Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi. Sikap
dan perilaku masyarakat dan bangsa Indonesia sekarang cenderung
mengabaikan nilai-nilai luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar
dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Nilai-nilai karakter mulia, seperti
kejujuran, kesantunan, kebersamaan, dan religius, sedikit demi sedikit mulai
tergerus oleh budaya asing yang cenderung hedonistik, materialistik, dan
individualistik, sehingga nilai-nilai karakter tersebut tidak lagi dianggap
penting jika bertentangan dengan tujuan yang ingin diperoleh. Pendidikan
Nasional beberapa tahun terakhir ini mencanangkan pendidikan karakter
sebagai salah satu solusi yang ditawarkan guna meredam dan ataupun
membenahi karakter bangsa yang dalam beberapa tahun terakhir ini terasa
kurang nyaman dirasakan. Karena pendidikan berandil besar dalam
pembentukkan karakter masyarakat Indonesia, sehingga kasus semacam itu
merupakan tamparan besar bagi pendidikan di negeri ini. Belum lagi kasus-
kasus lain yang menambah resah masyarakat Indonesia.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki peradaban yang
mulia dan peduli dengan pendidikan bangsa, sudah seharusnya kita berupaya
untuk menjadikan nilai-nilai karakter mulia itu tumbuh dan bersemi kembali
menyertai setiap sikap dan perilaku bangsa, mulai dari pemimpin tertinggi
hingga rakyat jelata, sehingga bangsa ini memiliki kebanggaan dan
diperhitungkan eksistensinya di tengah-tengah bangsa-bangsa lain. Salah satu
upaya ke arah itu adalah melakukan pembinaan karakter di semua aspek
kehidupan masyarakat, terutama melalui institusi pendidikan.
Membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus
dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa kita
akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui
proses yang panjang. Potret kekerasan, kebrutalan, dan ketidakjujuran anak-

1
anak bangsa yang ditampilkan oleh media baik cetak maupun elektronik
sekarang ini sudah melewati proses panjang. Budaya seperti itu tidak hanya
melanda rakyat umum yang kurang pendidikan, tetapi sudah sampai pada
masyarakat yang terdidik, seperti pelajar dan mahasiswa, bahkan juga melanda
para elite bangsa ini.
Arah dan tujuan pendidikan nasional kita, seperti diamanatkan oleh UUD
1945, adalah peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia para
peserta didik yang dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang mengikuti
proses pendidikan di Indonesia. Amanat konstitusi kita ini dengan tegas
memberikan perhatian yang besar akan pentingnya pendidikan karakter
(akhlak mulia) dalam setiap proses pendidikan dalam membantu membumikan
nilai-nilai agama dan kebangsaan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi
yang diajarkan kepada seluruh peserta didik. Keluarnya undang-undang
tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), yakni UU no. 20 tahun 2003,
menegaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita. Pada pasal 3
UU ini ditegaskan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa
ini, terutama di kalangan siswa, menuntut deselenggarakannya pendidikan
karakter sebagai penegakan tujuan seperti yang diamanatkan oleh UUD’45.
Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk
menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para
siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang
baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-
nilai tertentu seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil dan
membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.

2
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut penulis membuat beberaapa rumusan masalah
diantaranya:
1. Bagaimana kerangka dasar pendidikan karakter (Character Building)?
2. Bagaimana pentingnya pendidikan karakter (Character Building)?
3. Bagaimana langkah-langkah pendekatan pendidikan karakter (Character
Building)?
4. Bagaimana strategi pelaksanaan pendidikan karakter (Character Building)?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, dapat ditentukan tujuan dari makalah
diantaranya :
1. Mengetahui kerangka dasar pendidikan karakter (Character Building).
2. Mengetahui pentingnya pendidikan karakter (Character Building).
3. Mengetahui langkah-langkah pendekatan pendidikan karakter (Character
Building).
4. Mengetahui strategi pelaksanaan pendidikan karakter (Character
Building).

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kerangka Dasar Pendidikan Karakter (Character Building)

a. Pengertian Karakter
Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to
engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat
batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian
diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan
sutu pandangan bahwa karakter adalah „pola perilaku yang bersifat
individual, keadaan moral seseorang‟. Setelah melewati tahap anak-anak,
seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter
seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Kevin
Ryan, 1999: 5).
Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah
etika, ahlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral,
berkonotasi ‖positif‖ bukan netral. Sedangkan Karakter menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan
demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpateri dalam
diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren
memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta
olahraga seseorang atau sekelompok orang.
Menurut pusat bahasa Depdiknas tahun 2008, “karakter” adalah
bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat,
tabiat, temperamen, watak. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Dalam beberapa tulisan
tentang Pendidikan Karakter menurut Ryan & Bohlin (1999), karakter
merupakan suatu pola perilaku seseorang. Orang yang berkarakter baik
memiliki pemahaman tentang kebaikan, menyukai kebaikan, dan
mengerjakan kebaikan tersebut. Orang yang perilakunya sesuai dengan
kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

