ilmiah dan realistis serta menjadi hujjah (alasan)

atas pelanggaran terhadap perbuatan tertentu, baik secara

kemasyarakatan maupun kemanusiaan.

d. Pertanyaan dalam mendengar atau mengajak curhat dapat menjadi

dalil keyakinan yang menunjukan keingkaran anak remaja terhadap

perbuatan buruk, dan banyak dalil merupakan salah satu kiat

pendidikan yang memperkuat hujjah atau alasan.

Oleh karenanya, bercermin dari itu, tampaknya orang tua wajib

menjadikan doa sebagai salah satu sarana penyembuh penyakit hati atau saat

mendengarkan keluh-kesah (curhat) anaknya atau peserta didiknya.

Sebagaimana Allah SWT berfirman:

...    ...


Artinya: “...Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu...”
(QS: Al-Mu’min: 60).12

8. Mendidik melalui penghargaan dan hukuman

Secara etimologis bahasa Arab, rewad (ganjaran) diistilahkan dengan

tsawab. Kata ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, khususnya ketika

membicarakan tentang apa yang akan diterima oleh seseorang, baik di dunia

maupun di akhirat dari amal perbuatannya.

Sedangkan punishment (hukuman) dalam bahasa arab diistilahkan

dengan íqob. Seperti firman Allah SWT sebagai berikut:

12
Depag Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qurá n, Al-Qurán dan
Terjemahnya(Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993).
23

        


 
     
Artinya: “(keadaan mereka) seperti keadaan pengikut Fir'aun dan orang-
orang yang sebelum mereka. Mereka mendustakan ayat-ayat kami, karena itu
Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sangat
keras hukuman-Nya.”(QS: Ali-Imran: 11).13

Agar pendekatan ini tidak menyakiti anak, maka setiap pendidik

hendaknya memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman, yaitu:

a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta dan kasih

sayang.

b. Harus didasarkan pada alasan yang jelas.

c. Harus menimbulkan kesan di hati anak.

d. Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak

didik.

e. Harus diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta

kepercayaan.

Reward dan punishment adalah dua jenis metode yang bisa digunakan

dalam mendidik karakter anak, terutama di rumah. Namun, penggunaan

kedua metode tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang

terdapat dalam ajaran Islam. Penggunaan reward lebih efektif dibanding

punishment, karena itu punishment boleh digunakan ketika alternatif lain

sudah tidak mampu memecahkan persoalan yang dihadapi anak.

C. Tujuan Pendidikan Karakter pada Anak

Merujuk fungsi dan tujuan pendidikan nasional sesuai Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, tentang tujuan pendidikan nasional,


13
Amirulloh Sarbini, op.cit., h. 106
24

Tujuan pendidikan nasional itu sendiri pada hakekatnya ialah untuk

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab. Jika dianalisis, tujuan atau inti dari pendidikan nasional

adalah pembentukan karakter (akhlak). Dari sepuluh kata kunci pendidikan

nasional (beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, demokratis dan bertanggung jawab), Tiga di antaranya telah

mewakili seluruh tujuan pendidikan nasional tersebut, beriman, bertakwa, dan

berakhlak mulia.14

Pembahasan pendidikan karakter berdasarkan tujuan pendidikan

nasional selanjutnya akan lebih difokuskan pada karakter iman, bertakwa,

berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

1. Pendidikan karakter beriman

Keimana bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan

lidah saja ataupun semacam keyakinan dalam hati belaka, tetapi

keimanan yang sebenar-benarnya adalah merupakan suatu akidah atau

kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani dan dari situ akan

muncul pulalah bekas-bekas dan kesan-kesannya. Salah satu dari

kesan-kesan keimanan itu adalah apabila Allah dan Rasul-Nya

dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Hal ini

wajiblah ditampakkan baik dalam ucapan, perbuatan dan segala

geraknya dalam pergaulan dan sewaktu sendiri. Orang semacam ini


14
Helmawati, Pendidikan Keluarga, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014). h. 157
25

hatinya lebih sibuk memikirkan dan memperhatikan apa yang

diperintahkan oleh Allah SWT guna dilaksanakan dan menjauhi apa

yang dilarang oleh-Nya.

Orang yang beriman akan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Ia

akan senang menuntut ilmu, menjaga kesehatan, menambah

kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi dirinya, beramal

shaleh, bermusyawarah dan bertanggung jawab terhadap apa-apa yang

dilakukannya. Orang yang memiliki karakter ini akan berhati-hati dan

memikirkan dengan matang dalam memlakukan suatu kegiatan,

karena ia tidak hanya bertanggung jawab di hadapan manusia, tetapi

juga akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di

hadapan Allah. Tuhan Pencipta seluruh alam.

2. Pendidikan karakter bertakwa

Iman yang disertai amal sholeh adalah takwa. Oleh karena itu, dalam

Al-Quran sering kali terdapat ayat-ayat yang menunjukan kata takwa

dengan merangkaikan persoalan keimanan dan amalan yang shaleh

karena memang keimanan yang apabila sunyi dari amal perbuatan

shaleh itu ibarat pohon yang tidak menumbuhkan buah-buahan

apapun, dan tidak pula mengeluarkan daun yang rindang. Tetapi

sebaliknya, apabila suatu perbuatan yang tampak baik tetapi tidak

disertai dengan rasa keimanan, amalan yang demikian itu merupakan

perbuatan ria atau pamer, dan merupakan suatu kemunafikan.

3. Pendidikan karakter berakhlak mulia


26

Islam sangat memperhatikan masalah moral. Hal ini sesuai dengan

misi Rasul untuk memperbaiki akhlak atau moral manusia. Dalam

kamus praktis bahasa indonesia, akhlak adalah budi pekerti atau

kesopanan. Selain itu juga secara umum padanan kata akhlak sering

disebut dengan istilah moral.

4. Pendidikan karakter mandiri

Untuk memperoeh status menjadi anggota masyarakat terhormat

(mandiri), Slamet imam santoso menawarkan agar setiap jenis

pendidikan hareu mengembangkan semua bakat pada anak didik.

Pemupukan bakat tentu saja paling awal berlangsung di lingkungan

keluarga agaranak tidak selalu menggantungkan segala keperluannya

kepada orang lain.

5. Pendidikan karakter demokratis

Ngalim purwanto menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial

maka tujuan pendidikan itu diarahkan kepada mendidik manusia

sebagai makhluk yang bermasyarakat. Dalam suatu negara yang

berdasarkan demokrasi, kekuasaan ada di tangan rakyat, dan

pemerintahannya dipilih oleh rakyat. Rakyatlah yang menentukan arah

kemana negara akan dimudahkan dan untuk apa negara itu dimajukan.

Maka dari itu seharunya pemerintah mengusahakan mendidik warga

negaranya menjadi warga negara sejati. Tiap-tiap warga negara harus

turut bertanggung jawab atas kelancaran jalannya roda pemerintahan.

Tentu saja hal ini sesuai kemampuan dan peran masyarakat itu sendiri.
27

6. Pendidikan karakter bertanggung jawab

Abu Ahmadi melihat bahwa selama anak belum dewasa, orang tua

mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Orang tua

harus memberi contoh yang baik karena anak sering mengimitasi sifat

dan perilaku orang tuanya. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

anak yang telah dewasa akan dan harus bertanggung jawab terhadap

apa yang telah dilakukannya. Kesalahan seseorang tidak dapat

dilimpahkan kepada orang lain. Setiap orang akan

mempertanggungjawabkan apa-apa yang telah diperbuatnya.

Hal ini senada dengan yang diutarakan ngalim purwanto bahwa

pendidikan karakter bertanggung jawab menanamkan kepada anak

bahwa segala perbuatan akan ada konsekuensinya baik terhadap diri

sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu

perbuatan harus dipertimbangkan terlebih dahulu baik-buruknya.

Orang yang selalu mempertimbangkan konsekuensi atas apa yang

akan dilakukannya dapat mencegahnya dari akhlak tidak terpuji.15

Tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat

seseorang menjadi good and smart. dalam sejarah Islam, Rosulullah SAW

dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utama dalam mendidik

manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good

character).16

15
Helmawati, pendidikan keluarga teoretis dan praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2014), hh. 159-161
16
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2017) h. 30
28

Berkaitan dengan dirasakan semakin mendesaknya implementasi

pendidikan karakter di indonesia tersebut, Pusat Kurikulum Bandan

Penelitian dan Pembangunan Kementrian Pendidikan Nasional dalam

publikasinya berjudul Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011)

menyatakan bahwa pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk

membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,

bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,

beroreantasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh

iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.17

Karakter atau kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh

terhadap keberhasilan seorang pendidik sebagai pengembang sumber daya

manusia, Hal itu karena di samping ia sebagai pembimbing dan pembina.

Pendidik juga berperan sebagai teladan bagi peserta didik dan

masyarakatnya.18

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan diadakannya

pendidikan karakter, baik di sekolah, madrasah maupun di rumah adalah

dalam rangka menciptakan manusia indonesia yang seutuhnya, yaitu manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia serta

memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam menjalankan kehidupan ini.

