Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SPTK PASIEN DAN KELUARGA DENGAN


MASALAH : PSIKOSOSIAL BERDUKA DAN KEHILANGAN
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Dosen pengampu : Ns.Tien Aminah, M.Kep.

DI SUSUN OLEH :

1. DIVA CANDRA ADITAMA (211073)


2. KAMILATUL FADILAH (211189)
3. RADIATUL SADIEH (211092)
4. VIRONIKA MAHENI PRATIWI (211093)

2B DIII KEPERAWATAN
ITSK Rs. dr. SOEPRAOEN KESDAM V / BRAWIJAYA 
MALANG
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia- Nya kami
dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan Jiwa yang berjudul “Asuhan Keperawatan Jiwa
Pada Pasien Dengan Kehilangan Dan Berduka”.
Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai bagaimana cara memberi asuhan
keperawatan jiwa pada pasien dengan kehilangan dan berduka. Adapun tujuan kami menulis
makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa. Di sisi
lain, kami menulis makalah ini untuk mengetahui lebih rincih mengenai askep jiwa.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti
sesuatu yang kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan
karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi/ego dari diri yang bersangkutan atau
disekitarnya. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat
apabila menghadapi kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang
pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif.
Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah,
sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan.
Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan
menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima
kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut.
Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami
kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial
yang serius. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam
lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan
keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami
kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami
kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga- perawat berakhir karena perpindahan,
pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman
pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya
selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas didapatkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Kehilangan Dan Berduka ?
2. Bagaimana Teori Proses Berduka ?
3. Apa Saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan Berduka ?
4. Apa Saja Tipe Dan Jenis Kehilangan ?
5. Bagaimana Fase Atau Tahapan Pada Kehilangan ?
6. Bagaimana Tanda Dan Gejala Kehilangan ?
7. Bagaimana Asuha Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Kehilangan Dan Berduka ?
8. Bagaimana Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik pada Pasien dengan
Kehilangan?
C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, didapatkan tujuan penulisan sebagai berikut :


1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Kehilangan Dan Berduka ?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Teori Proses Berduka ?
3. Untuk Mengetahui Apa Saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan
Berduka ?
4. Untuk Mengetahui Apa Saja Tipe Dan Jenis Kehilangan ?
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Fase Atau Tahapan Pada Kehilangan ?
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Tanda Dan Gejala Kehilangan ?
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Asuha Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan
Kehilangan Dan Berduka ?
8. Untuk Mengetahui Bagaimana Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik pada
Pasien dengan Kehilangan
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KEHILANGAN DAN BERDUKA


Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011)
Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau
sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek yang hilang, dapat merupakan
objek eksternal, orang yang berarti, lingkungan, aspek diri, atau aspek
kehidupan.Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon
emosional yang normal (Suliswati, 2005).
Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita adalah proses
kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial,
dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual,
kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-
hari (NANDA, 2011).
Berduka (grieving) Merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Berduka
diwujudkan dengan cara yang unuik pada masng-masing orang dan didasarkan
pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya.
Berkabung adalah periode penerimaan terhadap kehilangan dan berduka. Berkabung
terjadi dalam masa kehilangan dan sering dipengaruhi oleh budaya atau kebiasaan.
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka merupakan suatu
reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh
terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun intelektual seseorang. Berduka
sendiri merupakan respon yang normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi
kehilangan yang dirasakan.

B. TEORI PROSES BERDUKA


Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka.
Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi
untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat
adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh
berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati. Berikut
merupakan teori proses berduka:
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
a. Fase I (shock dan tidak percaya) Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan
mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan.Reaksi secara fisik
termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat,
insomnia dan kelelahan.
b. Fase II (berkembangnya kesadaran) Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara
nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi,
depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c. Fase III (restitusi) Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang
baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d. Fase IV Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum.Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di
masa lalu terhadap almarhum.
e. Fase V Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari.Sehingga
pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya.Kesadaran baru
telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Penyangkalan (Denial) Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan
dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.Pernyataan seperti
“Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum
dilontarkan klien.
b. Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap
orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang
akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan
koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari
kecemasannya menghadapi kehilangan.
c. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk
mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d. Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut.Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan
dan mulai memecahkan masalah.
e. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut.Kubler-Ross mendefinisikan
sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya
menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
3. Teori Martocchio Martocchio (1985)
menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan
tidak dapat diharapkan.Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang terus menerus dari kesedihan
biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut
sampai 3-5 tahun.
4. Teori Rando Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a. Penghindaran Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
b. Konfrontasi Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan
dirasakan paling akut.
c. Akomodasi Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien
belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEHILANGAN DAN BERDUKA


Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan adalah genetik, kesehatan
fisik, kesehatan jiwa, pengalaman masa lalu (Suliswati, 2005)
1. Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimistik dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup yang teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
sedang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan jiwa/mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama mempunyai riwayat depresi, yang
ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimistik, selalu dibayangi oleh masa depan
yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
4. Pengalaman kehilangan di masa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna di masa kanak-kanak akan
mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.
Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan dan dapat menimbulkan respon
berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006). Situasi yang paling sering ditemui
adalah sebagai berikut:
a. Patofisiologis Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang
bersifat sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori,
muskuloskeletal, digestif, pernapasan, ginjal dan trauma.
b. Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka waktu
yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi, histerektomi).
5. Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder akibat nyeri
kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan dengan kehilangan gaya hidup
akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan
perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan
cacat, bekas luka, dan penyakit.
6. Maturasional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti temanteman, pekerjaan,
fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan harapan dan impian. Rasa
berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi oleh bagaimana cara individu
merespon terhadap terjadinya peristiwa kehilangan. Miller (1999 dalam Carpenito,
2006) menyatakan bahwa dalam menghadapi kehilangan individu dipengaruhi oleh
dukungan sosial (Support System), keyakinan religius yang kuat, kesehatan mental
yang baik, dan banyaknya sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau
psikososial yang dialami.
D. Tipe dan Jenis Kehilangan Berduka
1. Jenis Kehilangan Potter dan Perry (2005) menyatakan kehilangan dapat
dikelompokkan dalam 5 kategori: kehilangan objek eksternal, kehilangan lingkungan
yang telah dikenal, kehilangan orang terdekat, kehilangan aspek diri, dan kehilangan
hidup.
a. Kehilangan objek eksternal Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan
yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang
dewasa mungkin berupa perhiasan atau suatu aksesoris pakaian. Kedalaman berduka
yang dirasakan seseorang tehadap benda yang hilang tergantung pada nilai yang dimiliki
orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
b. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal Kehilangan yang berkaitan dengan
perpisahan dari lingkungan yang telah di kenal mencakup meninggalkan lingkungan yang
telah dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya,
termasuk pindah ke kota baru, mendapat pekerjaan baru, atau perawatan di rumah sakit.
Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah di kenal dan dapat terjadi
melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan,
atau situasi - situasional, contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam atau
mengalami cedera atau penyakit.
c. Kehilangan orang terdekat Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak,
saudara sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet yang
telah terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah
menunjukkan bahwa banyak hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat
terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi di tempat kerja, dan kematian.
d. Kehilangan aspek diri Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh,
fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup anggota
gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup
kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris.
Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri,
percaya diri, kekuatan, respek atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat
penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan atau situasi. kehilangan seperti ini, dapat
menurunkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan
akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh
dan konsep diri.
e. Kehilangan hidup Sesorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan,
berpikir, dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadinya
kematian. Perhatian utama sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi mengenai nyeri
dan kehilangan kontrol. Meskipun sebagian besar orang takut tentang kematian dan
gelisah mengenai kematian, masalah yang sama tidak akan pentingnya bagi setiap orang.
Setiap orang berespon secara berbeda-beda terhadap kematian. orang yang telah
hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat mengalami kematian sebagai
suatu perbedaan. Sebagian menganggap kematian sebagai jalan masuk ke dalam
kehidupan setelah kematian yang akan mempersatukannya dengan orang yang kita cintai
di surga. Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan, kesepian, atau cedera.
Ketakutan terhadap kematian sering menjadikan individu lebih bergantung.
Maslow (1954 dalam Videback, 2008) tindakan manusia dimotivasi oleh hierarki
kebutuhan, yang dimulai dengan kebutuhan fisiologis, (makanan, udara, air, dan tidur),
kemudian kebutuhan keselamatan (tempat yang aman untuk tinggal dan bekerja),
kemudian kebutuhan keamanan dan memiliki. Contoh kehilangan yang relevan dengan
kebutuhan spesifik manusia yang diindentifikasi dalam hierarki Maslow antara lain:
1) Kehilangan fisiologis: kehilangan pertukaran udara yang adekuat, kehilangan fungsi
pankreas yang adekuat, kehilangan suatu ekstremitas, dan gejala atau kondisi somatik
lain yang menandakan kehilangan fisiologis.
2) Kehilangan keselamatan: kehilangan lingkungan yang aman, seperti kekerasan dalam
rumah tangga dan kekerasan publik, dapat menjadi titik awal proses duka cita yang
panjang misalnya, sindrom stres pasca trauma. Terungkapnya rahasia dalam hubungan
profesional dapat dianggap sebagai suatu kehilangan keselamatan psikologis sekunder
akibat hilangnya rasa percaya antara klien dan pemberi perawatan.
3) Kehilangan keamanan dan rasa memiliki: kehilangan terjadi ketika hubungan berubah
akibat kelahiran, perkawinan, perceraian, sakit, dan kematian. Ketika makna suatu
hubungan berubah, peran dalam keluarga atau kelompok dapat hilang. Kehilangan
