Anda di halaman 1dari 15

KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN & BERDUKA

KELOMPOK IV

MOH. ANDRIYANTO S ABDUL 2120009


YUSTINA MARIANA NGGUNU 2120005

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan seluruh alam, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Konsep Kehilangan, Kematian, dan
Berduka. Kami berterimakasih kepada Ibu Ns. Rodiyanah S.Kep, M. Kes selaku dosen
mata kuliah “PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN STIK GIA
MAKASSAR” yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai konsep kehilangan, kematian dan berduka.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan
kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup
seseorang.
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum
berarti sesuatu yang kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat
disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi/ego dari diri yang
bersangkutan atau disekitarnya. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi
dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian. 
Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan
perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi
perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe
kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk
memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga
kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak
berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar
artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan
asuhan keperawatan.
Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang
mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami
kehilangan dan dukacita.
Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan
pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan,
pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan
pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung
klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kehilangan
1. Kehilangan
Kehilangan (lass) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang
dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup
sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan pengalaman
yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupannya.
Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap individu
akan bereaksi terhadap kehilangan. Respons terakhir terhadap kehilangan
sangat dipengaruhi oleh respons individu terhadap kehilangan sebelumnya
(potterdan perry, 1997).
Kehilangan dapat memiliki beragam bentuk, sesui nilai dan prioritas
yang dipengaruhi oleh lingkungan seseorang yang, meliputi keluarga, teman,
masyarakat dan budaya. Kehilangan dapat berupa kehilangan yang nyata
atau kehilangan yang dirasakan. Kehilangan yang nyata (actual loss) adalah
kehilangan orang atau objek yang tidak lagi dirasakan, dilihat, diraba, atau
dialami seseorang, misalnya anggota tubuh, anak, hubungan, dan peran
ditempat kerja.
Kehilangan yang dirasakan (perceived loss) merupakan kehilangan
yang sifatnya unik menurut orang yang mengalami kedukaan, misalnya
kehilangan hrga diri atau percaya diri.
2. Jenis kehilangan
1. Kehilangan objek eksternal (misalnya kecurian atau kehancuran akibat
bencana alam)
2. Kehilangan lingkungan yang dikenal (misalnya berpindah rumah, dirawat
dirumah sakit atau berpindah pekerjaan)
3. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti (misalnya pekerjaan,
kepergian anggota keluarga atau teman dekat, perawat yang dipercaya,
atau binatang peliharaan)
4. Kehilangan suatu aspek diri (misalnya anggota tubuh dan fungsi psikologis
atau fisik)
5. Kehilangan hidup (misalnya kematian anggota keluarga, teman dekat atau
diri sendiri)
3. Dampak kehilangan
1. Pada masa anak-anak, kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk
berkembang, kadang-kadang akan timbul regresi serta rasa takut untuk
ditingggalkan atau dibiarkan kesepian.
2. Pada masa remaja atau dewasa muda, kehilangan dapat menyebabkan
disintegrasi dalam keluarga.
3. Pada masa dewasa tua, kehilangan khususnya kematian pasangan hidup,
dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat
hidup orang yang ditinggalkan.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan
Yang tergantung pada :
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. Kepercayaan/spiritual
4. Peran seks
5. Status sosial ekonomi
6. Kondisi fisik dan psikologi individu

B. Kematian
1. Kematian
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi manusia.
Pemahaman akan kematian mempengaruhi sikap dan tingkah laku
seseorang terhadap kematian. Selain pengalaman, pemahaman konsep
kematian juga dipebgaruhi oleh perkembangan kognitif dan lingkungan sosial
budaya.
Kematian adalah kematian otak yang terjadi jika pusat otak tertinggi
yaitu korteks serebral mengalami kerusakan permanen. Dalam kasus ini, ada
aktivitas jantung, kehilangan fungsi otak permanen, dimanifestasikan secara
klinis dengan tidak ada respon terarah terhadap stimulus eksternal, tidak ada
reflek sefalik, apnea, dan elektrogam isoeletrik minimal 30 tanpa hipoterma
dan keracunan oleh depresan system saraf pusat (Stedman,2000).
Hasil penelitian menunjukan pemahaman konsep kematian yang
berbeda-beda pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum
memahami subkonsep unpredictability dan causality, sedangkan kelima
subkonsep lainnya sudah dipahami oleh anak. Satu subjek lainnya hanya
memahami subkonsep, universability, dan personal mortality. Sedangkan
empat subkonsep lainnya belum dipahami sama sekali.
Berikut ini beberapa konsep tentang mati yaitu.
a. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam
PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi
jantung dan paru-paru. Namun kriteria ini sudah ketinggalan zaman.
Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan
jantung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
b. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh \
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-
akan nyawa dapat ditarik kembali.
c. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri
tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi,
konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima
karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak
terpadu lagi.
d. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interkasi sosial.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai mahluk sosial, yaitu individu
yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan
mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari
otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan.
2. Perubahan Tubuh Setelah Kematian
Terdapat beberapa perubahan tubuh setelah kematian, diantaranya:
rigor mortis (kaku), dapat terjadi sekitar 2-4 jam setelah kematian, algor
mortis (dingin), suhu tubuh perlahan – lahan turun, dan post
mortemdecomposition, yaitu terjadi livor mortis pada daerah yang tertekan
serta melunaknya jaringan yang dapat menimbulkan banyak bakteri.

C. Berduka
1. Berduka
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan.
Hal ini diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada masing-masing
orang dan didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan
keyakinan spiritual yang dianutnya. Sedangkan istilah kehilangan
(bereavement)mencakup berduka dan berkabung (morning), yaitu perasaan
didalam dan reaksi keluar orang yang ditinggalkan. Berkabung adalah
periode penerimaan terhadap kehilangan dan berduka. Hal ini terjadi dalam
masa kehilangan dan sering dipengaruhi oleh kebudayaan atau kebiasaan.
2. Jenis berduka
a. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal
terhadap kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis,
kesepian dan menarik diri dari aktifitas utuk sementara.
b. Berduka antisipatif, yaitu proses ‘melepaskan diri’ yang muncul sebelum
kehilangan ataau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika
menerima diagnosis terminal, seseorang akann memulai proses
perpisahan dan meyelesaikan berbagai urusan didunia sebelum ajalnya
tiba.
c. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke
tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-
olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang
bersangkutan dengan orang lain.
d. Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat
diakuti secara terbuka. Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS,
mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anak
kandungnya atau ketika bersalin.
3. Respons Berduka
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-
tahap berikut (kubler-Ross, dalam potter dan perry, 1997)
a. Tahap Pengingkaran.
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya,mengerti,atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar
benar terjadi. Sebagai contoh orang atau keluarga dari orang yang
menerima diagnosis terminal akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual,
diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan
seringkali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini berlangsung
dalam beberapa menit hingga beberapa tahun.
b. Tahap Marah.
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarah yang timbul
seringkali di proyeksi kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang
mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukan prilaku agresif,
berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan
menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respons fisik yang sering
terjadi, antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan mengepal, dan seterusnya
c. Tahap Tawar-menawar.
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran kenyataan terjadinya
kehilangan dan dapat mencoba untuk memiliki kesepakatan secara halus
atau terang-terangan seolah-olah kehilangan tersebut dapat di cegah.
Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan
memohon kemurahan Tuhan.
d. Tahap Depresi.
Pada tahap ini pasien sering menunjukan sikap menarik diri,kadang-
kadang bersikap sangat penurut, tidak mau berbicara, menyatakan
keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri.
Gejala fisik yang di tunjukkan, antara lain menolak makan, susah tidur,
letih, turunya dorongan libido, dan lain-lain.
e. Tahap Penerimaan.
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
yang selalu berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau
hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang di alaminya
dan mulai memandang ke depan. Gambaran tentang objek atau orang
yang hilang akan mulai di lepaskan bertahap. Perhatiannya akan beralih
pada objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan
menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses
berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas.
Kegagalan untuk masuk ketahap penerimaan akan memengaruhi
kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan
selanjutnya.
Secarakhusus, tahan/rentang respons individual terhadap kedukaan
adalah:
a. Tahap Pengingkaran
1. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan
perasannya dengan cara :
 Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan berdukanya.
 Meningkatkan kesabaran pasien secara bertahap tentang
kenyataan dan kehilangan, apabila sudah siap secara emosional
2. Menunjukan sikap menerima dengan iklas dan mendorong pasien
untuk berbagi rasa dengan cara :
 Mendengarkan dengan penuh perhatian dan minat mengenai hal
yang dikatakan oleh pasien tanpa menghukum atau menghakimi.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa sikap tersebut bisa terjadi pada
orang yang mengalami kehilangan.
3. Memberi jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit,
pengobatan, dan kematian dengan cara :
 Menjawab pertanyaan pasien dengan bahas yang mudah di
mengerti, jelas, dan tidak berbelit-belit.
 Mengamati dengan cermat repons-respons pasien selama
berbicara.
 Meningkatkan kesadaran secara bertahap.
b. Tahap Marah
Mengizinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marah secara
verbal tanpa melawan kemarahan tersebut dengan cara :
 Menjelaskan kepada keluarga bahwa kemarahan pasien
sebenarnya tidak di tujukan kepada mereka.
 Membiarkan pasien menangis.
 Mendorong pasien untuk membicarakan kemarahanya.
c. Tahap Tawar-menawar
Membantu pasien mengungkapkan rasa bersalah dan takut dengan cara:
 Mendengarkan ungkapan dengan penuh perhatian.
 Mendorong pasien untuk membicarakan rasa takut atau rasa
bersalahnya.
 Membahas bersama pasien mengenai penyebab rasa bersalah
atau rasa takutnya.
d. Tahap Depresi
1) Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan takut dengan
cara :
 Mengamati prilaku pasien dan bersama denganya membahas
perasaanya.
 Mencegah tindakan bunuh diri atau merusak diri sesuai derajat
risikonya.
2) Membantu pasien mengurangi rasa bersalah dengan cara :
 Menghargai perasaan pasien.
 Membantu pasien menemukan dukungan yang positif dengan
mengaitkan terhadap kenyataan.
 Memberi kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan
perasaanya.
 Bersama pasien membahas pikiran negatif yang selalu timbul.
e. Tahap Penerimaan
Membantu pasien menerima kehilangan yang tidak bisa dielakan dengan
cara :
 Membantu keluarga mengunjungi pasien secara teratur
 Membantu keluarga berbagi rasa, karena setiap anggota keluarga
tidak berada pada tahap yang sama pada saat yang bersamaan.
 Membahas rencana setelah masa berkabung terlewati.
 Memberi informasi akurat tentang kebutuhan pasien dan keluarga
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya.
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktual atau nyata dan persepsi.
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:Kehilangan seseorang  seseorang yang
dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek eksternal,
kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri, dan kehilangan
kehidupan/meninggal. Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon
berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi
dan penerimaan.
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi manusia.
Pemahaman akan kematian mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang
terhadap kematian. Selain pengalaman, pemahaman konsep kematian juga
dipebgaruhi oleh perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara
aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional.
Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktual atau nyata dan persepsi.
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:Kehilangan seseorang  seseorang yang
dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek eksternal,
kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri, dan kehilangan
kehidupan/meninggal. Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon
berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi
dan penerimaan.
DAFTAR PUSTAKA

Kuliat,Budi Anna (1994).Proses Keperawatan.Jakarta:EGC

Doengoes,Mary,Marlyn(1995).Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa


Keperawatan.Edisi 2.Jakarta:EGC

Husain,M.(1993).Pendidikan Keperawatan dan Hubunganya dengan Pengembangan


IPTEK.Bandung:Akper DEPKES RI

Anda mungkin juga menyukai