Anda di halaman 1dari 149

TUGAS MATA KULIAH

PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA


(HASIL DISKUSI E-LEARNING KEHILANGAN DAN BERDUKA)

Dosen Pembimbing :
Rr. DianTristiana., S.Kep.Ns.M. Kep

Disusun Oleh:
Seluruh Mahasiswa
Kelas A1 2016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
Sarah : Untuk yang pertama kita melakukan pemilihan sekertaris. Ada
yang ingin mengajukan diri menjadi sekretaris?
Kesimpulan : Mahasiswa kelas A1-2016 setuju yang menjadi sekretaris
diskusi e-learning psikososial saat ini adalah Sarah Maulida
Rahmah dan Dita Fajrianti selaku PJMK mata kuliah yang
bersangkutan. Untuk moderator diskusi dipimpin oleh Sarah
Maulida Rahmah.

Nama: Eliesa Rachma Putri


NIM: 131611133001
Tanggapan:
Definisi Kehilangan
Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas
yang mengikuti kehilangan. Dapat disimpulkan kehilangan merupakan suatu
keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi
suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada
menjadi tidak ada) Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman
manusia yang bersifat universal dan unik bagi secara individu.
Niven Neil, 2003, Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional
kesehatan Lain, edisi 2, EGC, Jakarta
Tahapan Berduka Menurut Teori
Tahapan berduka menurut KUBLER ROSS ( 1969 ).
DENIAL ( PENOLAKAN )
Denial merupakan defense mekanisme pertahanan diri terhadap rasa cemas.
Klien mencoba untuk melupakan atau menutupi kenyataan
Pengalaman yang diterima berdampak shock dan tidakpercaya
Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan
dengan kematian, tetapi berbeda dengan tingkat emosi.
ANGER ( BERONTAK DAN MARAH ).
 Berontak, merasa Tuhan ‘ tidak adil ‘ atau tidak berperasaan terhadap
kenyataan harus dihadapi
 Marah kepada Sang Pencipta
BERGAINING ( TAWAR MENAWAR )
 Menuju tahap menerima. Pasien tawar menawar untuk berbuat baik jika
diperpanjang hidupnya
 Pasien menangis dan menyesal
DEPRESI
 Pasien sadar bahwa kematian tidak dapat ditolak.
 Bila depresi meningkat, pasien menjadi semakin lemah, kurus atau terjadi
gangguan tanda-tanda vital
 Pasien merasa sepi, merasa bahwa semua orang meninggalkannya
 Merasa tidak berguna
 Tidak menolak faktor yang harus dihadapi
 Fokus pikiran pada orang yang dicintai.”Apa yang akan terjadi dengan
istri dan anak saya., bila saya sudah tiada…?
Juall Lynda, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta

Nama : Yuliani Puji Lestari


NIM : 131611133003
Tanggapan :
Kehilangan merupakan situasi yang dapat dialami oleh seseorang
ketika mengalami perpisahan dengan sesuatu yang dulu pernah ada baik itu
sebagian ataupun seluruhnya. Kehilangan juga dapat terjadi pada
perubahan hidup seseorang sehingga timbul perasaan kehilangan.
Sumber :
Alimul, Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta. Salemba Medika)

Tanggapan :
Berduka merupakan respon dari perasaan kehilangan. Jadi berduka
merupakan reaksi emosionalnya yang ditunjukkan oleh seseorang atau efek
dari kehilangan. Berduka dapat didasarkan pada pengalaman pribadi,
ekspektasi budaya dan keyakinan spiritual yang dianutnya.
Sumber :
Alimul, Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta. Salemba Medika)

Tanggapan :
Berduka memiliki proses yang terdiri dari 5 proses. Yang pertama yaitu
pengingkaran, hal ini merupakan reaksi pertama individu ketika mengalami
kehilangan., ia tidak percaya dan mengingkari bahwa kehilangan benar-
benar terjadi. Yang kedua yaitu marah, pada saat ini individu menolak untuk
kehilangan. Kemarahan yang timbul sering sekali diproyeksikan pada
dirinya sendiri ataupun orang lain dengan berbagai macam. Lalu yang ketiga
yaitu tawar-menawar, individu menunda kesadaran atas kenyataan yang ia
hadapi dan mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-
terangan seolah-olah kehilangan tersebut dapat dicegah. Yang ke-empat
yaitu depresi, pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
kadang bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputus
asaan, rasa tidak berharga, bahkan bias muncul keinginan bunuh diri. Dan
yang terakhir yaitu penerimaan, individu mampu menerima semua
kenyataan bahwa ia sedang mengalami kehilangan.
Sumber :
Alimul, Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta. Salemba Medika)
Tanggapan :
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka, antara lain :
1. Faktor genetik merupakan faktor keturunan dari riwayat kesehatan
keluarga, apakah keluarga memiliki riwayat depresi ataupun tidak. Jika
ada riwayat keluarga yang depresi akan sulit untuk bersikap optimis
dalam menghadapi kenyataan.
2. Kesehatan fisik merupakan keadaan fisik individu, mental serta pola
hidup yang baik cenderung mempunyai kemampuan dalam mengatasi
stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami
gangguan jasmani.
3. Kesehatan mental seperti individu yang mengalami gangguan jiwa,
terutama yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan
perasaan tidak berdaya dan pesimis, selalu dibayangi masa depan peka
dalam menghadapi situasi kehilangan.
4. Pengalaman kehilangan di masa lalu dengan orang yang dicintai pada
masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam
mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa.
5. Struktur kepribadian individu dengan konsep diri yang negative dan
perasaan rendah diri akan mneyebabkan rasa percaya diri yang rendah
dan tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
6. Adanya stressor perasaan kehilangan dapat berubah stressor yang
nyata ataupun imajinasi individu itu sendiri, seperti kehilangan
biopsikososial yang meliputi kehilangan harga diri, pekerjaan,
seksualitas, posisi dalam masyarakat, milik pribadi.
Sumber :
Alimul, Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta. Salemba
Medika)

NAMA : CHUSNUL HOTIMAH


NIM : 131611133004
Tanggapan :

KONSEP KEHILANGAN DAN BERDUKA


DEFINISI KEHILANGAN DAN BERDUKA

Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang


sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami
kehilangan dan cenderung
akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2010).
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-
lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua jenis tipe berduka, yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional (Rachmad, 2011).

Berduka dikarakteristikkan sebagai berikut.


1) Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.
2) Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat
kembali kejadian
kehilangan.
3) Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai
dengan menangis, keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.
4) Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.
5) Mengalami perasaan berduka.
6) Mudah tersinggung dan marah.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kehilangan adalah


pengalaman seseorang yang harus berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
menjadi tidaka ada dan akan terus dialami selama seseorang itu menjalani
kehidupannya. Sedangkan berduka adalah respon emosi terhadap rasa kehilangan
yang dialami meliputi rasa sedih, cemas, susah tidur, dan lain-lain.

Sumber :
Maria, Mega Laluyan. Kanine, Esrom. Wowiling, Ferdinand.
2014.GAMBARAN TAHAPAN KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA
BANJIR PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN PERKAMIL KOTA
MANADO.Universitas Sam Ratulangi Manado.
Yusuf, Ah. Fitryasari, Rizky PK. Endang, Hanik Nihayati. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/buku%20ajar%20kepera
watan%20kesehatan%20jiwa.pdf

TAHAPAN PROSES KEHILANGAN DAN BERDUKA


Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.
1) Fase akut Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah
kematian, yang terdiri atas tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya,
perkembangan kesadaran, serta restitusi.
a) Syok dan tidak percaya.
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat
menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini
sesungguhnya memang dibutuhkan
untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan
secara perlahan
untuk menerima kenyataan kematian.
b) Perkembangan kesadaran.
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang
lain, perasaan
bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan
menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.
c) Restitusi.
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan
keluarga membantu
menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
2) Fase jangka panjang
a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi
penyakit yang tersembunyi
dan termanifestasi dalam berbagai gejala fsik. Pada beberapa
individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang
lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan menggunakan
alkohol.
PROSES BERDUKA
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada
perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik
dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya
perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan
yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan.
Pada fase ini
individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
BENTUK KEHILANGAN

1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal


atau
dipenjara.

2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit,


amputasi
bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri, kehilangan
pekerjaan, kehilangan kedudukan, dan kehilangan kemampuan seksual.

3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau


perhiasan.
Sumber :
Yusuf, Ah. Fitryasari, Rizky PK. Endang, Hanik Nihayati. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/buku%20ajar%20kepera
watan%20kesehatan%20jiwa.pdf
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES BERDUKA
Grief adalah reaksi normal akibat kehilangan dan merupakan pengalaman yang
sangat personal. Menurut Aiken (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi
proses grief antara lain adalah : hubungan dengan orang yang meninggal;
kepribadian; usia, dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan; peristiwa ketika
terjadinya kematian dan durasi penyakit; serta konteks budaya dimana kematian
terjadi.
Sumber :
Dini, Adeke Fahransa. 2008. Grief pada……Universitas
Indonesia.lib.ui.ac.id/file?file=digital/125357-155...%20Literatur.pdf

1. Tahapan berduka menurut teori


Menurut Kubler Ross (dalam teori Kehilangan/Berduka), sebelum mencapai pada
tahap penerimaan individu akan melalui beberapa tahapan yakni,
tahap denial, anger,bargainning, depression, dan acceptance atau sering disebut
dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat
atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem
dukungan social yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau
depresi.

1. Tahap Penyangkalan (Denial)

Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya,
syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri
terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura
senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut.

“Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”

“Diagnosis dokter itu salah.”

Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,


panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak
nyaman.

Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan


(defense
mechanism) terhadap rasa cemas. Pasien perlu waktu beradaptasi. Pasien secara
bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan pertahanan yang
tidak radikal. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan
dengan kematian,
tapi tidak demikian dengan emosional. Suatu contoh kasus, saat seseorang
mengalami kehilangan akibat kematian orang yang dicintai. Pada tahap ini individu
akan beranggapan bahwa orang yang dicintainya masih hidup, sehingga sering
berhalusinasi melihat atau mendengar suara seperti biasanya. Secara fisik akan
tampak letih, lemah, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis,
dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai
beberapa tahun setelah kehilangan.

2. Tahap Marah (Anger)

Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan.


Perasaan
marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau
benda di
sekitarnya. Reaksi fsik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah
tidur, dan tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
a. Emosional tak terkontrol.
“Mengapa aku?”
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
b. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan
terhadap orang atau
lingkungan.
c. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
“Peraturan RS terlalu keras/kaku.”
“Perawat tidak becus!”
d. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi
dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.
e. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan
perasaan yang akan
mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.

3. Tahap Penawaran (Bargaining)

Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak
melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......” atau “misalkan
dia tidak memilih pergi ke tempat itu... pasti semua akan baik-baik saja”, dan
sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut.
a. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa
bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
b. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total,
perpanjangan waktu hidup,
terhindar dari rasa kesakitan secara fsik, atau bertobat.
c. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir
semua tawar-menawar
dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan
secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan
tidak menanggapi
permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih
berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih
baik.”
“Bila saya sembuh, saya akan…….”
d. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa,
menyesali perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang
lain.

4. Tahap Depresi

Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan
penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak
mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fsik, individu
menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan
pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak-anak bila
saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa
kehadiran saya?” Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan
tahap yang penting
dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan damai.
Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.

5. Tahap Penerimaan (Acceptance)

Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran


terhadap
sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan
mulai
dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap
dan
dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya
sangat mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang
sekarang dan saya pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.........”
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses
berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang
sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal terjadinya
gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi
individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah
proses yang disfungsional.
Sumber :
Yusuf, Ah. Fitryasari, Rizky PK. Endang, Hanik Nihayati. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/buku%20ajar%20kepera
watan%20kesehatan%20jiwa.pdf
Format penulisana :
Nama : Adelia Dwi Lailyvira Ramadhania
NIM : 131611133005
Tanggapan :
- Kehilangan adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada atau dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan
(Riyadi dan Purwanto, 2009).
- Menurut Puri, Laking, dan Treasaden (2011) disebut sebagai proses
berduka, yang merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang
dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah kehilangan.
- gambaran proses berduka yang dialami oleh lansia akibat kematian orang
yang dicintai yaitu : depresi, marah, tawar-menawar, dan mengingkari.
Dari gambaran proses berduka tersebut, terbagi dalam kategori-kategori.
Untuk depresi terbagi dalam kategori putus asa, perasaan kesepian dan
kesedihan. Untuk marah terdiri dari kategori memproyeksikan kemarahan
pada diri sendiri atau lainnya. Untuk tawar menawar terdiri dari kategori
mempunyai keinginan untukmerubah apa yang sudah terjadi. Untuk
mengingkari terdiri dari kategori menolak mempercayai bahwa kehilangan
terjadi secara nyata.

SALIM, J. F. C. P., PASARIBU, J. & SUSILO, W. . H., 2013. PROSES


BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG YANG DICINTAI YANG
DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN NGADA

Nama: Sarah Maulida Rahmah


NIM: 131611133006
TANGGAPAN:
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu
tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara
bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau
tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat
kembali.Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan
pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang
kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung
akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.Kehilangan
merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau
tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan
merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada
menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.Kehilangan adalah suatu kondisi
yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak
kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak,
bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga,
sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.Kehilangan adalah
suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan
Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami
oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda.Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana
seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya
pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu
berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian
atau seluruhnya.
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman
Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang
Kehilangan Bayinya(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Dukacita adalah proses dimana seseorang mengalami respon psikologis, sosial
dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. (Rando, 1991) Respon ini
dapat berupa keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah
dan marah. Proses dukacita memiliki sifat yang mendalam, internal, menyedihkan
dan berkepanjangan. Dukacita dapat ditunjukkan melalui pikiran, perasaan
maupun perilaku yang bertujuan untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan
mengintegrasikan kehilangan ke dalam pengalaman hidup. Pada saat seseorang
yang berduka ingin mencapai fungsi yang lebih efektif, maka dibutuhkan waktu
yang cukup lama dan upaya untuk mewujudkannya.
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman
Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang
Kehilangan Bayinya(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:


1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC

tahapan berduka menurut kubler-Ross

Tahap: Denial (Mengikari kenyataan), Reaksi respon: menolak mempercayai


bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan mengisolasi diri.Reaksi fisik: letih,
lemah, diare, gelisah, sesak nafas dan nadi cepat.
Tahap: Anger (Marah), Reaksi respon: timbul kesadaran akan kenyataan
kehilangan. kemarahan meningkat kadang diproyeksi ke orang lain, tim kesehatan
atau lingkungan. Reaksi fisik: nadi cepat, tangan mengepal, susah tidur, muka
merah, bicara kasar, dan agresif.
Tahap: Bergaining (Tawar menawar, Penundaan realita kehilangan), Reaksi
respon: klien berunding dengan cara halus untuk mencegah kehilangan dan
perasaan bersalah. Memohon pada Tuhan. Klien juga mempunyai keinginan untuk
melakukan apa saja untuk mengubah apa yang sudah terjadi.
Tahap: Depresi, Reaksi respon: sikap menarik diri, perasaan kesepian, tidak mau
bicara dan putus asa. Individu bisa melakukan percobaan bunuh diri atau
penggunaan obat berlebihan. Reaksi fisik: susah tidur, letih, menolak makan,
dorongan libido menurun.
Tahap: Acceptance (Menerima), Reaksi respon: reorganisasi perasaan kehilangan,
mulai menerima kehilangan. Pikiran tentang kehilangan mulai menurun. Mulai
tidak tergantung dengan orang lain. Mulai membuat perencanaan.
Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and Practice.
Jakarta: EGC
Contoh Kasus pengkajian dukacita dan kehilangan
GAMBARAN BERBAGAI PENGALAMAN PARTISIPAN PERTAMA KALI
TERDIAGNOSIS HIV/ AIDS

1. Pengkajian
Setiap pasien pertama kali terdiagnosis HIV/ AIDS mengalami stress.
Seorang partisipan mengungkapkan stress saat pertama kali dirinya terdiagnosis
HIV/AIDS yang menyebabkan ketidakseimbangan, gangguan fungsi dan
ketidaknyaman fisik saat pertama kali terdiagnosis HIV/AIDS.

2. Diagnose
Berduka dialami pasien pertaa kali terdiagnosis HIV/AIDS
Semua partisipan dalam studi ini mengawali berduka dengan penolakan terhadap
diagnosis HIV.
Selain itu kebanyakan partisipan mengungkapkan kemarahan dan menyalahkan
orang lain.

3. Intervensi
Berbagai mekanisme koping dan adaptasi pasien pertama kali terdiagnosis
HIV/AIDS.
Beberapa partisipan berupaya terbuka dengan orang lain mengenai kondisinya dan
berusaha untuk mensemangati diri sendiri dari keterpurukan dan dari masalah
yang dihadapi. Ungkapan yang partisipan sampaikan adalah mencoba
menyesuaikan diri dengan lingkungan.

4. Implementasi
Setiap pasien pertama kali terdiagnosis HIV/ AIDS membutuhkan dukungan dari
lingkungan sekitarnya.
Semua partisipan mengungkapkan pentingnya dukungan keluarga dan merupakan
kelompok pertama yang dihubungi partisipan saat pertama kali terdiagnosis
HIV/AIDS. partisipan membutuhkan dukungan dari pasangannya sebagai orang
yang dapat dipercaya selama ini. Selanjutnya dukungan teman terdekat seperti
teman kantor, bersosialisasi dan teman sesama pengidap HIV/ AIDS merupakan
kelompok berikutnya yang dibutuhkan. Sama halnya dengan yang di atas,
kebutuhan dukungan dari petugas kesehatan merupakan salah satu kelompok yang
dicari oleh partisipan untuk mendapatkan pengobatan terbaik.

5. Evaluasi
Berbagai kebutuhan pelayanan keperawatan dan harapan pasien pertama kali
terdiagnosis HIV/AIDS.
Semua partisipan mengungkapkan penerimaan yang cukup baik pada pelayanan
keperawatan, namun partisipan menaruh harapan kepada perawat untuk lebih
menghargai pasien sebagaimana manusia seutuhnya. Selain itu setiap partisipan
mengungkapkan kebutuhannya terhadap perawat yang bersikap baik dan
komunikatif pada saat pertama kali terdiagnosis. Kemudian partisipan
mengharapkan perlunya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan ke depannya
lebih baik.

Vitriawan, W., Sitorus, R., & Afiyanti, Y. (2007). Pengalaman Pasien Pertama
Kali Terdiagnosis HIV/AIDS: Studi Fenomenologi Dalam Perspektif
Keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia, 11(1), 6-12.
Peran perawat:
Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi
ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan,
penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi
mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya
selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan.
Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan
menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima
kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat
berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita
setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi
masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and Practice.
Jakarta: EGC
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

NAMA : CUCU EKA PERTIWI


NIM ; 131611133007
KELAS : A1-2016
1. Definisi kehilangan
Kehilangan adalah suatu kondisi terputus atau memulai sesuatu tanpa hal
yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan bisa saja terjadi secara
bertahap atau mendadak, diantisipasi atau tidak diduga, serta bisa kembali
atau tidak dapat kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian
atau keseluruhan (Lambert dan Lambert, 1985, h.35).
Dapat disimpulkan pengertian Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana
seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang
dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu
keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi
tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.

Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-
BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT

2. Definisi berduka
Berduka adalah respons emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak napas,
susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respons normal pada semua kejadian kehilangan.
Nanda merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespons kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara
aktual maupun potensial, hubungan, objek, dan ketidakmampuan
fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-
BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT

3. Proses berduka
Terdapat banyak macam teori yang menjelaskan tentang proses
berduka, diantaranya :
a. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang
dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun
menjelang ajal.
1) Fase I (syok dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin
menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara
fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat,
tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
2) Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan
mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah,
frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
3) Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima
perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk
mengalihkan kehilangan seseorang.
4) Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang
kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
5) Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari.
Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
b. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai
berikut:
1) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak
akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
2) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak
lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga
mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping
individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi
dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
3) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien
sering kali mencari pendapat orang lain.
4) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan
untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan
masalah.
5) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah pada pengunduran
diri atau berputus asa.

c. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai
lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi
kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang memengaruhi
respons kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan
biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin
berlanjut sampai 3-5 tahun.
d. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respons berduka menjadi 3 kategori :
1) Penghindaran
Pada tahap ini terjadi syok, menyangkal dan tidak percaya.
2) Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3) Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-
hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan
mereka.
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia.
e-BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT

4. Faktor kehilangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-
BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT

5. Tahapan berduka
Menurut Teori Kubler-Ross ada Kerangka kerja yang ditawarkan oleh
Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5
tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang
benar terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya itu terjadi”
atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang
didiagnosis dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi
tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah letih, lemah, pucat, diare,
gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak
tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit
atau beberapa tahun.
b. Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang
meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada
dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara
kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak becus.
Respons fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
c. Fase Tawar-Menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan
pada Tuhan. Respons ini sering dinyatakan dengan kata-kata “kalau saja
kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila
proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah
“kalau saja yang sakit, bukan anak saya”.
d. Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang
sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dan
sebagainya. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain: menolak makan,
susah tidur, letih, dorongan libido manurun.
e. Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
yang selalu berpusat kepada objek atau orang yang hilang akan mulai
berkurang atau hilang. Individu telah menerima kehilangan yang
dialaminya. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang mulai
dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada objek
yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betul
kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang
dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-
BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT
Nama : Locita Artika Isti
NIM : 131611133008
Tanggapan :

1. Pengertian Kehilangan:
Kehilangan adalah hilangnya sesuatu yang pernah dimiliki. Kehilangan
dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual, diersepsikan, atau sesuatu
yang diantisipasi. Kehilangan dapat berupa kehilangan harta benda, tahta,
kesehatan, orang yang dicintai dan disayangi, kehilangan atau apapun yang
sebelumnya telah dimiliki.

Yusuf, A., Fitryasari R., Nihayati N. 2015. Buku Ajar Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Salemba Medika, Jakarta.

2. Pengertian Berduka:
Berduka adalah respon terhadap kehilangan yang merupakan respon
emosional yang normal. Karena orang menyimpan emosi dalam tubuh dan
kesejahteraan mereka, sehingga terjadi perubahan internal ataupun eksternal
dalam melaksanakan aktivitas normalnya. Koping efekif dapat digunakan
untuk melalui proses berduka agar dapat menerima kenyataan

Yusuf, A., Fitryasari R., Nihayati N. 2015. Buku Ajar Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Salemba Medika, Jakarta.

3. Proses Berduka.
Proses berduka menurut Schulz (1978) ada 3 tahapan. Pertama adalah fase
awal, pada fase awal individu mengalami syok, ttidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan bingung, pada fase awal ini berlangsung selama
beberapa hari. Kedua adalah fase pertengahan, pada fase pertengahan
ditandai dengan perilaku yang obsesif, fase ini dimulai pada minggu ketiga.
Yang ketiga adalah fase pemulihan, pada fase pemulihan individu sudah
mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial, dan memilih untuk tidak
mengenang masa lalu dan melanjutkan kehidupan selanjutnya.

Yusuf, A., Fitryasari R., Nihayati N. 2015. Buku Ajar Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Salemba Medika, Jakarta.
4. Tahapan berduka
Terdapat lima tahapan berduka menurut Kubler Ross. Yang pertama adalah
penolakan (denial), reaksi awal pada tahap ini individu akan menyangkal
dan tidak percaya terhadap kenyataan yang dialami, manifetasi yang
mungkin muncul salah satunya adalah “tidak, tidak mungkin ini terjadi
padaku” dan lain sebagainya yang menyatakan jika individu tersebut tidak
bisa menerima kenyataan atau menyangkalnya. Yang kedua adalah marah
(enger), pada taha ini individu akan timbu rasa marah yang terus meningkat
dan akan menimbulkan reaksi fisik seperti wajah memerah, denyut nadi
cepat dan lain sebagainya. Tahap yang ketiga adalah tawar menawar
(bargaining), pada tahap ini individu akan memasuki tahap tawar menawar,
individu tersebut akan mempresepsikan dan berfikir jika ia tidak melakukan
hal tersebut hal itu tidak akan terjadi. Tahap ke empat adalah tahap depresi
(putus asa), pada tahap ini individu hanya diam karena dalam fase
kehilangan. Dan yang kelima adalah tahap penerimaan (acceptance), tahap
ini adalah tahap terakhir, fokus pemikiran terhadap sesuatu yang hilang
mulai berkurang, dan sudah mulai bisa untuk menerima kenyataan.

Wiryasaputra, T. S. (2003). Mengapa Berduka. Yogyakarta: Kanisius.

