Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung
selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka
berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya
dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa
minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan
yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan
untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan.
Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
Tahapan Proses Kehilangan
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah
(anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui
setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung
pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada
stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak
percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan,
mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-
apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai
berikut.
1. “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2. “Diagnosis dokter itu salah.”
3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak
nyaman.
4. Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan
(defense mechanism) terhadap rasa cemas.
5. Pasien perlu waktu beradaptasi.
6. Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan
menggunakan pertahanan yang tidak radikal.
7. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan
kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.
Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian orang
yang dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang yang
dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar
suara seperti biasanya. Secara fisik akan tampak letih, lemah, pucat, mual, diare,
sesak napas, detak jantung cepat, menangis, dan gelisah. Tahap ini
membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun
setelah kehilangan.
Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan.
Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang
lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respons pasien dapat
mengalami hal seperti berikut.
1. Emosional tak terkontrol.
“Mengapa aku?”
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang
atau lingkungan.
3. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
“Peraturan RS terlalu keras/kaku.” “Perawat tidak becus!”
4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi
pandang keluarga dan staf rumah sakit.
5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan
yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak
melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......” atau “misalkan
dia tidak memilih pergi ke tempat itu ... pasti semua akan baik-baik saja”, dan
sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada
masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu
hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
3. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-
menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan
secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih
berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.”
“Bila saya sembuh, saya akan…….”
4. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali
perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.
Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan
penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri,
tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik,
individu menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido.
Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang
terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya
mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?”
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang
penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan
dan damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi
kesedihan dan kegelisahannya.
Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran
terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan
kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai
dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu
akan mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi
dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus berkonsentrasi
kepada pekerjaan saya.........”
BENTUK KEHILANGAN
1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal atau
dipenjara.
2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit,
amputasi bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri,
kehilangan pekerjaan, kehilangan kedudukan, dan kehilangan kemampuan
seksual.
3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau
perhiasan.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Faktor Predisposisi
1. Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam
keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam
bersikap optimis dan menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai
kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan
yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.
4. Pengalaman kehilangan sebelumnya
Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak akan
memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa
dewasa.
Faktor Presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu
dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan
fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran,
dan kehilangan posisi di masyarakat.
Perilaku
1. Menangis atau tidak mampu menangis.
2. Marah.
STRATEGI PELAKSANAAN PADA KLIEN DENGAN
KEHILANGAN DAN BERDUKA
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Ny. M, usia 33 tahun mempunyai seorang suami yang bekerja di suatu
perusahaan sebagai tulang punggung keluarga. Seminggu yang lalu, suami
Ibu M meninggal karena kecelakaan. Sejak kejadian tersebut, Ibu M sering
melamun dan selalu mengatakan jika suaminya belum meninggal. Ibu M
terlihat sering mengingkari kehilangan, dan menangis. Selain itu, Ibu M juga
tidak mau berinteraksi dengan orang lain dan merasa gelisah sehingga susah
tidur.
2. Diagnosa Keperawatan
Berduka disfungsional
3. Tujuan khusus
4. Tindakan keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan cara
mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri perawat
sambil berjabat tangan dengan klien.
b. Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Dengarkan setiap perkataan klien. Beri respon, tetapi tidak bersifat
menghakimi.
c. Ajarkan klien teknik relaksasi
B. Strategi pelaksanaan (SP 1 Pasien)
1. Tahap orientasi
a. Salam terapeutik:
“Assalamu’alaikum, selamat pagi Ibu M. Saya Syarifah Nuraida Yana, Ibu
bisa memanggil saya suster Nana. Saya perawat yang dinas pagi ini dari
pukul 07.00 sampai 14.00 nanti dan saya yang akan merawat Ibu. Nama
Ibu siapa? Ibu senangnya dipanggil apa?”
b. Evaluasi / validasi:
“Baiklah bu, bagaimana keadaan Ibu M hari ini?”
c. Kontrak:
1) Topik :
“Kalau begitu, bagaimana jika kita berbincang-bincang sebentar tentang
keadaan ibu?
Tujuannya supaya ibu bisa lebih tenang bu dalam menghadapi keadaan ini,
dengan ibu mau berbagi cerita dengan saya, kesedihan ibu mungkin bisa
berkurang
2) Waktu :
Ibu maunya berapa lama kita berbincang-bincang?
3) Tempat :
“Ibu mau kita berbincang-bincang dimana? Di sini saja? Bai klah.”
2. Tahap kerja
“Baiklah Ibu M, bisa Ibu jelaskan kepada saya bagaimana perasaan Ibu M
saat ini?”
“Saya mengerti Ibu sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi kondisi
sebenarnya memang suami Ibu telah meninggal. Sabar ya, Bu ”
“Saya tidak bermaksud untuk tidak mendukung Ibu. Tapi coba Ibu pikir,
jika Ibu pulang ke rumah nanti, Ibu tidak akan bertemu dengan suami Ibu
karena beliau memang sudah meninggal. Itu sudah menjadi kehendak
Tuhan, Bu. Ibu harus berusaha menerima kenyataan ini.”
“Ibu, hidup matinya seseorang semua sudah diatur oleh Tuhan.
Meninggalnya suami Ibu juga merupakan kehendak-Nya sebagai Maha
Pemilik Hidup. Tidak ada satu orang pun yang dapat mencegahnya,
termasuk saya ataupun Ibu sendiri.”
“Ibu sudah bisa memahaminya?”
“Ibu tidak perlu cemas. Umur Ibu masih muda, Ibu bisa mencoba mencari
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga Ibu. Saya percaya Ibu
mempunyai keahlian yang bisa digunakan. Ibu juga tidak akan hidup
sendiri. Ibu masih punya saudara-saudara, anak-anak dan orang lain yang
sayang dan peduli sama Ibu.”
“Untuk mengurangi rasa cemas Ibu, sekarang Ibu ikuti teknik relaksasi
yang saya lakukan. Coba sekarang Ibu tarik napas yang dalam, tahan
sebentar, kemudian hembuskan perlahanlahan.”
“Ya, bagus sekali Bu, seperti itu.”
3. Tahap terminasi
a. Evaluasi:
(Subjektif): “Bagaimana perasaan Ibu sekarang? Apa Ibu sudah mulai
memahami kondisi yang sebenarnya terjadi?”
(Objektif) : “Kalau begitu, coba Ibu jelaskan lagi, hal-hal yang Ibu dapatkan
dari perbincangan kita tadi dan coba Ibu ulangi teknik relaksasi yang telah kita
lakukan.”
b. Tindak Lanjut :
“Ya, bagus sekali Bu. Nah, setiap kali Ibu merasa cemas, Ibu dapat melakukan
teknik tersebut. Dan setiap kali Ibu merasa Ibu tidak terima dengan kenyataan
ini, Ibu dapat mengingat kembali perbincangan kita hari ini.
b) Evaluasi validasi:
“Bagaimana keadaan Ibu hari ini? Apa sudah lebih baik dari kemarin?
Bagus kalau begitu”
“Nah apa saja yang ibu lakukan kemarin? “ coba
saya lihat buku kegiatan ibu?
“wah bagus bu, ibu sudah melakukan teknik rileksasi secara mandiri”
“Sekarang coba ibu praktekkan lagi cara teknik rileksasi tersebut”
“ bagus sekali bu”
c) Kontrak:
Topik: “Sesuai janji yang kita sepakati kemarin ya, Bu. Hari ini kita bertemu
untuk membicarakan hobi Ibu tujuannya supaya ibu dapat melakukan aktifitas
yang sukai dan ibu dapat berinteraksi dengan orang-orang disekeliling ibu
Waktu: ibu maunya berapa lama kita berbincang-bincang?
Tempat: ibu maunya dimana? Bagaimana ditaman depan, ibu setuju?
2. Tahap kerja
“Nah, Bu. Apakah Ibu sudah memikirkan hobi yang Ibu senangi?”
“Ternyata Ibu hobi bermain voli ya? Tidak semua orang bisa bermain
voli lho, Bu.”
“Selain bermain voli, apa Ibu mempunyai hobi yang lain lagi?”
“Wah, ternyata Ibu juga hobi menyanyi, pasti suara Ibu bagus. Bisa
Ibu menunjukkan sedikit bakat menyanyi Ibu pada saya?”
“Wah ternyata Ibu memang berbakat menyanyi, suara Ibu juga cukup
bagus.”
“Ngomong-ngomong tentang hobi Ibu bermain voli, berapa sering Ibu
biasanya bermain voli dalam seminggu?”
“Cukup sering juga ya Bu. Pasti kemampuan Ibu dalam bermain voli
sudah terlatih.”
“Apa Ibu pernah mengikuti lomba voli? Wah, ternyata Ibu hebat juga
ya dalam bermain voli. Buktinya, Ibu pernah memenangi lomba voli
antarwarga di daerah rumah Ibu.”
“Nah, bagaimana kalau sekarang Ibu saya ajak bergabung dengan
yang lain untuk bermain voli? Tampaknya di sana banyak orang yang
juga ingin bermain voli. Ibu bisa melakukan hobi Ibu ini bersama-
sama dengan yang lain.”
“Ibu-ibu, kenalkan, ini Ibu M. Ibu M juga akan bermain voli bersama-
sama. Ibu M ini jago bermain voli, lho.”
“Nah, sekarang bisa Ibu tunjukkan teknik-teknik yang baik dalam
bermain bola voli?”
“Wah, bagus sekali Bu. Ibu hebat.”
“Ibu M, saat Ibu sedang merasa emosi tapi tidak mampu
meluapkannya, Ibu bisa melakukan kegiatan ini bersama-sama yang
lain. Selain itu, kegiatan ini juga dapat membuat Ibu berhubungan
lebih baik dengan yang lainnya dan Ibu tidak merasa kesepian lagi.”
3. Tahap terminasi
a. Evaluasi:
(Subjektif): “Bagaimana perasaan Ibu sekarang? Apa sudah lebih baik
dibandingkan kemarin?”
(Objektif): “Sekarang coba Ibu ulangi lagi apa saja manfaat yang dapat Ibu
dapatkan dengan melakukan kegiatan yang Ibu senangi.”
b. Tindak Lanjut :
“Baiklah Bu, kalau begitu Ibu dapat bermain voli saat Ibu sedang merasa
emosi.
“Bu, ibu sudah mempunyai buku kegiatan harian kan?”
“Bagaimana jika kegiatan bermain voli ini juga dimasukkan menjadi kegiatan
sehari-hari. Ibu maunya berapa kali main voli dalam satu minggu?
Kira-kira jam berapa ibu nanti mau main voli?
“Nah nanti kalau ibu melakukan kegiatan ini, ibu jangan lupa mengisi buku
kegiatan”
“Caranya sama dengan sebelumnya, jika ibu melakukan sendiri, tanpa
diingatkan dan dibantu oleh perawat atau orang lain ibu tulis “M”, dan jika
ibu di bantu dalam melakukan kegiatan , ibu tulis “B”, dan jika ibu malas atau
lupa mengerjakannya ibu tulis “T”.
Ibu paham bu?
SP 1 (KELUARGA)
Tahap Orintasi
Tahap Kerja
Tahap Terminasi
SP 2 (KELUARGA)
Tahap Orientasi
Tahap Kerja
Tahap Terminasi