Anda di halaman 1dari 31

13

BAB II

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER

A. Implementasi Pendidikan Karakter


1. Pengertian Karakter
Membicarakan karakter merupakan hal sangat penting dan mendasar.

Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual dan sosial ialah

mereka yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. Mengingat

begitu urgentnya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanganggung

jawab untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran.

Menurut Zubaedi (2011:8) karakter merupakan tabiat atau kepribadian.

Sedangkan menurut Pusat Bahasa Depdiknas menyatakan bahwa karakter

adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,

sifat, tabiat, temperamen, watak.

Menurut Rosidatun (2018:20) karakter dapat diartikan sebagai nilai

dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh

hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang

lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang sangat relevan

untuk mengatasi krisi moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau

tidak diakui saat ini terjadi krisis yang nyata dan mengkhawatirkan dalam

masyarakat dengan melibatkan milik kita yang sangat berharga, yaitu anak-

anak.

Situasi dan kondisi karakter bangsa yang sedang memprihatinkan telah

mendorong permerintah untuk mngambil inisiatif untuk memprioritaskan


pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa dijadikan arus

utama pembangunan nasional. Hal ini mengandung arti bahwa setiap upaya

pembangunan harus selalu diarahkan untuk memberi dampak positif terhadap

pengembangan karakter.

2. Pengertian Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter terdiri dari dua suku kata yang berbeda, yaitu

pendidikan dan karakter. Pendidikan yang memiliki makna

mengembangkan diri atau melatih diri, sedangkan karakter merupakan

sifat.

Dalam Zubaedi (2011:14) Pendidikan karakter diartikan sebagai the

deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character

development (usaha kita secaa sengaja dari seluruh dimensi kehidupan

sekolah untuk membantu pengembangan karakter dengan optimal). Hal ini

berarti bahwa untuk mendukung perkembangan karakter peserta didik harus

melibatkan seluruh komponen di sekolah baik dari aspek isi kurikulum,

proses pembekajaran, kualitas hubungan, penanganan mata pelajaran,

pelaksanaan ko-korikuler serta etos seluruh lingkungan sekolah.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan

tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan

seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti

huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar

dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Menurut pendapat

Amri (2011:6) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah :


usaha-usaha yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk

membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang

berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan

kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan

berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat

istiadat.

Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak

tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya,

terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character

Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character:

How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-

buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan

karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur

pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai

kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good)

(Lickona, 1991: 51). Frye mendefinisikan pendidikan karakter sebagai,

“A national movement creating schools that foster ethical,

responsible, and caring young people by modeling and teaching

good character through an emphasis on universal values that we all

share” (Frye, 2002: 2). Melalui pendidikan karakter, sekolah harus

berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki


15

nilai-nilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain,

tanggung jawab, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan

karakter juga harus mampu menjauhkan peserta didik dari sikap dan

perilaku yang tercela dan dilarang.

Adapun istilah yang senada dengan karakter adalah akhlak. Akhlak

berarti budi pekerti, tingkah laku, perangai. Kata akhlak beserta dengan

bentuknya tersebut bisa dibandingkan dan dianalogikan dengan firman Allah

swt. yang tercantum dalam Q.S Al-Qalam : 4 sebagai berikut :

    


Artinya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang

luhur”

Menurut Imam al-Mawardi, ayat tersebut diartikan sebagai keharusan

untuk berbuat baik terhadap semuanya seperti yang dicontohkan oleh

Rasulullah SAW.Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa

karakter dan akhlak secara prinsipal tidak ada perbedaan karena keduanya

merupakan ciri khas yang melekat pada diri seseorang, sifat batin manusia

yang mempengaruhi perbuatan dan tindakannya. Yang membedakan akhlak

dan karakter adalah akhlak lebih agamis dibanding karakter. Karakter yang

terlihat pada setiap individu akan dinilai dan oleh masyarakat baik ataupun

buruknya menurut standar moral dan etika yang berlaku.

Megawati dalam Lickona (2004 :108) menyatakan bahwa seseorang

akan memiliki karakter yang untuh jika orang tua (pihak keluarga) atau

instansi pendidikan memperhatikan tiga komponen erat yang kemudian saling

berhubungan untuk menciptakan a good character. Tiga komponen yang


16

dimaksud adalah moral knowing, moral feeling and moral action. Ketiga

moral tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Secara ideal, karakter

seseorang tidak akan terwujud hanya dengan mengandalkan kemampuan atau

potensi yang matang, namun perlu adanya kecerdasan emosional dan

ketegasan tindakan. Demikian kecerdasan seseorang akan tercermin pada

tingkah lakunya.

Unsur-unsur tersebut dapat dipahami, ketika berpikir untuk

mengimplementasikan tentang kebaikan kepada anak, terlebih dahulu

diimplementasikan pada diri anak pengetahuan tentang kebaikan. Selanjutnya

memberi pemahaman agar dapat merasakan dan mencintai kebaikan sehingga

anak akan selalu berbuat kebaikan. Dengan cara demikian, akan tumbuh

kesadaran bahwa anak akan melakukan kebaikan karena ia cinta kebaikan

tersebut. Setelah terbiasa maka tindakan tersebut mudah dilakukan dan akan

berubah menjadi kebiasaan.

