Anda di halaman 1dari 31

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Pendidikan Karakter


1. Karakter

a. Pengertian Karakter

Secara etimologis kata karakter berasal dari bahasa Yunani Charrassein yang

berarti membuat tajam, membuat dalam. Sedangkan dalam kamus Ingris-Indonesia

karakter berasal dari kata character yang berarti watak, karakter atau sifat (Echols

dan Shadily, 1995:5).

Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-

sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang

lain.

Menurut Samani & Hariyanto (2012:43) memaknai karakter sebagai nilai-nilai

dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas

maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta

diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa,

pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang

baik sehingga peserta didik menjadi faham (kognitif) tentang mana yang benar dan

yang salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya

(psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik bukan hanya

melibatkan aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga

merasakan yang baik (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action).

9
10

Sejalan dengan pendapat diatas Samani (2011:41) yakni Karakter dapat

dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang

Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, perkataan, dan perbuatan

berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan

estetika.

Menurut Coon (1983) mendefinisan karakter sebagai suatu penilaian subyektif

terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat

atau tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Sementara menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi Sembilan

pilar, yaitu cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, tanggung jawab, disiplin dan

mandiri, jujur, amanah, dan arif, hormat dan santun, dermawan, suka menolong, dan

gotong royong, percaya diri, kreatif, dan pekerja keras, kepemimpinan dan adil, baik

dan rendah hati, toleran, cinta damai, dan kesatuan.

Berdasarkan pendapat di atas orang yang memiliki karakter baik adalah orang

yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut. Karakter seperti juga kualitas diri

yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada

setiap individu dipengaruhi oleh factor bawaan (nature) dan faktor lingkungan

(nuture).

Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian

menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kaualitas moral dan

mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif

terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter

hanya berkaitan dengan stimulus terhadap intelektual seseorang. Jika sosialisasi dan
11

pendidikan (faktor nuture) sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak

kapan sebaiknya hal itu dilakukan? Menurut Thomas Lichona dalam Megawangi

(2003) pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini.

Erikson dalam Hurlock (1981) juga menyatakan hal yang sama, dalam hal ini

Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia,

yaitu di mana kebaikan berkembang secara perlahan tapi pasti. Dengan kata lain, bila

dasar-dasar kebaikan gagal ditanamkan pada anak usia dini, maka dia akan menjadi

orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebaikan. Dari paparan diatas dapat

disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang

pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah-nature) dan lingkungan

(sosialisasi atau pendidikan-nuture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia

sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui

sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

b. Komponen Karakter yang Baik

1) Pengetahuan Moral

Terdapat banyak jenis pengetahuan moral berbeda yang perlu kita ambil

seiring kita berhubungan dengan perubahan moral kehidupan. Keenam aspek

berikut ini merupakan aspek yang menonjol sebagai tujuan pendidikan karakter

yang diinginkan. Pertama, kesadaran moral. Kedua, mengetahui nilai moral.

Ketiga, penentuan perspektif. Keempat, pemikiran moral. Kelima, pengambilan

keputusan. Keenam, pengetahuan pribadi.

2) Perasaan moral
12

Seberapa jauh kita peduli tentang sikap jujur, adil, dan pantas terhadap

orang lain, sudah jelas mempengaruhi apakah pengetahuan moral kita mengarah

pada perilaku moral. Sisi emosional karakter ini seperti sisi intelektualnya,

terbuka terhadap pengembangan oleh keluarga dan sekolah. Aspek-aspek berikut

kehidupan emosional moral menjamin perhatian kita sebagaimana kita mencoba

mendidik karakter yang baik. Pertama, hati nurani. Kedua, harga diri. Ketiga,

empati. Keempat, mencintai hal yang baik. Kelima, kendali diri. Keenam,

kerendahan hati.

3) Tindakan moral

Tindakan moral untuk tindakan yang besar, merupakan hasil atau outcome

dari dua bagian karakter lainnya. Ada masa ketika kita mungkin mengetahui apa

yang harus kita lakukan, merasakan apa yang harus kita lakukan, namun masih

gagal untuk menerjemahkan pikiran dan perasaan kita kedalam tindakan. Untuk

benar-benar memahami apa yang menggerakkan seseorang untuk melakukannya,

kita perlu memperhatikan tiga aspek karakter lainnya yaitu: kompetisi, keinginan,

dan kebiasaan. (http://3101409018.pdf.com diakses pada tanggal 27 Juni 2016

pukul 21.00 WIB).

2. Pendidikan Karakter

a. Pengertian pendidikan karakter

Menurut Thomas Lichona dalam Marzuki (2012) secara terminologis karakter

adalah “A reliable inner dispotion to respond to situation in a morally good way”.


13

Selanjutnya Lickona menambahkan, “character so conveived has three interrelated

parts, moral knowling, moral feeling, and moral behavior”. Arinya karakter yang baik

harus meliputi pengetahuan kebaikan, lalu menumbuhkan komitmen (niat) terhadap

kebaikan dan pada akhirnya melakukan kebaikan itu sendiri.

Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan

yang baik (moral knowling), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling), dan

perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku

dan sikap hidup peserta didik.

Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk

mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-

kebajikan inti yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat (Saptono,

2012: 23)

Pendidikan karakter dapat di definisikan secara luas dan sempit. Luas

mencakup hampir seluruh usaha sekolah di luar bidang akademis terutama yang

bertujuan membantu siswa tumbuh menjadi seseorang yang memiliki karakter yang

baik. Dalam makna sempit sebagai bentuk pelatihan moral yang merefleksikan nilai

tertentu. Dengan demikian pendidikan karakter adalah proses pembinaan tuntunan

kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam

dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai

sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan

watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan

keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu

dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Jadi pendidikan karakter sebagai hal
14

positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang

diajarnya sebagai upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk

mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya.

b. Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik

untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan

kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter

adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya

yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Melalui

pendidikan karakter diharapkan peserta didik memiliki karakter yang baik meliputi

kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat, peduli,dan kreatif. Karakter

tersebut diharapkan menjadi kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan

keharmonisan dari hati, piker, raga, serta rasa dan karsa.

