Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN MASALAH

KEHILANGAN BERDUKA

Diusun Oleh

Irwan firmansyah

KHGD 19055

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

KARSA HUSADA GARUT

2019/2020
KONSEP TEORI

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu


yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit
dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai,
dan kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons
emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah.
Seorang individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang
efektif dalam melalui proses berduka, sehingga mampu menerima kenyataan
kehilangan yang menyebabkan berduka dan merupakan bagian dari proses
kehidupan.Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual,
dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek yang
hilang, dapat merupakan objek eksternal, orang yang berarti, lingkungan, aspek
diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang mungkin dirasakan hilang ketika
seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis..

Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka


dikarakteristikkan sebagai berikut.

1. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.

2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali


kejadian kehilangan.

3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan


menangis, keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.

4. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.

5. Mengalami perasaan berduka.

6. Mudah tersinggung dan marah.


2. Proses Teerjadinya Masalah

Rentang Respons Emosi

Respon Adaptif Respon Maladaptif

• Menangis, menjerit, menyangkal, • Diam/tidak menangis

menyalahkan diri sendiri, menawar, • Menyalahkan diri berkepanjangan.


bertanyatanya.
• Rendah diri.
• Membuat rencana untuk yang akan
• Mengasingkan diri.
datang.
• Tak berminat hidup.
• Berani terbuka tentang kehilangan.

Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada
dalam rentang yang fluktuatif, dari tingkatan yang adaptif sampai dengan
maladaptif.

3. Fase Kehilangan

Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.

1. Fase akut

Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga
proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.

a. Syok dan tidak percaya

Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima


pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang dibutuhkan
untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan
untuk menerima kenyataan kematian.

b. Perkembangan kesadaran

Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain, perasaan
bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan menangis
untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.

c. Restitusi

Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga membantu
menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.

2. Fase jangka panjang

a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.

b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang


tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa
individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya
mengabaikan diri dengan menolak makan dan menggunakan alkohol.Menurut
Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,

pertengahan, dan pemulihan.

1. Fase awal

Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung
selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka
berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya
dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa
minggu.
2. Fase pertengahan

Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan
yang terjadi.

3. Fase pemulihan

Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan


untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan.
Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

Tahapan Proses Kehilangan

Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah
(anger), penawaran (bargaining),depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui
setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung
pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada
stagnasi pada satu fase marah atau depresi.

Tahap Penyangkalan (Denial)

Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya,
syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri
terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura
senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut.

1. “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”

2. “Diagnosis dokter itu salah.”

3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,


panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak
nyaman.
4. Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan
(defense mechanism) terhadap rasa cemas.

5. Pasien perlu waktu beradaptasi.

6. Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan


menggunakan pertahanan yang tidak radikal.

7. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan


kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.

Tahap Marah (Anger)

Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan.


Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang
lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respons pasien dapat
mengalami hal seperti berikut.

1. Emosional tak terkontrol.

“Mengapa aku?”

“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”

2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap


orang atau lingkungan.

3. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.

“Peraturan RS terlalu keras/kaku.”

“Perawat tidak becus!”

4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi
pandang keluarga dan staf rumah sakit.

5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan
yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
Tahap Penawaran (Bargaining)

Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak
melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......”atau “misalkan
dia tidak memilih pergi ke tempat itu ... pasti semua akan baik-baik saja”, dan
sebagainya. Respons pasien dapat berupahal sebagai berikut.

1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada


masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.

2. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu


hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.

3. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-


menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan
secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.

“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih
berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.” “Bila saya
sembuh, saya akan…….”

4. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali


perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.

Tahap Depresi

Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan
penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak
mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu
menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan
pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak-anak bila
saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya

tanpa kehadiran saya?” Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang
merupakan tahap yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal
dalam tahap penerimaan dan damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada
pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan kegelisahannya.

Tahap Penerimaan (Acceptance)

Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran


terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan
kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai
dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu
akan mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi
dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus berkonsentrasi
kepada pekerjaan saya.........”Seorang individu yang telah mencapai tahap
penerimaan akan mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap
berada di satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap
penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi
kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap
penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.

3. Data Yang Perlu Dikaji

Faktor Predisposisi

1. Genetik

Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam keluarga
yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap
optimis dan menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik

Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai
kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik.

3. Kesehatan mental

Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan


yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.

4. Pengalaman kehilangan sebelumnya

Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak akan


memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa
dewasa.

Faktor Presipitasi

Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu
dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan
fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan
kehilangan posisi di masyarakat.

Perilaku

1. Menangis atau tidak mampu menangis.

2. Marah.

3. Putus asa.

4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.

Diagnosa Keperawatan

1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual.


2. Berduka disfungsional.

3. Berduka fungsional

Perencanaan

Prinsip intervensi

1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah


memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara
berikut.

a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.

b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan kehilangan


pasien secara emosional.

c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan


menghakimi.

d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu yang
mengalami kehilangan.

e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk bahu, dan
merangkul.

f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan singkat.

g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.

2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan


memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan
marahnya secara verbal tanpa melawan kemarahannya. Perawat harus menyadari
bahwa perasaan marah adalah ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.

a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis).

b. Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.

c. Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung.


3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining)
adalah membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan
takutnya.

a. Amati perilaku pasien.

b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.

c. Tingkatkan harga diri pasien.

d. Cegah tindakan merusak diri.

4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi


tingkat depresi, risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa
bersalah.

a. Observasi perilaku pasien.

b. Diskusikan perasaan pasien.

c. Cegah tindakan merusak diri.

d. Hargai perasaan pasien.

e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.

f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.

g. Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.

5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah


membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan cara
berikut.

a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.

b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.

Tindakan Keperawatan

Tindakan Keperawatan pada Pasien


1. Tujuan

a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.

b. Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami pasien.

c. Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan


keadaan dirinya.

d. Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.

e. Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung.

2. Tindakan

a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien.

b. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi pikiran, perasaan, fisik,
sosial, dan spiritual sebelum/sesudah mengalami peristiwa kehilangan serta
hubungan antara kondisi saat ini dengan peristiwa kehilangan yang terjadi).

c. Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami.

1) Cara verbal (mengungkapkan perasaan).

2) Cara fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik).

3) Cara sosial (sharing melalui self help group).

4) Cara spiritual (berdoa, berserah diri).

d. Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas yang tersedia untuk


saling memberikan pengalaman dengan saksama.

e. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian.

f. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

1. Tujuan

a. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.


b. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.

c. Keluarga dapat mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.

d. Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.

2. Tindakan

a. Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan


dampaknya pada pasien.

b. Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami


oleh pasien.

c. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan


berdukadisfungsional.

d. Berdiskusi dengan keluarga sumber-sumber bantuan yang dapat dimanfaatkan


oleh keluarga untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, BA., Helena, N.C.D., dan Farida P. 2007. Manajemen Keperawatan


Psikosisial dan Kader Kesehatan Jiwa: CMHN (Intermediate Courese). Jakarta:
EGC.
Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Pratice of Psychiatric Nursing, 8thEdition.
St.Loius: Mosby.
Stuart, G. W, dan Sundeen, S. J. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Varcarolis. 2006. Fundamental of Psychiatric Nursing. Edisi 5. St.Louis: Elsevier.
WHO. 2001. The World Health Reports 2001, Mental Health: New
Understanding, New Hope.
Geneva: WHO

Anda mungkin juga menyukai