Menurut Megawati (2004:23) mengatakan bahwa Para pakar

pendidikan sepakat bahwa pembentukan karakter ditentukan oleh dua faktor

yaitu nature dan nurture. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia

mempunyai kecenderungan atau fitrah untuk mencintai kebaikan. Namun,

fitrah ini bersifat potensial, termanifestasi ketika anak dilahirkan. Jadi

walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, tetapi tidak pada lingkungan

yang baik maka anak dapat berubah sifatnya menjadi tidak baik karena

pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, potensi tersebut harus diikuti

Pendidikan dan sosialisasi yang berkaitan dengan nilai kebajikan, baik di


17

lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat luas, sangat

penting pada pembentukan karakter seorang anak sebagaimana sabda

Rasulullah Muhammad saw.

‫ َفَأ اُه ِّو َداِنِه َأ ِّج اِنِه َأ َنِّص اِنِه‬،‫ُك ُّل ُل ٍد َلُد َعَلى اْلِف ْط ِة‬
‫ْو ُيَم َس ْو ُي َر‬ ‫َر َبَو ُيَه‬ ‫َمْو ْو ُيْو‬

“Setiap anak yang lahir, dilahirkan pada keadaan suci, orang tuanyalah

yang menjadikannya bangsa yahudi atau nasrani atau majusi”.

(H.R.Bukhari)

Berdasarkan hadist di atas, dapat dipahami bahwa setiap anak itu

dilahirkan pada keadaan suci. Anak yang baru lahir adalah gambaran awal

bahwa manusia membawa potensi kebajikan. Jika potensi kebajikan ini tidak

dibina secara baik maka kelak anak akan manjadi manusia bermental amoral.

Menurut Zubaedi dalam Koesoema (2012 : 14) “pendidikan karakter

dirumuskan sebagai dinamika pengembangan kemampuan yang

berkesinambungan pada diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai-

nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil. Dinamika ini membuat

pertumbuhan individu menjadi utuh. Unsur-unsur ini menjadi dimensi yang

menjiwai proses formasi setiap individu”.

Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan karakter

merupakan pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai pada setiap individu

agar memiliki nilai karakter yang mulia pada dirinya, dengan cara

menerapkan nilai-nilai tersebut pada kehidupan sebagai warga masyarakat

dan sebagai warga negara yang baik. Pendidikan karakter juga dapat

dimaknai sebagai segala upaya yang dilakukan guru yang dapat


18

mempengaruhi karakter peserta didik. Guru di harapkan dapat membentuk

peserta didik melalui keteladanan, cara guru berbicara ketika menyampaikan

materi, bertoleransi dan berbagai hal yang berkaitan dengannya.

Dengan demikia pendidikan karakter dapat disimpulkan sebagai segala

upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh orang dewasa untuk

mengimplementasikan nilai-nilai karakter pada diri individu, agar menjadi

menusia yang berpikir dewasa, memiliki mental yang kuat sehingga mampu

menghadapi permasalahan yang ada, berkepribadian, bertingkah laku yang

baik sesuai dengan norma agama yang diwujudkan pada interaksi dengan

Tuhannya, diri sendiri dan sesama manusia.

3. Tujuan Pendidikan Karakter

Tujuan artinya sesuatu yang ingin di capai, yaitu sesuatu yang akan

dicapai melalui sesuatu kegiatan atau usaha. Pada dunia pendidikan, faktor

tujuan merupakan sesuatu yang amat penting dan mendasar. Hal ini

disebabkan tujuan pada konsep pendidikan merupakan gambaran sesuatu

yang hendak dicapai melalui proses pendidikan.

Menurut Salim dan Kurniawan dalam al-Syaibani (2012:114), yang

dimaksud dengan tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan

dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu

dan pada kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan alam

sekitar tempat individu hidup.

Pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak mengingat

demoralisasi dan degradasi pengetahuan sudah semakin akut menjangkiti


19

bangsa ini disemua lapisan masyarakat. Pendidikan karakter diharapkan

mampu membangkitkan kesadaran bangsa ini untuk membangun pondasi

kebangsaan yang kokoh dan kuat sehingga dapat terhindar dari perbuatan-

perbuatan yang menyimpang.

Pemerintah sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter

untuk semua tingkatan pendidikan, dari sekolah dasar sampai perguruan

tinggi. Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia

dapat dimaklumi, sebab selama ini dirasakan proses pendidikan ternyata

belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter.

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa sistem pendidikan

nasional yang menginginkan pengembangan karakter melalui pendidikan

budi pekerti dan pendidikan moral, selama ini dianggap belum berhasil.

Sistem pendidikan seakan hanya menyiapkan para peserta didik untuk

masuk ke jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang

mempunyai bakat pada potensi akademik. Hal ini terlihat pada bobot mata

pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan akademik peserta didik

yang diukur dengan kemampuan intelektualnya saja. Padahal banyak

potensi lain yang perlu dikembangkan. Banyak lulusan sekolah yang

mampu menjawab berbagai macam soal akademik dan berotak cerdas,

tetapi memiliki mental yang lemah dan penakut, serta memiliki perilaku

yang kurang baik. Inilah yang menandakan bahwa pendidikan selama ini

hanya mementingkan aspek kognitif saja. Apabila kita ingin melihat

defenis pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan


20

tidak sekadar mentransfer ilmu saja, namun pendidikan adalah mengubah

atau membentuk watak individu agar menjadi lebih baik, membentuk

manusia berkarakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan hal

yang sangat penting. Karakter akan menunjukkan siapa diri ini

sebenarnya, karakter akan menjadi identitas yang menyatu dan

mempersonalisasi terhadap diri individu sehingga mudah membedakan

dengan individu yang lain.

Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok

keutamaan karakter atau akhlak yang dapat digunakan untuk

membedakan perilaku seorang Muslim, seperti perintah berbuat

kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr), menepati janji (al- wafa), sabar,

jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di jalan Allah, berbuat adil,

dan pemaaf.

Keharusan menjunjung tinggi karakter mulia (akhlaq

karimah) lebih dipertegas lagi oleh Nabi saw. dengan pernyataan

yang menghubungkan akhlak dengan kualitas kemauan, bobot amal,

dan jaminan masuk surga. Sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh

Abdullah Ibn Amr:

‫َأْك َم ُل اْلُم ْؤ ِمِنْيَن ِإْيَم اًنا َأْح َس ُنُهْم ُخُلًقا‬


“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik

akhlaknya …” (HR. al-Tirmidzi).

Dalam hadis yang lain Nabi Saw. bersabda:

‫إَّن ِمْن ِخَي اِر ُك ْم َأْح َس َنُك ْم َأْخ َالًقا‬


21

“Sesungguhnyan orang terbaik diantara kalian adalah yang paling bagus

akhlaknya...” (HR. Bukhari).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa karakter dalam perspektif

Islam bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti lepas dari

realitas hidup, melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan

akal, ruh, hati, jiwa, realitas, dan tujuan yang digariskan oleh akhlaq

qur’aniah. Dengan demikian, karakter mulia merupakan sistem

perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui nash al-Quran

dan hadis.

Namun demikian, kewajiban yang dibebankan kepada

manusia bukanlah kewajiban yang tanpa makna dan keluar dari dasar

fungsi penciptaan manusia. Al- Quran telah menjelaskan masalah

kehidupan dengan penjelasan yang realistis, luas, dan juga telah

menetapkan pandangan yang luas pada kebaikan manusia dan zatnya.

Makna penjelasan itu bertujuan agar manusia terpelihara

kemanusiaannya dengan senantiasa dididik akhlaknya, diperlakukan

dengan pembinaan yang baik bagi hidupnya, serta dikembangkan

perasaan kemanusiaan dan sumber kehalusan budinya.

Dalam kenyataan hidup memang ditemukan ada orang yang


berkarakter mulia dan juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan
hakikat sifat manusia yang bisa baik dan bisa buruk (khairun wa
syarrun). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
   
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan

ketakwaannya,” (QS. al-Syams (91): 8).


22

Dari segi pendidikan, pendidikan karakter bertujuan untuk

meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah

pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik

secara utuh, terpadu dan seimbang.

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk membentuk

bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulai, bermoral,

bertoleran, ber gotongroyong, berjiwa patriotik, berkembag dinamis,

beroreantasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya

dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian tujuan pendidikan karakter memiliki fokus

pada pengembangan potensi peserta didik secara keseluruhan, agar dapat

menjadi individu yang siap menghadapi masa depan dan mampu

survive mengatasi tantangan zaman yang dinamis dengan perilaku-

perilaku yang terpuji.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, peran keluarga, sekolah dan

komunitas sangat menentukan pembangunan karakter anak-anak

untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Dengan

menciptakan lingkungan yang kondusif, anak-anak akan tumbuh

menjadi pribadi yang berkarakter sehingga fitrah setiap anak yang

dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal.

Oleh karena itu diperlukan cara yang baik dalam membangun

karakter seseorang. Salah satu cara yang sangat baik adalah dengan

menciptakan lingkungan yang kondusif. Untuk itu peran keluarga,


23

sekolah dan komunitas amat sangat menentukan pembangunan

karakter anak-anak untuk kehidupan yang lebih baik di masa

mendatang.

4. Implementasi Pendidikan Karakter

Implementasi menurut bahasa adalah pelaksanaan atau penerapan

(Depdiknas : 2009: 246. Implementasi merupakan suatu proses penerapan

ide, kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga

memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan

maupun nilai dan sikap.

Dalam hal ini, implementasi kaitannya dengan pendidikan karakter

adalah penerapan suatu kegiatan atau metode secara terus menerus yang

dilakukan oleh para pendidik terhadap peserta didi sebagai upaya terhadap

pembentukan karakter peserta didik, sehingga ouput yang dihasilkan dari

pelaksanaan pendidikan karakter tersebut tidak lain terinternalisasinya nilai-

nilai karakter terhadap diri peserta didik sehingga memunculkan sikap dan

perilaku yang berkarakter mulia.

Menurut Zubaedi (2012:25) ada beberapa langkah yang diperlukan

dalam proses pembentukan karakter para peserta didik. Adapun langkah-

langkah tersebut adalah :

a. Pengenalan

Seorang peserta didik diperkenalkan tentang hal-hal positif atau hal-hal

yang baik pada lingkungan maupun keluarga.

b. Pemahaman
24

Memberikan pengarahan atau pengertian tentang perbuatan baik yang

sudah dikenalkan kepada peserta didik. Tujuannya agar dia mengerti

dan mau melakukan hal tersebut.

c. Keteladanan

Memberikan contoh yang baik pada kehidupan sehari-hari terutama di

lingkungan sekolah

d. Pengulangan atau pembiasaan

Setelah peserta didik paham dan menerapkan perbuatan baik yang telah

dikenalkan kemudian dilakukan pembiasaan dengan cara berulang-ulang

maka peserta didik akan terbiasa melakukan kebaikan tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa untuk

membentuk karakter peserta didik maka harus dibekali pengetahuan,

pemahaman, keteladanan dan pembiasaan untuk melakukan hal-hal

baik yang sesuai dengan ajaran agama Islam.

