Anda di halaman 1dari 20

Tugas Individu : Psikososial dan Budaya Keperawatan

Dosen pengampu : Mien.S.Kep.,Ns.M.kes

KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN DAN BERDUKA

DI SUSUN OLEH :

AMALIAH

( S.0020.P2.002 )

STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI


TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Individu untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.
Dalam makalah  ini penulis membahas tentang “ Konsep Kehilangan, Kematian dan
Berduka ” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah Psikososial dan Budaya
Keperawatan, Program Studi Pendidikan kesehatan, Jurusan keperawatan, Stokes Karya
Kesehatan Kendari.
Dengan menyelesaikan Makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan. Namun
penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun
untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih baik
lagi. Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Kendari, Januari 2021

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena alam seperti bencana alam berdampak besar bagi populasi manusia dan
lingkungan. Peristiwa alam yang digolongkan sebagai bencana alam dapat berupa banjir,
letusan gunung berapi, tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es,
gelombang panas, badai panas, taifun, tornado, kebakaran liar dan wabah penyakit.
Indonesia berdasarkan posisi garis lintang dan garis bujur terletak pada diantara
6°LU - 11°LS dan 95°BT - 141°BT. Indonesia juga memiliki kurang lebih 17.000 buah
pulau, dengan luas daerah daratan 1.922.570 km² dan memiliki luas perarian sebesar
3.257.483 km². Indonesia terletak pada posisi pertemuan tiga lempeng, yaitu Lempeng
Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Indo – Australia yang menjadi pusat pergerakan
bumi. Tidak heran, jika wilayah ini mempunyai potensi bencana besar artificial dan non
artificial (Zehan, 2013).
Bencana alam seperti banjir merupakan suatu kejadian alam yang menghantui
hampir seluruh wilayah di Indonesia. Kejadian ini tentunya menyebabkan trauma yang
mendalam bagi mereka yang mengalaminya. Hidup dalam pengungsian juga bukanlah
hal yang menyenangkan untuk dijalani. Apabila trauma ini tidak cepat diatasi maka dapat
timbul suatu gangguan kejiwaan yang disebut sebagai Gangguan Stres Pasca Trauma
yaitu suatu keadaan yang timbul sebagai respons berkepanjangan terhadap kejadian atau
situasi yang bersifat stresor katastrofik, yang sangat menakutkan dan cenderung
menyebabkan penderitaan pada hampir semua orang (Kembaren, 2014).
Seseorang mengalami suatu peristiwa yang sangat traumatik akan mengalami
episode bayangan-bayangan traumatik tersebut (flashback). Bayangan traumatik itu dapat
muncul saat terjaga atau dalam mimpi dan sering kali juga mengeluh mengalami
gangguan tidur. Trauma secara sederhana dapat diartikan sebagai luka yang sangat
menyakitkan. Pengalaman traumatis, secara psikologik berarti pengalaman mental yang
mengancam kehidupan, dan melampaui ambang kemampuan rata rata orang untuk
menanggungnya. Peristiwa tersebut dapat dialami sendiri atau menyaksikan (terlibat
langsung) dalam peristiwa tersebut. Pengalaman traumatis mengakibatkan perubahan
yang drastis dalam kehidupan seseorang. Pengalaman traumatis mengubah persepsi
seseorang terhadap kehidupannya. Pengalaman traumatis dapat mengubah perilaku dan
kehidupan emosi seseorang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kehilangan
2. Apa definisi kematian ?
3. Apa definisi berduka ?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk meningkatkan pengetahuan tentang konsep kehilangan kematian dan berduka.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kehilangan

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbed (Yosep, 2010).

Jenis-jenis Kehilangan

Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:

1. Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai


Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti
adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe
kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
2. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri,
kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan
dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa
aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran,
ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
3. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama,
perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.

4. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal


Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal
termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau
bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki
tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.

5. Kehilangan kehidupan/ meninggal


Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada
kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian
orang berespon berbeda tentang kematian.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehilangan adalah sebagai berikut :

1. Faktor Perkembangan

Anak-anak
 Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.
 Belum menghambat perkembangan.
 Bisa mengalami regresi.

Orang dewasa

 Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup.

 Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.

2. Faktor Keluarga

Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya


menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka.

3. Faktor Sosial Ekonomi

Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti


kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan hal ini bisa
mengganggu kelangsungan hidup.