Yusuf, A., Fitryasari R., Nihayati N. 2015. Buku Ajar Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Salemba Medika, Jakarta.

5. Faktor Kehilangan
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan yaitu yang
pertama adalah perkembangan anak , anak-anak masih belum bisa
merasakan seperti orang dewasa, atau dengan kata lain kurang peka. Selain
itu, anak-anak bisa mengalami regresi. Kedua adalah keluarga, keluarga
yang mempengaruhi respon anak terhadap kesedihan. Ketiga adalah faktor
sosial ekonomi, jika yang meninggal adalah tulang punggung keluarga,
maka secara tidak langsung kelangsungan hidup yang ditinggal juga akan
terganggu. Ke empat adalah pengaruh kultural, mengekspresikan kesidahan
tidak harus denga menangis dan berteriak-teriak. Kelima adalah agama,
melalui agama yang dianut dan diyakini dapat menyadarkan bahwa
kematian adalah Kuasa Tuhan. Ke enam adalah penyebab kematian,
keluarga yang ditinggal secara tiba-tiba akan sulit untuk menerima
kenyataan bahwa ia telah ditinggalkan.

Muzyanti, Eka. 2011. Kebutuhan Dasar Manusia II. Brebes: Akademi


Keperawatan Al- Hikamah 2

Nama: Ni’matush Sholeha


NIM: 131611133009
Tanggapan:
Kehilangan adalah pengalaman perpisahan yan berhubungan dengan semua
objek, orang, kepercayaan, hubungan antar manusia yang bernilai (Dyer,
2001 dalam Rianti, 2010). Kozier, et al, dalam Rianti (2010) menerangkan
bahwa kehilangan sebagai situasi saat ini atau yang akan terjadi, dimana
seseuatu yan berbeda nilainya karena hilang keberadaannya.
Sumber:
Kusuma, E. P. (2013). “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja
Denagn Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat”. Skripsi, PSIK, Universitas Indonesia. hal. 20

Nama: Ni’matush Sholeha


NIM: 131611133009
Tanggapan:
Berduka adalah proses komleks yang normal mencangkup respons dan
perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu,
keluarga, dan komuntitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang
diantisispasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-
hari (NANDA, 2011).
Sumber:
Kusuma, E. P. (2013). “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja
Denagn Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat”. Skripsi, PSIK, Universitas Indonesia. hal. 21
Tanggapan:
Faktor-faktor yang menyertai kehilangan menurut Martochio Cit
Ambarwati dan Sunarsih (2011), meliputi:
a. Status sosial ekonomi yang buruk
b. Kesehatan yang buruk
c. Kematian yang tiba-tiba atau sakit mendadak
d. Merasa tidak adanya dukungan sosial yang memadaidai
e. Kurangnya dukungan dan kepercayaan keagamaan
f. Kurangnya dukungan dari keluarga atau seseorang yang tidak dapat
menghadapi ekspresi berduka
g. Kecenderungan yang kuat tentang keteguhan pada seeorang sebelum
kematian atau kehidupan setelah mati ari seseorang yang sudah mati
h. Reaksi yang kuat tentang distress, kemarahan dan mencela diri
Sumber:
Putri, S. A. (2014). “Kajian Asuhan Keperawatan Pada NY. M Dengan
Gangguan Psikososial: Kehilangan Di Desa Kepanjen RT 01 Rw
03 Kecamatan Delanggu”. Skripsi. PKU Muhammadiyah
Surakarta. hal. 9
Faktor penyebab berduka dan kehilanagn:
Faktor yang dapat menyebabkan proes berduka dapat digolongkan menjadi
patofisiologis (kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder akibat
kardiovaskuler, trauma, muskuloskeletal, dan lain-lain); tindakan dialisis
jangka panjang, operasi (mastektomi, kolostomi, hiterekstomi);
disfungsional; penyakit terminal, kematian, perpisahan, perceraian,
pensiun, anak akan meninggalkan rumah, dan lain-lai; dan
maturasional:penuaan. Sedangkan dalam menghadapi kehilangan, individu
dipengaruhi oleh bagaiamna persepsi individu terhadap kehilangan, tahap
perkembangan, kekuatan/koping, mekanisme, dan support system.
Sumber:
Kusuma, E. P. (2013). “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja
Denagn Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat”. Skripsi, PSIK, Universitas Indonesia. hal. 21

Tanggapan:
Proses Berduka terdiri dari:
a. Depresi yaitu suatu tahapan dimana seseorang yang menghadapi suatu
peristiwa kematian menghabiskan banyak waktu untuk menangis dan
berduka, dan orang yang berada pada tahap ini dapat berkata “saya
sangat sedih, mengapa peduli dengan yang lainnya?”, “ saya akan
mati...”, “apa keuntungannya?”, “ saya merindukan orang yang saya
cintai”, dan “mengapa saya harus hidup?”
b. Marah (Anger) yaitu suatu tahapan dimana seseorang mengahdapi
suatu peristiwa kematian meresa bahwa penyangkalan tidak mungkin
lagi diteruskan, dan orang tersebut menjadi sulit untuk dirawat, kaena
kemarahan akan diarahan dan diproyeksikan kepada para tenaga
medis, perawat, anggota keluarga, bahkan tuhan.
c. Tawar-menawar merupakan suatu tahap dalam proses berduka dimana
seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian dapat saja di
undur atau ditunda.
d. Mengingkari (denial) mengatakan bahwa penyangkalan merupakan
tahap pertama dari Kubler-Ross’s of dying dimana pada tahap ini
seseorang menyangkal bahwa kemtian ini akan benar-benar datang.
Sumber:
Salim, J., F., C., P., Pasaribu, J., Susilo, W., H. (2014). “Proses Berduka
Akibat Kematian Orang yang Dicintai yang Dialami Oleh Lansia
di Kabupaten Ngada”. Artikel Ilmiah. STIK SINT Carolus, Jakarta.
hal. 6-11
Tanggapan:
Proses atau tahapan berduka menurut teori
Menurut teori Engel (1964) dam Potter & Perry (2005) suatu proses berduka
atau kehilangan melalui 3 fase yaitu: menyangkal kejadian yang ada, mulai
merasa kehilangan lalu mungkin merasa putus asa, mulai menerima
kehilangan yang ada lalu pelan-pelan bangkit unuk menghadapi fakta yang
terjadi. Teori Rando (1991) dalam Potter&Perry (2005) ketika seseorang
kehilangan proses yang dilalui yaitu penghindaran realitas yang ada,
konfrontasi dimana emosi tingkat tinggi lalu akomodasi penurunan emosi
dan kembali menjalani dunia sosial sehari-hari.
Sumber:
Widarini, S., R., A. (2015). “Mekanisme Koping Pada Pasien Terdiagnosa
Kanker Paru di Rumah Sakit Islam Surakarta”. Naskah Publikasi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tanggapan:
Asuhan Keperawatan Klien dengan Kehilangan
1. Pengkajian
Menurut Yosep (2011), pengkajian pada klien dengan kehilangan meliputi :

a. Faktor predisposisi

1) Faktor genetik

Individu yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dengan riwayat depresi
akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan,
termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.

2) Kesehatan fisik

Individu dengan fisik, mental, serta pola hidup yang teratur cenderung mempunyai
kemampuan dalam mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan jasmani.

3) Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa, terutama yang mempunyai riwayat
depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan pesimis, selalu dibayangi
masa depan peka dalam menghadapi situasi kehilangan.

4) Pengalaman kehilangan di masa lalu

Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang dicintai pada masa kanak-kanak
akan memengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi perasaan kehilangan
pada masa dewasa.

5) Struktur kepribadian

Individu dengan konsep diri yang negatif dan perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri dan tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.

b. Faktor presipitasi

1) Stress yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress


nyata, ataupun imajinasi individu seperti kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial
antara lain kehilangan kesehatan, kehilangan

fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan posisi di


masyarakat, kehilangan milik pribadi seperti kehilangan harta benda atau orang
yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan.

2) Perilaku

Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti menangis atau
tidak mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada tanda-tanda
usaha bunuh diri atau ingin membunuh orang lain, sering berganti tempat mencari
informasi yang tidak menyokong diagnosanya.

3) Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai oleh individu dengan respon kehilangan antara lain
denial, represi, intelektualitas, regresi, disosiasi, supresi, dan proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan.
Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam.Keadaan
patologis dalam mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan
tidak tepat.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa yang dapat ditegakkan adalah sebagai berikut :

a. Duka cita (Videbeck, 2008).

b. Duka cita maladaptif (Videbeck, 2008).

c. Berduka yang berhubungan dengan kehilangan aktual (Suliswati, et all.,


2005).

3. Rencana Tindakan Keperawatan

Menurut Yosep (2011), rencana tindakan keperawatan pada


klien

kehilangan meliputi :

a. Duka Cita.

1) Tujuan Umum
Klien dapat berperan aktif melalui proses berduka secara tuntas.

2) Tujuan khusus

a) Klien mampu mengungkapkan perasaan duka.

b) Klien mampu menjelaskan makna kehilangan orang atau obyek.

c) Klien mampu membagi rasa dengan orang yang berarti.

d) Klien mampu menerima kenyataan kehilangan dengan perasaan damai

e) Klien mampu membina hubungan baru yang bermakna dengan obyek atau
orang yang baru.

3) Intervensi

a) Bina hubungan saling percaya dengan klien.

Rasional : rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutik yang


mendukung dalam mengatasi perasaannya.

b) Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu kejadian yang


menyakitkan dengan pemberian makna positif dan mengambil hikmah,

Rasional : dapat membantu klien mengidentifikasi hal positif dan hikmah dalam
suatu kejadian walaupun hal tersebut menyakitkan.

c) Identifikasi kemungkinan faktor yang menghambat proses berduka.


Rasional : mengetahui faktor penghambat dapat membantu untuk mencari solusi
agar proses berduka dapat terselesaikan.

d) Kurangi/hilangkan faktor penghambat poses berduka.

Rasional : dapat diatasinya faktor penghambat mempermudah terselesaikannya


proses berduka.

e) Beri dukungan terhadap respon kehilangan. Rasional : menenangkan


perasaan klien.

f) Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga.

Rasional : mengurangi kesedihan dan menciptakan kebersamaan antar anggota


keluarga.

g) Anjurkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT Rasional :


mendekatkan diri kepadaNya dapat menenangkan hati.

Menurut Videbeck (2008), rencana tindakan keperawatan pada klien kehilangan


meliputi :

b. Duka cita maladaptif.

1) Tujuan :

a) Klien mengungkapkan pengetahuannya tentang proses berduka.

b) Klien menggunakan koping yang adaptif.

c) Klien mengungkapkan perasaan secara verbal maupun non verbal.


2) Intervensi

a) Bina hubungan saling percaya dengan klien.

Rasional : rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutik yang


mendukung dalam mengatasi perasaannya.

b) Diskusikan dengan klien tentang hal yang realistis terkait dengan


kehilangannya.

Rasional : mendiskusikan kehilangan dapat membantu membuatnya lebih nyata


bagi klien.

c) Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan dengan cara mebuat klien


nyaman seperti berbicara, menulis, menggambar, menangis dan sebagainya.

Rasional : ekspresi perasaan dapat membantu klien mengidentifikasi, menerima,


dan mengatasi perasaannya walaupun hal tersebut menyakitkan atau membuat klien
tidak nyaman.

d) Dorong klien untuk mengingat pengalaman, bicarakan tentang apa yang


terlibat dalam hubungannya dengan orang atau benda yang hilang.

Rasional : mendiskusikan benda atau orang yang hilang dapat membantu klien
mengidentifikasi dan mengungkapkan kehilangan, makna kehilangan tersebut
baginya dan respon emosionalnya.

e) Dorong klien untuk berbicara dengan anggota keluarga ataupun orang lain.
Rasional : mengembangkan ketrampilan mandiri untuk mengungkapkan perasaan
dan mengungkapkan rasa duka kepada orang lain.

f) Jelaskan kepada klien bahwa waktu berduka dapat menjadi waktu untuk
berkembang, waktu untuk belajar dan bertumbuh guna mengumpulkan kekuatan
untuk maju.

Rasional : proses berduka memungkinkan klien menyesuaikan diri dengan


perubahan dalam hidupnya dan mulai meraih kesempatan di masa depan.

g) Ajarkan klien dan keluarga atau orang terdekat tentang proses

berduka.

Rasional : klien dan keluarga atau orang terdekat dapat memiliki sedikit atau tidak
memiliki pengetahuan tentang berduka atau proses pemulihannya.

Menurut Suliswati, et all., (2005), rencana tindakan keperawatan pada klien


kehilangan meliputi :

c. Berduka yang berhubungan dengan kehilangan aktual.

1) Tujuan umum

a) Klien dapat mengalami proses berduka secara normal.

b) Klien dapat melakukan koping terhadap kehilangan secara bertahap.

c) Klien dapat menerima kehilangan sebagai bagian dari kehidupan yang nyata
dan harus dilalui.
2) Intervensi

a) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap penyangkalan adalah memberikan


kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya.

(1) Doronglah pasien untuk mengungkapkan perasaan dukanya. Rasional :


mengetahui perasaan duka klien yang dirasakan.

(2) Tingkatkan kesadaran klien secara bertahap tentang kenyataan, kehilangan,


apabila ia sudah siap secara emosional.

Rasional : klien dapat menerima keadaan kehilangannya..

(3) Dengarkan klien dengan penuh pengertian dan jangan menghakimi.

Rasional : memberi kenyamanan klien saat bercerita.

(4) Jelaskan kepada klien bahwa sikapnya itu wajar terjadi pada orang yang
mengalami kehilangan.

Rasional : memberi pengertian kepada klien tentang keadaannya yang wajar terjadi.

(5) Beri dukungan kepada klien secara non verbal, seperti memegang tangan,
menepuk bahu dan merangkul.

Rasional : memberi sikap empati dan kenyamanan kepada klien.

(6) Jawab pertanyaan klien dengan bahasa sederhana, jelas dan singkat.

Rasional : klien memahami masukan dari perawat.


(7) Amati dengan cermat respon klien selama berbicara. Rasional : mengetahui
reaksi verbal maupun verbal dari klien.

(8) Tingkatkan secara bertahap kesadaran klien terhadap kenyataan.

Rasional : dapat menyadarkan klien dari tahap kehilangannya dan mampu


menerima keadaan.

b) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap marah adalah memberi dorongan,


memberi kesempatan kepeda klien untuk mengungkapkan rasa marahnya secara
verbal, tanpa melawan dengan kemarahan. Perawat harus menyadari bahwa
perasaan marah adalah ekspresi dari perasaan frustasi dan ketidakberdayaan.

(1) Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihannya misalnya marah,


menangis.

Rasional : menerima respon dari semua respon kesedihannya.

(2) Dengarkan dengan empati, jangan memberi respon yang mencela.

Rasional : memberikan perhatianm saat klien bercerita.

c) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap tawar menawar adalah membantu


klien mengidentifikasikan rasa bersalah dan perasaan takutnya.

(1) Amati perilaku klien.

Rasional : mengetahui respon verbal dan non verbal.


(2) Diskusikan bersama klien mengenai perasaannya. Rasional : mengetahui
perasaan yang dialami klien.
(3) Tingkatkan harga diri klien.

Rasional : memberikan kpercayaan diri kepada klien.

(4) Cegah tindakan menciderai diri.

Rasional : mencegah melakukan tindakan menciderai diri sendiri dan orang lain.

d) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi


tingkat depresi, resiko menciderai diri, dan membantu klien mengurangi rasa
bersalah.

(1) Amati perilaku klien

Rasional : mengetahui respon verbal dan non verbal.

(2) Bantu klien mengidentifikasi dukungan positif yang terkait dengan


kenyataan.

Rasional : dukungan positif memberi empati terhadap klien.

(3) Beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannya, bila perlu biarkan ia


menangis dan tetap didampingi.

Rasional : agar klien merasa puas saat bercerita.

(4) Cegah tindakan menciderai diri.

Rasional : mencegah melakukan tindakan menciderai diri sendiri dan orang lain.
e) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap penerimaan adalah membantu
klien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dielakan.

(1) Sediakan waktu untuk mengunjungi klien secara teratur. Rasional :


memantau dan mengetahui perkembangan klien.

(2) Bantu klien/keluarga untuk berbagi rasa, karena biasanya setiap anggota
keluarga tidak berada pada tahap yang sama pada saat yang bersamaan.

Rasional : mendengarkan dan memberi pengertian terhadap tahap yang dihadapi.

4. Evaluasi

Evaluasi keperawatan menurut Yosep (2011) adalah sebagai berikut :

a. Apakah klien sudah dapat mengungkapkan perasaannya secara spontan ?

b. Apakah klien dapat menjelaskan makna kehilangan tersebut terhadap


kehidupannya ?

c. Apakah klien mempunyai sistem pendukung untuk mengungkapkan


perasaannya (teman, keluarga, lembaga atau perkumpulan lain) ?

d. Apakah klien menunjukkan tanda-tanda penerimaan ?

e. Apakah klien sudah dapat menilai hubungan baru dengan orang lain dan
objek lain ?
Sumber:
Putri, S. A. (2014). “Kajian Asuhan Keperawatan Pada NY. M Dengan Gangguan
Psikososial: Kehilangan Di Desa Kepanjen RT 01 Rw 03 Kecamatan Delanggu”.
Skripsi. PKU Muhammadiyah Surakarta. hal. 9
1. Pengertian Kehilangan
Nama: Reffy Shania Novianti
NIM: 13611133010
Tanggapan:
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu
tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara
bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau
tidak diharapkan/diduga.
Sumber:
Umah, K., & Handayani, D. R. (2014). Faktor Kesepian, Kemiskinan, dan
Kehilangan Pasangan Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia. Journals of Ners
Community, 5(1).

2. Pengertian berduka
Nama: Reffy Shania Novianti
NIM: 131611133010
Tanggapan:
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respons emosional
yang normal.Hasilpenelitiandiperolehbahwasebag ian besar responden 64,3%
respon penerimaan terhadap penyakit dengan sikap tidak menerima. Hal ini
dikarenakan bahwa individu yang berduka kadang – kadang tidak mampu untuk
menjalani perasaan berduka secara normal. Sebagai contoh individu yang berduka
akan mengalami depresi yang berat dari yang biasa apalagi bila berhubungan rat
dengan ambisi, pengharapan, harga diri, kemampuan atau rasa aman yang dialami
oleh individu dengan konsep diri yang miskin atau harga diri rendah mudah terjatuh
pada kondisi depresi (Suliswati, dkk, 2005)
Sumber:
Supriadi, D. (2017). Hubungan Antara Respon Penerimaan Individu Dengan
Kecemasan Pada Pasien Gangguan Kardiovaskuler Diruang Jantung Rs. Dustira
Cimahi. Hubungan Antara Respon Penerimaan Individu Dengan Kecemasan Pada
Pasien Gangguan Kardiovaskuler Diruang Jantung Rs. Dust, 1(1).

1. Faktor Yang Mempengaruhi


Nama: Reffy Shania Novianti
NIM: 131611133010
Tanggapan:
Faktor Yang Mempengaruhi Berduka atau Kehilangan antara lain:
1. objek yang hilang : seperti contohnya orang tua. Orang tua merupakan figur
yang dekat dengan anak, sehingga kematian kedua orang tua menyebabkan
kedukaan yang mendalam bagi anak.
2. cara kehilangan: Pada kematian kedua orang tua yang berurutan dan
mendadak, akan lebih sulit bagi anak untuk menghadapi kenyataan tersebut,
karena secara psikologis anak tidak memiliki kesempatan untuk
mempersiapkan diri
3. jangka waktu kehilangan9 : kedalaman kedukaan dapat juga dipengaruhi
oleh jangka waktu kehilangannya. Kematian kedua orang tua merupakan
salah satu kehilangan yang bersifat permanen, sebab pada peristiwa
kehilangan ini kedua orang tua tidak akan kembali lagi kepada anak
4. lapisan kehilangan: kedukaan yang dialami oleh anak karena kematian
kedua orang tua secara berurutan merupakan kedukaan yang bertumpuk,
karena belum terselesaikannya kedukaan yang lama, telah muncul kedukaan
yang baru.
5. nilai objek yang hilang: Orang tua merupakan objek yang bernilai dan
bermakna bagi seorang anak, sebab di dalam keluarga anak mendapatkan
kehangatan dan kasih sayang dari kedua orang tua
6. tingkat hubungan: orang tua menjadi figur terdekat bagi anak dan hubungan
baik yang dibangun oleh orang tua dan anak memungkinan semakin
mendalamnya kedukaan anak
7. tingkat dukungan sosial: Dalam kondisi seperti ini anak membutuhkan
dukungan dari keluarga yang tersisa, sebab kedalaman kedukaan seorang
anak dapat dipengaruhi pula oleh seberapa besar dukungan dari orang-orang
sekitar bagi anak untuk menjalani kedukaannya;
8. visi kehidupan
9. kebudayaan dan adat istiadat
Sumber:
Joseph, V. (2016). Studi Kasus Kedukaan “X” Mahasiswi Fakultas Teologi UKSW
Pasca Kematian Kedua Orang Tua (Doctoral dissertation, Magister
Sosiologi Agama Program Pascasarjana FTEO-UKSW).

2. PROSES BERDUKA
Tanggapan:
1. Dalam reaksi awal kehilangan/berduka akan muncul penolakan kematian
hingga respon fisik
2. Dampak berikut yang dirasakan adalah munculnya perilaku menarik diri
dari lingkungan sosial
3. Proses menghadapi kehilangan memunculkan dorongan untuk memahami
dan mengatasi kehilangan. Proses dalam memahami kehilangan ini datang
secara internal maupun eksternal.
4. Fase berikutnya yang dirasakan subjek adalah menerima dan keadaan psikis
yang pulih kembali
5. Selanjutnya subjek yang ditinggalkan akan memiliki pengharapan dalam
kehidupannya serta perubahan diri setelah mampu memaknai kematian
Saputra, A., & Abidin, Z. (2016). PENGALAMAN KEHILANGAN ANAK PADA
IBU KORBAN TRAGEDI TRISAKTI 1998. Jurnal Empati, 5(2), 236-240.

5. TAHAPAN BERDUKA
TANGGAPAN:
Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka
Menurut Kubler Ross ( 1969 ) terdapat 5 tahapan proses kehilangan:
1. Denial ( Mengingkari )
1) Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan
“Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”.
2) Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus
menerus mencari informasi tambahan.
3) Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat,
mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu
harus berbuat apa.
2. Anger ( Marah )
1) Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan.
2) Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan
kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada
dirinya sendiri.
3) Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak
pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus.
4) Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
1) Fase ini merupakan fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
2) Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa
ditunda maka saya akan sering berdoa”.
3) Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya
sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”.
4) Cenderung menyelesaikan urusan yang bersifat pribadi, membuat surat
warisan, mengunjungi keluarga dsb.
4. Depression ( Bersedih yang mendalam)
1) Klien dihadapkan pada kenyataan bahwa ia akan mati dan hal itu tidak bias
di tolak.
2) Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri,
tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan
menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak
berharga.
3) Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur,
letih, dorongan libido menurun.
5. Acceptance (menerima)
1) Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.
2) Menerima kenyataan kehilangan, berpartisipasi aktif, klien merasa damai dan
tenang, serta menyiapkan dirinya menerima kematian.
3) Klien tampak sering berdoa, duduk diam dengan satu focus pandang, kadang
klien ingin ditemani keluarga / perawat.
4) Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-
betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau
“Sekarang saya telah siap untuk pergi dengan tenang setelah saya tahu semuanya
baik”.
Sumber:
Ardila, F., & Herdiana, I. (2013). Penerimaan diri pada narapidana wanita. Jurnal
Psikologi Kepribadian dan Sosial, 1(2).

Nama: Nabila Hanin Lubnatsary


NIM: 131611133011
Tanggapan:
Berduka adalah respon yang kerap terjadi saat seseorang mengalami kehilangan.
Menurut NANDA, berduka dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Berduka diantisipasi adalah berduka yang berasal dari pengalaman pribadi
saat merespon sebuah kehilangan yang nyata atau yang dirasakan oleh
orang lain.
2. Berduka disfungsional adalah berduka yang berasal dari pengalaman
pribadi yang responnya dapat dilebih-lebihkan saat seseorang tersebut
merasa kehilangan secara nyata atau berasal dari hal lain.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford:
Wiley Blackwell.

