Pengertian Karakter
23
24
Pendidikan Karakter
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
25
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
26
1. Character Count
Atribut karakter mulia yang menjadi pilar dan harus ditanamkan
kepada siswa, menurut Character Count di Amerika (Gunawan, 2012),
mencakup 10 karakter utama yaitu: (1) dapat dipercaya
(trustworthiness), (2) rasa hormat dan perhatian (respect), (3) tanggung
jawab (responsibility), (4) jujur (fairness), (5) peduli (caring), (6)
kewarganegaraan (citizenship), (7) ketulusan (honesty), (8) berani
(courage), dan (10) integritas (integrity)
2. Thomas Lickona
Psikolog perkembangan dan pakar pendidikan karakter Thomas
Lickona (1991) mengatakan, ada dua nilai utama yang harus diajarkan
dalam pendidikan karakter yaitu sikap hormat (respect) sebuah sikap
yang menunjukkan penghargaan terhadap diri orang lain atau hal lain
selain diri sendiri. Kedua tanggungjawab (responsibility) yaitu bentuk
perhatian dan secara aktif memberikan respon terhadap apa yang
orang lain harapkan, yang menekankan pada kewajiban positip untuk
saling melindungi satu sama lain. Namun secara rinci selain dua nilai
utama tersebut, Lickona (2012) juga menyebutkan ada sepuluh nilai
karakter yang bisa dikembangkan dalam pendidikan karakter, meliputi:
kejujuran, keadilan, toleransi, kebijakan, disiplin diri, tolong menolong,
peduli sesama/empati, kejasama, keberanian, dan sikap demokratis.
1) Nabi Ibrahim AS
a. Hatinya selalu terhubung dengan Allah SWT (nyambung atau
hidup)
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
27
2) Nabi Ismal AS
a. Ihlas memberi dan berkorban hanya karena Allah semata
b. Selalu membersihkan dan mensucikan hati
c. Memahami mana yang hak dan yang kewajiban
d. Selalu siap dan bersedia menjadi jembatan kepentingan orang
lain
e. Penghancur kesombongan dan keangkuhan
f. Peka terhadap jeritan hati kaum dhu’afa
g. Menjadi simbul perdamaian, perekat antar kelompok
masyarakat yang berbeda status sosial.
3) Siti Hajar AS
a. Pejuang kehidupan yang tangguh, sebagaimana al Qur’an
berjuang melumpuhkan akal buruk dan keangkuhan hati
manusia
b. Penebar cinta dan kasih sayang
c. Pemberi arah dan petunjuk ke arah kebenaran
d. Membebaskan manusia dari kebodohan dan kedzaliman
e. Memberi ketenangan hati dan jiwa pada orang lain
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
28
4. Kemendiknas
Proses pendidikan karakter merupakan tindakan yang
didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi
individu meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta totalitas
fungsi sosiokultural dalam kontek interaksi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menurut Kemendiknas
(2011) sumber nilai-nilai dalam karakter sebagai yang ditumbuh
kembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia adalah: (1) ajaran
agama yang dianut dan diakui di Indonesia, (2) Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945, (3) Budaya luhur bangsa, dan (4) Tujuan
Pendidikan Nasional.
Dari keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi menjadi
delapan belas nilai untuk pendidikan karakter dan budaya bangsa
yang telah dideskripsikan oleh sari dan widiyanto (2013), sebagai
berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras,
(6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10)
semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi,
(13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca,
(16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggungjawab.
Berbagai gambaran nilai-nilai yang telah dirujuk sebagai pondasi
pembentuk karakter yang baik tersebut sudah sepatutnya menjadi
acuan untuk setiap orang, organisasi sosial kemasyarakatan, instansi
pemerintah, terlebih dunia pendidikan dan persekolahan, termasuk
juga pondok pesantren sebagai arah dalam menumbuh kembangkan
karakter bangsa menuju terwujudnya cita-cita luhur bangsa
membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya, meskipun sebenarnya
hal tersebut tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan dalam
kehidupan manusia. Namun demikian setiap manusia tetap dituntut
untuk senantiasa berupaya agar mendidik dirinya menjadi pribadi yang
utuh, pribadi yang padanya melekat atribut karakter mulia menuju
kesempurnaan dirinya, sebagai bekal kembali kepada Sang Pencipta.
Meskipun kesempurnaan akhlak atau karakter manusia hanya
sebatas konsep ideal, cita-cita mulia yang tidak akan pernah terwujud
adanya, bukan berarti dalam proses perkembangannya manusia
dibiarkan berlangsung tanpa arah, melainkan diperlukan ide-ide,
tatanan, pengarahan, program, dan strategi dalam melaksakan
pendidikan dan pembelajaran moral. Untuk itu pula Tuhan
menugaskan para utusanNya di muka bumi ini hanya untuk
menyempurnakan ahlak/karakter manusia.
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
29
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
30
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
31
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
32
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
33
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
34
1. Kecerdasan Spiritual
Khavari (Hawadi, 2004) menyatakan: Kecerdasan Spiritual
(Spiritual Intelligence) adalah fakultas dari dimensi nonmaterial
manusia, roh manusia. Inilah intan yang banyak belum diasah yang
setiap manusia memilikinya. Ia harus dikenali apa adanya, diasahnya
hingga mengkilap, dan menggunakannya untuk menggapai
kebahagiaan yang abadi. Kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan
hingga tak terbatas. Kecerdasan sepiritual adalah landasan yang
diperlukan untuk optimalisasi fungsi dari kecerdasan emosional dan
intelektual. Zohar & Marshal (2001: 4) mendefinisikan kecerdasan
spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dari pada yang lain.
Sedangkan menurut Buzan (2003: 80) kecerdasan spiritual
adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala
sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara
menyeluruh”. Kecerdasan spiritual menurut Covey (2005: 79) adalah
pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia
menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya.
Indikasi dari berkembangnya kecerdasan spiritual mencakup: (a)
kemampuan untuk bersikap fleksibel, (b) adanya tingkat kesadaran diri
yang tinggi, c) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan
penderitaan, (d) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui
perasaan sakit, (e) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai,
(f) keengganan menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (g)
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
35
2. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional diartikan sebagai kemampuan untuk
“mendengarkan” bisikan emosi, dan menjadikannya sebagai sumber
informasi amat penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain
demi mencapai tujuan (Agustian, 2006). Kecerdasan emosional
didefinisikan sebagai kemampuan merasakan, memahami dan secara
efektif menerapkan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,
dan pengaruh manusiawi (Cooper & Sawaf, 2002).
Menurut Agustian (2003, 218) kecerdasan emosional merupakan
kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk
menguasai diri untuk tetap dapat mengambil keputusan dengan
tenang. Kecerdasan emosional berarti memberikan rasa empati, cinta,
motivasi, dan kemampuan menanggapi kesedihan atau kegembiraan
secara tepat (Zohar & Marshall, 2007: 3).
Salovey (Goleman, 2007:56) menyatakan komponen kecerdasan
emosional yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi
diri, empati, dan membina hubungan dengan orang lain. Seseorang
yang memiliki kecerdasan emosional mampu untuk mengatur
perasaannya dengan baik, memotivasi diri sendiri, berempati ketika
menghadapi gejolak emosi diri maupun dari orang lain.
Ciri-ciri individu yang cerdas secara emosional menurtu
Kemendiknas (2011) adalah individu yang mampu beraktualisasi diri
melalui interaksi sosial yang membina dan memupuk hubungan timbal
balik, demokratis, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi
manusia, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan dalam
bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan kebangsaan dengan
kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
36
b) Pengaturan Diri
Pengaturan diri adalah kemampuan menangani emosi
sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan
tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari
tekanan emosi. Kemampuan pengaturan diri dapat diuraikan
menjadi: (1) kendali diri, yaitu kemampuan mengelola emosi‐emosi
dan desakan‐desakan hati yang bersifat merusak, (2) sifat dapat
dipercaya, yaitu kemampuan memelihara norma kejujuran dan
integritas, (3) kewaspadaan, yaitu sikap bertanggung jawab atas
kinerja pribadi, 4) adaptibilitas, yaitu keluwesan dalam menghadapi
perubahan, dan (5) inovasi, yaitu kemampuan mudah menerima
dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasiinformasi
baru.
c) Motivasi
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat yang
paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran,
membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, serta
untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. Motivasi
dapat diuraikan menjadi: (1) dorongan prestasi, yaitu dorongan
untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan, (2)
komitmen, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tujuan
kelompok, (3) inisiatif, yaitu kesiapan untuk memanfaatkan
kesempatan, dan (4) optimisme, yaitu kegigihan dalam
memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
d) Empati
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
37
e) Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan menangani emosi
dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan
cermat membaca situasi serta jaringan sosial; berinteraksi dengan
lancar; menggunakan berbagai keterampilan ini untuk
mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan
perselisihan, serta untuk bekerja sama dalam tim. Keterampilan
sosial dapat diuraikan menjadi: (1) pengaruh, yaitu memiliki
berbagai taktik dan strategi untuk melakukan persuasi, (2)
komunikasi, yaitu mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan,
(3) kepemimpinan, yaitu kemampuan membangkitkan inspirasi dan
memandu kelompok serta orang lain, (4) katalisator perubahan,
yaitu kemampuan memulai dan mengelola perubahan, (5)
manajemen konflik, yaitu negosiasi dan pemecahan silang
pendapat, (6) pengikat jaringan, yaitu kemampuan menumbuhkan
hubungan sebagai alat, (7) kolaborasi dan kooperasi, yaitu kerja
sama dengan orang lain demi tujuan bersama, dan (8) kemampuan
tim, yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan
tujuan bersama (Goleman, 2004).
Untuk mengembangkan kecerdasan emosional dapat
ditempuh dengan beraktualisasi diri melalui “olah rasa” untuk
meningkatkan sensitifitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan
keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk
mengekspresikannya (Kemendiknas, 2011).
3. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2002: 438) merupakan daya reaksi atau penyesuaian yang secara
tepat, baik secara fisik maupun mental. Vendy (2010: 101) kecerdasan
intelektual adalah kecerdasan berfikir dan akal cemerlang yang
mengelola otak kanan dan otak kiri secara seimbang. Stoddard yang
dikutif Tasmara (2006) mengemukakan beberapa karakteristik
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
38
4. Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan kinestetik-jasmani adalah kemampuan dalam
menggunakan tubuh secara terampil untuk mengungkapkan ide,
pemikiran, dan perasaan. Kecerdasan ini meliputi keterampilan fisik
dalam bidang koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan,
kelenturan, dan kecepatan. Individu yang cerdas secara kinestetis,
mampu beraktualisasi diri melalui “olah raga” untuk mewujudkan
insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan
trengginas, dan aktualisasi insan adiraga (Kemendiknas, 2011).
Menurut Masaong (2011: 30), dibutuhkan beberapa langkah
mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual
(ESQ) di dalam pembelajaran yaitu: (1) menanamkan sifat sabar, jujur
dan ihlas pada siswa, (2) menyediakan lingkungan belajar yang
produktif, (3) menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis, (4)
mengembangkan sikap kasih sayang, dan merasakan apa yang sedang
dirasakan oleh siswa lain, (5) membantu siswa menemukan solusi
terhadap setiap masalah yang dihadapinya, (6) melibatkan siswa secara
optimal dalam pembelajaran baik secara fisik, sosial maupun
emosional dan spiritual, (7) merespon setiap perilaku peserta didik
secara positif, dan menghindari respon yang negatif, (8) menjadi
teladan dalam menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran,
dan (9) mendisiplinkan peserta didik dengan tegas dan penuh kasih
sayang.
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
39
Akal (Aql)
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
40
Hati (qalb)
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
41
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
42
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016
43
Disertasi/Kisyanto/TEP-PS-UM/2016