Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN MASALAH PSIKOSOSIAL

KEHILANGAN DAN BERDUKA

OLEH :

LARA DELVIA SYAFNITA (20200010)


WIDIA PUTRI (20200001)
INDRA SATRIA (20200012)

DOSEN PEMBIMBING :
Ns.MARIZKA PUTRI,S.Kep.M,Kep

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATRA BARAT


2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, karena atas berkat dan limpahan rahmat
nyalah makalah tentang “Asuhan keperawatan pada pasien psikososial kehilangan dan berduka”
ini dapat terselesaikan dengan baik. Meskipun masih banyak kekurangan baik dari isi,
sistematika, maupun cara penyajiannya.

Makalah tentang “Asuhan keperawatan pada pasien psikososial kehilangan dan berduka”
ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Keperawatan jiwa.

Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Ns. Marizki Putri,S.Kep, M.Kep, selaku
dosen pembimbing Mata Kuliah Keperawatan jiwa ini. Serta bagi semua pihak yang turut
mendukung dalam pembuatan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari
materi tentang “Konseptual model dalam keperawatan jiwa termasuk prevensi primer,sekunder
dan tersier”. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti lain yang akan menulis tentang
tema yang sama, khususnya bagi kami sendiri sebagai penyusun.

Bukittinggi,31 mei 2022

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehilangan adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan
sesuatu yangsebelumnya ada atau dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan (Riyadi dan
Purwanto,2009). Menangis, memanggil nama orang yang sudah meninggal secara
terus-menerus,marah, sedih dan kecewa merupakan beberapa respon yang tampak
saat seseorangmengalami peristiwa kehilangan, terutama akibat kematian orang
yang dicintai.Keadaan seperti inilah yang menurut Puri, Laking, dan Treasaden
(2011) disebutsebagai proses berduka, yang merupakan suatu proses psikologis dan
emosional yangdapat diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah
kehilangan. Individuyang berduka membutuhkan waktu untuk menerima suatu
peristiwa kehilangan, danproses berduka merupakan suatu proses yang sangat
individual. Fase akut berdukabiasanya berlangsung 6-8 minggu dan penyelesaian
respon kehilangan atau berdukasecara menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan sampai
3 tahun (Keliat, Helena, danFarida, 2011). Rotter (2009) mengatakan bahwa proses
berduka memiliki karakteristik yang unik,membutuhkan waktu, dapat difasilitasi
tetapi tidak dapat dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti tahap yang dapat
diprediksi. Proses berduka merupakan suatuproses yang unik dan berbeda pada setiap
individu. Tidak ada yang dapat memastikankapan seseorang dapat melewati semua
tahapan dalam proses berduka, yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi sehingga
proses berduka yang dialami individu dapatsampai pada suatu tahap penerimaan.Sanders
dalam Bobak, Lowdermilk, dan Jeasen (2005) mengatakan bahwa intensitas dan durasi
respon berduka bergantung pada banyak hal dan salah satunya adalah usia. Indriana (2012)
mengatakan bahwa perbedaan usia antara orang tua dan anak-anak memengaruhi pola
pikir mereka tentang kematian, dengan perkembangan anak, makamerekapun lebih
matang menghadapi kematian. Seiring dengan meningkatnya usia seseorang maka
seharusnya mereka akan lebih banyak memiliki pengalaman langsungmengenai kematian
ketika teman-teman atau kerabat mereka menderita sakit dan meninggal, sehingga
peristiwa kematian seharusnya tidak lagi menjadi suatu peristiwayang tidak bisa untuk
mereka hadapi. Indikator kepribadian positif yang tampak padausia dewasa akhir atau
lansia adalah siap menerima kematian (Erikson dalam Nasir 1dan Muhith, 2011).
Semakin meningkat usia seseorang maka akan semakin meningkatjuga pemahaman dan
penerimaan orang tersebut akan kematian, yang menyebabkan akan semakin mudah juga
orang tersebut untuk melalui semua tahapan proses berdukayang harus dilalui untuk pada
akhirnya mencapai suatu tahap penerimaan dari suatuperistiwa kematian. Hasil
pengamatan yang dilakukan pada lansia di Kabupaten Ngada pada saat mengalami
peristiwa kehilangan akibat kematian orang yang dicintai,menggambarkan bahwa sangat
sulit bagi mereka untuk menerima peristiwa kematianitu sebagai suatu bentuk kehilangan
yang aktual dan wajar, yang secara perlahan sukaatau tidak suka harus diterima dan
diikhlaskan sebagai sesuatu yang sudah seharusnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kehilangan dan berduka pada pasien gangguan jiwa ?
2. Bagainama tahapan respon klien kehilangan dan berduka?
C. TUJUAN
1. Dapat mengetahui konsep kehilangan dan berduka pada pasien gangguan jiwa
2. Dapat mengetahui respon klien yang kehilangan dan berduka
BAB II