seseorang yang dicintai mempengaruhi kebutuhan untuk mencintai dan dicintai.
4) Kehilangan harga diri: kebutuhan harga diri terancam atau dianggap sebagai kehilangan
setiap kali terjadi perubahan cara menghargai individu dalam pekerjaan dan perubahan
hubungan. Rasa harga diri individu dapat tertantang atau dialami sebagai suatu
kehilangan ketika persepsi tentang diri sendiri berubah. Kehilangan fungsi peran
sehingga kehilangan persepsi dan harga diri karena keterkaitannya dengan peran tertentu,
dapat terjadi bersamaan dengan kematian seseorang yang dicintai.
5) Kehilangan aktualisasi diri: Tujuan pribadi dan potensi individu dapat terancam atau
hilang seketika krisis internal atau eksternal menghambat upaya pencapaian tujuan dan
potensi tersebut. Perubahan tujuan atau arah akan menimbulkan periode duka cita yang
pasti ketika individu berhenti berpikir kreatif untuk memperoleh arah dan gagasan baru.
Contoh kehilangan yang terkait dengan aktualisasi diri mencakup gagalnya rencana
menyelesaikan pendidikan, kehilangan harapan untuk menikah dan berkeluarga, atau
seseorang kehilangan penglihatan atau pendengaran ketika mengejar tujuan menjadi artis
atau komposer.
2. Jenis Berduka
a. Berduka normal, perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal.
b. Berduka antisipatif, proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan
sesungguhnya terjadi.
c. Berduka yang rumit, seseorang sulit maju ke tahap berikutnya. Berkabung tidak
kunjung berakhir.
d. Berduka tertutup, kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.
E. FASE ATAU TAHAPAN KEHILANGAN DALAM BERDUKA
1. Fase Kehilangan dan Berduka Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang. Berikut
merupakan fase atau tahapan pada kehilangan dan berduka :
a. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga proses, yaitu
syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
1) Syok dan tidak percaya Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak
dapat menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang
dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara
perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
2) Perkembangan kesadaran Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan
orang lain, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara,
dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.
3) Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga membantu
menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
b. Fase jangka panjang
Fase ini berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama. Reaksi berduka yang
tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan termanifestasi dalam
berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri,
sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan menggunakan
alkohol. Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
c. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan
dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama beberapa hari,
kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu
merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini
akan berlangsung selama beberapa minggu.
d. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
e. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini
individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
2. Tahapan Proses Berduka Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu
penyangkalan (denial), marah (anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan
penerimaan (acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan
melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung
pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada
satu fase marah atau depresi.
a. Tahap Penyangkalan (Denial) Reaksi awal seorang individu ketika mengalami
kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari
kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi
apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai
berikut : 1) “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2) “Diagnosis dokter itu salah.”
3) Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam, panas/dingin
dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak nyaman.
4) Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan (defense
mechanism) terhadap rasa cemas.
5) Pasien perlu waktu beradaptasi.
6) Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan
pertahanan yang tidak radikal.
7) Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan kematian,
tapi tidak demikian dengan emosional. Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami
kehilangan akibat kematian orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan
beranggapan bahwa orang yang dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi
melihat atau mendengar seperti biasanya. Secara fisik akan letih, lemah, pucat, mual,
diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis, dan gelisah. Tahap ini membutuhkan
waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun setelah kehilangan.
b. Tahap Marah (Anger) Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan
kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada
orang lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal
seperti berikut:
1) Emosional tak terkontrol.
“Mengapa aku?”
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
2) Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.
3) Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
“Peraturan RS terlalu keras/kaku.”
“Perawat tidak becus!”
4)Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.
5) Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang akan
mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
c. Tahap Penawaran (Bargaining) Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu
akan memasuki tahap tawar-menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah
“....seandainya saya tidak melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan
terjadi ......” atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat itu ... pasti semua akan
baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut :
1) Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2) Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu hidup,
terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
3) Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-menawar
dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat atau
diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
4) “Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini
dan tidak menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih
berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.”
5) “Bila saya sembuh, saya akan…….”
6) Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali perbuatannya,
dan menangis mencari pendapat orang lain.

d.Tahap Depresi Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar
akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak
mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak
makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan pada orang-
orang
yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak -anak bila saya tidak ada?” atau
“Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?” Depresi
adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang penting dan
bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan damai. Tahap
penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.
e.Tahap Penerimaan (Acceptance) Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan
kehilangan. Fokus pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan
terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut
mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu
akan
mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih
bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan
saya.........”Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri
proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam waktu
yang sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal terjadinya
gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi
individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah
proses yang disfungsional.

F. TANDA DAN GEJALA KEHILANGAN BERDUKA

Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala yang sering
terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass (2010) menyatakan bahwa tanda dan
gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi, meliputi:
1. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, kecemasan,
menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa, kerinduan.
2. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan cahaya, mulut
kering, kelemahan.
3. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa, tidaksabar,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidaktegasan.
4. Reaksi perilaku, misalnya, gangguan tidur, penurunan nafsu makan, penarikan sosial,
mimpi buruk, hiperaktif, menangis.
Tanda dan gejala berduka juga dikemukakan oleh Videbeck (2008), yang
mencakup ke dalam lima respon, yaitu respon kognitif, emosional, spiritual, perilaku, dan
fisiologis yang akan dijelaskan dalam tabel dibawah ini.:
G. PROSES ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
KEHILANGAN DAN BERDUKA
1. Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah :
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
2.Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping
individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
3. Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis
1) Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
2) Tujuan Khusus :
a) Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan
perawat.
b) Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
c) Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
d) Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan
terbuka.
e) Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan
perbaikan komunikasi dengan orang lain.
3) Intervensi
a) Bina hubungan saling percaya dengan klien. Rasa percaya
merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung dalam
mengatasi perasaannya.
b) Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan
perasaannya. Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
c) Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah. Dengan
mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perasaannya.
d) Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak
menghakimi. Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap
perawatan klien, tetapi tidak terlibat secara emosi.
e) Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan
negatif dari dirinya. Meningkatkan harga diri.
f) Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu
melakukan aktivitasnya. Pujian membuat klien berusaha lebih
keras lagi.
g) Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang mengikut sertakan
klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan harga
diri klien.
b. Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak
efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
1)Tujuan :
a) Klien merasa harga dirinya naik.
b) Klien mengunakan koping yang adaptif.
c) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
2) Intervensi
a) Merespon kesadaran diri dengan cara :
 Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
 Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
 Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik. Kesadaran diri
sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat klien.
b)Menyelidiki diri dengan cara :
 Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
 Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain
melalui keterbukaan.
 Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada
klien. Klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan
terhadap dirinya sendiri.
c) Mengevaluasi diri dengan cara :
 Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
 Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara
konstruktif.
d) Membuat perencanaan yang realistik.
 Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
 Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya dengan
cara menentukan perencanaan yang realistik.
e) Bertanggung jawab dalam bertindak.
Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon
maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif.

Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian masalah


klien.
f) Mengobservasi tingkat depresi.
 Mengamati perilaku klien.
 Bersama klien membahas perasaannya. Dengan mengobservasi tingkat depresi
maka rencana perawatan selanjutnya disusun dengan tepat.
g) Membantu klien mengurangi rasa bersalah.
 Menghargai perasaan klien.
 Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap
kenyataan.
 Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
 Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul. Individu dalam keadaan
berduka sering mempertahankan perasaan bersalahnya terhadap orang yang
hilang.
c..Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas
1) Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
2) Tujuan khusus :
a) Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
b) Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
c) Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
d) Klien dapat merawat kukunya sendiri.
3) Intervensi :
a) Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan. Sosialisasi bagi klien sangat
diperlukan dalam proses menyembuhkannya.
b) Menganjurkan klien untuk mandi.Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat
mengerti dan diharapkan dapat melakukan sendiri
c) Menganjurkan pasien untuk mencuci baju. Diharapkan klien mandiri.
d) Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri. Diharapkan klien mandiri.
e) Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi. Diharapkan klien mandiri. Terapi
kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien yang lain
4. Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang
a. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang
normal dan perilaku yang berhubungan dengan tiap-tiap tahap.
b. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan
mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan
secara jujur.
c. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku- perilaku yang
berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan
aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.

H. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik pada Pasien dengan Kehilangan


Contoh Kasus
Strategi Pelaksanaan 1 pada klien dengan kehilangan dan berduka
Nama : Ny.M
Ruangan : Nukula RS dr. Soepraoen Malang
No RM : 60xxx
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi Klien
Ny.M usia 33 tahun mempunyai seorang suami yang bekerja di suatu perusahaan
sebagai tulang punggung keluarga. Seminggu yang lalu, suami ibu M meninggal
karena kecelakaan. Sejak kejadian tersebut, ibu M sering melamun dan selalu
mengatakan jika suaminya belum meninggal. Ibu M terlihat sering mengingkari
kehilangan, dan menangis. Selain itu, ibu M juga tidak mau berinteraksi dengan orang
lain dan merasa gelisah sehingga susah tidur.
b. Diagnosa Keperawatan Berduka disfungsional
c. Tujuan Khusus
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat dan klien dapat
merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat
2) Klien mampu mengungkapkan pikiran dan perasaanya
3) Klien merasa lebih tenang
d. Tindakan Keperawatan
1) Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan cara mengucapkan
salam terapeutik, memperkenalkan diri perawat sambal berjabat tangan
dengan klien
2) Dorong klien untuk menungkapkan pikiran dan perasaannya. Dengarkan
setiap perkataan klien. Beri respon, tetapi tidak bersifat menghakimi
3) Ajarkan klien teknik relaksasi
2. Strategi Pelaksanaan
a. Tahap Orientasi
1) Salam Terapeutik
“Assalamualaikum, selamat pagi Ibu M. Saya Mardhiah, Ibu bias memanggil saya
suster diah. Saya perawat yang dinas pada pagi hari ini dari pukul 07.00 sampai
14.00 nanti dan saya yang akan merawat Ibu. Nama Ibu siapa?Ibu senangnya
dipanggil apa?”
2) Evaluasi/validasi
“Baiklah bu, bagaimana keadaan Ibu M hari ini?”
3) Kontrak
Topik: “Kalau begitu, bagaimana jika kita berbincang bincang sebentar tentang
keadaan Ibu?, Tujuannya supaya ibu bisa lebih tenang bu dalam menghadapi
keadaan ini, dengan ibu mau berbagi cerita saya, kesedihan Ibu mungkin bisa
berkurang”
4) Waktu :”Ibu maunya berapa lama kita berbincang bincang?”
5) Tempat :”Ibu mau kita berbincang bincang dimana?, Disini saja?,Baiklah.”
b. Tahap Kerja
“Baiklah Ibu M, bisa Ibu jelaskan kepada saya bagaimana perasaanIbu M saat ini?”
“Saya mengerti Ibu sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi kondisisebenarnya
memang suami Ibu telah meninggal. Sabar ya, Bu ”
“Saya tidak bermaksud untuk tidak mendukung Ibu. Tapi coba Ibu pikir, jika Ibu
pulang ke rumah nanti, Ibu tidak akan bertemu dengan suami Ibu karena beliau
memang sudah meninggal. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan, Bu. Ibu harus
berusaha menerima kenyataan ini.”
“Ibu, hidup matinya seseorang semua sudah diatur oleh Tuhan.Meninggalnya
suami Ibu juga merupakan kehendak-Nya sebagai Maha Pemilik Hidup. Tidak
ada satu orang pun yang dapat mencegahnya, termasuk saya ataupun Ibu sendiri.”
“Ibu sudah bisa memahaminya?”
“Ibu tidak perlu cemas. Umur Ibu masih muda, Ibu bisa mencoba mencari
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga Ibu. Saya percaya Ibu mempunyai
keahlian yang bisa digunakan. Ibu juga tidak akan hidup sendiri. Ibu masih punya
saudara-saudara, anak-anak dan orang lain yang sayang dan peduli sama Ibu.”
“Untuk mengurangi rasa cemas Ibu, sekarang Ibu ikuti Teknik relaksasi yang saya
lakukan. Coba sekarang Ibu tarik napas yang dalam, tahan sebentar, kemudian
hembuskan perlahan lahan”
“Ya bagus sekali Bu, seperti itu”
c. Tahap Terminasi
1) Evaluasi
a) Subjektif : “Bagaimana perasaan Ibu sekarang? Apa Ibu sudah mulai
memahami kondisinyang sebenarnya terjadi?”
b) Objektif : “Kalau begitu, coba ibu jelaskan lagi, hal hal yang Ibu
dapatkan dari perbincangan kita tadi dan coba Ibu ulangi Teknik
relaksasi yang telah kita lakukan”
2) Tindak Lanjut
a) “Ya, bagus sekali Bu. Nah, setiap kali Ibu merasa cemas, Ibu dapat
melakukan teknik tersebut. Dan setiap kali Ibu merasa Ibu tidak terima
dengan kenyataan ini, Ibu dapat mengingat kembali perbincangan kita
hari ini”
b) “Bu, ini ada buku kegiatan untuk ibu”
c) “Bagaimana kalau kegiatan teknik rileksasi ibu masukkan kedalam
jadwal kegiatan ibu?”
d) “Ibu setuju?”
e) “Nah, Disini ada kolom kegiatan, tanggal, waktu dan keterangan Ibu
bisa mengisi kegiatan tenik rileksasi pada kolom kegiatan”
f) “Kira-kira jam berapa ibu nanti melakukan teknik rileksasi bu?”
g) “Cara mengisi buku kegiatan ini: jika ibu melakukannya tanpa dibantu
atau diingatkan oleh orang lain ibu tulis “M” disini, jika ibu di bantu
atau diingatkan ibu tulis “B” dan jika ibu tidak melakukannya ibu tulis
“T”
h) “Ibu paham Bu?”
i) “Nanti ibu jangan lupa mengisi buku kegiatannya ya”
3) Kontrak yang akan dating
a) Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincangselama 30
menit dan sekarang sudah 30 menit bu!
b) Bu, kapan ibu mau kita melanjutkan perbincangan kita?
c) Bagaimana kalau kita besok membicarakan tentang hobi ibu
d) Ibu maunya dimana?
e) Nah, sekarang ibu istirahat dulu
f) Sebelum saya permisi apak ada yang mau ibu tanyakan?
g) Baiklah, kalau tidak ada, saya permisi dulu ya Bu.
Assalamu’alaikum.”
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan
atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan
suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik
sebagian atau seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional.Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu
dalam merespon kehilangan yang actual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan,
objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masihdalam
batas normal.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali
pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktualatau nyata dan persepsi. Terdapat 5 katagori
kehilangan, yaitu:Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai, kehilangan lingkungan yang
sangat dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri, dan
kehilangan kehidupan/meninggal

B. Saran
Setiap orang harus dapat menerima suatu kehilangan terhadap seseorang atau suatu benda
dan selalu mensyukuri suatu kehilangan atau berduka . Peran perawat adalah untuk mendapatkan
gambarang tentang perilaku berduka,mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku serta
memberikan dukungan dalam bentuk empati.
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.


Prabowo E.2014.Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:Nuha Meika
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian
danBerduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Townsend, Mary C. 1998.Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman
UntukPembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Yusuf dkk.2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.JakartaSelatan:SalembaMedika

Anda mungkin juga menyukai