Tujuan mulia pendidikan karakter ini akan berdampak langsung pada prestasi

anak didik. Pendidikan pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangung,

kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,

berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya

dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan pancasila.

c. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan Karakter

Keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan/sekolah

dapat tercapai dengan keterlibatan semua warga sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Keluarga merupakan lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter yang harus


15

terlebih dahulu diberdayakan, sedangkan pendidikan karakter di sekolah ditekankan

pada penanaman moral, nilai-nilai estetika, budi pekerti yang luhur. Di samping itu

lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter atau watak

seseorang. Mengingat keberhasilan pendidikan karakter sangat dipengaruhi oleh

keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat, keberadaan contoh (role model) sangat

berarti. Misalnya orang tua, guru, dan publik figur harus menjadi contoh langsung bagi

anak atau peserta didik.

1) Keluarga sebagai wahana pertama dan utama pendidikan karakter anak

Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam

pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi utama keluarga adalah sebagai

wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan

kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat

dengan baik serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna

tercapainya keluarga yang sejahtera.Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa

keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak.

Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka

akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk

memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan

berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter, oleh karena itu

setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung

pada pendidikan karakter anak di rumah.

Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat

tumbuh di lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang


16

dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Mengingat lingkungan anak

bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak- keluarga,

sekolah, media masa, komunitas bisnis, dan sebagainya turut andil dalam

perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi penerus

bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal

ini tidak mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa

pendidikan merupakan “PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih

melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan

bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang

berkarakter baik.

Seperti yang telah dijelaskan, bahwa lingkungan rumah dan keluarga

memiliki andil yang sangat besar dalam pembentukan perilaku anak. Untuk itu

pastilah ada usaha yang harus dilakukan terutama oleh pihak-pihak yang terkait

didalamnya sehingga mereka akan memiliki tanggung jawab dalam hal ini.

Beberapa contoh kebiasaan yang dapat dilakukan di lingkungan keluarga :

membiasakan anak bangun pagi, mengatur tempat tidur dan berolahraga,

membiasakan anak mandi dan berpakaian bersih, membiasakan anak turut

membantu mengerjakan tugas-tugas rumah, membiasakan anak mengatur dan

memelihara barang-barang yang dimilikinya, membiasakan dan mendampingi anak

belajar/mengulang pejaran/mengerjakan tugas sekolahnya, membiasakan anak

pamit jika keluar rumah, membiasakan anak mengucap salam saat keluar dari dan

pulang ke rumah, menerapkan pelaksanaan ibadah sholat sendiri dan berjamaah,

mengadakan pengajian Alquran dan ceramah agama dalam keluarga, menerapkan


17

musyawarah dan mufakat dalam keluarga sehingga dalam diri anak akan tumbuh

jiwa demokratis, membiasakan anak bersikap sopan santun kepada orang tua dan

tamu, membiasakan anak menyantuni anak yatim dan fakir miskin.

Terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam keluarga diantaranya: tidak

ada atau kurangnya keteladanaan. contoh penerapan yang diberikan oleh orang tua,

orang tua atau salah satu anggota keluarga (orang dewasa) yang tidak konsisten

dalam melaksanakan usaha yang sedang diterapkan, kurang terpenuhinya

kebutuhan anak dalam keluarga, baik secara fisik maupun psikhis sebab ada

ungkapan yang menyatakan bahwa kepatuhan anak berbanding sama dengan kasih

sayang yang diterimanya, tempat tinggal yang tidak menetap.

2) Peran sekolah dalam pendidikan karakter

Peran guru sebagai role model di sekolah sangat berpengaruh terhadap

efektifitas penerapan pendidikan karakter. Pendidik yang berkarakter kuat dan

cerdas diperlukan dalam situasi dan kondisi bangsa yang masih dilanda krisis

multidimensi. Sehingga kehadiran peserta didik sebagai key actor in the learning

process, yang profesional serta memiliki karakter kuat dan cerdas akan tercipta

sumber daya manusia yang merupakan pencerminan bangsa yang berkarakter dan

cerdas, serta bermoral luhur.

Efektifitas penanaman nilai-nilai budi pekerti juga sangat dipengaruhi oleh

ketepatan pendekatan yang dipilih guru, misalnya pendekatan klarifikasi nilai

(values clarification approach) (Zubaedi, 23)

Pendekatan ini memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam

mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri untuk meningkatkan kesadaran


18

mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini sangat efektif untuk

pendidikan di alam demokrasi. Di sisi lain keberhasilan pendidikan karakter salah

satunya adalah menghapus dikotonomi bahwa karakter adalah tanggung jawab

guru agama dan guru kewarganegaraan. Sesungguhnya keberhasilan pendidikan

karakter merupakan tanggung jawab bersama sehingga semua guru harus

membangun sinergi antar mata pelajaran.

Mulyasa (2011) berpendapat bahwa pengintegrasian pendidikan karakter

melalui proses pembelajaran semua mata pelajaran, merupakan model yang banyak

diterapkan. Model ini ditempuh dengan paradigm bahwa semua guru adalah

pendidik karakter (character educator). Artinya guru adalah contoh nyata bagi

anak didik dalam menerapkan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Jika dilingkungan sekolah anak dapat dikatakan “menerima apa adanya”

dalam menerapkan sesuatu perbuatan, maka dilingkungan sekolah sesuatu hal

menjadi “mutlak” adanya, sehingga kita sering mendengar anak mengatakan pada

orang tuanya “Ma, Pa, kata Bu guru/Pak guru begini bukan begitu” ini

menunjukkan bahwa pengaruh sekolah sangat besar dalam membentuk pola pikir

dan karakter anak, namun hal ini pun bukanlah sesuatu yang mudah tercapai tanpa

ada usaha yang dilakukan. Untuk menjadi Bapak dan Ibu guru seperti dalam

ilustrasi diatas butuh keteladanan dan konsistensi perilaku yang patut diteladani.

Contoh-contoh perilaku yang dapat diterapkan di sekolah antara lain:

membiasakan siswa berbudaya salam, sapa dan senyum, tiba di sekolah mengucap

salam sambil salaman dan cium tangan guru, menyapa teman, satpam, penjual

dikantin atau cleaning servis di sekolah, menyapa dengan sopan tamu yang datang
19

ke sekolah, membiasakan siswa berbicara dengan bahasa yang baik dan santun,

mendidik siswa duduk dengan sopan di kelas, mendidik siswa makan sambil duduk

di tempat yang telah disediakan tidak sambil jalan-jalan, membimbing dan

membiasakan siswa sholat Dhuha dan sholat dzuhur berjamaah di sekolah. Namun

terdapat beberapa kendala yang dihadapi di sekolah: tidak ada atau kurangnya

keteladanan atau contoh yang diberikan oleh guru, guru yang tidak konsisten dalam

melaksanakan aturan yang telah ditetapkan, lingkungan sekolah yang tidak

kondusif untuk pembelajaran.

3) Peran masyarakat dalam pendidikan karakter

Masyarakat pun memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam upaya

pembentukan karakter anak bangsa. Dalam hal ini yang dimaksud dengan

masyarakat disini adalah orang yang lebih tua yang “tidak dekat“. “tidak dikenal”,

“tidak memiliki ikatan “family“ dengan anak tetapi saat itu ada di lingkungan sang

anak atau melihat tingkah laku si anak. Orang -orang inilah yang dapat

memberikan contoh, mengajak, atau melarang anak dalam melakukan suatau

perbuatan.

Contoh–contoh perilaku yang dapat diterapkan oleh masyarakat:

membiasakan gotong royong (membersihkan halaman rumah masing-masing,

membersihkan saluran air, menanami pekarangan rumah), membiasakan anak tidak

membuang sampah dan meludah di jalan, merusak atau mencoret–coret fasilitas

umum, menegur anak yang melakukan perbuatan yang tidak baik. Namun terdapat

beberapa kendala yang dihadapi oleh masyarakat: tidak ada kepedulian, tidak
20

merasa bertanggung jawab, menganggap perbuatan anak adalah hal yang sudah

biasa.

4) Peran Pemerintah

Pemerintah sudah tentu memiliki andil yang besar dalam pembentukan

karakter anak bangsa sebab berbagai kebijakan terlahir dari para penentu

kebijakan. namun kadang kala ada kebijakan/ aturan yang justru tidak disadari

dapat memupuk perilaku anak yang tidak baik, contohnya:

a) Membuka tempat–tempat hiburan atau taman-taman wisata yang tidak ada

pengawasan yang ketat, misal; ada batas jam malam berkunjung, razia KTP bagi

yang berpasangan, dsb.

b) Menetapkan peraturan tidak merokok ditempat umum/ tertentu, namun saat

berdialog langsung dengan para siswa, seorang pejabat justru sambil merokok

tidak henti–hentinya atau saat melakukan rapat di ruangan ber AC para pejabat

sambil berasap ria.

c) Menekankan disiplin untuk semua kegiatan, tapi kenyataannya masih banyak

yang menggunakan “jam karet”.

d) Memberikan izin penayangan film-film yang bertajuk film anak di televisi

namun tidak memiliki nilai didaktis didalamnya padahal televisi adalah media

yang sangat dekat dengan anak. (http://3101409018.pdf.com. Diakses pada

tanggal 27 Juli 2016 pukul 21.00 WIB)

B. Karakter Sosial

1. Definisi Karakter Sosial


21

Karakter sosial kaitannya adalah dengan sikap atau perilaku individu dalam

berhubungan dengan individu lain atau masyarakat. Manusia sebagai mahluk sosial

tentunya akan berhubungan dengan manusia lainnya. Seseorang yang memiliki karakter

sosial yang baik tentunya akan menjalankan kehidupannya sesuai dengan nilai dan norma

yang berlaku dalam lingkungan sosial individu tersebut.

Semua orang tua tentu ingin anak-anaknya menjadi sukses. Akan tetapi kita tahu

bahwa keberhasilan akan menjadi sia-sia tanpa karakter, kualitas seperti kejujuran, rasa

tanggung jawab, kebaikan, dan keteguhan dalam menghadapi kesulitan. Novelis Walker

Percy pernah berkata, “beberapa orang mendapatkan semua hal, tetapi gagal dalam hidup

dalam menjalani hidup dengan baik, pepatah mengatakan, satu ons bernilai satu pon

kecerdasan”.

Sebagai sebuah masyarakat, kita mulai memulihkan kebijaksanaan kuno. Sekolah

bertanggung jawab dalam pendidikan karakter. Kami memiliki kepedulian baru terhadap

karakter pemerintah dan pemimpin perusahaan, setelah mengetahui bahwa keahlian tidak

berarti tanpa etika. Ancaman bagi masyarakat. Buku-buku laris seperti “emotional

intelligence”, “the 7 habits of highly effective people”, dan “the book of virtues”, pada

dasarnya adalah refleksi dari karakter dan pentingnya dalam kehidupan pribadi maupun

kehidupan kolektif. Hidup, seperti tulisan yang mengingatkan kita, adalah perjalanan

moral dan spiritual yang kami butuhkan sebagai kompas batin yang dapat diandalkan.

Karakter Sosial adalah kepemilikan akan “hal-hal yang baik”. Sebagai orang tua

dan pendidik, tugas kita adalah mengajar anak-anak dan karakter adalah apa yang termuat

di dalam pengajaran kita. Isi dari karakter sosial yang baik adalah kebaikan dengan yang

ada pada sekitarnya. Kebaikan seperti kejujuran, keberanian, keadilan, dan kasih sayang
22

adalah posisi untuk berperilaku secara bermoral. Karakter sosial adalah objektifitas yang

baik atas kualitas manusia, baik bagi manusia diketahui atau tidak. Kebaikan-kebaikan

tersebut ditegaskan oleh masyarakat dan agama di seluruh dunia. Karena hal tersebut

secara intrinsik baik, punya hak atas hati nurani kita. Kebajikan mentransendensikan

waktu dan budaya walaupun budaya mereka diekspresikan secara bervariasi, keadilan dan

kebaikan, misalnya akan selalu ada dan dimanapun menjadi kebaikan, terlepas dari

beberapa banyak orang yang menunjukkan pada mereka (Thomas Lickona dalam

Marzuki. 2012: hal. 15-16).

Karakter Sosial merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara

bermoral, yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui perilaku baik, jujur,

bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya.

Dalam konteks pemikiran Islam, karakter sosial berkaitan dengan iman dan ikhsan. Hal

ini sejalan dengan ungkapan Aristoteles, bahwa karakter sosial erat kaitannya dengan

“habit” atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan diamalkan di tengah

masyarakat.

Karakter Sosial memiliki dua sisi, yaitu: perilaku benar dalam hubungan dengan

orang lain dan perilaku benar dalam kaitannya dengan diri sendiri. Kehidupan yang

penuh dengan kebajikan berisi kebajikan berorientasi orang lain, seperti keadilan,

kejujuran, rasa syukur, dan cinta, tetapi juga termasuk kebajikan berorientasi diri sendiri

seperti kerendahan hati, ketabahan, kontrol diri, dan berusaha yang terbaik daripada

menyerah pada kemalasan.Tanpa nilai-nilai kebajikan yang membentuk karakter sosial

yang baik, individu tidak bisa hidup bahagia dan tidak ada masyarakat yang dapat

berfungsi secara efektif. Tanpa karakter sosial yang baik, seluruh umat manusia tidak
23

dapat melakukan perkembangan menuju dunia yang menjunjung tinggi martabat dan nilai

dari setiap pribadi. Jika hal ini benar, kita tidak memiliki tanggung jawab lebih besar

daripada mencoba untuk membesarkan orang-orang agar berkarakter (Thomas Lickona.

2012: 21-22).

Beberapa pengertian karakter sosial diatas ada dua versi yang agak berbeda. Satu

pandangan menyatakan bahwa karakter sosial adalah watak atau perangai (sifat) di

masyarakat, dan yang lain mengungkapkan bahwa karakter sosial adalah sama dengan

akhlak di tengah kehidupan bermasyarakat, yaitu sesuatu yang melekat pada jiwa yang

diwujudkan dengan perilaku yang dilakukan tanpa pertimbangan.

Meskipun demikian bila dikerucutkan dari kedua pendapat tersebut ialah

bermakna pada sesuatu yang ada pada diri manusia yang dapat menjadikan ciri kekhasan

pada diri seseorang. Karakter sama dengan kepribadian, tetapi dipandang dari sudut yang

berlainan. Istilah karakter sosial dipandang dari sudut “penilaian”, baik-buruk, senang-

benci, menerima-menolak, suatu tingkah laku berdasarkan norma-norma yang dianut.

Istilah kepribadian dipandang dari sudut “penggambaran”, manusia apa adanya tanpa

disertai penilaian.

Menurut Samani & Hariyanto (2012:43) memaknai karakter sosial sebagai nilai-

nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas

maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta

diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal.

Pengalaman-pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, perasaan

kasihan, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas, integritas, bisa dilukai,


24

trasendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma. Kedua aspek individu, yakni

aspek binatang dan aspek manusia merupakan kondisi-kondisi dasar eksistensi manusia.

Ada lima kebutuhan, yakni kebutuhan akan ketehubungan, kebutuhan akan transendensi,

kebutuhan akan keterberakaran, kebutuhan akan identitas, dan kebutuhan akan kerangka

orientasi.

a. Kebutuhan keterhubungan.

Berasal dari fakta bahwa manusia menjadi manusiawi telah direnggut dari

kesatuan primer binatang dengan alam.

b. Kebutuhan transendensi.

Manusia dengan kemampuan berpikir dan berkhayalnya, telah kehilangan

interdependensi intim dengan alam. Sebagai pengganti ikatan-ikatan instingtif dengan

alam yang dimiliki binatang, manusia harus menciptakan hubungan-hubungan

mereka sendiri, yang paling memberikan kepuasan adalah hubungan-hubungan yang

didasarkan pada cinta produktif. Sinta produktif selalu mengandung perhatian,

tanggung jawab, respek, dan pemahaman timbale balik. Dorongan transendensi

adalah kebutuhan orang untuk mengatasi kodrat binatangnya, untuk menjadi orang

yang kreatif dan bukan hanya menjadi makhluk belaka. Kebutuhan-kebutuhan tidak

diciptakan masyarakat tetapi telah ditanamkan dalam kodrat manusia melalui evolusi.

Fromm (1985) memiliki pandangan tentang manusia lebih mengarah pada

manusia secara ekonomi dan secara sosial. Adapun aplikasinya untuk konseling

adalah bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang terkait dengan persepsi, yaitu

robot, kesesuaian, otoritarianisme, merusak dan individuasi. Dengan demikian

Fromm telah menyumpangkan pemikirannya yang di dasarkan pada kondisi kelurga,


25

masyarakat dan negaranya saat itu, namun semua itu dapat berulang pada kehidupan

manusia yang lain hanya berbeda tempat dan waktu.

Menurut Fromm(1985) dalam bukunya yang berjudul Introduction to Theories

of Personality, hakekat manusia bersifat dualistik. Paling tidak ada empat dualistik di

dalam diri manusia, diantaranya sebagai berikut:

1) Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia.

Manusia sebagai memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus

dipuaskan, seperti kebutuhan makan dan minum. Manusia sebagai manusia

memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir dan berimajinasi. Kebutuhan manusia

itu maujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut,

cinta, kasihan, integritas, sedih dan lain-lain.

2) Hidup dan Mati.

Kesadaran diri dan fikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati,

tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan menyakini adanya kehidupan

sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesui dengan fakta bahwa kehidupan

akan berakhir dengan kematian.

3) Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan.

Manusia mampu mengkonsepkan realisasi-diri yang sempurna, tetapi

karena hidup itu pendek maka kesempurnaan tidak dapat dicapai. Ada orang

berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya

dengan prestasi di bidang kemanusiaan, ada pula yang menyakini dalil kelajutan

perkembangannya sesudah mati.

4) Kesendirian dan kebersamaan.


26

Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak

bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang

terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya

tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain.

c. Kebebasan Keterhubungan Memahami dan Beraktivitas

Keterhubungan–keberakaran: kebutuhan untuk bersatu dengan orang lain

yang dicintai sehingga menjadi bagian dari komunitas tertentu. Keinginan irasional

yang dimiliki manusia untuk memelihara hubungan pertamanya yaitu dengan ibunya

harus diwujudkan dalam rasa solidaritas dengan orang lain. Hubungan yang paling

memuaskan berdasarkan pada cinta, perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan

memahami orang lain.

d. Kerangka orientasi (Frame of orientation):

“Kebutuhan untuk membuat pandangan memahami alam”. Cara pandang

seseorang mungkin tidak selalu benar, tapi setidaknya cara pandang tersebut

mewakili/menginterpretasikan keterpaduan dalam lingkungan. Keunggulan

(transcendence): kebutuhan untuk berubah dari kodrat binatangnya, untuk menjadi

orang yang kreatif dan jangan hanya menjadi makhluk saja. Hal ini hanya terjadi

ketika kebutuhan untuk berkreasi menghalangi kebutuhan untuk merusak itu timbul.

e. Kebutuhan akan identitas

Manusia tidak dapat menyatu dengan alam, mereka terisolasi dan kesepian.

Agar dapat bertahan hidup manusia harus menyatu dengan yang lain. Keinginan akan

perpaduan antarpribadi adalah perjuangan yang paling kuat dalam diri manusia. Ini

merupakan kekuatan yang membuat bangsa manusia tetap tinggal bersama sebagai
27

kelompok, keluarga dan masyarakat. Sumbangan Fromm dalam menggali kebutuhan

naluriah yang mendasar dalam perspektif psikoanalisis adalah sebagai berikut:

1) Kebutuhan Relasional (Need for Relatedness).


2) Kebutuhan akan Identitas (Need for Identity).
3) Kebutuhan akan Transendensi (Need for Trancendence).
4) Kebutuhan Berakar (Need for Rootedness).
5) Kebutuhan akan Kerangka Orientasi (Frame of Orientation and Devotion).

2. Indikator Karakter Sosial

Nilai-nilai sosial yang diharapkan dari pengimplementasian karakter sosial yaitu

mandiri (mengandalkan diri sendiri), pintar (rajin, refektif), logis (konsisten, rasional),

penyayang (pengasih), patuh (menghormati pekerjaan), sopan (berbudi), bertanggung

jawab (dapat diandalkan), dan mengendalikan diri (disiplin) (Aqib, 2012: 22).

NILAI Deskripsi INDIKATOR SEKOLAH

Karakter Sosial Sikap dan tindakan yang a. Memfasilitasi kegiatan

selalu ingin memberi bersifat sosial.


(Aqib, 2012:22)
bantuan pada orang lain b. Melakukan aksi sosial.
(Lihat halaman 4)
dan masyarakat yang c. Menyediakan fasilitas

membutuhkan. untuk menyumbang.

Karakter Sosial Anak Usia Madrasah IbtidaiyahTingkatan kelas di Madrasah

Ibtidaiyah dapat dibagi dua menjadi kelas rendah dan kelas atas. Kelas rendah terdiri dari

kelas satu, dua, dan tiga, sedangkan kelas-kelas tinggi Madrasah Ibtidaiyah yang terdiri

dari kelas empat, lima, dan enam. Di Indonesia, kisaran usia Madrasah Ibtidaiyah berada
28

di antara 6 atau 7 tahun sampai 12 tahun. Usia siswa pada kelompok kelas atas sekitar 9

atau 10 tahun sampai 12 tahun (Supandi, 1992:44).

Menurut Witherington (1952) yang dikemukakan Makmun (1995:50) bahwa usia

9-12 tahun memiliki ciri perkembangan sikap individualis sebagai tahap lanjut dari usia

6-9 tahun dengan ciri perkembangan sosial yang pesat. Pada tahapan ini anak/siswa

berupaya semakin ingin mengenal siapa dirinya dengan membandingkan dirinya dengan

teman sebayanya. Jika proses itu tanpa bimbingan, anak akan cenderung sukar

beradaptasi dengan lingkungannya. Untuk itulah sekolah memiliki tanggung jawab untuk

menanggulanginya.

Masa Usia Madrasah Ibtidaiyah disebut juga masa intelektual, atau masa

keserasian bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang untuk

memasuki sekolah. Masa Usia Madrasah Ibtidaiyah terbagi dua, yaitu:

a. Masa kelas-kelas rendah dan,

b. Masa kelas tinggi.

Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah (6/7 – 9/10 tahun):

a. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi.

b. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.

c. Adanya kecenderungan memuji diri sendiri.

d. Membandingkan dirinya dengan anak yang lain.

e. Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.

f. Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang

baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
29

g. Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang

baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10-12/13 tahun):

a. Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.

b. Amat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar.

c. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus

sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus.

d. Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk

menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya.

e. Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan

berusaha untuk menyelesaikannya.

f. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai

prestasi sekolahnya.

g. Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu

mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada),

mereka membuat peraturan sendiri.

Sekolah sebagai tempat terjadinya proses menumbuhkembangkan seluruh aspek

siswa memiliki tugas dalam memabantu perkembangan anak sekolah. Adapun tugas-

tugas perkembangan anak sekolah (Makmun, 1995:68), diantaranya adalah:

a. Mengembangkan konsep-konsep yang perlu bagi kehidupan sehari-hari

b. Mengembangkan kata hati, moralitas, dan suatu skala, nilai-nilai.

c. Mencapai kebebasan pribadi.


30

d. Mengembangkan sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok dan institusi-institusi

sosial.

Anak besar adalah anak yang berusia antara 6 sampai dengan 10 atau 12 tahun

(Sugiyanto dan Sudjarwo, 1992:101). Beberapa sifat sosial yang dimiliki anak besar

sebagai hasil perkembangan dari usia 10 sampai 12 tahun:

a. Baik laki-laki maupun perempuan menyenangi permainan yang terorganisir dan

permainan yang aktif.

b. Minat terhadap olahraga kompetitif meningkat.

c. Membenci kegagalan atau kesalahan.

d. Mudah bergembira, kondisi emosional tidak stabil.

Aktivitas yang diperlukan dalam proses tumbuh kembang anak besar di antaranya

adalah (Sugiyanto dan Sudjarwo, 1992:127-128):

a. Bermain dalam situasi berlomba atau bertanding dengan pengorganisasian yang

sederhana.

1) Berlomba dalam beberapa macam gerakan seperti berlari, merayap, melompat,

menggiring bola, adu lempar tangkap dan sebagainya.

2) Pertandingan kecabangan olahraga yang peraturannya disederhanakan, seperti

pertandingan voli mini. Dengan pengarahan dan pengelolaan aktivitas yang baik

dari guru, aktivitas ini akan berdampak kepada peningkatan kepercayaan diri anak

dan kebanggaan dirinya.

b. Aktivitas beregu atau berkelompok.

Anak diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan temannya dalam melakukan

aktivitas untuk membina kebersamaan di antara mereka.


31

C. Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka

Kepramukaaan adalah proses pendidikan diluar lingkungan sekolah dan diluar

lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, teratur, terarah, praktis

yang dilakukan di alam terbuka dengan prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan

yang sasaran akhirnya untuk pembentukan watak, akhlaq dan budi pekerti luhur.

Kepramukaan merupakan proses kegiatan belajar sendiri yang progresif bagi kaum muda

untuk mengembangkan diri pribadi seutuhnya baik mental, moral, spiritual, emosional sosal,

intelektual dan fisik, sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.

Kepramukaan merupakan sistem pembinaan dan pengembangan sumber daya atau

potensi kaum muda agar menjadi warga negara yang berkualitas yang mampu memberikan

sumbangan positif bagi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat baik nasional maupun

internasional. Pendidikan dalam kepramukaan dimaksudkan dan diartikan secara luas sebagai

suatu proses pembinaan yang berkesinambungan bagi sumber daya manusia pramuka, baik

sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, yang sasarannya menjadikan mereka

sebagai manusia yang mandiri, peduli, tanggungjawab dan berpegang teguh pada nilai dan

norma masyarakat. Diharapakan seorang anggota pramuka mampu memberikan pengaruh

positif terhadap lingkungan sekitarnya, baik lingkungan rumah maupun masyarakat. Karena

mereka telah mendapatkan proses pendidikan dari segi mental dan spiritual. Selanjutnya

menjadi penerus bangsa yang tangguh dan memiliki nilai-nilai kepribadian yang baik yang

kemudian membawa negara ke arah yang lebih baik.

Adapun beberapa pengertian tentang kepramukaan diantaranya:

a. Gerakan pramuka adalah oganisasi yang dibentuk oleh pramuka untuk menyelenggarakan

pendidikan kepramukaan.
32

b. Pramuka adalah warga negara Indonesia yang aktif dalam pendidikan kepramukaan serta

mengamalkan Satya Pramuka dan Darma Pramuka.

c. Kepramukaan adalah pembentukan kepribadian, kecakapan hidupdan akhlak mulia

pramuka melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepramukaan.

Gerakan pramuka bertujuan mendidik anak-anak dengan prinsip dasar dan metode

kepramukaan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan

perkembangan bangsa dan masyarakat Indonesia, agar mereka menjadi manusia yang

berkepribadian, berwatak dan berbudi pekerti luhur, yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, kuat mental dan tinggi moral. Menjadi warga negara Indonesia yang

berjiwa Pancasila, setia dan patuh kepada negara Republik Indonesia; serta menjadi anggota

masyarakat yang baik dan berguna, yang dapat membangun dirinya secara mandiri serta

bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa dan negara, memiliki kepedulian

terhadap sesama hidup dan alam lingkungan, baik lokal, nasional maupun internasional.

Kode kehormatan pramuka adalah suatu norma atau nilai-nilai luhur dalam kehidupan

para anggota gerakan pramuka. Kode kehormatan pramuka bagi anggota gerakan pramuka

disesuaikan dengan golongan usia dan perkembangan rohani dan jasmaninya. Kode

kehormatan pramuka ditetapkan dan diterapkan sesuai dengan golongan usia dan

pekembangan rohani dan jasmani anggota gerakan pramuka, yaitu; Kode kehormatan bagi

pramuka siaga, terdiri atas: Janji yang disebut Dwisatya, selengkapnya berbunyi :

Demi kehormatanku aku berjanji akan bersungguh-sungguh.

Menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan, NegaraKesatuan Republik

Indonesia dan menurut aturan keluarga.

Setiap hari berbuat kebaikan.


33

Ketentuan moral yang disebut Dwidarma, selengkapnya bunyi:

Siaga itu patuh pada ayah dan ibundanya

Siaga itu berani dan tidak putus asa

Kode kehormatan bagi Pramuka penggalang, terdiri atas: janji yang disebut Trisatya,
selengkapnya berbunyi:
Demi kehormatanku aku berjanji akan bersungguh-sungguh
Menjalankan kewajiban terhadap Tuhan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
mengamalkan Pancasila.
Menolong sesama hidup dan mempersiapkan diri membangun
masyarakat.
Upaya pembinaan karakter siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler pramuka dalam

menanamkan dan menumbuhkan karakter siswa, di dalam kepramukaan menggunakan 10

pilar yang menjadi kode kehormatan. Kode kehormatan mempunyai makna suatu noma

(aturan) yang menjadi ukuran kesadaran mengenai akhlaq yang tersimpan di dalam hati yang

menyadari harga dirinya; serta menjadi standar tingkah laku di masyarakat. 10 pilar tersebut

bernama Dasa Dharma, yaitu:

a. Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai hamba yang lemah, kita wajib menyembah Tuhan karena Dia-lah yang

menciptakan kita di dunia ini. Taqwa adalah menjalankan segala perintah-Nya dan

menjauhi segala larangan-Nya.

b. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.

Kita hidup di dunia tidak hanya menjadi makhluk pribadi melainkan kita juga

menjadi makhluk sosial. Dalam artian kita adalah makhluk yang tidak bisa berdiri

sendiri, sehingga kita perlu teman, bergaul, bertetangga. Kita tidak bisa hidup tanpa

orang lain karena kita pasti butuh bantuan orang lain.


34

c. Patriot yang sopan dan kesatria.

Sebagai seorang anggota pramuka kita harus berprilaku sopan. Tindak tanduk dalam

dalam bersikap dan bertutur kata perlu diperhatikan. Kesopanan itu sendiri

melambangkan kepribadian seseorang ditengah-tengah pergaulan dalam bersosialisasi

dalam kehidupan bermasyarakat.

d. Patuh dan suka bermusyawarah.

Dalam situasi dan kondisi apapun, seorang anggota pramuka wajib taat dan patuh

terhadap aturan yang berlaku; dan dalam kegiatan Pramuka selayaknya

bermusyawarah dalam mengambil keputusan dan mufakat.

e. Rela menolong dan tabah.

Pramuka senantiasa rela dalam menolong sesama tanpa membedakan agama, warna

kulit, ras, dan suku yang didasari hati yang ikhlas, tulus tanpa ada rasa ingin dipuji.

Dalam setiap perjuangan seorang anggota Pramuka itu harus tabah menghadapi

berbagai macam halangan, gangguan, halangan dan rintangan.

f. Rajin, terampil dan gembira.

Anggota Pramuka itu harus rajin melakukan sesuatu yang positif. Kegiatan dalam

pembinaan kepramukaan harus diterapkan dalam kegiatan sehari-hari. Jangan hanya

rajin pada saat penggodokan dalam kegiatan kepramukaan tetapi harus dibuktikan

ketika berada di rumah dan dilingkungan masyarakat. Dalam melaksanakan kegiatan

itupun harus dilaksanakan dengan hati yang senang dan gembira.

g. Hemat, cermat dan bersahaja.


35

Kita hendaknya tidak menghamburkan uang untuk jajan dan tidak berfoya-foya untuk

kesenangan sesaat. Seorang pramuka harus cermat dalam menggunakan uang, harus

bisa membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan keinginan. Walaupun berasal

dari keluarga kaya, seorang pramuka tidak boleh sombong dan angkuh, tetapi harus

tetap bersahaja dalam bergaul.

h. Disiplin, berani dan setia.

Anggota pramuka harus hidup disiplin, baik disiplin di sekolah, di rumah, di tempat

bermain dan sebagainya. Anggota pramuka juga harus berani dalam menegakkan

kebenaran dan setia terhadap janji setianya karena itulah nilai-nilai luhur manusia.

i. Bertanggung jawab dan dapat dipercaya.

Seorang anggota pramuka harus bisa mempertanggung jawabkan segala sikapnya dan

tutur katanya pun harus dapat di percaya jangan sekali-kali berbohong karena

kebohongan satu akan ditutupi kebohongan yang lainnya.

j. Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

Inilah pribadi sejati manusia, bersih dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

Sehingga tidak ada sifat penyakit hati seperti, iri, dengki dan hasud.

Gerakan pramuka sebagai oraganisasi yang brgerak dalam bidang non formal

diharapkan mampu menjadi suatu kekuatan perubahan sosial nasional. Peran besar kegiatan

pramuka dalam upaya pembentukan karakter siswa hendaknya dapat diwujudkan dalam

praktek kehidupan sehari-hari. Ditinjau dari segi sosial budaya dari pembangunan bangsa

maka pendidikan kepramukan sebenarnya yang paling cocok untuk mempersiapkan kaum

muda untuk menanggulangi merosotnya karakter bangsa, karena kegiatan pramuka

bersumber dari Dasa Dharma Pramuka. Dengan demikian, menunjukan bahwa kegiatan
36

kepramukaan sebagai salah satu kegiatan ektrakulikuler di sekolah yang relevan dalam upaya

pembentukan karakter siswa terbukti dengan kesamaan nilai-nilai pendidikan karakter

dengan nilai-nilai Dasa Dharma (UU AD/ART, 2009: hlm. 2-9).

D. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa karya ilmiah yang telah ada sebelumnya guna

memberikan gambaran tentang sasaran penelitian yang akan dipaparkan dalam penulisan ini,

diantara hasil penelitian yang dimaksud adalah:

1. Skripsi Dwinanto Yuwono, mahasiswa Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama

Islam tahun 2007, yang berjudul “Pendidikan Keterampilan Gerakan Pramuka Satuan

Karya Bakti Husada (Tinjauan Pendidikan Islam)”, dalam skripsi tersebut membahas

salah satunya tentang metode yang digunakan adalah pengembangan diri metode

kepramukaan yang kemudian memberikan beberapa altenatif guna meningkatkan mutu

pada lembaga pendidikan keterampilan nonformal. Alternatif tersebut meliputi:

kemampuan yang berhubungan dengan sikap mental dan motivasi, kemampuan

menejerial, kemampuan teknis produksi, kemampuan permodalan atau keuangan dan

kemampuan jaringan usaha.

2. Skripsi Siska Maryati, mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan keguruan jurusan Pendidikan

Agama Islam tahun 2011, dengan judul “Peranan Kegiatan Ektra Kurikuler untuk

meningkatkan Prestasi Siswa dalam Bidang Pengembangan Diri di MAN

WonokromoBantul”, skripsi ini menyimpulkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler di MAN

Wonokromo Bantul salah satunya adalah pramuka terbukti memberikan pengaruh

terhadap pengembangan diri Islami. Hasil atau prestasi yang diraih oleh siswa dapat

merasakan kesehatan fisik, meningkatkan kecintaannya terhadap Islam, mengontrol


37

emosi, menumbuh-kembangkan rasa sosial dan seni, serta menambah kekayaan

berkomunikasi.

3. Skripsi Risma Tri Anggono, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan jurusan

Pendidikan Agama Islam tahun 2011, dengan judul “Upaya Penanaman Nilai-Nilai

Pendidikan Agama Islam Bagi Anggota Pramuka Siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri

Sleman Yogyakarta”, dalam skripsi ini dalam kegiatan pramuka terdapat nilai-nilai

pendidikan yang terkandung dalam pendidikan agama Islam, dan pembina pramuka

sangat berpengaruh atas pemberian materi tersebut.

4. Skripsi Eva Farrah Dibba, mahasiswi Fakultas tabiyah jurusan Pendidikan Agama Islam

tahun 2005, dengan judul “Aspek-aspek Pendidikan Agama Islam Dalam Kegiatan

Pramuka di Madrasah Aliyah Mu’Allimat Muhammadiyah Yogyakarta”, dalam skripsi

ini penulis menyampaikan bahwa aspek-aspek pendidikan Islam yang menunjang dalam

kegiatan pramuka di Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta meliputi aspek

jasmani, rohani dan akal. Masing-masing aspek ini mempunyai peran dalam setiap

kegiatan pramuka.

5. Skripsi Nur Endah Puspitasari, mahasiswi Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama

Islamtahun 2007, dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam dalam Kegiatan

Ekstra Kurikuler Pramuka di MAN Sabdodadi Bantul”, dalam skripsinya penulis

menyampaikan bahwa dalam kegiatan pramuka di MAN Sabdodadi terdapat nilai-nilai

pendidikan agama Islam, yaitu nilai kedisiplinan, nilai kesederhanaan, nilai keadilan,

nilai kemandirian, nilai kedewasaan, nilai kesabaran dan nilai persaudaraan.


38

Pada penelitian yang akan penulis kemukakan disini yaitu ingin mengambil nilai-nilai

pendidikan karakter yang ada pada kegiatan kepramukaan dan bagaimana upaya dalam

membentuk karakter sosial siswa.

E. Kerangka Pemikiran

Kepramukaan adalah proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di luar

lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah,

praktis yang dilakukan di alam terbuka dengan prinsip dasar kepramukaan dan metode

kepramukaan, yang sasaran akhirnya pembinaan watak, akhlak dan budi pekerti luhur.

Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka adalah salah satu solusi untuk masalah pembinaan

karakter sosial siswa. Melalui kegiatan ekstrakurikuler Pramuka ini menjadikan siswa

sebagai manusia yang mandiri, peduli, bertanggung jawab, dan berpegang teguh pada nilai

dan norma masyarakat. Seorang anggota Pramuka (siswa) bisa memberikan pengaruh positif

baik dilingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat, karena secara fisik, mental dan

spiritual mereka telah dibina didalam kegiatan ektrakurikuler Pramuka.

Kegiatan ekstrakurikuler berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan rasa

tanggung jawab sosial siswa. Kompetensi sosial dikembangkan dengan memberikan

kesempatan kepada siswa untuk memperluas pengalaman sosial, praktek keterampilan sosial,

dan internalisasi nilai moral dan nilai sosial.


39

Gambar dibawah ini menunjukkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Kegiatan Ekstrakurikuler

Siswa Pembina / Guru

Konsep

Pramuka Pembinaan
Karakter Sosial

Instrumen

Wawancara

Karakter sosial siswa

Gambar1.1

Kerangka pemikiran

Anda mungkin juga menyukai