Anda di halaman 1dari 21

Pendidikan Karakter

Pengertian Karakter

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Pendidikan


karakter, kita bias melihat pengertian karakter terlebih dahulu.
Seorang filsuf Yunani Heraclitus yang dikutip Lickona (2012) dengan
singkat mengatakan bahwa: “karakter adalah takdir”, karena ia adalah
bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak yang dipunyai oleh seorang manusia
sejak ia lahir hingga dewasa (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 628).
Secara terminologi, Lickona (1991:51) mengemukakan bahwa karakter
adalah sebuah disposisi batin yang dapat diandalkan untuk
menanggapi situasi dengan cara yang baik secara moral.
Wynne & Benninga (1991), menjelaskan bahwa istilah karakter
mempunyai dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana
seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur,
kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku
buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong
tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua,
istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”, seseorang baru
disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah
lakunya sesuai kaidah moral. Dengan kata lain, karakter adalah cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara (Kemendiknas, 2011).
Nucci & Narvaez (2001), menyatakan “person of good character is
some one who attends to the moral implication of action and acts in
accordance with what is moral in most circumstances” (seseorang yang
berkarakter baik adalah seseorang yang bertindak mengikuti implikasi-
implikasi moral dan bertindak sesuai dengan nilai- nilai moral dalam
banyak keadaan). Dalam pandangan Lickona, karakter memiliki tiga
bagian yang saling terkait: pengetahuan moral, perasaan moral, dan
perilaku moral". Karakter baik menurutnya meliputi pengetahuan
tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap
kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan.
Lickona (2012:16), menyatakan karakter adalah kepemilikan
akan “hal-hal yang baik”. Isi dari karakter adalah kebaikan-kebaikan,
seperti kejujuran, keberanian, keadilan, dan kasih sayang yang
merupakan disposisi untuk berperilaku secara bermoral. Kebaikan
adalah obyektif yang baik, bukan preferensi subyektif seperti rasa
dalam music atau pakaian, karena kebaikan memenuhi kreteria etika
terntu. Kebaikan menentukan apa artinya menjadi manusia, kebaikan
meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan individu, dan kebaikan
memenuhi tes etika reversibilitas dan universalisabilitas.

23
24

Setidaknya ada sepuluh kebajikan untuk membangun karakter


kuat, diantaranya: (1) Kebijasanaan, (2) Keadilan, (3) Keberanian, (4)
Pengendalian diri; (5) Cinta, (6) Sikap positif, (7) Kerja keras, (8)
Integritas, (9) Bersyukur; dan (10) Kerendahan hati. Sepuluh kebajikan
utama ini dapat dianggap pemberian, yang oleh Aristoteles disebut
sebagai kehidupan baik (Lickona, 2012:17). Kebajikan-kebajikan
tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, karena saling
terkait, saling berhubungan dan saling memberikan pengaruh,
meskipun pada kenyataannya hampir semua orang jarang
mempraktekkannya sepuluh kebajikan ini dalam kurun waktu
tertentu. Keputusan untuk menjalankan bahkan hanya satu kebaikan
akan cenderung menarik kebajikan lainnya (seperti satu kelemahan
akan menarik kelemahan lainnya, Coughlin (Lickona, 2012:21).
Karakter bukan sebatas sifat-sifat yang bisa dipilah-pilah,
melainkan nilai-nilai yang terintegrasi satu dengan yang lain menjadi
sebuah kepribadian. Karakter baik bukan suatu keahlian atau
keterampilan yang disyaratkan dalam sebuah kompetensi seseorang,
meskipun demikian karakter baik merupakan persyaratan agar
kompetensi yang dimiliki seseorang dapat dipakai secara bijaksana,
sehingga membawa kemaslahatan bagi dirinya sendiri dan masyarakat.
Individu dikatakan berkarakter baik atau mulia adalah individu yang
dengan penuh kesadaran berusaha melakukan hal-hal yang terbaik
untuk Tuhannya, diri sendiri, sesama mahluk, lingkungan, serta
bangsa dan negaranya, dengan mengoptimalkan segala potensi dirinya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan karakter mulia dalam
kajian ini adalah atribut kompleks yang melekat pada kepribadian
seseorang menyangkut peri rasa, peri akal, dan peri laku, yang mampu
membawa kebajikan bagi dirinya dalam merespon terhadap realitas
kehidupan, baik sebagi individu orang yang beragama, berprofesi,
bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman atribut


pembentuk karakter mulia kepada peserta didik yang meliputi
komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik, agar peserta didik dapat
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Atribut karakter mulia, bukan hanya
sekedar untuk diketahui dan dipahami, melainkan harus tertanam
yang dalam dan kuat sehingga bisa menjadi budaya pada pribadi
peserta didik, dan pada akhirnya nilai-nilai karakter baik bisa
teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi kebiasaan.
Williams (Husaeni, 2010) menggambarkan bahwa karakter
laksana “otot” yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan
latihan demi latihan, maka “otot-otot” karakter akan menjadi kuat dan
akan mewujud menjadi kebiasaan (habit). Orang yang berkarakter tidak
melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi
karena mencintai kebaikan (loving the good). Karena cinta itulah, maka

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
25

muncul keinginan untuk berbuat baik (desiring the good). Pendidikan


karakter setidaknya mengandung tiga unsur pokok yaitu: mengetahui
kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan. Jadi,
pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan
akhlak atau pendidikan moral (Ryan & Bohlin, 1999:5)
Prinsip-prinsip dalam pendidikan karakter, menurut Lickona
(1991:187-189; 220-221), sebagai berikut: (1) mengembangkan nilai-
nilai universal sebagai fondasi, (2) mendefenisikan karakter secara
komprehensif yang mencakup aspek pikiran, perasaan dan perilaku, (3)
menggunakan pendekatan yang komprehensif dan proaktif, (4)
menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan tindakan moral, (6)
membuat kurikulum akademik yang bermakna, (7) mendorong motivasi
peserta didik, (8) melibatkan seluruh komponen sekolah sebagai
komunitas pembelajaran moral, (9) menumbuhkan kebersamaan dalam
kepemimpinan moral, (10) melibatkan keluarga dan anggota
masyarakat sebagai mitra, dan (11) mengevalusi karakter sekolah baik
terhadap staf sekolah sebagai pendidik karakter maupun peserta didik
dalam memanifestasikan karakter yang baik.
Dari hasil kajiannya, Zahira (2011: 43-49) mengatakan: terdapat
delapan konsep dalam pengembangan karakter, diantaranya: 1)
pembelajaran karakter melalui pemodelan, 2) pembelajaran karakter
melalui cerita, 3) pembelajaran karakter melalui pelayanan
masyarakat, 4) pembelajaran karakter melalui kebajikan dan prinsip-
prinsip, 5) pembelajaran karakter melalui integrasi, 6) pembelajaran
karakter melalui moral, 7) pembelajaran karakter melalui refleksi, dan
8) pembelajaran karakter melalui tugas warga negara.

Atribut Karakter Mulia

Pendidikan karakter tanpa identifikasi atribut atau nilai-nilai


pembentuk karakter yang akan ditumbuhkembangkan hanya akan
menjadi sebuah perjalanan panjang tanpa akhir, petualangan di
belantara tanpa peta dan kompas. Oleh karenanya ornagisasi manapun
di belahan bumi ini yang menaruh perhatian terhadap pendidikan
karakter seharusnya telah melakukan identifikasi dan pemetakan
atribut atau nilai-nilai karakter dasar yang menjadi pondasi dan pilar
dalam membangun perilaku seseorang.

