Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN DENGAN


KEHILANGAN DAN BERDUKA

Disusun Oleh
Kelompok 2 :
1. Pius Nasution Mau
2. Martina Tourista Toa
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan Jiwa yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Jiwa Pada Pasien Dengan Kehilangan Dan Berduka.
Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai bagaimana cara memberikan asuhan
keperawatan jiwa pada pasien dengan kehilangan dan berduka. Adapun tujuan kami menuliskan
makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah keperawatan jiwa. Di sisi
lain, kami menulis makalah ini untuk mengetahui lebih rincih mengenai asuhan keperawatan
jiwa.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada semua pihak.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i

KATA PENGANTAR…………………………………………………….. ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………….... 1
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………….. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kehilangan Dan Berduka…………………………………… 2


B. Teori Proses Berduka…………………………………………………… 2
C. Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan Berduka………………… 4
D. Tipe Dan Jenis Kehilangan Berduka……………………………………. 5
E. Fase Atau Tahapan Kehilangan Dan Berduka………………………….. 7
F. Tanda Dan Gejala Kehilangan Dan Berduka……………………………10
G. Proses Askep Pada Pasien Dengan Kehilangan Dan Berduka…………..11
H. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik…………………………...14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 16
B. Saran…………………………………………………………………….16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti
sesuatu yang kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan
karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi/ego dari diri yang bersangkutan atau
disekitarnya. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat
apabila mengahadapi kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang
pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif.
Kurang mememperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang
salah,sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno,2004).
Perawat bekerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan.
Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan
menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima
kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut.
Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami
kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial
yang serius. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam
lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan
keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami
kehilangan dan dukacita. Ketika merawatklien dan keluarga, perawat juga mengalami
kehilangan pribadi ketika hubungan klien-keluarga-perawat berakhir karena perpindahan,
pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman
pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya
selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry,2005)

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas didapatkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Kehilangan Dan Berduka?.
2. Bagaimana Teori Proses Berduka?.
3. Apa Saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan Berduka?.
4. Apa Saja Tipe Dan Jenis Kehilangan?.
5. Bagaimana Fase Atau Tahapan Pada Kehilangan?.
6. Bagaimana Tanda Dan Gejala Kehilangan?.
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Kehilangan Dan
Berduka?.
8. Bagaimana Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Dengan
Kehilangan?.

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, didapatkan tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Kehilangan Dan Berduka?.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Teori Proses Berduka?.
3. Untuk Mengetahui Apa Saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan
Berduka?.
4. Untuk Mengetahui Apa Saja Tipe Dan Jenis Kehilangan?.
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Fase Atau Tahapan Pada Kehilangan?.
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Tanda Dan Gejala Kehilangan?.
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan
Kehilangan Dan Berduka?.
8. Untuk Mengetahui Bagaimana Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Pada
Pasien Dengan Kehilangan?.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kehilangan Dan Berduka


Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang
kehdupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep,2011)
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu ( orang atau objek )
yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang. Seseorang dapat kehilangan
citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang milik pribadi,
keyakinan, atau sense of self baik sebagian ataupun keseluruhan. Peristiwa kehilangan
dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatik.
Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi krisis situasional ataupun krisis
perkembangan (Mubarak & Chayatin,2007).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang
sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari
(Stuart,2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan.
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respon emosional normal dan
merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Seorang individu harus diberi
kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui proses berduka,
sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan
merupakan bagian dari proses kehidupan.
Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau
sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek yang hilang, dapat merupakan
objek eksternal, orang yang berarti, lingkungan, aspek diri, atau aspek kehidupan.
Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang
normal (Suliswati,2005). Defenisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini
dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respond an perilaku
emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan kominitas
menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi, atau presepsi kehilangan
kedalam kehidupan pasien sehari-hari (NANDA,2011).
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Berduka
diwujudkan dengan cara yang unik pada masing-masing orang dan didasarkan
pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya.
Berkabung adalah periode penerimaan terhadap kehilangan dan berduka. Berkabung
terjadi dalam masa kehilangan dan sering dipengaruhi oleh budaya atau kebiasaan.
Dari berbagai defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka merupakan suatu
reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh
terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun intelektual seseorang. Berduka
sendiri merupakan respon yang normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi
kehilangan yang dirasakan.

