Anda di halaman 1dari 11

RESUME

PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA SEKOLAH DASAR

OLEH :

AMELIA WARDANA HASIBUAN : 22129009

CITRA ESKA NUGRAHA : 22129256

FAJRI AGUSTIO : 22129273

FEBRI ALFENDI : 22129283

GHANIA RAISA GULISTIAN : 22129291

Dosen Pengampu :

Dra. Rifda Eliyasni, M.Pd.

DEPARTEMEN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
A. Hakikat Perkembangan Moral
Secara etimologi kata moral berasal dari bahasa latin "mos" yang berarti kebiasaan,
adat istiadat, nilai, aturan. Moral memiliki arti sebagai tindakan atau perilaku antara
sesama manusia sebagai kelompok sosial yang saling berinteraksi dengan nilai-nilai
positif yang terkait di dalamnya. Perilaku moral pada anak dapat teratasi lewat konsep
moral yang ada. Konsep moral tersebut yakni atura mengenai tata cara bertingkah laku
yang sesuai dengan pola perilaku masyarakat sekitar. Sedangkan perilaku yang tidak
sesuai dengan dengan harapan sosial yang ada dinamakan dengan immoral.
Berikut beberapa pengertian moral menurut para ahli:
✓ Pengertian moral dalam kamus pisikologi (Chaplin, 2006): dituliskan bahwa
moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau
menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku.
✓ Pengertian moral dalam Hurlock (Edisi ke-6, 1990): mengatur bahwa perilaku
moral adalah perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Moral
sendiri berarti tatacara, kebiasaan, dan adat. Perilaku moral dikendalikan
konsep-konsep moral atau peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi
anggota suatu budaya.
✓ Pengertian moral menurut Webster new word dictionary (Wantah, 2005):
bahwa moral adalah suatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan
kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku.
Moral mengambil peranan penting terhadap terbentuknya jiwa seorang anak. beberapa
orang berpendapat bahwa moral yang dimiiki dapat mengendalikan perilaku pada anak
ketika anak beranjak dewasa. Anak-anak yang diajari moral sedari dini dapat mencegah
terjadinya perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ada.
Moral menjadi salah satu penyebab kenakalan yang terjadi pada anak usia remaja.
Kolhberg (1995) dan Piaget (1977) mengemukakan bahwa moral meliputi tiga
pengertian yang berbeda satu sama lain yaitu:
1. Pandangan moralyaitu pendapat atau pertimbangan seseorang
2. Tingkah laku moraladalah tindakan yang sesuai dengan aturan
3. Perasaan moral adalah perasaan yang timbul pada diri individu setelah ia
mengambil bertingkah laku bermoral atau tidak.

2
Sehingga moral dapat dimaknai sebagai:
1. Prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2. Kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah.
3. Ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.
Moral juga dapat dikatakan alat kontrol untuk berbuat dan bertingkah laku dalam
berbagai situasi. Misalnya dalam pengamalan nilai hidup maka perilaku seseorang akan
selalu memperhatikan perasaan orang lain. Nilai-nilai hidup yang berlaku dalam suatu
masyarakat menyangkut persoalan baik dan buruk. Perkembangan moral seseorang
akan ditentukan oleh lingkungan di mana ia berada, watak atau kemampuan untuk
bertindak.
B. Perkembangan Moral Anak
Pendidikan moral pada anak diperlukan untuk mengontrol kondisi sosial dan
pengaktualisasian diri. Pembentukan moral pada anak dapat dijadikan sebagai salah
satu tujuan dari pendidikan formal. Tidak hanya itu, masyarakat sadar bahwa mereka
memainkan peran penting dalam melatih norma-norma moral dan sosial pada anak.
Hurlock (1978: 75-77) mengatakan bahwa terdapat empat pokok yang berperan dalam
membentuk pribadi anak bermoral, yaitu sebagai berikut:
1. Peran hukum, kebiasaan, dan peraturan dalam perkembangan moral. Hukum
berperan memaksa masyarakat berperilaku moral. Orang tua, guru, dan orang
dewasa lainnya bertanggung jawab membimbing anak menyesuaikan diri sesuai
dengan hukum, kebiasaan, dan peraturan yang telah disepakati masyarakat
lingkungan tempat tinggal.
2. Peran hati nurani dalam perkembangan moral. Anak dilahirkan sudah memiliki hati
nurani sebagai kendali internal bagi individu. Hati nurani merupakan kemampuan
untuk mengetahui benar atau salah.
3. Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan moral. Mengembangkan
sikap rasa bersalah dan rasa malu pada anak berperan membentuk perilaku moral.
Perasaan bersalah dapat dijadikan evaluasi diri agar anak diterima oleh masyarakat.
Rasa malu karena sudah melakukan kesalahan berdampak pada anak untuk memilih
berperilaku sesuai dengan standar yang berlaku di masyarakat.