B. Implementasi Pendidikan Karakter melalui Keteladanan


1. Pengertian Keteladanan
Keteladanan hendaknya diartikan dalam arti luas, yaitu

menghargai ucapan, sikap dan perilaku yang melekat pada pendidik

(Aqib, 2011: 86). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian

keteladanan berasal dari kata “teladan” yang artinya hal yang dapat

ditiru atau dicontoh. Sedangkan menurut Ishlahunnissa’ (2010: 42)

pengertian keteladanan berarti penanaman akhlak, adab, dan kebiasaan-

kebiasaan baik yang seharusnya diajarkan dan dibiasakan dengan

memberikan contoh nyata. Keteladanan dalam pendidikan


25

adalah pendekatan atau metode yang berpengaruh dan terbukti paling

berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk serta mengembangkan

potensi peserta didik.

Menurut Hawi (2013:93) Keteladanan berasal dari kata “teladan”

yang berarti sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh.

Sedangkan dalam bahasa Arab adalah uswan al-hasanah. Di lihat dari

segi kalimatnya uswatun hasanah terdiri dari dua kata, yaitu uswatun

dan hasanah. Uswatun sama dengan qudwah yang berarti ikutan,

sedangkan hasanah diartikan sebagai perbuatan yang baik. Jadi

uswatun hasanah adalah suatu perbuatan baik seseorang yang patut

ditiru atau diikuti oleh orang lain.

Menurut Arief (2002:117) Keteladanan berasal dari kata

“teladan” yaitu perbuatan yang patut ditiru dan di contoh. Hasbullah

(2012:29) Keteladanan berasal dari kata “teladan” berarti tingkah laku,

cara berbuat dan berbicara akan ditiru oleh siswa. Dengan keteladanan

ini lahirlah gejala identifikasi positif, yakni penyamaan diri dengan

orang yang ditiru.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia di sebutkan bahwa

“keteladanan” adalah kata dasar dari “teladan” yang artinya perbuatan

atau barang yang patut di tiru dan di contoh.

Pendidikan agama Islam memegang peran sentral karena

memproses manusia untuk memiliki keseimbangan relifius-spirit.

Islam sangat memperhatikan pendidikan dan menganjurkan kepada para


26

pendidik untuk betul-betul mendidik peserta didik secara baik. Sebab bila

peserta didik terbiasa dengan kebaikan maka akan menjadi orang baik

pula. Oleh karena itu sangat penting mendidik kepribadian peserta

didik dengan memberikan contoh keteladanan yang berawal dari diri

sendiri. Sesuai dengan keteladanan yang dicontohkan oleh Rasulullah

saw, sebagai guru pertama bagi umat Islam.

Menjadi pendidik teladanan merupakan suatu proses

pembelajaran seorang pendidik untuk mendapatkan kesempurnaan dan

keridhaan Allah swt dalam ilmu yang dimiliki. Secara sederhana

menjadi pendidik teladan adalah kemampuan seorang pendidik dalam

mendapatkan sumber ilmu yang diajarkan dengan cara memberdayakan

diri agar mendapat kebaikan dari sisi Allah swt, yaitu seorang pendidik

mampu meningkatkan kemampuan fungsi panca indra dan otak, dengan

kemampuan intuisi dan hatinya.

Islam menganjurkan kepada para pendidik agar membiasakan

peserta didik dengan etika dan akhlak Islam karena demikian itu termasuk

kaidah yang dibuat Islam untuk mendidik siswa agar interaksi siswa

dengan orang lain selalu dibangun diatas akhlak yang mulia. Sebaliknya

seorang pendidik banyak belajar tentang hakekat dan makna mendidik,

baik dari Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.

Menurut Al-Magribi (2004: 154), kriteria-kriteria sebagai

pendidik teladan menurut Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw adalah

sebagai berikut:
27

1. Pemaaf dan tenang


2. Lemah lembut dan menjauhi sifat kasar dalam bermuamalah
3. Berhati penyayang
4. Ketaqwaan
5. Selalu berdo’a untuk anak
6. Lemah lembut dalam bermuamalah dengan anak
7. Menjauhi sikap marah
8. Bersikap adil dan tidak pilih kasih
Mengingat begitu penting pendidik dalam pendidikan, maka

guru dituntut untuk memiliki kriteria-kriteria yang yang telah

disebutkan diatas. Pendidik merupakan figur atau tokoh panutan peserta

didik dalam mengambil semua nilai dan pemikiran tanpa memilih antara

yang baik dengan yang buruk.

Menurut Hidayatullah (2010: 43) menerangkan bahwa

setidaknya ada tiga unsur agar seseorang dapat diteladani atau menjadi

teladan, yaitu sebagai berikut:

1) Kesiapan untuk dinilai dan dievaluasi.


Kesiapan untuk dinilai berarti adanya kesiapan menjadi cermin baik

untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Kondisi seperti ini

akan berdampak pada kehidupan sosial di masyarakat, karena

ucapan, sikap dan perilakunya menjadi sorotan dan teladan.

2) Memiliki kompetensi minimal.


Seseorang dapat menjadi teladan apabila memiliki ucapan, sikap, dan

perilaku untuk diteladani. Oleh karena itu kompetensi yang

dimaksud adalah kondisi minimal ucapan, sikap dan perilaku yang

harus dimiliki sehingga dapat dijadikan cermin baik bagi dirinya


28

sendiri maupun orang lain. Untuk itu guru harus memiliki

kompetensi minimal sebagai seorang guru agar dapat menumbuhkan

dan menciptakan keteladanan, terutama bagi peserta didiknya.

3) Memiliki integritas moral.


Integritas merupakan adanya kesamaan antara apa yang diucapkan dan

apa yang dilakukan. Inti dari integritas terletak pada kualitas

istiqomahnya, yaitu berupa komitmen dan konsistensi terhadap profesi

yang diembannya.

Dari ketiga pendapat diatas memiliki inti yang sama

bahwa keteladanan merupakan perilaku terpuji yang patut dicontoh oleh

orang lain, jadi dapat disimpulkan bahwa keteladanan adalah

tindakan penanaman akhlak dengan menghargai ucapan, sikap dan

perilaku sehingga dapat ditiru orang lain dengan berpedoman 3 unsur

yaitu siap untuk dinilai dan dievaluasi, mempunyai kompetensi dan

integritas moral. Jika hal ini telah dilaksanakan dan dibiasakan dengan

baik sejak awal maka akan memiliki arti penting dalam membentuk

karakter sebagai seorang guru yang mendidik.

2. Macam-macam keteladanan
Seorang guru harus menampilkan perilaku yang bisa diteladani

oleh siswanya. Hal tersebut diuraikan oleh Thamrin (2014: 3) bahwa ada

beberapa keteladanan yang dapat diterapkan oleh pendidik. Secara

lebih rinci macam-macam keteladanan tersebut yaitu:

1. Keteladanan berbuat jujur dan tidak suka berbohong.


29

Kejujuran merupakan sumber kebenaran yang memberikan kedudukan

mulia di masyarakat dan dapat diteladani oleh peserta didik dimana

saja,tetapi sebaliknya apabila guru sering berbuat tidak jujur maka

pendidik menjadi sumber utama dalam menghancurkan masa depan

peserta didik. Kejujuran dalam berbicara harus selalu dijaga saat

menghibur atau sedang menceritakan kisah tertentu kepada anak.

2. Keteladanan disiplin dalam menjalankan tugas


Keteladanan disiplin menjalankan tugas tidak hanya dilakukan dalam

proses pembelajaran, tetapi bagaimana guru merancang proses

pembelajaran yang di dalamnya memuat pembinaan karakter, sehingga

dapat menghasilkan peserta didik berakhlak mulia. Misalnya hadir

sebelum jam masuk kelas, proses pembelajaran berjalan sesuai alokasi

waktu dan menjalankan sholat tepat waktu.

3. Keteladanan akhlak mulia


Bisa dikatakan sangat naif apabila seorang guru tidak mampu

menjalankan perilaku yang patut dicontoh oleh peserta didik. Berbagai

tindakan baik yang bisa ditunjukkan oleh pendidik yaitu antara lain

masuk kelas tepat waktu, berdoa untuk memulai dan mengakhiri suatu

kegiatan, mengajarkan untuk selalu berkata sopan dan berlaku santun.

4. Keteladanan menunjukkan kecerdasannya


Sebagai seorang pendidik harus memperkaya dirinya dengan ilmu

pengetahuan, sehingga dapat mengatasi masalah kesulitan belajar

peserta didik. Hal-hal yang menunjukkan guru mempunyai kecerdasan


30

yaitu mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sopan

dan santun, rendah hati dan menguasai materi pelajaran.

5. Keteladanan bersikap mandiri dan bekerja keras


Mandiri dan berkerja keras merupakan sikap yang saling berkaitan.

Dimana mandiri berarti tidak mudah bergantung dengan orang lain

sedangkan bekerja keras selalu berusaha ketika mengalami kegagalan

atau saat ingin meraih sesuatu.

Suwaid (2006:456-458) menjelaskan mengenai dasar-dasar yang

harus dipegang para pendidik dalam pengimplementasian keteladanan

sebagai berikut :

1. Teladan yang baik


Keteladanan yang baik dapat memberikan pengaruh besar terhadap

jiwa peserta didik karena anak akan meniru orang yang lebih dewasa.

Rasulullah mendorong orang tua agar menjadi teladan yang baik bagi

anak-anak. Ketika peserta didik di sekolah maka yang harus menjadi

teladan yang baik bagi peserta didik adalah gurunya.

2. Menerapkan keteladanan Nabi


Orang tua dan guru dituntut untuk memberikan keteladanan yang baik

kepada anak-anak. Kemampuan anak menerima respon baik secara

sadar maupun tidak sangatlah tinggi, diluar dugaan kita karena kita

biasanya menganggap anak masih kecil dan belum mengerti apa-apa,

padahal sebenernya anak dari usia dini bisa meniru apa yang dilakukan

oleh orang dewasa baik dari segi ucapan maupun tindakan. Seberapa

sering anak tersebut melihat hal baik atau buruk maka akan tertanam
31

dalam diri anak apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Sebab itu

perlu adanya pengimplementasian perintah-perintah Allah dan sunnah

Rasulullah sebagai perilaku dan amalan-amalan sunnah.

Keteladan merupakan sesuatu yang fitri bagi manusia dan penting

dilaksanakan dalam pengembangan sikap keagamaan karena ia sudah

ada dalam potensi dasar manusia, ada dalam sejarah para Nabi/ Rasul.