B. Teori Proses Berduka


Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep teori
berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipas kebutuhan
emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku
berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan
dalam bentuk empati. Berikut merupakan teori proses berduka :
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
a. Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk
malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaphoresis,
mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseorang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c. Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong,
karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari
seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d. Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negative dan bermusuhan terhadap almarhum.
Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa
lalu terhadap almarhum.
e. Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga
pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran
baru telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi
pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut :
a. Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan “Tidak, tidak mungkin
seperti itu.“ atau “tidak akan terjadi pada saya!“ umum dilontarkan klien.
b. Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih“ pada setiap
orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini
orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan
manifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
c. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk
mencegah kehilangan. Pada tahap ini klien sering kali mencari pendapat orang
lain.
d. Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya
melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologis menurun dan interaks sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefenisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah padapengunduran diri atau berputus asa.
3. Teori Martocchio (1985)
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup
yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan
bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi
yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka
yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
4. Teori Rando
Rando (1993) mendefenisikan respon berduka menjadi 3 kategori :
a. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
b. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam
dan dirasakan paling akut.
c. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai
memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien
belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA


ENGEL (1964) KUBLER-ROSS MARTOCCHIO (1985) RANDO (1991)
(1969)
Shock dan tidak Menyangkal Shock and disbelief Penghindaran
percaya
Berkembangnya Marah Yearning and protest
kesadaran
Restitusi Tawar-menawar Anguish,disorganization Konfrontasi
and despair
Idealization Depresi Identification in
bereavement
Reorganization / out Penerimaan Reorganization and Akomodasi
come restitution

C. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan Berduka


Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan adalah genetik, kesehatan
fisik, kesehatan jiwa, pengalaman masa lalu (Suliswati,2005).
1. Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimistic dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup yang teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
sedang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan jiwa/mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama mempunyai riwayat depresi, yang
ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimistik, selalu dibayangi oleh nasa depan
yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
4. Pengalaman kehilangan di masa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna di masa kanak-kanak akan
mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.
Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan dan dapat menimbulkan respon
berduka pada diri seseorang (Capernito,2006). Situasi yang paling sering ditemui
adalah sebagai berikut :
a. Patofisiologis
Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat sekunder
akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori, musculoskeletal,
digestif, pernapasan, ginjal dan trauma.
b. Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka waktu
yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi, histerektomi ).
5. Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan efek negative serta peristiwa kehilangan sekunder akibat nyeri
kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan dengan kehilangan gaya hidup
akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan rumah dan
perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan
cacat, bekas luka, dan penyakit.
6. Maturasional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti teman-teman, pekerjaan,
fungsi dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan harapan dan impian. Rasa
berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi oleh bagaimana cara individu
merespon terhadap terjadinya peristiwa kehilangan. Miller (1999 dalam Capernito,
2006) menyatakan bahwa dalam menghadapi kehilangan individu dipengaruhi oleh
dukungan sosial (Support System), keyakinan religius yang kuat, kesehatan mental
yang baik, dan banyaknya sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau
psikososial yang dialami.

