Anda di halaman 1dari 20

CRITICAL JURNAL REVIEW

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

OLEH :

NAMA : DANIEL THOMSON PURBA

NIM : 4183121045

KELAS : FISIKA DIK A 2018

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2018
JURNAL I
A. Latar Belakang Teori Dan Tujuan Penelitian

Pengertian Moral, Sikap dan Nilai Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata
cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode
moral kelompok sosial, yang dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan
konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu
budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh
anggota kelompok. Menurut piaget (Sinolungan, 1997), hakikat moralitas adalah
kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg (Gunarsa,
1985) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapi
sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari. Disamping perilaku moral
ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena
sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang adanya perasaan wajib
menyesuaikan diri, serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu perilaku yang tidak sesuai
dengan harapan sosial karena ketidakacuhan atau pelanggaran terhadap standar kelompok
sosial. Sikap adalah perilaku yang berisi pendapat tentang sesuatu. Dalam sikap positif tersirat
sistem nilai yang dipercayai 105 atau diyakini kebenarannya. Nilai adalah suatu yang
diyakini, dipercaya, dan dirasakan serta diwujudkan dalam sikap atau perilak. Biasanya, nilai
bermuatan pegalaman emosional masa lalu yang mewarnai cita-cita seseorang, kelompok atau
masyarakat. Moral merupakan wujud abstrak dari nilai-nilai, dan tampilan secara
nyata/kongkret dalam perilaku terbuka yang dapat diamati. Sikap moral muncul dalam
praktek moral dengan kategori positif/menerima, netral, atau negatif/menolak.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian ini dilakukan dengan deskriftif kualitatif, dalam tulisan ini peneliti
menggunakan studi pustaka atau menggali data dari Library Research untuk memperkaya
khasanah keilmuan bimbingan dan konseling.

C. Hasil dan Pembahasan

Anak yang bersikap positif atau menerima nilai-nilai moral, diekspresiakan dalam
perilaku yang bersimpati dalam berinteraksi dengan nilai dan orang disekitarnya, seperti
mau menerima, mendukung, peduli, dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok. Sikap
moral yang netral diekspresikan dalam perilaku sikap tidak memihak (mendukung atau
menolak) terhadap nilai yang ada di masyarakat. Sikap moral yang negatif diekspresikan
dalam perilaku menolak yang diwarnai emosi dan sikap negatif seperti kecewa, kesal,
marah, benci, bermusuhan, dan menentang, terhadap nilai moral yang ada di masyarakat.

Nilai adalah suatu yang diyakini, dipercayai, dirasakan dan diwujudkan dalam
sikap/perilaku.

1. Doktrin dan Dogma Nilai-nilai moral yang dihormati masyarakat menjadi pandangan
hidup/pedoman umum untuk perilaku tiap warga. Pedoman umum muncul sebagai
doktrin/dogma suatu kelompok. Doktrin dari suatu ideologi adalah nilainilai berupa
pendapat yang lama dikaji, dialami, deterima suatu kelompok serta diperjuangkan untuk
diwujudkan dalam masyarakat. Dogma adalah patokan nilainilai agama yang
dipercaya/diyakini dan diupayakan perwujudannya oleh warganya dalam masyarakat.
2. Sikap dan Kategori Moral Sikap warga terhadap suatu hal muncul dalam praktek moral
dengan kategori positif/ menerima, netral, negatif/ menolak. Manusia bersikap positif
terhadap hal yang memberi kepuasan pada pemenuhan kebutuhan juga pencapaian cita-
cita sesuai tujuan hidup, sikap positf muncul dalam perilaku asosiatif, akomodatif,
integratif dan konstruktif. Juga mungkin bersikap netral yaitu tak mendukung juga tidak
menolak. Hal-hal yang mengecewakan menumbuhkan emosi dan sikap negatif. Sikap
negatif terwujud dalam perilaku yang mewarnai rasa jengkel, kecewa, benci, marah, atau
bermusuhan.

3. Perilaku bermoral dan perubahan Dalam perilaku bermoral didalamnya terdapat nilai-
nilai yang dianut. Ini menunjukkan apa yang baik, benar, patut serta seharusnya terjadi.
Jika terjadi peringatan, pembuatan janji, memulai serta maksud membela diri menyatakan
penyesalan/ menggambarkan suatu harapan. Sikap moral sebagian besar diteruskan dari
generasi ke generasi, penampilan sikap dapat mengalami perubahan sejalan dengan
perkembangan kepribadian yang mewarnai perilaku seseorang. Ia aktif dan selektif
membentuk sikap untuk berperilaku bermoral dalam lingkungannya. Dalam
perkembangan kepribadian seseorang mungkin bersikap mempertahankan nilai-nilai lama
(konservatif)/ 106 mengasimilasai perubahan kearah kemajuan (progresif). Hal-hal ini
menjadi prinsip moral selaku pedoman yang mewarnai/ mendominasai perilakunya.
Dalam mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, piaget
(sinolungun, 1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajian
pada aturan dalam permainan anak.

Piaget membagi pekembangan menjadi 3 fase yaitu:

(1) Fase absolut. anak menghayati peraturan sebagai suatu hal yang dapat diubah, karena
berasal dari otoritas yang dihormatinya. Disini peraturan sebagai moral adalah obyek
eksternal yang tidak boleh diubah.

(2) Fase realitas anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain.
Peraturan dianggap dapat diubah, karena berasal dari perumusan bersama. Mereka
menyetujui perubahan yang jujur dan disetujui bersama, serta merasa bertanggung jawab
menaatinya.

(3) Fase subyektif anak memperhatikan motif/kesengajaan dalam penilaian perilaku.


Perkembangan moral dipengaruhi upaya membebaskan diri dari ketergantungan pada
orang tua, meningkatkan interaksi dengan sesama dan berkontak dengan pandangan lain.
Dengan interaksi yang bertambah luas anak makin mampu memahami pandangan orang
lain dan berbagi aturan untuk kehidupan bermoral dalam kebersamaan.

Dalam kategori perkembangan moral, kohlberg (gunarsa, 1985) mengemukakan tiga


tingkat dengan enam tahap perkembangan moral:

1. Tingkat 1: Prakonvensional Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat
berdasarkan otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karena takut ancaman atau
hukuman dari otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap:

(1) tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman pada tahap ini anak hanya
mengetahui bahwa aturanaturan ini ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa
diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman,
(2) tahap relativistik hedonosme pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak
tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang
memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi
yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).

2. Tingkat 2: Konvensional Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama
agar diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap:

(1) tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai
memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain
atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat
diterima oleh orang lain atau masyarakat.

(2) tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak
menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan
masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan
dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk
melaksanakan aturan yang ada.

3. Tingkat 3: pasca konvensional. Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk
menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap:

(1) tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada
tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan
masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya
dalam menjaga keserasian 107 hidup masyarakat,

(2) tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif
ada juga norma etik (baik/ buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai sumber
menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.

Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget


menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang
diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi
juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui
interaksi sosial anak dengan lingkungannya. Selain teori perkembangan moral, dalam
mempelajari pola perkembangan moral yang berkaitan dengan ketaatan akan suatu aturan
yang berlaku universal, perlu dibahas mengenai disiplin. Disiplin berasal dari kata
”disciple” yang berarti seseorang yang belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang
pemimpin. Disiplin diperlukan untuk membentuk perilaku yang sesuai dengan aturan dan
peran yang ditetapkan dalam kelompok budaya tempat orang tersebut menjalani
kehidupan. Melalui disiplin, anak belajar untuk bersikap dan berperilaku yang baik seperti
yang diharapkan oleh masyarakat lingkungan. Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter
melalui pengendalian perilaku dengan menggunakan hubungan. Secara permisif/
laissezfaire melalui kebebasan yang diberikan kepada anak tanpa adanya hukuman atau
secara demokratis melalui penjelasan, diskusi, dan penalaran mengani peraturan yang
berlaku. Menerapkan Pendisiplinan pada Anak:

1. Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut: Peraturan sebagai pola
yang ditetapkan untuk perilaku dimana anak hidup. Mempunyai nilai pendidikan tentang
arah yang harus diikuti dan ditaati anak dan juga membantu mengekang perilaku yang
tidak diinginkan.
2. Hukuman diberlakukan apabila anak melakukan kesalahan ataupun bertindak yang
tidak sesuai dengan nilai/ norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukuman yang
menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan, mendidik
anak untuk belajar dari pengalaman dan memotivasi anak untuk menghindari perilaku
yang tidak diterima oleh masyarakat.

3. Penghargaan diberikan apabila anak melakukan sesuatu dengan nilai atau norma yang
berlaku, mendidik anak dan memotivasi anak mengulangi perilaku yang baik dan benar
sesuai harapan masyarakat.

4. Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin sehingga tidak
membingungkan anak dalam memperlajari sesuatu yang benar/ salah, baik/ buruk.
Disiplin bermanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap perilaku, menimbulkan
kepekaan akan sikap perilaku yang baik, benar, dan adil serta mempengaruhi kepribadian
anak dimana sikap perilaku disiplin merupakan bagian yang terinternalisasi pada anak
secara keseluruhan.

Anak dilahirkan tanpa moral (imoral) sikap moral untuk berperilaku sesuai nilainilai luhur
dalam masyarakat belum dikenalnya. Intervensi terprogram melalui pendidikan, serta
lingkungan sosial budaya, mempengaruhi perkembangan struktur kepribadian bermuatan
moral. Ini dialami dalam keluarga bersama teman sebaya dan rekan-rekan sependidikan,
kawan sekerja/kegiatan ditengah lingkungan. Berikut ini faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan moral:

1. Perubahan dalam lingkungan, Perubahan dan kemajuan dalam berbagai bidang


membawa pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat ditengah perubahan dapat
terjadi kemajuan/kemrosotan moral. Perbedaan perilaku moral individu sebagian adalah
dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai masyarakatnya. Lingkungan
memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan perkembangan moral
secara berkondisi.

2. Struktur kepribadian, Psiko analisa (Freud) menggambarkan perkembangan kepribadian


termasuk moral. Dimulai dengan sistem ID, selaku aspek biologis yang irasional dan tak
disadari. Diikuti aspek psikologis yaitu subsistemego yang rasional dan sadar. Kemudian
pembentukan superego sebagai aspek sosial yang berisi sistem nilai dan moral
masyarakat.

Ketiga subsistem kepribadian tersebut mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku


individu. Ketidakserasian antara subsistem kepribadian, berakibat seseorang sukar
menyesuaikan diri, merasa tak puas dan cemas serta bersikap/berperilaku menyimpang.
Sedang keserasian antara subsistem kepribadian dalam perkembangan moral akan
berpuncak pada efektifnya kata hati (superego) menampilakan watak/perilaku bermoral
seseorang. Ada sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak
(Hurlock, 1990).

(1) Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah
apabila anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas
tindakan yang harus dilakukan.

(2) Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti
yang diharapkan dan melanggar aturan.
(3) Peran interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari
dan menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan
dalam pergaulan dengan orang lain

Menurut kohlberg ada 3 tahap perkembangan moral yaitu:

(1) Tahap prokonvensional, dimana aturan berisi ukuran moral yang dibuat otoritas pada
tahap perkembangan ini anak tidak akan melanggar aturan karena takut ancaman hukuman
dari otoritas. (2) Tahap konvensional, anak mematuhi aturan yang dibuat bersama, agar ia
diterima dalam kelompok sebaya/oleh otoritasnya.

(3) Tahap pascakonvensional, anak menaati aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.

Menurut J. Bull perkembangan moral dibagi menjadi 3 yaitu:

(1) Tahap anomi, ketidakmampuan moral bayi. Moral bayi barulah suatu potensi yang siap
dikembangkan dalam lingkungan.

(2) Tahap heteronomi, dimana moral yang berpotensial dipacu berkembang orang lain/otoritas
melalui aturan dan kedisiplinan.

(3) Tahap sosionomi, dimana moral berkembang ditengah sebaya/dalam masyarakat, mereka
lebih menaati aturan kelompok dari pada aturan otoritas.

(4) Tahap otonomi, moral yang mengisi dan mengendalikan kata hati serta kemampuan
bebasnya untuk berperilaku tanpa tekanan lingkungan.

Sikap dan perilaku moral dapat dipelajari dengan cara berikut:

(1) Belajar melalui cob/ ralat (tryal and error). Anak mencoba belajar mengatahui apakah
perilakunya sudah memenuhi standart sosial dan persetujuan sosial atau belum. Bila belum,
maka anak dapat mencoba lagi sampai suatu ketika secara kebetulan dapat berperilaku sesuai
dengan yang diharapkan.

(2) Pendidikan langsung yang dilakukan dengan cara anak belajar memberi reaksi tertentu
secara tepat dalam situasi tertentu, serta dilakukan dengan cara memenuhi peraturan yang
berlaku dalam keluarga, 109 sekolah, maupun masyarakat sekitar.

(3) Identifikasi dengan orang yang dikaguminya. Cara ini biasanya dilakukan secara tidak
sadar dan tanpa tekanan dari orang lain. Yang penting ada teladan dari orang yang
diidentifikasikan untuk ditiru perilakunya.

Pendidikan saat ini umunya mempersiapkan peserta didik memilki banyak pengetahuan, tetapi
tidak tahu cara memecahkan masalah tertentu yang dihadapai dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari. Pendidikan lebih mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang pandai
dan cerdas, tetapi kurang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang baik.
Masalah berkenaan dengan baik dan buruk menjadi kajian bidang moral. Demikian juga
dalam mengembangkan aspek moral peserta didik berarti bagaimana cara membantu peserta
didik untuk menjadi anak yang baik, yang mengetahui dan berperilaku atau bersikap berbuat
baik dan benar. Sikap dan perilaku moral dapat dikembangkan melalui pendidikan dan
penanaman nilai/ norma yang dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran maupun kegiatan
yang dilakukan anak di keluarga dan sekolah. Pendidikan bukan hanya mempersiapkan anak
menjadi manusia cerdas, tetapi juga menjadi manusia yang baik, berbudi luhur, dan berguna
bagi orang lain. Pengembangan moral melalui pendidikan mestinya bukan hanya mengajarkan
nilai-nilai sebagai slogan saja. Hal ini tampak pada moral yang diyakini penganut dan moral
budaya yang diterima masyarakat. Proses pendidikan dan pembelajaran moral diteladankan
orang tua dan dilakukan secara terpadu (integrated) pada tiap peluang dalam semua kegiatan
sekolah. Pendidik mengajarkan keteraturan hidup, disiplin serta melatih dan membiasakan
peserta didik bermoral dalam perilaku dan kegiatannya. Otoritasmendukung berbagai kegiatan
pengembangan moral warga masyarakat sebagai bagian upaya membangun karakter manusia
indonesia seutuhnya. Cara yang ideal adalah dengan memantapkan pancasila melalui
keteladanan pendidik pada umumnya kepada warga bangsa sebagai peserta didik sepanjang
hayat dalam proses membangun moral bangsa.

1 Judul Perkembangan Moral Pada Anak

2 Jurnal Jurnal Bimbingan dan Konseling

3 Download file:///C:/Users/ASUS/Downloads/1483-2918-1-PB.pdf

4 Volume dan Vol 1 halaman 1-6


halaman

5 Tahun 2014

6 Penulis Laila Maharani

7 Reviewer Daniel Thomson Purba

8 Tanggal 14 Oktober 2018

9 Absrak Penelitian

-Tujuan Penelitian bertujuan untuk meninjau perkembangan moral pada anak.

-Assesment Data

-Kata Kunci Potensi, Kecerdasan spiritual, Kebermaknaan dan Kebahagiaan


hakiki, SDM berkualitas, Bimbingan, Anak usia dini.

10 Pendahuluan

- Latar Pengertian Moral, Sikap dan Nilai Moral berasal dari kata latin
Belakang “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap
dan Teori moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
sosial, yang dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud
dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi
kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang
menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota
kelompok. Menurut piaget (Sinolungan, 1997), hakikat moralitas
adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan.
Selanjutnya, kohlberg (Gunarsa, 1985) mengemukakan bahwa
aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapi
sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari.
Disamping perilaku moral ada juga perilaku tak bermoral yaitu
perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena sikap
tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang
adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta perilaku amoral
atau nonmoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan
sosial karena ketidakacuhan atau pelanggaran terhadap standar
kelompok sosial. Sikap adalah perilaku yang berisi pendapat
tentang sesuatu. Dalam sikap positif tersirat sistem nilai yang
dipercayai 105 atau diyakini kebenarannya. Nilai adalah suatu
yang diyakini, dipercaya, dan dirasakan serta diwujudkan dalam
sikap atau perilak. Biasanya, nilai bermuatan pegalaman
emosional masa lalu yang mewarnai cita-cita seseorang,
kelompok atau masyarakat. Moral merupakan wujud abstrak dari
nilai-nilai, dan tampilan secara nyata/kongkret dalam perilaku
terbuka yang dapat diamati. Sikap moral muncul dalam praktek
moral dengan kategori positif/menerima, netral, atau
negatif/menolak.

11 Metode Penelitian

-Langkah Langkah Penelitian ini dilakukan dengan deskriftif kualitatif,


Penelitian dalam tulisan ini peneliti menggunakan studi pustaka atau
menggali data dari Library Research untuk memperkaya khasanah
keilmuan bimbingan dan konseling.

-Hasil Penelitian Anak yang bersikap positif atau menerima nilai-nilai moral,
diekspresiakan dalam perilaku yang bersimpati dalam berinteraksi
dengan nilai dan orang disekitarnya, seperti mau menerima,
mendukung, peduli, dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok.
Sikap moral yang netral diekspresikan dalam perilaku sikap tidak
memihak (mendukung atau menolak) terhadap nilai yang ada di
masyarakat. Sikap moral yang negatif diekspresikan dalam
perilaku menolak yang diwarnai emosi dan sikap negatif seperti
kecewa, kesal, marah, benci, bermusuhan, dan menentang,
terhadap nilai moral yang ada di masyarakat.

-Diskusi Penelitian Pendidikan saat ini umunya mempersiapkan peserta didik memilki
banyak pengetahuan, tetapi tidak tahu cara memecahkan masalah
tertentu yang dihadapai dalam kehidupan bermasyarakat sehari-
hari. Pendidikan lebih mempersiapkan peserta didik untuk
menjadi anak yang pandai dan cerdas, tetapi kurang
mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang baik.
Masalah berkenaan dengan baik dan buruk menjadi kajian bidang
moral. Demikian juga dalam mengembangkan aspek moral
peserta didik berarti bagaimana cara membantu peserta didik
untuk menjadi anak yang baik, yang mengetahui dan berperilaku
atau bersikap berbuat baik dan benar. Sikap dan perilaku moral
dapat dikembangkan melalui pendidikan dan penanaman nilai/
norma yang dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran maupun
kegiatan yang dilakukan anak di keluarga dan sekolah. Pendidikan
bukan hanya mempersiapkan anak menjadi manusia cerdas, tetapi
juga menjadi manusia yang baik, berbudi luhur, dan berguna bagi
orang lain. Pengembangan moral melalui pendidikan mestinya
bukan hanya mengajarkan nilai-nilai sebagai slogan saja. Hal ini
tampak pada moral yang diyakini penganut dan moral budaya
yang diterima masyarakat. Proses pendidikan dan pembelajaran
moral diteladankan orang tua dan dilakukan secara terpadu
(integrated) pada tiap peluang dalam semua kegiatan sekolah.
Pendidik mengajarkan keteraturan hidup, disiplin serta melatih
dan membiasakan peserta didik bermoral dalam perilaku dan
kegiatannya. Otoritasmendukung berbagai kegiatan
pengembangan moral warga masyarakat sebagai bagian upaya
membangun karakter manusia indonesia seutuhnya. Cara yang
ideal adalah dengan memantapkan pancasila melalui keteladanan
pendidik pada umumnya kepada warga bangsa sebagai peserta
didik sepanjang hayat dalam proses membangun moral bangsa.

-Daftar Pustaka CahyaniAni,Mubin.2006.Psikologi perkembangan cetakan I


Quantum Teaching. Ciputat: Press Group

Hurlock,B Elizabeth.1980.Developmental
Psikologi.Jakarta:Erlangga

Istiwidayanti dan Suedjarwo.2002.Psikologi Perkembangan suatu


pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan.Jakarta:Erlangga

Nurihsan,Juntika.2007.Buku Materi Pokok Perkembangan


Peserta didik. Bandung:PPs Universitas Pendidikan Indonesia

Santrock,John W.1995.Life-Span Development.WM, C Brown


Comunication

Alih bahasa Achmad Chusairi, S.PSI.2002.Perkembangan Masa


Hidup Jilid I.Jakarta:Erlangga

Suryabrata Sumadi.Psikologi Pendidikan.Jakarta: PT Raja


Grafindo Yuliani,Sujiono,Bambang.2005.Mencerdaskan Perilaku
Anak Usia Dini, Jakarta: Gramedia

Yusuf,Syamsu.2000.Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja


Bandung:Remaja Rosdakarya

12 Analisi Jurnal

-Kekuatan Abstrak pada jurnal ini jelas, sehingga dengan membaca abstrak
Penelitian jurnal ini pembaca dapat mengetahui isi jurnal. Kekuatan
darijurnal ini ialah ,bahwa yang menulis jurnal ini menggunakan
metode hermeneutik dan mencari data-data yang relevan yang
tajam sehingga menghasilkan ide yang kreatif.

-Kelemahan Dalam jurnal tersebut tidak terdapat grafik yang dapat membantu
penelitian memudahkan untuk melihat hasil penelitian dan juga tidak
terdapat table data penelitian.
13 Kesimpulan Proses pendidikan dan pembelajaran moral diteladankan orang tua
dan dilakukan secara terpadu (integrated) pada tiap peluang dalam
semua kegiatan sekolah. Pendidik mengajarkan keteraturan hidup,
disiplin serta melatih dan membiasakan peserta didik bermoral
dalam perilaku dan kegiatannya. Otoritasmendukung berbagai
kegiatan pengembangan moral warga masyarakat sebagai bagian
upaya membangun karakter manusia indonesia seutuhnya. Cara
yang ideal adalah dengan memantapkan pancasila melalui
keteladanan pendidik pada umumnya kepada warga bangsa
sebagai peserta didik sepanjang hayat dalam proses membangun
moral bangsa.

14 Saran penulis jurnal dapat memberikan konsep-konsep sederhana yang


mudah dipahami oleh pembaca, tidak dengan memaparkan
sepanjang mungkin yang membuat kekurangtertarikannya
pembaca.

15 Referensi Maharani,Laila.2014.Jurnal bimbingan dan


konseling.Perkembangan moral pada
anak.vol:1.No:2.ISSN:20859-9955
JURNAL II

A. Latar Belakang Teori Dan Tujuan Penelitian

Gaya pengasuhan adalah salah satu faktor kunci dalam proses sosialisasi anak. Orang tua
mengelola praktik pendidikan mereka secara rasional dan intuitif, memperkenalkan sejumlah
pola dari keluarga utama mereka sendiri. Jika mereka menerima peran mereka, mereka
menjadi subyek stereotip budaya di mana mereka tumbuh dan mereka yang ada di dunia di
sekitar mereka. Orangtua memiliki konsepsi implisit mereka sendiri tentang apa itu keluarga
dan orang tua (Havigerová, Haviger, & Truhlářová, 2013). Mereka berusaha mempersiapkan
anak untuk kehidupan nyata di dunia dan memberikan kepadanya sejumlah keterampilan
sosial yang memungkinkannya untuk menghadapi situasi sulit. Banyak orang tua mengalihkan
ambisi mereka ke dalam tujuan pendidikan. Ini bisa menjadi ambisi mereka sendiri yang
layak untuk diikuti tetapi juga yang tidak terpenuhi - dalam hal ini, orang tua mengharapkan
anak mereka untuk mencapai apa yang gagal mereka capai sendiri. Ini dapat mendistorsi
pandangan realistis dari kemampuan anak dan memaparkannya pada situasi yang tidak dapat
diloloskan. Salah satu bidang di mana orang tua yang aktif mencoba untuk mempengaruhi
perjalanan hidup anak-anak mereka adalah pelatihan dalam internalisasi norma-norma
perilaku sosial, termasuk bidang perkembangan moral. Anak harus bersaksi dengan praktik
pendidikan yang tepat dari orang tua mereka terutama dalam interaksi manusia, mengamati
aturan dan dengan demikian menunjukkan bahwa proses pendidikan berhasil. Makalah ini
berfokus pada gaya pengasuhan, proses perkembangan moral dan karakteristik remaja. Pada
remaja usia 15-17 kami mengidentifikasi hubungan yang sangat penting antara gaya
pengasuhan dan berbagai faktor kepribadian. Ini termasuk faktor yang berkaitan dengan
karakter, tetapi juga temperamen, komunikasi sosial, mental (dalam) stabilitas, aktivitas /
pasifitas dengan dasar biologis yang kuat. Kondisi utama dari perkembangan kepribadian
yang diinginkan adalah hubungan emosional yang positif, manusiawi, positif antara orang tua
dan anak. Kendler (1996) mengusulkan tiga faktor berlabel kehangatan, protektif dan
otoritarianisme. Rohner (1980) merumuskan teori penerimaan-penolakan orangtua (PART),
yang merupakan teori sosialisasi, berusaha untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi
utama penerimaan atau penolakan dari pihak orangtua. Ini bekerja dengan perkembangan
kognitif, emosional dan perilaku anak, menggambarkan beberapa jenis kepribadian dewasa
dan mencoba untuk memperhitungkan berbagai cara yang membantu beberapa anak untuk
mengatasi efek korosif penolakan orangtua dan perampasan emosional yang lebih baik
daripada yang lain. Lebih jauh lagi, teori ini memperlakukan hubungan antara penolakan-
penerimaan orangtua dan perilaku ekspresif dalam masyarakat. Penerimaan dan penolakan
menciptakan dimensi bi-polar di mana setiap anak dapat ditempatkan. Menerima orang tua
didefinisikan oleh Rohner sebagai orang tua yang menunjukkan cinta mereka secara fisik
(berpelukan, berciuman, membelai), secara lisan (menceritakan hal-hal baik pada anak,
berbicara dengan baik tentang dia, menghargai dia, menunjukkan bahwa mereka bangga
padanya) ) atau dengan kombinasi keduanya, tujuan utamanya adalah untuk membuat anak
merasa dicintai dan diterima. Menolak orang tua membandingkan anak-anak mereka dengan
orang lain dalam arti negatif; mereka membenci mereka, sering marah dengan mereka dan
menganggap mereka sebagai beban. Penolakan biasanya menghasilkan dua bentuk perilaku:
yang pertama dicirikan oleh agresi dan permusuhan, yang kedua dengan mengabaikan dan
mengabaikan. Orangtua baik menyerang anak secara verbal atau fisik atau mereka
mengabaikannya, tidak membantu dia, tidak memenuhi kebutuhan emosionalnya dan tidak
tertarik pada kebahagiaan, kesejahteraan dan kenyamanannya. Mereka sering melupakan
janji-janji mereka dan menghabiskan sedikit waktu bersama si anak. Kedua bentuk
meningkatkan perasaan tidak dicintai dan ditolak. Konsekuensi PART terwujud dalam
perilaku baik selama masa kanak-kanak dan dewasa. Penelitian telah menunjukkan bahwa
penolakan menyebabkan terjadinya berbagai fenomena negatif: gangguan mental dan
perilaku, neurosis, skizofrenia, kenakalan, masalah dengan kontrol dan belajar, perkembangan
fisik yang lemah dan gagap. Anak yang ditolak dan terabaikan secara emosional rentan
terhadap perilaku agresif, mengalami kesulitan dengan tunduk pada bimbingan orang lain,
mandiri defensif, emosional yang tidak stabil, cemas dan tidak mampu menghadapi reaksi
emosional yang memadai, harga dirinya kurang dan sikapnya terhadap dunia negatif
(Burešová, Steinhäusel, & Havigerová, 2012). Rohner melakukan studi perbandingan di 101
budaya, menggunakan apa yang disebut metode holocultural dan bekerja dengan dua
paradigma: pertama dengan penelitian etnografi dan sosialisasi komparatif di masing-masing
komunitas dan kedua dengan penelitian sosio-psikologis dan pengembangan antar negara. Dia
berhasil mengidentifikasi prinsip-prinsip perilaku manusia dengan cara ini. Temuan
berdasarkan sampel pankultur dari 101 masyarakat menunjukkan bahwa anak-anak yang
ditolak secara signifikan lebih bermusuhan dan pasif atau agresif secara aktif daripada anak-
anak yang diterima, mereka memiliki evaluasi diri yang lebih negatif dan lebih tergantung.
Sebagai orang dewasa, mereka secara emosional kurang stabil, lebih tidak bertanggung jawab
dan memiliki sikap yang lebih negatif terhadap dunia daripada anak-anak yang diterima.
Kami menjerit untuk menarik perhatian pada pandangan baru-baru ini tentang keluarga, gaya
pengasuhan dan dampaknya terhadap perkembangan anak, yang tidak hanya langsung (pujian,
hukuman) tetapi jangka panjang. Orang tua sangat sering mendasarkan pendidikan anak-anak
mereka pada intuisi, bergantung pada pola perilaku orang tua mereka sendiri, sementara guru
harus bertindak sebagai profesional dalam hal ini. Namun, apa yang menjadi perhatian
keduanya adalah fakta bahwa manifestasi rasa hormat terhadap anak, terutama dalam kasus
orang tua, menjadi bagian integral dari citra diri anak dan menentukan harga dirinya untuk
sebagian besar (Macková, 1999) . Dalam konteks harga diri, Deci dan Ryan (1996)
memperkenalkan istilah konsistensi diri. Ini membentuk dasar dari teori identitas dan
memungkinkan pengembangan terhadap pengalaman persatuan, kemandirian, prediktabilitas
dan kontrol, menyediakan kerangka kerja bagi organisasi diri dan kemampuan untuk
merasakan kemungkinan dan konsekuensi dari interaksi dengan orang lain. Stets and Carter
(2011) dari University of California dalam makalah mereka “The Moral Self: Menerapkan
Teori Identitas” menggunakan teori identitas untuk menjelaskan pemahaman prinsip moral
seseorang: Individu bertindak atas dasar makna identitas mereka, dan mereka mengatur
perilaku mereka sehingga makna-makna tersebut konsisten dengan makna identitas mereka.
Ketidakkonsistenan menghasilkan emosi negatif dan memotivasi individu untuk berperilaku
berbeda untuk menghasilkan hasil yang akan lebih cocok dengan makna identitas mereka.
(Stets and Carter, 2011). Para penulis melanjutkan tradisi psikologi Amerika, dengan terampil
menghubungkan teori diri dengan perkembangan moral dan perasaan identitas sebagai
fenomena psikologis mendasar dari diri. Dengan demikian, mereka menggerakkan
pemahaman tradisional tentang perkembangan moral ke dalam lapisan kepribadian yang lebih
dalam dan memungkinkan untuk mempelajari fenomena ini dengan mengacu pada suatu
kontinum nilai-nilai moral yang diinternalisasikan individu dari suatu budaya tertentu
daripada dikotomi moral-amoral tradisional manusia. tingkah laku.

B. Metode

Data dikumpulkan menggunakan metode kuesioner berikut: tes kepribadian Neo Big Five,
kuesioner dilema Moral dan Inventarisasi perilaku orang tua.

1.1. Deskripsi tes Lima kepribadian Neo besar


Kuesioner terdiri 60 item yang dijawab pada skala Lickert mulai dari "sangat tidak setuju" = 0
poin "sangat setuju" = 5 poin. Versi Ceko metode yang sangat disetujui ini berasal dari AS
yang dibuat oleh Hřebíčková dan Urbánek (2001, Big Five, NEO). Metode ini mengkaji lima
ciri kepribadian: Agreeableness, Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience,
Conscientiousness. Itu dibuat atas dasar teori struktur kepribadian lima faktor (Costa, Mc
Craee, 1992), yang menggambarkan apa yang disebut faktor Alpha (sosialisasi, adaptasi sosial
dan hubungan yang baik) yang meliputi kesetujuan, ketelitian dan neurotisisme dan Faktor
beta (plastisitas dan karakter yang diarahkan pada tujuan dari pertumbuhan kepribadian)
meliputi extraversion dan keterbukaan terhadap pengalaman. Pengembangan unsur-unsur
faktor Alpha terutama tergantung pada sosialisasi, sedangkan unsur-unsur faktor Beta lebih
berakar pada gen dan temperamen.

1.2. Kuesioner dilema moral

Kuesioner dilema moral diilhami oleh penelitian Kohlberg di mana ia mempresentasikan


kisah-kisah mikro tentang dilema moral kepada responden dan kemudian menggunakan
metode kualitatif yang sangat menyeluruh untuk mengidentifikasi sikap mereka terhadap
masalah dalam cerita. Kami membandingkan frekuensi jawaban yang berbeda untuk dilema,
merumuskan pernyataan yang ada dalam kuesioner dengan skala Lickert. Keandalan dari
metode ini adalah Cronbach α = 0,85. Dengan menggunakan rotasi Varimax ortogonal (nilai
kritis 0,030) kami mengekstraksi 3 faktor, yang secara implisit tetapi juga secara signifikan
terkait dengan gagasan dan klasifikasi Piaget (moralitas heteronomous dan otonom). Fl: Ayah
otoriter (panggung heteronomis) George harus mematuhi ayahnya dan memberinya uang.
Sang ayah memiliki hak untuk meminta putranya untuk membantunya dengan
pengeluarannya sendiri. Sang ayah memiliki hak untuk menginginkan putranya memberinya
uang. Sang ayah memiliki hak untuk mengubah pikirannya dan mengingkari janji kepada
putranya.

Pada tahap ini, adalah ayah yang menjadi sorotan. Responden memiliki sedikit perhatian
untuk diri mereka sendiri dan kebutuhan mereka sendiri dan menghormati otoritas. Mereka
percaya bahwa ayah berada dalam posisi yang memungkinkan dia untuk mengubah
pikirannya dan mereka harus dengan senang hati tunduk padanya. Sangat menarik bahwa
mereka tidak egosentris dan tertarik terutama dalam kebutuhan mereka sendiri dan
ketidakadilan - itu adalah ayah yang sentral, bukan subjek. Jelaslah, perspektif sosial sudah
ada di tempat kerja, anak bahkan bersedia untuk tunduk pada keinginan dan kebutuhannya
sendiri kepada yang lain (sang ayah tidak memberikan tekanan besar pada putranya untuk
memaksanya memberikan uang). Ada kesesuaian nyata dengan orang yang dekat tetapi di
bawah, yang kehendaknya dihormati meskipun itu tidak menguntungkan bagi anak yang
harus menyerah.

F2: Menjaga janji (transisi dari tahap heteronom ke otonom) Sang ayah memberi contoh
buruk kepada putranya dengan melanggar janjinya. Menjaga janji adalah salah satu pangkalan
terpenting hubungan yang baik antara orang tua dan anak-anak. Sang ayah harus
membatalkan perjalanan memancingnya agar bisa memenuhi janji yang diberikan kepada
putranya. Seseorang harus selalu menepati janji-janjinya, bahkan yang diberikan kepada
orang-orang yang tidak ia kenal baik dan tidak akan pernah melihatnya lagi.

Pada tahap ini penekanannya lebih pada orang tua, namun, anak juga berusaha untuk
merumuskan prinsip dan peran umum. Ia ingin mengungkapkan esensi dari norma-norma
yang akan memastikan hubungan sosial yang berfungsi dengan baik secara umum. Ada
pergeseran nyata dari orang-orang tertentu ke lingkungan sosial yang lebih umum, semacam
generalisasi sosial. Anak menarik perhatian pada cara-cara tingkah laku yang dia yakini patut
diamati dan kekurangannya akan mempersulit interaksi sosial. Sang ayah secara berangsur-
angsur kehilangan posisinya yang istimewa di mata anak itu dan tidak bisa lagi mengandalkan
ketaatan dan kesesuaian yang tidak ditepati. Sampai batas tertentu, ia menjadi salah satu
anggota masyarakat, yang mungkin lebih dari yang lain memberikan contoh yang baik dan
menjadi model perilaku yang benar.

F3: Hak-hak anak laki-laki (tahap otonom) Anak laki-laki tidak harus memberikan uangnya
kepada ayahnya karena dia sendiri tidak membuat janji. George memiliki hak untuk menolak
memberikan uang itu kepada ayahnya. George memiliki hak untuk lebih berhati-hati tentang
janji ayahnya di lain waktu

Faktor ketiga mengelompokkan pernyataan yang menunjukkan pergeseran perhatian pada


anak itu sendiri. Objek yang menarik di sini adalah fakta-fakta dan konsekuensi yang
mempengaruhi anak daripada ayah. Ada petunjuk tentang cara di mana putra harus
memutuskan dan cara mencegah situasi masa depan di mana ia akan menemukan dirinya
dirugikan. Responden lebih mengidentifikasikan diri dengan karakter yang berada dalam
posisi subordinasi serupa dengan karakter mereka. Mereka lebih tertarik pada konsekuensi
yang mempengaruhi sang putra daripada yang menyangkut ayah. Namun demikian,
tekanannya ada pada aspek kehendak bebas dan keputusan independen berdasarkan
penilaiannya sendiri. Resolusi dari plot itu sendiri menghilang dan itu adalah pilihan otonomi
dan independen dari solusi yang menjadi menonjol.

1.3. The Inventory of Parental Behavior

Semua penelitian sebelumnya serta kehidupan itu sendiri memberikan bukti yang meyakinkan
bahwa keluarga memiliki pengaruh yang sangat penting dan penting dalam perilaku para
anggotanya serta perkembangan mereka, yang tidak hanya menyangkut kasus anak-anak yang
lebih jelas tetapi juga orang tua, yang kadang-kadang (sadar atau tidak sadar) mengubah
metode pendidikan sebagai reaksi terhadap hasil sebelumnya dan pencapaian tujuan. Ketika
membangun inventaris, kami mencoba untuk tidak hanya mengandalkan pada literatur
profesional tetapi terutama pada pengetahuan profesional praktis kami (termasuk pengalaman
kami sebagai orang tua (besar)) dan pendapat anak-anak dari orang tua yang kami temui
dalam pengajaran atau praktik psikologis kami. Kami mencoba memasukkan dalam inventaris
sejumlah situasi umum yang khas sehari-hari, tetapi terkadang juga sedikit lebih ekstrim
dalam pendidikan keluarga. Versi asli Inventarisasi perilaku orang tua terdiri dari 54 item ̢
angka yang dikurangi berdasarkan analisis faktor. Keandalan dari metode ini adalah Cronbach
¢ = 0,91 dan menggunakan rotasi ortogonal Varimax (nilai kritis ū0,40ū) kami mengekstraksi
2 faktor: F1: Perilaku orang tua positif dari ibu dan ayah (item 1-25) dan F2: Negatif perilaku
orangtua ibu dan ayah (item 26-38).

C. Hasil Dan Pembahasan

Hasil responden di semua lima bidang sangat di atas rata-rata. Skor tinggi dalam kasus
neurotisisme tampaknya mengejutkan juga, namun, responden berada di masa remaja mereka,
yang sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan yang meningkat terutama dalam lingkup
emosionalitas (Kučera, Haviger, 2012). Responden menganggap ayah mereka sebagai kurang
otoriter, persyaratan mereka tentang menjaga janji sangat di atas rata-rata dan persyaratan
tentang hak anak (anak) di atas rata-rata. Sangat menyenangkan untuk melihat bahwa jumlah
ayah otoriter menurun dan demokratisasi praktik pendidikan telah melampaui model
pendidikan paternalistik tradisional. Dalam kasus kedua orang tua, persepsi responden tentang
perilaku mereka adalah bahwa elemen negatif menang atas yang positif. Perilaku positif ayah
dirasakan lebih kuat dari perilaku positif ibu. Terlebih lagi, perilaku positif sang ayah jelas
lebih tinggi daripada yang negatif, yang juga merupakan kasus sang ibu. Perilaku orang tua
“negatif” dicirikan oleh keparahan, penegakan pandangan sendiri, sedikit kecenderungan ke
arah diskusi, perbandingan dengan rekan, teman atau saudara kandung yang lebih sukses,
mengabaikan anak dan kebutuhan dan minatnya. Responden kami tidak menyangkal bahwa
ada elemen positif dalam perilaku orang tua mereka tetapi mereka terutama menekankan yang
negatif. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang tua yang lebih parah di mata anak-anak mereka,
semakin parah penilaian anak-anak, yang, apalagi, disertai dengan meningkatnya kritik khas
untuk masa remaja. Akibatnya, orang tua dianggap sebagai seseorang yang terus-menerus dan
berulang-ulang membutuhkan sesuatu, tidak cukup memperhatikan pengalaman dan perilaku
si anak dalam banyak situasi, menuntut pemenuhan keinginannya dan memaparkan si anak
pada ketergantungan terus-menerus. Dalam keluarga yang berfungsi tipikal dalam budaya
kita, ibu yang bertanggung jawab untuk sebagian besar tugas sehari-hari, yang meliputi tidak
hanya memasak dan mengurus rumah tangga, tetapi juga mengawasi kegiatan anak, termasuk
tugas harian yang ditetapkan. Adalah khas untuk anak-anak di masa ini untuk protes yang
menjadi nyata dalam jawaban responden kami. Ini adalah salah satu alasan mengapa ibu
dipandang lebih ketat, kurang didekati dan membutuhkan lebih banyak. Anak perempuan
memiliki skor yang lebih tinggi dalam neurotisisme dan kesadaran dan merasakan perilaku
ayah sebagai lebih negatif. Remaja pada umumnya membayar banyak perhatian pada diri
mereka sendiri, sering menjadi sangat kritis. Ini tidak hanya menyangkut penampilan fisik
mereka tetapi juga jiwa, atau "penampilan psikis". Dalam kasus responden kami, gadis-gadis
yang melihat diri mereka lebih intens dan kurang stabil, apalagi, mereka merasa kurang
memberontak, lebih patuh, rapi, disiplin diri dan terarah, yang semua kualitas ditentukan oleh
pendidikan daripada secara genetik. Skor yang lebih tinggi dalam kasus perilaku negatif ayah
mungkin terkait dengan model tradisional pandangan ayah tentang masa depan gadis itu (atau
bahaya yang menunggunya, terutama pada bagian laki-laki dari segala usia). Semakin tua
responden, semakin mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang menyenangkan dan
teliti, menganggap ayah sebagai lebih otoriter dan merasakan perilaku positif dari ibu dan
perilaku negatif dari kedua orang tua lebih banyak. Dengan kata lain, mempertimbangkan
faktor Alpha, kami mungkin menyatakan bahwa responden yang lebih tua memandang diri
mereka sebagai lebih "terdidik", disosialisasikan dan oleh karena itu independen, yang
(seperti yang dilihat responden) orang tua mereka tampaknya gagal untuk memperhatikan dan
menghargai, memegang konservatif sikap orang tua banyak dikritik oleh para remaja. Hasil
dari kuesioner dilema Moral: tidak ada korelasi yang signifikan antara hasil dari metode ini
dan yang lain diidentifikasi, penyelesaian dilema moral dapat dilakukan secara terpisah dari
struktur kepribadian dan perilaku orang tua. Kami memperkenalkan istilah nilai diri global
untuk merujuk pada persepsi diri anak dan apakah dia bahagia dalam kehidupannya seperti
apa adanya - persepsi-diri harus agak umum dan independen dari lingkungan di mana anak itu
tinggal. Dengan demikian, anak-anak dengan nilai identitas diri yang lebih tinggi lebih
mandiri dalam pengambilan keputusan dan pengembangan diri moralnya kurang bergantung
pada lingkungan (termasuk keluarga) di mana dia tinggal. Kenyataan bahwa sikap remaja
terhadap nilai-nilai moral independen dari profil pribadinya serta perilaku orang tua adalah
contoh khas dari usahanya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya tidak terpengaruh
oleh persepsi diri, atau oleh pendidikan. Anak itu menunjukkan sikapnya berdasarkan pada
dirinya yang moralnya "berlaku". Ini sangat pribadi dan individual. Namun demikian, sikap
anak terhadap pemecahan dilema secara tidak sadar merupakan hasil dari pengaruh sistem
nilai, terutama di bidang norma yang diberlakukan sejauh ini, serta ekspresi rasionalnya dan
(bahkan lebih) emosionalnya. elemen kepribadiannya. Ini adalah paradoks khas yang terkait
dengan masa remaja. Remaja merasakan dirinya sebagai "satu-satunya individu" dan
menekankan keunikan dan kemurnian sempurna dan kemandirian sikapnya.

1 Judul Parenting style and its influence on the personal and moral
development of the child

2 Jurnal Social and behavioral sciences

3 Download file:///C:/Users/ASUS/Documents/JOURNAL/82007633.pdf

4 Volume dan halaman Vol. 1 halaman 1-8

5 Tahun 2014

6 Penulis Irena Loudováa, Jan Lašeka

7 Reviewer Daniel Thomson Purba

8 Tanggal 14 Oktober 2018

9 Abstrak Penelitian

-Tujuan Penelitian membahas hubungan antara praktik pendidikan orang tua dan
perkiraan dampaknya terhadap struktur kepribadian anak dan
sikap moralnya

-Subjek Penelitian siswa berusia 12 hingga 17

-Assesment Data menunjukkan bahwa seorang remaja memeriksa dirinya sendiri


secara intens dan mengevaluasi dirinya dari sejumlah sudut
pandang, memiliki sikap yang sangat kritis terhadap pendekatan
pendidikan orang tuanya dan dampaknya pada dirinya sendiri.

-Kata Kunci gaya pengasuhan; remaja; kepribadian; pengembangan moral;


dilema moral

10 Pendahuluan

-Latar Belakang dan Teori Gaya pengasuhan adalah salah satu faktor kunci dalam proses
sosialisasi anak. Orang tua mengelola praktik pendidikan
mereka secara rasional dan intuitif, memperkenalkan sejumlah
pola dari keluarga utama mereka sendiri. Jika mereka menerima
peran mereka, mereka menjadi subyek stereotip budaya di mana
mereka tumbuh dan mereka yang ada di dunia di sekitar
mereka. Orangtua memiliki konsepsi implisit mereka sendiri
tentang apa itu keluarga dan orang tua (Havigerová, Haviger, &
Truhlářová, 2013). Mereka berusaha mempersiapkan anak
untuk kehidupan nyata di dunia dan memberikan kepadanya
sejumlah keterampilan sosial yang memungkinkannya untuk
menghadapi situasi sulit. Banyak orang tua mengalihkan ambisi
mereka ke dalam tujuan pendidikan. Ini bisa menjadi ambisi
mereka sendiri yang layak untuk diikuti tetapi juga yang tidak
terpenuhi - dalam hal ini, orang tua mengharapkan anak mereka
untuk mencapai apa yang gagal mereka capai sendiri. Ini dapat
mendistorsi pandangan realistis dari kemampuan anak dan
memaparkannya pada situasi yang tidak dapat diloloskan. Salah
satu bidang di mana orang tua yang aktif mencoba untuk
mempengaruhi perjalanan hidup anak-anak mereka adalah
pelatihan dalam internalisasi norma-norma perilaku sosial,
termasuk bidang perkembangan moral. Anak harus bersaksi
dengan praktik pendidikan yang tepat dari orang tua mereka
terutama dalam interaksi manusia, mengamati aturan dan
dengan demikian menunjukkan bahwa proses pendidikan
berhasil. Makalah ini berfokus pada gaya pengasuhan, proses
perkembangan moral dan karakteristik remaja. Pada remaja usia
15-17 kami mengidentifikasi hubungan yang sangat penting
antara gaya pengasuhan dan berbagai faktor kepribadian. Ini
termasuk faktor yang berkaitan dengan karakter, tetapi juga
temperamen, komunikasi sosial, mental (dalam) stabilitas,
aktivitas / pasifitas dengan dasar biologis yang kuat. Kondisi
utama dari perkembangan kepribadian yang diinginkan adalah
hubungan emosional yang positif, manusiawi, positif antara
orang tua dan anak.

11 Metode Penelitian

-Langkah Penelitian Langkah penelitian ini dilakukan dengan deskriftif


kualitatif, dalam tulisan ini peneliti menggunakan studi pustaka
atau menggali data dari Library Research untuk memperkaya
khasanah keilmuan bimbingan dan konseling.

-Hasil Penelitian hasil responden di semua lima bidang sangat di atas rata-rata.
Skor tinggi dalam kasus neurotisisme tampaknya mengejutkan
juga, namun, responden berada di masa remaja mereka, yang
sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan yang meningkat
terutama dalam lingkup emosionalitas (Kučera, Haviger, 2012).
Responden menganggap ayah mereka sebagai kurang otoriter,
persyaratan mereka tentang menjaga janji sangat di atas rata-
rata dan persyaratan tentang hak anak (anak) di atas rata-rata.
Sangat menyenangkan untuk melihat bahwa jumlah ayah
otoriter menurun dan demokratisasi praktik pendidikan telah
melampaui model pendidikan paternalistik tradisional. Dalam
kasus kedua orang tua, persepsi responden tentang perilaku
mereka adalah bahwa elemen negatif menang atas yang positif.
Perilaku positif ayah dirasakan lebih kuat dari perilaku positif
ibu.

-Diskusi Penelitian Dengan demikian, anak-anak dengan nilai identitas diri yang
lebih tinggi lebih mandiri dalam pengambilan keputusan dan
pengembangan diri moralnya kurang bergantung pada
lingkungan (termasuk keluarga) di mana dia tinggal. Kenyataan
bahwa sikap remaja terhadap nilai-nilai moral independen dari
profil pribadinya serta perilaku orang tua adalah contoh khas
dari usahanya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya
tidak terpengaruh oleh persepsi diri, atau oleh pendidikan. Anak
itu menunjukkan sikapnya berdasarkan pada dirinya yang
moralnya "berlaku". Ini sangat pribadi dan individual. Namun
demikian, sikap anak terhadap pemecahan dilema secara tidak
sadar merupakan hasil dari pengaruh sistem nilai, terutama di
bidang norma yang diberlakukan sejauh ini, serta ekspresi
rasionalnya dan (bahkan lebih) emosionalnya. elemen
kepribadiannya. Ini adalah paradoks khas yang terkait dengan
masa remaja. Remaja merasakan dirinya sebagai "satu-satunya
individu" dan menekankan keunikan dan kemurnian sempurna
dan kemandirian sikapnya.

-Daftar Pustaka Burešová, I., Steinhäusel, A. & Havigerová, J.M. (2012).


Computer Gaming and Risk Behaviour in Adolescence: A Pilot
Study. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 69, 247-255

Costa, P.T., McCrae, R.R. (1992). NEO PI-R Revised NEO


Personality Inventory (NEO PI-R). New York, NY: Odessa
Psychological Assessment Resources.

Deci, E.L., Ryan, R.M. (1996). Human Anatomy: The basis for
true self-esteem. In Kernis, M. (ed). Efficacy, Agency and Self-
esteem. New York: Plenum Press

Durkin, K. (1995). Developmental Social Psychology. From


Infancy to Old Age. 2 edition Oxford: Blackwell Publishers.
ISBN 0-631-14828-0. pp. 775

Good, T. & Brophy, J. (1995). Contemporary educational


psychology. New York, NY: Longmans

Havigerová J.M., Haviger J., & Truhlářová Z. (2013).


Teacher’s subjective definition of family. Procedia – Social and
Behavioral Sciences, 106, 507-2515

Hřebíčková, M. & Urbánek, T. (2001). Big Five, NEO


pětifaktorový osobnostní inventář. Praha: Testcentrum. ISBN
80-86471-06-3

Kendler, K. S. (1996). Parenting: A Genetic-epideological


Perspective. American Journal of Psychiatry, 2, 11-20

Kučera D., & Haviger, J. (2012). Using Mood Induction


Procedures in Psychological Research. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 69, 31-40

Macková, Z. (1999). Sebapoznanie v procese ontogenézy z


pohĺadu humanistickej psychológie. Československá
psychologie, 43(4), 300-308

Sets, J. E., Carter, M., J. (2011). The Moral Self- Applying


Identity Theory. Social Psychology Quarterly, 74, 192

12 Analisi Jurnal

-Kekuatan penelitian Dalam jurnal tersebut banyak kutipan penelitian seperti dari
penelitian komnas perlindungan anak dan jurnal tersebut juga
mengutip pendapat-pendapat ahli.

-kelemahan penilitian Jurnal ini tidak mencantumkan tujuan diabstrak dan tidak
memberikan kajian mengenai tujuan dilakukannya penelitian
dengan jelas dan rinci.

13 Kesimpulan Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa


Gaya pengasuhan adalah salah satu faktor kunci dalam proses
sosialisasi anak. Orang tua mengelola praktik pendidikan
mereka secara rasional dan intuitif, memperkenalkan sejumlah
pola dari keluarga utama mereka sendiri. Jika mereka menerima
peran mereka, mereka menjadi subyek stereotip budaya di mana
mereka tumbuh dan mereka yang ada di dunia di sekitar
mereka. Orangtua memiliki konsepsi implisit mereka sendiri
tentang apa itu keluarga dan orang tua (Havigerová, Haviger, &
Truhlářová, 2013). Mereka berusaha mempersiapkan anak
untuk kehidupan nyata di dunia dan memberikan kepadanya
sejumlah keterampilan sosial yang memungkinkannya untuk
menghadapi situasi sulit. Banyak orang tua mengalihkan ambisi
mereka ke dalam tujuan pendidikan. Ini bisa menjadi ambisi
mereka sendiri yang layak untuk diikuti tetapi juga yang tidak
terpenuhi - dalam hal ini, orang tua mengharapkan anak mereka
untuk mencapai apa yang gagal mereka capai sendiri

14 Saran Sebaiknya peneliti dalam melakukan metode penelitian, peneliti


tidak hanya mengambil data dengan kuisioner tapi juga dengan
studi dokumentasi, menjelaskan bagaimana studi dokumentasi
serta hasil studi yang didapat. Alangkah baiknya apabila kedua
jurnal tersebut memberikan konsep-konsep sederhana yang
mudah dipahami oleh pembaca.

15 Referensi Loudováa, Irena dan Jan Lašeka.2014.Jurnal social and


behavioural sciences.Parenting style and its influence on the
personal and moral development of the child.Vol:1.No:-.ISSN:-

Anda mungkin juga menyukai