4. Faktor Kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat menganggap
kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga,
kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa
mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras.

5. Faktor Agama

Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa
kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan
akan kematian.

6. Faktor Penyebab Kematian

Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan


goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang
menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan
Kebutuhan keluarga yang kehilangan membutuhkan hal-hal sebagai berikut.

Rentang Respon Kehilangan

Berikut penjelasan skema rentang respon kehilangan.

1. Fase Denial (Penyangkalan)

Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan yang ada. Selalu ada
verbalisasi “itu tidak mungkin”, “saya tidak percaya itu terjadi” yang tercantum dalam
otaknya. Terjadi perubahan fisik seperti letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.

2. Fase Anger (Kemarahan)

Mulai sadar akan kenyataan. Marah diproyeksikan pada orang lain. Terjadi reaksi
fisik seperti muka merah, nadi cepat, gelisah, sudah tidur, tangan mengepal. Berperilaku
agresif.

3. Fase Bargaining (Tawar Menawar)


Adanya tawar menawar seperti verbalisasi “kenapa harus terjadi pada saya?“
dinetralkan menjadi “seandainya saya berhati-hati, pasti tidak terjadi pada saya”. Maksud
disini adalah adanya suatu mekanisme pertahanan diri untuk tidak menyalahkan diri
sendiri.
4. Fase Depression (Depresi)
Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa. Gejala yang
timbul adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.

5. Fase Acceptance (Penerimaan)


Pikiran pada objek yang hilang berkurang. Verbalisasi ”apa yang dapat saya
lakukan agar saya cepat sembuh?” dan juga “yah, akhirnya saya harus operasi”.

Dampak Kehilangan

Kehilangan bisa mengakibatkan dampak dalam hidup seseorang seperti berikut ini.:

1. Pada masa anak-anak

Kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk berkembang, kadang akan


timbul regresi serta rasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian.

2. Pada masa remaja atau dewasa muda

Kehilangan dapat menyebabkan disintegrasi dalam keluarga atau suatu


kehancuran keharmonisan keluarga.

3. Pada masa dewasa tua

Kehilangan khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang


sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan.

