Anda di halaman 1dari 7

CARDIAC ARREST

1. Definisi cardiac arrest


Henti jantung (cardiac arrest) adalah suatu keadaan di mana sirkulasi darah berhenti akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Secara klinis, keadaan henti jantung
ditandai dengan tidak adanya nadi dan tanda– tanda sirkulasi lainnya. Ketika berbicara
tentang cardiac arrest, ingatan kita tidak bisa lepas dari penyakit jantung dan pembuluh darah,
karena penyebab tersering dari cardiac arrest adalah penyakit jantung koroner.

2. Etiologi cardiac arrest


Kematian jantung mendadak atau cardiac arrest adalah berhentinya fungsi jantung
secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung.
Waktu dan kejadiannya. tidak diduga-duga, yakni segera setelah timbul keluhan. Kejadian
cardiac arrest yang menyebabkan kematian mendadak terjadi ketika sistem kelistrikan
jantung menjadi tidak berfungsi dengan baik dan menghasilkan irama jantung yang tidak
normal. yaitu hantaran listrik jantung menjadi cepat (ventricular tachycardia) atau tidak
beraturan (ventricular fibrillation). Irama denyut jantung yang tidak teratur (arrhythmia)
menyebabkan jantung berhenti berdenyut secara mendadak. Namun ada beberapa kejadian
cardiac arrest disebabkan karena perlambatan denyut jantung yang berlebihan (bradycardia).
Kematian otak dan kematian permanen terjadi dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit setelah
seseorang mengalami cardiac arrest (Pusponegoro, 2010).

3. Patofisiologi cardiac arrest


Kebanyakan korban cardiac arrest terjadi ketika sistem kelistrikan jantung menjadi tidak
berfungsi dengan baik dan menghasilkan irama jantung yang tidak normal. yaitu hantaran
listrik jantung menjadi cepat (ventricular tachycardia) atau tidak beraturan (ventricular
fibrillation). (Pusponegoro, 2010).

a. Fibrilasi ventrikel

Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada keadaan ini
jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja.
Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau
defibrilasi.

b. Takhikardi ventrikel

Mekanisme penyebab terjadinya takhikardi ventrikel biasanya karena adanya gangguan


otomatisasi (pembentukan impuls) ataupun akibat adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi
yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya
pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT
dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih
diutamakan. Pada ksus VT dengan gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT
tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan Cpr adalah
pilihan utama.

4. Manifestasi klinis cardiac arrest


Gejala yang paling umum adalah munculnya rasa tidak nyaman atau nyeri dada yang
mempunyai karakteristik seperti perasaan tertindih yang tidak nyaman, diremas, berat, sesak
atau nyeri. Lokasinya ditengah dada dibelakang sternum. Menyebar ke bahu, leher, rahang
bawah atau kedua lengan dan jarang menjalar ke perut bagian atas. Bertahan selama lebih
dari 20 menit. Gejala yang mungkin ada atau mengikuti adalah berkeringat, nausea atau mual,
sesak nafas (nafas pendek-pendek), kelemahan, tidak sadar.

Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen
termasuk otak

 Hypoxia cerebral atau tidak adanya oksigen ke otak menyebabkan kehilangan


kesadaran (collapse)
 Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan
selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit
 Nafas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas)
 Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat
terasa pada arteri
 Tidak ada denyut jantung
 Dilatasi pupil jika terjadi kerusakan otak irreversible 50%.

5. Diagnosa keperawatan

 Gangguan perfusi cerebral dan penurunan suplai O2 ke otak


 Gangguan pertukaran gas dan suplai O2 tidak adekuat
 Penurunan curah jantung dan kemampuan pompa jantung menurun

6. Pemeriksaan penunjang cardiac arrest

A. Elektrokardiogram

EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat
menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan
impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG
dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang
meningkatkan risiko kematian mendadak.

B. Tes darah
a. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan
jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel
darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan
jantung.

b.Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada
jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita
dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada
elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.

c. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia,
termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang.

d. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac
arrest.

C. Imaging tes
1. Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga
dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.

2. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran
darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke
dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir
melalui jantung dan paru-paru.

3. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh
cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi),
atau apakah ada kelainan katup.
D. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter
dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di
area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui
jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang
jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu - atau menghentikan –
aritmia. Hal ini memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.

E. Ejection fraction testing


Dokter dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari
ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen.
Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda
dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau
computerized tomography (CT) scan jantung.

F. Coronary catheterization (angiogram)


Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat
merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair
disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui
arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri,
arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan.
Selain itu, sementara kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan
melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.

7. Penatalaksanaan medis

 Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar
disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya
denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan
segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian.
Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti
jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor yang berat dengan nadi
persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika keadaan ini
dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang menyumbat.
Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan terkepal erat pada
sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang
dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga
dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena
itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang
dimonitor; rekomendasi ini masih controversial.Kompresi dada dilakukan berdasarkan
asumsi bahwa kompresi jantung memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi
pemompaan dengan pengisian serta pengosongan rongga-rongganya secara berurutan
sementara katup-katup jantung yang kompeten mempertahankan aliran darah ke depan.

Telapak yang satu diletakkan pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan
yang lainnya berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah. Sternum
kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada dalam keadaan lurus.
Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan
dilakukan dengan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3
hingga 5 cm, dan relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik RKP konvensional ini
sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan pada ventilasi dan
kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat dicapai
dengan RKP konvensional, data eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung bahwa
aliran dapat dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan
pada seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi
simultan. Namun, tidak jelas apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah
koroner dan apakah peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen
pada perfusi serebral.

Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmone :


1. Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.
2. Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
3. Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau
kartilago tiroid.
4. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung. Lakukan penekanan
sebanyak 60 kali per menit dengan satu kali penghembusan udara untuk mengembangkan
paru setelah setiap 5 kali penekanan dada.

 Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)


Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan
aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung)
dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini
mencakup:
a. Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
b. Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c. Pemasangan lini infuse.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani dengan cara
yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki
peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus
diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau
atropine diberikan intravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat
pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung
yang teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat
buruk. Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder
terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat
untuk pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang
dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan
napas.

 Perawatan Pasca Resusitasi


Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti jantung.
Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsive terhadap
teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah
kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit
selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator
biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi
hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam
fibrilasi ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika
menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya
resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka
rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan
hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk
mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi.
Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang
umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap
intervensi.

 Penatalaksanaan Jangka Panjang


Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi
klinis karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas. Pasien
yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai
stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang ekstensif
untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas
dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan
hidup setelah henti jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30
persen pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen
pada 2 tahun. Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki
dengan intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena
kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.

Anda mungkin juga menyukai