4
Karakter yang baik berkaitan dengan mengetahui yang baik
(knowing the good), mencintai yang baik (loving the good), dan
melakukan yang baik (acting the good). Ketiga ideal ini satu sama lain
sangat berkaitan. Seseorang lahir dalam keadaan bodoh, dorongan-
dorongan primitif yang ada dalam dirinya kemungkinan dapat
memerintahkan atau menguasai akal sehatnya. Maka, efek yang
mengiringi pola pengasuhan dan pendidikan seseorang akan dapat
mengarahkan kecenderungan, perasaan, dan nafsu besar menjadi
beriringan secara harmoni atas bimbingan akal dan juga ajaran agama.
Cara berpikir dan membangun prilaku yang baik adalah bagian dari
pengajaran Character, bagaimana kita dapat bekerja secara bersamasama,
bermasyarakat serta bertanggungjawab. Dalam buku Service with
Character dari Hermawan Kartajaya dan Ardhi Ridwansyah terbitan
Gramedia 2012 dibahas soal Six Pillars of Character. Keenam jenis
karakter tersebut adalah:
1. Trustworthiness. Dalam konsep Josephson Institute of Ethics,
trustworthiness merupakan pilar yang paling mendasar dan rumit dari
keenam nilai—nilai etika ini dan mencakup beberapa kualitas seperti
kejujuran, integritas, keandalan dan kesetiaan. Ketika seorang anak
berusia antara 4-6 tahun, ia disarankan untuk mulai belajar tentang
trustworthiness, yang mengajarkan kejujuran sebagai wujud dari
trustworthiness tersebut. Mereka melambangkan trustworthiness
dengan warna biru yang bermakna sebagai laut atau samudra yang
sangat dalam. Biru juga identik dengan langit yang luas. Disinilah
trustworthiness itu berada. Kejujuran dan integritas seorang manusia
itu mesti sedalam samudra dan setinggi langit biru nan tiada berbatas.
Intinya, hal ini harus melekat dalam diri seseorang kapan pun, dimana
pun, serta saat dia bersama siapa pun.
2. Respect. Setelah jujur dan integritas, pilar selanjutnya adalah respect.
Hal ini dapat berwujud tindakan untuk memperlakukan orang lain
dengan hormat, mentolerir perbedaan, dan mengatasi
ketidaksepahaman dengan baik. Seorang anak berusia 6-8 tahun

5
disarankan oleh Josephson Institute of Ethics untuk mendalami
respect. Jadi kalau kita perhatikan, six pillars menggunakan warna
emas sebagai simbol respect. Jika Anda imajinasikan, apa yang
terlintas di benak Anda ketika melihat emas? Anda pasti akan melihat
benda itu sebagai sesuatu yang sarat nilai, bukan? Ya, respect itu
seperti halnya emas yang sangat bernilai. Dia dihargai dimana pun di
belahan bumi ini.
3. Responsibility. Pilar ketiga adalah responsibility, tanggung jawab.
Kita tidak cukup hanya memiliki trustworthiness dan respect saja.
Kita mesti punya tanggung jawab. Ya, tanggung jawab itu berarti kita
mesti melakukan apa yang harus kita lakukan. Kita mesti bertanggung
jawab dengan pilihan yang kita ambil, dan harus melaksanakan tugas
dengan penuh kesungguhan. Anak usia 8-10 tahun dianjurkan untuk
mendalami responsibility. Responsibility dilambangkan dengan warna
hijau. Warna ini diidentikkan dengan kewajiban untuk melestarikan
alam yang dikenal dengan istilah go green. Perusahaan yang
bertanggung jawab terhadap lingkungan sering disebut green
company. Karenanya wajar jika kemudian warna hijau menjadi
representasi responsibility.
4. Fairness. Fairness atau keadilan bermakna main sesuai aturan,
menggunakan kesempatan untuk berbagi, memiliki pikiran terbuka,
mau mendengarkan pendapat orang lain serta tidak mudah
menyalahkan orang lain. Menurut Josephson Institute of Ethics,
fairness baik untuk dipelajari oleh anak berusaia 10-12 tahun. Fairness
itu seperti jeruk yang berwarna orange. Tentu bukan maksudnya
berasa asam. Tapi sadar atau tidak, jeruk adalah buah yang dapat
dipotong dan dibagi secara merata. Karena itu jeruk adalah simbol
keadilan bagi manusia (fairness).
5. Caring. Perilaku caring mencakup berbaik hati, peduli pada orang
lain, selalu mengekspresikan rasa terima kasih, mau memaafkan orang
lain dan berbesar hati, serta bersikap ringan tangan mau membantu
orang lain yang membutuhkan. Caring idealnya dipelajari oleh anak

6
yang telah berusia 12-14 tahun. Simbol caring adalah merah, warna
hati. Caring memang bersumber dari dalam hati yang terdalam. Ia
berada di lubuk perasaan setiap orang. Caring inilah yang membuat
dunia penuh warna dengan cinta kasih antar sesama umat manusia.
6. Citizenship. Bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum
dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.
Persoalan pokok yang muncul dari pemahan ini adalah mampukah
setiap individu untuk memahami dan mengimplementasikan prinsip-
prinsip tersebut alam kehidupan sehari-hari? Memang hal ini agak sedikit
sulit, tetapi peranan karakter justru menjadi penentu. Karakter yang ideal
seperti yang ada tercantum dalam Six Pillars of Character sangat
mengutamakan kejujuran, dimana kejujuran ditempatkan sebagai hal yang
prinsip dan yang melebihi dari segalanya (dominan). Persoalannya
kejujuran dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal yang unik, mengapa
unik karena kejujuran seolah-olah tidak ada makna lagi (nilai) baik dalam
kehidupan social kemasyarakatan maupun dalam dunia politik, ekonomi
dan lain sebagainya.
b. Konfigurasi Karakter
Karakter seseorang dalam proses perkembangan dan
pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan
(nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku
berkarakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi
Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ), Spritual Quotient
(SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan
seseorang yang berkarakter menurut pandangan agama pada dirinya
terkandung potensi-potensi, yaitu: sidiq, amanah, fathonah, dan tablig.
Berkarakter menurut teori pendidikan apabila seseorang memiliki potensi
kognitif, afektif, dan psikomotor yang teraktualisasi dalam kehidupannya.
Adapun menurut teori sosial, seseorang yang berkarakter mempunyai
logika dan rasa dalam menjalin hubungan intra personal, dan hubungan
interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat.

7
Perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan
perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi
totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan
pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah
Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah
Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).
Keempat proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan
olahrasa dan karsa) tersebut secara holistik dan koheren memiliki saling
keterkaitan dan saling melengkapi, yang bermuara pada pembentukan
karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur. Secara
diagramatik, koherensi keempat proses psikososial tersebut dapat
digambarkan diagram Ven sebagai berikut.

Figure 1. Koherensi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses

Masing-masing proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga,


dan olahrasa dan karsa) secara konseptual dapat diperlakukan sebagai
suatu klaster atau gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah

8
nilai. Keempat proses psikologis tersebut, satu dengan yang lainnya saling
terkait dan saling memperkuat. Karena itu setiap karakter, seperti juga
sikap, selalu bersifat multipleks atau berdimensi jamak. Pengelompokan
nilai tersebut sangat berguna untuk kepentingan perencanaan. Dalam
proses intervensi (pembelajaran, pemodelan, dan penguatan) dan proses
habituasi (pensuasanaan, pembiasaan, dan penguatan) dan pada akhirnya
menjadi karakter, keempat kluster nilai luhur tersebut akan terintegrasi
melalui proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing
individu.
c. Pendidikan Karakter (Character Building)
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun
1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama
ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education
dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our
School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia
menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring
the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51).
Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter
menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta
didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan
akhlak atau pendidikan moral.
Pengertian yang disampaikan Lickona di atas memperlihatkan
adanya proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan (moral
knowing), perasaan (moral feeling), dan tindakan (moral action), sekaligus
juga memberikan dasar yang kuat untuk membangun pendidikan karakter
yang koheren dan komprehensif. Definisi di atas juga menekankan bahwa
kita harus mengikat para siswa dengan kegiatan-kegiatan yang akan
mengantarkan mereka berpikir kritis mengenai persoalan-persoalan etika

9
dan moral; menginspirasi mereka untuk setia dan loyal dengan tindakan-
tindakan etika dan moral; dan memberikan kesempatan kepada mereka
untuk mempraktikkan perilaku etika dan moral tersebut.
1. Moral Knowing (Pengetahuan Moral)
Terdapat beragam jenis pengetahuan moral yang berkaitan dengan
tantangan moral kehidupan. Berikut ini enam tahap yang harus dilalui
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan moral:
a. Moral awarness (kesadaran moral). Kelemahan moral yang melanda
hampir semua manusia dari segala jenis usia adalah adanya kebutaan
atau kepapaan moral. Secara sederhana kita jarang melihat adanya
cara-cara tertentu dalam masyarakat yang memperhatikan dan
melibatkan isu-isu moral serta penilaian moral. Anak-anak muda
misalnya, sering kali tidak peduli terhadap hal ini; mereka melakukan
sesuatu tanpa mempertanyakan kebenaran suatu perbuatan.
b. Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral). Nilai-nilai
moral seperti rasa hormat terhadap kehidupan dan kebebasan,
tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi,
sopan-santun, disiplin-diri, integritas, kebaikan, keharuan-keibaan,
dan keteguhan hati atau keberanian, secara keseluruhan menunjukan
sifat-sifat orang yang baik. Kesemuanya itu merupakan warisan dari
generasi masa lalu bagi kehidupan masa depan. Literatur etika
mensyaratkan pengetahuan tentang nilai-nilai ini. Mengetahui nilai-
nilai di atas berarti juga memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai
itu dalam berbagai situasi.
c. Perspective-taking. Perspective-taking (hasibu anfusakum qabla
antuhasabu) adalah kemampuan untuk mengambil pelajaran dari
peristiwa yang menimpa atau terjadi pada orang lain; melihat suatu
keadaan sebagaimana mereka melihatnya; mengimajinasikan
bagaimana mereka berpikir, bereaksi, dan merasakannya. Hal ini
merupakan prasyarat bagi dilakukannya penilaian moral. Kita tidak
dapat menghormati orang lain dan berbuat adil atau pantas terhadap
kebutuhan mereka apabila kita tidak dapat memahami mereka. Tujuan

10
utama dari pendidikan moral adalah untuk membantu siswa agar
mereka bisa memahami dunia ini dari sudut pandang orang lain,
terutama yang berbeda dari pengalaman mereka.
d. Moral reasoning (alasan moral). Moral reasoning meliputi
pemahaman mengenai apa itu perbuatan moral dan mengapa harus
melakukan perbuatan moral. Mengapa, misalnya, penting untuk
menepati janji? Mengapa harus melakukan yang terbaik?. Moral
reasoning pada umumnya menjadi pusat perhatian penelitian
psikologis berkaitan dengan perkembangan moral.
e. Decesion-making (pengambilan keputusan). Kemampuan seseorang
untuk mengambil sikap ketika dihadapkan dengan problema moral
adalah suatu keahlian yang bersifat reflektif. Apa yang dipilih dan apa
akibat atau resiko dari pengambilan keputusan moral itu, bahkan harus
sudah diajarkan sejak TK (Taman Kanak-kanak).
f. Self-knowledge. Mengetahui diri sendiri atau mengukur diri sendiri
merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit, tetapi hal ini
sangat penting bagi perkembangan moral. Menjadi orang yang
bermoral memerlukan kemampuan untuk melihat perilaku diri sendiri
dan mengevaluasinya secara kritis.
Perkembangan atas self-knowledge ini meliputi kesadaran akan
kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan bagaimana mengkonpensasi
kelemahan itu. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan itu
adalah dengan menjaga 'jurnal etik' (mencatat peristiwa-peristiwa moral
yang terjadi, bagaimana merespon peristiwa moral itu, dan apakah respon
itu dapat dipertanggung jawabkan secara etika).
2. Moral Feeling (Perasaan Moral)
Sisi emosional dari karakter seringkali diabaikan dalam pembahasan-
pembahasan mengenai pendidikan moral, padahal hal ini sangat penting.
Sungguh (secara sederhana), mengetahui yang benar tidak menjamin
perilaku yang benar. Banyak orang yang sangat pandai ketika berbicara
mengenai yang benar dan yang salah, akan tetapi justru mereka memilih
perbuatan yang salah.

11
a. Conscience (Kesadaran). Kesadaran memiliki dua sisi: sisi kognitif
(pengetahuan tentang sesuatu yang benar), dan sisi emosional
(perasaan adanya kewajiban untuk melakukan apa yang benar itu).
Kesadaran yang matang, disamping adanya perasaan kewajiban moral,
adalah kemampuan untuk mengonstruksikan kesalahan. Apabila
seseorang dengan kesadarannya merasa berkewajiban untuk
menunjukkan suatu perbuatan dengan cara tertentu, maka ia pun bisa
menunjukkan cara untuk tidak melakukan perbuatan yang salah.
Bagi banyak orang, kesadaran adalah persoalan moralitas. Mereka
memiliki komitmen terhadap nilai-nilai moral dalam kehidupannya,
karena nilai-nilai itu memiliki akar yang kuat dalam moral-diri mereka
sendiri (moral self/hati nurani). Seperti, seseorang tidak dapat
berbohong dan menipu karena mereka telah mengidentifikasikan
dengan tindakan moral mereka; mereka merasa 'telah keluar dari
karakter' ketika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai mereka. Menjadi orang yang secara pribadi
memiliki komitmen terhadap nilai-nilai moral ternyata memerlukan
proses perkembangan, dan membantu siswa dalam proses ini
merupakan tantangan bagi setiap guru pendidikan moral.
b. Self-esteem (penghargaan-diri). Ketika kita memiliki ukuran yang
sehat terhadap penghargaan-diri, kita menilai diri kita sendiri. Ketika
kita menilai diri kita sendiri, kita akan menghargai atau menghormati
diri kita sendiri. Kita tidak akan menyalahgunakan anggota tubuh atau
pikiran kita atau mengizinkan pihak-pihak untuk menyalah gunakan
diri kita.
Ketika kita memiliki penghargaan-diri, kita tidak akan bergantung
pada restu atau izin pihak lain. Pembelajaran yang memperlihatkan
siswa dengan penghargaan-diri yang tinggi memiliki tingkat halangan
yang lebih besar bagi sejawatnya untuk memberi tekanan kepadanya.
Ketika kita memiliki penghargaan yang positif terhadap diri kita
sendiri, kita lebih suka memperlakukan orang lain dengan cara-cara
yang positif pula. Ketika kita kurang memiliki penghormatan terhadap

12
diri sendiri, maka baginya juga sangat sulit untuk mengembangkan
rasa hormat kepada pihak lain.
Penghargaan-diri yang tinggi tidak dengan sendirinya dapat
menjamin karakter yang baik. Hal ini bisa terjadi karena penghargaan-
diri yang dimilikinya tidak didasarkan pada karakter yang baik, seperti
misalnya karena kepemilikan, kecantikan atau kegantengan,
populritas, atau kekuasaan. Salah satu tantangan sebagai pendidik
adalah membantu siswa untuk mengembangkan penghargaan-diri
yang didasarkan pada nilai-nilai seperti halnya tanggung jawab,
kejujuran, dan kebaikan, atau didasarkan pada keyakinan pada
kemampuan diri untuk kebaikan.
c. Empathy (empati). Empati adalah identifikasi dengan, atau seakan-
akan mengalami, keadaan yang dialami pihak lain. Empati
memungkinkan kita untuk memasuki perasaan yang dialami pihak
lain. Empati merupakan sisi emosional dari perspective-taking (hasibu
anfusakum qabla antuhasau).
Dewasa ini kita sedang menyaksikan hancurnya empati dalam
kehidupan masyarakat. Misalnya, meningkatnya kriminalitas anak-
anak muda yang mengarah kepada sikap brutal. Mereka pada dasarnya
mampu mengembankan empatinya terhadap sesuatu yang mereka
ketahui dan peduli, tetapi mereka sama sekali tidak dapat
menunjukkan perasaan empati mereka kepada orang-orang yang
menjadi korban dari kekerasannya. Salah satu tugas pendidik moral
adalah mengembangkan empati yang bersifat umum.
d. Loving the good. Bentuk karakter yang paling tinggi diperlihatkan
dalam kelakukan yang baik. Ketika seseorang mencintai yang baik,
maka dengan senang hati ia akan melakukan yang baik. Ia secara
moral memiliki keinginan untuk berbuat baik, bukan semata-mata
karena kewajiban moral. Kemampuan untuk mengisi kehidupan
dengan perbuatan baik ini tidak terbatas bagi para ilmuwan, tetapi
juga pada orang kebanyakan, bahkan anak-anak. Potensi untuk
mengembangkan perilaku kehidupan yang baik ini dapat dilakukan

13
melalui tutorial dan pelayanan sosial, baik di sekolah maupun di
masyarakat luas.
e. Self-control. Emosi dapat membanjiri (mengatasi) alasan. Alasan
seseorang mengapa self-control diperlukan untuk kebaikan moral.
Kontrol-diri juga diperlukan bagi kegemaran-diri anak-anak muda.
Apabila seseorang ingin mencari akar terjadinya penyimpangan sosial,
salah satunya dapat ditemukan pada kegemaran-diri ini, demikian kata
Walter Niogorski.
f. Humility (kerendahan hati). Kerendahan hati merupakan kebajikan
moral yang sering diabaikan, padahal merupakan bagian yang esensial
dari karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan sisi yang efektif
dari pengetahuan-diri (self-kenowledge). Kerendahan hati dan
pengetahuan-diri merupakan sikap berterus terang bagi kebenaran dan
keinginan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan kita. Kerendahan
hati merupakan pelindung terbaik bagi perbuatan jahat.
3. MORAL ACTION (TINDAKAN MORAL)
Moral action (tindakan moral), dalam pengertian yang luas, adalah
akibat atau hasil dari moral knowing dan moral feeling. Apabila
seseorang memiliki kualitas moral intelek dan emosi, kita bisa
memperkirakan bahwa mereka akan melakukan apa yang mereka
ketahui dan rasakan. Untuk memahami sepenuhnya apa yang dimaksud
dengan tindakan moral, berikut ini adalah tiga aspek dari karakter:
kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
a. Kompetensi (Competence). Moral kompetensi adalah
kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke
dalam tindakan moral yang efektif. Untuk memecahkan masalah
konflik misalnya, diperlukan keahlian-keahlian praktis:
mendengar, menyampaikan pandangan tanpa mencemarkan
pihak lain, dan menyusun solusi yang dapat diterima masing-
masing pihak.
b. Kemauan (Will). Pilihan yang benar (tepat) akan suatu perilaku
moral biasanya merupakan sesuatu yang sulit. Untuk menjadi

14
dan melakukan sesuatu yang baik biasanya mensyaratkan adanya
keinginan bertindak yang kuat, usaha untuk memobilisasi energi
moral. Kemauan merupakan inti (core) dari dorongan moral.
c. Kebiasaan (Habit). Dalam banyak hal, perilaku moral terjadi
karena adanya kebiasaan. Orang yang memiliki karakter yang
baik, seperti yang dikatakan William Bennet, adalah orang yang
melakukan tindakan 'dengan sepenuh hati', 'dengan tulus',
'dengan gagah berani', 'dengan penuh kasih atau murah
hati', dan 'dengan penuh kejujuran'. Orang melakukan
perilaku yang baik adalah karena didasarkan kekuatan
kebiasaan.
Karena alasan-alasan di atas, sebagai bagian dari pendidikan moral,
maka harus banyak kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk
mengembangkan kebiasaan baik, dan memberikan praktik yang
cukup untuk menjadi orang baik. Dengan demikian memberikan
kepada mereka pengalaman-pengalaman berkenaan dengan perilaku
jujur, sopan, dan adil (Lickona, 1991: 50-63).
Penekanan aspek-aspek tersebut di atas, diperlukan agar peserta
didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-
nilai kebajikan, tanpa harus didoktrin apalagi diperintah secara paksa.
d. Prinsip Pengembangan Pendidikan Karakter (Character Building)
Secara prinsipil, pengembangan karakter tidak dimasukkan sebagai
pokok bahasan tetapi terintegrasi kedalam mata pelajaran, pengembangan
diri dan budaya satuan pendidikan. Oleh karena itu pendidik dan satuan
pendidikan perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam
pendidikan karakter ke dalam Kurikulum, silabus yang sudah ada. Prinsip
pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter
mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai
karakter sebagai milik peserta didik dan bertanggung jawab atas keputusan
yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan,
menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai
dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini peserta didik belajar melalui

15
proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan
kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri
sebagai makhluk sosial.
Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan karakter.
1. Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan
nilai-nilai karakter merupakan sebuah proses panjang dimulai dari
awal pesertadidik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.
2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya
satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan
karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap
kegiatan kurikuler, ekstra kurikuler dan kokurikuler.
3. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan melalui proses belajar
(value is neither cought nor taught, it is learned) (Hermann, 1972)
mengandung makna bahwa materi nilai-nilai karakter bukanlah bahan
ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan,
tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-
nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti
halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun
fakta seperti dalam mata kuliah atau pelajaran agama, bahasa
Indonesia, sejarah, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan,
seni, ketrampilan, dan sebagainya.
4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan
menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan
karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh pendidik. Pendidik
menerapkan prinsip ‖tut wuri handayani‖ dalam setiap perilaku yang
ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses
pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa
senang dan tidak indoktrinatif.

16
2.2 Pentingnya Pendidikan Karakter (Character Building)

a. Hakikat Pendidikan Karakter


Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita
permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi
dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat
kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya
nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya
kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi
bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Sumber: Buku Induk
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025). Untuk
mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta
mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah
menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas
pembangunan nasional.
Atas dasar apa yang telah diungkapkan di atas, pendidikan karakter
bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang
salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik
mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi
kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik
atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action)
sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta
didik.

17
Figure 2. Alur Pikir Pembangunan Karakter

Berdasarkan alur pikir pada Bagan 1 di atas, pendidikan


merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan karakter bangsa
yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara koheren dengan
beberapa strategi lain. Strategi tersebut mencakup: sosialisasi atau
penyadaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama seluruh
komponen bangsa. Pembangunan karakter dilakukan dengan pendekatan
sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga, satuan pendidikan,
pemerintah, masyarakat sipil, anggota legislatif, media massa, dunia
usaha, dan dunia industri (Sumber: Buku Induk Pembangunan Karakter,
2010).
b. Tujuan, Fungsi, dan Media Pendidikan Karakter

Fungsi
Sesuai dengan fungsi pendidikan nasional, pendidikan karakter
dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara lebih khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama,
yaitu

18
1. Pembentukan dan Pengembangan Potensi
Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan
potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik,
berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup
Pancasila.
2. Perbaikan dan Penguatan
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan
warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat
peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah
untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa
yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
3. Penyaring
Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya
bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang
positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara
Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Tujuan
Pendidikan karakter dilakukan dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Media
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan
media massa.
c. Nilai-nilai Pembentukan Karakter
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter
bangsa Indonesia secara khusus diidentifikasi dari empat sumber: (1)
Agama, (2) Pancasila, (3) Budaya, dan (4) Tujuan Pendidikan.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama, oleh karena itu

19
kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran
agama. Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-
prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila,
oleh karena itu sudah semestinya kalau Pancasila menjadi sumber nilai
dalam berkehidupan. Posisi budaya sebagai sumber nilai juga tidak dapat
diabaikan, demikian juga dengan tujuan pendidikan nansional yang di
dalamnya telah dirumuskan kualitas yang harus dimiliki warga nenagara
Indonesia (Puskur, 2010: 8-10). Nilai-nilai yang ditanamkan dan
dikembangkan pada sekolah-sekolah di Indonesia beserta deskripsinya
adalah sebagai berikut:
1. Religius. Sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dari dirinya.
4. Disiplin. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya.
6. Kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

20
9. Rasa Ingin Tahu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air. Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komuniktif. Tindakan yang memperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab. Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial
dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

21
Figure 3. Implementasi Nilai-Nilai

d. Proses Pendidikan Karakter


Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis
yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural pada konteks interaksi
dalam keluarga, satuan pendidikan serta masyarakat. Totalitas psikologis
dan sosiokultural dapat dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan
dalam Bagan berikut:

22
Figure 4. Konfigurasi Pendidikan Karakter

Ruang lingkup pendidikan karakter meliputi dan berlangsung pada:


1. Pendidikan Formal
Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung pada
lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK,
MAK dan Perguruan Tinggi melalui pembelajaran, kegiatan ko dan
ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan
pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik,
pendidik, dan tenaga kependidikan.
2. Pendidikan Nonformal
Pada pendidikan nonformal pendidikan karakter berlangsung pada
lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, dan
lembaga pendidikan nonformal lain melalui pembelajaran, kegiatan ko
dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan
pembiasaan. Sasaran pada pendidikan nonformal adalah peserta didik,
pendidik, dan tenaga kependidikan.

23
3. Pendidikan Informal
Pendidikan karakter pada pendidikan informal berlangsung pada
keluarga yang dilakukan oleh orangtua dan orang dewasa lain
terhadap anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya.
2.3 Pendekatan Pendidikan Karakter (Character Building)
a. Keteladanan
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, satuan
pendidikan formal dan nonformal harus dikondisikan sebagai pendukung
utama kegiatan tersebut. satuan pendidikan formal dan nonformal harus
menunjukkan keteladanan yang mencerminkan nilai-nilai karakter yang
ingin dikembangkan. Misalnya toilet yang selalu bersih, bak sampah ada
di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, satuan pendidikan formal dan
nonformal terlihat rapi, dan alat belajar ditempatkan teratur.
Selain itu, keteladanan juga dapat ditunjukkan dalam perilaku dan
sikap pendidik dan tenaga kependidikan dalam memberikan contoh
tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi
peserta didik untuk mencontohnya. Pendemonstrasian berbagai contoh
teladan merupakan langkah awal pembiasaan, Jika pendidik dan tenaga
kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan
bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter, maka pendidik dan tenaga
kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama
memberikan contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sesuai dengan
nilai-nilai terebut. Misalnya berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya,
bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap
peserta didik, jujur, menjaga kebersihan dan sebagainya. Keteladanan
dalam pendidikan karakter dapat dilakukan melalui pengintegrasian ke
dalam kegiatan sehari-hari satuan pendidikan formal dan nonformal yang
berwujud kegiatan rutin atau kegiatan insidental: spontan atau berkala.
b. Pembelajaran
Pembelajaran karakter dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, di
satuan pendidikan formal dan nonformal, serta di luar satuan pendidikan.

24
a. Di kelas, pembelajaran karakter dilaksanakan melalui proses belajar
setiap materi pelajaran atau kegiatan yang dirancang khusus. Setiap
kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif,
afektif, konatif, dan psikomotor.
b. Di satuan pendidikan formal dan nonformal, pembelajaran karakter
dilaksanakan melalui berbagai kegiatan satuan pendidikan formal dan
nonformal yang diikuti seluruh peserta didik, pendidik, dan tenaga
kependidikan. Perencanaan dilakukan sejak awal tahun pelajaran,
dimasukkan ke kalender akademik, dan dilaksanakan sehari-hari
sebagai bagian dari budaya satuan pendidikan formal dan nonformal.
c. Di luar satuan pendidikan formal dan nonformal, pembelajaran
karakter dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan
lain yang diikuti oleh seluruh/sebagian peserta didik, dirancang satuan
pendidikan formal dan nonformal sejak awal tahun pelajaran atau
program pembelajaran, dan dimasukkan ke dalam kalender akademik.

Budaya satuan pendidikan formal dan nonformal merupakan salah


satu aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik. Yang
terpenting adalah iklim atau budaya satuan pendidikan formal dan
nonformal. Jika suasana satuan pendidikan formal dan nonformal penuh
kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang, hal ini akan menghasilkan karakter
yang baik. Pada saat yang sama, pendidik akan merasakan kedamaian dan
suasana satuan pendidikan formal dan nonformal seperti itu akan
meningkatkan mutu pengelolaan pembelajaran. Dengan pengelolaan
pembelajaran yang baik, akan menyebabkan prestasi akademik yang
tinggi. Sebuah temuan penting lainnya adalah bila peserta didik memiliki
karakter yang baik, akan berpengaruh langsung terhadap prestasi
akademik yang tinggi. Oleh karena itu, langkah pertama dalam
mengaplikasikan pendidikan karakter dalam satuan pendidikan formal dan
nonformal adalah menciptakan suasana atau iklim satuan pendidikan
formal dan nonformal yang berkarakter yang akan membantu
transformasi pendidik, peserta didik, dan tenaga kependidikan menjadi
warga satuan pendidikan formal dan nonformal.

25
Yang perlu dilakukan lebih lanjut dalam pengintegrasian pendidikan
karakter ke dalam semua materi pembelajaran adalah memastikan bahwa
pembelajaran materi pembelajaran tersebut memiliki dampak
instruksional dan/atau dampak pengiring pembentukan karakter.
Pengintegrasian nilai dapat dilakukan untuk satu atau lebih dari setiap
pokok bahasan dari setiap materi pembelajaran. Seperti halnya sikap,
suatu nilai tidaklah berdiri sendiri, tetapi berbentuk kelompok.

c. Pemberdayaan dan Pembudayaan


Pengembangan nilai/karakter dapat dilihat pada dua latar, yaitu
pada latar makro dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang
mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan ilmpementasi
pengembangan nilai/karakter yang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan pendidikan nasional.
Pada latar makro, program pengembangan nilai/karakter dapat
digambarkan sebagai berikut.

Figure 5. Konteks Makro Pengembangan Karakter

Pada konteks mikro, pendidikan karakter berpusat pada satuan


pendidikan formal dan nonformal secara holistik. Secara mikro
pengembangan karakter dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-
mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan

26
budaya satuan pendidikan formal dan nonformal; kegiatan kokurikuler
dan/atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan
masyarakat.
Program pendidikan karakter pada konteks mikro dapat
digambarkan sebagai berikut.

Figure 6. Konteks Mikro Pendidikan Karakter

d. Penguatan
Penguatan sebagai respon dari pendidikan karakter perlu dilakukan
dalam jangka panjang dan berulang terus-menerus. Penguatan dimulai
dari lingkungan terdekat dan meluas pada lingkungan yang lebih luas. Di
samping pembelajaran dan pemodelan, penguatan merupakan bagian dari
proses intervensi. Penguatan juga dapat terjadi dalam proses habituasi.
Hal itu akhirnya akan membentuk karakter yang akan terintegrasi melalui
proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing individu.
Penguatan dapat juga dilakukan dalam berbagai bentuk termasuk
penataan lingkungan belajar dalam satuan pendidikan formal dan
nonformal yang menyentuh dan membangitkan karakter.

27
e. Penilaian
Pada dasarnya, penilaian terhadap pendidikan karakter dapat
dilakukan terhadap kinerja pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta
didik. Kinerja pendidik atau tenaga kependidikan dapat dilihat dari
berbagai hal terkait dengan dengan berbagai aturan yang melekat pada
diri pegawai , antara lain: (1) hasil kerja: kualitas kerja, kuantitas kerja,
ketepatan waktu penyelesaian kerja, kesesuaian dengan prosedur; (2)
komitmen kerja: inisiatif, kualitas kehadiran, kontribusi terhadap
keberhasilan kerja, kesediaan melaksanakan tugas dari pimpinan; (3)
hubungan kerja: kerja sama, integritas, pengendalian diri, kemampuan
mengarahkan dan memberikan inspirasi bagi orang lain.
2.4 Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Character Building)
a. Strategi Tingkat Kementrian Pendidikan Nasional
Pendekatan yang digunakan Kementerian Pendidikan Nasional
dalam pengembangan pendidikan karakter, yaitu: pertama melalui stream
top down; kedua melalui stream bottom up; dan ketiga melalui stream
revitalisasi program. Ketiga alur tersebut divisualisasikan dalam Bagan 4
di bawah ini:

Figure 7. Strategi Kebijakan Pendidikan Karakter

28
Strategi yang dimaksud secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Intervensi melalui kebijakan (Top - Down)
Jalur/aliran pertama inisiatif lebih banyak diambil oleh
Pemerintah/Kementerian Pendidikan Nasional dan didukung secara
sinergis oleh Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas pendidikan
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam strategi ini pemerintah
menggunakan lima strategi yang dilakukan secara koheren, yaitu:
a. Sosialisasi
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran kolektif
tentang pentingnya pendidikan karakter pada lingkup/tingkat
nasional, melakukan gerakan kolektif dan pencanangan
pendidikan karakter untuk semua.
b. Pengembangan regulasi
Untuk terus mengakselerasikan dan membumikan Gerakan
Nasional Pendidikan Karakter, Kementerian Pendidikan
Nasional bergerak mengkonsolidasi diri di tingkat internal
dengan melakukan upaya-upaya pengembangan regulasi untuk
memberikan payung hukum yang kuat bagi pelaksanaan
kebijakan, program dan kegiatan pendidikan karakter.
c. Pengembangan kapasitas
Kementerian Pendidikan Nasional secara komprehensif dan
massif akan melakukan upaya-upaya pengembangan kapasitas
sumber daya pendidikan karakter. Perlu disiapkan satu sistem
pelatihan bagi para pemangku kepentingan pendidikan karakter
yang akan menjadi pelaku terdepan dalam mengembangkan
dan mensosialisikan nilai-nilai karakter.
d. Implementasi dan kerjasama
Kementerian Pendidikan Nasional mensinergikan berbagai hal
yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup
tugas pokok, fungsi, dan sasaran unit utama.

29
e. Monitoring dan evaluasi
Secara komprehensif Kementerian Pendidikan Nasional akan
melakukan monitoring dan evaluasi terfokus pada tugas,
pokok, dan fungsi serta sasaran masing-masing unit kerja baik
di Unit Utama maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
serta pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Monitoring
dan evaluasi sangat berperan dalam mengontrol dan
mengendalikan pelaksanaan pendidikan karakter di setiap unit
kerja.
2. Pengalaman Praktisi (Bottom - Up)
Pembangunan pada jalur/tingkat ini diharapkan dari inisiatif yang
datang dari satuan pendidikan. Pemerintah memberikan bantuan teknis
kepada sekolah-sekolah yang telah mengembangkan dan melaksanakan
pendidikan karakter sesuai dengan ciri khas di lingkungan sekolah
tersebut.
3. Revitalisasi Program
Pada jalur/tingkat ketiga, merevitalisasi kembali program-program
kegiatan pendidikan karakter di mana pada umumnya banyak terdapat
pada kegiatan ekstrakurikuler yang sudah ada dan sarat dengan nilai-
nilai karakter.
Integrasi Tiga Strategi
Ketiga jalur/tingkat pada Bagan 4, yaitu: top down yang lebih bersifat
intervensi, bottom up yang lebih bersifat penggalian bestpractice dan
habituasi, serta revitalisasi program kegiatan yang sudah ada yang lebih
bersifat pemberdayaan merupakan satu kesatuan yang saling menguatkan.
Ketiga pendekatan tersebut, hendaknya dilaksanakan secara
terintegrasi dalam keempat pilar penting pendidikan karakter di sekolah
sebagaimana yang dituangkan dalam Desain Induk Pendidikan Karakter,
(2010:28), yaitu: kegiatan pembelajaran di kelas, pengembangan budaya
satuan pendidikan, kegiatan ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler.

30
b. Strategi Tingkat Daerah
Ada beberapa langkah yang digunakan pemerintah daerah dalam
pengembangan pendidikan karakter, dimana semuanya dilakukan secara
koheren.
1. Penyusunan perangkat kebijakan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
2. Penyiapan dan penyebaran bahan pendidikan karakter yang
diprioritaskan
3. Pemberian dukungan kepada Tim Pengembang Kurikulum (TPK)
tingkat provinsi dan kabupaten/kota melalui Dinas Pendidikan
4. Pemberian Dukungan Sarana, Prasarana, dan Pembiayaan
5. Sosialisasi ke masyarakat, Komite Pendidikan, dan para pejabat
pemerintah di lingkungan dan di luar diknas
c. Strategi Tingkat Satuan Pendidikan
Strategi pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan
merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan
dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan. Agar pendidikan
karakter dapat dilaksanakan secara optimal, pendidikan karakter
diimplementasikan melalui langkah-langkah berikut:
1. Sosialisasi ke stakeholders (komite sekolah, masyarakat, lembaga-
lembaga)
2. Pengembangan dalam kegiatan sekolah sebagaimana tercantum dalam
gambar di bawah ini.

31
Figure 8. Implementasi Pendidikan Karakter dalam KTSP

3. Kegiatan Pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter


peserta didik dapat menggunakan pendekatan belajar aktif.
4. Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar
Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan
melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:
a. Kegiatan rutin : kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus
menerus dan konsisten setiap saat.
b. Kegiatan spontan : Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara
spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan
ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk
masyarakat ketika terjadi bencana.
c. Keteladanan Merupakan perilaku, sikap guru, tenaga kependidikan
dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-
tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi
peserta didik lain.
d. Pengkondisian : penciptaan kondisi yang mendukung
keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kebersihan badan
dan pakaian, toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang

32
hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak di sekolah dan di
dalam kelas.
5. Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler
Terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang
mendukung pendidikan karakter memerlukan perangkat pedoman
pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, dan
revitalisasi kegiatan yang sudah dilakukan sekolah.
6. Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat
Dalam kegiatan ini sekolah dapat mengupayakan terciptanya
keselarasan antara karakter yang dikembangkan di sekolah dengan
pembiasaan di rumah dan masyarakat. Sekolah dapat membuat angket
berkenaan nilai yang dikembangkan di sekolah, dengan responden
keluarga dan lingkungan terdekat anak/siswa.
d. Penambahan Alokasi Waktu Pembelajaran
Berikut beberapa strategi penambahan waktu pembelajaran yang dapat
dilakukan, misalnya:
1. Sebelum pembelajaran di mulai atau setiap hari seluruh siswa diminta
membaca kitab suci, melakukan refleksi (masa hening) selama kurang
lebih 5 menit.
2. Di hari-hari tertentu sebelum pembelajaran dimulai dapat dilakukan
berbagai kegiatan paling lama 30 menit. Kegiatan itu berupa baca
Kitab Suci maupun siswa berceramah dengan tema keagamaan sesuai
dengan kepercayaan masing-masing.
3. Pelaksanaan kegiatan bersama di siang hari selama antara 30 s.d 60
menit.
4. Kegiatan-kegiatan lain diluar pengembangan diri, yang dilakukan
setelah jam pelajaran selesai.
e. Penilaian Keberhasilan
Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter
di satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program penilaian
dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu

33
tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkah-
langkah berikut:
1. Mengembangkan indikator dari nilai-nilai yang ditetapkan atau
disepakati
2. Menyusun berbagai instrumen penilaian
3. Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator
4. Melakukan analisis dan evaluasi
5. Melakukan tindak lanjut

34
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah upaya
untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar tertentu atau
aturan-aturan yang disepakati. Upaya ini juga memberi jalan untuk
menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi seseorang. Foskus pendidikan
karakter adalah tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan
kecakapan-kecakapan yang penting mancakup perkembangan social
seseorang.
Pendidikan karakter memiliki peran yang sangat penting dalam
membangun kepribadian setiap individu (mahasiswa). Mahasiswa yang
memiliki karakter diharapkan mampu memahami arti kehidupan dan
memaknainya dalam bentuk kejujuran, kepedulian akan sesama/lingkungan,
beriman, mandiri, dan memiliki motivasi yang tinggi sehingga mampu
menghadapi berbagai macam tantangan hidup untuk meraih goal/kesuksesan
dimasa yang akan datang.
Pendidikan karakter ini memang tidak akan langsung merubah sikap dan
perilaku mahasiswa itu sendiri, tapi diharapkan dapat mengubah polah pikir
positif baik didalam dunia kemahasiswaan maupun dalam kehidupan
masyarakat. Untuk kedepannya mata kuliah Character Building terus
dilakukan upaya koreksi untuk perbaikan secara terus menerus (continuous
improvement).
3.2 Saran
Pendidikan Karakter sebagai salah satu jalan untuk mengembalikan
manusia pada kesadaran moralnya harus selalu dikawal oleh semua pihak.
Keluarga, lembaga pendidikan, media massa, masyarakat, dan pemerintah
harus bahu membahu bekerjasama dalam tanggung jawab ini. Tanpa
keterlibatan semua pihak, ideal-ideal dari dilakasanakannya pendidikan
karakter hanya akan berakhir di tataran wacana dan gagasan. Oleh karena itu
perlu program aksi secara menyeluruh dari semua komponen bangsa ini.

35
Daftar Pustaka

Chrisiana, M. 2005. Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini.
Available at:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=66625&val=350
[diakses pada 26 Januari 2015]

Kemdiknas. 2010. Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta.


__________. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Available at:
http://sertifikasiguru.unm.ac.id/PENDIDIKAN%20KARAKTER%20
PLPG%20Rayon%201%2024/1.%20Pendidikan%20Budaya%20dan
%20Karakter%20Bangsa.pdf [diakses pada 26 Januari 2015]

Masrukhi. 2008. Manajemen Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan


Sebagai Pembangun Karakter. Available at: lib.unnes.ac.id [diakses
26 Januari 2015]

Melisa, Oci. 2011. Model Pendidikan Karakter. Available at:


http://jurnal.upi.edu/file/06_Model_Pendidikan_Karakter_-
_Oci_Melisa.pdf [diakses pada 26 Januari 2015]

Mu`in, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik & Praktik.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Pusat Kurikulum. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta.
Saleh, Meylan. 2012. Peran Guru dalam Menanamkan Pendidikan Karakter Anak
Usia Dini di Paud se-Kecamatan Limboto. Available at: Jurnal Ilmu
Pendidikan “PENDAGOGIKA”. Gorontalo.
Tias. 2014. Artikel Pendidikan Karakter. Available at:
https://www.scribd.com/mobile/doc/209358553 [diakses pada 26
Januari 2015]

Uliana, P. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Kultur. Available at:


http://ejournal.unesa.ac.id/article/2912/41/article.pdf [diakses pada 26
Januari 2015]

Zuchdi, Darmiyati. 2010. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan


Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press

36

Anda mungkin juga menyukai