MODUL 1
KEGIATAN BELAJAR 1
B. TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA 3-4 TAHUN MENURUT PARA AHLI
Tahapan dapat disebut pola perkembangan moral anak yang dapat dilihat dari berbagai
tinjauan teoritis.
1. Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget
Anak berpikir tentang moralitas dalam dua tahap :
a. Cara/tahap pertama / moralitas heteronomus (heteronomous morality)
Terjadi pada anak 4-7 tahun. Pada tahap ini, anak menganggap keadilan dan
aturan sebagai sifat-sifat dunia (lingkungan) yang tidak berubah dan lepas dari
kendali manusia
b. Cara/tahap kedua / moralitas otonomus (autonomous morality)
Usia > 10 tahun, anak sudah menyadari bahwa aturan dan hukum itu diciptakan
oleh manusia serta telah menyadari
Perbedaan antara tahap 1 dan 2 adalah pada tahap heteronomus anak menimbang
perilaku benar dan baik dengan menimbangkan akibat dari perilaku bukan dari maksud
perilaku sedangkan pada otonomus melihat dari maksud perilakunya.
Contoh :
• Tahap Heteronomus : Memecahkan 5 piring secara tidak sengaja akan lebih jelek
daripada memecahkan 1 piring dengan sengaja.
• Tahap Otonomus : Memecahkan 5 piring tidak sengaja akan lebih baik dibanding
memecahkan 1 piring dengan sengaja hal tersebut karena memecahkan 5 piring
dilakukan secara tidak sengaja
Lebih lanjut, Fawzia menjelaskan bahwa pokok pertama yang terpenting dalam
pendidikan moral adalah menjadi pribadi yang bermoral. Dalam arti , seorang anak
dapat belajar apa yang diharapkan kelompok dari anggotanya.
3. Perkembangan Moral Menurut Thomas Lickona
Lickona (1991) menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada
tataran moral action, diperlukan 3 proses pembinaan yang berkelanjutan yaitu :
a. Moral knowing
b. Moral feeling
c. Moral action
C. TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA 5-6 TAHUN MENURUT PARA AHLI
1. Robert Coles, 2000:75
Pada awal-awal kehidupannya, seorang anak dibentuk oleh nilai-nilai orang dewasa.
Bahkan, sebelum seorang anak dilahirkan , orang tuanya sudah mengungkapkan nilai-
nilai mereka dengan cara yang akan mempengaruhi anak-anak mereka.
2. Abdullah Nasih Ulwan
Dalam bukunya Tarbiyatul Aulad Fil Islam menjelaskan bahwa salah satu aspek
tanggung jawab pendidik terhadap anak adalah tanggung jawab pendidikan sosial
termasuk mendidik anak agar peka dan kritis terhadap lingkungan berdasarkan nilai-
nilai illahiah.
3. Brewer (dalam Oskamp, 2000)
Menyatakan bahwa sesorang mampu mereferensikan dirinya pada berbagai identitas
relatif lebih toleran terhadap orang diluar dirinya, artinya seseorang yang menyadari
multiidentitas dirinya akan mampu bersikap toleran dan fleksibel terhadap perbedaan
yang dijumpainya.
4. Hasan (2000)
Bahwa pendidikan dasar dalam sistem pendidikan di Indonesia menitikberatkan pada
pengembangan kepribadian sehingga muatan multikultur menjadi penting.
D. PEMBAHASAN
Realisasi nyata keberadaan disonansi ini akan dapat menjadi pengetahuan
substansial bagi para orang tua dan guru bahwa sejak awal kehidupannya, memang
manusia telah memiliki potensi positif maupun negatif yang tertanam pada dirinya. Kedua
potensi itu berpacu dan saling mempengaruhi dalam proses pendidikan anak. Tugas kita
sebagai guru adalah bagaiman kita mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang
muncul dari diri anak.
Secara idealnya, peranan orang tua dan guru adalah pengontrol dan pengendali
perilaku dan sikap anak didik dalam proses pendidikan yang mereka jalani. Idealnya pula
anak mampu diarahkan pada kondisi kejiwaan yang banyak dikendalikan oleh dorongan
untuk mengingat, menaati, dan menentukan pilihan sikap pada hal-hal yang positif. Dengan
demikian, peran resonansilah yan patutu ditekankan dalam kegiatan pendidikan yang perlu
kita desain.
Menurut Sigmund Freud (dalam Fawzia, 196:27), kehidupan seseorang dikuasai
oleh energi mental dan psikisnya yang disebut libido, prinsip kesenangan dan prinsip
realitas.
2. Disonansi Personal
Muncul karena dorongan oleh hal-hal berikut ini:
a) Kebutuhan dan kepentingan diri
b) Ketergesaan dan keadaan darurat
c) Kekerabatan dan keluarga
d) Keyakinan diri dan mitos
e) Kebiasaan dan budaya
f) Tugas dan jabatan
g) Hasrat untuk sukses dan kesenangan
3. Disonansi Sosiopolitis
Muncul akibat ideologi, ras, kesukaan , nasionalisme dan sebagainya
4. Disoniasi Berdasarkan Bawaan Kemajuaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Pola
Modernisasi
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki implikasi ganda yang bersifat
positif dan negatif.
A. PENGERTIAN ISTILAH
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pola adalah sebagai bentuk
(struktur) yang tetap. Dari pola tersebut kita dapat membentuk berbagai model yang kita
kehendaki namun sebaiknya secara prinsip harus tetap berpedoman pada pola standar
awal yang kita lihat.
B. HAKIKAT PEMBAHASAN
Cognitive motivation aspects memiliki makna sebagai suatu perhitungan
antisipatif dari seseorang terhadap risiko yang mungkin muncul jika dirinya memnentukan
suatu hal . Sedangkan affective motivation aspects memiliki maksan sebagai suatu
perhitungan emosi yang diakibatkan dari sebuah keputusan yang diambil seseorang (Peter
dalam A.Kosasihn Djakhiri, 1996:47)
2. Menurut Piaget
Manusia dalam kehidupannya akan melalui rentangan perkembangan moral
sebagai berikut
Heteronomous Autonomous
2-6 tahun 12 tahun
a. Tahapan Heteronomous
Maknanya bahwa seseorang pada saat awal kehidupannya belum memiliki
pendirian kuat dalam menentukan sikap dan perilaku.
Contoh:
Seorang anak bingung menentukan pilihan keinginannya diantara dua penaruh
temannya.
b. Tahapan Autonomous
Seorang anak manusia telah memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan
segala keputusan sikap dan perilaku moralitasnya dimana moralitas tersebut
tercermin dari diriinya telah didasari oleh pendirian sendiri.
Berbagai cara dapat dilakukan oleh guru melalui berbagai program kegiatan yang
diberikan di lembaga PAUD, misal melalui cerita yang menarik.
4. Sikap dan Perilaku Anak yang Memperlancar Hubungannya dengan Orang Lain.
Banyak orang tidak menyadari bahwa sikap dan perilakunya merugikan orang
lain sehingga menghambat kelancaran hubungannya dengan orang lain. Hal ini pada
dasarnya diperngaruhi sikap egois dan acuh tak acuh terhadap kepentingan orang lain.
Sikap pendidik dalam menangani masalah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pendidik mampu bersikap lebih terbuka dalam memberi informasi dan
menanggapi pertanyaan anak
b. Pendidk harus lebih banyak melakukan pendekatan yang bersifat demokratis
dengan memberi peluang bagin anak untuk berdiskusi serta tetap
memperhatikan tata krama dan sopan santun.
c. Pendidk harus mampu menylami pikiran dan jiwa anak serta mencoba
menyamakan persepsi mereka agar dapat memberikan informasi sesuai dengan
kebutuhan dan daya tangkap anak.
Agar pendidikan moral dapat berjalan dengan baik, hal tersebut sangat dianjurkan
dilakukan pada kehidupan anak usia dini. Pembicaraan tentang pendidikan moralitas berkaitan
dengan pembentukan dan pendidikan karakter bangsa secara umum. Menurut Lickona dkk
(2007), terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif :
1. Kembangakan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi
karakter yang baik
2. Definisikan ‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku
3. Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter
4. Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian
5. Beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral
6. Buat kurikulum akademis yang bermakna, menantang, yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, serta membantu anak untuk berhasil
7. Usahakan mendorong motivasi diri anak
8. Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung
jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama dan
yang membimbing pendidik anak
9. Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi
inisiatif pendidikan karakter
10. Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan
karakter
11. Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana
peseta didik memanifestasikan karakter yang baik
A. PERANAN GURU DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN MORAL BERDASARKAN TEORI
LICKONA
Peran dan kedudukan guru dalam meningkatkan kecerdasan moral anak dapat
berbentuk sebagai model, programmer dan motivator yang baik. Menurut Lickona, perilaku
moral, karakter, dan kepribadian manusia berwujud pada perbuatan manusia sehari-hari.
Agar anak usia dini dapat dapat berperilaku baik dibutuhkan standar model perilaku yang
langsung mereka amati atau tiru. Orang terdekat dalam kehidupan mereka tentunya, selain
ibu dan ayahnya, adalah guru. Sangatlah naif apabila seorang guru tidak mempersiapkan diri
memiliki moral, sikap, perilaku, kepribadian, dan karakter yang dapat dijadikan standar
model bagi anak didiknya.
Barbara K.Given (2007) mengatakan bahwa antusias seorang guru pada saat mengajar
akan menular kepada peserta didik. Hal ini memiliki makna bahwa salah satu peranan guru
dalam proses pendidikan adalah motivator anak dalam belajar. Kedua sumber motivasi
sama-sama memberi pengaruh signifikan kepada setiap manusia dalam beraktivitas yang
berupa stimulasi dalam pembelajaran. Stimulasi yang dimaksud adalah keseriusan dalam
mengajar, ketekunan dalam mendidik, keikhlasan dalam membimbing, keajekan dalam
bersikap sebagai model dan ketulusan dalam membina anak-anak sampai target
pembentukan kepribadian mereka tercapai. Hal itu sangat perlu kita lakukan agar lahir anak
bangsa sebagai generasi penerus, sebagai pewaris perjuangan yang memiliki karakter andal
dan sebagai sumber daya manusia yang berkualitas.
Thomas Lickona seorang profesor pendidikan dari Cortland University
mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda zaman yang harus diwaspadai. Jika tanda-tanda
ini sudah ada berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang
dimasksud adalah
1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk
3. Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan
4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks
bebas
5. Semkain kaburnya pedoman moral baik dan buruk
6. Menurut etos kerja
7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
9. Membudayanya ketidakjujuran
10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di anatara sesama
Peran guru pendidikan bagi anak usia dini dalam meningkatkan kecerdasan moral
adalah model, pembimbing, pelatih, motivator, dan penilai perkembangan moralitas setiap
anak dalam didikannya.
1. Sebagai Model
Betapapun dunia dan kehidupannya saat ini telah banyak mengalami perubahan,
baik secara normatif maupun realistis, guru seyogianya tetaplah menjadi sosok yang
ideal (memiliki gagasan positif), konsisten (berperilaku sesuai dengan kepribadiannya),
komitmen (berprinsip setia kepada tugas pokok), dan kredibel (tepercaya). Sampai
kapan pun dunia ini akan berlangsung, peran dan fungsi guru tetap sangat diperlukan
dan dibutuhkan.
2. Sebagai Pembimbing
Fungsi dan peran pembimbing memiliki makna sebagai orang yang memberikan
arah, memandu, dan mendapingi anak dalam pelaksanaan program pembisaan. Pada
posisi ini, guru sebaiknya memperhatikan kualitas komunikatif yang efektif, meliputi
jarak antara anak dan guru (saat bersosialisasi jangan terlalu jauh), pola tatapan mata
(antara mata anak dan mata guru tidak membuat tatapan anak merasa terlalu tinggi
ketika menetapkan guru), dan selalu melontarkan kalimat-kalimat penyejuk serta kasih
sayang. Dengan pendekatan seperti ini, peranan guru sebagai pendamping akan mampu
memberikan manfaat nyata dan dapat dirasakan langsung oleh anak dalam
mengembangkan moralnya.
3. Sebagai Pelatih
Peran dan keberadaan gruu dapat berfungsi sebagai pelatih dalam kaitannya
dengan latihan pembiasaan berperilaku dan perbuatan positif. Guru diharapkan mampu
menjadi pemberi contoh nyata dalam bentuk perilaku dan perbuatan. Guru harus
memiliki ‘keahlian’ dalam berperilaku dan perbuatan yang positif. Guru juga harus
melengkapi dirinya sebagai pelatih berperilaku dan perbuatan positif dengan sifat dasar
dan konsisten. Sifat sabar dibutuhkan selama melatih peserta didik, terutama yang
membutuhkan perhatian khusus. Konsisten juga diperlukan untuk menjaga kredibilitas
(kepercayaan) guru dihadapkan peseta didik.
4. Sebagai Motivator
Pada posisinya sebagai motivator, guru seharusnya mendorong anak didik agar
memiliki semangat untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif, mendorong
munculnya ide atau gagasan positif sampai menjadi kenyataan. Salah satu upaya dalam
memotivasi para peserta didik adalah seyogianya anda tampil dalam kondisi semangat,
penuh kegigihan, dan menjaga motivasi anak didik dalam proses pembelajaran tetap
baik.
5. Sebagai Penilai
Peran guru dalam kedudukannya sebagai penilai perkembangan moral anak usia
dini menjadi tahapan startegis. Pada tahap inilah, anak-anak mulai diperkenalkan secara
terstruktur norma dan hakikat kehidupan bersosialisasi yang sesungguhnya. Proses
penilaian yang dimaksud memberi manfaat yang sangat baik untuk tindak lanjut proses
pendidikan selanjutnya. Dari hasil penilaian, kita akan mendapatkan berbagai informasi
terkait dengan perkembangan proses pendidikan khususnya catatan kemajuan tentang
moralitas anak didik kita.
MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 2
Lickona (1991) lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk mendiidk moral anak sampai pada
tataran moral action, diperlukan 3 proses pembinaan yang berkelanjutan yaitu ;
1. Moral knowing
2. Moral feeling
3. Moral action
Tahap awal moral knoeing dimana setiap manusia memerlukan pemahan tentang moral
sehingga manusia akan mengetahui berbagai aturan kehidupan yang baik ataupun yang buruk,
boleh dan tidak boleh, serta menganalisa dan mempertimbangkan berbagai masalah yang
berkaitan dengan moralitas manusia pada umumnya.
Membahas masalah strategi dan metode pengembangan moral berkaitan erat dengan
pengembangan beberapa kecerdasan yang turut memberikan kontribusi dalam pembentukan
perilaku dan moralitas manusia. Keempat kecerdasan tersebut adalah sebagai berikut;
1. Kecerdasan Emosional
Kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain,
serta mampu bekerja dengan orang lain.
2. Kecerdasan Sosial
Memiiki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja
sama, dan senang berbuat untuk menyenangkan orang lain.
3. Kecerdasan Spiritual
Kemampuan iman yang tangguh, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat
baik tanpa pamrih, disiplin, beribadah, sabar, ikhtiar, jujur dan pandai bersyukur serta
berterima kasih.
4. Kecerdasan Kinestetik
Menciptakan kepedulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani,
tumbuh dari rizki yang halal, mudah terenyuh untuk melakukan perbuatan menolong
sesama, terbiasa melakukan hal-hal baik dan sebagainya.
Berikut ini akan diuraikan salah satu contoh strategi dan metode yang dapat
dilaksanakan pada saat mengembangkan moral anak usia dini di sekolah :
A. METODE PERTAMA
Metode pembelajaran dengan pendekatan Heart Start dikembangkan oleh Indonesia
Herritage Foundation yaitu memberikan pendidikan karakter secara sistematik selama 20
menit setiap pagi hari dengan menanamkan sembilan pilar karakter. Hal tersebut
diwujudkan dalam nilai-nilai luhur universal berikut.
1. Cinta Tuuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian
3. Kejujuran / amanah dan arif
4. Hormat dan santun
5. Dermawan ,suka menolong, dan gotong royong/kerjasama
6. Percaya diri ,kreatif, dan pekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
B. METODE KEDUA
Metode kedua adalah mengintegrasikan proses pendidikan pilar-pilar karakter dalam
sentra-sentra. Sentra-sentra tersebut dapat dilihat berikut ini :
1. Imajinasi : kegiatan berfantasi dan berimajinasi untuk merangsang kreativitas
2. Rancang Bangun : berekplorasi dan bekerja dengan balok-balok kayu serta kegiatan
pertukangan.
3. Seni Kreasi : berkaitan dengan motorik halus dan kasar.
4. Ekplorasi :anak diajak dalam keasiyakan bekerja, bereksplorasi, dan bereksperimen
dengan laboratorium alam.
5. Kebun, ikan dan ternak : bereksplorasi dan berhubungan dengan tanaman, binatang
ternak, ikan.
6. Persiapan : mempersiapkan anak masuk ke jenjang SD dengan mengenalkan huruf dan
angka secara patut
7. Keimanan dan Ketawaan (optional): pengembangan moral spiritual.
Kedua metode ini diterapkan dengan menggunakan metode student active learning,
contexual learning, joyful learning, developmentally appropiate practices dan whole
language. Dengan cara ini, diharapkan anak-anak dapat mengoptimalkan dan
menyeimbangkan perkembangan head, heart and hand anak sehingga mereka dapat
menjadi manusia kreatif, mandiri dan berpikir kritis.
Salah satu program co-parenting adalah pembentukan karakter anak sejak dini yang
juga memerlukan pelaksanaan program serupa di rumah. Apabila pihak orang tua telah
memahami betapa pentingnya hal itu semua, tingkat keterlibatan dari pihak orang tua
dapat saja dikembangkan dalam berbagai bentuk partisipasi nyata untuk membantu
menyukseskan program pengembangan moral anak-anak. Program co-parenting dapat
berwujud sistem piket bergilitan yaitu setiap hari ada dua orang tua murid yang membantu
di kelas sehingga para orang tua akan belajar bagaimana mendidik dan membangun
karakter anak , atau program lain disesuaikan dengan kondisi sekolah di lingkungannya
masing-masing.