Kluckhohn (Mustari, 2011), menjelaskan nilai adalah standar


yang waktunya agak langgeng. Dalam pengertian yang luas suatu yang
standar yang mengatur sistem tindakan. Nilai juga merupakan
keutamaan (preferensi), yaitu sesuatu yang lebih disukai, baik
mengenai hubungan sosial maupun mengenai cita-cita serta usaha
untuk mencapainya. Di Jepang misalnya, negara yang mampu
mengindentifikasi dan menerapkan nilai-nilai pembentuk karakter,
sehingga dalam waktu relatif singkat setelah negaranya diluluh

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
26

lantakkan sekutu berubah menjadi negara maju. Pondasi dan pilar


nilai karakter bangsa jepang yang kokoh tersebut diantaranya: 1) kerja
keras, 2) gerak cepat, 3) tepat waktu, 4) jujur, 5) menghargai orang lain,
6) mendahulukan kepentingan orang lain, 7) menghormat tamu dengan
penuh kehangatan, 8) memelihara kebersihan dan mencintai
keindahan, 9) kesadaran untuk menjalankan peraturan, dan 10) tertib
di jalan raya.

Terdapat beberapa atribut atau nilai karakter mulia yang telah


diidentifikasi dan dikembangkan oleh para pemerhati dan pakar
pendidikan karakter yang dapat digunakan sebagai acuan dan
pedoman dalam melaksanakan pendidikan karakter, diantaranya:

1. Character Count
Atribut karakter mulia yang menjadi pilar dan harus ditanamkan
kepada siswa, menurut Character Count di Amerika (Gunawan, 2012),
mencakup 10 karakter utama yaitu: (1) dapat dipercaya
(trustworthiness), (2) rasa hormat dan perhatian (respect), (3) tanggung
jawab (responsibility), (4) jujur (fairness), (5) peduli (caring), (6)
kewarganegaraan (citizenship), (7) ketulusan (honesty), (8) berani
(courage), dan (10) integritas (integrity)

2. Thomas Lickona
Psikolog perkembangan dan pakar pendidikan karakter Thomas
Lickona (1991) mengatakan, ada dua nilai utama yang harus diajarkan
dalam pendidikan karakter yaitu sikap hormat (respect) sebuah sikap
yang menunjukkan penghargaan terhadap diri orang lain atau hal lain
selain diri sendiri. Kedua tanggungjawab (responsibility) yaitu bentuk
perhatian dan secara aktif memberikan respon terhadap apa yang
orang lain harapkan, yang menekankan pada kewajiban positip untuk
saling melindungi satu sama lain. Namun secara rinci selain dua nilai
utama tersebut, Lickona (2012) juga menyebutkan ada sepuluh nilai
karakter yang bisa dikembangkan dalam pendidikan karakter, meliputi:
kejujuran, keadilan, toleransi, kebijakan, disiplin diri, tolong menolong,
peduli sesama/empati, kejasama, keberanian, dan sikap demokratis.

3. Pendidikan Karakter di Baitullah


Abdul Azis Hamka (2012 : 172-194), dalam bukunya “Pendidikan
Karakter Berpusat Pada Hati”, menyatakan, terdapat beberapa strategi
yang sudah dijalankan oleh para nabi dan para kekasih Allah dalam
memberikan contoh bagaimana mendidik dan menerapkan ahlakul
karimah atau karakter mulia pada umat manusia untuk dijadikan
pedoman dalam menjalankan misi pendidikan karakter sampai akhir
zaman, diantaranya:

1) Nabi Ibrahim AS
a. Hatinya selalu terhubung dengan Allah SWT (nyambung atau
hidup)

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
27

b. Tenang dalam bertutur kata dan bertindak


c. Tidak terpengaruh dengan segala hal yang buruk
d. Berdiri tegak di tengah masyarakat sebagai pengayom dan
pelindung
e. Bergerak dan dinamis, tetapi teguh dalam memegang prinsip
yang benar
f. Selalu berusaha memaksimalkan segala potensi dan akal
pikiran
g. Senantiasa mengulang-ngulang kebaikan.

2) Nabi Ismal AS
a. Ihlas memberi dan berkorban hanya karena Allah semata
b. Selalu membersihkan dan mensucikan hati
c. Memahami mana yang hak dan yang kewajiban
d. Selalu siap dan bersedia menjadi jembatan kepentingan orang
lain
e. Penghancur kesombongan dan keangkuhan
f. Peka terhadap jeritan hati kaum dhu’afa
g. Menjadi simbul perdamaian, perekat antar kelompok
masyarakat yang berbeda status sosial.

3) Siti Hajar AS
a. Pejuang kehidupan yang tangguh, sebagaimana al Qur’an
berjuang melumpuhkan akal buruk dan keangkuhan hati
manusia
b. Penebar cinta dan kasih sayang
c. Pemberi arah dan petunjuk ke arah kebenaran
d. Membebaskan manusia dari kebodohan dan kedzaliman
e. Memberi ketenangan hati dan jiwa pada orang lain

4) Nabi Muhammad SAW


a. Kokoh dalam tauhid
b. Kuat memegang keyakinan dan prinsip kebenaran
c. Tidak kompromi terhadap kebatilan
d. Cermat membedakan yang benar dan salah
e. Siap menanggung beban yang diberikan, meskipun berat
adanya (dimensi Makkah)
f. Berani karena benar dan takut karena salah (berani dan takut
hanya karena Allah)
g. Lemah lembut, penuh cinta dan kasih sayang
h. Bergelora dalam belajar dan menuntut ilmu setiap waktu dan
sepanjang hayat
i. Duta Allah yang trengginas, linca, dan diplomatis
j. Selalu taat dan patuh melaksanakan segala perintah Allah dan
Rosul-Nya.
k. Selalu berupaya mendekatkan diri (taqorrub) pada Allah SWT
l. Selalu melakukan evaluasi diri (muhasabah)

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
28

m. Selalu berupayah untuk ber-hijrah dari situasi dan kondisi yang


buruk, sesat, kepada yang baik dan selamat (dimensi madinah)

4. Kemendiknas
Proses pendidikan karakter merupakan tindakan yang
didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi
individu meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta totalitas
fungsi sosiokultural dalam kontek interaksi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menurut Kemendiknas
(2011) sumber nilai-nilai dalam karakter sebagai yang ditumbuh
kembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia adalah: (1) ajaran
agama yang dianut dan diakui di Indonesia, (2) Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945, (3) Budaya luhur bangsa, dan (4) Tujuan
Pendidikan Nasional.
Dari keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi menjadi
delapan belas nilai untuk pendidikan karakter dan budaya bangsa
yang telah dideskripsikan oleh sari dan widiyanto (2013), sebagai
berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras,
(6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10)
semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi,
(13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca,
(16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggungjawab.
Berbagai gambaran nilai-nilai yang telah dirujuk sebagai pondasi
pembentuk karakter yang baik tersebut sudah sepatutnya menjadi
acuan untuk setiap orang, organisasi sosial kemasyarakatan, instansi
pemerintah, terlebih dunia pendidikan dan persekolahan, termasuk
juga pondok pesantren sebagai arah dalam menumbuh kembangkan
karakter bangsa menuju terwujudnya cita-cita luhur bangsa
membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya, meskipun sebenarnya
hal tersebut tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan dalam
kehidupan manusia. Namun demikian setiap manusia tetap dituntut
untuk senantiasa berupaya agar mendidik dirinya menjadi pribadi yang
utuh, pribadi yang padanya melekat atribut karakter mulia menuju
kesempurnaan dirinya, sebagai bekal kembali kepada Sang Pencipta.
Meskipun kesempurnaan akhlak atau karakter manusia hanya
sebatas konsep ideal, cita-cita mulia yang tidak akan pernah terwujud
adanya, bukan berarti dalam proses perkembangannya manusia
dibiarkan berlangsung tanpa arah, melainkan diperlukan ide-ide,
tatanan, pengarahan, program, dan strategi dalam melaksakan
pendidikan dan pembelajaran moral. Untuk itu pula Tuhan
menugaskan para utusanNya di muka bumi ini hanya untuk
menyempurnakan ahlak/karakter manusia.

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
29

Strategi Pendidikan Karakter

Secara substansi, sebagai pembelajaran moral, pendidikan


karakter bertujuan untuk mengembangkan sikap perilaku seseorang
kearah yang lebih baik, yang dapat menjadikan dirinya sebagai individu
bagian dari warga masyarakat dan warga negara, individu yang
berprofesi, serta individu sebagai pemeluk agama agar mampu
menghadapi kehidupan konkretnya, untuk menggapai dan merasakan
kebahagiaan yang hakiki di dunia sampai akhirat.
Kemendiknas (2012) menjelaskan bahwa konfigurasi karakter
dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosiokultural dapat
dikembangkan melalui 1) olah hati (spiritual dan emotional
development), 2) olah pikir (intelectual development), 3) olah raga dan
kinestik (phisycal & kinesthetic development), dan 4) olah rasa dan
karsa (affectif & creativity development). Proses itu secara holistik dan
koheren memiliki hubungan saling berkaitan dan saling melengkapi,
serta masing-masing secara konseptual merupakan gugus nilai luhur,
sebagaimana digambarkan dibawah ini.

Cerdas, kritis, inovatif,


ingin tahu, berpikir Beriman dan bertaqwa,
terbuka, produktif, jujur, amanah,
berorientasi ipteks dan bertanggung jawab,
reflektif berempati, berani
OLAH OLAH HATI mengambil resiko,
PIKIR pantang menyerah, rela
Ramah, saling
berkorban, dan berjiwa
menghargai, toleransi,
patriotik.
peduli, suka menolong,
gotong royong,
OLAH OLAH
nasionalis, kosmopolit,
RASA RAGA
mengutamakan Bersih dan sehat, disiplin,
kepentingan umum, sportif, tangguh, andal,
bangga menggunakan berdaya tahan,
bahasa dan produk bersahabat, koperatif,
Indonesia, dinamis, kerja determinative,
keras dan beretos kerja. kompetitif, ceria, gigih

Gambar: Atribut nilai pendidikan karakter (Kemendiknas, 2012)

Frankena (Adisusilo, 2012:128) mengemukakan bahwa tujuan


pendidikan moral mencakup: 1) membantu peserta didik untuk dapat
mengembangkan tingkah-laku yang secara moral baik dan benar, 2)
membantu peserta didik untuk dapat meningkatkan kemampuan
refleksi secara otonom, 3) membantu peserta didik untuk
menginternalisasikan nilai-nilai moral, norma-norma dalam
menghadapi kehidupan konkretnya, 4) membantu peserta didik untuk
mengadopsi prinsip-prinsip universal, nilai-nilai kehidupan sebagai

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
30

pijakan untuk pertimbangan moral dalam menentukan suatu


keputusan, dan 5) membantu peserta didik untuk mampu membuat
keputusan yang benar, bermoral, dan bijaksana.
Menurut Sumardi (2010), pendidikan karakter sesungguhnya
tidak harus dibuatkan dengan kurikulum yang formal, cukup dengan
hidden curriculum. Tidak selalu diajarkan dalam kelas, namun
dilakukan secara simultan dan berkelanjutan di dalam dan di luar
kelas. Karena keberhasilan pendidikan karakter bukan terletak pada
adanya kurikulum formal, melainkan banyak dipengaruhi oleh teladan
dan contoh nyata dalam kehidupan dan dalam kegiatan pembelajaran.
Pendidikan karakter tidak bisa dipaksakan dengan target
kurikulum yang ditetapkan seperti pada pembelajaran yang bersifat
scientific maupun skill, namun dijalani sebagai mana adanya dalam
kehidupan keseharian, sehingga nilai-nilai moral akan dengan
sendirinnya melekat kuat pada diri setiap peserta didik. Meskipun
demikian, sebagai pelaksana pendidikan karakter, pesantren/sekolah
dan pengasuh/ustadz/guru dituntut untuk melakukan kreatifitas
dalam pembelajaran dengan menerapkan dan mengembangkan strategi
atau metode pembelajaran ke arah pembelajaran inovatif. Pergesaran
model atau strategi pembelajaran konvensional ke arah pembelajaran
kreatif, inovatif, dan menyenangkan menjadi syarat dalam pendidikan
karakter untuk dapat mengembangkan kecerdasan secara
komprehensip menjadi efektif.
Setiawan (2013) mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif
dalam pendidikan karakter dirancang untuk menghasilkan kegiatan
belajar-mengajar yang lebih efektif dan bermakna. Pembelajaran
inovatif menjadi kondisi kondusif dalam melatih moral untuk
mengembangkan kecerdasan moral peserta didik. Melalui moral
training, pendidikan karakter tidak terhenti sebatas moral knowing
tetapi berlanjut pada tahap moral feeling dan moral action yang secara
sinergis berkontribusi terhadap pengembangan kecerdasan moral
peserta didik. Penerapan moral training dalam pembelajaran inovatif
pada pendidikan berbasis karakter diharapkan dapat: (1)
mengembangkan kecerdasan moral secara komprehensif, (2) memberi
pengalaman belajar bervariasi dengan suasana belajar yang
menyenangkan, (3) peserta didik lebih kritis dan kreatif, (4)
meningkatkan kematangan emosional; dan (5) mau berpartisipasi
dalam proses perubahan.
Lickona, dkk. (2008: 379) mengatakan, delapan kekuatan
karakter yang dibutuhkan untuk perkembangan hasil belajar dari
sekolah: 1) belajar sepanjang hayat dan berpikir kritis, 2) rajin dan
memiliki kemampuan, 3) memiliki kecerdasan sosial dan emosional, 4)
pemikir moral/etic, 5) sebagai agen moral, memiliki rasa hormat dan
bertanggung jawab, 6) pribadi yang disiplin dan bergaya hidup sehat, 7)
menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang demokratis, dan 8)
terlibat dalam menyusun pranata kehidupan spiritual yang bertujuan
mulia.

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
31

Konsep pendidikan karakter yang efektif menurut Berkowitz


(1999), “Effective character education is not adding a program or set of
programs to a school. Rather it is a transformation of the culture and life
of the shool. The best way to implement character education is through a
holistic approach that integrates character development into every aspect
of school life”.

Strategi Pendidikan dan Pembelajaran Karakter Orang


Dewasa

Menurut UNESCO, yang dikutip Lunardi (1987), batasan


pengertian pendidikan orang dewasa (adult education) adalah: Istilah
pendidikan orang dewasa berarti keseluruhan proses pendidikan yang
diorganisasikan apapun isi, tingkatan, atau metodenya, baik formal
maupun tidak, yang melanjutkan maupun menggantikan pendidikan di
sekolah, kursus, universitas, serta latihan kerja, yang membuat orang
dianggap dewasa oleh masyarakat. Mengembangkan dan memperkaya
kemampuannya, meningkatkan kualitas teknis atau profesionalnya,
dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakunya dalam
prespektif rangkap, perkembangan pribadi secara utuh dan partisipasi
dalam perkembangan sosial, ekonomi dan budaya yang seimbang dan
bebas.
Pannen (Suprijanto, 2008) menyatakan bahwa pendidikan orang
dewasa adalah suatu proses yang menumbuhkan keinginan untuk
bertanya dan belajar secara berkelanjutan sepanjang hidup. Bagi orang
dewasa belajar berhubungan dengan bagaimana mengarahkan diri
sendiri untuk bertanya dan mencari jawabannya. Menurut Lunardi
(Asmin, 2005), menyatakan proses pendidikan orang dewasa bertujuan
untuk: 1) mengembangkan kemampuan, memperkaya pengetahuan,
meningkatkan kualifikasi teknis, dan jiwa profesionalisme para
pesertanya, 2) proses pendidikan orang dewasa harus mengakibatkan
perubahan sikap dan perilaku yang bersifat (dapat dikategorikan)
sebagai perkembangan pribadi, dan peningkatan partisipasi sosial dari
individu yang bersangkutan, dan 3) dalam pendidikan orang dewasa,
yang terpenting adalah apa yang menjadi “pelajaran” bagi mereka yang
belajar, bukan apa yang diajarkan oleh “pengajar”.
Yusnadi (2004), menyatakan berbagai hal tentang pembelajaran
orang dewasa, diantaranya: 1) sebagai peserta didik orang dewasa
sangat unik dan berbeda dengan anak usia dini dan anak remaja, 2)
proses pembelajaran orang dewasa akan berlangsung jika dia terlibat
langsung, idenya dihargai dan materi ajar sangat dibutuhkannya atau
berkaitan dengan profesinya serta sesuatu yang baru bagi dirinya, dan
3) permasalahan perilaku yang sering timbul dalam program
pendidikan orang dewasa yaitu mendapat hal baru, timbul ketidak
sesuaian (bosan), teori yang muluk (sulit dipraktikkan), resep/petunjuk
baru (mandiri), tidak spesifik dan sulit menerima perubahan.

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
32

Karakteristik orang dewasa menurut Knowles (1986) berbeda


asumsinya dibandingkan dengan anak-anak. Asumsi yang dimaksud
adalah: (1) konsep dirinya bergerak dari seorang pribadi yang
bergantung ke arah pribadi yang mandiri, (2) manusia mengakumulasi
banyak pengalaman yang diperolehnya sehingga menjadi sumber
belajar yang berkembang, (3) kesiapan belajar manusia secara
meningkat diorientasikan pada tugas perkembangan peranan sosial
yang dibawanya, dan (4) perspektif waktunya berubah dari suatu
pengetahuan yang tertunda penerapannya menjadi penerapan yang
segera, orientasi belajarnya dari yang terpusat pada pelajaran beralih
menjadi terpusat pada masalah.
Dengan karakteristik seperti diatas, dalam hal pembelajaran
orang dewasa, Knowles (1986), menyebutkan ada 4 (empat) prinsip
pembelajaran orang dewasa, yakni: (1) orang dewasa perlu terlibat
dalam merancang dan membuat tujuan pembelajaran. Mereka mesti
memahami sejauh mana pencapaian hasilnya, (2) pengalaman adalah
asas aktivitas pembelajaran. Menjadi tanggung jawab peserta didik
menerima pengalaman sebagai suatu yang bermakna (3) orang dewasa
lebih berminat mempelajari perkara-perkara yang berkaitan secara
langsung dengan kerja dan kehidupan mereka, dan (4) pembelajaran
lebih tertumpu pada masalah (problem-centered) dan membutuhkan
dorongan dan motivasi.
Selanjutnya Knowles (1986) juga memberikan gambaran
terhadap bagaimana orang dewasa belajar, diantaranya: (1) orang
dewasa perlu tahu mengapa mereka perlu belajar. Orang dewasa ingin
dan berkecenderungan bertindak sesuai dengan keinginan sendiri
apabila mereka semakin matang, walaupun ada saatnya mereka
bergantung pada orang lain, (2) orang dewasa perlu belajar melalui
pengalaman. Pengalaman orang dewasa adalah sumber pembelajaran
yang penting. Pembelajaran mereka lebih berkesan melalui teknik-
teknik berasaskan pengalaman seperti perbincangan dan penyelesaian
masalah, (3) orang dewasa belajar berdasarkan pemusatan masalah.
Orang dewasa sadar akan kebutuhan pembelajaran secara khusus
melalui masalah-masalah kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena
itu, program-program pendidikan orang dewasa sepatutnya dirancang
sesuai kebutuhan hidupnya dan disusun dengan melibatkan mereka,
(4) orang dewasa belajar dengan lebih berkesan apabila topik itu
bernilai. Orang dewasa belajar bersungguh-sungguh bagi menguasai
suatu pengetahuan ataupun keterampilan bagi kebutuhan hidup.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian pada proses belajar
orang dewasa adalah adanya perilaku yang dapat menghambat proses
belajar orang dewasa diantaranya: (1) Harapan seseorang untuk
mendapatkan hal-hal baru, namun yang didapatkan ternyata tidak
sesuai dengan harapan sehingga yang bersangkutan menjadi tidak
respons atau tidak tertarik lagi terhadap apa yang diberikan dalam
proses belajar yang sedang berlangsung, (2) teori yang muluk-muluk
sehingga meragukan kemungkinan penerapannya dalam praktik, (3)

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
33

Harapan mendapatkan petunjuk baru, namun harus mencari


pemecahan, (4) pesan bersifat umum, tidak spesifik, sehingga tidak
dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapai peserta, dan (5)
sulit menerima perubahan (Setiana, 2005).
Gagne (Degeng, 2013: 101-102) menyatakan, terdapat sembilan
peristiwa pembelajaran, diantaranya: (1) menarik perhatian, (2)
memberitahukan tujuan pembelajaran kepada si belajar, (3)
merangsang ingatan pada prasyarat belajar, (4) menyajikan bahan
perangsang, (5) memberikan bimbingan belajar, (6) mendorong unjuk
kerja, (7) memberikan balikan informatif, (8) menilai unjuk kerja, dan
(9) meningkatkan retensi dan alih belajar.
Dari paparan di atas, pembelajaran orang dewasa berbeda
dengan anak-anak, sehingga pada pembelajaran orang dewasa
membutuhkan kiat-kiat atau strategi khusus yang sesuai dengan
karakteristik orang dewasa. Salah satu strategi yang peneliti anggap
tepat dalam melaksanakan pembelajaran pada orang dewasa adalah
dengan pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif adalah adalah
strategi pembelajaran yang dikemas oleh guru atas dorongan gagasan
baru untuk melakukan langkah- langkah belajar dengan metode baru
sehingga memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar
(Suyatno, 2009: 6).
Berbagai karakteristik yang terdapat dalam penerapan strategi
pembelajaran ivovatif, diantaranya: (1) peran guru sebagai fasilitator,
pembimbing, konsultan, dan teman belajar, (2) jadwal fleksibel sesuai
kedutuhan, (3) berpusat pada siswa, (4) menggunakan multi media dan
multi strategi, (5) berbasis masalah, proyek, dunia nyata, tindakan
nyata, dan refleksi, (6) perancangan dan penyelidikan, kreasi dan
investigasi, kolaborasi, (7) berfokus pada masyarakat belajar, (8)
penilaian kinerja yang komprehensip, (9) penggunaan komputer
sebagai alat, dan (10) presentasi media dominasi (Suyatno, 2009).

Pengembangan Kecerdasan Komprehensif

Armstrong (2002: 2) memberikan pengertian bahwa kecerdasan


itu kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan
untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Sedangkan
Gardner (2003: 63) yang mengatakan bahwa kecerdasan adalah potensi
biopsikologi yang artinya semua makhluk yang bersangkutan
mempunyai potensi untuk menggunakan sekumpulan bakat yang
dimiliki oleh jenis makhluk itu.
Kecerdasan banyak ragamnya, ada kecerdasan majemuk,
kecerdasan intrapersonal dan interpersonal, kecerdasan quantum, juga
kecerdasan komprehensif atau kecerdasan jasmani dan rohani.
Kecerdasan komprehensif menururt Kemendikbud (2011) adalah
kecerdasan yang tersususun secara komprehensif dari kecerdasan
spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
34

intelektual, dan kecerdasan kinestetik. Secara sederhana berikut ini di


jelaskan ke-empat kecerdasan komprehensif tersebut. Dalam kajian ini
yang dimaksud adalah meliputi kecerdasan spiritual, kecerdasan,
emosional, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan kinestetik atau
fisikal.
Meskipun banyak yang mendewakan kecerdasan intelektual,
namun hasil kajian menunjukkan kecerdasan intelektual hanya
menyumbang 20 persen dalam peningkatan kinerja, sedangkan 80
persen dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kecerdasan lain seperti
kecerdasan spiritual dan emosional (Goleman, 2007: 44). Tikollah, dkk
(2006) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual, dan kinestetik tak terpisahkan dalam
kehidupan seseorang. Oleh karena itu dalam upaya pembentukan dan
pengembangan sikap dan perilaku seseorang, maka semua kecerdasan
tersebut secara konprehensip saling melengkapi, sehingga
pengembangan kecerdasan tidak hanya terfokus pada kecerdasan
intelektual seperti yang selama ini mendapat perhatian lebih dari
banyak pihak, akan tetapi pada semua kecerdasan yang ada secara
proporsional, juga bukan sebaliknya.

1. Kecerdasan Spiritual
Khavari (Hawadi, 2004) menyatakan: Kecerdasan Spiritual
(Spiritual Intelligence) adalah fakultas dari dimensi nonmaterial
manusia, roh manusia. Inilah intan yang banyak belum diasah yang
setiap manusia memilikinya. Ia harus dikenali apa adanya, diasahnya
hingga mengkilap, dan menggunakannya untuk menggapai
kebahagiaan yang abadi. Kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan
hingga tak terbatas. Kecerdasan sepiritual adalah landasan yang
diperlukan untuk optimalisasi fungsi dari kecerdasan emosional dan
intelektual. Zohar & Marshal (2001: 4) mendefinisikan kecerdasan
spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dari pada yang lain.
Sedangkan menurut Buzan (2003: 80) kecerdasan spiritual
adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala
sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara
menyeluruh”. Kecerdasan spiritual menurut Covey (2005: 79) adalah
pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia
menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya.
Indikasi dari berkembangnya kecerdasan spiritual mencakup: (a)
kemampuan untuk bersikap fleksibel, (b) adanya tingkat kesadaran diri
yang tinggi, c) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan
penderitaan, (d) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui
perasaan sakit, (e) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai,
(f) keengganan menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (g)

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
35

kecenderungan untuk berpandangan holistik, dan (h) kecenderungan


untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” dan berupaya untuk
mencari jawaban-jawaban yang mendasar, dan kemandirian dalam
berpikir (Zohar dan Marshall, 2007:14).
Hendricks (Goleman & Boyatzis, 2002) mengemukakan
karakteristik seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah: (1)
memiliki integritas keimanan (fitrah), (2) terbuka, (3) mampu menerima
kritik, (4) rendah hati, (5) mampu menghormati orang lain dengan baik
(toleran), (6) terinspirasi oleh visi, (7) mengenal diri sendiri dengan baik,
(8) memiliki spiritualitas yang kokoh, dan (9) selalu mengupayakan
yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain.
Kecerdasan spiritual merupakan landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional
secara efektif (Zohar & Marshal, 2007). Individu yang cerdas secara
spiritual mampu beraktualisasi diri melalui “olah hati/qolbu” untuk
menumbuhkan dan memperkuat keimanan dan ketaqwaan dan ahlak
mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul
(Kemendiknas (2011).

2. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional diartikan sebagai kemampuan untuk
“mendengarkan” bisikan emosi, dan menjadikannya sebagai sumber
informasi amat penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain
demi mencapai tujuan (Agustian, 2006). Kecerdasan emosional
didefinisikan sebagai kemampuan merasakan, memahami dan secara
efektif menerapkan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,
dan pengaruh manusiawi (Cooper & Sawaf, 2002).
Menurut Agustian (2003, 218) kecerdasan emosional merupakan
kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk
menguasai diri untuk tetap dapat mengambil keputusan dengan
tenang. Kecerdasan emosional berarti memberikan rasa empati, cinta,
motivasi, dan kemampuan menanggapi kesedihan atau kegembiraan
secara tepat (Zohar & Marshall, 2007: 3).
Salovey (Goleman, 2007:56) menyatakan komponen kecerdasan
emosional yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi
diri, empati, dan membina hubungan dengan orang lain. Seseorang
yang memiliki kecerdasan emosional mampu untuk mengatur
perasaannya dengan baik, memotivasi diri sendiri, berempati ketika
menghadapi gejolak emosi diri maupun dari orang lain.
Ciri-ciri individu yang cerdas secara emosional menurtu
Kemendiknas (2011) adalah individu yang mampu beraktualisasi diri
melalui interaksi sosial yang membina dan memupuk hubungan timbal
balik, demokratis, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi
manusia, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan dalam
bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan kebangsaan dengan
kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
36

Goleman (2004) mengadaptasi model kecerdasan emosi dari


Salovey dan Meyer ke dalam sebuah versi yang menurutnya paling
bermanfaat untuk memahami cara kerja kecerdasan emosi dalam
kehidupan sehari‐hari ataupun kehidupan kerja, sebagai berikut:
a) Kesadaran Diri
Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenali apa
yang individu rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya
untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki
tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri
yang kuat. Kesadaran diri dapat diuraikan menjadi tiga
kemampuan, yaitu kesadaran emosi, penilaian diri secara teliti, dan
percaya diri. Sadar emosi berarti individu dapat mengenali emosi
diri sendiri dan efeknya. Kemampuan menilai diri secara teliti
menunjukkan seberapa luas pengetahuan individu tentang
kekuatan dan batas‐batas diri sendiri. Kepercayaan diri
menunjukkan seberapa besar keyakinan individu tentang harga diri
dan kemampuan diri sendiri.

b) Pengaturan Diri
Pengaturan diri adalah kemampuan menangani emosi
sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan
tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari
tekanan emosi. Kemampuan pengaturan diri dapat diuraikan
menjadi: (1) kendali diri, yaitu kemampuan mengelola emosi‐emosi
dan desakan‐desakan hati yang bersifat merusak, (2) sifat dapat
dipercaya, yaitu kemampuan memelihara norma kejujuran dan
integritas, (3) kewaspadaan, yaitu sikap bertanggung jawab atas
kinerja pribadi, 4) adaptibilitas, yaitu keluwesan dalam menghadapi
perubahan, dan (5) inovasi, yaitu kemampuan mudah menerima
dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasiinformasi
baru.

c) Motivasi
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat yang
paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran,
membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, serta
untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. Motivasi
dapat diuraikan menjadi: (1) dorongan prestasi, yaitu dorongan
untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan, (2)
komitmen, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tujuan
kelompok, (3) inisiatif, yaitu kesiapan untuk memanfaatkan
kesempatan, dan (4) optimisme, yaitu kegigihan dalam
memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.

d) Empati

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
37

Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan


oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
dengan bermacam‐macam orang. Empati dapat diuraikan menjadi:
(1) memahami orang lain, yaitu kemampuan mengindra perasaan
dan perspektif orang lain, serta menunjukkan minat aktif terhadap
kepentingan mereka, (2) orientasi pelayanan, yaitu mengantisipasi,
mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan, (3)
mengembangkan orang lain, yaitu merasakan kebutuhan
perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan
kemampuan mereka, (4) menerima keragaman, yaitu
menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan berbagai macam
orang, dan (5) kesadaran politik, yaitu mampu membaca arusarus
emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.

e) Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan menangani emosi
dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan
cermat membaca situasi serta jaringan sosial; berinteraksi dengan
lancar; menggunakan berbagai keterampilan ini untuk
mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan
perselisihan, serta untuk bekerja sama dalam tim. Keterampilan
sosial dapat diuraikan menjadi: (1) pengaruh, yaitu memiliki
berbagai taktik dan strategi untuk melakukan persuasi, (2)
komunikasi, yaitu mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan,
(3) kepemimpinan, yaitu kemampuan membangkitkan inspirasi dan
memandu kelompok serta orang lain, (4) katalisator perubahan,
yaitu kemampuan memulai dan mengelola perubahan, (5)
manajemen konflik, yaitu negosiasi dan pemecahan silang
pendapat, (6) pengikat jaringan, yaitu kemampuan menumbuhkan
hubungan sebagai alat, (7) kolaborasi dan kooperasi, yaitu kerja
sama dengan orang lain demi tujuan bersama, dan (8) kemampuan
tim, yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan
tujuan bersama (Goleman, 2004).
Untuk mengembangkan kecerdasan emosional dapat
ditempuh dengan beraktualisasi diri melalui “olah rasa” untuk
meningkatkan sensitifitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan
keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk
mengekspresikannya (Kemendiknas, 2011).

3. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2002: 438) merupakan daya reaksi atau penyesuaian yang secara
tepat, baik secara fisik maupun mental. Vendy (2010: 101) kecerdasan
intelektual adalah kecerdasan berfikir dan akal cemerlang yang
mengelola otak kanan dan otak kiri secara seimbang. Stoddard yang
dikutif Tasmara (2006) mengemukakan beberapa karakteristik

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
38

kecerdasan intelektual yaitu adanya kemampuan untuk memahami


masalah-masalah yang bercirikan: (1) mengandung kesukaran, (2)
kompleks, (3) abstrak, (4) ekonomis, (5) di arahkan pada sesuatu
tujuan, dan (6) berasal dari sumbernya. Sedangkan Gardner
merumuskan konsep inteligensi yang dikenal dengan multiple
intellegence dalam tujuh jenis kecerdasan, yaitu: (1) linguistik, (2)
matematik-logis, (3) spasial, (4) musik, (5) kelincahan tubuh, (6)
interpersonal, dan (7) intrapersonal. Adapun ciri-ciri inteligensi yang
tinggi antara lain: (1) adanya kemampuan untuk memahami dan
menyelesaikan problem mental dengan cepat, (2) kemampuan
mengingat, (3) kreativitas yang tinggi, dan (4) imajinasi yang
berkembang.
Kemendiknas (2011) menjelaskan orang yang cerdas secara
intelektual adalah kemampuan aktualisasi insan intelektual yang
kritis, kreatif dan imajinatif. Sedang untuk menumbuh kembangkan
kecerdasan ini dappat ditempuh dengan beraktualisasi diri melalui
”olah pikir” untuk memperoleh kompetensi serta kemandirian dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi.

4. Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan kinestetik-jasmani adalah kemampuan dalam
menggunakan tubuh secara terampil untuk mengungkapkan ide,
pemikiran, dan perasaan. Kecerdasan ini meliputi keterampilan fisik
dalam bidang koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan,
kelenturan, dan kecepatan. Individu yang cerdas secara kinestetis,
mampu beraktualisasi diri melalui “olah raga” untuk mewujudkan
insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan
trengginas, dan aktualisasi insan adiraga (Kemendiknas, 2011).
Menurut Masaong (2011: 30), dibutuhkan beberapa langkah
mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual
(ESQ) di dalam pembelajaran yaitu: (1) menanamkan sifat sabar, jujur
dan ihlas pada siswa, (2) menyediakan lingkungan belajar yang
produktif, (3) menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis, (4)
mengembangkan sikap kasih sayang, dan merasakan apa yang sedang
dirasakan oleh siswa lain, (5) membantu siswa menemukan solusi
terhadap setiap masalah yang dihadapinya, (6) melibatkan siswa secara
optimal dalam pembelajaran baik secara fisik, sosial maupun
emosional dan spiritual, (7) merespon setiap perilaku peserta didik
secara positif, dan menghindari respon yang negatif, (8) menjadi
teladan dalam menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran,
dan (9) mendisiplinkan peserta didik dengan tegas dan penuh kasih
sayang.

Peranan Akal dan Hati

Manusia adalah mahluk yang paling sempurna bila dibandingkan


dengan mahluk yang lain, begitu Maha Adil, Bijaksana, dan Sayangnya

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
39

Tuhan pada manusia sehingga untuk menjalankan tugas dan amanah


sebagai pemimpin di muka bumi, manusia diberikan perangkat
lengkap, baik secara fisik maupun non fisik. Harahap (1994: 50)
menjelaskan, apabila diteliti keistimewaan dan kelebihan atau potensi
manusia berbanding makhluk lain ialah terletak pada akal pemikiran
dan hati. Oleh karenanya peranan akal dan hati menjadi sangat
penting dalam membentuk dan mengembangkan perilaku manusia
menuju kesempurnaan hidup.
Al-Ghazali (Choliq, 2015: 293), menggambarkan bahwa manusia
ibarat sebuah gambaran kota pemerintahan. Di mana hati sebagai raja,
badan laksana seluruh wilayah, akal sebagai perdana menteri,
keinginan sebagai gubernur wilayah, amarah adalah musuh,
sedangkan anggota badan baik lahir dan batin ibarat para tentara raja.
Menjadi kewajiban raja untuk berkolaborasi dan bermusyawarah
dengan perdana menteri karena perdana menteri inilah yang
mempunyai daya nalar pikir guna mewujudkan keadaan negara yang
baik terutama dalam mengontrol gubernur dan mengawasi para
musuh. Jikalau demikian yang terjadi, niscaya jiwa seseorang akan
baik, namun kalau raja lengah, perdana menteripun tak kuasa untuk
mengendalikan para musuh sehingga seluruhnya di bawah kendali
musuh, maka akibatnya kekacauan pada jiwa akan terjadi.
Begitu pula gambaran tentang jiwa seseorang, fakultas hati dan
akal harus mampu mengontrol syahwat dan amarah, sehingga seluruh
anggota badan akan mengarah pada kebaikan. Kalau hati tidak
berfungsi, maka akal akan lemah, sehingga syahwat dan amarah lebih
menguasai jiwa seseorang. Akibatnya jiwa lebih diwarnai oleh nafsu
syahwat dan amarah yang akan mengarah kepada keburukan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlaq atau karakter,
peranan akal dan hati merupakan substansi yang sudah seharusnya
menjadi kajian utama. Akal dan hati (psikis) keduanya merupakan
inner potensial yang berperan dalam ranah humanistik, baik yang
berupa daya kognisi, persepsi, dan lain sebagainya yang merupakan
elemen penting dalam upaya membentuk tatanan akhlaqul karimah
atau karakter yang baik. Dengan akal, manusia dapat menguasai ilmu
untuk memandu dirinya menilai mana yang benar dengan yang salah,
dan dengan hati dapat memutuskan serta membimbing manusia
kearah kesempurnaan ahlak atau karakter. Seperti dinyatakan Mujib
(1999: 56), Manusia merupakan sosok makhluk mulia yang memiliki
struktur kompleks, meliputi fitrah jasmani, fitrah ruhani, dan fitrah
kejiwaan. Struktur fitrah ruhani lebih dahulu ada dibandingkan
dengan struktur fitrah jasmani. Karena pada dasarnya kedua struktur
tersebut sama-sama merupakan substansi yang menyatu dalam satu
struktur substantif yaitu fitrah nafsani.

Akal (Aql)

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
40

Shihab (2006: 178) berpendapat bahwa akal adalah kekuatan


yang menghalangi pemiliknya melakukan sesuatu yang tidak wajar.
Akal memikirkan, memahami, serta menimbang yang lahir dan dan
yang batin dari suatu persoalan. Akal mampu membedakan antara
yang baik dan buruk, kemampuan untuk melihat jauh kedepan,
mengatur dan mengelola, akal adalah pelita yang dengannya ditembus
yang tersirat dari yang tersurat, kermampuan menampung
pengalaman, menghubugkan masa lalu dengan masa kini serta
menarik kesimpulan dan pelajaran dari kedua masa itu. Dalam
maknanya yang demikian akal merupakan manifestasi kecerdasan
manusia. Akal memiliki kemampuan berpikir dan memahami dari
obyek yang nampak maupun yang abstrak seperti kehidupan pasca
kematian, adanya surga dan neraka. Akal juga mampu berkreasi,
memecahkan persoalan, menentukan pilihan, dan mengarahkan
tingkah laku individu untuk berprilaku positif atau negatif.
Al-Ghazali (2011: 120), menyatakan bahwa potensi akal jika
ditinjau secara fitrah dapat mendorong manusia untuk bisa memahami
simbol-simbol, sesuatu yang abstrak, menganalisa, memperbandingkan
serta dapat membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun
memisahkan yang benar dan salah. Di samping itu, pada dasarnya akal
dapat mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam
menciptakan kebudayaan serta peradaban.
Dengan adanya hal tersebut manusia dengan kemampuan
akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan
mengubah serta merekayasa lingkungannya menuju situasi kehidupan
yang lebih baik, aman dan nyaman. Pada dasarnya, akal menempat
posisi sentral dalam sumber pengetahuan. Pandangan tentang akal
dari tinjauan dogma dan dari terminologi psikologi sufistik, yang
memandang akal tidak sebatas pada otak dalam tataran rasio, tetapi
merupakan pengkristalan akal dan hati nurani dalam satu kesatuan
(Rahmat, 1989: V).
Atas dasar pemikiran diatas, maka peneliti berkesimpulan bahwa
potensi akal dan pikiran yang dikembangkan sesuai dengan fitrahnya
dapat berfungsi sebagai media pengembangan karakter manusia yang
beradab dan berbudi luhur, karena akal sesuai dengan daya fungsinya
memungkinkan seseorang memperoleh berbagai macam pengetahuan,
mengembangkan kecerdasan jasmani dan rohani, dan pada akhirnya
dapat memberikan manfaat serta arahan bagi perilaku manusia
menuju kesempurnaan hidup, yaitu manusia yang beradab, berbudi
luhur, ber-ahlakul karimah, atau berkarakter mulia.

Hati (qalb)

Al-Ghazali (2011: 4) mendefinisikan bahwa: Hati (qalb) dapat


dikonotasikan dalam dua arti yaitu daging/darah berbentuk belahan
sanubari yang berada di sisi dada kiri yang berisi darah merah
kehitaman dan merupakan sumber ruh kehidupan. Adapun makna

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
41

yang kedua adalah sifat kelembutan, membawa sifat ketuhanan, dan


bersifat rohai. Ia memiliki ketergantungan yang sama seperti
tergantungnya jiwa dengan raga, atau seperti tergantungnya sifat
dengan hal yang disifatinya. Kelembutan sendiri merupakan hakikat
manusia yang memiliki kemampuan memahami, mengetahui,
berdialog, yang berpotensi diberi pahala ataupun siksa.
Selain itu al-Ghazali (2011: 4) juga mengatakan bahwa hati
sebagai pusat dan sumber ilmu pengetahuan dapat mencetak setiap
sesuatu yang dipelajarinya dalam hati dan kemudian diperjelas di
dalamnya. Beliau mengungkapkan pula bahwa adanya ilmu
pengetahuan merupakan esensi dari hati di mana di dalamnya terdapat
banyak fakta dan informasi. Sedang sesuatu yang dipelajari adalah
bagaikan refleksi dari segala jenis ilmu pengetahuan, yang berarti
terdapat korelasi antara hati dan ilmu pengetahuan. Taufiq (2006: 634)
menyatakan, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah muatan
hati dan ia akan selalu ada dalam hati kecuali bila ada penyebab yang
menyertainya. Dalam pengertian ini, hati sebagai sesuatu yang lembut
adalah hakikat manusia yang dapat memahami, berilmu dan mengenal
penciptanya, yaitu manusia yang menjadi sasaran perintah dan
larangan Allah, yang disiksa, dicela dan dituntut atau diminta
bertanggungjawab terhadap amal perbuatannya.
Dalam hal ini al-Ghazali mencoba mengklasifikasi perangkat-
perangkat hati ke dalam tiga jenis (Auliya, 2005: 98), yaitu: Pertama,
ketertarikan yang berfungsi sebagai perangkat pendorong, apakah
untuk menarik manfaat yang diinginkan ataukah untuk menolak
bahaya. Kedua, perangkat penggerak anggota badan untuk menggapai
yang sesuatu dituju, disebut juga dengan kesanggupan. Ia tersemai di
seluruh anggota badan, terutama pada otot dan urat saraf. Ketiga,
perangkat persepsi yang berfungsi sebagai pengintai, yaitu kemampuan
melihat, mendengar, mencium, merasa dan meraba.
Menurut al-Hakim al-Tirmidzi, hati merupakan entitas yang
memiliki tingkatan-tingkatan batin, yaitu dada (sadr), hati (qalb), hati
kecil (fu’ad), dan hati nurani (lubb). Setiap tingkatan tersebut tersusun
secara struktural karena adanya perbedaan makna dan fungsi antara
satu dengan yang lainnya, namun tidak bertentangan dan saling
menguatkan. Menurutnya, setiap tingkatan tersebut terkait dengan
tingkatan pengetahuan, keilmuan, spiritiual, dan jiwa manusia
(Riyandi, 2014: 110). Kaitan tersebut oleh Robert Frager, seorang
mursyid sufi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal
Psychology, California, dimisalkan seperti kumpulan lingkaran.
Lingkar pertama adalah dada (sadr), merupakan tingkatan batin
hati pertama, yang berfungsi sebagai sumber ilmu dan pembelajaran
dari kejadian dan pengalaman dan tempat jiwa amarah, dan berkaitan
dengan cahaya islam. Sehingga sebagaimana penuturan Frager, secara
langsung dada dipengaruhi oleh kata-kata dan perilaku seseorang.
Sadr merupakan cahaya amaliyah yang dipelihara dengan do’a, ibadah,

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
42

dan pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama, orang pada tataran ini


disebut “Muslim”.
Lingkar kedua adalah hati (qalb), merupakan tempat
bersemayamnya cahaya iman yang di dalamnya terletak rasa khusyuk,
takwa, cinta, rida, yakin, takut, harap, sabar, kecukupan, niat, dan
lain sebagainya. Hati juga merupakan sumber ilmu dan petunjuk
Allah, orang yang berada pada tataran ini disebut “Mukmin”.
Lingkar ketiga adalah hati kecil (fu’ad), merupakan tempat
penglihatan mata batin yang dicapai melalui ilmu dan penyaksian hati,
sehingga mencapai ma’rifatullah. Hati kecil berkaitan dengan cahaya
ma’rifat, yang terlahir darinya ketakutan akan jalan-jalan kejelekan
dan harapan akan jalan-jalan kebaikan. Cahaya ma’rifat ini muncul
dengan pengetahuan hati dan penglihatan hati kecil yang dengannya
seorang hamba dapat menyaksikan Allah, orang yang berada pada
tataran ini disebut Arif.
Lingkar keempat adalah hati nurani (lubb), merupakan inti dari
segala hati yang terkait dengannya cahaya tauhid, di mana cahaya-
cahaya seperti Islam, iman, dan makrifat tidak sempurna kecuali
dengannya, orang berada pada tataran ini disebut “Muwahid”, yang
dalam khasana jawa diistilakan dengan “Manunggale Kawulo Gusti”.
(Frager, 2003: 57-59).
Dari gambaran diatas, potensi hati kaitannya dengan humanistik
ternyata mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam
pembentukan karakter dan kecenderungan manusia untuk selalu
melakukan hal-hal yang positif. Hati juga berpotensi sebagai sistem
penggerak segala perbuatan, karena suatu perbuatan tidak akan
terwujud tanpa didasari dukungan dari hati. Selain itu hati tidak hanya
berbasis motivasi manusiawi melainkan juga berbasis motivasi cahaya
Tuhan (Pasiak, 2014).

God Spot (Titik Tuhan)

Pakar neurobiologi semacam Parsinger dan Ramachandran kini


menamai bagian lobus temporal yang berkaitan dengan pengalaman
religious atau spritual itu sebagai God spot atau God module. Sebagian
besar pakar berpendapat bahwa God spot ini telah berevolusi di dalam
otak untuk tujuan tertentu, tetapi mereka juga segera menambahkan
bahwa hal ini tidaklah membuktikan bahwa Tuhan benar-benar ada
situ, atau manusia benar-benar berkomonikasi dengan-Nya (Zohar &
Marshall, 2001: 82).
Beberapa ilmuan ingin mengetahui di manakah letak
kecendrungan kepada yang baik itu berada. Apakah di dalam sel, di
jantung, di ginjal, di dada, atau di otak (Pasiak, 2014: 359). Vilyanur
Ramachandran adalah salah satu ahli otak manusia yang menyebut
hal tersebut adanya pada God Spot dalam otak manusia. Paradigma
atau persepsi adalah lapisan belenggu yang menetupi God Spot.
Persepsi tercipta karena pengaruh-pengaruh luar yang membentuk

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
43

paradigma dan pikiran manusia. Sedangkan dalam God Spot terdapat


suara-suara hati yang bersumber dari percikan sifat-sifat Ilahi. God
Spot yang berisi bayangan sifat Tuhan itu adalah built in dalam diri
manusia. Ia merupakan kesadaran dasar manusia, yang disebut
dengan proton kesadaran. Tetapi tentu tidak dapat dibandingkan
dengan derajat ketingian Tuhan yang memiliki sifat Maha Tinggi
dengan manusia yang hanya mengikuti sifat penciptaan-Nya (Agustian,
2004: 141).
Agustian (2004: 98) menyatakan “Kehadiran” Tuhan di otak
merupakan suatu hal yang menarik. Bukan saja karena otak adalah
CPU (Central Procesing Unit)-nya manusia, melainkan juga karena isi
dan fungsi otak merupakan bentuk sejarah hidup pemiliknya maupun
sejarah kehidupan itu sendiri. Banyak sekali kemampuan yang
dinisbatkan kepada otak melebihi organ yang lain. Saat ini telah
terbukti bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang senantiasa
merasa bahagia ketika dorongan spiritualnya terpenuhi. Penemuan
God Spot pada otak manusia lebih meyakinkan pendapat ini, karena
manusia akan senantiasa mencari Tuhan-nya, yaitu melalui sifat-sifat-
Nya, yang selalu diidam-idamkan manusia. Inilah bukti keperkasaan
Allah dan penghambaan serta pengabdian manusia. Sekaligus
membuktikan pernyataan Allah bahwa Ruh Ilahiyah yang ditiupkan ke
dalam diri manusia setelah disempurnakan kejediannya adalah milik
tempat yang tertinggi dan termulia (Agustian, 2004: 99). God spot
merupakan modul-terisolasi dari jaringan saraf di lobus temporal di
dalam otak-pusat pengucapan, pusat irama, dan sebagainya, ia
memberikan kemapuan khusus, tetapi ia harus terintegrasi dengan
modul-modul yang lain.
Kecerdasan spiritual berlandaskan fenomena (osilasi 40 Hz) yang
terintegrasi diseluruh bagian otak. Sehingga God spot mungkin
merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi kecerdasan spiritual
tetapi bukan syarat cukup. Orang-orang yang mempunyai kecerdasan
spiritual tinggi kemungkinan besarnya mempunyai aktivitas pada God
spot atau pada skizotipy. Akan tetapi, tingginya aktivitas God spot tidak
dengan sendirinya menjamin kecerdasan spiritual tinggi. God spot itu
harus dipadukan menjadi bangunan umum dari emosi, motivasi, dan
potensial kita, serta membawanya ke dalam dialog dengan pusat diri
dan cara mengetahuinya yang khusus (Zohar & Marshall, 2001: 95).
Dari pembahasan singkat di atas, bahwa peranan hati dan akal
dalam tataran pendidikan karakter sangat dominan, keduanya saling
mengisi sehingga tidak dapat dipisahkan antara fingsi keduanya. Daya
fungsi hati yang berwujud kecerdasan spiritual dan emosional jika
disinergikan dengan funsi akal dalam wujud kecerdasan intelektual,
maka akan mewujudkan adanya fungsi God spot pada diri seseorang
yang akan membimbing dan mengarahkan menuju kesempurnaan
hidup, baik dalam wujud karakter mulia maupun karya prestasi
sebagai manivestasi manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016

Anda mungkin juga menyukai