Serta termaktub dalam teks-teks wahyu. Firman Allah SWT :

‫ة ِّلَم ن َك اَن َيۡر ُجوْا ٱَهَّلل َو ٱۡل َيۡو َم ٱٓأۡلِخَر َو َذ َك َر ٱَهَّلل َك ِثيٗر ا‬ٞ‫َّلَقۡد َك اَن َلُك ۡم ِفي َر ُسوِل ٱِهَّلل ُأۡس َو ٌة َحَس َن‬
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan

yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Q.S

Al-Ahzab : 21)

Dari ayat di atas kita dapat memahami bahwa Allah SWT

mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai figur teladan yang paling

baik bagi umatnya. Peran Nabi sebagai teladan merupakan peran utama.

Umat meneladani Nabi, dan Nabi meneladani al-Qur’an. Segala

perkataan, perbuatan dan akhlak Rasul Allah itu adalah al-Qur’an.

Kepribadian Rasulullah merupakan interpretasi al-Qur’an secara nyata.

Seperti mulai dari cara beribadah Rasul, dan cara-cara berkehidupan

Islami.

Dengan kepribadian, sifat tingkah laku dan pergaulannya bersama

sesama manusia, Rasulullah SAW, merupakan interpretasi praktis

yang manusiawi dalam menghidupkan hakikat, ajaran, adab dan


32

tasyri’ al-Qur’an, yang melandasi perbuatan pendidikan Islam.

Allah telah mengajarkan bahwa Rasul yang diutus untuk

menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia adalah orang

yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral maupun,

intelektual Bila dicermati historis pendidikan dizaman Rasulullah SAW

dapat dipahami bahwa salah satu faktor terpenting yang membawa

beliau kepada keberhasilan adalah keteladanan (uswah) karena banyak

memberikan keteladanan dalam mendidik para sahabatnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keteladanan

merupakan salah satu dari metode pengajaran Islam, yang mana

seseorang yang memiliki perilaku, perbuatan, dan perkataan yang

dijadikan sebagai panutan atau contoh yang baik yang akan ditiru dan

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

C. Implementasi Pendidikan Karakter melalui Pembiasaan


1. Pengertian Pembiasaan
Menurut Arief (2002:110) Secara etimologi, pembiasaan asal

katanya adalah biasa. Dalam kamus bahasa Indonesia biasa adalah lazim

atau umum, seperti sedia kala, sudah merupakan yang tidak terpisahkan

dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya prefiks pe- dan sufiks –

an menunjukan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan

dengan proses membuat sesuatu/seseorang menjadi terbiasa. Dalam

kaitannya dengan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat

dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan


33

untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak sesuai

dengan tuntunan ajaran agama Islam.

Menurut az-Za’lawi (2007:345) dalam bukunya menyebutkan

bahwa pembiasaan berasal dari kata ‘ada, kebanyakan arti dari kata

tersebut adalah “berkisar seputar pengulangan sesuatu beberapa kali

dengan cara yang sama sehingga menjadi kebiasaan seseorang, dan

perilakunya tidak terpisah dari hal itu”. Sedangkan menurut istilah,

beliau mengartikan pembiasaan sebagai: Pengulangan sesuatu secara

terus-menerus atau dalam sebagian besar waktu dengan cara yang

sama dan tanpa hubungan akal. Atau, dia adalah sesuatu yang tertanam

di dalam jiwa dari hal-hal yang berulang kali terjadi dan diterima tabiat.

Pada prinsipnya kesemua pengertian diatas mempunyai

substansi yang sama mengenai pembiasaan meskipun redaksi yang

diberikan berbeda. Yang pada intinya pembiasaan itu dilakukan

secara bertahap dan diulang terus-menerus untuk membentuk

kepribadian seseorang.

Dalam pengaplikasiannya, pembiasaan ini sangat tepat

digunakan untuk membentuk pribadi seorang anak sejak dini

mengingat sifat seorang anak yang cenderung meniru tanpa mengerti

tujuannya. Dan yang terpenting, dalam pelaksanaannya tersebut

diperlukan pengertian, kesabaran, dan keteladanan orangtua maupun

pendidik. Tujuan dari pelaksanaan pembiasaan ini adalah agar sifat-

sifat positif terbentuk menjadi kebiasaan, sehingga lebih mudah dalam


34

menunaikannya. Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Majid dan

Dian Andayani (2012:128) sebagai berikut:

Al-Qur‟an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu


teknik atau metode pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-
sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat
menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa
kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak
kesulitan.
Dengan demikian, melaksanakan suatu hal menjadi sangat

mudah dan ringan ketika hal tersebut sudah tertanam menjadi sebuah

kebiasaan.

Metode pembiasaan adalah suatu cara yang dapat dilakukan untuk

membiasakan anak berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan ajaran

agama Islam. Metode ini sangat praktis dalam pembinaan dan

pembentukan karakter anak usia dini dalam meningkatkan pembiasaan-

pembiasaan dalam melaksanakan suatu kegiatan disekolah. Hakikat

pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman. Pembiasaan adalah

sesuatu yang diamalkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan merupakan hal yang

sangat penting, karena banyak dijumpai orang berbuat dan berperilaku

hanya karena kebiasaan semata-mata. Pembiasaan dapat mendorong

mempercepat perilaku, dan tanpa pembiasaan hidup seseorang akan

berjalan lamban, sebab sebelum melakukan sesuatu harus memikirkan

terlebih dahulu apa yang akan dilakukannya. Menurut az-Za’lawi (2007:

351-353) Metode pembiasaan perlu diterapkan oleh guru dalam

proses pembentukan karakter, untuk membiasakan peserta didik


35

dengan sifat-sifat terpuji dan baik, sehingga aktivitas yang dilakukan

oleh peserta didik terekam secara positif. Secara garis besar, dalam

membentuk kebiasaan terdapat dua tahapan yaitu;

a. Mujahadah yaitu kemauan untuk bersungguh-sungguh dalam

ketaatan. Hal ini didahului dengan perjuangan panjang dan berat,

dengan memobilisasi motivasi-motivasi iman dalam jiwa, siap

menolak dorongan hawa nafsu dan syahwat keduniaan, yang

selalu berusaha dibangkitkan oleh setan.

b. Pengulangan, artinya mengulangi perilaku yang dimaksud hingga

menjadi kebiasaan yang tetap dan tertanam dalam jiwa.

2. Macam-macam pembiasaan

Mulyasa (2011 :167) Pembiasaan dalam pendidikan dapat dilakukan

dengan berbagai metode dengan tujuan untuk membiasakan diri anak didik

melakukan hal-hal positif yang akan menjadi kebiasaan baik dirumah maupun

disekolah. Pendidikan melalui pembiasaan di sekolah dapat dilakukan dengan

cara berikut :

a. Kegiatan pembelajaran terprogram yang dilaksanakan dengan

perencaan dalam kurun waktu tertentu misalyan membiasakan siswa

untuk mengerjakan sendiri, menemukan dan mengontruksi sendiri

pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam setiap pembelajaran.

b. Rutinitas, yaitu pembiasaan yang dilakukan terjadwal misalnya

sebelum memulai pembelajaran melakukan kegiatan membaca al-


36

quran selama 15 menit, upacara, senam, sholat berjamaah,

pemeliharaan kebersihan dan kesehatan diri.

c. Spontan, yaitu pembiasaan yang dilakukan dengan tidak terjadwal

misalnya memberi salam dan menjawab salam, membuang sampah

pada tempatnya, antri, mengatasi silang pendapat, berbaris dengan

rapi, memperhatikan dan mendengarkan orang lain berbicara tanpa

menyela.

d. Keteladanan, yaitu pembiasaan dalam bentuk perilaku baik sehari-hari

yang diteladani dari berbagai sumber misalnya berpakaian rapi,

berbicara sopan dan santun, memuji orang kesuksesan orang lain,

datang tepat waktu, disiplin, amanah.

Penerapan metode pembiasaan dapat dilakukan dengan

membiasakan anak untuk mengerjakan hal-hal positif dalam keseharian

mereka. Dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan secara rutinitas setiap

harinya, anak didik akan melakukan dengan sendirinya, dengan sadar

tanpa ada paksaan. Dengan pembiasaan secara langsung, anak telah

diajarkan disiplin dalam melakukan dan menyelesaikan suatu kegiatan.

Rasulullah pun melakukan metode pembiasaan dengan melakukan

berulang-ulang dengan doa yang sama. Akibatnya, beliau hafal benar doa itu,

dan sahabatnya. Hal tersebut menunjukan bahwa dengan seringnya

pengulangan-pengulangan akan mengakibatkan ingatan-ingatan sehingga

tidak akan lupa.


37

Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, menurut prinsip-prinsip

umum dalam pemakaian metode pembiasaan proses pendidikan memakai

pendekatan yang dilakukan secara berangsur-angsur. Misalnya pembiasaan

untuk melaksanakan sholat dan puasa al-Quran menjelaskan tidak hanya

melalui satu ayat tetapi ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menjelaskan

untuk melaksanakan sholat dan puasa.

D. Hambatan dalam Mengimplementasikan Pendidikan Karakter


1. Pengertian Hambatan
Pada saat proses belajar dan pembelajaran berlangsung pasti ada

kalanya seorang individu terutama siswa mengalami kendala dalam proses

penerimaannya. Kendala tersebut ditimbulkan oleh adanya hambatan baik

yang berasal dari luar maupun dari dalam yang menyebabkan

terhambatnya dalam mencapai sutu tujuan. Hambatan adalah suatu hal

yang ikut menyebabkan kesulitan dalam proses belajar dan pembelajaran,

hambatan adalah sesuatu yang menghalangi pembelajaran siswa.

Pengertian Hambatan adalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

“Hambatan adalah halangan atau rintangan”.

Pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam membangun sumber

daya manusia disuatu negara, tak terkecuali di Indonesia. Dinamika

pendidikan di indonesia selalu dinamis mengikuti globalisasi. Terhitung

beberapa kali sistem pendidikan di indonesia mengalami perubahan guna

menemukan bentuk terbaik dalam memacu kemajuan masyarakat. Salah satu

sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia adalah Pendidikan Karakter.


38

Terlepas dari berbagai kelebihan pendidikan karakter, terdapat pula

kekurangan-kekurangan yang harus dibenahi guna memaksimalkan tujuan

dari pendidikan karakter itu sendiri. Dalam pengimplementasian pendidikan

karakter tak jarang ditemui hambatan-hambatan yang dialami oleh guru

maupun pihak sekolah. Hambatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor

tentunya.

Dalam penerapan pendidikan karakter tidak serta merta nilai dari

pendidikan karakter tersebut akan tertanam dalam diri peserta didik. Perlu

usaha dan kerja keras semua pihak untuk mewujudkannya baik dari pihak

sekolah, keluarga dan masyarakat. Sebuah sekolah terdiri dari peserta didik

yang memiliki latar belakang yang berbeda sehingga dalam penerapan

pendidikan karakter pasti ditemui berbagai hambatan.

Secara konseptual, pendidikan karakter di sekolah tampaknya sudah

cukup mapan. Namun dalam pelaksanaannya, hal itu akan mendapat

tantangan yang sangat besar. Tantangan tersebut dapat berasal dari

lingkungan pendidikan itu sendiri maupun dari luar. Tantangan dari

dalam dapat berasal dari personal pendidikan maupun perangkat lunak

pendidikan (mind set, kebijakan pendidikan dan kurikulum). Tantangan

dari luar berupa perubahan lingkungan sosial secara global yang

mengubah tata nilai, norma, dan budaya suatu bangsa, menjadi sangat

terbuka. Perubahan itu tidak dapat dikendalikan dan dibatasi karena

berkembangnya teknologi informasi.

2. Macam-macam hambatan dalam Implementasi Pendidikan Karakter


39

Salah satu ciri khas yang melekat pada peserta didik diusia remaja adalah

kekhawatiran akan masa depan yang tampak suram, hal ini disebabkan pesimistis

remaja. Perubahan psikologis menjadi remaja diikuti oleh perkembangan

pemikiran, perasaan, penalaran, maupun emosional yang semakin kompleks. Hal

ini menyebabkan hambatan-hambatan dalam pengembangan karakter peserta

didik di sekolah karena sulitnya mengarahkan peserta didik yang sedang

mengalami perubahan “status sosial” dari anak-anak menjadi remaja.

Masalah-masalah yang menjadi hambatan dalam penerapan pendidikan

karakter sangat kompleks, terutama masalah yang timbul dari siswa ataupun

diluar siswa itu sendiri. Masalah-masalah yang ada antara lain :

1. Masalah Siswa

Menurut Surbakti ( 2008 : 10-13) perubahan psikologi peserta didik

menjadi remaja yang diikuti oleh perkembangan pemikiran, perasaan,

penalaran mau pun emosional semakin kompleks. Sehingga menyebabkan

beberapa masalah atau kenakalan yang terjadi. Di antara masalah masalah

tersebut antara lain :

a. Prestasi belajar sering tidak stabil.

Pada umumnya peserta didik yang tidak stabil prestasi belajarnya

cenderung santai dan tidak peduli dengan nilai raport bahkan nilai

sikap mereka. Hal ini membentuk karakter peserta didik menjadi masa

bodoh.

b. Kurang peduli dengan lingkungannya.


40

Ketidakpedulian ini tampak dari minimnya partisipasi mereka untuk

melibatkan diri dengan lingkungan. Mereka cenderung manarik diri

bahkan tidak peduli jika hal tersebut tidak berkaitan dengannya. Hal

ini dapat membentuk egosentrisme peserta didik.

c. Sering melakukan penentangan

Penentangan merupakan ciri khas peserta didik yang selalu

memusingkan orang tua maupun guru. Penentangan ini biasanya

dilakukan karena mereka beranggapan bahwa mereka tidak merasa

bebas untuk melakukan yang mereka inginkan.

d. Cenderung mudah tersinggung dan sering menarik diri.

e. Cenderung menghindari tanggung jawab.

Peserta didik biasanya kurang menghargai atau menghindar dari

tanggung jawab yang diberikan kepada mereka.

f. Kurang menghargai tata aturan

Kuatnya keinginan untuk merasa bebas menjadi pendorong kuat bagi

peserta didik untuk tidak menghargai tata aturan atau mengabaikan

sopan santun yang harus mereka terapkan. Rendahnya motivasi orang

tua atau guru bisa menjadi penyebab peserta didik untuk tidak

mentaati aturan yang ada.

Selain hambatan-hambatan yang datangnya dari peserta didik itu sendiri,

implementasi pendidikan karakter juga mengalami hambatan yang disebabkan

oleh faktor eksternal antara lain :

a. Rendahnya peran orang tua


41

Pentingnya peran orang tua terhadap pendidikan anak bukanlah hal sepele,

karena tugas mendidik tidak hanya sebatas dari sekolah yang dilakukan

oleh para guru. Kebanyakan orang tua cenderung menyerahkan tugas

pendidikan anaknya kepada guru di sekolah, sehingga tidak ada korelasi

antara guru, peserta didik dan orang tua.

b. Minimnya sarana dan prasarana

Sarana pendidikan adalah semua fasilitas yang diperlukan dalam proses

pembelajaran baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar

pencapaian tujuan pendidikan dan pembelajaran berjalan dengan lancar,

teratur, efektif dan efisien. Sarana dan prasarana yang minim juga

berpengaruh terhadap metode pembelajaran yang akan digunakan guru

dalam proses pembelajaran, proses pembelajaran tidak optimal

dikarenakan guru akan kebingunan dalam menyampaikan materi

pembelajaran dan dapat menjadi penyebab rendahnya motivasi belajar

peserta didik karena pembelajaran akan terkesan monoton dan

membosankan.

c. Kurangnya pengelolaan manajemen sekolah

Manajemen sekolah adalah proses pendayagunaan sumber-sumber

manusiawi bagi penyelenggara sekolah secara efektif. Hal ini menyangkut

bagaimana pimpinan sekolah menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai

standar mutu proses pembelajaran terutama untuk para guru. Pengelolaan

manajemen sekolah yang minim kebijakan akan menyebabkan guru


42

maupun peserta didik akan terkesan santai dalam menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya.

Anda mungkin juga menyukai