B. Definisi Kematian
Menurut Papalia (2008) kematian merupakan fakta biologis, akan tetapi juga
memiliki aspek sosial, kultural, historis, religius, legal, psikologis, perkembangan, medis,
dan etis. Aspek-aspek tersebut memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Secara
etimologi death berasal dari kata death atau deth yang berarti keadaan mati atau
kematian. sementara secara definitif,kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru
– paru secara menetap,atau terhentinya kerja otak secara permanen.ini dapat dilihat dari
tiga sudut pandang tentang definisi kematian,yakni kematian jaringan,kematian
otak,yakni kerusakan otak yang tidak dapt pulih dan kematian klinik,yakni kematian
orang tersebut.
Keterkaitan antara kematian dan kehilangan juga memiliki keterkaitan. Walaupun
keduanya merupakan pengalaman yang universal, namun dua hal tersebut memiliki
konteks kultural. Sikap kultural dan religius inilah yang mempengaruhi aspek psikologis
dari perkembangan dari kematian. Seperti bagaimana orang-orang yang sama usia
menghadapi kematian pada diri sendiri dan kematian orang-orang yang berada di dekat
orang tersebut (Papalia, 2008)..
Tanda – tanda kematian terbagi kedalam tiga tahap, yakni menjelang kematian, saat
kematiaan, dan setelah kematian.
a) Mendekati kematian.
Tanda – tanda fisik menjelang kematian meliputi sebagian berikut .
1. Penurunan tonus otot
Penurunan tonus otot ditandai dengan gerakan ekstermitas berangsur – angsur
menghilang, khususnys pada kaki dan ujung kaki, sulit berbicara, tubuh semakin
lemah, aktivitas saluran pencernaan menurun sehingga perut membuncit, otot rahang
dan muka mengendur sehingga dagu menjadi turun, rahang bawa cenderung turun,
sulit menelan, refleks gerakan menurun, mata sedikit terbuka, penurunan gekgiatan
traktus gastrointestinal, ditandai dengan nausea,, muntah, kembung, obtisipasi, dan
sebagainnya, penurunan kontrol sfingter urinari dan rektal dan gerakan tubuh yang
terbatas.
2. Sirkulasi melemah
Ditandai dengan suhu klien tinggi, tetapi kaki, tangan, dan ujung hidung klien
terasa dingin dan lembab, kulit ektermitas dan ujung hidung tanpa kebiruan, kelabu,
atau pucat, nadi mualai teratur, dan cepat, tekanan darah menurun, peredaran perifer
terhenti, kemunduran dalam sensasi.
3. Kegagalan funngsi sensorik
Ditandai dengan sensasi nyeri menurun atu hilang, pandangan mata
kabur/berkabut, kemapuan indra beransur- ansur, sensasi panas, lapar, dingin, dan
tajam menurun, gangguan penciuman dan perabaan, variasi variasi tingaka dapat di
lihat sebelum kematian. Kadang –kadang klien tetap sadarsampai meninggal,
pendengaran merupakan sensori terakhir yang berfungsi sebelum meninggal.
4. Penurunan / keggagalan fungsi pernafasan.
Ditandai dengan mengerok (deat reattle) / bunyi napas terdengar kasar,
pernapasan tidak teratur dan berlangsung melalui mulut, pernapasan sheyne stokes.
5. Perubahan –perubahan dalam tanda- tanda vital.
Ditandai dengan nadi lambat dan lemah, tekanan darah turun, pernapsan cepat,
cepat dangkal, dan tidak teratur. Saat kematian fase ini di tandai dengan ciri – ciri
terhentinya pernapasan, nadi, tekanan darah, dan fungsi otak ( paru, jantung, dan
otak), hilangnya responds terhadap stimulus , hilangnnya kontron atas sfingter
kandung kemih dan rectum (inkontienennsia) akkibat peredaran yang terhambat , kaki
dan ujung hidung menjadi dingin, hilangnya kemampuan panca indra, hanya indra
pendengar yang paling lama dapat berfunsi, adanaya garis dasar pada mesin
elekttroensefalografi menunjukkan terhentinya aktivitas listrik otak untuk penilaian
pasti suatu kematian. Sedangkan setelah kematian fase ini di tandai dengan ciri ciri
rigor mortis (kaku),tubuh menjadi kaku. 2- 4 jam setelah kematian, Argor mortis
( dingin) suhu tutuh pelahan- lahan turun , Livor mortis ( post mortem dikompesition)
perubahan pada daerah yang tertekan, jarimgan melunak dan bakteri sangat banyak.
b). Kematian dalam psikologi
Psikologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku
seseorang melihat kematian sebagai suatu peristiwa dahsyat yang sesungguhnya
sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ada segolongan orang yang
memandang kematian sebagai sebuah malapetaka. Namun ada pandangan yang
sebaliknya bahwa hidup di dunia hanya sementara, dan ada kehidupan lain yang
lebih mulia kelak, yaitu kehidupan di akhirat. Maut merupakan luka paling parah
untuk narsisisme insani. Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusia bertindak
religius.
Berbagai proses yang dilalui untuk kembali dari keterpurukan karena setiap
orang akan mengalami hal- hal yang unik dan khusus, tergantung bagaimana cara dia
ditinggalkan. Kematian juga disikapi manusia mengenai dirinya. Sadar bahwa suatu
saat dirinya juga akan mengalami kematian. Masing- masing mulai menakar diri.
Menginvetarisasi semua aktivitas dan lakon hidup. Mengingat kebaikan dan
keburukan yang sudah pernah dilakukan. Khawatir akan balasan yang akan diterima
dihari kebangkitan. Perasaan seperti ini sering dirasakan dan menghantui manusia
yang terjadi semacam kecemasan batin. Sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris
psikologi terikat pada pengalaman dunia. Psikologi tidak melihat kehidupan manusia
setelah mati, melainkan mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia
terhadap masalah kematian dan apa makna kematian bagi manusia itu sendiri
(Boharudin, 2011)
Berdasarkan telaah jurnal Astuti, (2007) mengenai pentingnya pendidikan
tentang kematian yang diimplementasikan pada korban bencana alam untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap psikologis remaja dan anak-anak dimana Seperti
halnya seks, kematian merupakan bagian dari kehidupan sehingga orang dewasa dan
anak-anak perlu familiar dengan kematian dan memahaminya. Meskipun demikian,
seperti juga pendidikan seks, pengenalan tentang topik kematian melalui kegiatan
membaca, diskusi, dan aktivitas lain di perguruan tinggi dan sekolah kadang-kadang
diangap berpotensi merusak individu. Sebagian orang sudah berpendapat bahwa
diskusi tentang kematian dan hal-hal yang terkait dengannya dapat membuat kaum
muda dan anak-anak menjadi cemas, tertekan, dan tak berdaya, di samping itu dapat
meningkatkan pembunuhan, bunuh diri dan menurunkan kepercayaan religius. Fakta
bahwa ketakutan itu pada umumnya tak beralasan dapat dilihat dari perubahan yang
terjadi pada orang dewasa dan anak-anak yang telah diberikan pendidikan dan
pelatihan yang berhubungan dengan thanatology. Hasilnya, pendidikan dan pelatihan
tersebut tidak menciptakan malapetaka emosi melainkan menghasilkan peningkatan
dalam pengetahuan dan sikap peserta tentang kematian sehingga menjadi lebih
resilien ketika berhadapan dengan kematian seseorang.
Berdasarkan telaah jurnal Astuti, (2007)didalamnya dikatakan bahwa
pelajaran tentang death and dying telah dirancang untuk berbagai kelompok informal
dan formal, mulai dari masa pra sekolah sampai orang dewasa. Tujuan dari usaha ini
bersifat teoritis dan praktis, kognitif dan afektif. Tujuan keseluruhan adalah untuk
membantu individu menghadapi kematian mereka sendiri dan orang lain yang
penting bagi mereka secara lebih efektif. Death education dapat dilakukan dengan
pemberian informasi melalui pendekatan konvensional (ceramah, kuliah, diskusi,
film, membaca, menulis tugas), dan juga melalui pengalaman seperti perjalanan ke
rumah sakit, kamar mayat, kuburan, dan lokasi-lokasi lain yang terkait dengan
kematian. Jika ketakutan pada kematian telah terlanjur terbentuk, maka death
education perlu disertai dengan modifikasi perilaku dengan teknikteknik khusus
(desensitisasi sistematik, self monitoring dan modeling) serta psikoterapi agar lebih
efektif untuk mengatasi ketakutan tersebut.
c). Penyebab kematian
1. Penyakit . keganasan, misalnya karsinoma hati, karsinoma mamma, karsinoma paru,
penyakit kronis, misalnya CRF ( Chronik renal failure.) atau gangguan ginjal,
Myocard Infarction atau gangguan vaskuler.
2. Kecelakaan.
d). Tipe tipe perjalanan menjelang kematian
1) Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui,yaitu adanya perubahan yang
cepatdari fase akut ke kronik.
2) Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui,biasanya terjadi pada
kondisi penyakit yang konik.
3) Kematian yang belum pasti,kemungkinan sembuh belum pasti,biasanya terjadi pada
klien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4) Kemungkinanmati dan sembuh yang Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa
diketahui,biasanya terjadi pada kondisi penyakit yang konik.
5) Kematian yang belum pasti,kemungkinan sembuh belum pasti,biasanya terjadi pada
klien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
6) Kemungkinanmati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada kliendengan sakit
kronikdan telah berjalan lama.

