UNIVERSITAS MEDIKA SUHERMAN TAHUN AJARAN 2021/2022 A. Kehilangan dan berduka 1. Definisi Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada sesuatu yang dulunya ada. Menurut Stuart (2017) kehilangan adalah suatu situasi dan keadaan ketika individu mengalami kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada dan dimiliki kemudian menjadi tidak ada, kehilangan menjadi sesuatu hal yang sulit dihindari. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan dimana respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Duka cita merupakan suatu proses kompleks yang normal dan meliputi respons dan perilaku emosional fisik, spiritual, dan intelektual ketika individu, keluarga dan komunitas memasukkan kehilangan yang aktual, adaptif, atau dipersepsikan ke dalam kehidupan mereka sehari- hari (NANDA, 2015). Kehilangan dan juga kematian merupakan realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan, dimana sebagian besar perawat berinteraksi dengan pasien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan duka cita. Sangat penting bagi perawat dalam memahami kehilangan dan duka cita. Dalam merawat pasien dan keluarga, perawat juga dapat merasakan kehilangan secara pribadi ketika hubungan antara pasien, kluarga, perawat berakhir dengan perpindahan, pemulangan, penyembuhan, ataupun kematian. Perasaan pribadi, nilai, serta pengalaman pribadi yang dirasakan tersbut mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarga klien slama kehilangan dan kematian atau berduka. 2. Respon dan gejala klien yang berduka a. Respon kognitif Gejala berupa asumsi dan keyakinan, menemukan makna kehilangan, berupa mempertahankan keberadaan orang yang meninggal. b. Respon emosional Gejala berupa marah, sedih cemas, benci, perasaan mati rasa, depresi, penderitaan dan kesiapan yang berat, putus asa, dan muncul rasa percaya diri, dan mandiri. c. Respon spiritual Gejala berupa kecewa dan marah kepada Tuhan, tidak memiliki harapan dan kehilangan makna. d. Respon perilaku Gejala berupa menangis dengan berteriak atau tidak terkontrol, gelisah, perilaku mencari, menyimpan benda kenangan, menyalahgunakan obat atau upaya bunuh diri, mencari efektivitas dan refleksi personal. e. Respon fisiologis Gejala berupa sakit kepala, insomnia, BB turun, tidak nafsu makan, lemas perubahan sistem imun dan gangguan pencernaan. 3. Tahap proses kehilangan dan berduka a. Fase akut (4-8 minggu setelah kematian) 1) Syok dan tidak percaya Respon awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima pedihnya kehilangan, akan tetapi proses ini sesungguhnya memang dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian. 2) Perkembangan kesadaran Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lainn, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam. 3) Restitusi Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan. b. Fase jangka panjang 1) Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih 2) Reaksi berduka yang tidak terslesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejaa fisik. Pada individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri. Sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menola makan dan menggunakan alkohol.
B. Pengaturan Fisiologis dan Tahapan Proses Berduka
1. Pengaturan fisiologis a. Fase awal Pada fase awal seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasaan tersebut berlangsung selama beberapa hari, kemudia individu kembali pada perasaan berduka, berlebihan. Selanjutnya individu merasa konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu. b. Fase pertengahan Fase ini dimulai pada minggu ketiga yang ditandai dengan adanya perilau obsesif. Sebuah perilaku yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi. c. Fase pemulihan Fase pemulihan ini sialami setelah pertama kehilangan. Individu memutsukan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupannya. Pada fase ini individu sudah dapat memulai betpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial. 2. Tahapan Proses Berduka a. Penyangkalan (denial) Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berprilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut : 1) “ Tidak, ini tidak mungkin terjadi padaku”. 2) Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam, panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak nyaman. 3) Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan (defense mechanism) terhadap rasa cemas. 4) Pasien perlu waktu beradaptasi 5) Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan pertahanan yang tidak radikal. 6) Secara intelektual sesorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan kematian, tapi tidak demikian dengan emosional. Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian orang yang dicintai seperti orang tua. Pada tahap ini biasanya individu akan beranggapan bahwa yang dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara seperti biasanya. Secara fisik akan tampak letih, lemah, pucat, sesak napas, menangis, dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun. b. Marah (anger) Tahap kdua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain, atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respon pasien dapat mengalami hal seperti berikut : 1) “ apa salah saya sehingga Tuhan menghukum saya seperti ini ?” 2) Kemarahan terjadi pada sang pencipta, yang diproyeksikannya terhadap orang atau lingkungan. 3) Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik. “ Dasar perawat tidak becus”. 4) Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang keluarga dan staff rumah sakit. 5) Perlu diingat bahwa bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan merupakan hal wajar karena hal itu akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stress. c. Penawaran (bergaining) Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar- menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......” respon individu tersebut seperti merasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi. Namun pasien juga berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan ketika sedang beribadah. Kemudian pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain. d. Depresi Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?” Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan kegelisahannya e. Penerimaan (acceptance) Penerimaan terhadap kenyataan terhadap kehilangan mulai disadari dan mulai melepas suatu yang hilang tersebut secara bertahap.ada juga individu yang mengatasinya dengan cara mengalhikan terhadap sesuatu hal yang baru. Individu akan mengatakan “saya syangat menyayangi ibu saya, namun sekrang ia lebih bahagia disana dan tidak akan merasakan sakit lagi seperti yang dirasaka saat masih di dunia”. Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.