D. Tipe dan Jenis Kehilangan Berduka


1. Jenis Kehilangan
Potter dan Perry (2005) menyatakan kehilangan dapat dikelompokkan dalam 5
kategori: kehilangan objek eksternal, kehilangan lingkungan yang telah dikenal,
kehilangan orang terdekat, kehilangan aspek diri, dan kehilangan hidup.
a. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi
usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Bagi seorang
anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa
mungkin berupa perhiasan atau suatu aksesoris pakaian. Kedalaman berduka yang
dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada nilai yang
dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda
tersebut.
b. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpusahan dari lingkungan yang telah di
kenal mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode
tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya, termasuk pindah ke kota
baru, mendapat pekerjaan baru, atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan
melalui perpisahan dari lingkungan yang telah di kenal dan dapat terjadi melalui
situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan,
atau situasi-situasional, contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam atau
mengalami cedera atau penyakit.
c. Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung,
guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja, dan kematian. Artis atau atlet
yang telah terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset ini
menunjukkan banyak hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehlangan dapat
terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi di tempat kerja, dan
kematian.
d. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau
psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata,
rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan
control kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris.
Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga
diri, percaya diri, kekuatan, respek atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat
terjadi akibat penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan atau situasi.
Kehilangan seperti ini, dapat menurunkan kesejahteraan individu. Orang tersebut
tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehlangan tetapi juga dapat mengalami
perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
c. Kehilangan hidup
Seseorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan,
berpikir, dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadinya
kematian. Perhatian utama sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi mengenai
nyeri dan kehilangan kontrol. Meskipun sebagian besar rang takut tentang
kematian dan gelisah mengenai kematian, masalah yang sama tidak akan
pentingnya bagi setiap orang.
Setiap orang berespon secara berbeda-beda terhadap kematian. Orang yang
telah hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat mengalami
kematian sebagai suatu perbedaan. Sebagian menganggap kematian sebagai jalan
masuk ke dalam kehidupan setelah kematian yang akan mempersatukan dengan
orang yang kita cintai di surga. Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan,
kesepian, atau cedera. Ketakutan terhadap kematian sering menjadikan individu
lebih bergantung.
Maslow (1954 dalam Videback, 2008) tindakan manusia dimotovasi oleh
hirarki kebutuhan, yang dimulai dengan kebutuhan fisiologis, (makanan, udara,
air, dan tidur), kemudian kebutuhan keselamatan (tampat yang aman untuk tinggal
dan bekerja), kemudian kebutuhan keamanan dan memiliki. Contoh kehilangan
yang relevan dengan kebutuhan yang spesifik manusia yang diidentifikasi dalam
hirarki Maslow antara lain :
1) Kehilangan fisiologis : kehilangan pertukaran udara yang adekuat, kehilangan
fungsi pankreas yang adekuat, kehilangan suatu ekstermitas, dan gejala atau
kondisi somatic lain yang menandakan kehilangan fisiologis.
2) Kehilangan keselamatan : kehilangan lingkungan yang aman, seperti
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan publik, dapat menjadi titik awal
proses duka cita yang panjang misalnya, sindrom stress pasca trauma.
Terungkapnya rahasia dalam hubungan profesional dapat dianggap sebagai
suatu kehilangan keselamatan psikologis sekunder akibat hilangnya rasa
percaya antara klien dan pemberi perawatan.
3) Kehilangan keamanan dan rasa memiliki : kehilangan terjadi ketika hubungan
berubah akibat kelahiran, perkawinan, perceraian, sakit, dan kematian. Ketika
makna suatu hubungan berubah, peran dalam keluarga atau kelompok dapat
hilang. Kehilangan seseorang yang dicintai mempengaruhi kebutuhan untuk
mencintai dan dicintai.
4) Kehilangan harga diri : kebutuhan harga diri terancam atau dianggap sebagai
kehilangan setiap kali terjadi perubahan cara menghargai individu dalam
pekerjaan dan perubahan hubungan. Rasa harga diri individu dapat tertantang
atau dialami sebagai suatu kehilangan ketika persepsi tentang diri sendiri
berubah. Kehilangan fungsi peran sehingga kehilangan persepsi dan harga
diri karena keterkaitannya dengan peran tertentu dapat terjadi bersamaan
dengan kematian seseorang yang dicintai.
5) Kehilangan aktualisasi diri : tujuan pribadi dan potensi individu dapat
terancam atau hilang seketika krisis internal atau eksternal menghambat
upaya pencapaian tujuan dan potensi tersebut. Perubahan tujuan atau arah
akan menimbulkan periode duka cita yang pasti ketika individu berhenti
berpikir kreatif untuk memperoleh arah dan gagasan baru. Contoh kehilangan
yang terkait dengan aktualisasi diri mencakup gagalnya rencana
menyelesaikan pendidikan, kehilangan harapan untuk menikah dan
berkeluarga, atau seseorang kehilangan penglihatan atau pendengaran ketika
mengejar tujuan menjadi artis atau komposer.
2. Jenis Berduka
a. Berduka normal, perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal.
b. Berduka antisipatif, proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan
sesungguhnya terjadi
c. Berduka yang rumit, seorang sulit maju ke tahap berikutnya. Berkabung tidak
kunjung berakhir.
d. Berduka tertutup, kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara
terbuka.
E. Fase atau Tahapan Kehilangan dan Berduka
1. Fase Kehilangan dan Berduka
Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang. Berikut merupakan fase atau
tahapan pada kehilangan dan berduka :
a. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga
proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
1) Syok dan tidak percaya
Respon awal berupa penyangkalan, serta emosional tidak dapat menerima
pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang
dibutuhkan untuk mentoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan
secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
2) Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain,
perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan
menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.
3) Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
b. Fase jangka panjang
Fase ini berlangsung selama satu atau dua tahun atau lebih lama. Reaksi berduka
yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan
termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang
menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan
menolak makan dan menggunakan alkohol.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
a. Fase awal
Pada fase awal seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasaan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung beberapa minggu.
b. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minngu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan
yang terjadi.
c. Fase pemulihan
Fase terakhr dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan
untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan
pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan
sosial.
2. Tahapan proses berduka
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah
(anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance)
atau sering disebut dengan BARDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan
tersebut, tetapi cepat atau lamanya seseorang melaui bergantung pada koping individu
dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada stu fase marah
atau depresi.
a. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya,
syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri
terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura
senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut :
1) “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.“
2) “Diagnosis dokter itu salah.“
3) Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembab, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak
nyaman.
4) Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan
(defence mechanism) terhadap rasa cemas.
5) Pasien perlu waktu beradaptasi.
6) Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan
pertahanan yang tidak radikal.
7) Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan
kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.
Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian
orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang
yang dicintainya masih hidup, sehingga sering berhakusinasi melihat atau
mendengar suara seperti biasanya. Secara fisik akan tampak letih, lemah, pucat,
mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis, dan gellisah. Tahap ini
membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun
setelah kehilangan.
b. Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan.
Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang
lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respon pasien dapat mengalami
hal seperti berikut :
1) Emosional tak terkontrol
“Mengapa aku? “
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?“
2) Kemarahan terjadi pada sang pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.
3) Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
“Peraturan rumah sakit terlalu keras/kaku.“
“Perawat tidak becus!“
4) Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi
pandang keluarga dan staf rumah sakit.
5) Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan
yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stress.
c. Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “…seandainya saya tidak
melakukan hal tersebut, mungkin semua tidak akan terjadi…“ atau “misalkan dia
tidak memilih pergi ke tempat itu…pasti semua akan baik-baik saja“,dan
sebagainya.
Respon pasien dapat berupa hal sebagai berikut :
1) Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada
masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2) Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu
hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
3) Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hamper semua tawar-
menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan
secara tersirat atau diungkapkan diruang kerja pribadi pendeta.
4) “Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, ia mungkin akan lebih
berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.“
5) “Bila saya sembuh saya akan….“
6) Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali
perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.
d. Tahap Depresi (Depression)
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar
akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditundah lagi. Individu menarik
diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik,
individu menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido. Fokus pikiran
ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak-
anak bila saya tidak ada? “ atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi
permasalahannya tanpa kehadiran saya?“
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang
penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan
damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi
kesedihan dan kegelisahannya.
e. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus
pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap
kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut
mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru.
Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya yang telah
pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus
berkonsentrasi kepada pekerjaan saya…“
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri
proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam
waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal
terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka
akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan
menjadi sebuah proses yang disfungsional.

F. Tanda dan Gejala Kehilangan dan Berduka


Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala yang sering
terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass (2010) menyatakan bahwa tanda dan
gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi, meliputi :
1. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, kecemasan,
menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa, kerinduan.
2. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan cahaya,
mulut kering, kelemahan.
3. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa, tidak sabar,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
4. Rekasi perilaku, misalnya gangguan tidur, penurunan napsu makan, penarikan sosial,
mimpi buruk, hiperaktif, menangis.
Tanda dan gejala berduka juga dikemukakan oleh Videbeck (2008), yang
mencakup ke dalam lima respon, yaitu respon kognitif, emosional, spiritual, perilaku,
dan fisiologis yang akan dijelaskan dalam table dibawah ini :
Tanda dan Gejala Berduka Berdasarkan Respon yang Muncul

Respon Berduka Tanda dan Gejala


Respon Kognitif - Gangguan asumsi dan keyakinan;
- Mempertanyakan dan berupaya
menemukan makna kehilangan;
- Berupaya mempertahankan keberadaan
orang yang meninggal atau sesuatu yang
hilang;
- Percaya pada kehidupan akhirat dan
seolah-olah orang yang meninggal adalah
pembimbing.
Respon Emosional - Marah, sedih, cemas;
- Kebencian;
- Merasa bersalah dan kesepian;
- Perasaan mati rasa;
- Emosi tidak stabil;
- Keinginan kuat untuk mengembalikan
ikatan dengan individu atau benda yang
hilang;
- Depresi, apatis, putus asa selama fase
disorganisasi dan keputusasaan.
Respon Spiritual - Kecewa dan marah pada Tuhan;
- Penderitaan karena ditinggalkan atau
merasa ditinggalkan atau kehilangan;
- Tidak memiliki harapan, kehilangan
makna.
Respon Perilaku - Menangis terisak atau tidak terkontrol;
- Gelisah;
- Iritabilitas atau perilaku bermusuhan;
- Mencari atau menghindar tempat
beraktivitas yang dilakukan bersama
orang yang telah meninggal;
- Kemungkinan menyalahgunakan obat
atau alcohol;
- Kemungkinan melakukan upaya bunuh
diri atau pembunuhan.
Respon Fisiologis - Sakit kepala, insomnia;
- Gangguan napsu makan;
- Tidak bertenaga;
- Gangguan pencernaan;
- Perubahan sistem imun dan endokrin.

G. Proses Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Kehilangan dan Berduka


1. Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah :
a. Perasaan sedih, menangis
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
2. Diagnose Keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah/kronis.
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping
individu tak efektif sekunder terhadap kehilangan pasangan.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
3. Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah/kronis
1) Tujuan Umum : klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
2) Tujuan Khusus :
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
b) Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah
c) Klien menyadari aspek positif dan negative dari dirinya.
d) Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
e) Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukan perbaikan
komunikasi dengan orang lain.
3) Intervensi
a) Bina hubungan saling percaya dengan klien. Rasa percaya merupakan
dasar dari hubungan terapeutik yang mendukung dalam mengatasi
perasaannya.
b) Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan pikiran dan perasaannya.
Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
c) Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah. Dengan mengetahui
penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan perasaannya.
d) Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respond an tidak menghakimi.
Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi
tidak terlibat secara emosi.
e) Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari
dirinya. Meningkatkan harga diri.
f) Beri dukungan, support dan pujian setelah klien mampu melakukan
aktivitasnya. Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
g) Ikut sertakan klien dengan aktivitas yang mengikiut sertakan klien dalam
aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan harga diri klien.
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
a. Tujuan
a) Klien merasa harga dirinya naik.
b) Klien menggunakan koping yang adaptif.
c) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
b. Intervansi
a) Merespon kesadaran diri dengan cara :
 Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
 Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
 Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik
perawat – klien.
b) Menyelidiki diri dengan cara :
 Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
 Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan
orang lain melalui keterbukaan.
 Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk
berubah ada pada klien.
Klien yang dapat memahami perasaanya memudahkan dalam penerimaan
terhadap dirinya sendiri.
c) Mengevaluasi diri dengan cara :
 Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
 Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap
masalahnya.
Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah
secara konstruktif.
d) Membuat perencanaan yang realistic.
 Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
 Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya
dengan cara menentukan perencanaan yang realistik.
e) Bertanggung jawab dalam bertindak.
 Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk
merubah respon maladaptif dan mempertahankan respon koping yang
adaptif.
Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian
masalah klien.
f) Mengobservasi tingkat depresi.
 Mengamati perilaku klien.
 Bersama klien membahas perasaannya.
Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana perawatan
selanjutnya disusun dengan tepat.
g) Membantu klien mengurangi rasa bersalah.
 Menghargai perasaan klien.
 Mengidentifikasi dukubngan yang positif dengan mengaitkan terhadap
kenyataan.
 Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan
perasaannya.
 Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan perasaan
bersalahnya terhadap orang yang hilang.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas
1) Tujuan umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
2) Tujuan Khusuus :
a) Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
b) Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapih dan bersih.
c) Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
d) Klien dapat merawat kukunya sendiri.
3) Intervensi :
a) Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses
menyembuhkannya.
b) Menganjurkan klien untuk mandi.pengertian yang baik dapat memba
ntu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat melakukan sendiri.
c) Menganjurkan pasien untuk mencuci baju. Diharapkan klien mandiri.
d) Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.Diharapkan
klien mandiri.
e) Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.Diharapkan klien
mandiri.Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi
dengan klien yang lain.
4) Hasil pasien yang diharapkan /Kriteria pulang
a) Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap
prosesberduka yang normal dan perilaku yang berhubungan dengan tiap-
tiap tahap.
b) Pasien mampu memgidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka
dan mengekspresikan perasaan-perasaanya yang berhubungan dengan
konsep kehilangan secara jujur.
c) Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-
perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan
mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.

H. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik pada Pasien dengan Kehilangan


Contoh Kasus
Strategi Pelaksanaan I (sp 1) pada klien dengan kehilangan dan berduka
Nama klien : Ny. M
Ruangan : Wanita UPT. Puskesmas Paga
No. MR : 60xxxx
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi klien
Ny. M, usia 55 tahun mempunyai seorang suami yang bekerja sebagai seorang tukang
bangunan sebagai tulang punggung keluarga.Seminggu yang lalu suami Ibu M
meninggal karena jatuh terpeleset dari tangga bangunan.Sejak kejadian tersebut,Ibu M
sering melamun,memikirkan dan selalu mengatakan jika suaminya belum
meninggal.Ibu M terlibat sering mengingkari kehilangan,dan menangis.Selain itu,Ibu
M juga tidak mau berinteraksi dengan orang lain dan merasa gelisah sehingga susah
tidur.
b. Diagnosa Keperawatan Berduka disfungsional
c. Tujuan Khusus
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat dan klien dapat
merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat.
2) Klien mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya
3) Klien merasa lebih tenang
d. Tindakan keperawatan
1) Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan cara mengucapkan salam
terapeutik,memperkenalkan diri perawat sambil berjabat tangan dengan klien.
2) Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran perasaannya.Dengarkan tiap
perkataan klien.Beri respon,tetapi tidak bersifat menghakimi.
3) Ajarkan klien teknik relaksasi
2. Strategi Pelaksanaan
a. Tahap Orientasi
1) Salam terapeutik :
“Selamat pagi Ibu M saya In,Ibu bisa memanggil saya suster In.Saya perawat
yang dinas pagi hari ini dari pukul 08.00 sampai 14.00 nanti dan saya yang akan
merawat Ibu. Nama Ibu siapa? Ibu senangnya dipanggil siapa? “
2) Evaluasi/validasi :
“ Baiklah bu, bagaimana keadaan Ibu M hari ini? “
3) Kontrak :
Topik : “Kalau begitu,bagaimana jika kita berbincang-bincang sebentar tentang
keadaan Ibu?Tujuannya supaya Ibu bisa lebih tenang bu dalam menghadapi
keadaan ini dengan Ibu mau berbagi cerita dengan saya,kesedihan ibu mungkin
bisa berkurang“
4) Waktu : Ibu maunya berapa lama kita berbincang-bincang?
5) Tempat : “ Ibu mau kita berbincang-bincang di mana? Disini saja? Baiklah.“
b. Tahap Kerja
“Baiklah Ibu M,bisa Ibu jelaskan kepada saya bagaimana perasaan Ibu M saat ini?“
“Saya mengerti Ibu sangat sulit menerima kenyataan ini.Tapi kondisi sebenarnya
memang suami Ibu telah meninggal. Sabar ya,Bu“
“Saya tidak bermaksud untuk tidak mendukung Ibu.Tapi coba Ibu pikir,jika Ibu pulang
ke rumah nanti,Ibu tidak akan bertemu dengan suami Ibu karena Beliau memamng sudah
meninggal. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan,Bu .Ibu harus berusaha menerima
kenyataan ini.“ “Ibu, hidup matinya seseorang semua sudah diatur oleh Tuhan.
Meninggalnya suami Ibu juga merupakan Kehendak-Nya sebagai Maha pemilik
Hidup.Tidak ada satu orang pun yang dapat mencegahnya,termasuk saya ataupun Ibu
sendiri.“
“Ibu sudah bisa memahaminya?“
“Ibu tidak perlu cemas.Umur Ibu masih muda,Ibu bisa mencoba mencari pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga Ibu. Saya percaya Ibu mempunyai keahlian yang bisa
digunakan. Ibu juga tidak akan hidup sendiri. Ibu masih punya saudara-saudara,anak-
anak dan orang lain yang saying dan peduli sama Ibu.“