Nama: Nabila Hanin Lubnatsary


NIM: 131611133011
Tanggapan:
Faktor yang mempengaruhi kehilangan:
1. Perkembangan
a. Anak-anak
Masa anak-anak masih belum bisa mengerti perasaan seseorang dengan
jelas. Saat mengalami kehilanganpun tidak menghambat perkembangan
mereka.
b. Dewasa
Dalam usia dewasa, kehilangan akan menjadikan seseorang dikenang
dalam hidupnya serta mulai menyadari jika kematian tidak bisa
dihindari.
2. Keluarga
Respon kehilangan juga dipengaruhi oleh keluarga yaitu berupa kesedihan.
Dalam susunan keluarga, biasanya anak tertualah yang terlihat kuat dan
berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihan di depan anggota keluarga
yang lain.
3. Social ekonomi
Saat yang meninggal adalah kepala keluarga atau seseorang yang menjadi
tulang punggung keluarga, maka secara otomatis perekonomian keluarga
akan terganggu.
4. Kultural
Anggapan atau respon terhadap kehilangan berbeda-beda di setiap budaya.
Budaya barat menganggap jika kesedihan akibat kehilangan adalah hal
pribadi dalam keluarga. Sedangkan budaya lainnya menganggap jika
kesedihan akibat kehilangan dapat diekspresikan dengan menangis ataupun
berdiam diri (merenung).
5. Agama
Orang yang paham agama akan menganggap bahwa kehilangan adalah
sesuatu yang pasti terjadi, sehingga tidak akan terjadi kesedihan yang
berlarut. Namun, beberapa orang juga menganggap jika kehilangan adalah
sesuatu hal yang salah, sehingga mereka menyalahkan Tuhan.
6. Penyebab kematian
Meninggal akibat penyakit tidak akan begitu mengagetkan keluarga yang
ditinggal. Namun, saat seseorang meninggal secara tiba-tiba maka keluarga
yang ditinggalkan akan begitu terkejut hingga stress menerima kenyataan
yang ada. Terlebih lagi jika meninggal akibat kecelakaan.
Suseno, T . (2006). Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Nama : Ragil Titi Hatmanti


NIM : 131611133012
Tanggapan :
Kehilangan merupakan suatu keadaan dimana individu berpisah dengan seseorang,
barang yang dimilikinya yang sebelumnya ada menjadi tidak ada secara
keseluruhan maupun sebagian. Seseorang mengalami kehilangan selama rentang
hidupnya, sejak lahir hingga saat ajal menjemput.
Sumber :
Harison, H. (2009). Anticipatory Grief. Metamorfosis.

Duka merupakan suatu respon yang dialami oleh individu saat mengalami
kehilangan. Reaksinya dapat berupa reaksi dari kehilangan maupun reaksi dari
ketakutan akan kehilangan. Rasa duka sendiri sudah dapat muncul saat seseorang
akan mengalami kehilangan.
Sumber :
Harison, H. (2009). Anticipatory Grief. Metamorfosis.

Proses kehilangan yang ditemukan oleh Bolwby dan Parkes (1970, dalam Collins,
2008) yang menyatakan proses kehilangan dalam empat tahapan, yaitu syok dan
mati rasa serta ada penyangkalan terhadap kehilngan, hasrat mencari penyelesaian
dan memprotes kehilangan yang teteap ada, disorientasi dan disorganisasi
(Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari), serta reorganisasi dan resolusi
(reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya). (Koesoemo,
2010)
Sumber :
Koesoemo, R. F. (2010). PROSES BERDUKA DAN BEBAN YANG DIALAMI
KELUARGA DALAM MERAWAT ANAK DENGAN AUTISME. Jurnal
Ners Vol. 5 No. 2, 181-190.

Nama : Regyana Mutiara Guti


NIM : 131611133013
Tanggapan :
1. Definisi berduka
Berduka digambarkan sebagai respons "normal, sehat, penyembuhan dan
akhirnya mengubah kerugian signifikan yang biasanya tidak memerlukan
pertolongan profesional, walaupun memerlukan banyak cara untuk
menyembuhkan untaian kehidupan yang rusak dan untuk menegaskan yang
sudah ada" (Schneider, 2000 , hal 7). Berduka merupakan respons
emosional terhadap rasa kehilangan, yang dimanifestasikan oleh individu
dalam cara yang khusus, berdasarkan pengalaman personal, harapan budaya
dan kepercayaan spiritual.

Sumber:
Corless, I. B., Limbo, R., Bousso, R. S., Wrenn, R. L., Head, D., Lickiss, N., et al.
(2014). Languages of Grief: a model for understanding the expressions of
the bereaved. Health Psychol Behav Med, 132-143.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4345827/?report=classic
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka
a. Faktor internal:
Mencakup cerita di masa lalu, pendidikan, sifat dari rasa kehilangan,
kecerdasan emosional, spiritual, masalah keuangan, kemampuan
linguistik dan harapan hidup.
b. Faktor interpersonal
Tentang dukungan sosial termasuk jumlah dan ketertarikan dalam
menjalin pertemanan dan hubungan dalam keluarga dan masyarakat.
c. Faktor eksternal
mencakup budaya atau etnik dan negara. (Corless, et al., 2014)

Sumber:
Corless, I. B., Limbo, R., Bousso, R. S., Wrenn, R. L., Head, D., Lickiss, N., et al.
(2014). Languages of Grief: a model for understanding the expressions of
the bereaved. Health Psychol Behav Med, 132-143.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4345827/?report=classic

NAMA : DITA FAJRIANTI


NIM : 131611133014
TANGGAPAN :
Pengertian Berduka
Berduka bisa didefinisikan sebagai kompleks emosional, kognitif, tingkah laku, dan
reaksi fisiologis setelah kehilangan orang yang dicintai (Worden, 2008).
Marah, yang memiliki dimensi emosional, kognitif, dan fisiologis,
tampaknya ada komponen penting dari kesedihan karena kehilangan.
Berduka merupakan respon alami dari dalam tubuh yang diekspresikan
terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah,
cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka dapat ditunjukkan melalui pikiran, perasaan maupun perilaku yang
bertujuan untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan
mengintegrasikan kehilangan ke dalam pengalaman hidup. Saat seseorang
ingin mencapai fungsi diri lebih baik lagi setelah mengalami dukacita, maka
harus bekerja keras dan melalui waktu yang sangat panjang.

Martincekova, L., & Klatt, J. (2017). Mothers' Grief, Forgiveness, and


Posttraumatic Growth After the Loss of a Child. OMEGA-Journal of Death
and Dying , pp. 248-265.
http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0030222816652803

Tahapan berduka menurut teori

Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

1) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak,
tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum
dilontarkan klien.
2) Kemarahan (Anger)
Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan
marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan manifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
3) Penawaran (Bargaining)
Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain. Individu berupaya
untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk
mencegah kehilangan.
4) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati
kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
5) Penerimaan (Acceptance)
Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri
atau berputus asa. Pada tahap ini reaksi fisiologi menurun dan interaksi
sosial berlanjut.

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses berduka :


1. Faktor genetik : individu yang dibesarkan dalam keluarga dengan riwayat
depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan.
2. Kesehatan fisik : individu yang mengalami gangguan jasmani sulit dalam
mengatasi stress dibandingkan dengan individu yang fisik, mental serta pola
hidup yang teratur.
3. Kesehatan mental : individu yang mengalami gangguan jiwa, terutama yang
mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya
dan pesimis, selalu dibayangi masa depan peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.
4. Pengalaman kehilangan di masa lalu : Kehilangan atau perpisahan yang
terjadi pada seseorang ketika masih kanak-kanak akan berpengaruh pada
saat dia dewasa.
5. Struktur kepribadian : Individu dengan konsep diri yang negatif dan
perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah dan
tidak objektif terhadap stress yang dihadapi. Mereka cenderung mudah
putus asa dan stress.
6. Adanya stressor perasaan kehilangan : stressor ini dapat berubah stressor
yang nyata ataupun imajinasi individu itu sendiri, seperti kehilangan
biopsikososial yang meliputi kehilangan harga diri, pekerjaan, seksualitas,
posisi dalam masyarakat, milik pribadi.
Alimul, Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan Buku 1. Jakarta. Salemba Medika

Nama : NAFIDATUN NAAFI’A


NIM : 131611133015
Jawaban 1:
Yang dimaksud dengan berduka adalah respon emosi yang diekspresikan
terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas,
sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Dengan kata lain, berduka merupakan
sebuah respon normal yang terjadi pada semua kejadian kehilangan. Menurut
NANDA (Nursing Diagnosis), berduka terbagi menjadi dua macam, yaitu
berduka diantisipasi yang merupakan suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan atau kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan yang masih berada dalam batas normal; dan
berduka disfungsional dimana merupakan suatu status yang merukapan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan
secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional
yang kadang menjurus ke abnormal atau kesalahan dan kekacauan.
Sumber.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford:
Wiley Blackwell.
Jawaban 2:
Menurut buku Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia karangan Suseno dan
Tutu, faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan ada 6 macam, yaitu:
 Faktor Perkembangan
Faktor perkembangan dibagi menjadi dua macam, yaitu pada anak-anak
dan pada orang dewasa. Pada anak-anak dapat terjadi regresi, yaitu semacam
rasa takut ditinggalkan ataupun merasa kesepian. Sedangkan pada orang
dewasa, kehilangan membuat orang mengenang tentang tujuan hidup dan
tujuan hidup, serta mempersiapkan diri mengenai kematian yang tidak dapat
dihindari.
 Faktor Keluarga
Secara tidak langsung, keluarga mempengaruhi respon seseorang terhadap
bagaimana seseorang mengekspresikan kesedihannya. Misal, anak sulung
akan menunjukkan sikap kuat dan tidak menunjukkan kesedihannya secara
terbuka.
 Faktor Sosial Ekonomi
Apabila dalam sebuah keluarga, seseorang yang meninggal adalah
seseorang yang menjadi tulang punggung keluarga, maka hal tersebut akan
mempengaruhi kondisi psikologi dan ekonomi keluarga.
 Faktor Kultural
Kultur atau budaya seseorang dapat mempengaruhi manifestasi fisik dan
emosi dalam diri seseorang tersebut. Misalnya, ada budaya dimana apabila
seseorang tengah bersedih, maka ia lebih memilih untuk menyembunyika
kesedihannya Karena hal tersebut dianggap sebagai sebuah privasi. Namun,
dalam budaya yang lainnya, seseorang lebih memilih untuk mengungkapkan
kesedihannya secara terang-terangan.
 Faktor Agama
Agama dapat dijadikan sebagai penghibur dan dianggap sebagai suatu hal
yang menimbulkan rasa aman, serta menyadarkan bahwa kematian
merupakan suatu hal yang sudah ditentukan. Namun, ada juga yang
menyalahkan Tuhan akan kematian.
 Faktor Penyebab Kematian
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih
lama.

Sumber
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan,
Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto
Jawaban 3:
Ada banyak teori mengenai proses berduka. Salah satunya adalah Teori
Bowlby. Menurut Bowlby, proses berduka akibat kehilangan sesuatu terdiri dari
empat fase, yaitu:
 Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan;
 Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada;
 Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari; dan
 Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan
hidupnya.
Teori yang lainnya adalah Teori Rodebaugh et. al. pada tahun 1999.
Menurut Rodebaugh, proses berduka terdiri dari 4 tahap, antara lain:
 Reeling
Merupakan fase penyangkalan, dimana pasien dapat mengalami syok,
merasa tidak percaya akan kehilangan yang baru saja dialaminya, dan
penyangkalan dari keadaan yang ada.
 Feeling
Pasien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah, kesedihan
yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur, perubahan
nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan fisik yang umum.
 Dealing
Pasien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri
dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan bimbingan
spiritual.
 Healing
Pasien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan
penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan
tersebut dilupakan atau diterima

Sumber
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Jawaban 4:
Menurut Elisabeth Kubler-Ross, ada 5 tahapan berduka, yaitu:
 Tahap Penyangkalan, syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan yang
baru saja dialaminya.
 Tahap Kemarahan, yang dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman
atau pemberi perawatan kesehatan.
 Tahap Tawar-menawar, yang terjadi ketika individu menawar untuk
mendapat lebih banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang
tidak dapat dihindari.
 Tahap Depresi, yang terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
 Tahap Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tandatanda bahwa
ia menerima kematian. Model ini menjadi prototype untuk pemberi perawatan
ketika mereka mencari cara memahami dan membantu klien dalam proses
berduka.

Sumber
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

Nama : Listya Ernissa Mardha


NIM : 131611133017
Tanggapan :
Menurut jurnal yang saya baca, saya dapat menemukan pengertian dari :
1. Definisi kehilangan
Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika terjadi perubahan dalam hidup atau berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan akibat kematian orang yang dicintai merupakan krisis utama yang
memiliki dampak sangat besar pada hidup individu. Keadaan disekuilibrium yang
terjadi akibat krisis atau kehilangan menyebabkan kecemasan yang besar dan
ketidaknyamanan yang ekstrem. Perasaan-perasaan yang seringkali timbul pada
masa kedukaan antara lain rasa marah dan depresi karena merasa
ditinggalka,disisi lain juga terdapat perasaan tidak berdaya karena hanya bisa
bersedih.
Kehilangan juga merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Suatu keadaan individu saat mengalami perpisahan dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu

2. Dukacita adalah proses dimana seseorang mengalami respon psikologis,


sosial dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon ini dapat berupa
keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah dan marah.
Proses dukacita memiliki sifat yang mendalam, internal, menyedihkan dan
berkepanjangan. Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak
nafas, susah tidur, dan lain-lain.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu
dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya
kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu
yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun
potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-
kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan


(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi
2005 -2006. Editor : Budi Sentosa. Jakarta : Prima Medika
Nama : Rufaidah Fikriyah
NIM : 131611133018
Tanggapan :

Definisi Kehilangan

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang


sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari
(Stuart, 2005). Kehilangan dapat berupa kehilangan yang nyata atau kehilangan
yang dirasakan. Kehilangan yang nyata merupakan kehilangan terhadap orang
atau objek yang tidak dapat lagi dirasakan, dilihat, diraba atau dialami individu,
misalnya anggota tubuh, anak, hubungan, dan peran di tempat kerja. Kehilangan
yang dirasakan merupakan kehilangan yang sifatnya unik berdasarkan individu
yang mengalami kedukaan, misalnya kehilangan harga diri atau rasa percaya diri

Sari, Rossi Anita . 2015. PENGALAMAN KEHILANGAN (LOSS) DAN


BERDUKA (GRIEF) PADA IBU PREEKLAMPSI YANG KEHILANGAN
BAYINYA . Semarang

Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Salemba
Medika

Definisi Berduka

Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu seperti respon psikologis, sosial
dan fisik dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Respon
berduka ini dapat berupa keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan,
rasa bersalah dan marah.

Sari, Rossi Anita . 2015. PENGALAMAN KEHILANGAN (LOSS) DAN


BERDUKA (GRIEF) PADA IBU PREEKLAMPSI YANG KEHILANGAN
BAYINYA . Semarang

Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Salemba
Medika

Faktor yang Mempengaruhi Berduka

 Genetik: seperti riwayat depresi keluarga


 Kesehatan fisik: orang dengan kesehatan fisik lebih mampu mengatasi
stres
 Kesehatan mental: ada resiko kambuh lagi saat mengalami stres berlebih
 Pengalaman kehilangan sebelumnya: pengalaman mempengaruhi
kemampuan dalam menghadapi kehilangan di masa yang akan datang
 Perasaan stres nyata atau imajinasi

Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta.
Salemba Medika

Tahapan Proses Kehilangan dan Berduka

1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas
tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta
restitusi.

a. Syok dan tidak percaya

Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima


pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang
dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan
secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.

b. Perkembangan kesadaran

Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain,


perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan
menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.

c. Restitusi

Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.

2. Fase jangka panjang

a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.

b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang


tersembunyi

dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu


berkembang menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya
mengabaikan diri dengan menolak makan dan menggunakan alkohol.

Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase
awal,

pertengahan, dan pemulihan.

1. Fase awal

Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan kon ik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.

2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif.

Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang


terjadi.

3. Fase pemulihan

Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan


untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan.
Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan
sosial.

Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Salemba
Medika

NAMA : DWI UTARI WAHYUNING PUTRI


NIM : 131611133019
TANGGAPAN :
1. Definisi Kehilangan
Kehilangan merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Kehilangan
adalah keadaan dari suatu individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada dan kemudian menjadi tidak ada. Misalnya saja pada
wanita yang mengalami mastektomi. Menurut Potter dan Perry, wanita yang
mengalami mastektomi akan kehilangan payudara yang merupakan simbol
seksualitas wanita. Kehilangan payudara akibat mastektomi akan mengubah
citra tubuh dan fungsi psikoseksual wanita (Dean, Hughes, Hughson et al,
Maguire, Morris, as cited in Watson, 1991 dalam Farooqi, 2005). Perubahan
citra tubuh pada wanita yang mengalami mastektomi umumnya negatif
(Burns & Holmes dalam Baird, Mc Corckle & Grant, 1991 dalam Yani,
Waluyo & Mustikasari, 2002) . Citra tubuh yang negatif memiliki
kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi, cemas dan bunuh diri
(Yani, dkk, 2002).

Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-BOOK


STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT.
Lisnawati. (2010) . Gambaran Wanita Post Mastektomi yang Mengalami
Depresi di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta Barat. Jakarta : UIN
Syarif Hidayattulah Jakarta.

2. Proses Berduka
Menurut Rando (1993), ia mendefinisikan respons berduka menjadi tiga
kategori. Yang pertama ialah penghindaran, pada tahap ini individu dapat
mengalami syok, bahkan individu menyangkal dan tidak dapat percaya
bahwa sesuatu telah hilang dari dirinya. Selanjutnya ialah konfrontasi, pada
tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling
dalam dan dirasakan paling akut. Dan yang terakhir ialah akomodasi, pada
tahap ini terjadi penurunan kedukaan akut secara bertahap dan mulai
memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana
klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-BOOK


STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT.

3. Tahap Berduka
Pada tahun 1998, John Harvey mengemukakan teori mengenai tahap
berduka. John Harvey menetapkan tiga tahap berduka. Tahap yang pertama,
individu akan mengalami syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
Pada tahap yang kedua, individu akan menginstruksikan pikiran,
mendistraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif. Tahap yang
terakhir, individu akan menceritakan kepada orang lain sebagai cara
meluapkan emosi dan secara kognitif menyusun kembali peristiwa
kehilangan.

Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan


(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine)

Nama: Ayu Saadatul Karimah


NIM: 131611133020
Kelas: A-1 2016
Tanggapan:
1) Tahapan berduka menurut Kubler-Ross pada tahun 1969 Elisabeth Kubler-Ross
menetapkan lima tahapan berduka, yaitu :
i. Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.
ii. Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau pemberi
perawatan kesehatan.
iii. Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih banyak
waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat dihindari.
iv. Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
v. Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tandatanda bahwa ia
menerima kematian. Model ini menjadi prototype untuk pemberi perawatan ketika
mereka mencari cara memahami dan membantu klien dalam proses berduka.
2) Teori Bowlby Pemahaman Bowlby tentang berduka akan menjadi kerangka
berpikir yang dominan dalam bab ini. Ia mendeskripsikan proses berduka akibat
suatu kehilangan memiliki empat fase :
i. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan.
ii. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada.
iii. Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
iv. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan
hidupnya.
3) Teori John Harvey pada tahun 1998 John Harvey menetapkan 3 tahap berduka,
yaitu :
i. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
ii. Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif.
iii. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara
kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.
4) Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999 Proses dukacita sebagai suatu proses
yang melalui empat tahap, yaitu :
i. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
ii. Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah,
kesedihan yang mendalam, 28 kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur,
perubahan nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan fisik yang umum.
iii. Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan
melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan
bimbingan spiritual.
iv. Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang.

Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan


(Loss) dan Berduka
(Grief )Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya(Doctoral
dissertation, Faculty of Medicine).
http://eprints.undip.ac.id/47270/1/bagian_awal-bab_3.pdf

Nama: Ayu Saadatul Karimah


NIM: 131611133020
Kelas: A-1 2016
Tanggapan:
Berduka adalah proses dimana seseorang mengalami respon psikologis, sosial dan
fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Berduka dapat ditunjukkan melalui
pikiran, perasaan maupun perilaku yang bertujuan untuk mencapai fungsi yang
lebih efektif dengan mengintegrasikan kehilangan ke dalam pengalaman hidup.
Pada saat seseorang yang berduka ingin mencapai fungsi yang lebih efektif, maka
dibutuhkan waktu yang cukup lama dan upaya yang cukup keras untuk
mewujudkannya.

Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan


(Loss) dan Berduka
(Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya(Doctoral
dissertation, Faculty of Medicine).
http://eprints.undip.ac.id/47270/1/bagian_awal-bab_3.pdf

Nama: Ayu Saadatul Karimah


NIM: 131611133020
Kelas: A-1 2016
Tanggapan:

Proses berduka merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang dapat
diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah kehilangan. Proses berduka
memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi
tidak dapat dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti tahap yang dapat
diprediksi.

Pasaribu, Jesika.(2013).proses berduka akibat kematian orang yang dicintai yang


dialami oleh
lansia dikabupaten Ngada. Jakarta:STIK sint Carolus
NAMA : DESI CHOIRIYANI
NIM : 131611133021
KELAS : A1-2016
Tanggapan :

1. Definisi kehilangan
Secara umum kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang pernah
dialami oleh setiap individu kepada suatu objek yang bernilai dalam rentang
kehidupannya dimana kondisi dari individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik kehilangan sebagian
atau kehilangan secara keseluruhan dimana dapat mempengaruhi respons
perilaku dan emsional tiap individu yang mengalami kehilangan.
Kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang berhubungan dengan suatu
objek, orang, kepercayaan, hubungan antar manusia yang bernilai (Dyer,
2001 dalam Ritanti, 2010). Kozier, et al, dalam Ritanti (2010) menerangkan
bahwa kehilangan sebagian situasi saat ini atau yang akan terjadi, dimana
sesuatu yang berbeda nilainya karena hilang keberadaannya. Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda (Yosp, 2010)
2. Definisi berduka
Secara umum berduka adalah proses dimana individu yang memiliki
pengalaman perpisahan dan mengalami respon psikologis, sosial dan fisik
terhadap kehilangan yang dirasakan individu yang berduka dimana
membutuhkan waktu untuk menerima suatu peristiwa kehilangan yang
dihadapinya. Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak
nafas, susah tidur dan lain-lain. Berduka adalah proses kompleks yang
normal yang mencakup respons dan perilaku emosi, fisik, spiritual, social,
dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi
kehilangan actual, kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan
kedalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA, 2011).
3. Faktor kehilangan
1) Patofisiologis
Meliputi kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder individu
akibat kardiovaskuler, trauma, musculoskeletal
2) Tindakan
Meliputi klien yang mengalami dialisis jangka panjang, operasi
(mastektomi, kolostomi, histrektomi)
3) Disfugsional
Meliputi suatu keadaan individu ketika mengalami : penyakit
terminal, kematian, perpisahan, perceraian, pensiun, anak akan
meninggalkan rumah
4) Maturasional
Meliputi klien yang memasuki masa penuaan
4. Proses berduka
Teori Bowlby menjelaskan bahwa proses berduka akibat suatu kehilangan
memiliki empat fase yaitu :
1) Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan
2) Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan
memprotes kehilangan yang tetap ada
3) Kekacauan kognitif dan keputusan emosional, mendapatkan dirinya
sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari
4) Tahap terakhir adalah reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri
sehingga dapat mengembalikan hidupnya.
5. Tahapan berduka menurut teori
Tahapan berduka menurut Kubler-Ross (1969) dalam Videbeck (2008) ada
5 tahap yaitu :
1) Fase pengingkaran (denial)
Merupakan perasaan tidak percaya, syok, biasanya ditandai dengan
menangis, gelisah, lemah, letih dan pucat. Individu bertindak seperti
seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai
bahwa telah terjadi kehilangan.
2) Fase kemarahan (anger)
Merupakan perasaan marah yang diekspresikan pada suatu objek.
Pada fase ini individu akan lebih sensitive sehingga mudah
tersinggung.
3) Fase tawar menawar (bargaining)
Fase ini individu mampu mengungkapkan rasa marah, takut akan
kehilangan. Pada tahap ini individu sering meminta pendapat orang
lain. Peran perawat pada tahap ini adalah diam, mendengarkan, dan
memberikan sentuhan terapeutik. (Kubler- Ross, 1969 dalam
Videbeck, 2008).
4) Fase depresi (depression)
Fase ini terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata
dari makna kehilangan tersebut. Peran perawat pada tahap ini adalah
diam, mendengarkan, dan memberikan sentuhan terapeutik.
(Kubler- Ross, 1969 dalam Videbeck, 2008).
5) Fase penerimaan (acceptance)
fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran
yang berpusat pada objek kehilangan mulai berkurang. Peran
perawat pada tahap ini menemani klien bila mungkin, bicara dengan
pasien, dan menanyakan apa yang dibutuhkan klien. (Kubler-Ross,
1969 dalam Videbeck, 2008).

Sumber :
Kusuma, E. P. (2013). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja Dengan
Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Karya
Ilmiah Akhir Ners, Universitas Indonesia.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf
Sari, R. A. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu
Preeklampasi yang Kehilangan Bayinya. Doctoral dissertation, Faculty of
Medicine, Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/47270/
NAMA : NURUL HIDAYATI
NIM : 131611133022
TANGGAPAN :

Konsep Berduka dan Kehilangan


1. Pengertian kehilangan
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang
sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit
dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang
dicintai, dan kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu
respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan
masalah. Seorang individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan
koping yang efektif dalam melalui proses berduka, sehingga mampu menerima
kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan merupakan bagian dari
proses kehidupan.
Sumber :
Yusuf, Ah., Hanik Endang Nihayati, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

2. Pengertian berduka
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
Stroebe dan Stroebe (1987) (dalam Moyle & Hogan, 2006) menganggap
berduka sebagai situasi objektif dari seorang individu yang baru saja
mengalami kehilangan dari sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada.
Berduka mengacu pada respons emosional terhadap kehilangan ini, termasuk
beberapa reaksi psikologis dan fisik (Buglass, 2010).
Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita
adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respons dan perilaku
emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan
komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi, atau
persepsi kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA, 2011).
Selain itu, berduka situasional sendiri diartikan sebagai suatu kondisi
ketika individu atau kelompok mengalami sejumlah reaksi dalam merespon
kehilangan yang bermakna yang berhubungan dengan efek negatif akibat
peristiwa kehilangan sekunder, kehilangan gaya hidup dan kehilangan
normalitas sekunder (Carpenito, 2006).

Sumber :
Moyle, W.P., & Hogan, N.S. (2006). Grief theories and models applications to
hospice nursing practice. Journal Of Hospice And Palliative Nursing,
10(6)
Buglass, E. (2010). Grief and bereavement theories. Nursing Standard, 24(41),
44-47
NANDA. (2011). Nursing diagnoses: Definition & classification. UK: Wiley-
Blackwell.
Carpenito, J., Lynda. (2006). Buku saku diagnosa keperawatan: Handbook of
nursing diagnosis. (10th ed). Jakarta: EGC.
3. Proses berduka
Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas
tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta
restitusi.
a. Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat
menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya
memang dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi
kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain,
perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai
cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang
dalam.
c. Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan
kehilangan.
2. Fase jangka panjang\
a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang
tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada
beberapa individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri,
sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan
menggunakan alkohol.

Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa
kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan
untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan.
Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan
sosial.
Sumber :
Yusuf, Ah., Hanik Endang Nihayati, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka


Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan yang dapat menimbulkan
respon berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006). Situasi yang paling
sering ditemui adalah sebagai berikut:
1) Patofisiologis
Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat
sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori,
muskuloskeletal, digestif, pernapasan, ginjal dan trauma;
2) Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka
waktu yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi,
histerektomi);
3) Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder
akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan
dengan kehilangan gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan,
perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan perceraian; dan berhubungan
dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan cacat, bekas luka,
penyakit;
4) Maturasional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti teman-teman,
pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan
harapan dan impian.
Sumber :
Carpenito, J., Lynda. (2006). Buku saku diagnosa keperawatan: Handbook of
nursing diagnosis. (10th ed). Jakarta: EGC.

4. Tahapan berduka menurut teori


Terdapat beberapa teori mengenai tahap berduka. Salah satunya adalah teori
yang dikemukan Kubler-Ross (1969) (dalam Moyle & Hogan, 2006).
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut lima tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Fase pengingkaran (Denial)
Perasaan tidak percaya, syok, biasanya ditandai dengan menangis, gelisah,
lemah, letih, dan pucat. Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-
apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan
terjadi pada saya!” umumnya dilontarkan klien;
2) Fase kemarahan (Anger)
Perasaan marah dapat diproyeksikan pada orang atau benda yang ditandai
dengan muka merah, suara keras, tangan mengepal, nadi cepat, gelisah, dan
perilaku agresif. Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin
“bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan lingkungan. Pada fase ini individu akan lebih sensitif sehingga
mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu
untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari
kecemasannya menghadapi kehilangan;
3) Fase tawar menawar (Bargaining)
Individu mampu mengungkapkan rasa marah akan kehilangan, ia akan
mengekspresikan rasa bersalah, takut dan rasa berdosa. Individu berupaya
untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk
mencegah kehilangan. Pada tahap ini, individu sering kali mencari
pendapat orang lain. Peran perawat pada tahap ini adalah diam,
mendengarkan, dan memberikan sentuhan terapeutik;
4) Fase depresi (Depression)
Fase ini terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut. Individu menunjukan sikap menarik diri, tidak
mau bicara, putus asa. Perilaku yang muncul seperti menolak makan, susah
tidur, dan dorongan libido menurun. Peran perawat pada fase ini tetap
mendampingi individu dan tidak meninggalkannya sendirian;
5) Fase penerimaan (Acceptance)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran yang
berpusat pada objek kehilangan mulai berkurang. Peran perawat pada tahap
ini menemani klien bila mungkin, bicara dengan pasien, dan menanyakan
apa yang dibutuhkan klien.
Sumber :
Moyle, W.P., & Hogan, N.S. (2006). Grief theories and models applications to
hospice nursing practice. Journal Of Hospice And Palliative Nursing, 10(6)
Yusuf, Ah., Hanik Endang Nihayati, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

5. Proses asuhan keperawatan pada klien yang kehilangan dan berduka


Menurut Yusuf (2015) dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien
dengan berduka situasional tentunya juga memerlukan beberapa tahapan yang
sama seperti dalam pemberian asuhan keperawatan dengan masalah yang lain,
yang meliputi tahapan pengkajian hingga evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan dalam menentukan diagnosa keperawatan
berduka situasional harus didukung oleh data-data yang mengarah pada
masalah berduka. Data yang mungkin muncul pada klien yang mengalami
masalah berduka dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu data mayor dan
minor (Carpenito, 2006):
a. Data Mayor
Ekspresi distress tentang kehilangan yang terjadi.
b. Data Minor
Penyangkalan
Rasa bersalah
Kemarahan
Sikap putus asa
Ketidakmampuan berkonsentrasi
Halusinasi penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mengenai
objek atau orang
Ide untuk bunuh diri
Tangis
Penderitaan
Perilaku mengharap/mencari
Fobia
Perasaan tidak berharga
2. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan yang sering timbul pada pasien kehilangan adalah
sebagai berikut.
1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual.
2. Berduka disfungsional.
3. Berduka fungsional.
3. Intervensi Keperawatan
1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial)
adalah memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan
perasaannya dengan cara berikut.
a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan
kehilangan pasien secara emosional.
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum
dan menghakimi.
d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada
individu yang mengalami kehilangan.
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan,
menepuk bahu, dan merangkul.
f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas,
dan singkat.
g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan
memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk
mengungkapkan marahnya secara verbal tanpa melawan
kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah adalah
ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah,
menangis).
b. Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining)
adalah membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan
perasaan takutnya.
a. Amati perilaku pasien.
b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
c. Tingkatkan harga diri pasien.
d. Cegah tindakan merusak diri.
4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah
mengidentifikasi tingkat depresi, risiko merusak diri, dan membantu
pasien mengurangi rasa bersalah.
a. Observasi perilaku pasien.
b. Diskusikan perasaan pasien.
c. Cegah tindakan merusak diri.
d. Hargai perasaan pasien.
e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
g. Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance)
adalah membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat
dihindari dengan cara berikut.
a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan Keperawatan pada Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
b. Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami pasien.
c. Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami
dengan keadaan dirinya.
d. Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang
dialaminya.
e. Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung.
2. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien.
b. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi pikiran,
perasaan, fisik, sosial, dan spiritual sebelum/sesudah mengalami
peristiwa kehilangan serta hubungan antara kondisi saat ini dengan
peristiwa kehilangan yang terjadi).
c. Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami.
1) Cara verbal (mengungkapkan perasaan).
2) Cara fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik).
3) Cara sosial (sharing melalui self help group).
4) Cara spiritual (berdoa, berserah diri).
c. Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas yang tersedia
untuk saling memberikan pengalaman dengan saksama.
d. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian.
e. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


1. Tujuan
a. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
b. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
c. Keluarga dapat mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.
d. Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
2. Tindakan
a. Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan
dampaknya pada pasien.
b. Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami oleh
pasien.
c. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan berduka
disfungsional.
d. Berdiskusi dengan keluarga sumber-sumber bantuan yang dapat
dimanfaatkan oleh keluarga untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh
pasien.

5. Evaluasi
1. Pasien mampu mengenali peristiwa kehilangan yang dialami.
2. Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan
dirinya.
3. Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.
4. Memanfaatkan faktor pendukung.
5. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
6. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
7. Keluarga mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.
8. Keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
Sumber :
Yusuf, Ah., Hanik Endang Nihayati, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Daftar Pustaka :
Buglass, E. (2010). Grief and bereavement theories. Nursing Standard, 24(41),
44-47
Carpenito, J., Lynda. (2006). Buku saku diagnosa keperawatan: Handbook of
nursing diagnosis. (10th ed). Jakarta: EGC.
Moyle, W.P., & Hogan, N.S. (2006). Grief theories and models applications to
hospice nursing practice. Journal Of Hospice And Palliative Nursing,
10(6)
NANDA. (2011). Nursing diagnoses: Definition & classification. UK: Wiley-
Blackwell.
Yusuf, Ah., Hanik Endang Nihayati, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Nama : Marceline Putri Crisdianti


Nim : 131611133023

Definisi Kehilangan :
Kehilangan adalah situasi aktual dan potensial yang yang di dalamnya sesuatu
yang dinilai berharga berubah, tidak lagi ada atau menghilang.
Berduka adalah respon total terhadap pengalaman emosional akibat kehilangan .
berduka dimanifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku yang
berhubungan dengan distres atau kesedian yang mendalam.
Duka Cita adalah respon subjektif yang dialami orang yang ditinggalkan setelah
kematian sesesorang yang amat erat hubungannya dengan mereka.
Kozier et al. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Tahap berduka menurut Engel
1) Syok dan tidak percaya
Respon : tidak mau menerima kehilangan, merasa terkejut, menerima situasi
secara intelektual tetapi menyangkalnya secara emosional
2) Menyadari
Respon : Realita kehilangan mulai menembus kesadaran, rasa marah dapat
ditunjukan pada lembaga, perawat atau orang lain.
3) Restitusi
Respon : melakukan ritual berkabung (pemakaman)
4) Menyelesaikan kehilangan
Respon :
 Beruaya mengatasi lepasan yang menyakitkan
 Teta tidak mampu menerima objek kasih sayang baru untuk
menggantikan seseorang atau objek yang telah hilang
 Daat menerima hubungan yang lebih bergantung dengan orang
endukung
 Memikirkan atau membicarakan tentang memori objek yang telah
hilang

5) Idealisasi
Reson :
 Menghasilkan gambaran objek yang telah hilang yang hampir
bebas dari gambaran yang tidak diharapkan
 Menekan semua perasaan negatif dan permusuhan pada objek yang
telah hilang
 Dapat merasa bersalah dan menyesal tentang tindakan yang
menyakiti atau tidak menyenangkan di masa lalu yang dilakukan
terhadap orang yang meninggal tersebut
 Secara tidak sadar merasakan kekaguman yang sangat terhadap
objek yang tela h hilang
 Ingatan akan objek yang telah hilang menimbulkan beberapa
perasaan sedih
 Menumbuhkan kembali perasaan kepada orang lain
6) Hasil akhir
Respon :
 Perilaku dipengaruhi beberapa faktor : makna penting objek yang
telah hilang sebagai sumber dukungan, derajat ketergantungan
pada hubungan, derajat ambivalensi pada objek yang telah hilang,
jumlah dan sifat hubungan lain, dan jumlah serta sifat pengalaman
berduka sebelumnya (yang cenderung bersifat kumulatif)
Kozier et al. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Faktor yang mempengaruhi kehilangan dan berduka
1) Usia :
 Masa kanak kanak : Kehilangan orang tua atau orang terdekat
dapat mengancam kemampuan anak-anak untuk berkembang dan
kadang kala menimbulkan regresi
 Masa dewasa awal dan pertengahan : Kehilangan mulai diagangap
sebagai bagian dari perkembangan normal . misalnya kehilangan
orang tua akibat kematian tampak lebih normal
 Masa dewasa akhir : kehilangan yang dialami lansia terdiri atas
kehilangan kesehatan, mobilitas, kemandirian dan peran kerja.
Bagi lansia kehilangan akibat kematian pasangan yang telah
bersamanya dalam waktu yang lama akan amat menyakitkan
2) Makna Kehilangan
Makna kehilangan bergantung pada persepsi orang yang mengalami
kehilangan. Sejumlah faktor yang mempengaruhi makna kehilangan :
 Makna orang atau objek, atau fungsi yang hilang
 Derajat perubahan yang harus dilakukan karena kehilangan
 Keyakinan dan nilai seseorang
3) Budaya
Cara mengungkapkan duka cita kerap ditentukan oleh kebiasaan budaya.
Beberapa kelompok budaya menghargai dukungan sosial dan ekpresi
kehilangan. Dibeberapa kelompok ekspresi berduka dengan meratap,
menangis kepasrahan fisik, dan demonstrasi ekspresi lainnya dapat diterima
atau didorong. Kelompok lain mungkin menganggap demonstrasi ini
sebagai kehilangan kontrol, lebih menyukai ekspresi berduka yang lebih
tenang dan tabah . Dalam kelompok budaya yang memelihara hubungan
kekeluargaan yang erat, dukungan fisik dan emosional serta bantuan
diberikan oleh anggota keluarga
4) Keyakinan spiritual
Sebagian besar kelompok agama memiliki kebiasaan yang berhubungan
dengan menjelang ajal dan penting bagi klien dan orang pendukung
5) Jenis kelamin
Pria seringkali diharapkan untuk bersikap kuat dan tidak banyak
menunjukan emosi selama berduka, sementara wanita diperbolehkan
memujukan rasa berduka
6) Status sosial ekonomi
Jaminan pensiun atau asuransi dapat memberikan adalah pilihan terbaik
untuk mengatasi kehilangan pada janda/duda atau individu yang cacat
contohnya
7) Sistem pendukung
Orang terdekat individu yang sedang berduka sering kali menjadi orang
pertama yang mengetahui dan memberikan bantuan emosional, fisik, dan
fungsional yang dibutuhkan
8) Penyebab kehilangan atau kematian
Cedera atau kematian yang terjadi selama kegiatan yang terhormat seperti
”saat menjalankan tugas” dianggap terhormat. Sementara yang terjadi
selama kegiatan yang terlarang mungkin dianggap sebagai kejadian yang
patut diterima ole individu tersebut.

Kozier et al. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Asuhan Keperawatan
Contoh diagnosa Keperawatan Nanda yang berhubungan dengan dukacita
Diagnosa Keperawatan Dukacita Maladaptif yang berhubungan dengan
kehilangan kesehatan dan penyakit terminal
Definisi : Dukacita Maladaptif adalah keadaan terdapat perasaan aktual atau
potensional tentang objek yang hilang (objek yang hilang digunakan dalam kesan
yang lebih luas). Objek yang hilang tersebut termasuk orang, kepemilikan,
pekerjaan, status, rumah, ideal, dan bagian dari proses dari tubuh (Kim,
McFarland, dan Mclane, 1995)
Tujuan Hasil yang Intervensi Rasional
diharapkan
Klien akan Klien akan Hargai duka cita Menerima
mengalami mengalami klien melalui perasaan klien
peredaan dari kesadaran akan kehadiran yang seperti apa adanya
disfungsi kehilangan dalam 1 bersifat empati memungkinkan
berduka atau minggu penerimaan
menunjukan bertahap tentang
tidak adanya realitas dan semua
penundakaan perasaan duka
reaksi emosional (Rando,1996)
dalam 2 bulan Klien akan Dengarkan klien Ekspresi perasaan
mengekspresikan dan berikan adalah unik untuk
pikiran dan dorongan untuk seorang individu .
perasaan yang berbagi perasaan mendengarkan
berhubungan emosi, seperti klien tanpa
dengan kehilangan marah, rasa memberi penilaian
dalam 2 minggu bersalah,atau meningkatkan
depresi, dalam perkembangan
cara yang paling hubungan
nyaman bagi terapeutik yang
klien (mis verbal akan
atau non verbal, meningkatkan
dalam tulisan rasa percaya dan
atau melalui keterbukaan
karya seni ) (Rando, 1984)
Atur pertemuan Saling berbagi
dengan orang perasaan dengan
lain yang mereka yang
mempunyai mengalami situasi
pengalaman yang
yang sama dapat
sama seperti megurangi
klien perasaan isolasi
(Lewis et ala.
1989)
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktik.Jakarta:EGC
Nama : Arinda Naimatuz Zahriya
NIM: 131611133024
Tanggapan:
Definisi berduka dan Kehilangan
Berduka adalah suatu reaksi normal terhadap kehilangan. Proses berduka
ini memungkinkan individe menyempurnakan kembali citra tubuh dan konsep diri
yang baru. Berduka dapat ditimbulkan dai perubahan dalam hubungan pribadi,
profesi dan sosial. Beberapa orang yang mengalami kehilangan akan mengalami
rasa marah
Kehilangan adalah keadaan aktual maupun potensial yang dapat dialami
oleh individu pada saat adanya perubahan dalam hidup atau berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagaian ataupun keseluruhan. Lingkungan
dapat mempengaruhi nilai dan prioritas individu, sehingga rasa kehilangan
bermacam macam bentuknya. Lingkungan tersebut meliputi keluarga, teman,
masyarakat, dan budaya. Memiliki rasa kehilangan adalah pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu selama kehidupannya. Respon terakhir terhadap
kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu terhadap kehilangan
sebelumnya .

Tahap berduka atau duka cita, antara lain:


1. Tahap pertama: syok yang merupakan respons awal individual terhadap
kehilangan. Manifestasi perilaku dan perasaan, antara lain
ketidakpercayaan, keputus asaan, marah, takut, kesepian, kebencian,
keluhan kehilangan berat, tidur gelisah, kletihan, kurang istirahat, dan
sebagainya.
2. Tahap kedua: fase realitaspenerimaan fakta kehilangan
3. Tahap ketiga: tahap membuat hubungan baru yang signifikan. Selama
periode ini, orang yang berduka cita menerima kehilangan dan individu
kembali kepada keadaan normal.

Proses Berduka:
1. Penolakan
Merupakan emosi luar biasa yang menjadi langkah pertama dalam proses
proses berduka. Hal tersebut memungkinkan selama beberapa waktu
mengumpulkan kekuatan dalam dan bersiap menghadapi musibah yang
baru saja menghadang. Sisi penolakan yang negatif dan merugikan
dilakukan orang yang menyangkal untuk berdiri tegak kembali. Pandangan
yang tertutup tidak akan memungkinkan orang bertindak benar, belajar
kecakapan yang perlu, dan menyesuaikan diri dengan kebenaran.
2. Marah
Adalah emosi yang juga luar biasa sangat kuat dan menjadi bagian wajar
dalam proses berduka. Oleh karena itu tidak ada salah apabila marah, namun
marah juga harus dikontrol karena marah bersifat maladaptif dan destruktif
apabila berupaya menyalahgunakan marah pada diri sendiri maupun orang
lain. Kita juga perlu mengingat bahwa depresi dalam bisa saja terjadi.
Namun lebih baik mengeluarkan rasa marah dan kemudian
menghentikannya dengan menciptakan metode terbaik untuk dirinya
sendiri.
3. Menawar
Menawar bisa disebut juga menolak, memberi waktu tertentu bagi individu
untuk menyesuaikan diri.
4. Depresi
Depresi merupakan wujud marah yang berkobar kembali. Gambaran dari
perasaan depresi sendiri yaitu ada masalah yang biasanya merupakan bagian
dari hidup yang biasanya wajar namun beralih seperti gunung yang tidak
terjangkau ketinggannya.
5. Penerimaan
Penerimaan merupakan proses terakhir dalam proses berduka. Istilah ini
perlu diperjelas lagi sedikit karena seringkali orang berpendapat bahwa
dengan menerima seluruh gagasan perubahan didalam organisasi mereka
atau menerima peran penyedia di dalam pekerjaan mereka berarti lompatan
yang luar biasa. Gagasan penerimaan “perubahan hidup” ini tidak realistis.
Namun demikian ada kemungkinan bahwa itu bisa ditanggulangi dan pada
akhirnya dapat menikmati bekerja dengan sekelompok orang untuk
mencapai sasaran mereka.

Sumber:

Bahiyatun. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC.
Engram, B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Hansten, R. (2001). Kecakapan Pendelegasian Klinis: Pedoman untuk Perawat.
Jakarta: EGC.
Hidayat, M., & Hidayat, A. A. (Jakarta). Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk
Kebidanan. 2008: Salemba Medika.
https://books.google.co.id/books?id=aabo4N8QHzQC&pg=PT254&dq=kehilanga
n+adalah&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=kehilangan%20adalah&f=fa
lse
https://books.google.co.id/books?id=bhRB7IeC0JIC&pg=PA727&dq=berduka+a
dalah&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=berduka%20adalah&f=false
https://books.google.co.id/books?id=ZkPup5Ozy8C&pg=PA106&dq=tahap+taha
p+berduka&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=tahap%20tahap%20berdu
ka&f=false
https://books.google.co.id/books?id=bXce31UVNUC&pg=PA97&dq=tahap+taha
p+berduka&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=tahap%20tahap%20berdu
ka&f=false

Nama : Sekar Ayu Pitaloka


NIM : 131611133025
Tanggapan :
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum
berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat
disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang
bersangkutan atau disekitarnya. Istilah kehilangan mencangkup dua hal yaitu
berduka (grieving) dan berkabung (mourning). Berduka merupakan reaksi
emosional terhadap kehilangan. Hal ini terwujud dengan berbagai cara yang unik
pada masing-masing individu berdasarkan pengalaman pribadi, ekspetasi budaya,
dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Pandangan-pandangan tersebut dapat
menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang
demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan
perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi
perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Sumber :
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Nama : Sekar Ayu Pitaloka (131611133025)
Tanggapan :
Dalam kedukaan juga memiliki tahapan-tahapan. Berikut ini merupakan
tahapan kedukaan menurut Grager Westberg. Ia adalah seorang perintis gerakan
holistic dan konseling di Amerika Serika, dalam bukunya yang berjudul Good Grief
membagi proses berduka ke dalam sepuluh tahap yakni :
1. terkejut, (shock)
2. mencurahkan perasaan, (expression of emotions)
3. depresi, suram, merana, (depression) ;
4. muncul tanda-tanda fisik, seperti menangis, air mata berlinang, mati rasa,
badan gemetar atau tanda somatic lainnya seperti sedih, (physical symptoms
of distress);
5. panic, (panic) ;
6. perasaan bersalah, (guilt) ;
7. marah, (anger) ;
8. tenang, diam, (immobilization) ;
9. berpengaharapan, (hope) ; dan
10. menerima kenyataan, (affirmation of reality).
Sumber :
Wiryasaputra, T.S. 2003. Mengapa Berduka (Kreatif Mengelola Perasaan Duka).
Yogyakarta : Kanisius.

Tanggapan :
Saya ingin menambahkan tentang definisi berduka :
Berduka adalah reaksi normal terhadap kehilangan. Karena orang menyimpan
emosi dalam tubuh dan kesejahteraan mereka, perubahan internal atau eksternal
mencegah individu melaksanakan aktivitas normalnya seringkali menimbulkan
manifestasi emosi dan perilaku berduka. Perubahan dalam hubungan pribadi,
profesi dan social juga menimbulkan berduka. Jadi, bisa dikatakan bahwa berduka
adalah efek atau dampak dari kehilangan. Ketika seseorang merasakan sesuatu yang
sangat berarti di dalam kehidupannya, maka ia akan berada pada rasa duka yang
dalam.
Sumber :
Engram, Barbara. 1994.Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nama : Verantika Setya Putri
Nim : 131611133026
Menurut teori Bowlby proses berduka akibat kehilangan memiliki 4 fase yaitu :
1. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan
2. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan
memprotes kehilangan yang tetap ada
3. Kekacauan kognitif, keputusasaan emosional dan mendapatkan dirinya
sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari – hari.
4. Reorganisasi dan reinteraksi kesadaran diri
Sari, Rossi Anita and Sudarmiati, Sari and Susilawati, Dwi and Zubaidah, (2015)
PENGALAMAN KEHILANGAN (LOSS) DAN BERDUKA (GRIEF)
PADA IBU PREEKLAMPSI YANG KEHILANGAN BAYINYA.
Undergraduate thesis, Faculty of Medicine

Nama : Verantika Setya Putri


Nim : 131611133026
Tahapan berduka dari Kubler-Ross yang terdiri dari 5 tahapan (Subotnik & Harris
2005):
1. Tahap Penolakan Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak percaya,
penolakan terhadap informasi.
2. Tahap Kemarahan Setelah melewati masa penolakan.
3. Tahap Bargaining Ketika perasaan marah sudah agak mereda.
4. Tahap Depresi
5. Tahap Penerimaan

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 66-76

Nama : Verantika Setya Putri


Nim : 131611133026
ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL
Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
A. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping
individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.

B. Rencana Tindakan Keperawatan


Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis
- Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
- Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
2. Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3. Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4. Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5. Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi
dg orang lain.

Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung
dalam mengatasi perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi
tidak terlibat secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan
aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan
harga diri klien.

Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.

Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat
– klien.

2. Menyelidiki diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
~ Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang
lain melalui keterbukaan.
~ Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada
pada klien.
R/ klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan
terhadap dirinya sendiri.

3. Mengevaluasi diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
~ Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/ Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara
konstruktif.

4. Membuat perencanaan yang realistik.


~ Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
~ Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
R/ Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya
dengan cara menentukan perencanaan yang realistik.

5. Bertanggung jawab dalam bertindak.


~ Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon
maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif.
R/ Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian
masalah klien.

6. Mengobservasi tingkat depresi.


~ Mengamati perilaku klien.
~ Bersama klien membahas perasaannya.
R/ Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana perawatan selanjutnya
disusun dengan tepat.

7. Membantu klien mengurangi rasa bersalah.


~ Menghargai perasaan klien.
~ Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap
kenyataan.
~ Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
~ Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
R/ Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan perasaan bersalahnya
terhadap orang yang hilang.

Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.


Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2. Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3. Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4. Klien dapat merawat kukunya sendiri.

Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.

2. Menganjurkan klien untuk mandi.


R/ Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan
dapat melakukan sendiri.

3. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.


R/ Diharapkan klien mandiri.

4. Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.


R/ Diharapkan klien mandiri.

5. Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.


R/ Diharapkan klien mandiri
R/ Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien yang
lain

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka


yang normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan
mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep
kehilangan secara jujur.
3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-
perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan
mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.

BAB, I. ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA.


www.academia.edu/download/34731210/ASUHAN_KEPERAWATAN_KEHIL
ANGAN_DAN_BERDUKA.docx

1. Pengertian Kehilangan
Nama:Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Kehilangan adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada atau dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
Salim, J. F., (2014). PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG
YANG DICINTAI YANG DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN
NGADA. Jakarta. http://ejournal.stik-
sintcarolus.ac.id/file.php?file=mahasiswa&id=488&cd=0b2173ff6ad6a6fb0
9c95f6d50001df6&name=ARTIKEL%20ILMIAH%20JULIAN%20FRITZ
%20CHESAR%20PRATAMA%20SALIM.pdf (19 Sept 2017).
Kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang berhubungan dengan suatu
objek, orang, kepercayaan, hubungan antar manusia yang bernilai (Dyer, 2001
dalam Ritanti, 2010). Kozier, et al, dalam Ritanti (2010) menerangkan bahwa
kehilangan sebagian situasi saat ini atau yang akan terjadi, dimana sesuatu yang
berbeda nilainya karena hilang keberadaannya.
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19 Sept
2017).
Sehingga dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa
kehilangan yaitu suatu keadaan individu, yang dimana individu tersebut
mengalami perpisahan akan sesuatu yang membuat perasaannya menjadi
emosional dan tidak dapat mengontrolnya.
2. Pengertian berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Berduka adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respons dan
perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga,
dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi,
atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA,
2011).
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017).
Menurut Santrock (2004: 272) dukacita (grief) adalah kelumpuhan
emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan
kesepian yang menyertai disaat kita kehilangan orang yang kita cintai. Duka
menurut Papalia, dkk (2008: 957) ialah kehilangan, karena kematian seseorang
yang dirasakan dekat dengan yang sedang berduka dan proses penyesuaian diri
kepada kehilangan. Menurut Parkes and Weiss, 1983 (dalam Stewart, dkk,
1988: 605) dukacita merupakan trauma paling berat yang pernah dirasakan
oleh kebanyakan orang.
Fitria, A., (2013). GRIEF PADA REMAJA AKIBAT KEMATIAN
ORANGTUA SECARA MENDADAK. Semarang.
http://lib.unnes.ac.id/18463/1/1550408014.pdf (19 Sept 2017).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan dari pendapat beberapa ahli, pengertian
berduka merupakan suatu emosional dan respon yang ada diri manusia yang
disertai dengan adanya kehilangan mengenai sesuatu yang disayangi.
3. Faktor yang mempengaruhi kehilangan
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Menurut Potter & Perry (2005), menyatakan bahwa faktor yang
memprngaruhi kehilangan yaitu bagaimana persepsi individu terhadap
kehilangan, tahap perkembangan, kekuatan/koping mekanisme, dan support
system.
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017).
4. Faktor yang mempengaruhi berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Ada beberapa faktor yang menyebabkan grief, faktor tersebut dikemukakan
oleh (Aiken, 1994: 164), yaitu:
a. Hubungan individu dengan almarhum
b. Kepribadian, usia, dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan
c. Proses Kematian
Fitria, A., (2013). GRIEF PADA REMAJA AKIBAT KEMATIAN
ORANGTUA SECARA MENDADAK. Semarang.
http://lib.unnes.ac.id/18463/1/1550408014.pdf (19 Sept 2017).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan proses berduka dapat digolongkan
menjadi patofisiologis (kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder akibat
kardiovaskuler, trauma, muskloskeletal, dan lain-lain); tindakan: dialisis jangka
panjang, operasi (mastektomi, kolostomi, histerektomi); disfungsional:
penyakit terminal, kematian, perpisahan, perceraian, pensiun, anak akan
meninggalkan rumah, dan lain-lain; dan maturasional: penuaan.
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017).
5. Proses berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Menurut Puri, Laking, dan Treasaden (2011) proses berduka merupakan
suatu proses psikologis dan emosional yang dapat diekspresikan secara internal
maupun eksternal setelah kehilangan. Individu yang berduka membutuhkan
waktu untuk menerima suatu peristiwa kehilangan, dan proses berduka
merupakan suatu proses yang sangat individual. Rotter (2009) mengatakan
bahwa proses berduka memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan waktu,
dapat difasilitasi tetapi tidak dapat dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti
tahap yang dapat diprediksi. Pada saat proses berduka, tidak ada yang tahu akan
dilewati sampai berapa lama, yang terpenting adalah memfasilitasi individu
yang sedang dalam proses berduka agar sampai pada proses penerimaan.
Salim, J. F., (2014). PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG
YANG DICINTAI YANG DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN
NGADA. Jakarta. http://ejournal.stik-
sintcarolus.ac.id/file.php?file=mahasiswa&id=488&cd=0b2173ff6ad6a6fb0
9c95f6d50001df6&name=ARTIKEL%20ILMIAH%20JULIAN%20FRITZ
%20CHESAR%20PRATAMA%20SALIM.pdf (19 Sept 2017).
6. Tahapan berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Menurut oleh Kubler-Ross (1969) dalam Videbeck (2008) menyatakan
bahwa tahapan bedruka adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut lima
tahap, yaitu denial, anger, bargaining, depresi, dan acceptance.
a. Fase pengingkaran (denial) adalah perasaan tidak percaya, syok,
biasanya ditandai dengan menangis, gelisah, lemah, letih, dan pucat.
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
b. Fase kemarahan (anger), dimana perasaan marah dapat diproyeksikan
pada orang atau benda yang ditandai dengan muka merah, suara keras,
tangan mengepal, nadi cepat, gelisah, dan perilaku agresif. Pada fase ini
individu akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan
marah.
c. Fase tawar menawar (Bargaining), pada fase ini individu mampu
mengungkapkan rasa marah akan kehilangan, ia akan mengekspresikan
rasa bersalah, takut dan rasa berdosa. Peran perawat pada tahap ini
adalah diam, mendengarkan, dan memberikan sentuhan terapeutik.
(Kubler-Ross, 1969 dalam Videbeck, 2008).
d. Fase depresi (depression), fase ini terjadi ketika kehilangan disadari dan
timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Peran perawat
pada fase ini tetap mendampingi individu dan tidak meninggalkannya
sendiri.
e. Fase penerimaan (acceptance), dimana fase ini berkaitan dengan
reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran yang berpusat pada objek
kehilangan mulai berkurang. Peran perawat pada tahap ini menemani
klien bila mungkin, bicara dengan pasien, dan menanyakan apa yang
dibutuhkan klien. (Kubler-Ross, 1969 dalam Videbeck, 2008).
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017).
7. Asuhan Keperawatan berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mengkaji perasaan sedih, menangis,
perasaan putus asa, kesepian, mengingkari kehilangan, kesulitan
mengekspresikan perasaan, konsentrasi menurun, kemarahan yang
berlebihan, tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain,
merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan, reaksi emosional yang
lambat, serta adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas (Videbeck, 2008 dan NANDA, 2011).
b. Diagnosa Keperawatan
Data hasil pengkajian memunculkan diagnosa keperawatan Berduka
disfungsional. Berduka disfungsional adalah sesuatu respon terhadap
kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan dimana individu tetap
terfiksasi dalam satu tahap proses berduka untuk suatu periode waktu yang
terlalu lama, atau gejala berduka yang normal menjadi berlebihlebihan
untuk suatu tingkat yang mengganggu fungsi kehidupan. Faktor yang
berhubungan meliputi antisipasi kehilangan objek yang berarti (misal harta
benda, pekerjaan, status, rumah, bagian dari proses tubuh), antisipasi
kehilangan orang terdekat, kematian orang terdekat, serta kehilangan objek
yang berarti (NANDA, 2011).
c. Rencana Keperawatan
 Tentukan pada tahap berduka mana pasien terfiksasi. Identifikasi
perilaku-perilaku yang berhubungan dengan tahap ini. Rasional:
Pengkajian data dasar yang akurat adalah penting untuk
perencanaan keperawatan yang efektif bagi pasien yang berduka.
 Kembangkan hubungan saling percaya dengan pasien. Perlihatkan
empati dan perhatian. Jujur dan tepati semua janji. Rasional: Rasa
percaya merupakan dasar untuk suatu kebutuhan yang terapeutik.
 Perlihatkan sikap menerima dan membolehkan pasien untuk
mengekspresikan perasaannya secara terbuka. Rasional: Sikap
menerima menunjukkan kepada pasien bahwa anda yakin bahwa ia
merupakan seseorang pribadi yang bermakna sehingga rasa percaya
diri meningkat.
 Dorong pasien untuk mengekspresikan rasa marah. Bantu pasien
untuk mengeksplorasikan perasaan marah sehingga pasien dapat
mengungkapkan secara langsung kepada objek atau orang
/pribadiyang dimaksud. Rasional: Pengungkapan secara verbal
perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam dapat
membantu pasien sampai kepada hubungan dengan persoalan-
persoalan yang belum terpecahkan.
 Bantu pasien untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam
dengan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas motorik kasar.
Rasional: Latihan fisik memberikan suatu metode yang aman dan
efektif untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam.
 Ajarkan tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku
yang berhubungan dengan setiap tahap. Bantu pasien untuk
mengerti bahwa perasaan seperti rasa bersalah dan marah terhadap
konsep kehilangan adalah perasaan yang wajar dan dapat diterima
selama proses berduka. Rasional: Pengetahuan tentang
perasaanperasaan yang wajar yang berhubungan dengan berduka
yang normal dapat menolong mengurangi beberapa perasaan
bersalah menyebabkan timbulnya respon-respon ini.
 Dorong pasien untuk meninjau hubungan dengan konsep
kehilangan. Dengan dukungan dan sensitivitas, menunjukkan
realita situasi dalam area-area dimana kesalahan presentasi
diekspresikan. Rasional; Pasien harus menghentikan persepsi
idealisnya dan mampu menerima baik aspek positif maupun negatif
dari konsep kehilangan sebelum proses berduka selesai seluruhnya.
 Bantu pasien dalam memecahkan masalahnya sebagai usaha untuk
menentukan metoda-metoda koping yang lebih adaptif terhadap
pengalaman kehilangan. Berikan umpan balik positif untuk
identifikasi strategi dan membuat keputusan. Rasional: Umpan
balik positif meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan
perilaku yang diharapkan;
d. Evaluasi
Evaluasi akhir dari pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
berduka disfungsional, yaitu klien diharapkan mampu untuk menyatakan
secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal dan perilaku yang
berhubungan dengan tiap-tiap tahap; mampu mengidentifikasi posisinya
sendiri dalam proses berduka dan mengekspresikan perasaannya yang
berhubungan dengan konsep kehilangan secara jujur; dan klien tidak terlalu
lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang berlebihan
yang berhubungan dengan berduka disfungsional dan mampu
melaksanakan aktifitasaktifitas hidup sehari-hari secara mandiri (NANDA,
2011).
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017)

Nama : Erlina Dwi Kurniasari


NIM : 131611133028
Tanggapan :
Kehilangan merupakan kejadian yang dialami tiap individu dalam menjalani
kehidupan ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada. Suatu keadaan
yang muncul dari diri seseorang yang sejak lahir sudah mengalami kehilangan dan
biasanya mengalaminya kembali meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Laluyan, M. M., Kanine, E.,& Wowiling, F. (2014). GAMBARAN TAHAPAN
KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA BANJIR PADA MASYARAKAT DI
KELURAHAN PERKAMIL KOTA MANADO. JURNAL
KEPERAWATAN, 2(2).
Nama : Erlina Dwi Kurniasari
NIM : 131611133028
Tanggapan :
Berduka dan kehilangan merupakan suatu bagian integral dari kehidupan.
Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau
keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga muncul perasaan
kehilangan. Kehilangan merupakan pengelaman yang pernah dialami oleh setiap
individu selama rentang kehidupannya. Kehilangan mungkin terjadi secara
bertahap atau mendadak, bisa saja tanpa kekerasan atau traumatik, diantisipasi
atau tidakdiharapakan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak
dapat kembali.
Puspita, Rina, Sinta D., Siti N., dkk.(2013). HUBUNGAN KEHILANGAN
PASANGAN HIDUP (PROSES GRIEVING) TERHADAP TINGKAT
KECEMASAN LANSIA DESA CILONGOK TANGERANG.Tangerang. Jurnal
Ilmiah Kesehatan, Vol.7 Desember 2013. ISSN 2086-9266
Nama : Erlina Dwi Kurniasari
NIM : 131611133028
Tanggapan :
Dukacita merupakan suatu proses kompleks yang normal meliputi respons dan
perilaku emosional, fisik, sipritual, sosial, dan intelektual ketika individu,
keluarga, dan komunitas memasukkan kehilangan yang aktual, adaptif, atau
dipersepsikan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing:
Definitions & Classification, 2015-2017. 10nd end. Oxford: Wiley Blackwell

Nama : Erlina Dwi Kurniasari


NIM : 131611133028
Tanggapan :
Menurut teori Engel (1964) dalam Potter & Perry (2005) suatu proses berduka
atau kehilangan melalu 3 fase yaitu menyangkal kejadian yang ada, mulai merasa
kehilangan lalu mungkin merasa putus asa, mulai menerima kehilangan yang ada
lalu pelan-pelan bangkit untuk mengahdapi fakta yang terjadi. Menurut Kubler-
Ross (1969) dalam Potter & Perry (2005) tahapan seseorang berduka yang
pertama menyangkal,marah dan tawarmenawar; kedua proses depresi; ketiga
tahap penerimaan. Teori Rando (1991) dalam Potter & Perry (2005) ketika
seseorang kehilangan proses yang dilalui yaitu penghindaran realitas yang ada,
konfrontasi dimana emosi tingkat tinggi lalu akomodasi penurunan emosi dan
kembali menjalani dunia sosial sehari-hari.
Ayu, Sinta R., Arum P., Dian N.(2015). Mekanisme Koping Pada Pasien
Terdiagnosa Kanker Paru di Rumah Sakit Islam Surakarta.Surakarta. FAKULTAS
ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Nama : Erlina Dwi Kurniasari


NIM : 131611133028
Tanggapan :
Intervensi Keperawatan tentang Dukacita
Dukacita berhubungan dengan kematian orang terdekat
Definisi: suatu proses kompleks yang normal meliputi respons dan perilaku
emosional, fisik, sipritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan
komunitas memasukkan kehilangan yang aktual, adaptif, atau dipersepsikan ke
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
(Domain 9. Koping/Toleransi Stress. Kelas 2 Respons Koping. Kode 00136)
NOC :
Tujuan : dalam waktu satu minggu, klien dapat mengikhlaskan kematian orang
terdekatnya
1. [2608] Ketahanan keluarga
Definisi : Kapasitas dari sebuah keluarga untuk beradaptasi secara positif
dan berfungsi setelah mengalami kesulitan yang signifikan atau krisis
- (260801) Bergerak kembali dengan cepat setelah mengalami kesulitan
Rasional : dengan bergerak kembali dengan cepat setelah mengalami
kesulitan klien dapat segera melupakan dukacita yang dialami
- (260803) Beradaptasi dengan kesulitan sebagai suatu tantangan
Rasional : agar klien dapat termotivasi untuk bangkit dari keterpurukan
- (260809) Mendukung anggota keluarga
- Rasional : dengan mendukung anggota keluarga, klien dapat
menciptakan suasana ikhlas terhadap kematian orang terdekatnya
2. [1304] Resolusi berduka
Definisi : Tindakan individu untuk menyesuaikan pikiran, perasaan, dan
perilaku dalam mengahadapi kehilangan aktual atau [kehilangan] yang akan
terjadi
- (130401) menyampaikan perasaan akan penyelesaian mengenai
kehilangan
Rasional : dengan menyampaikan perasaannya, klien setidaknya bisa
sedikit tenang
- (130404) Menyatakan menerima kehilangannya
Rasional : agar klien bisa mengikhlaskan kematian orang terdekatnya
- (130418) Membagi perasaan kehilangan dengan orang terdekat
- Rasional : dengan menyampaikan perasaannya, klien setidaknya bisa
sedikit tenang dan mendapat dukungan dari orang terdekatnya
NIC :
1. (5230) Peningkatan koping
Definisi: Fasilitasi usaha kognitif dan perilaku untuk mengelola stressor
yang dirasakan, perubahan, atau ancaman yang mengganggu dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup dan peran
- Membantu klien dalam mengidentifikasi tujuan jangka pendek dan
jangka panjang yang tepat
- Rasional : dengan membantu klien dalam mengidentifikasi tujuan
jangka pendek dan jangka panjang yang tepat, klien dapat termotivasi
untuk bangkit dari keterpurukan
- Membantu klien untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang
konstruktif
Rasional : agar klien dapat mengurangi dukacitanya
- Mengenali latar belakang budaya/spiritual klien
- Rasional : Dengan mengenali latar belakang budaya/spiritual klien,
perawat dan mengerti karakteristik pribadi klien seperti apa

2. (5290) Fasilitasi proses berduka


Definisi : membantu menyelesaikan kehilangan [sesuatu] yang bermakna
[bagi klien]
- Mendukung klien untuk mengekspresikan perasaan mengenai
kehilangan
Rasional : dengan mengekspersikan perasaannya, perawat dapat
mengerti hal apa yang harus dilakukan terhadap klien
- Membantu mengidentifikasi strategi-strategi koping pribadi
Rasional : agar klien dapat mengendalikan stressor dengan baik
- Menggunakan bahasa yang jelas, misalnya kematian, daripada bahasa
kiasan
- Rasional : agar klien dapat mengerti yang dikatakan oleh perawat
Daftar pustaka :
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing
Diagnoses:
Definitions & Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford: Wiley
Blackwell.

Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC). 5th ed. United states of America: Mosby
Elseiver
Dochteran, J. M., & Bulechek, G. M. (2013). Nursing Interventions
Classification (NOC). 6th ed. America: Mosby Elseiver

NAMA : ALFERA NOVITASARI


NIM : 131611133029
TANGGAPAN :

1. Definisi kehilangan dan berduka


 Kehilangan adalah suatu keadaan di mana seseorang dipisahkan atau
terpisah dari orang lain, objek, status, atau hubungan yang dianggap
berharga. Kehilangan dapat berupa kematian atau jenis-jenis
pengakhiran lain (Corr, Nabe, & Corr, 2009). Menurut Bonanno
(dalam Boerner & Jopp, 2010), kehilangan hal yang berharga akan
memicu reaksi stres yang memaksa manusia untuk mempertahankan
atau meningkatkan sumber daya yang dimiliki dalam menyikapinya.

Apriyanty, P., & Garey, E. (2017). DINAMIKA RESILIENSI


PADA ORANGTUA DARI ANAK YANG MENINGGAL
KARENA KANKER. Noetic Psychology, 3(2), 25-40.

Menurut Papalia, Olds, dan Feldman(2008), kehilangan juga akan


menyebabkan perubahan status dan peran pada seseorang, seperti
seorang istri yang menjadi janda setelah ditinggal oleh suaminya.

Saputra, A., & Abidin, Z. (2016). PENGALAMAN KEHILANGAN


ANAK PADA IBU KORBAN TRAGEDI TRISAKTI
1998. Jurnal Empati, 5(2), 236-240.

 Berduka adalah suatu keadaan dimana individu atau keluarga lebih


dulu mengalami respon manusia alami yang melibatkan reaksi
psikososial dan fisiologis pada kehilangan aktual atau dirasakan
(orang, objek, fungsi, status, hubungan) (Carpenito, 2000)

MULYANI, S. (2007). Asuhan Keperawatan Pada NY. H Post


sectio Caesaria Indikasi Partus Tak Maju Di Ruang Mawar I
RSUD dr. MOEWARDI SURAKARTA (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Menurut Suliswati,dkk (2005) mengatakan bahwa berduka adalah


reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respons emosional yang
normal. Individu yang berduka kadang – kadang tidak mampu untuk
menjalani perasaan berduka secara normal. Sebagai contoh individu
yang berduka akan mengalami depresi yang berat dari yang biasa
apalagi bila berhubungan rat dengan ambisi, pengharapan, harga
diri, kemampuan atau rasa aman yang dialami oleh individu dengan
konsep diri yang miskin atau harga diri rendah mudah terjatuh pada
kondisi depresi (Suliswati, dkk, 2005).

Supriadi, D. (2017). HUBUNGAN ANTARA RESPON


PENERIMAAN INDIVIDU DENGAN KECEMASAN
PADA PASIEN GANGGUAN KARDIOVASKULER
DIRUANG JANTUNG RS. DUSTIRA CIMAHI.
HUBUNGAN ANTARA RESPON PENERIMAAN INDIVIDU
DENGAN KECEMASAN PADA PASIEN GANGGUAN
KARDIOVASKULER DIRUANG JANTUNG RS. DUST, 1(1).

2. Proses berduka
Berdasarkan teori dukacita yang diungkapkan oleh Bowlby (dalam
Jeffreys, J.S., 2005), ada empat fase atau proses yang terjadi ketika individu
berpisah dari sosok terdekat dalam kehidupan mereka, seperti orangtua,
kekasih, saudara, kerabat maupun binatang peliharaan :
 Fase pertama, mati rasa (numbing), individu menutup diri
(shutdown), menyangkal (denial), tidak realistis selama beberapa
hari sampai beberapa minggu.
 Fase kedua, kerinduan dan mencari (yearning and searching), yaitu
individu yang berduka mencoba memulihkan keadaan seseorang
yang menjadi objek kehilangan. Ini merupakan “attachment
behavioru”. Orang yang berkabung mengalami hasutan dan distres
seperti, memanggil nama dari orang (almarhum) yang dicintai,
menggunakan pakaian yang merupakan milik almarhum, dan
merenungkan tentang apa yang telah hilang dari kehidupan
pribadinya.
 Fase ketiga, kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa
(disorganization and despair), yaitu fase di mana harapan untuk bisa
bertemu kembali dengan almarhum memudar dan individu yang
berkabung mengakui bahwa orang yang dicintai tidak akan pernah
kembali. Rasa putus asa, kelelahan (fatigue), kehilangan motivasi,
dan apatis sudah menjadi kebiasaan umum individu yang berduka.
 Fase keempat, pulih kembali (reorganization), yaitu individu
membuat suatu definisni baru mengenai dirinya, membuat pola-pola
baru dalam hal pikiran, perasaan, dan perbuatannya.

Lawole, N. P. A. (2012). Dukacita (Grief) pada Orang Toraja yang


Melaksanakan Ritual Pemakaman Rambu Solo' (Doctoral
dissertation, Program Studi Psikologi FPSI-UKSW).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka


Menurut Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008) ada tiga faktor yang
menyebabkan individu berduka :
 Pertama, hubungan individu dengan almarhum, yaitu hubungan yang
sangat baik dengan orang yang telah meninggal diasosiasikan dengan
proses dukacita yang sangat sulit.
 Kedua, yaitu kepribadian, usia, jenis kelamin orang yang ditinggalkan.
Perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan usia orang yang
ditinggalkan. Secara umum dukacita lebih menimbulkan stres pada
orang yang usianya lebih muda.
 Ketiga, proses kematian, yaitu cara dari seseorang yang meninggal juga
dapat menimbulkan perbedaan reaksi pada orang yang ditinggalkan.
Pada kematian yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan
akan lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari
orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan
perasaan tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi dukacita.

Lawole, N. P. A. (2012). Dukacita (Grief) pada Orang Toraja yang


Melaksanakan Ritual Pemakaman Rambu Solo' (Doctoral
dissertation, Program Studi Psikologi FPSI-UKSW).
Nama : NI PUTU NENI INDRIYANI
NIM : 131611133031

Tanggapan :

RASA KEHILANGAN DAN BERDUKA

A. Definisi Kehilangan dan Berduka


Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu
yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit
dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai,
dan kesempatan.
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal
dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Seorang individu harus
diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui proses
berduka, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan
berduka dan merupakan bagian dari proses kehidupan.
Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual, dipersepsikan,
atau sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek yang hilang, dapat
merupakan objek eksternal, orang yang berarti, lingkungan, aspek diri, atau aspek
kehidupan. Berbagai hal yang mungkin dirasakan hilang ketika seseorang
mengalami sakit apalagi sakit kronis antara lain sebagai berikut.

B. Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka


Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang :
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas
tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta
restitusi.
a. Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima
pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang
dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan
secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.

b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain,
perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan
menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.

c. Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.

2. Fase jangka panjang


a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang
tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa
individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang
lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan menggunakan
alkohol.

Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada
perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya
perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang
peristiwa kehilangan yang terjadi.

3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk
melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi
kembali dalam kegiatan sosial.
c. Tahapan Proses Kehilangan
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah
(anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui
setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung
pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada
stagnasi pada satu fase marah atau depresi.

Sumber :

Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa.


Jakarta: EGC.

Yusuf, A., Fitryasari, P. K., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar


Keperawatan Kesehatan Jiwa.

Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika terjadi perubahan dalam hidup atau berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan. Dukacita adalah proses dimana
seseorang mengalami respon psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang
dipersepsikan. Proses dukacita memiliki sifat yang mendalam, internal,
menyedihkan dan berkepanjangan. Dukacita dapat ditunjukkan melalui pikiran,
perasaan maupun perilaku yang bertujuan untuk mencapai fungsi yang lebih
efektif dengan mengintegrasikan kehilangan ke dalam pengalaman hidup. Pada
saat seseorang yang berduka ingin mencapai fungsi yang lebih efektif, maka ia
harus melewati beberapa tahapan berduka, dimana untuk mewujudkannya
membutuhkan waktu yang cukup lama dan upaya yang cukup keras.
Givens JL, Prigerson HG, Kiely DK, Shaffer ML, Mitchell SL. Grief among
Family Members of Nursing Home Residents with Advanced
Dementia. The American journal of geriatric psychiatry : official
journal of the American Association for Geriatric Psychiatry.
2011;19(6):543-550. doi:10.1097/JGP.0b013e31820dcbe0.

menurut Dickinson (2007) Berduka merupakan reaksi dari kehilangan maupun


reaksi dari ketakutan akan kehilangan seseorang. Maksutnya berduka disini ialah
tidak hanya muncul ketika seseorang mengalami suatu kehilangan namun dimana
ada firasat tertentu yang dengan jelas akan merasakan seseorang yang dicintai.
Proses berduka yang dimulai sebelum kehilangan orang yang dekat atau saat
seseorang menghadapi kematianya sendiri disebut dengan anticipatory grief
(gilbert,2000) Namun menurut rando (1984), anticipatory grief ini lebih
difokuskan pada keluarga di mana salah satu anggota keluarganya menderita
terminal ill dan sedang menanti ajalnya.
Kersting A, Wagner B. Complicated grief after perinatal loss. Dialogues in
Clinical Neuroscience. 2012;14(2):187-194.

Teori Bowlby menjelaskan bahwa proses berduka akibat suatu kehilangan


memiliki empat fase yaitu mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan,
kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada, kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional,
mendapatkan dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan. sehari-hari, dan
tahap terakhir adalah reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat
mengembalikan hidupnya.
Shear MK, Simon N, Wall M, et al. COMPLICATED GRIEF AND RELATED
BEREAVEMENT ISSUES FOR DSM-5. Depression and anxiety.
2011;28(2):103-117. doi:10.1002/da.20780.

Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.


Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu
tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara
bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau
tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat
kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan
pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya.
Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah
tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum
terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual
maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini
kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Nama : Rizki Jian


NIM : 131611133032
Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika terjadi perubahan dalam hidup atau berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan. Dukacita adalah proses dimana
seseorang mengalami respon psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang
dipersepsikan. Proses dukacita memiliki sifat yang mendalam, internal,
menyedihkan dan berkepanjangan. Dukacita dapat ditunjukkan melalui pikiran,
perasaan maupun perilaku yang bertujuan untuk mencapai fungsi yang lebih
efektif dengan mengintegrasikan kehilangan ke dalam pengalaman hidup. Pada
saat seseorang yang berduka ingin mencapai fungsi yang lebih efektif, maka ia
harus melewati beberapa tahapan berduka, dimana untuk mewujudkannya
membutuhkan waktu yang cukup lama dan upaya yang cukup keras.
Givens JL, Prigerson HG, Kiely DK, Shaffer ML, Mitchell SL. Grief among
Family Members of Nursing Home Residents with Advanced
Dementia. The American journal of geriatric psychiatry : official
journal of the American Association for Geriatric Psychiatry.
2011;19(6):543-550. doi:10.1097/JGP.0b013e31820dcbe0.

menurut Dickinson (2007) Berduka merupakan reaksi dari kehilangan maupun


reaksi dari ketakutan akan kehilangan seseorang. Maksutnya berduka disini ialah
tidak hanya muncul ketika seseorang mengalami suatu kehilangan namun dimana
ada firasat tertentu yang dengan jelas akan merasakan seseorang yang dicintai.
Proses berduka yang dimulai sebelum kehilangan orang yang dekat atau saat
seseorang menghadapi kematianya sendiri disebut dengan anticipatory grief
(gilbert,2000) Namun menurut rando (1984), anticipatory grief ini lebih
difokuskan pada keluarga di mana salah satu anggota keluarganya menderita
terminal ill dan sedang menanti ajalnya.
Kersting A, Wagner B. Complicated grief after perinatal loss. Dialogues in
Clinical Neuroscience. 2012;14(2):187-194.

Teori Bowlby menjelaskan bahwa proses berduka akibat suatu kehilangan


memiliki empat fase yaitu mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan,
kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada, kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional,
mendapatkan dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan. sehari-hari, dan
tahap terakhir adalah reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat
mengembalikan hidupnya.
Shear MK, Simon N, Wall M, et al. COMPLICATED GRIEF AND RELATED
BEREAVEMENT ISSUES FOR DSM-5. Depression and anxiety.
2011;28(2):103-117. doi:10.1002/da.20780.

Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.


Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu
tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara
bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau
tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat
kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan
pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya.
Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu.

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan


yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah
tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum
terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual
maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini
kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Nama: Erva Yulinda Maulidiana


NIM: 131611133033
Tanggapan:
1. Definisi kehilangan dan berduka
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial dimana sesuatu yang digaet
berubah atau tidak lagi tersedia. Orang bisa mengalami kehilangan citra tubuh,
hal penting lainnya, rasa kesejahteraan, pekerjaan, kepemilikan pribadi, atau
keyakinan. Penyakit dan rawat inap sering menimbulkan kerugian.
Berduka adalah respon total terhadap pengalaman emosional yang terkait
dengan kerugian. Duka diwujudkan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku yang
terkait dengan kesedihan atau kesedihan yang luar biasa
Kozier, B. J., Glenora Erb BScN, R. N., Berman, A. T., Snyder, S., Madeleine
Buck, R. N., & Lucia Yiu, R. N. (2015). Fundamentals of Canadian
nursing: Concepts, process, and practice. Pearson Education Canada.
2. Proses kehilangan dan berduka
Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999 Proses dukacita sebagai suatu
proses yang melalui empat tahap, yaitu :
i. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
ii. Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan
ketidaknyamanan fisik yang umum.
iii. Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan
dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita,
membaca dan bimbingan spiritual.
iv. Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai
bagian kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan
tidak berarti bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima
Sari, Rosi A., (2015). Pengalaman Kehilangan (loss) dan Berduka (grief) pada
Ibu Preeklampsi yang Kehilangan Bayinya. Semarang
3. Faktor kehilangan dan berduka
Beberapa faktor mempengaruhi respons seseorang terhadap kehilangan atau
kematian. Faktor-faktor ini meliputi usia, signifikansi kehilangan, budaya,
kepercayaan spiritual, jenis kelamin, status sosial ekonomi, sistem
pendukung, dan penyebabnya
USIA
Usia mempengaruhi pemahaman dan reaksi seseorang terhadap kerugian.
Dengan keterbatasan, orang biasanya meningkatkan pemahaman dan
penerimaan hidup, kehilangan, dan kematian mereka.
Orang jarang mengalami kehilangan orang yang dicintai di antar vals
reguler. Akibatnya, persiapan untuk pengalaman ini memang sulit. Kerugian
hidup lainnya, seperti kehilangan hewan peliharaan, teman, masa muda, atau
pekerjaan, dapat membantu orang lain mengantisipasi kematian yang lebih
parah dari orang yang dicintai dengan mengajar mereka berhasil mengatasi
dengan tenang
SIGNIFIKANSI KEHILANGAN
Signifikasi kehilangan bergantung pada persepsi individu yang mengalami
kerugian. Satu orang mungkin mengalami rasa kehilangan karena perceraian;
Yang lain mungkin merasa sedikit terganggu. Faktor eral mempengaruhi
signifikansi kerugian:
• Pentingnya orang yang hilang, objek, atau fungsi
• Tingkat perubahan yang dibutuhkan karena kehilangan
• Keyakinan dan nilai orang tersebut.
Bagi orang lanjut usia yang telah mengalami banyak kerugian, kerugian
yang diantisipasi seperti kematian mereka sendiri mungkin tidak dipandang
sangat negatif, dan mungkin saja mereka lebih apatis terhadapnya daripada
bersikap reaktif. Lebih dari takut akan kematian, beberapa mungkin takut
kehilangan kendali atau menjadi beban.
BUDAYA
Budaya mempengaruhi reaksi seseorang terhadap kerugian. Bagaimana
kesedihan yang didengar ditekan sering ditentukan oleh kebiasaan budaya. Jika
tidak ada struktur keluarga besar, kesedihan ditangani oleh keluarga inti.
Kematian anggota keluarga di keluarga inti yang khas meninggalkan
kekosongan yang besar karena beberapa individu yang sama mengisi sebagian
besar perannya. Dalam budaya di mana beberapa generasi dan anggota
keluarga besar tinggal di rumah yang sama atau secara fisik dekat, dampak
kematian anggota keluarga mungkin melunak karena peran almarhum cepat
dipenuhi oleh keluarga lain.
KEYAKINAN SPIRITUAL
Keyakinan dan praktik spiritual sangat mempengaruhi tindakan seseorang
terhadap kerugian dan perilaku selanjutnya. Sebagian besar kelompok agama
memiliki praktik yang berkaitan dengan kematian, dan ini sering penting bagi
klien. Untuk memberikan dukungan pada saat kematian, Perawat perlu
memahami kepercayaan dan praktik klien tertentu
JENIS KELAMIN
Peran gender di mana banyak orang disosialisasikan di Amerika Serikat
mempengaruhi reaksi mereka pada saat-saat kehilangan. Laki-laki sering
diharapkan untuk "menjadi kuat" dan menunjukkan sedikit emosi saat
mengalami kesedihan, padahal perempuan dapat diterima untuk menunjukkan
kesedihan dengan menangis. Ketika seorang istri meninggal, suami, yang
merupakan pemuja utama, dapat diharapkan untuk menekan emosinya sendiri
dan untuk menghibur putra dan putri mereka yang sedang berduka.
Peran gender juga mempengaruhi signifikansi perubahan citra tubuh untuk
klien Seorang pria mungkin menganggap bekas luka wajahnya sebagai
"macho," tapi seorang wanita mungkin menganggapnya jelek. Jadi wanita itu,
tapi bukan orangnya, akan melihat perubahan itu sebagai kerugian.
STATUS SOSIAL EKONOMI
Status sosioekonomi seseorang sering mempengaruhi sistem pendukung
yang tersedia pada saat terjadi kerugian. Sebuah program pensiun atau
asuransi, misalnya, dapat menawarkan seseorang yang janda atau cacat
memilih cara untuk mengatasi kerugian; Seseorang yang dihadapkan pada
kerugian dan kesulitan ekonomi mungkin tidak dapat mengatasi keduanya.
SISTEM PENDUKUNG
Orang-orang yang paling dekat dengan orang yang berduka sering kali
pertama mengenali dan memberikan bantuan emosional, fisik, dan fungsional
yang dibutuhkan. Namun, karena banyak orang merasa tidak nyaman atau tidak
berpengalaman dalam menghadapi kerugian, orang yang biasa mendukung
malah menarik diri dari individu yang sedang berduka. Selain itu, dukungan
mungkin tersedia saat kerugian pertama kali dikenali, namun saat orang-orang
yang mendukung kembali ke aktivitas mereka yang biasa, kebutuhan akan
supra yang sedang berlangsung mungkin tidak terpenuhi. Terkadang, individu
yang berduka tidak dapat atau tidak mau menerima dukungan saat ditawarkan.
PENYEBAB KEHILANGAN ATAU KEMATIAN
Pandangan individu dan masyarakat tentang penyebab kehilangan atau
kematian mungkin secara signifikan mempengaruhi respons duka cita.
Kozier, B. J., Glenora Erb BScN, R. N., Berman, A. T., Snyder, S., Madeleine
Buck, R. N., & Lucia Yiu, R. N. (2015). Fundamentals of Canadian
nursing: Concepts, process, and practice. Pearson Education Canada.
4. Tahapan kehilangan dan berduka
Tahapan berduka menurut Kubler-Ross pada tahun 1969 Elisabeth Kubler-
Ross menetapkan lima tahapan berduka, yaitu :
i. Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.
ii. Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau
pemberi perawatan kesehatan.
iii. Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih
banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat
dihindari.
iv. Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
v. Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tandatanda bahwa
ia menerima kematian. Model ini menjadi prototype untuk pemberi
perawatan ketika mereka mencari cara memahami dan membantu klien
dalam proses berduka
Sari, Rosi A., (2015). Pengalaman Kehilangan (loss) dan Berduka (grief) pada
Ibu Preeklampsi yang Kehilangan Bayinya. Semarang

5. Asuhan keperawatan kehilangan dan beduka


Pengkajian
Penilaian keperawatan terhadap klien yang mengalami kerugian mencakup tiga
komponen utama:
(1) riwayat keperawatan,
(2) penilaian sumber daya pribadi, dan
(3) penilaian fisik. Selama penilaian kesehatan rutin setiap klien, perawat
mengajukan pertanyaan mengenai kerugian sebelumnya dan saat ini. Sifat
kerugian dan signifikansi kerugian tersebut terhadap klien harus dieksplorasi.
Jika ada kerugian saat ini atau baru-baru ini, diperlukan detail yang lebih besar
dalam penilaian. Karena klien tidak selalu mengasosiasikan penyakit fisik dengan
respons emosional seperti kesedihan, perawat mungkin perlu menyelidiki
kemungkinan stres terkait kerugian. Jika klien melaporkan kerugian yang
signifikan, periksa bagaimana klien biasanya mengatasi kerugian dan sumber daya
apa yang tersedia untuk membantu klien dalam menghadapi tantangan.
Data tentang status kesehatan umum; stresor pribadi lainnya; tradisi
budaya dan spiritual, ritual, dan kepercayaan yang terkait dengan kerugian dan
duka; dan jaringan pendukung orang tersebut akan dibutuhkan untuk menentukan
rencana perawatan (lihat Wawancara Penilaian). Dalam menilai respons klien
terhadap kerugian saat ini, perawat dapat mengidentifikasi kesedihan yang rumit,
yang paling baik ditangani oleh ahli profesional perawatan kesehatan dalam
membantu klien semacam itu. Jika penilaian keperawatan menunjukkan tanda dan
gejala fisik atau psikologis yang parah, klien harus dirujuk ke penyedia perawatan
yang tepat.
Diagnosa
NANDA Diagnosis keperawatan internasional (Herdman &
Kamitsuru, 2014) yang berkaitan secara khusus untuk berduka adalah sebagai
berikut:
Bersedih: proses kompleks yang kompleks yang mencakup emosi, fisik,
spiritual, sosial, dan tanggapan intelektual dan perilaku dimana individu, keluarga,
dan masyarakat memasukkan hal yang aktual, diantisipasi, atau dianggap merugi
dalam kehidupan sehari-hari mereka
Resiko Bersedih untuk kerumitan Bersedih: gangguan yang terjadi
setelah kematian orang lain yang signifikan, di mana pengalaman tertekan yang
menyertai duka cita gagal mengikuti ekspektasi normatif dan bermanifestasi
dalam gangguan fungsional.
Diagnosis keperawatan lainnya mungkin termasuk yang berikut ini:
 Proses Keluarga yang Terganggu jika kerugian tersebut berdampak pada
pembagian dividen dan keluarga sehingga peran dan interaksi efektif yang
biasa terkena dampak negative
 Perilaku Kesehatan Rawan Resiko jika klien memiliki kesulitan besar
dalam menempatkan kerugian dalam perspektif yang sesuai dengan
aktivitas kehidupan lainnya
 Risiko Kesepian berhubungan dengan hilangnya hubungan dengan orang
lain.
Perencanaan
Tujuan keseluruhan untuk klien yang berduka kehilangan fungsi tubuh atau
bagian tubuh adalah menyesuaikan diri dengan kemampuan yang berubah dan
mengalihkan energi fisik dan emosional ke dalam rehabilitasi. Tujuan untuk para
pengunjung yang berduka atas kehilangan orang yang dicintai atau sesuatu adalah
mengingat mereka tanpa merasakan rasa sakit yang mendalam dan untuk
mengalihkan energi emosional ke dalam kehidupan seseorang dan menyesuaikan
diri dengan kerugian yang sebenarnya atau yang akan terjadi.
Perencanaan untuk Home Care
Klien yang mengalami kelanjutan atau mengantisipasi kerugian mungkin
memerlukan asuhan keperawatan untuk membantu mereka dalam beradaptasi
dengan kerugian tersebut. Menentukan berapa banyak dan jenis perawatan di
rumah yang dibutuhkan tindak lanjut sebagian besar didasarkan pada pengetahuan
perawat tentang bagaimana klien dan keluarga mengatasi kerugian
sebelumnya. Untuk mempersiapkan perawatan di rumah, perawat menilai kembali
kemampuan dan kebutuhan klien. Home Care Assessment menggambarkan data
yang dikumpulkan untuk perawatan di rumah atau penilaian tindak lanjut
Implementasi
Selain memberikan kenyamanan fisik, menjaga privasi / martabat, dan
mempromosikan kemandirian, keterampilan yang paling relevan dengan situasi
kehilangan dan kesedihan adalah komunikasi efektif: mendengarkan, diam,
bertanya terbuka dan tertutup, parafrase, mengklarifikasi dan merenungkan
perasaan, dan meringkas. Kurang membantu klien adalah tanggapan yang
memberi saran dan evaluasi, pertanyaan yang bisa ditafsirkan dan dianalisis, dan
pertanyaan yang memberi penilaian yang tidak beralasan. Komunikasi dengan
klien yang berduka harus berhubungan dengan tahap kesedihan mereka. Apakah
klien marah atau depresi mempengaruhi bagaimana klien mendengar pesan dan
bagaimana perawat menafsirkan pernyataan klien.
 Selain menggunakan keterampilan komunikasi yang efektif, perawat
menganjurkan suatu rencana untuk memberikan pengajaran kepada klien
dan keluarga dan untuk membantu klien bekerja melalui tahap-tahap
kesedihan.
 Memfasilitasi kerja dari Kesedihan
 Jelajahi dan hormati nilai etnik, budaya, agama, dan pribadi keluarga
dalam ekspresi kesedihan mereka.
 Ajarkan klien atau keluarga apa yang akan terjadi dalam proses duka cita,
seperti pikiran dan perasaan tertentu yang normal (dapat diterima) dan
emosi labil, perasaan sedih, rasa bersalah, marah, takut, dan kesepian akan
stabil atau berkurang seiring berjalannya waktu. Mengetahui apa yang
harus dilakukan pada pepatah dapat mengurangi intensitas beberapa reaksi
 Dorong klien untuk mengungkapkan dan berbagi kesedihan dengan
dukungan hati. Berbagi perasaan memperkuat hubungan dan memfasilitasi
proses duka cita.
 Ajarkan anggota keluarga untuk mendorong ekspresi kesedihan klien,
jangan mendorong klien untuk melanjutkan atau memaksakan ekspektasi
dirinya terhadap reaksi yang tepat. Jika kliennya masih kecil, anggota
keluarga keberanian harus jujur dan membiarkan anak berpartisipasi
dalam kegiatan berduka orang lain.
 Dorong klien untuk melanjutkan aktivitas normal sesuai jadwal yang
mempromosikan kesehatan fisik dan psikologis. Beberapa klien mungkin
mencoba kembali ke aktivitas normal terlalu cepat. Namun, penundaan
yang sangat lama dalam pengembalian bisa mengindikasikan kesedihan
yang rumit.
 Menyediakan Bantuan Emosional
 Gunakan keheningan dan kehadiran pribadi bersamaan dengan teknik
komunikasi terapuetik. Teknik ini meningkatkan eksplorasi perasaan dan
membiarkan klien tahu bahwa perawat mengenali perasaan mereka
 Akui kesedihan keluarga klien dan orang penting lainnya. Dukungan
keluarga adalah bagian dari dunia klien yang sedang berduka.
 Tawarkan pilihan yang mempromosikan otonomi klien. Klien perlu
memiliki rasa kontrol atas kehidupan mereka sendiri pada saat banyak
kontrol mungkin tidak mungkin dilakukan.
 Memberikan informasi mengenai bagaimana mengakses sumber
komunitas: pendeta, kelompok pendukung, dan layanan konseling.

Evaluasi
Mengevaluasi keefektifan asuhan keperawatan klien yang berduka sulit
karena sifat transisi kehidupan jangka panjang. Kriteria evaluasi harus didasarkan
pada tujuan yang ditetapkan oleh klien dan keluarga.
Tujuan klien dan hasil yang diinginkan terkait untuk klien yang berduka akan
bergantung pada karakteristik kerugian dan klien. Jika keluar tidak tercapai,
perawat perlu menggali mengapa rencananya tidak berhasil. Eksplorasi semacam
itu dimulai dengan menilai ulang klien jika diagnosis keperawatan tidak
tepat. Contoh pertanyaan yang memandu eksplorasi meliputi:
 Apakah perilaku klien yang berduka menunjukkan disfunctional berduka
atau diagnosis keperawatan lainnya?
 Apakah hasil yang diharapkan tidak realistis untuk kerangka waktu yang
diberikan?
 Apakah klien memiliki tambahan stres yang sebelumnya tidak dianggap
ered yang mempengaruhi resolusi duka cita?

Kozier, B. J., Glenora Erb BScN, R. N., Berman, A. T., Snyder, S., Madeleine
Buck, R. N., & Lucia Yiu, R. N. (2015). Fundamentals of Canadian
nursing: Concepts, process, and practice. Pearson Education Canada.

Nama : Indriani Dwi Wulandari


NIM : 131611133034
Tanggapan :
1. definisi dari kehilangan
The term loss is related to the permanent end or destruction of
something. It
involves more than a death of someone it can involve the changes in social
roles and expectations, changes in body image and function (Horn, Payne,
& Relf, 2000). Loss could also be defined as the state of being deprived of
or being without something one has had. Death is not the only loss a
human might experience; yet it is the only loss that is validated as a
legitimate grief experience (Littlewood, 1993).
Dari pendapat tokoh tersebut, maka definisi kehilangan dapat diartikan
sebagai akhir yang tidak dapat diubah kembali atau hancurnya sesuatu,
bukan hanya tentang kematian seseorang, yang juga berdampak pada
perubahan peran sosial, fungsi, dan citra tubuh. Kehilangan juga dapat
diartikan keadaan tidak memiliki hal yang dulu dimilikinya dan dapat
menjadi pengalaman berduka.
Sumber :
Liong, S. W. (2008). “Coping skills of children experiencing loss and grief:|
ba descriptive study among chinese children in salvation army,
Kuching who experienced loss and grief” . Samarahan. Journal
Faculty of Cognitive Sciences and Human Development, 1-5.

2. definisi berduka
Konsep berduka menggambarkan emosi dan sensasi yang menyertai
kehilangan seseorang atau sesuatu yang disayanginya. Kata itu sendiri
awalnya berasal dari bahasa Prancis Kuno yang berarti beban berat. Dalam
bahasa Inggris "grief" berkonotasi akan pengalaman duka cita yang dalam,
yang menyentuh setiap aspek eksistensi.Berduka secara harfiah bisa
"menimbang" orang yang harus menghadapi kenyataan kehilangan yang
memilukan, membawa korban baik secara psikologis dan fisik pada orang
yang berduka. Respon fisiologis dan psikologis yang kompleks mungkin
sangat menyakitkan namun dapat diatasi jika dihadapi dan dialami (Jaffe-
Gill, Smith, dan Segal, 2007).
Menurut sumber tersebut dapat disimpulkan berduka merupakan tekanan
mental yang kuat yang disebabkan oleh kehilangan atau kekecewaan.
Berduka juga dapat diartikan sebagai sebuah proses yang melibatkan
serangkaian pemikiran dan perasaan yang datang setelah kehilangan, dan
sering disertai dengan berkabung. Hal ini sering membuat korban
menghadapi kenyataan yang sulit diterima dan berdampak pada psikologis
dan fisik.
Sedangkan berduka menurut Stroebe dan Schut (1998) adalah perasaan
emosi dan reaksi terhadap kerugian seperti itu yang mencakup beragam
gejala psikologis dan fisik (seperti dikutip Horn, Payne, & Relf, 2000). Ini
adalah perpaduan hal yang kompleks dan memiliki dampak yang
menyakitkan termasuk kesedihan, kemarahan, ketidakberdayaan, rasa
bersalah dan keputusasaan (Raphael, 1999).
Sumber :
Liong, S. W. (2008). “Coping skills of children experiencing loss and grief:|
ba descriptive study among chinese children in salvation army,
Kuching who experienced loss and grief” . Samarahan. Journal
Faculty of Cognitive Sciences and Human Development, 1-5.
3. Faktor kehilangan
faktor kehilangan didapat dari diri sendiri dan dari luar dirinya.
Faktor dari dirinya yaitu seperti:
 kerentanan kepribadian yaitu kondisi fisik, psikologi, spiritual yang
lemah dan berdampak buruk terhadap koping saat terjadi
kehilangan.
 Ciri kepribadian, yaitu terbagi dalam karakter, temperamen, sikap,
stabilitas emosi, responsibilitas, sosiabilitas, realistik, dan baik atau
buruk.
 Umur : biasanya koping yang baik dapat dipengaruhi kematangan
pikiran yang biasa diimbangi dengan kematangan usia
Faktor dari luar diri :
 Perilaku sosial, yaitu bagaimana seseorang bersikap kepada orang
lain saat terjadi kehilangan
 Pola keluarga dalam menghadapi duka cita, yaitu kebiasaan dalam
suatu keluarga saat terjadi kehilangan, hal ini juga merupakan
faktor penting yang mempengaruhi koping

Sumber :
Astuti, Y. D. (2012). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya pada
Kondisi Psikologis Survivor: Tinjauan Tentang Arti Penting
Death Education. HUMANITAS (Jurnal Psikologi Indonesia),
2(1), 41-53.
4. Tahap berduka
Berdasarkan sumber yang saya dapat, tahap berduka yaitu
1. Terjadi suatu musibah
2. Timbul perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain
3. Timbul trauma pada diri individu
4. Adaptasi kembali
Sumber :
Laluyan, M. M., Kanine, E., & Wowiling, F. (2014). GAMBARAN
TAHAPAN KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA
BANJIR PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN
PERKAMIL KOTA MANADO. JURNAL KEPERAWATAN,
2(2).

5. Proses berduka (teori)


Menurut Kubler Ross terdapat 5 tahapan atau proses dalam kehilangan
dan berduka yang berorientasi pada perilaku, yaitu :

 Penyangkalan (denial),

Menurut pendapat saya, pada tahap penyangkalan individu


bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak
untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan dan berduka.

 Kemarahan (anger)

Menurut pendapat saya pada tahap ini individu mulai menerima


namun meresponnya dengan kemarahan yang kadang tidak bisa
dikontrol.
 Penawaran (bargaining).

Menurut pendapat saya tahap ini individu masih dalam situasi


menerima atau tidak menerima.

 Depresi (depression),

Menurut pendapat saya, pada tahap ini terjadi rasa kehilangan


disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut
dan jika koping individu tidak baik maka akan terjadi penurunan
sikap diri dan terjadilah kemurungan dan depresi

 Penerimaan (acceptance).

Menurut pendapat saya, pada tahap ini ditandai individu mampu


menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.

Sedangkan menurut Kubler Rose menyebutkan fase


acceptancesebagai fase penerimaan terhadap kondisi kehilangan
yang ditandai dengan telah mampunya seseorang menghadapi
kenyataan. Dalam kondisi ini yang juga disebut sebagai fase
reorganization kesadaran baru individu telah berkembang
(Pastakyu, 2010)

Sumber :

Dewi, Y. S., Harmayetti, N. D. K., & Wahyuni, E. D.


PENGALAMAN HIDUP PASIEN DENGAN GAGAL
GINJAL TERMINAL. Journal Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga, hal.131

Sumber

Liong, S. W. (2008). “Coping skills of children experiencing loss and grief:|


ba descriptive study among chinese children in salvation army,
Kuching who experienced loss and grief” . Samarahan. Journal
Faculty of Cognitive Sciences and Human Development, 1-5.
Astuti, Y. D. (2012). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya pada
Kondisi Psikologis Survivor: Tinjauan Tentang Arti Penting Death
Education. HUMANITAS (Jurnal Psikologi Indonesia), 2(1), 41-53.
Laluyan, M. M., Kanine, E., & Wowiling, F. (2014). GAMBARAN
TAHAPAN KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA BANJIR
PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN PERKAMIL KOTA
MANADO. JURNAL KEPERAWATAN, 2(2).
Dewi, Y. S., Harmayetti, N. D. K., & Wahyuni, E. D. PENGALAMAN
HIDUP PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL TERMINAL.
Journal Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, hal.131
NAMA : YENNI NISTYASARI
NIM : 131611133035
Tanggapan :
Dfinisi Kehilangan, Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang
dapat dialami individu ketika terjadi perubahan dalam hidup atau berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian ataupun keseluruhan. Teori kehilangan
menggambarkan bagaimana individu beradaptasi dengan kehilangan dan
memahami kematian dari orang terdekat (Kubler-Ross dalam Potter & Perry, 2010).
Dafinisi Berduka, Dukacita adalah proses dimana seseorang mengalami respon
psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon ini
dapat berupa keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah
dan marah. Proses dukacita memiliki sifat yang mendalam, internal, menyedihkan
dan berkepanjangan. Teori berduka secara konstan mengakui respons berduka
individu (Potter & Perry, 2010).
Sumber : dua-duanya
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss)
dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya
(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Pambudiarto, A. A., Widodo, A., Kep, A., Kes, M., & Zulaicha, E. (2012).
Gambaran Konsep Diri: Harga Diri Pada Klien Dengan Amputasi di
Wilayah Karesidenan Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Tahap-tahap Kehilangan
Teori perilaku klasik Kubler-Ross (Potter & Perry, 2010) menggambarkan lima
tahap kematian. Namun tahap-tahap tersebut ditulis dalam suatu kondisi, individu
yang berduka tidak akan mengalaminya dalam kondisi-kondisi tertentu atau untuk
waktu yang panjang dan sering berpindah kembali dan seterusnya dari satu tahap
ke tahap yang lainnya.
1) Tahap penyangkalan (denial) : Fase awal pada tahap kehilangan, individu/
keluarga syok karena kehilangan apa yang biasa dia miliki
2) Tahap kemarahan (anger) : Biasanya induvidu mengeksprsikan
kemarahannya kepada Tuhan, keluarga, teman atau pemberi perawatan
kesehatan.
3) Tahap tawar-menawar (bergaining): Tawar-menawar terjadi ketika individu
menawar untuk mendapat upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat
dihindari
4) Tahap depresi (depression): Depresi terjadi ketika kesadaran individu akan
kehilangan menjadi akut dan berfikir kematian seolah sudah dekat
5) Tahap penerimaan (acceptance): Tahap ini terjadi ketika individu/keluarga
memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia menerima kematian.
Sedangkan proses kehilangan yang ditemukan oleh Bowlby dan Parkes, tidak
ditemukannya tahapan tawar menawar selama proses kehilangan. Bowlby dan
Parkes (1970, dalam Collins, 2008) menyebutkan bahwa tahap tawar menawar
tidak muncul karena pada tahap hasrat mencari penyelesaian, keluarga merasakan
kegelisahan, kemarahan, rasa bersalah dan kebingungan secara bersamaan. Kubbler
Ross (2005), Bowlby dan Parkes (1970, dalam Collins, 2008), dimana tahap akhir
perasaan kehilangan adalah tahap menerima.
Sumber:
Pambudiarto, A. A., Widodo, A., Kep, A., Kes, M., & Zulaicha, E. (2012).
Gambaran Konsep Diri: Harga Diri Pada Klien Dengan Amputasi di
Wilayah Karesidenan Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Arifin, R. F. (2016). Pengalaman Ibu dalam Merawat Anak dengan Tuberkulosisi
Paru di Wilayah Kecamatan Babakan Ciparay Kota Bandung (Doctoral
dissertation, STIKES Darul Azhar).
Faktor Kehilangan
1. kerentanan kepribadian (Bonanno, 1999; Van Baarsen, Van Duijn, Smit,
Snijders,& Knipscheer, 2002)
2. ciri kepribadian (Goodman, Black, & Rubinstein, 1996)
3. umur (Gilbar & Dagan, 1995; Levy et al.1994; Meshot & Leitner, 1993)
4. perilaku sosial (Van Baarsen et al. 2002)
5. pola kebiasaan keluarga dalam menghadapi duka cita (Book,1996;
Mcgoldrick, 1995).
Sumber:
Astuti, Y. D. (2005). KEMATIAN AKIBAT BENCANA DAN PENGARUHNYA
PADA KONDISI PSIKOLOGIS SURVIVOR : TINJAUAN TENTANG.
Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 , 41 - 53.
Tahap Tahap Berduka
Teori John Harvey pada tahun 1998
John Harvey menetapkan 3 tahap berduka, yaitu :
1. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
2. Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif.
3. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara
kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.

Sumber:
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss)
dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya
(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Proses Berduka
Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999
Proses dukacita sebagai suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu :
1. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
2. Merasa (feeling): klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan
fisik yang umum.
3. Menghadapi (dealing): klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan
melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan
bimbingan spiritual.
4. Pemulihan (healing): klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti
bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.

Sumber:

Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss)
dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya
(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

Nama : Elin Nur Annisa


NIM : 131611133037
Tanggapan :
1. Definisi kehilangan
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh
setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbed (Yosep, 2010).
Laluyan, M. M., Kanine, E., & Wowiling, F. (2014). GAMBARAN
TAHAPAN KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA BANJIR PADA
MASYARAKAT DI KELURAHAN PERKAMIL KOTA
MANADO. JURNAL KEPERAWATAN, 2(2).

2. Definisi Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah
tidur dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua
kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua jenis tipe berduka,
yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional (Rachmad, 2011).
Laluyan, M. M., Kanine, E., & Wowiling, F. (2014). GAMBARAN
TAHAPAN KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA BANJIR PADA
MASYARAKAT DI KELURAHAN PERKAMIL KOTA
MANADO. JURNAL KEPERAWATAN, 2(2).

3. Proses berduka
Proses berduka adalah respon normal pada semua kejadian
kehilangan. Tingkah laku dan perasaan diasosiasikan dengan proses
berduka yang terjadi pada seseorang yang mengalami kehilangan seperti
kematian orang terdekat (Suseno, 2009: 10). Duka cita berarti kelumpuhan
secara emosional, tidak percaya perpisahan, cemas, putus asa, sedih, dan
kesepian yang muncul saat seseorang kehilangan orang yang dicintai.

Teori Engel (dalam Suseno, 2009: 11) menyatakan bahwa proses


berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan seseorang yang
sedang berduka. Fase I (shok dan tidak percaya) dimana seseorang menolak
kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas atau
pergi tanpa tujuan. Biasanya terjadi reaksi fisik seperti pingsan, mual, diare,
detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, kelelahan dan insomnia. Fase II
(berkembangnya kesadaran) dimana seseorang mulai merasakan kehilangan
secara nyata dan mungkin mengalami putus asa. Reaksi yang ditunjukkan
yaitu marah, perasaan bersalah, frustrasi, depresi, dan kekosongan jiwa
secara tiba-tiba terjadi. Fase III (restitusi/resolving the loss) dimana
seseorang berkeinginan untuk menghargai seseorang yang telah
meninggalkannya, dan berupaya untuk mengikuti ritual berkabung,
misalnya pergi ke pemakaman. Fase IV (idealization) menciptakan kesan
orang yang telah meninggal tidak memiliki harapan untuk ada di masa yang
akan datang. Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
kepada orang yang telah meninggal. Fase V (reorganization/ the outcome)
kehilangan yang tak dapat dihindari dan harus mulai diketahui atau disadari.
Pada fase ini, diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya.
Dengan demikian, seseorang mulai bergerak dari level terendah ke yang 6
lebih tinggi tentang integrasi empati dan intelektual serta kesadaran baru
telah berkembang.
Fernandez, I. M. F. (2017). Resiliensi pada wanita dewasa madya setelah
kematian pasangan hidup (Doctoral dissertation, Widya Mandala Catholic
University Surabaya).

4. Faktor yang mempengaruhi kehilangan


a) Perkembangan
- Anak- anak.
1. Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa
merasakan.
2.Belum menghambat perkembangan.
3.Bisa mengalami regresi
- Orang Dewasa
Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang
hidup,tujuan hidup, Menyiapkan diri bahwa kematian adalah
hal yang tidak bisa dihindari.
b) Keluarga.
Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak
terbesar biasanya menunjukan sikap kuat, tidak menunjukan sikap
sedih secara terbuka.
c) Faktor Sosial Ekonomi.
Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi
keluarga, beraati kehilangan orang yang dicintai sekaligus
kehilangan secara ekonomi,Dan hal ini bisa mengganggu
kelangsungan hidup.
d) Pengaruh Kultural.
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur ‘barat’
menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi
sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak
ditunjukan pada orang lain. Kultur lain menggagap bahwa
mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis
keras-keras.
e) Agama.
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman.
Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama.
Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.
f) Penyebab Kematian.
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan shock dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada
yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan
dengan kesialan.

Sumber : Kuliat,Budi Anna (1994).Proses


Keperawatan.Jakarta:EGC
5. Tahapan berduka

kerangka kerja yang ditawarkan oleh kubler-ross (1969) adalah


berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

a) penyangkalan (denial)
individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “tidak
akan terjadi pada saya!” Umum dilontarkan klien.

b) kemarahan (anger)
individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih”
pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah
sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.

c) penawaran (bargaining)
individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus
atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali
mencari pendapat orang lain.

d) depresi (depression)
terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk
berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.

e) penerimaan (acceptance)
reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran
diri atau berputus asa.

Sumber : suseno, tutu april. 2004. Pemenuhan kebutuhan dasar


manusia: kehilangan, kematian dan berduka dan proses keperawatan.
Jakarta: sagung seto.

6. askep
1. Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita
klien: apa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui
perilaku.
Beberapa percakapan yang merupakan bagian pengkajian agar mengetahui
apa yang mereka pikir dan rasakan adalah :
Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
Perilaku koping yang adekuat selama proses
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan
adalah:
1) Faktor Genetic : Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di
dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan sulit
mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
2) Kesehatan Jasmani : Individu dengan keadaan fisik sehat, pola
hidup yang teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi
stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik
3) Kesehatan Mental : Individu yang mengalami gangguan jiwa
terutama yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan
perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan
yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.
4) Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu : Kehilangan atau
perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-kanak akan
mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada
masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991).
5) Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif
terhadap stress yang dihadapi.
b. faktor presipitasi
ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan
kehilangan. kehilangan kasih sayang secara nyata
ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-
sosial antara lain meliputi;
1) kehilangan kesehatan
2) Kehilangan fungsi seksualitas
3) Kehilangan peran dalam keluarga
4) Kehilangan posisi di masyarakat
5) Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
6) Kehilangan kewarganegaraan
c. Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon
antara lain: Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi,
Supresi danProyeksi yang digunakan untuk menghindari intensitas
stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan disosiasi
sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan
patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara
berlebihan dan tidak tepat.
d. Respon Spiritual
1) Kecewa dan marah terhadap Tuhan
2) Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
3) Tidak memilki harapan; kehilangan makna
e. Respon Fisiologis
1) Sakit kepala, insomnia
2) Gangguan nafsu makan
3) Berat badan turun
4) Tidak bertenaga
5) Palpitasi, gangguan pencernaan
6) Perubahan sistem imune dan endokrin
f. Respon Emosional
1) Merasa sedih, cemas
2) Kebencian
3) Merasa bersalah
4) Perasaan mati rasa
5) Emosi yang berubah-ubah
6) Penderitaan dan kesepian yang berat
7) Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan
individu atau benda yang hilang
8) Depresi, apati, putus asa selama fase disorganisasi dan
keputusasaan
9) Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri
g. Respon Kognitif
1) Gangguan asumsi dan keyakinan
2) Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna
kehilangan
3) Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
4) Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang
meninggal adalah pembimbing.
h. Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti
:
1) Menangis tidak terkontrol
2) Sangat gelisah; perilaku mencari
3) Iritabilitas dan sikap bermusuhan
4) Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan
bersama orang yang telah meninggal.
5) Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal
padahal ingin membuangnya
6) Kemungkinan menyalahgunakan obat atau alkohol
7) Kemungkinan melakukan gestur, upaya bunuh diri atau
pembunuhan
8) Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fase
reorganisasi

2. Analisa data
a. Data Subjektif
1) Merasa putus asa dan kesepian
2) Kesulitan mengekspresikan perasaan
3) Konsentrasi menurun
b. Data objektif:
1) Menangis
2) Mengingkari kehilangan
3) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
4) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
5) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas
3. Diagnosa keperawatan
Lynda Carpenito (1995), dalam Nursing Diagnostic Application to Clinicsl
Pratice, menjelaskan tiga diagnosis keperawatan untuk proses berduka
yang berdasarkan pada pada tipe kehilangan. NANDA 2011 diagnosa
keperawatan yang berhibungan dengan asuhan keperawatan kehilangan
dan berduka adalah :
a. Duka cita
b. Duka cita terganggu
c. Risiko duka cita terganggu

4. Intervensi
Intervensi untuk klien yang berduka :
a. Kaji persepsi klien dan makna kehilangannya. Izinkan
penyangkalan yang adaptif.
b. Dorong atau bantu klien untuk mendapatkan dan menerima
dukungan.
c. Dorong klien untuk mengkaji pola koping pada situasi
kehilangan masa lalu saat ini.
d. Dorong klien untuk meninjau kekuatan dan kemampuan
personal.
e. Dorong klien untuk merawat dirinya sendiri.
f. Tawarkan makanan kepada klien tanpa memaksanya untuk
makan.
g. Gunakan komunikasi yang efektif.
1) Tawarkan kehadiran dan berikan pertanyaan terbuka
2) Dorong penjelasan
3) Ungkapkan hasil observasi
4) Gunakan refleksi
5) Cari validasi persepsi
6) Berikan informasi
7) Nyatakan keraguan
8) Gunakan teknik menfokuskan
9) Berupaya menerjemahkan dalam bentuk perasaan atau
menyatakan hal yang tersirat
h. Bina hubungan dan pertahankan keterampilan interpersonal
seperti :
1) Kehadiran yang penuh perhatian
2) Menghormati proses berduka klien yang unik
3) Menghormati keyakinan personal klien
4) Menunjukan sikap dapat dipercaya, jujur, dapat diandalkan,
konsisten
5) Inventori diri secara periodik akan sikap dan masalah yang
berhubungan dengan kehilangan
i. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Pasien dengan Respon Kehilangan
1) Bina dan jalin hubungan saling percaya
2) Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu
kejadian yang menyakitkan dengan pemberian makna positif dan
mengambil hikmahnya
3) Identifikasi kemungkinan faktor yang menghambat proses
berduka
4) Kurangi atau hilangkan faktor penghambat proses berduka
5) Beri dukungan terhadap repon kehilangan pasien
6) Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga
7) Ajarkan teknik logotherapy dan psychoreligious therapy
8) Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase berikut :
a) Fase Pengingkaran
Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan
perasaannya.
Dorong pasien untuk berbagi rasa, menunjukkan sikap
menerima, ikhlas dan memberikan jawaban yang jujur terhadap
pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan dan kematian.
b)Fase marah
Beri dukungan pada pasien untuk mengungkapkan rasa
marahnya secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan.
c) Fase tawar menawar
Bantu pasien untuk mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan
takutnya.
d)Fase depresi
Identifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien.
Bantu pasien mengurangi rasa bersalah.
e) Fase penerimaan
Bantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa
dihindari.
j. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Anak dengan Respon
Kehilangan
1) Beri dorongan kepada keluarga untuk menerima kenyataan
serta menjaga anak selama masa berduka.
2) Gali konsep anak tentang kematian, serta membetulkan
konsepnya yang salah.
3) Bantu anak melalui proses berkabung dengan memperhatikan
perilaku yang diperhatikan oleh orang lain.
4) Ikutsertakan anak dalam upacara pemakaman atau pergi ke
rumah duka.
k. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Orangtua dengan Respon
Kehilangan (Kematian Anak)
1) Bantu untuk diakan sarana ibadah, termasuk pemuka agama.
2) Menganjurkan pasien untuk memegang/ melihat jenasah
anaknya.
3) Menyiapkan perangkat kenangan.
4) Menganjurkan pasien untuk mengikuti program lanjutan bila
diperlukan.
5) Menjelaskan kepada pasien/ keluarga ciri-ciri respon yang
patologissertatempatmerekamintabantuanbiladiperlukan.
5. Evaluasi
a. Klien mampu mengungkapkan perasaannya secara spontan
b. Klien menunjukkan tanda-tanda penerimaan terhadap kehilangan
c. Klien dapat membina hubungan yang baik dengan orang lain
d. Klien mempunyai koping yang efektif dalam menghadapi masalah
akibat kehilangan
e. Klien mampu minum obat dengan cara yang benar
Sumber : NANDA.2011. Diagnosis Keperawatan : Defenisi dan Klasifikasi.
Jakarta : EGC

NAMA : NESYA ELLYKA


NIM : 131611133038
TANGGAPAN :
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Proses Duka Cita
Berbagai faktor mempengaruhi kesedihan yang dialami oleh korban, antara lain
bagaimana hubungan individu dengan orang yang meninggal misalnya:
- Orangtua, anak, mitra, atau teman (Bonanno, 1999; Leahy, 1993; Meshot &
Leitner, 1993),
- Jenis kematian (Drenovsky, 1994; Ginzburg, Geron & Solomon, 2002;
Levy, Martinkowski & Derby, 1994; Stamm, 1999),
- Pengalaman terhadap kesedihan (Leming & Dickinson, 1994; Smart, 1993),
- Dukungan masyarakat (Leming & Dickinson, 1994),
- Norma budaya (Klapper, Moss, Moss, & Rubinstein, 1994; Stroebe, 1992),
- Kualitas hubungan dengan yang ditinggal (Meshot & Leitner, 1993; Rubin,
1992), dan
- Umur yang ditinggal (Moss, Moss, Rubinstein, & Resch, 1993).
Sebagai tambahan, berbagai aspek internal dari individu yang ditinggalkan
mempengaruhi reaksi mereka terhadap kehilangan seperti
- Kerentanan kepribadian (Bonanno, 1999; Van Baarsen, Van Duijn, Smit,
Snijders,& Knipscheer, 2002),
- Ciri kepribadian (Goodman, Black, & Rubinstein, 1996),
- Umur (Gilbar & Dagan, 1995; Levy et al.1994; Meshot & Leitner, 1993),
- Perilaku sosial (Van Baarsen et al. 2002), dan
- Pola kebiasaan keluarga dalam menghadapi duka cita (Book, 1996;
Mcgoldrick, 1995).
Beberapa variabel tertentu mempunyai efek yang berbeda, tergantung dari tahap
kesedihannya (Richardson & Balaswamy, 2001).