3
4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral. Kesempatan berinteraksi dengan
masyarakat berperan mengembangkan moral anak. Dengan berinteraksi anak
belajar mengetahui yang benar dan salah, mengetahui standar yang berlaku di
masyarakat. Dengan demikian anak akan menyesuaikan diri berperilaku sesuai
dengan harapan masyarakat, agar diterima sebagai bagian dari masyarakat tersebut.
Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget
Ketika menganalisis gejala perkembangan moral anak, Piaget memfokuskan diri pada
aspek cara berpikir anak tentang isu-isu moral. Cara yang dilakukannya adalah
mengamati dan mewawancarai kelompok anak usia 4-12 tahun yang terlibat dalam
suatu permainan. Ia mempelajari bagaimana anak-anak itu menggunakan dan
memandang aturan yang ada dalam permainan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada mereka berkisar tentang isu-isu moral, seperti pencurian, berbohong,
hukuman, dan keadilan.
Dari studi tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak berpikir tentang moralitas dalam
dua tahap. Hal ini tergantung pada tingkat perkembangannya. Cara/tahap yang pertama
adalah tahap moralitas heteronomus (heteronomous morality) yang terjadi pada anak
berusia 4 sampai 7 tahun. Pada tahap perkembangan moral ini, anak menganggap
keadilan dan aturan sebagai sifat-sifat dunia (lingkungan) yang tidak berubah dan lepas
dari kendali manusia. Cara/tahap yang kedua (sekitar usia 10 tahun ke atas), anak sudah
menyadari bahwa aturan-aturan dan hukum itu diciptakan oleh manusia. Anak yang
berpikir moral pada tahap ini juga sudah menyadari bahwa dalam menilai suatu
tindakan seseorang, harus dipertimbangkan maksud si pelaku dan juga akibat-
akibatnya. Pola pemikiran moral tahap ini oleh Piaget diistilahkan dengan moralitas
otonomus (autonomous morality)
Secara lebih terinci, perbedaan antara dua tahap perkembangan moral tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap heteronomous, anak menimbang perilaku benar
dan baik dengan menimbang akibat dari perilaku itu, bukan dari maksud pelaku.
Misalnya, anak yang berada pada tahap ini akan mengatakan bahwa memecahkan lima
piring secara tidak sengaja akan lebih jelek daripada memecahkan satu piring dengan
sengaja. Namun, bagi anak yang berpikir moral otonomus, yang lebih baik itu adalah
yang memecahkan lima piring karena hal itu dilakukan secara tidak sengaja. Dengan

4
demikian, bagi anak yang berpikir moral otonomus, maksud atau niat pelaku yang ada
di balik tindakannya dipandang lebih penting daripada akibatnya.
Anak-anak yang berpikir moral heteronomus juga meyakini bahwa aturan-aturan itu
ditentukan oleh para pemegang otoritas yang memiliki kekuatan sehingga tidak dapat
diubah. Mereka berpendapat bahwa aturanaturan itu selalu sama dan tidak dapat
diubah. Sebaliknya, kelompok anak yang berpikir otonomus memandang bahwa
aturan-aturan itu hanya berupa kesepakatan belaka. Mereka menganggap bahwa aturan-
aturan itu merupakan kesepakatan sosial atau kelompok yang dapat diubah melalui
konsensus.
Selanjutnya, anak yang berpikir heteronomus juga meyakini keadilan sebagai sesuatu
yang tetap ada. Piaget mengistilahkannya dengan immanent justice, yaitu jika aturan
dilanggar, hukuman akan ditimpakan segera. Anak yang berpikir heteronomus
meyakini bahwa kejahatan secara otomatis terkait dengan hukuman. Sebaliknya, anak
yang berpikir otonomus menganggap hukuman sebagai alat sosial yang bisa dialami
dan bisa pula tidak. Ini tergantung pada kondisinya.
Piaget berpendapat bahwa saat anak-anak berkembang, mereka mengalami kemajuan
dalam pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Dia meyakini bahwa pemahaman
sosial ini muncul melalui interaksi atau saling menerima dan memberi dalam hubungan
teman sebaya. Dalam kelompok teman sebaya, anak-anak memiliki kekuatan dan status
yang sama. Mereka secara leluasa dapat saling memberi masukan dan bernegosiasi
dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul. Pengalaman tentu merupakan
kondisi yang kondusif bagi pengembangan moral anak.
Pada jenis ini kohlberg dalam Fatimah (2019) mengutarakan tiga tahap
perkembangan moral, yaitu sebagai berikut:
1. Prakonvensional
Berisi aturan moral yang ditetapkan berlandaskan kekuasaan. Anak tidak
melanggar aturan moral karena terintimidasi oleh ancaman atau hukuman dari
empunya kekuasaan. Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap:
a. Tahap kepatuhan dan hukuman

5
Di tahap ini anak sekadar mengetahui bahwa hukum yang telah ditetapkan oleh
pemilik kekuasaan tidak bisa diganggu gugat. Anak diharuskan untuk menaati
aturan yang telah ditetapkan agar terhindar dari hukuman
b. Tahap pertukaran dan individualism
Anak mulai menyadari bahwa setiap kejadian bergantung pada kebutuhan dan
kesenangan seseorang Anak-anak pada tahap ini menjelaskan sudut pandang
terhadap seseorang dan menilai tindakan tersebut berdasarkan cara mereka
melayani kebutuhan seseorang tersebut.
2. Moralitas Konvensional
Pada tingkat ini anak manaati aturan yang telah ditetapkan bersama dengan
kelompoknya supaya dapat diterima di dalam kelompoknya. Pada tingkatan ini juga
terdiri atas dua tahap, yaitu:
a. Pengenalan tentang ciri anak yang baik.
Dimulai dengan anak yang menunjukkan arah perilaku yang dicap baik atau
tidak baik oleh orang sekitar. Standar perbuatan yang dikatakan baik yaitu
apabila sikap atau perilaku bisa diterima oleh orang lain.
b. Menjaga norma otoritas dan ketertiban sosial.
Pada tahap ini anak mulai menganggap perilaku yang baik dan benar dilakukan
tidak sekedar untuk bisa diterima oleh lingkungan masyarakat, namun berfokus
juga kepada menjaga ketertiban dan hukum agar dapat ikut mempertahankan
aturan yang berlaku sebagai wujud kewajiban dalam menegakkan norma yang
berlaku.
3. Moralitas Pascakonvensional
Tingkatan ini menjukkan bahwa anak memenuhi aturan yang berlaku dikarenakan
takut pada hukuman yang timbul dalam hatinya bila melanggar aturan yang ada.
Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap:
a. Tahap kontrak sosial dan hak perorangan
Anak mulai menimbang hubungan yang saling bersambutan antara individu
dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Mulai dengan memperhitungkan
perbedaan nilai, pendapat, dan kepercayaan orang lain.
b. Tahap universal

6
Pada tahap ini ada nilai-nilai moral yang sudah dikenal secara luas sebagai
landasan penentu suatu perilaku yang bersinggungan dengan etiket yang ada.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral Anak
Cara belajar sosial dapat mempengaruhi perilaku moral pada anak. Proses pemberian
reward dan punishment berfungsi untuk menjelaskan perilaku moral pada anak. Anak
yang menunjukkan perilaku sesuai aturan dan menaati perjanjian dapat diberikan
reward berupa hadiah yang akan membuatnya mengulangi perilaku tersebut. Namun
apabila anak tidak menaati aturan ataupun perjanjian tersebut, maka anak diberi sanksi
atas perilaku tidak bermoral yang telah ia lakukan. Hukuman atau sanksi memberikan
efek yang berbeda, oleh karena itu hukuman yang diberikan haruslah hukuman yang
bijaksana. Bukan kekerasan fisik atau menjatuhkan mental anak, tetapi hukuman yang
mampu menyadarkan (Amrah, 2013).
Hurlock (1980) berpendapat bahwa ada beberapa faktor penting yang berpengaruh
terhadap perkembangan moral anak. Pertama, keterampilan untuk menilai bagus atau
tidaknya perilaku apabila anak diperlihatkan pada suatu kejadian yang membutuhkan
pengambilan keputusan; Kedua, perasaan bersalah dan malu yang timbul saat
bertingkah laku tidak seperti yang diinginkan; Ketiga, karakter hubungan sosial ketikan
membuat kesepakatan terhadap anak agar dapat mengaplikasikan batasan sikap yang
diperbolehkan oleh orang-orang di lingkungan sekitarnya (Maharani, 2014).
Berns (2004) mengatakan bahwa terdapat tiga konteks yang berdampak atas
pertumbuhan perangai seorang individu diantarannya yaitu: situasi, individu, dan
social. Berikut ini uraiannya:
1. Situasi
Konteks situasi terdiri atas karakteristik jalinan antara seseorang dengan sekitarnya.
Hal itu berupa ketakutan saat ada individu lain yang mengamati atau pernah
mengalami pengalaman yang serupa.
2. Konteks individu
Terdapat beberapa konteks yang ada pada individu. Pertama, perilaku bawaan
(tempramen) yaitu sifat asli individu yang rentan timbul karena berbagai
pengalaman dan kemampuan bereaksi pada saat melakukan interaksi sosial. Kedua,
pengontrolan diri yaitu kemampuan untuk menahan diri terhadap emosi yang buruk

7
dan kecendrungan bertingkah laku negatif. Ketiga, harkat martabat diri yaitu disaat
anak berusia dibawah lima tahun, nilai yang ada dalam diri seorang anak belum
mendapatkan pengakuan secara nyata. Anak menentukan nilai atas kemampuannya,
tetapi belum bisa untuk mengetahui arti yang dimiliki dari nilai tersebut.
Keempat, umur dan kecerdasan yaitu berupa logika moral yang meningkat seiring
bertambahnya usia. Kelima, pendidikan yaitu berupa pendidikan anak yang
bermanfaat untuk mengembangkan pemikiran kritis melalui diskusi. Anak yang
biasa mendapatkan peluang untuk berbicara akan sangat membantu menaikkan
status moral, Keenam, hubungan interaksi sosial. Interaksi antara anak dengan yang
lain memungkinkan adanya komunikasi terbuka. Banyak peneliti mempercayai
moral dapat berkembang karena adanya hubungan sosial. Ketujuh, Emosi. Menurut
Jerome Kagan seseorang lebih cenderung termotivasi untuk bermoralitas ketika
kondisi emosinya positif dibanding saat perasaan tidak menyenangkan.
3. Konteks sosial
Ada beberapa pengaruh yang didapatkan dari konteks sosial, di antaranya; Pertama,
keluarga; Pembentukan moral anak berpengaruh dengan kondisi rumah atau
keluarga. Sifat moralitas dibentuk berlandaskan cinta, kasih sayang dari kedua
orang tua terhadap anak. Orang tua yang responsif dapat meningkatkan kematangan
pada anak, begitu sebaliknya. Apabila orang tua cenderung untuk tidak responsif
(cuek) maka kematangan moral pada anak dapat terganggu. Kedua, teman
sepergaulan; Anak yang mendapatkan keleluasaan dalam bergaul dengan teman
sebayanya akan lebih meningkatkan perilaku moral. Ketiga, sekolah; Sekolah dapat
mendorong perkembangan moral anak melalui pembelajaran dan staf pendidik.
Keempat, media masa; pengaruh media masa sangat terasa pada perkembangan
moralitas anak. Anak dengan mudah melakukan identifikasi melalui televisi yang
akhirnya akan mengadopsi sifat dan perilaku tokoh yang membuat anak meniru
perilaku tokoh tersebut. Kelima, masyarakat; Banyak ahli yang percaya,
perkembangan moral ditularkan oleh pandangan budaya masyarakat. Anak
mempelajari cara beretika secara alami dalam keluarga yang mengalir diantarannya
paham paham kebudayaan atau tradisi budaya yang dianut oleh keluarga.
D. Upaya yang Dilakukan Guru dalam Pengembangan Moral Anak

8
Tenaga pendidik memegang peranan dalam mendidik karakter anak. Guru merupakan
tokoh yang memberikan pembelajaran kepada anak, sedangkan sekolah merupakan
sumber dari pembelajaran moral yang di dapat secara tidak langsung. Lingkungan
sosial yang ada di sekolah dan perilaku kebiasaan guru dapat memberikan pengaruh
terhadap moral yang dimiliki anak. Anak yang bersekolah di sekolah terpadu yang
memiliki penghayatan moral yang tinggi dapat lebih mudah untuk memupuk nilai-nilai
moral disbanding dengan anak yang bersekolah di lingkungan yang sebaliknya.
Guru tidak hanya bertugas mengubah anak menjadi pintar namun juga mengajarkan
nilai-nilai moral membentuk mereka menjadi pribadi yang memiliki tanggung jawab
atas diri sendiri, orang sekitar dan yang paling utama kepada Yang Maha Kuasa.
Terdapat beberapa tugas yang harus dijalankan guru dalam pengembangan moral pada
anak yaitu sebagai cermin, pembimbing moral dan nilai-nilai keagamaan pada anak,
pelatih, pemberi motivasi, dan evaluator (Sukmawati, 2015).
1. Sebagai cermin
Guru adalah panutan yang dapat dipercaya serta mempunyai perilaku yang baik.
Peran guru di sekolah selain sebagai tenaga pengajar namun juga sebagai orang tua
kedua untuk anak Pada saat di sekolah, guru mempunyai tugas sebagai pendidik
untuk anak. Guru harus mampu menarik simpati dan menjadi idola oleh
muridnya.Anak sangat mudah sekali untuk meniru orang dewasa di sekitarnya.
Guru yang baik dapat mencerminkan moral yang baik kepada anak.
2. Pembimbing moral dan nilai-nilai keagamaan pada anak
Kebiasaan hidup yang mengarah kepada kesesuaian norma kehidupan tidak akan
mengalami banyak kendala. Guru sebagai pemberi arahan kepada anak. Karena
secara naluriah anak-anak membutuhkan pembimbing. Kondisi yang masih kanak-
kanak membuat mereka berada pada tahap scaffolding, yaitu keadaan dimana anak
masih bersikap, berperilaku, dan berkegiatan bergantung pada arahan orang
dewasa.
3. Pelatih
Anak merupakan figur yang memerlukan bimbingan, repetisi, dan koreksi atas
perilaku yang dilakukan. Apapun yang diarahkan, dikerjakan, dan dilayangkan oleh

9
tenaga pendidik (guru) bersifat membimbing dan mewariskan keyakinan mendalam
atas kehidupan anak.
4. Pemberi motivasi (motivator)
Guru berperan sebagai pemberi semangat dan stimulus kepada anak didik supaya
mempunyai semangat dalam menjalankan aktivitas positif. Member motivasi
kepada anak sangat penting dilakukan untuk meningkatkan semangat anak dalam
belajar.
5. Sebagai evaluator
Dalam program pendidikan terdapat evaluasi akhir yang berfungsi mengetahui
tingkat keberhasilan suatu program pendidikan. Pada titik ini guru berperan sebagai
evaluator anak. Apabila anak melakukan kesalahan dalam berperilaku di dalam
kelas maupun sekolah guru akan mengarahkan dan mengupayakan program
perbaikan sikap.

10
DARTAR PUSTAKA

Eliyasni, Rifda, Rahmatina, dan Habibi. (2020). Perkembangan Belajar Peserta Didik. Malang:
Literasi Nusantara.

Huliyah, Muhiyatul. (2021). Strategi Pengembangan Moral dan Karakter Anak Usia Dini.
Yogyakarta: Jejak Pustaka.

BAB ll TINJAUAN UMUM TENTANG MORAL, REMAJA, KELUARGA DAN HUBUNGAN


MORAL DALAM HUKUM ISLAM. (n.d.). Retrieved Oktober 31, 2022, from
repository.radenfatah.ac.id: http://repository.radenfatah.ac.id/16926/2/BAB%20ll.pdf

Hidayat, O. S. (n.d.). Hakikat Perkembangan Moralitas Anak Usia Dini. Retrieved Oktober 31,
2022, from pustaka.ut.ac.id: https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-
content/uploads/pdfmk/PAUD4102-M1.pdf

11

Anda mungkin juga menyukai