D. Peran Keluarga dalam Membangun Karakter Anak

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya

mengembangkan karakter anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih


17
Muchlas Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 52.
18
Umi Kulsum, Pendidikan dalam Kajian Hadis Tekstual dan Kontekstual, (Tangerang
Selatan: Cinta Buku Media, 2018), h. 191
29

sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun

sosial budaya merupakan faktor kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi

pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.

Keluarga juga dipandang sebagai institusi (lembaga) yang dapat

memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi

pengembangan kepribadiannya dan pengembangan ras manusia. Maka

keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan

tersebut. Melalui perawatan dan perlakuan yang baik dari orang tua.

Peranan orang tua sangat berpengaruh dalam mendidik anak-anaknya,

terutama di dalam pendidikan agama islam. Anak merupakan bagian dari

masyarakat yang di pundaknya terpikul beban pembangunan pada masa

mendatang dan sebagai generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, orang tua

harus lebih memerhatikan, membimbing, dan mendidik dengan baik,

sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Untuk mengantisipasi hal ini Allah SWT. Mengingatkan kepada orang

tua agar mempertahankan keturunannya.

        



     
Artinya:”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar”.(QS. An-Nisa: 9).19

19
Dindin Jamaluddin, Paradigma Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2013), Cet. I, h. 136
30

Ayat di atas mengisyaratkan kepada orang tua agar tidak

meninggalkan anak dalam keadaan lemah. Lemah dalam hal ini adalah lemah

dalam segala aspek kehidupan, seperti lemah mental, psikis, pendidikan,

ekonomi terutama lemah iman. Karena anak yang lemah iman akan menjadi

generasi tanpa kepribadian.

Mengkaji lebih jauh tentang peran keluarga dapat dikemukakan bahwa

secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai:

a. Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya.

b. Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis.

c. Sumber kasih sayang dan penerimaan.

d. Pemberi bimbingan bagi pengembangan prilaku yang secara sosial

dianggap tepat.

e. Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam

menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan

f. Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan

sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri.

g. Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai

prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat. Keluarga adalah

faktor penting dalam pendidikan seorang anak.

h. Sebagai pembimbing dalam mengembangkan aspirasi.

i. Sumber persahabatan/teman bagi anak sampai cukup usia untuk

mendapatkan teman di luar rumah.20


20
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya: 2000), h. 38.
31

Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, peran keluarga dapat

diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi biologis

Keluarga dipandang sebagai peran sosial yang memberikan legalitas,

kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi

kebutuhan dasar biologisnya meliputi sandang pangan dan papan.

b. Fungsi ekonomis

Keluarga (dalam hal ini ayah) mempunyai kewajiban untuk menafkahi

anggota keluarganya (istri dan anak-anak).

c. Fungsi pendidikan (Edukatif)

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi

anak.

d. Fungsi perlindungan (protektif)

Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya

dari gangguan, ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidak

nyamanan fisik/psikologinya.

e. Fungsi agama (religius)

Keluarga berfungsi sebagai penanaman nilai-nilai agama kepada anak

agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar.21

Karakter seorang anak berasal dari keluarga. Di mana sebagian sampai

usia 18 tahun anak-anak di Indonesia menghabiskan waktunya 60-80 %

bersama keluarga. Sampai usia 18 tahun, mereka masih membutuhkan orang

21
Ibid., h. 39
32

tua dan kehangatan dalam keluarga. Sukses seorang anak tidak lepas dari

“kehangatan dalam keluarga”.

Karakter seorang anak terbentuk terutama pada saat anak berusia 3-10

tahun. Adalah tugas kita sebagai orang tua untuk menentukan input seperti

apa yang masuk ke dalam pikirannya, sehingga bisa membentuk karakter

anak yang berkualitas. Karakter adalah sesuatu yang dibentuk, dikonstruksi,

seiring dengan berjalannya waktu dan semakin berkembangnya seorang anak.

Ada 18 karakter yang dapat ditanamkan dalam kehidupan anak-anak.

Di antaranya; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,

demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,

menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca,

peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Seorang ayah dan ibu berkewajiban mendidik, mengajarkan dan

menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anaknya. Anak adalah amanat

tuhan yang dibebankan kepada kedua orang tua. Tanggung jawab yang paling

menonjol dan mendapat perhatian besar dalam pendidikan adalah tanggung

jawab orang tua terhadap anak-anaknya yang berwenang memberikan

pengarahan, pengajaran, dan pendidikan.22 Sebagai intuisi pendidikan dan

keagamaan, keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama

dalam pembentukan karakter anak. Keluarga adalah lingkungan pendidikan

pertama anak sebelum ia melangkah kepada lembaga pendidikan lain. Dalam

keluargalah seorang anak akan dibentuk watak, budi pekerti, dan

kepribadianya.
22
Muchlas Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 52.
33

Anda mungkin juga menyukai