C. Definisi berduka

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang


dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-
lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan
ada dua jenis tipe berduka, yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional (Rachmad,
2011).
Jenis-jenis Berduka
Ada 5 jenis konsep berduka, yaitu :
1. Berduka Normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.
Misal : kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk
sementara.

2. Berduka Antisipatif
Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang
sesungguhnya terjadi. Misal : ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan
memulai proses perpisahan dan menyesuaikan diri dengan berbagai urusan dunia
sebelum ajalnya tiba.
3. Berduka yang Rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap
kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat
mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka Tertutup
Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Misal :
kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua, ibu yang
kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.
5. Berduka Disfungsional
Suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-
besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial. Tipe ini kadang-
kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/ kekacauan.

Rentang Respon Berduka

Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry (1997), respon berduka seseorang
terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut.
1. Tahap Denial (Penyangkalan)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya,
atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi fisik yang
terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak
jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa.
Reaksi ini dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa tahun.
2. Tahap Anger (Kemarahan)
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan
juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain,
menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak berkompeten. Respon
fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan mengepal, dan seterusnya.
3.Tahap Bargaining (Tawar Menawar)
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan
dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah
kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-
menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
4.Tahap Depression (Depresi)
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang
bersikap sangat menurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusan, rasa tidak berharga,
bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain menolak
makan, susah tidur, letih, dan lain-lain.
5.Tahap Acceptance (Penerimaan)
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu
berpusat pada objek yg hilang akan mulai berkurang atau bahkan hilang. Perhatiannya
akan beralih pada objek yg baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan
menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses kehilangan secara
tuntas. Kegagalan untuk masuk ke proses ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam
mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
Teori Proses Berduka

Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka.
Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang dapat digunakan untuk mengantisipasi
kebutuhan emosional seseorang dan keluarganya, serta rencana intervensi untuk
membantu mereka memahami kesedihan dan cara mengatasinya. Berikut penjelasan teori
proses berduka dari beberapa pakar antara lain :

1. Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. Berikut
beberapa fase yang dilalui.

 Fase I (shock dan tidak percaya)


Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk
malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual,
diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.

 Fase II (berkembangnya kesadaran)


Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/ akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan
jiwa tiba-tiba terjadi.

 Fase III (restitusi)


Berusaha mencoba untuk sepakat/ damai dengan perasaan yang hampa/ kosong,
karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang
yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
 Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa
merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap
almarhum.

 Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/ disadari. Sehingga
pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru
telah berkembang.

2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi
pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut.

 Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin
seperti itu!” atau “tidak akan terjadi pada saya!” sangat umum dilontarkan.

 Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap
orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan
lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping
individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.

 Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas
untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang
lain.
 Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati
kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
 Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari
pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.

3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup
yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan
bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Berikut
penjelasannya.

 Lahir sampai usia 2 tahun


Tidak punya konsep tentang kematian. dapat mengalami rasa kehilangan dan
dukacita. Pengalaman ini menjadi dasar untuk berkembangnya konsep tentang kehilangan
dan dukacita.

 Usia 2 sampai 5 tahun


Menyangkal kematian sebagai suatu proses yang normal. Melihat kematian
sebagai sesuatu dapat hidup kembali. Mempunyai kepercayaan tidak terbatas dalam
kemampuannya untuk membuat suatu hal terjadi

 Usia 5 sampai 8 tahun


Melihat kematian sebagai akhir, tidak melihat bahwa kematian akan terjadi pada
dirinya. Melihat kematian sebagai hal yang menakutkan. Mencari penyebab kematian.

 Usia 8 sampai 12 tahun


Memandang kematian sebagai akhir hayat dan tidak dapat dihindari. Mungkin tak
mampu menerima sifat akhir dari kehilangan. Dapat mengalami rasa takut akan kematian
sendiri.

 Usia remaja
Memahami seputar kematian, serupa dengan orang dewasa. Harus menghadapi
implikasi personel tentang kematian. menunjukkan perilaku berisiko. Dengan serius
mencari makna tentang hidup lebih sadar dan tentang masa depan.

4. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori seperti
penjelasan berikut.

 Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.

 Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan
dirasakan paling akut.

 Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai
memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar
untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbed (Yosep, 2010).
Menurut Papalia (2008) kematian merupakan fakta biologis, akan tetapi juga
memiliki aspek sosial, kultural, historis, religius, legal, psikologis, perkembangan, medis,
dan etis. Aspek-aspek tersebut memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Secara
etimologi death berasal dari kata death atau deth yang berarti keadaan mati atau
kematian. sementara secara definitif,kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru
– paru secara menetap,atau terhentinya kerja otak secara permanen.ini dapat dilihat dari
tiga sudut pandang tentang definisi kematian,yakni kematian jaringan,kematian
otak,yakni kerusakan otak yang tidak dapt pulih dan kematian klinik,yakni kematian
orang tersebut.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua jenis tipe berduka, yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional (Rachmad, 2011).

B. Saran
Pihak penulis menyarankan agar para pembaca sekalian dapat mengikuti Sebagian
besar petunjuk yan telah dirangkum dalam penulisan makalah ini, hal ini dikarenakan
untuk mengetahui transcultural nursing dan perawat harus mengetahui budaya individu
yang dirawat karena sangat berpengaruh dengan kehidupan individu maupun kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan
Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan, Kematian, dan
Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto

Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta: ECG

Niven Neil. 2003. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan
Lain edisi 2. Jakarta : EGC

Faikanto. 2009. Metode Koping pada Orang yang Kehilangan, Kematian, dan Dukacita.

Anda mungkin juga menyukai