“Untuk mengurangi rasa cemas Ibu,sekarang Ibu ikuti teknik relaksasi yang saya lakukan.
Coba sekarang Ibu tarik napas yang dalam,tahan sebentar,kemudian hembuskan perlahan-
lahan.“
“Ya bagus sekali Bu,seperti itu.“
c. Tahap terminasi
1) Evaluasi
a) (Subjektif) : “Bagaimana perasaan ibu sekarang?. Apa ibu sudah mulai memahami
kondisi yang sebenarnya terjadi? “
b) (Objektif) : “kalau begitu, coba ibu jelaskan lagi, hal-hal yang ibu dapatkan dari
perbincangan kita tadi dan coba ibu ulangi teknik relaksasi yang telah kita
lakukan.“
2) Tindak Lanjut
a) “Ya, bagus sekali Bu. Nah, setiap kali Ibu merasa cemas, Ibu dapat melakukan
teknik tersebut. Dan setiap kali Ibu merasa Ibu tidak terima dengan kenyataan ini,
Ibu dapat mengingat kembali perbincangan kita hari ini.
b) Bu, ini ada buku kegiatan untuk ibu
c) Bagaimana kalau kegiatan teknik relaksasi ibu masukan kedalam jadwal kegiatan
ibu?
d) Ibu setuju?
e) Nah, disini ada kolom kegiatan, tanggal, waktu dan keterangan Ibu bisa mengisi
kegiatan teknik relaksasi pada kolom kegiatan
f) Kira-kira jam berapa ibu nanti melakukan teknik relaksasi bu?
g) Cara mengisi buku kegiatan ini : jika ibu melakukannya tanpa dibantu atau tidak
diingatkan oleh orang lain ibu tulis “M“ disini, jika ibu di bantu atau diingatkan
ibu tulis “B“ dan jika ibu tidak melakukannya ibu tulis “T“
h) Ibu paham Bu?
i) Nanti ibu jangan lupa mengisi buku kegiatannya ya
3) Kontrak yang akan datang
a) Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincang selama 30 menit dan
sekarang sudah 30 menit bu!
b) Bu, kapan ibu mau kita melanjutkan perbincangan kita?
c) Bagaimana kalau besok kita membicarakan tentang hobi ibu
d) Ibu maunya dimana?
e) Nah, sekarang ibu istirahat dulu
f) Sebelum saya permisi apakah ada yang mau ibu tanyakan?
g) Baiklah, kalau tidak ada, saya permisi dulu ya bu, selamat siang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang actual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kekuatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya
kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka,
mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam
bentuk empati. Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu : Aktual atau nyata dan persepsi.
Terdapat 5 kategori kehilangan, yaitu kehilangan seseorang yang dicintai,kehilangan
lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada
pada diri sendiri/aspek diri, dan kehilangan kehidupan/meninggal.

B. Saran
Setiap orang harus dapat menerima suatu kehilangan terhadap seseorang atau suatu
benda dan selalu mensyukuri suatu kehilangan atau berduka. Peran perawat adalah
untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka
terhadap perilaku serta memberikan dukungan dalam bentuk empati.
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume I. Jakarta : EGC

Prabowo E. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Meka

Stuart and Sundeen.1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa,ed 3. Jakarta : EGC

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan Kematian dan
Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto

Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri, Pedoman


Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta : EGC

Yusuf dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai