Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Psikososial Dan Budaya


“konsep kehilangan, kematian dan berduka”
Dosen pembimbing : Dwi Surya Purwanti, M. Psi, Psikolog

Disusun Oleh :
ZUMARDI AZZRA ( 821181012 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROPESI NERS


STIKES YARSI PONTIANAK
2018/2019
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Loss And Griefing

loss atau kehilangan adalah kenyataaan/situasi yang mungkin terjadi


yang mana suatau yang dihadapi, dinilai terjadi perubahan, tidak lagi
memungkinkan ada atau pergi/hilang. Dapat dikatakan juga sebagai sesuatau
kondisi dimana seorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada sesuatu
yang dulunya ada, dan juga Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu
sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali
walaupun dalam bentuk yang berbeda. dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya. (Audrey Berman, Shirles Snyder 2016 ).

1. Faktor yang mempengaruhi Loss And Griefing

Reaksi Loss And Griefing akan dipengaruhi oleh 3 faktor utam yaitu biologi,
psikologi dan social budaya. Yang mempengaruhi reaksi tergantung :

a. Arti dari kehilangan


b. Sosial budaya
c. kepercayaan / spiritual
d. Peran seks
e. Status social ekonomi
f. kondisi fisik dan psikologi individu.
2. Tipe Kehilangan

Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:

 Aktual atau nyata


Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi,
kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
 Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya;
seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan
kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.

3. Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:

 Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai

Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang
berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari
tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang. Kematian
juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena
keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada,
kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak
emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.

 Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)

Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang
mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri
sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan
dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap,
sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang
misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.

 Kehilangan objek eksternal

Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-


sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan
seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan
benda tersebut.

 Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal

Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal


termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode
atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan
memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.

 Kehilangan kehidupan/ meninggal

Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon
pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang
sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.

4. Rentang Respon Kehilangan

Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance

 Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan,
detak jantung cepat, menangis, gelisah.
 Fase anger / marah
a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal.
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar.
a. Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit
bukan saya “ seandainya saya hati-hati “.
 Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
 Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah,
akhirnya saya harus operasi “.

5. Tanda dan gejala yang terjadi pada klien dengan loss and griefing

Beberapa tanda dan gejala yang ditemukan pada klen dengan kehilangan adlah
ungkapan kehilangan, menangis, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan ,
susah konsentrasi, beberapa karakteriksik griefing atau berduka yang
bekepanjangan diantara wakti denial yang lama, depresi adanya gejala fisik
yang berat, keinginan untuk bunuh diri. ( kraus et al, 2009).
B. Konsep Kematian
Secara etimologi yaitu keadaan mati atau kematian. Sementara secara
definitive. Kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara
menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen. Kematian merupakan
peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia. Pemahaman akan kematian
memengaruhi sikap dan tingkah laku seorang terhadap kematian. Beberapa
konsep tentang kematian sebagai berikut :
 Mati sebagai terhentinya darah yang mengalir. Konsep ini bertolak dari
criteria mati berupa terhentinya jantung. Dalam PP Nomor 18 tahun 1981
dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.
Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran,
tekhnologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula
terhenti dapat dipulihkan kembali.
 Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini menimbulkan
keraguan karena, misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan
demikian menimbulkan kesan seakan-akan dapat ditarik kembali.
 Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen. Konsep inipun
dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali
karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini
menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena
kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
 Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi sosial. Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial,
yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya,
kemampuan mengingat, mengambil keputusan dan sebagainya, maka
penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak
dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam bidang otak. Oleh karena
itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik
dan sosial telah mati. Dalam keadaan sperti ini, kalangan medis sering
menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resusciation).
Dying dan death (menjelang ajal dan mati), dua istilah yang sulit untuk
dipisahkan satu dan yang lain, serta merupakan suatu fenomena tersendiri.
Dying lebih kearah suatu proses. Sedangkan death merupakan akhir dari
hidup.Terdapat kontroversi kecil tentang arti dari death. Kebanyakan orang
lebih menerima bahwa berhentinya pernapasan dan denyut jantung serta
ketidak mampuan reflex corneal merupakan data/tanda yang cukup bagi death.
Tetapi tidak selamanya demikian.Sekarang lebih mungkin untuk
memperhatikan respirasi dan sirkulasi seseorang dengan menggunakan obat-
obatan, mesin, organ tiruan, dan transplantasi.

1. Perkembangan Tentang Pandangan Hidup dalam Proses Kematian


Pandangan hidup seseorang pasien dan lingkungannya dapat terjadi
suatu pengaruh cukup besar terhadap cara individu menghadapi kematian.
Dari beberapa penelitian ditunjukkan bahwa beragama atau tidak beragama
tidak berpengaruh terhadap ketakutan yang dihadapi oleh seseorang yang akan
mati.
Terdapat beberapa alasan, mengapa seseorang mengalami ketakutan
sebelum/menjelang kematian:
 Orang berpendapat bahwa hidup hanya sampai disitu saja, terlalu
pendek dan masih banyak yang harus dilakukannya sebelum kehidupan ini
“berakhir/selesai”.
 Sebelumnya orang tidak memikirkan kematian yang dihadapinya. Jadi
ada ketakutan menghadapi kematian.
 Orang takut harus meninggalkan segalanya, manusia, binatang,
lingkungan yang telah dipercayainya.
 Orang dapat merasa takut berdasarkan suatu pengalaman hidup
terhadap penghakiman tuhan atas jalan kehidupan yang telah dilaluinya.
Orang takut bahwa hidupnya masih terlalu singkat disbanding sesamanya, dan
terhadap tuhan. Misalnya, orang takut masuk neraka setelah ia mati.
Pendapat lain tentang proses berduka adalah dari Sporken dan Michels
yang terdapat dalam bukunya “De Laatsthe Levensfase. Sterversbege Leiding
En Euthanaise”.Terdapat tujuh fase dalam proses-proses kematian.Ketujuh
fase tersebut dalam proses-proses kematian. Ketujuh fase tersebut secara
berturut-turut adalah:
a. Ketidak tahuan
Tidak adanya kejelasan bagi seorang klien bahwa akhir kehidupannya sudah
semakin dekat.Selain itu, ketidak tahuan tentang prognosa penyakit dan juga
seberapa berat penyakitnya. Klien yng berada pada fase ini seharusnya
diberikan support dengan selalu mendampingi. Hal ini penting untuk
meletakkan dasar kepercayaan yang kuat bahwa ia mendapatkan dukungan
dari siapapun dalam masalah ini.
b. Ketidak pastian
Suatu kondisi dimana individu tidak mendapatkan gambaran yang jelas
tentang bagimana masalahnya. Individu akan mencoba mencari-cari alasan
supaya masalah tersebut segera berakhir. Klien yang berada pada fase ini akan
lebih mudah melaluinya bila ia memiliki pengharapan / harapan. Sehingga
klien dapat bertahan untuk selanjutnya masuk ke fase berikutnya.
c. Penyangkalan
Sebagai salah satu upaya pertahanan diri, akibat ketidakmampuan seseorang
untuk menerima situasi yang harus dihadapinya. Pada umumnya reaksi
seseorang dalam fase ini adalah tidak menerima keseriusan dari situasi yang
dihadapinya, dan seolah olah sama sekali tidak mengerti. Kondisi ini perlu
dipahami oleh perawat, sehingga perlu member waktu merenungkan untuk
kemudian menyadari.Selain itu jangan terus-menerus mengkonfrontasi dengan
situasi serius dari masalahnya.
d. Perlawanan
Merupakan akibat logis dari fase sebelumnya dan mulai mengembangkan
kesadaran bahwa ajal sudah dekat.Wujud dari fase ini adalah dengan agresi
dan biasanya disebut juga fase yang penuh kemarahan dan agresi.Perlawanan
ini lebih ditujukan kepada system pelayanan yang diterimanya. Sehingga
individu ini akan mencari-cari jalan penyelesaian sendiri yang bertujuan untuk
menolong dirinya sendiri ataupun keutuhannya. Hal yang paling
diinginkannya adalah keamanan dan perlindungan diri.Implikasi
keperawatannya adalah perawat menyediakan diri untuk mendengarkan dan
menemani melewati perjalanan menuju akhir kehidupannya.
e. Penyelesaian(perundingan)
Bila individu merasakan ketidak bergunaan penyangkalan dan kemarahan
maka ia akan merundingkan penyelesaian dengan orang-orang yang memiliki
pengaruh dengan sisa hidupnya. Reaksi yang dimunculkan biasanya dengan
menyampaikan janji-janji bila nanti kematiannya dapat ditunda.Implikasi
perawatannya adalah memberikan dukungan dan selalu dekat dengan
klien.Jangan mengoreksi, rahasiakan setiap pembicaraan dengan nya.Beriakan
kasih saying untuk menunjukkan empati.
f. Depresi
Individu akan mengalami kesedihan yang amat dalam, kesendirian dan
ketakutan. Sedih atas apapun yang akan ditinggalkannya. Belum siap dengan
kesendiriannya, karena meninggal berarti seorang diri.
g. Penerimaan
Tidak setiap individu mampu mencapainya. Respon yang diperlihatkan oleh
individu adalah sikap yang tenang, karena ia sadar bahwa ia tidak dapat
mengatasi perjuangan ini. Tujuan dari perawatannya adalah untuk member
kesempatan padanya untuk memenuhi permintaan dan keinginan pribadinya,
selama sisa hidupnya.
2. Sikap Menghadapi Kematian
Sikap menghadapi kematian adalah kecenderungan perbuatan manusia dalam
menghadapi kematian yang diyakininya bakal terjadi.Sikapnya bermacam-
macam sesuai dengan keyakinannya dan kesadarannya.
 Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik karena
menyadari bahwa kematian bakal datang dan mempunyai makna rohaniah
 Orang yang mengabaikan peristiwa kematian, yang menganggap
kematian sebagai peristiwa alamiah yang tidak ada makna rohaniahnya.
 Orang yang merasa takut atau keberatan untuk mati karena terpukau oleh
dunia materi
 Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap
bahwa kematian itu merupakan bencana yang merugikan, mungkin
karena banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi
keharusan menyiapkan diri untuk mati.

3. Perawatan Pendampingan Terhadap Pasien Kehilangan, Berduka Dan


Kematian
Pada tahap yang terdapat dalam fase atau tahap kehilangan, peran perawat
didalamnya berbeda-beda, yaitu :
 Fase megingkari : memberikan kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan perasaannya secara verbal, tidak membantah pengingkaran
pasien, duduk intens bersama pasien, menggunakan teknik komunikasi,
sentuhan serta memperhatikan kebutuhan dasar pasien.
 Fase marah : mendorong dan memberikan waktu pada pasien untuk
mengungkapkan kemarahan secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan,
memfasilitasi kebutuhan pasien akibat reaksi kemarahannya, serta
memberikan pemahaman kepada keluarga bahwa marah merupakan sebuah
proses yang normal.
 Fase tawar-menawar : membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah
dan perasaan takutnya dengan memberkan perhatian penuh dan tulus,
mengajak pasien berbicara untuk mengurangi rasa bersalah serta memberikan
dukungan spiritual.
 Fase depresi : mengidentifikasi tingkat depresi dan membantu
mengurangi rasa bersalah dengan memberikan kesempatan kepada pasien
untuk mengekspresikan kesedihannya, memberikan dukungan non verbal,
membahas pikiran negatif dan melatih mengidentifikasi hal negatif tersebut.
 Fase penerimaan : membantu pasien mengidentifikasi rencana kegiatan
yang akan dilakukan dan membantu keluarga untuk bisa mengerti penyebab
rasa kehilangan. (Putri, Rosiana, 2013)

C. Definisi berduka

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan


yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas,
susah tidur, dan lain-lain.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.


NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi
dan berduka disfungsional.

Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman


individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.

Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan


pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
1. Teori dari Proses Berduka

Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka.
Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana
intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang
perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan
memberikan dukungan dalam bentuk empati.

a. Teori Engels Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa


fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka
maupun menjelang ajal.
 Fase I (shock dan tidak percaya) ; Seseorang menolak kenyataan atau
kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa
tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare,
detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
 Fase II (berkembangnya kesadaran) ; Seseoarang mulai merasakan
kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa
tiba-tiba terjadi.
 Fase III (restitusi) ; Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan
perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak
dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
 Fase IV ; Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang
kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
 Fase V ; Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah
dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

b. Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi


pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

 Penyangkalan (Denial)

Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak
untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti
“Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!”
umum dilontarkan klien.

 Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada


setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada
fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan
marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.

 Penawaran (Bargaining)

Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau
jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari
pendapat orang lain.

 Depresi (Depression)

Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya
melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
 Penerimaan (Acceptance)

Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross


mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus
asa.

c. Teori Martocchio

Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai


lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan
bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon
kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya
reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut
sampai 3-5 tahun.

d. Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:

 Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
 Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
 Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari
dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka
D. Aplikasi Proses Keperawatan dalam Berduka

Kedekatan emosional yang kuat, yang tercipta dalam hubungan yang


bermakna tidak mudah dihilangkan, kehilangan akibat kematian orang yang
dicintai merupakan krisis utama yang memiliki dampak sangat besar pada
hidup individu. Keadaan disekuilibrium yang terjadi akibat krisis (atau
kehilangan) menyebabkan kecemasan yang besar dan ketidaknyamanan yang
ekstrem, yang mendorong individu kembali ke keadaan homeostasis, suatu
keadaan ekuilibrium atau keseimbangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
individu yang berduka kembali ke keadaan homeostasis adalah persepsi yang
adekuat tentang situasi, dukungan situasional yang adekuat, dan koping yang
adekuat. Faktor ini membantu individu memperoleh kembali rasa
keseimbangan dan kembali ke tingkat fungsi sebelumnya, atau bahkan
menggunakan krisis sebagai kesempatan untuk tumbuh. Setiap kehilangan
dapat dianggap sebagai krisis personal, akan tepat jika perawat menerapkan
pemahaman tentang teori krisis dalam proses keperawatan.

Seorang perawat agar dapat mendukung dan membimbing klien


dalam menjalani proses berduka yang sulit, ia harus mengamati dan
mendengarkan petunjuk dari klien. Petunjuk tersebut mencakup petunjuk
kognitif, emosional, spiritual, perilaku dan fisiologis. Walaupun perawat harus
mengenal fase atau tugas yang harus dicapai dan dimensi respons manusia
terhadap kehilangan, perawat harus menyadari bahwa tiap klien memiliki
pengalaman yang unik. Komunikasi yang terampil merupakan kunci dalam
melakukan pengkajian dan memberikan intervensi. Perawat harus menjadi
pembimbing yang dapat dipercaya bagi klien. Perawat harus mengkaji
sikapnya sendiri, mempertahankan kehadirannya yang penuh perhatian, dan
menyediakan lingkungan yang aman secara psikologis sehingga klien dapat
mengungkapkan perasaannya. Mempertahankan kehadiran yang penuh
perhatian dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh terbuka seperti
berdiri atau duduk dengan lengan ke bawah dan berhadapan dengan klien
serta mempertahankan kontak mata yang cukup, terutama ketika klien
berbicara. Menciptakan lingkungan yang aman secara psikologis mencakup
upaya menjamin kerahasiaan klien, berhenti memberikan nasihat tertentu, dan
memberi klien kebebasan untuk mengungkapkan pikiran serta perasaannya
tanpa merasa takut dihakimi. Pengkajian pada klien yang berduka meliputi
upaya mengamati dan mendengarkan isi dukacita klien tentang yang
dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperlihatkan melalui perilaku. Tiga area
utama yang perlu dikaji :

1. Persepsi yang adekuat tentang kehilangan.

2. Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan.

3. Perilaku koping yang adekuat selama proses.

Mengkaji persepsi klien dan makna kehilangan merupakan langkah


pertama yang dapat membantu mengurangi derita yang disebut oleh beberapa
orang sebagai beban emosional awal yang berlebih dalam berduka. Pengkajian
lebih lanjut dapat berfokus pada persepsinya bahwa mereka yang
mengabaikannya tidak lagi peduli. Dalam situasi ini, mengkaji persepsi dan
makna kehilangan membantu individu yang berduka membuat pergeseran
kognitif yang memiliki dampak penting pada pengalaman emosional. Ketika
kematian atau kehilangan terjadi, terutama jika hal itu terjadi dengan tiba-tiba
dan tanpa peringatan, mekanisme pertahanan kognitif berupa penyangkalan
berfungsi sebagai media untuk mengurangi dampak. Penyangkalan adaptif,
ketika klien secara bertahap menyesuaikan diri dengan realitas kehilangan,
dapat membantu klien membuat pergeseran kognitif bahwa perlu melupakan
persepsi sebelumnya (sebelum kehilangan) ketika menciptakan cara pemikiran
baru tentang dirinya, orang lain dan dunia. Dalam hal ini, perawat dengan
hati-hati tetapi terus-menerus memandu klien untuk mengakui realitas
kehilangan yang akan terjadi. Perawat dapat membantu klien mendapatkan
dan menerima apa yang orang lain ingin berikan dalam mendukung proses
berdukanya. Intervensi yang sesuai untuk klien yang berduka mencakup
memberi klien kesempatan untuk membandingkan dan membedakan caranya
melakukan koping terhadap kehilangan yang signifikan di masa lalu,
membantunya meninjau kekuatan dan memperbarui kesadaran akan
kemampuan personal. Mengingat dan mempraktikkan perilaku masa lalu
dalam situasi yang baru dapat menimbulkan percobaan dengan metode yang
baru dan memahami diri sendiri. Memiliki perspektif historis meringankan
proses berduka individu dengan memungkinkan perubahan cara berpikir
tentang dirinya, kehilangan, dan mungkin makna kehilangan dalam hidupnya.
Mendorong klien merawat dirinya sendiri adalah intervensi lain yang
membantu klien melakukan koping. Perawat dapat menawarkan makanan
tanpa memaksa klien untuk makan. Menjaga makan, tidur cukup, olahraga,
dan meluangkan waktu untuk aktivitas yang menyenangkan adalah cara yang
dapat klien lakukan untuk merawat dirinya. Komunikasi dan keterampilan
interpersonal adalah alat perawat yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Zaini Mad, 2019. “Asuhan Keperawatan Jiwa ”. Yogyakarta : Deepublish Publisher

https://www.academia.edu/37283353/Askep_kehilangan_dan_berduka_pdf

Mubarak, Iqbal Wahit dkk. 2015. Ilmu Dasar Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta
Selatan

https://bidanfriskasari.wordpress.com/2014/10/17/konsep-kehilangan-dan-berduka/

Putri, Rosiana. 2013. Asuhan Keperawatan Berduka Situasional. Jakarta, UI

Yosep, Iyus, S.Kep, M.Si. revisi april 2009,2010. Keperawatan Jiwa , Bandung: PT
Refika Aditama

http://eprints.undip.ac.id/47270/1/bagian_awal-bab_3.pdf

Anda mungkin juga menyukai