PEMBAHAHSAN

A. Pengertian Kehilangan dan Berduka


Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesusatu yang
sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihidari (Stuart,
2005), seperti kehilangan harta, kesehatan orang yang dicintai, dan kesempatan. Berduka
adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional norma dan merupakan suatu
proses untuk memecahkan masalah. Soorang individu harus diberikan kesempatan untuk
menemukan koping yang efektif dalam melalui proses berduka, sehingga mampu menerima
kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan merupakan bagian dari proses
kehidupan.
Kehilangan dapat terjadi terhadapobjek yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau
sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek yang hilang, dapat merupakan objek
eksternal, orang yang berarti, lingkungan aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang
mungkin dirasakan hilang ketika seseorang mengalami sakit apabila sakit kronis antara lain
sebagai berikut.

TABEL. Kehilangan Potensial pada Penyakit Kronis

 Kesehatan  Kepemilikan
 Kemandirian  Keamanan keuangan
 Rasa mengontrol kehidupannya sendiri  Makna produktivitas dan pemenuhan diri
 Privasi  Gaya hidup
 Kesopanan  Rencana atau impian di masa depan
 Gambar diri  Impian untuk kekal
 Hubungan  Uang
 Peran didalam dan luar rumah yang telah ada  Rutinitas sehari-hari
 Status sosial  Tidur
 Kepercayaan diri  Fungsi seksual
 Aktivitas di waktu luang
Berduka merupakan respons terhadapkehilangan. Berduka dikarakteristikan sebagai
berikut.
1. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidaknyamanan
2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingatkembali kejadian
kehilangan
3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan
menangis,keluhan sesak pada dada, tercekik, dn nafas pendek
4. Mengenng orang yang telah pergi secara terus-menerus
5. Mengalami perasaan berduka
6. Mudah tersinggung dan marah.

B. Renntang Respons Emosi

Adaptif Maladaptif

 Menangis, menjerit, menyangkal, menyalahkan  Diam/tidak menangis


diri sendiri,menawar, bertanya-tanya  Menyalahkan diri berkepanjangan
 Membuat rencana untukyang akan datang  Rendah diri
 Berani terbuka tentang kehilangan  Mengasinkan diri
 Tak berniat hidup

Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada dalam
rentang yang fluktuatif, dari tingkat yang adaptif sampai dengan maladaptif.

C. Tahapan Respons Kehilangan Dan Berduka


Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga proses,
yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
a. Syok dan tidak percaya
Respons awal berupapenyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima pedihnya
kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang dibutuhkan untuk
menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan untuk
menerima kenyataan kematian.
b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain, perasaan
bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan menangis
untukmenurunkn tekanan dalam perasaan yang dalam.
c. Restitusi
Merupakan proses yang formaldan ritual bersama teman dan keluarga membantu
menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
2. Fase jangka Panjang
a. Berlangsung selama satu sampai duatahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan
termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang
menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan
menolak makan dab menggunakan alkohol.

Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase
awal, pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasaan tersebut berlangsung
selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka
berkelebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya
dengan menangis dan ketakutan. Fase iniakan berlangsung selama beberapa
minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang terus mengukang-ulang peristiwa kehilangan yang
terjadi
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan
untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan.
Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

Tahapan Proses kehilangan


Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah
(anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance)
atau sering disebit dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan
tersebut, tetapi cepat atau lamanya seseorang melalui bergantung pada koping
individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase
marah atau depresi.
a. Tahapan Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seseorang individu ketika mengalami kehilangan dalah tidak
percaya, syok, diam,terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan,
mengisolasi diriterhdap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa
dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai
berikut.
1. “ Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2. “ Diagnosa dokter itu salah.”
3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa
tak nyaman.
4. Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan
(defense menchanim) terhadap rasa cemas.
5. Pasien perlu waktu beradaptasi
6. Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannnya dan
menggunakan pertahanan yang tidak radikal.
7. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan
kematian tapi tidak demikian dengan emosional.

Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian


orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang yang
dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara
seperti biasanya. Secara fisik akan tampakletih, lemah, pucat, muial, diare, sesak
nafas, detak jantung cepat, menangis dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu
yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun setelah kehilangan.

b. Tahap Marah (anger)


Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan .
perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada oarang
lain atu benda di sekitarnya. Reksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respons pasien dapat
mengalami hal seperti berikut.
1. Emosional tak terkontrol
“ Mengapa aku?”
“ Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang
atau lingkungan
3. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik
“ Peraturan RS terlalu keras/kaku.”
“ Perawat tidak becus!”
4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi
keluarga dan staf rumah sakit.
5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan
yang akan mengurangi tekanan emosi dam nenurunkan stres.
c. Tahap Penawaran (Bergaining)
Setelah persaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki taha tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “.....seandainya saya tidak
melakukan hal tersebut.....munkin semua tidak akan terjadi.....” atau “misalkan
dia tidak memilih pergi ketempat iti.....pasti semua akan baik-baik saja,”dan
sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada
masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2. Ada beberpa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu
hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau berobat.
3. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-
menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapakan
secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.

“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, ia mungkin lebih
berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.”

“Bila saya sembuh, saya akan.....”

4. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali


perbuatannya, dan menangis mencaripendapat orang lain.
d. Tahap Depresi
Tahap depersi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan
penykitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak
mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu
menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido.
Fokus pikiran ditunjukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa
yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga
saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?”
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang
penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan
damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi
kesedihan dan kegelisahannya.
e. Tahap Penerimaan (acceptance)
Tahap akhir merupkan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran
terhadap sesuatu yang hilang berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan
kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai
dilepaskan secara bertahap dan diahlikan kepada objek lain yang baru. Individu
akan mengungkapkan , “Saya sangat mencintai anak saya yang telah pergi,
tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus
berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.....”
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri
proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam
waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan,disitulah awal
terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka
akan sulit bagi individu untuk mencapai taha ppeneriamaan dan kemungkinan
akan menjadi sebuah prosesyang disfungsional.

D. Bentuk Kehilangan
1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal atau dipenjara
2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit, amputasi
bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri, kehilangan
pekerjaan, kehilangan kedukaan, dan kehilangan kemampuan seksual.
3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang atau perhiasan.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Faktor Predisposisi

1. Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan mengalami ksulitan dalam bersikap optimis dan
menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisisk
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai kemampuan
dalam menhadapi stres dengan lebih baik dibandinkan dengan individu yang mengalami
gangguan fisik.
3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan yang tinggi
terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.
4. Pengalaman kehilangan sebelumya
Kehilangan dan perpisahan denganorang berarti di masa kanak-kanak akan memengaruhi
kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.

Faktor presipitasi

Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu dan kehilangan yang
bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri,
kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posis di masyarakat.

Perilaku

1. Menangis atau tidak mampu menangis


2. Marah
3. Putus asa
4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain

Mekanisme Koping

1. Denial
2. Regresi
3. Intelektualisasi/rasionalisasi
4. Supresi
5. Proyeksi

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Masalah keperawatan yang sering timbul pada pasien kehilangan dalah sebagai berikut.

1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual


2. Berduka disfungsional
3. Berduka fungsional
RENCANA INTERVENSI

Prinsip Intervensi

1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah memberi


kesempatanpasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara berikut.
a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan
b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan kehilangan pasien secara
emosional
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan menghakimi
d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu yang mengalami
kehilangan
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk bahu, dan
merangkul
f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas dan singkat
g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan memberikan
dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan marahnya secara verbal
tanpa melawan kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah adalah
ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis)
b. Dengarkan dengan empati, jangan mencela
c. Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tawar-menawar (bargaining) adalah membantu pasien
mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan takutnya.
a. Amati perilaku pasien
b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien
c. Tingkatkan harga diri psien
d. Cegah tindakan merusak diri
4. Prinsip intervensi keperawatan pada depresi adalah mengidentifikasi tingkat depresi, risiko
merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa bersalah.
a. Observasi perilaku pasien
b. Diskusikan perasaan pasien
c. Cegah tindakan merusak diri
d. Hargai perasaan pasien
e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif
f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan
g. Bahas pikiran yang timbul bersama psien.
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah membantu pasien
menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan cara berikut.
a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien
b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.

Tindakan Keperawatan

Tindakan Keperawatan pada Pasien

1. Tujuan
a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
b. Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami pasien
c. Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan
dirinya
d. Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya
e. Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung.
2. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien
b. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan
spiritual sebelum/sesudah mengalami peristiwa kehilangan serta hubungan antara kondisi
saat ini dengan peristiwa kehilangan yang terjadi)
c. Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami.
1. Cara verbal (mengungkapkan perasaan)
2. Cara fisik (memberi kesempatan ktivitas fisik)
3. Cara sosial (sharing melalui self help group)
4. Cara spiritual (berdoa, berserah diri)
d. Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas yang tersedia untuk saling
memberikan pengalaman dengan saksama
e. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

1. Tujuan
a. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka
b. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan
c. Keluarga dapat mempraktikan cara merawat pasien berduka disfungsional
d. Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat
2. Tindakan
a. Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan dampaknya
pada pasien
b. Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami oleh pasien
c. Melatih keluarga mempraktikan cara merawat pasien dengan berduka disfungsional
d. Berdiskusi dengan keluarga sumber-sumber bantuan yang dapat dimanfaatkan oleh
keluarga untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh pasien

EVALUASI

1. Pasien mampu mengenali peristiwa kehilangan yang dialami


2. Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan dirinya
3. Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya
4. Memanfaatkan faktor pendukung
5. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka
6. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan
7. Keluarga mempraktikan cara merawat pasienberduka disfungsional
8. Keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat
CONTOH KASUS

STRATEGI PELAKSANAAN 1 (SP1) PADA KLIEN DENGAN

KEHILANGAN DAN BERDUKA

Nama klien : Ny. M

Ruangan : Nakula

No. MR : 601756 RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor

A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien

Ny. M, usia 33 tahun mempunyai seorang suami yang bekerja di suatu perusahaan sebagai
tulang punggung keluarga. Seminggu yang lalu, suami Ibu M meninggal karena kecelakaan. Sejak
kejadian tersebut, Ibu M sering melamun dan selalu mengatakan jika suaminya belum meninggal. Ibu
M terlihat sering mengingkari kehilangan, dan menangis Selain itu, Ibu M juga tidak mau berinteraksi
dengan orang lain dan merasa gelisah sehingga susah tidur.

2. Diagnosa Keperawatan

Berduka disfungsional

3. Tujuan khusus
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat dan klien dapat merasa aman
dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat
b. Klien mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya
c. Klien merasa lebih tenang

4. Tindakan keperawatan

a. Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan cara mengucapkan salam terapeutik,
memperkenalkan diri perawat sambil berjabat tangan dengan klien
b. Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Dengarkan setiap perkataan
klien. Beri respon, tetapi tidak bersifat menghakimi
c. Ajarkan klien teknik relaksasi

B. STRATEGI PELAKSANAAN

1. Tahap orientasi
a. Salam terapeutik:

Selamat pagi Ibu M. Saya Frensya Ibu bisamemanggil saya suster Frensya. Saya perawat
yang dinas pagi ini dari pukul 07.00 sampai 14.00 nanti dan saya yang akan merawat Ibu.
Nama Ibu siapa? Ibu senangnya dipanggil apa?”

b. Evaluasi / validasi:

“Baiklah bu, bagaimana keadaan Ibu M hari ini?”

c. Kontrak:
1) Topik :

“Kalau begitu, bagaimana jika kita berbincang-bincang sebentar tentang keadaan ibu?
Tujuannya supaya ibu bisa lebih tenang bu dalam menghadapi keadaan ini, dengan ibu mau
berbagi cerita dengan saya kesedihan ibu mungkin bisa berkurang

2) Waktu :

Ibu maunya berapa lama kita berbincang-bincang?

3) Tempat :

“Ibu mau kita berbincang-bincang dimana? Di sini saja? Baiklah.”

2. Tahap kerja
 “Baiklah Ibu M, bisa Ibu jelaskan kepada saya bagaimana perasaan Ibu M saat ini?”
 “Saya mengerti Ibu sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi kondisi sebenarnya memang
suami Ibu telah meninggal. Sabar ya, Bu ”
 “Saya tidak bermaksud untuk tidak mendukung Ibu. Tapi coba Ibu pikir, jika Ibu pulang ke
rumah nanti, Ibu tidak akan bertemu dengan suami Ibu karena beliau memang sudah
meninggal. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan, Bu. Ibu harus berusaha menerima kenyataan
ini.”
 “Ibu, hidup matinya seseorang semua sudah diatur oleh Tuhan. Meninggalnya suami Ibu juga
merupakan kehendak-Nya sebagai Maha Pemilik Hidup. Tidak ada satu orang pun yang
dapat mencegahnya, termasuk saya ataupun Ibu sendiri.”
 “Ibu sudah bisa memahaminya?”
 “Ibu tidak perlu cemas. Umur Ibu masih muda, Ibu bisa mencoba mencari pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga Ibu. Saya percaya Ibu mempunyai keahlian yang bisa
digunakan. Ibu juga tidak akan hidup sendiri. Ibu masih punya saudara-saudara, anak-anak
dan orang lain yang sayang dan peduli sama Ibu.”
 “Untuk mengurangi rasa cemas Ibu, sekarang Ibu ikuti teknik relaksasi yang saya lakukan.
Coba sekarang Ibu tarik napas yang dalam, tahan sebentar, kemudian hembuskan
perlahanlahan.”
 “Ya, bagus sekali Bu, seperti itu”

3. Tahap terminasi
a. Evaluasi:

(Subjektif): “Bagaimana perasaan Ibu sekarang? Apa Ibu sudah mulai memahami kondisi
yang sebenarnya terjadi?”

(Objektif) : “Kalau begitu, coba Ibu jelaskan lagi, hal-hal yang Ibu dapatkan dari
perbincangan kita tadi dan coba Ibu ulangi teknik relaksasi yang telah kita lakukan.”

b. Tindak Lanjut :

“Ya, bagus sekali Bu. Nah, setiap kali Ibu merasa cemas, Ibu dapat melakukan teknik
tersebut. Dan setiap kali Ibu merasa Ibu tidak terima dengan kenyataan ini, Ibu dapat
mengingat kembali perbincangan kita hari ini.

 Bu, ini ada buku kegiatan untuk ibu


 Bagaimana kalau kegiatan teknik rileksasi ibu masukkan kedalam jadwal kegiatan
ibu?
 Ibu setuju?
 Nah, Disini ada kolom kegiatan, tanggal, waktu dan keterangan
Ibu bisa mengisi kegiatan tenik rileksasi pada kolom kegiatan
 Kira-kira jam berapa ibu nanti melakukan teknik rileksasi bu?
 Cara mengisi buku kegiatan ini: jika ibu melakukannya tanpa dibantu atau
diingatkan oleh orang lain ibu tulis “M” disini, jika ibu di bantu atau diingatkan ibu
tulis “B” dan jika ibu tidak melakukannya ibu tulis “T”
 Ibu paham Bu?”
 Nanti ibu jangan lupa mengisi buku kegiatannya ya

c. Kontrak yang akan datang:


 Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincang selama 30 menit dan
sekarang sudah 30 menit bu!
 Bu, kapan ibu mau kita melanjutkan perbincangan kita?
 Bagaimana kalau kita besok membicarakan tentang hobi ibu
 Ibu maunya dimana?
  Nah, sekarang ibu istirahat dulu
  Sebelum saya permisi apak ada yang mau ibu tanyakan?
  Baiklah, kalau tidak ada, saya permisi dulu ya Bu.
STRATEGI PELAKSANAAN 2 (SP2) PADA KLIEN DENGAN

KEHILANGAN DAN BERDUKA

Nama klien : Ny. M

Ruangan : Nakula

No. MR : 601756 RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor

A. PROSES KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pada pertemuan kedua, Ibu M sudah mulai menunjukkan rasa penerimaan terhadap
kehilangan. Namun, ia masih menarik diri dari lingkungan dan orang-orang sekitarnya. Ia
juga masih melamun dan merasa gelisah sehingga tidurnya tidak nyenyak.

2. Diagnosa keperawatan

Berduka Disfungsional

3. Tujuan khusus

Klien tidak menarik diri lagi dan dapat membina hubungan baik kembali dengan
lingkungannya maupun dengan orang-orang di sekitarnya

4. Tindakan keperawatan
a. Libatkan klien dalam setiap aktivitas kelompok, terutama aktivitas yang ia sukai
b. Berikan klien pujian setiap kali klien melakukan kegiatan dengan benar

B. STRATEGI PELAKSANAAN

1. Tahap orientasi
a) Salam terapeutik:
Selamat pagi Ibu M. Masih ingat dengan saya Bu? Ya, betul sekali. Saya suster Frensya,
Bu. Seperti kemarin, pagi ini dari pukul 07.00 sampai 14.00 nanti dan saya yang akan
merawat Ibu.”

b) Evaluasi validasi:

“Bagaimana keadaan Ibu hari ini? Apa sudah lebih baik dari kemarin? Bagus kalau
begitu” “Nah apa saja yang ibu lakukan kemarin? “ coba saya lihat buku kegiatan ibu?
“wah bagus bu, ibu sudah melakukan teknik rileksasi secara mandiri” “Sekarang coba ibu
praktekkan lagi cara teknik rileksasi tersebut” “ bagus sekali bu”

c) Kontrak:

Topik: “Sesuai janji yang kita sepakati kemarin ya, Bu. Hari ini kita bertemu untuk
membicarakan hobi Ibu tujuannya supaya ibu dapat melakukan aktifitas yang sukai dan
ibu dapat berinteraksi dengan orang-orang disekeliling ibu Waktu: ibu maunya berapa
lama kita berbincang-bincang? Tempat: ibu maunya dimana? Bagaimana ditaman depan,
ibu setuju?

2. Tahap kerja
 “Nah, Bu. Apakah Ibu sudah memikirkan hobi yang Ibu senangi?”
 “Ternyata Ibu hobi bermain voli ya? Tidak semua orang bisa bermain voli lho, Bu.”
 “Selain bermain voli, apa Ibu mempunyai hobi yang lain lagi?”
 “Wah, ternyata Ibu juga hobi menyanyi, pasti suara Ibu bagus. Bisa Ibu menunjukkan
sedikit bakat menyanyi Ibu pada saya?”
 “Wah ternyata Ibu memang berbakat menyanyi, suara Ibu juga cukup bagus.”
 “Ngomong-ngomong tentang hobi Ibu bermain voli, berapa sering Ibu biasanya bermain
voli dalam seminggu?”
 “Cukup sering juga ya Bu. Pasti kemampuan Ibu dalam bermain voli sudah terlatih.”
 “Apa Ibu pernah mengikuti lomba voli? Wah, ternyata Ibu hebat juga ya dalam bermain
voli. Buktinya, Ibu pernah memenangi lomba voli antarwarga di daerah rumah Ibu.”
 “Nah, bagaimana kalau sekarang Ibu saya ajak bergabung dengan yang lain untuk
bermain voli? Tampaknya di sana banyak orang yang juga ingin bermain voli. Ibu bisa
melakukan hobi Ibu ini bersama-sama dengan yang lain.”
  “Ibu-ibu, kenalkan, ini Ibu M. Ibu M juga akan bermain voli bersamasama. Ibu M ini
jago bermain voli, lho.”
 “Nah, sekarang bisa Ibu tunjukkan teknik-teknik yang baik dalam bermain bola voli?”
 “Wah, bagus sekali Bu. Ibu hebat.”
 “Ibu M, saat Ibu sedang merasa emosi tapi tidak mampu meluapkannya, Ibu bisa
melakukan kegiatan ini bersama-sama yang lain. Selain itu, kegiatan ini juga dapat
membuat Ibu berhubungan lebih baik dengan yang lainnya dan Ibu tidak merasa kesepian
lagi.”

3. Tahap terminasi
a. Evaluasi:

(Subjektif): “Bagaimana perasaan Ibu sekarang? Apa sudah lebih baik dibandingkan
kemarin?”

(Objektif): “Sekarang coba Ibu ulangi lagi apa saja manfaat yang dapat Ibu dapatkan
dengan melakukan kegiatan yang Ibu senangi.”

b. Tindak Lanjut :
 “Baiklah Bu, kalau begitu Ibu dapat bermain voli saat Ibu sedang merasa emosi.
 “Bu, ibu sudah mempunyai buku kegiatan harian kan?”
 “Bagaimana jika kegiatan bermain voli ini juga dimasukkan menjadi kegiatan sehari-
hari
 Ibu maunya berapa kali main voli dalam satu minggu?
 Kira-kira jam berapa ibu nanti mau main voli?
 “Nah nanti kalau ibu melakukan kegiatan ini, ibu jangan lupa mengisi buku kegiatan”
 “Caranya sama dengan sebelumnya, jika ibu melakukan sendiri, tanpa diingatkan dan
dibantu oleh perawat atau orang lain ibu tulis “M”, dan jika ibu di bantu dalam
melakukan kegiatan , ibu tulis “B”, dan jika ibu malas atau lupa mengerjakannya ibu
tulis “T”.
 Ibu paham bu?

c. Kontrak yang akan datang:


 Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincang selama 30 menit dan
sekarang sudah 30 menit bu!
 “Nah bu bagaimana kalau besok jam 08.00 setelah makan pagi, saya akan kembali
lagi untuk mengajarkan Ibu cara meminum obat dengan benar.
 Kita ketemu di ruangan Ibu saja, ya?
 Apa ada yang ingin Ibu tanyakan? Baiklah, kalau tidak, saya permisi dulu ya, Bu.
STRATEGI PELAKSANAAN (SP 3) PADA KLIEN DENGAN

KEHILANGAN DAN BERDUKA

Nama klien : Ny. M

Ruangan : Nakula

No. MR : 601756 RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor

A. PROSES KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pada pertemuan ketiga, Ibu M sudah mulai tidak banyak melamun dan mulai membuka dirinya
kepada orang-orang sekitarnya. Ibu M juga mau membalas sapaan ataupun senyuman jika ada
perawat ataupun orang lain yang menyapanya ataupun tersenyum padanya. Namun, Ibu M
mengaku ia masih terbayang akan suaminya saat ia akan tidur. Hal tersebut membuat Ibu M
merasa gelisah, tidur tidak nyenyak, bahkan sulit tidur.

2. Diagnosa keperawatan

Berduka Disfungsional

3. Tujuan khusus
a. Klien dapat mengetahui aturan yang benar dalam meminum obat
b. Ansietas klien berkurang sehingga klien dapat tidur dengan nyenyak

4. Tindakan keperawatan
a. Ajarkan klien cara meminum obat dengan benar
b. Awasi klien saat minum obat
B. STRATEGI PELAKSANAAN

1. Tahap orientasi
a. Salam terapeutik:

Selamat pagi Ibu M.”

b. Evaluasi validasi:

“Bagaimana keadaan Ibu hari ini? Apa semalam Ibu bisa tidur dengan nyenyak?” “Apa
boleh saya lihat buku kegiatan ibu? “Wah bagus bu” “Nampaknya ibu sudah lebih
bersemangat dari yang kemaren”

c. Kontrak:

Topik: “Ibu tidak bisa tidur dengan nyenyak ya? Baiklah, sesuai dengan janji kita yang
kemarin, saya akan memberitahu Ibu obat yang harus Ibu minum untuk mengurangi
kecemasan Ibu dan agar Ibu dapat tidur dengan nyenyak. Waktu: ibu maunya berapa lama
kita berbincang-bincang/Tempat: bagaimana kalau kita berbincang-bincang di kamar ini
saja.”

2. Tahap kerja
 “Nah, kita langsung mulai saja ya Bu. Ini ada beberapa macam obatobatan yang harus
Ibu minum.”
 “Ini obatnya ada dua macam ya Bu. Yang warna putih ini namanya BDZ. Fungsi dari
obat ini agar pikiran Ibu bisa lebih menjadi tenang. Kalau pikiran Ibu tenang, Ibu bias
tidur dengan nyenyak.”
 “Kemudian, yang warna kuning ini adalah HLP. Ini juga harus Ibu minum agar
perasaan Ibu bisa rileks dan Ibu tidak lagi merasakan cemas yang berlebihan.”
 “Nah Bu, semua obat ini diminum tiga kali sehari ya Bu, jam 7 pagi, jam 1 siang, dan
jam 7 malam. Masing-masing obat satu butir saja. Obatobatan ini juga harus diminum
setelah Ibu makan.”
 “Apa Ibu mempunyai keluhan dalam meminum obat?”
 “Ooh, jadi Ibu tidak tahan dengan rasa pahitnya ya? Kalau begitu, setelah Ibu minum
obat Ibu bisa memakan permen agar rasa pahitnya dapat berkurang.”
 “Jika setelah minum obat ini mulut Ibu menjadi terasa kering sekali, Ibu bisa minum
banyak air untuk mengatasinya agar mulut Ibu tidak kering.”
 “Tapi jika ada efek samping yang berlebihan seperti gatal-gatal, pusing, atau mual, Ibu
bisa panggil saya atau perawat lain yang sedang bertugas.”
 “Nah, sebelum ibu meminum obatnya, pastikan dulu ya Bu, obatnya sesuai atau tidak.
Ibu juga jangan lupa perhatikan waktunya agar obat tersebut dapat diminum tepat
waktu.”

3. Tahap terminasi
a. Evaluasi:

(subjektif): “Apa Ibu sudah mengerti apa saja obat yang harus Ibu minum dan
bagaimana prosedur sebelum meminumnya?”

(objektif): “Bagus. Kalau Ibu sudah mengerti, coba ulangi lagi apa saja obat yang harus
Ibu minum dan apa saja prosedur meminum obatnya.”

b. Tindak Lanjut :
 “Seperti yang sudah saya katakan tadi ya Bu, jika setelah minum obat mulut Ibu
terasa kering, Ibu dapat meminum air yang banyak. Dan kalau Ibu merasa gatal-
gatal, ousing, atau bahkan muntah, Ibu dapat menghubungi saya atau perawat lain
yang sedang bertugas.”
 “Bu, ibu sudah mempunyai buku kegiatan harian kan?”
 “Bagaimana jika kegiatan minum obat ini juga dimasukkan menjadikegiatan sehari-
hari
 Jangan lupa, ibu juga membuat jam minum obatnya ya bu
 “Caranya mengisi buku kegiatan ini juga sama dengan sebelumnya, jika ibu
melakukan sendiri, tanpa diingatkan dan dibantu oleh perawat atau orang lain ibu
tulis “M”, dan jika ibu di bantu dalam melakukan kegiatan , ibu tulis “B”, dan jika
ibu malas atau lupa mengerjakannya ibu tulis “T”.
 Ini tujuannya untuk melihat kemandirian ibu, jika ibu sudah bisa mandiri dalam
melakukan sesuatu dan ibu juga sudah dapat memenuhi kebutuhan ibu sehari-hari,
ibu akan dapat segera di pulangkan.
 Ibu paham Bu?”

c. Kontrak yang akan datang:


 Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincang selama 30 menit dan
sekarang sudah 30 menit bu!
 “Baiklah Bu, nanti jam 14.00 setelah makan siang, saya akan datang kembali untuk
memantau perkembangan Ibu. Kita bertemu di ruangan ini saja ya Bu.” “Sebelum
saya pergi apa ada yang ingin Ibu tanyakan? Baiklah Bu, kalau tidak ada, saya
permisi dulu.

DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai