Anda di halaman 1dari 38

Metode Pengembangan

Moral dan Nilai-nilai


Agama
Modul 1.
Hakikat Perkembangan Moralitas Anak Usia Dini
Kompetensi khusus yang diharapkan setelah kita
mempelajari Modul 1 ini dapat dilihat sebagai berikut:

1 Membedakan hakikat moral, moralitas, dan etika.(KB 1)

2 Menjelaskan tahapan moral anak usia dini. (KB1)

3 Menjelaskan hakikat disonansi moral. (KB2)

4 Menyebutkan pola orientasi moral pada anak usia


dini.(KB3)
Kegiatan Belajar 1 (KB 1)
Hakikat Moral, Moralitas,Etika, dan TahapanPerkembangan
Moral Anak Usia Dini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008)
pengertian moral, moralitas dan etika adalah:
Moral memiliki makna akhlak atau tingkah laku yang
susila,
Moralitas dimaknai dengan kesusilaan.
Etika diartikan dengan tata susila atau suatu cabang
filsafat yang membahas atau menyelidiki nilai-nilai dalam
tindakan atau perilaku (akhlak) manusia.
Menurut Piaget anak berpikir tentang moralitas dalam 2
cara/tahap :
Heteronomous (usia 4-7 tahun), di mana anak menganggap
keadilan dan aturan sebagai sifat-sifat dunia (lingkungan) yang
tidak berubah dan lepas dari kendali manusia.
Autonomous (usia 10 tahun ke atas) di mana anak sudah
menyadari bahwa aturan-aturan dan hukum itu diciptakan oleh
manusia.
Cara yang dilakukan Piaget adalah mengamati dan mewawancarai
kelompok anak usia 4-12 tahun yang terlibat dalam suatu permainan. Ia
mempelajari bagaimana anak-anak itu menggunakan dan memandang
aturan yang ada dalam permainan tersebut.
Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Level 1 : Penalaran moral prakonvensional (meliputi tahap orientasi
hukuman dan kepatuhan serta tahap orientasi individualisme dan orientasi
instrumental).
Dibagi ke dalam dua tahap, yaitu
-Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and obedience
orientation) serta
-Tahap individualisme dan orientasi tujuan instrumental (individualism
and instrumental purpose).
Level 2 : Penalaran moral konvensional (meliputi tahap orientasi
konformitas interpersonal serta tahap orientasi hukum dan aturan).
Level 3 : Penalaran moral pascakonvensional (meliputi tahap orientasi
kontrak sosial dan tahap orientasi etis universal).
Perkembangan Moral Menurut Thomas Lickona

Untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action, diperlukan

tiga proses pembinaan yang berkelanjutan, yaitu

(1) mulai dari proses moral knowing,

(2) moral feeling, hingga

(3) moral action.


Kegiatan Belajar 2 (KB 2)
Disonansi Moral

Hakikat anak sebagai manusia, pada umumnya, memiliki tiga macam tenaga
dalam (yang ada pada unsur psikis).
Ketiga tenaga dalam itu menurut istilah psikologi dikenal dengan id, ego, dan
superego.
 id memiliki pengertian suatu dorongan yang berasal dari dalam diri
seseorang untuk mendahulukan rasa, enak, mencapai kenikmatan, dan nafsu
belaka. Dorongan ini senantiasa mengajak seseorang untuk melakukan hal-
hal yang bersifat instan dalam meraih kenikmatan hidup walaupun harus
mengorbankan akal sehat dan nurani.
 Ego adalah suatu dorongan/tenaga dalam yang berasal dari jiwa/diri
seseorang yang berfungsi menyeimbangkan kemauan atau dorongan yang
bersumber dari id. Hal ini dilakukan dengan mencoba mengarahkan
dorongan tersebut pada kenyataan hidup, pengalaman hidup, atau fakta nyata
dalam kehidupan manusia.

 Superego adalah dorongan/tenaga dalam yang berfungsi sebagai alat kontrol


terhadap seluruh dorongan yang berasal dari kemauan id. Kontrol dari
superego ini berasal dari ajaran agama, moral, atau norma yang diterima
manusia.
Disonansi yang berarti gema atau echo ada pada diri manusia dan bersifat
melemahkan suara hati dan prinsip serta keyakinan dalam proses pendidikan
ataupun dalam kehidupan.
Keberadaan disonansi ini diistilahkan dengan counter cultural values
(penghalang masuknya/dihayatinya nilai-nilai budaya kehidupan)
Sedangkan resonansi justru mengukuhkan/menekankan adanya gema atau getar
nilai, norma, dan moral yang telah diketahui seseorang dari proses pendidikan
sebelumnya.
FAKTOR-FAKTOR MUNCULNYA DISONANSI

1. Disonansi kognitif
Dorongan yang muncul itu berasal dari pemahaman ilmu atau pengetahuan yang
sangat mantap/mapan, kuat, serta komprehensif yang dimiliki seseorang.

2. Disonansi personal
Muncul karena didorong oleh hal-hal berikut: Kebutuhan dan kepentingan diri,
ketergesaan dan keadaan darurat, kekerabatan dan keluarga, keyakinan diri dan
mitos, kebiasaan dan budaya, tugas dan jabatan, serta hasrat untuk sukses dan
kesenangan.
3. Disonansi sosiopolitis
Hal yang memungkinkan munculnya disonansi dalam kaitan ini
meliputi ideologi, ras, kesukuan, nasionalisme, dan sebagainya.
4. Disonansi berdasarkan bawaan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta pola modernisasi
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki implikasi ganda, yaitu
bersifat positif dan negatif. Anak usia dini saat ini sangat mudah
mengakses apa pun yang dia inginkan. Mulai dari makanan, hiburan,
mainan, dan sebagainya. Di satu sisi, kemudahan ini mendukung
percepatan ke arah yang positif. Di sisi lain, secara tidak langsung, hal itu
dapat mematikan sifat kreativitas dan moralitas diri anak.
PENANGGULANGAN DAN PENCEGAHAN DISONANSI
MORAL PADA ANAK USIA DINI
Upaya penanggulangan dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menjaga anak usia dini
dapat dilihat di bawah ini.
1. Hindari atau meminimalisasi anak untuk mengetahui perbuatan keji dan buruk secara
langsung.
2. Biasakan anak melakukan aktivitas terprogram untuk memenuhi seluruh aspek
perkembangan dirinya, seperti program yang dapat menstimulasi kecerdasan
akademiknya (belajar mengenal warna, kendaraan, manusia, pekerjaan, lingkungan,
huruf, angka, doa-doa pendek, dan pelajaran agama); pengembangan bahasa dan seni
(belajar berbicara dengan baik, tenang, jelas, dan sistematis); mengungkapkan pendapat
dan perasaannya; mengembangkan emosi (kesabaran, ketekunan dalam bekerja, toleransi,
setia kawan, dan kejujuran); life skill; dan kebutuhan pengembangan motorik, baik halus
maupun kasar.
3. Dekatkan anak dengan aktivitas positif yang dilakukan orang dewasa, seperti mencuci
tangan sebelum makan, gosok gigi sesudah makan dan sebelum tidur, berkunjung ke
rumah nenek, dan sebagainya.
4. Kenalkan anak dengan aturan hidup bernuansa moral dan nilai-nilai agama, seperti
anjuran berbuat baik, menolong sesama manusia, membuang sampah pada tempatnya,
kewajiban melaksanakan sembahyang, berbakti kepada kedua orang tua, dan sebagainya.
5. Libatkan anak pada aktivitas moralis dan agamis bersama orang dewasa, seperti
menyantuni fakir miskin/orang tidak mampu, sembahyang, memimpin berdoa bersama
sebelum dan sesudah makan, berkunjung ke panti asuhan, dan sebagainya. dan
perasaannya; mengembangkan emosi (kesabaran, ketekunan dalam bekerja, toleransi,
setia kawan, dan kejujuran); life skill; dan kebutuhan pengembangan motorik, baik halus
maupun kasar.
DISONANSI MORAL PADA ANAK USIA DINI
Bentuk-bentuk disonansi moral yang mungkin terjadi di kalangan anak usia dini dapat dilihat di
bawah ini:
1) Terjadinya perubahan keinginan yang tidak sesuai dengan keinginan awal.
2) Fluktuasinya (naik-turun) semangat dalam mengikuti kegiatan rutin.
3) Gampang terpengaruh dengan sikap dan perilaku atau hasutan teman sebayanya.
4) Mudah meniru perkataan, perbuatan, atau kemauan yang dimunculkan oleh teman
sebayanya.
5) Belum dapat diharapkan mampu bersikap konsisten dalam bersikap.
Kegiatan Belajar 3
Pola Orientasi Moral pada
Anak Usia Dini

Orientasi moral, menurut Peter disamakan dengan moral position atau ketetapan
hati.

Moral position itu dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari
oleh dua landasan perhitungan/penilaian, yaitu cognitive motivation aspects dan
affective motivation aspects.
Cognitive motivation aspects adalah suatu perhitungan antisipatif dari seseorang
terhadap risiko yang mungkin muncul jika dirinya menentukan suatu hal.

Affective motivation aspects memiliki makna sebagai suatu perhitungan emosi


yang diakibatkan dari sebuah keputusan yang diambil seseorang
John Dewey, tahapan perkembangan moral seseorang itu akan melewati tiga
fase sebagai berikut.

1. Fase premoral atau preconventional: pada level ini sikap dan perilaku
manusia banyak dilandasi oleh impuls biologis dan sosial.

2. Tingkat konvensional: perkembangan moral manusia pada tahapan ini banyak


didasari oleh sikap kritis kelompoknya.

3. Autonomous: pada tahapan ini perkembangan moral manusia banyak dilandasi


pada pola pikirnya.
Piaget mengemukakan bahwa seorang manusia dalam kehidupannya akan
melalui rentangan perkembangan moral sebagai berikut:
a. Tahapan heteronomous memiliki makna bahwa seseorang pada saat awal
kehidupannya belum memiliki pendirian kuat dalam menentukan sikap dan
perilaku (usia 2-6 thn)
b. Tahapan autonomous, pada tahapan ini seorang anak manusia telah
memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan segala keputusan sikap dan
perilaku moralitasnya (usia 12 th)
Moralitas anak usia dini dan perkembangannya
dalam tataran kehidupan mereka dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Sikap dan Cara Berhubungan dengan Orang Lain (Sosialisasi)
2. Cara Berpakaian dan Berpenampilan
3. Sikap dan Kebiasaan Makan
4. Sikap dan Perilaku Anak yang Memperlancar Hubungannya dengan
Orang Lain
Pendidikan dan pengembangan moral anak ini, menurut Adler (1974),
bertujuan untuk pembentukan kepribadian yang harus dimiliki oleh
manusia. Hal itu dapat dilihat di bawah ini.
1. Dapat beradaptasi pada berbagai situasi dalam relasinya dengan
orang lain dan dalam hubungannya dengan berbagai kultur.
2. Selalu dapat memahami sesuatu yang berbeda dan menyadari
bahwa dirinya memiliki dasar pada identitas kulturnya.
3. Mampu menjaga batas yang tidak kaku, bertanggung jawab terhadap
bentuk batasan yang dipilihnya sesaat, dan terbuka pada perubahan.
Pengembangan moralitasnya, anak usia dini pada dasarnya masih
sangat memerlukan bantuan dalam beberapa hal, seperti
 Pembentukan karakter (formation of character),
 Pembentukan kepribadian (shaping of personality)
 Perkembangan sosial (social development).
Modul 2
KECERDASAN MORAL MENURUT AHLI
Kegiatan Belajar 1
Teori Kecerdasan Moral menurut Lickona

Pendidikan moral melalui pengembangan kepribadian merupakan


suatu proses pendidikan yang memerlukan dukungan dari berbagai
unsur, dimana unsur yang dimaksud adalah institusi keluarga, sekolah
ataupun lingkungan masyarakat.
Menurut Lickona, terdapat 11 prinsip agar pendidikan
karakter dapat berjalan efektif:

 Kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja


pendukungnya sebagai pondasi karakter yang baik.
 Definisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran,
perasaan, dan prilaku.
 Gunakan pendekatan yang komprehensif , disengaja, dan proaktif
dalam pengembangan karakter
 Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian.
 Beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.
 Buat kurikulum akademis yang bermakna, menantang yang
menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter,
serta membantu anak untuk berhasil.
 Usahakan mendorong motivasi diri anak
 Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral
yang berbagaii tanggungjawab dalam pendidikan karakter dan
upaya untuk mematuhi nilai-nilai intii yang sama dan yang
membimbing pendidikan anak.
 Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan
dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter.
 Libatkan keluarga dan anggota masyarakan sebagai mitra dalam
upaya pembangunan karakter.
 Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik
karakter, dan sejauh mana peserta didik memanifestasikan karakter
yang baik.
Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha
untuk menilai kemajuan, yaitu
1. Karakter sekolah : sampai sejauh mana sekolah mejadi
komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai.
2. Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter:
sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan
pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan
untuk mendorong pengembangan karakter.
3. Karakter anak : sejauh mana peserta didik
memanifestasikan pemahaman, komitmen dan tindakan
atas nilai-nilai etis inti
Peranan Guru dalam Meningkatkan kecerdasan Moral
berdasarkan Teori Lickona

Peran dan kedudukan guru dalam meningkatkan kecerdasan


moral anak dapat berbentuk sebagai model, programmer, dan
motivator yang baik. Menurut Lickona, prilaku moral, karakter
dan kepribadian manusia berwujud pada perbuatan manusia
sehari-hari.
Agar anak usia dini dapat berprilaku yang baik, dibutuhkan
standar model prilaku yang langsung mareka amati atau tiru.
Orang terdekat dalam kehidupan mereka tentunya, selain ibu
dan ayahnya, adalah guru.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peranan guru
pendidikan bagi anak usia dini dalam meningkatkan kecerdasan
moral adalah:

1. Sebagai model
Guru diambil dari suatu istilah “GU” = digugu (dipercaya) ucapannya dan
“RU” = ditiru (diikuti/dicontoh) perbuatannya. Artinya guru adalah figure
manusia yang harus dapat dipercaya dan baik prilakunya.

2. Sebagai Pembimbing
Fungsi dan peran pembimbing memiliki makna sebagai orang yang
memberikan arah, memandu, dan mendampingi anak dalam pelaksanaan
program pembiasaan
3. Sebagai pelatih
Guru harus memiliki ‘keahlian’ dalam prilaku dan perbuatan yang
positif.

4. Sebagai Motivator
Motivasi dalam proses pembentukan karakter ibarat senyawa yang
saling melengkapi. Tanpa adanya motivasi, sekuat apapun niat tentu
hanya akan seperti mimpi belaka, tanpa realita

5. Sebagai Penilai
Tingkat keprofesionalan seorang guru harus diwujudkan dalam bentuk
melakukan penilaian terhadap seluruh peserta didik.
Kegiatan belajar 2
Strategi dan Metode dalam Mengembangkan Kecerdasan
Moral Anak TK Menurut Lickona

Menurut Lickona (1991), ada 3 proses pembinaan yang


berkelanjutan, antara lain:

1. Moral Knowing
2. Moral Feeling
3. Moral Action
Ketika membahas masalah strategi dan metode pengembangan
moral, tentu hal itu berkaitan erat dengan pengembangan
beberapa kecerdasan yang turut memberikan kontribusi dalam
pembentukan perilaku dan moralitas manusia. Keempat
kecerdasan tersebut, antara lain:
1. Pengembangan kecerdasan emosional, sosial, spiritual,
dan kecerdasan kinestetik.
2. Pengembangan kecerdasan sosial.
3. Pengembangan kecerdasan spiritual.
4. Pengembangan kecerdasan kinestetik.
Di bawah ini adalah alternative metode yang dapat digunakan
saat melakukan program pengembangan moral anak,
khususnya pada usia dini, yang dikutip dari uraian SBB (Semai
Benih Bangsa) Indonesia Heritage Foundation.
A. Metode Pertama
B. Metode Kedua
A. Metode Pertama
Metode pembelajaran dengan pendekatan Heart Start dikembangkan
oleh Indonesia Heritage Foundation, yaitu mendirikan pendidikan karakter
secara sistematis selama 20 menit setiap pagi hari dengan menanamkan
9 pilar karakter, yaitu:
 Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya
 Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian.
 Kejujuran/amanah dan arif.
 Hormat dan santun.
 Dermawan, suka menolong, dan gotong royong/kerja sama.
 Percaya diri, kreatif, dan pekerja kelas.
 Kepemimpinan dan keadilan.
 Baik dan rendah hati.
 Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
B. Metode Kedua
SBB menerapkan character-based integrated curriculum system yang
terjalin dengan pendidikan sembilan pilar sesuai dengan aspek
perkembangan anak secara utuh dan patut (sosial emosi, kognitif, fisik,
dan moral/spiritual). Sentra-sentra tersebut, antara lain:
 Imajinasi.
 Rancang bangun.
 Seni kreasi.
 Eksplorasi.
 Kebun, ikan, dan ternak.
 Persiapan.
 Keimanan dan ketakwaan (optional).
Metode di atas (pertama dan kedua) diterapkan dengan
menggunakan metode student active learning, contextual
learning, joyful learning, developmentally appropriate practices,
dan whole language. Dengan ini diharapkan anak dapat
mengoptimalkan dan menyeimbangkan perkembangan head,
heart, and hand anak sehingga mereka dapat menjadi manusia
kreatif, mandiri, dan berpikir kritis.
Selain hal itu, tiga pilar penyelenggara pendidikan pun berperan
penting, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sebagai
upaya kerja sama dengan pihak orang tua, perlu juga diadakan
program co-parenting dalam rangka penerapan pendidikan
karakter di rumah (orang tua diberikan petunjuk khusus untuk
menerapkan setiap pilar beserta lembar evaluasi). Program co-
parenting dapat berwujud sistem piket giliran, yaitu setiap hari
ada dua orang tua murid yang membantu di kelas sehingga para
orang tua akan belajar bagaimana mendidik dan membangun
karakter anak, atau program lain yang disesuaikan dengan
kondisi sekolah di lingkungannya masing-masing.
THANKS

Anda mungkin juga menyukai