Proses Berduka
Proses berduka itu pada dasarnya tidak mengikuti pola garis linear, secara teratur,
berurutan, dari satu tahap ke tahap yang lain. Proses berduka mungkin lebih tepat
digambarkan sebagai cekungan-cekungan lingkaran yang terus berubah-ubah.
Secara psikologis pada umumnya dinamika mental orang yang diterpa sang duka
adalah kacau-balau (chaotic). Dengan kata lain, proses psikologis berduka tidak
berjalan secara mekanis.
Gejala-Gejala Umum Proses Berduka:
 Air mata dan kepedihan hati
Menangis adalah gejala yang normal dalam proses berduka.
Menangis adalah sebuah tindakan yang manusiawi dalam kedukaan.
Menangis bukan suatu kesalahan fatal atau dosa. Sebaliknya, kalau
seseorang yang mengalami kedukaan tidak menangis mungkin ada sesuatu
yang tidak beres.
 Stres
Stres merupakan reaksi terhadap bahaya atau ancaman yang ada.
Dalam situasi ini sistem syaraf dan tubuh kita secara otomatis memobilisasi
energi yang ada untuk menghadapi bahaya yang ada. Hubungan antara
situasi kehilangan dan kedukaan dengan penyakit secara fisik diebut sebagai
stres.
 Penolakan
Penolakan berarti orang yang mengalami kehilangan belum atau
tidak mau mengakui atau menerima keadaan yang sebenarnya. Dia tidak
percaya bahwa fakta itu benar-benar terjadi. Penolakan ini sering dikaitkan
dengan perasaan terkejut.
 Marah
Perasaan marah dan benci juga bisa muncul dalam proses kehilangan dan
kedukaan. Elizabeth Kubler Ross menyebut gejala ini sebagai “mengapa
saya”.

Sumber :
Astuti, Y. D. (2012). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya pada Kondisi
Psikologis Survivor: Tinjauan Tentang Arti Penting Death Education.
HUMANITAS (Jurnal Psikologi Indonesia), 2(1), 41-53.
http://scholar.googleusercontent.com/scholar?q=cache:e4reaTrO74oJ:scho
lar.google.com/+definisi+kehilangan+dan+berduka+menurut+para+ahli&
hl=id&as_sdt=0,5
Wiryasaputra, T. S. (2003). Mengapa Berduka, Kreatif Mengelola Perasaan
Duka. Kanisius. https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=-
elUHizIGnEC&oi=fnd&pg=PA5&dq=proses+berduka&ots=8TNJe_gM9
S&sig=NEvH1GZHXKIckAo5ywfIXlVcWug&redir_esc=y#v=onepage&
q=proses%20berduka&f=false

NAMA: MUHAMMAD HIDAYATULLAH AL MUSLIM


NIM: 131611133039
KELAS: A1-2016
TANGGAPAN
Definisi kehilangan dan berduka
Kehilangan adalah suatu keadaan seseorang /individu yang berpisah dengan yang
sebelumnya ada,kemudian menghilang menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruan (lambert dan lambret,1985,h.35). kehilangan merupakan pengalaman
yang pernah dialami oleh setiap indvidu yang pernah hidup di dunia. Sejak lahir
individu sudah mengalami kehilangan dan kecendrungan akan mengalaminya
kembali walaupun dalam bentuk yag berbeda. merupakan suatu kondisi dimana
seseorang mengalmi suatu keurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya
pernah ada atau pernah dimiliki. keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada,baik sebagian atau seluruhnya.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang di
tampak seseorang perasaan sedih,gelisah,cemas,sesak nafas,susah nafas,susah
tidur,dan lain-lain. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan
secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional.
Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

Proses kehilangan dan berduka

1. Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak
mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap
orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang
akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan
menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
c) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas
untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat
orang lain.
d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati
kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu.
Tahapan kehilangan dan berduka
Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak
jantung cepat, menangis, gelisah.
2. Fase anger / marah
a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar.
a. Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit bukan
saya “ seandainya saya hati-hati “.
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah,
akhirnya saya harus operasi “

ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL


Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
A. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping
individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.

B. Rencana Tindakan Keperawatan


Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis
- Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
- Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
2. Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3. Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4. Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5. Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi
dengan orang lain.

Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung
dalam mengatasi perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi
tidak terlibat secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan
aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan
harga diri klien.

Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat
– klien.

2. Menyelidiki diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
~ Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang
lain melalui keterbukaan.
~ Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada
pada klien.
R/ klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan
terhadap dirinya sendiri.

3. Mengevaluasi diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
~ Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/ Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara
konstruktif.

4. Membuat perencanaan yang realistik.


~ Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
~ Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
R/ Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya
dengan cara menentukan perencanaan yang realistik.

5. Bertanggung jawab dalam bertindak.


~ Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon
maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif.
R/ Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian
masalah klien.

6. Mengobservasi tingkat depresi.


~ Mengamati perilaku klien.
~ Bersama klien membahas perasaannya.
R/ Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana perawatan selanjutnya
disusun dengan tepat.

7. Membantu klien mengurangi rasa bersalah.


~ Menghargai perasaan klien.
~ Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap
kenyataan.
~ Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
~ Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
R/ Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan perasaan bersalahnya
terhadap orang yang hilang.

Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.


Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2. Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3. Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4. Klien dapat merawat kukunya sendiri.

Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.

2. Menganjurkan klien untuk mandi.


R/ Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan
dapat melakukan sendiri.

3. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.


R/ Diharapkan klien mandiri.

4. Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.


R/ Diharapkan klien mandiri.

5. Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.


R/ Diharapkan klien mandiri
R/ Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien yang
lain

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses


berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap
tahap.
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka
dan mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga
konsep kehilangan secara jujur.

Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku


yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu
melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.

DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri,
Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
Nama : Hanum Amalia Zulfa
NIM : 131611133040
Kelas : A1-2016

Kehilangan (Loss) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika terjadi perubahan dalam hidup atau berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan. Rasa kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda. Setiap individu akan bereaksi terhadap kehilangan. Respons
terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu
terhadap kehilangan sebelumnya (Potter dan Perry 1997).
Berduka (Grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan, biasanya
disebabkan oleh perpisahan dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku,
perasaan dan pikiran.
Menurut Kubbler-Rose (1969, dalam Kozier et al, 2004) yang membagi respon
kehilangan menjadi lima tahapan yaitu denial, anger, bargaining, depression
dan acceptance.

Dafpus:
Hidayat, M. U. (2008). Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan, Edisi
2. Jakarta: Salemba Medika.

Arif Rakhman, S. d. (2012). Buku Panduan Praktek Laboratorium Ketrampilan


Dasar Dalam Keperawatan II (KDDK II). Yogyakarta: CV BUDI UTAMA.

Lismidiati, Wiwin. 2011. RESPON DAN KOPING IBU PRIMIPARA DAN


NULLIPARA YANG MENGALAMI HISTEREKTOMI. Purwokerto:
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),
Volume 6, No.2, Juli 2011

Nama: dind dhia aldinkholidiyah


Nim: 131611133041
Taggapan:
Definisi kehilngan dan beduka
 Berduka adalah respon yang normal terhadap kehilangan (Potter & Perry,
2005). Proses berduka merupakan proses yang normal dan perlu
distimulasi dan di fasilitasi oleh lingkungan sosial agar segera sampai pada
fase menerima (Keliat, 1998). Perilaku dan perasaan yang berkaitan
dengan respon berduka terjadi pada individu yang menderita kehilangan
seperti perubahan fisik atau kematian. Berduka adalah reaksi terhadap
kehilangan, yaitu respons emosional normal dan merupakan suatu proses
untuk memecahkan masalah. (Ah. Yusuf, 2015)

Ah. Yusuf, R. F. (2015). KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA. Jakarta: salemba


medika.

 Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu


yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang
sulit dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang
yang dicintai, dan kesempatan. Kehilangan dapat terjadi terhadap objek
yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi.
Ah. Yusuf, R. F. (2015). KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA. Jakarta: salemba
medika.
 Kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang berhubungan dengan
suatu objek, orang, kepercayaan, hubungan antar manusia yang bernilai
(Dyer, 2001 dalam Ritanti, 2010). Kozier, et al, dalam Ritanti (2010)
menerangkan bahwa kehilangan sebagian situasi saat ini atau yang akan
terjadi, dimana sesuatu yang berbeda nilainya karena hilang
keberadaannya (kusuma, 2013).
Kusuma,E. P. (2013, Juli).Ilmu Keperawatan, p. 112

Proses berduka
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa
kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada
fase ini
individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

Ah. Yusuf, R.F. (2015). KEPRAWATAN KESEHATAN JIWA.Jakarta: Salmba


medika.

Faktor yang mempengauhi proses berduka


Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi respon berduka adalah
sistem pendukung sosial (dukungan keluarga). Dukungan harus tersedia ketika
klien yang berduka melalui proses berkabung (Potter&Perry, 2005).
Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalam keberhasilan
resolusi berduka (Rando dalam Potter&Perry, 2005).

Ah. Yusuf, R. F. (2015). KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA. Jakarta: salemba


medika.

Tahap berduka menurut teori


Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
1)Fase I (syok dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri,
duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan,
diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan
kelelahan.
2)Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
3)Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong,
karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari
seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
4)Fase IVMenekan
seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa
merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di
masa lalu terhadap almarhum.
5)Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga
pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya.
Kesadaran baru telah berkembang.
Ah. Yusuf, R. F. (2015). KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA. Jakarta: salemba
medika.

Nama : Novia Tri Handika


NIM : 131611133042
Tanggapan :
Kehilangan (Loss) merupakan suatu pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupan. Individu sejak lahir
sudah mengalami kehilangan dan akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan adalah situasi actual maupun
potensial yang dapat dialami individu ketika terjadi suatu perubahan dalam
hidup ataupun berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya pernah ada, baik
sebagian ataupun keseluruhan. Kehilangan dapat berupa kehilangan yang
nyata atau kehilangan yang dirasakan. Kehilangan dipengaruhi oleh
lingkungan, sehingga lingkungan dapat memengaruhi nilai dan prioritas
individu atas rasa kehilangan yang beragam bentuknya. Respon terakhir
terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu terhadap
kehilangan yang telah dialami sebelumnya. Kehilangan akan seseorang
yang telah menjadi suatu bagian penting dari kepuasan individu, adalah
suatu amputasi psikologis
Sumber :
Hidayat, M., & Hidayat, A. A. (2008). Keterampilan Dasar Praktik Klinik
untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.

1. Nama : Novia Tri Handika


NIM : 131611133042
Tanggapan :
Berduka (grieving) dapat diartikan sebagai reaksi psikologis terhadap
respon kehilangan sesuatu yang dimiliki dan berpengaruh terhadap perilaku
emosi, fisik, spiritual social maupun intelektual individu. Berduka
merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan dan berduka
sebagai situasi objektif dari seorang individu yang baru saja mengalami
kehilangan dari sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada. Berduka
sendiri merupakan respon yang normal dihadapi setiap individu dalam
menghadapi kehilangan yang dirasakan. Berduka adalah respon emosi yang
diekpresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan
cemas, susah tidur, gelisah, sesak nafas, dan lain-lain. Didalam proses
berduka memiliki sifat yang mendalam, internal, menyedihkan dan
berkepanjangan. Berduka dapat ditunjukan melalui pikiran, perasaan
maupun perilaku yang bertujuan untuk mencapai fungsi yang lebih efektif,
maka individu tersebut harus melewati beberapa tahap berduka, dimana
untuk mewujudkannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan upaya
yang cukup keras.Ketika individu mengalami rasa berduka ketika mereka
kehilangan sesuatu yang mereka kenal dan sangat bernilai.
Sumber:
Putri, R. (2013). Asuhan Keperawatan Berduka Situasional pada Ibu A yang
Mengalami Stroke Non-Hemoragik Di Ruang Rawat Antasena
Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir Ners.

2. Nama : Novia Tri Handika


NIM : 131611133042
Tanggapan :
Faktor kehilangan menurut Miller (1999) dalam menghadapi
kehilangan setiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
dukungan sosial (Support System),keyakinan religius yang kuat,
kesejahteraan mental yang baik, dan banyaknya sumber yang tersedia
terkait disfungsi fisik atau psikososial yang dialami. Dalam penggunaan
support system yang ada disekitar pasien ataupun keluarga, serta keyakinan
religious yang kuat merupakan salah satu hal terpenting yang dapat
berpengaruh dalam mengatasi rasa berduka situasional sehingga dapat
meningkatka status fungsional. Dukungan social dan keyakinan religious
yang kuat memiliki pengaruh yang besar terhadap respon individu
menghadapi kehilangan
Sumber :
Putri, R. (2013). Asuhan Keperawatan Berduka Situasional pada Ibu A yang
Mengalami Stroke Non-Hemoragik Di Ruang Rawat Antasena
Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir Ners.

3. Nama : Novia Tri Handika


NIM : 131611133042
Tanggapan : Proses Berduka
Terdapat lima proses berduka yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969)
adalah berorientasi pada perilaku, yaitu sebagai berikut:
1) Penolakan
Penolakan merupakan langkah awal dalam proses berduka. Penolakan
termasuk dalam emosi yang tinggi. Penolakan yang negative dan
merugikan dilakukan oleh individu menyangkal untuk berdiri tegak
kembali. Maka dari itu, memungkinkan kita selama beberapa waktu
mengumpulkan kekuatan dalam dan bersiap menghadapi musibah yang
baru saja menghampiri, serta belum menyadari dampak sepenuhkan.
2) Marah
Marah merupakan emosi yang luar biasa. Sifat dari emosi yaitu sangat
kuat, serta emosi adalah bagian wajar dari proses berduka. Perasaan
marah dapat diapllikasikan pada individu atau benda yang ditandai
dengan muka merah, gelisah, nadi cepat, tangan mengepal, suara keras
dan perilaku agresif. Pada fase kemarahan, individu akan lebih
sensitive sehingga mudah sekali untuk tersinggung dan marah. Koping
tersebut dilakukan oleh individu untuk menutupi rasa kecewa serta
manifestasi dari kecemasan untuk menghadapi kehilangan.
3) Tawar menawar
Menawar seperti halnya menolak, memberi waktu tertentu bagi
individu untuk menyesuaikan diri. Setiap individu mampu
mengungkapkan rasa marah akan kehilangan dan akan
mengekspresikan rasa bersalah, takut dan rasa berdosa. Pada fase tawar
menawar, individu sering mencari dan meminta pendapat dari orang
terdekat. Maka dari itu, peran perawat pada tahap ini yaitu
mendengarkan keluh kesah pasien,memberikan sentuhan terapeutik
dan memberi masukan.
4) Depresi
Depresi adalah bagian dari kehidupan manusia dan pada suatu saat
setiap individu akan mengalaminya.Depresi merupakan kondisi
kesehatan mental yang tersebar luas dapat berupa masalah social dan
pribadi yang signifikan. Fase depresi terjadi kertika kehilangan disadari
dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan. Individu akan
menunjukan sikap menarik diri, putus asa, dan tidak mau bicara dengan
orang lain. Perilaku yang muncil seperti menolak makan, dorongan
libido menurun dan susah tidur. Adapun peran perawat pada fase ini
yaitu tetap berada disamping individu dan tidak meninggalkan
sendirian.
5) Penerimaan
Penerimaan merupakan reaksi fisiologi menurun dan interaksi social
berlanjut. Penerimaan berkaitan dengan reorganisasi perasaan
kehilangan, mulai berkurangnya pikiran yang berpusat pada objek
kehilangan. Adapun peran perawat dalam fase peneriman yaitu
berkomunikasi dengan pasien dan menanyakan apa yang dibutuhkan
pasien.
Sumber :
Putri, R. (2013). Asuhan Keperawatan Berduka Situasional pada Ibu A yang
Mengalami Stroke Non-Hemoragik Di Ruang Rawat Antasena
Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir Ners.
Hansten, R. I., & Washburn, M. J. (2001). KECAKAPAN
PENDELEGASIAN KLINIS. Jakarta: Kedokteran EGC

5. Terdapat tahap berduka menurut para ahli, yaitu :


a) Tahap berduka menurut teori Bowlby
Pemahaman Bowlby tentang berduka, beliau mendeskripsikan
proses berduka akibat suatu kehilangan memiliki empat fase”
I. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan
II. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan
memprotes kehilangan yang tetap ada
III. Kekacauan kognitif dan keputusan emosional, mendapatkan
dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
IV. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat
mengembalikan hidupnya
b) Teori John Harvwy pada tahun 1998 yang menetapkan 3 tahap
berduka, yaitu:
I. Syok, menangis dengan keras, dan menyabgkal
II. Instruksi pikiran, distraksi dan menunjau kembali kehilangan
secara obsesif
III. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi
dan secara kognitif menyusun kembli peristiwa kehilangan
c) Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999, proses dukacita sebagai
suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu : Reelling, felling,
dealing, dan healing

sumber :
Sari, R. A. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief)
pada Ibu Preeklampsi yang Kehilangan Bayinya. Skripsi

Bibliography
Hansten, R. I., & Washburn, M. J. (2001). KECAKAPAN
PENDELEGASIAN KLINIS. Jakarta: Kedokteran EGC.
Hidayat, M., & Hidayat, A. A. (2008). Keterampilan Dasar Praktik Klinik
untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Putri, R. (2013). Asuhan Keperawatan Berduka Situasional pada Ibu A yang
Mengalami Stroke Non-Hemoragik Di Ruang Rawat Antasena
Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir Ners,
28-29.
Sari, R. A. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief)
pada Ibu Preeklampsi yang Kehilangan Bayinya. Skripsi
NAMA : KUSNUL OKTANIA
NIM : 131611133043
1. Definisi kehilangan dan berduka
Kehilangan adalah suatu kondisi terpisah atau memulai sesuatu
tanpa sesuatu hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau tidak
diharapkan, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
(Perry & Potter, 2005).
Berduka adalah proses dimana seseorang mengalami respon
psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon
ini dapat berupa keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa
bersalah dan marah. Berduka merupakan respon normal pada semua
kejadian kehilangan.
Dapat disimpulkan bahwa kehilangan dan berduka merupakan bagian
integral yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan.
Laluyan, M. M., Kanine, E., & Wowiling, F. 2014. Gambaran Tahapan
Kehilangan dan Berduka Pasca Banjir Pada Masyarakat di Kelurahan
Perkamil Kota Manado. JURNAL KEPERAWATAN, 2(2)

2. Proses berduka
Schneider pada tahun 1984 mengklasifikasikan dimensi proses berduka
menjadi lima bagian, yaitu :
1) Respons Kognitif terhadap Dukacita
Penderitaan saat berduka dalam beberapa hal merupakan akibat
gangguan keyakinan. Asumsi dan keyakinan dasar tentang makna dan
tujuan hidup terganggu, bahkan mungkin hancur. Berduka sering kali
menyebabkan keyakinan individu tentang dirinya dan dunia berubah,
misalnya persepsi individu tentang hal-hal yang baik di dunia, makna
hidup ketika berhubungan dengan keadilan, dan makna takdir atau garis
kehidupan.
2) Respons Emosional
Perasaan marah, sedih, dan cemas adalah pengalaman emosional
yang dominan pada kehilangan. Kemarahan dan kebencian dapat ditujukan
kepada individu yang meninggal dan praktik kesehatan yang
dilakukannya, pada anggota keluarga, dan pemberi perawatan kesehatan
atau institusi.
3) Respons Spiritual
Ketika kehilangan terjadi, individu mungkin paling terhibur,
tertantang, atau hancur dalam dimensi spiritual pengalaman manusia.
Individu yang berduka dapat kecewa dan marah kepada Tuhan atau tokoh
agama yang lain. Penderitaan karena ditinggalkan, kehilangan harapan,
atau kehilangan makna merupakan penyebab penderitaan spiritual yang
dalam.Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan spiritual individu yang
berduka merupakan aspek asuhan keperawatan yang sangat penting.
4) Respons Perilaku
Respons perilaku sering kali merupakan respons yang paling
mudah diobservasi.
5) Respons Fisiologis
Klien dapat mengeluh insomnia, sakit kepala, gangguan nafsu
makan, berat badan turun, tidak bertenaga, palpitasi dan gangguan
pencernaan, serta perubahan sistem imun dan endokrin
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. 2015. Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka


a. Hubungan individu: mengenai reaksi-reaksi dan rentang waktu masa
berduka yang dialami setiap individu akan berbeda
b. Kepribadian, usia, dan jenis kelamin: secara umum duka cita
menimbulkan stress pada orang yang berusia lebih muda. Mengenai
jenis kelamin, wanita dalam melewati masa duka cita yang merupakan
masa penuh tekanan, lebih sulit dan membutuhkan waktu yang cukup
lama dibandingkan dengan masa duka cita yang dialami pria
c. Proses kematian: cara seseorang meninggal dapat menimbulkan
perbedaan reaksi yang dialami orang yang ditinggalkan. Misal: pada
kematian mendadak, kemampuan orang yang ditinggalkan akan lebih
sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-
orang terdekat dan lingkungan sekitar akan meninmbulkan perasaan
tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan.

Fatmaulidina, N. R. 2015. Strategi Coping Stres dalam Menghadapi Duka


Cita atas Kematian Ayah (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel
Surabaya).

4. Tahapan berduka menurut teori


Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999 proses dukacita sebagai suatu
proses yang melalui empat tahap yaitu :
a. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
b. Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan
ketidaknyamanan fisik yang umum.
c. Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan
dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita,
membaca dan bimbingan spiritual.
d. Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai
bagian kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan
tidak berarti bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. 2015. Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

Nama: Novalia Puspitasary


NIM: 131611133044
Tanggapan:
Definisi kehilangan dan berduka
Kehilangan (Loss) merupakan situasi aktual atau potensial yang dapat dialami
oleh individu ketika kehilangan sesuatu (orang atau objek) yang dihargai, baik
sebagian maupun menyeluruh, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga
terjadi perasaan kehilangan (Rakhman & Khodijah, 2014)
Berduka (Grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan, biasanya
disebabkan oleh perpisahan dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku, perasaan
dan pikiran. (Rakhman & Khodijah, 2014)
Rakhman, A., & Khodijah. (2014). Buku Panduan Praktek Laboratorium
Keterampilan Dasar Dalam Keperawatan 2 (KDDK2). Yogyakarta:
Deepublish.
Nama: Novalia Puspitasary
NIM: 131611133044
Tanggapan:
Proses berduka
Melewati proses berduka adalah bagian dari proses menua. Seorang lanjut usia
dapat mengalami kehilangan hubungan dengan orang di sekitarnya karena
kematian, pensiun, relokasi atau karena ketidakmampuan lanjut usia untuk
mempertahankan hubungan dengan orang disekitarnya akibat gangguan fisik yang
dialami. Proses berduka yang terjadi akibat kematian orang yang dicintai
merupakan kehilangan terbesar yang dialami oleh lanjut usia.
Tahapan proses berduka adalah denial, anger, bargaining, depression, acceptance
tidak selalu terjadi pada setiap orang. Sebagai perawat kita dapat membantu lanjut
usia melewati proses berduka dengan menanyakan pertanyaanterbuka pada lanjut
usia tentang perasaannya untuk membantu eksplorasi perasaan lanjut usia. Depresi
merupakan bagian dari kehilangan dan berduka dan merupakan permasalahan
yang serius (Dewi, 2014)
Dewi, S. R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Deepublish.

NAMA : ANNISA FIQIH I


NIM :131611133045
KELAS A1-2016
HASIL TANGGAPAN
1. Definisi kehilangan dan berduka
 Definisi kehilangan
Mennurut saya, kehilangan yaitu keadaan individu yang terputus dan atau
terpisah atau merasa ada sesuatu yang hilang dari lingkungan. Jadi dia
merasakan sesuatu yang sebulumnya ada ternyata sudah tidak ada lagi.
 Definisi berduka
Berduka menurut saya yaitu suatu sikap atau emosi yang diekspresikan oleh
individu yang merasakan kehilangan itu. Bisa menangis, marah, cemas dan
lain sebagainya. Berduka ini merupakan respon yang normal.
2. Proses kehilangan dan berduka
Proses kehilangan dan berduka dimulai dari tanda-tanda sebagai berikut:
 Fisik : kelelahan, kehilangan selera, masalah tidur datang
 Emosi : marah, bersalah, depresi, benci
 Sosial : menarik diri
3. Faktor kehilangan dan berduka
a. Faktor perkembangan
b. Fakto keluarga
c. Faktor sosial ekonomi
d. Faktor kultural
4. Tahapan kehilangan dan berduka
a. Fase denial (penyangkalan)
Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan yang ada.
Terjadi perubahan fisik seperti letih, lemah, pucat, mual, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.
b. Fase anger (kemarahan)
Mulai sadar kenyataan. Marah di lampiaskan kepada orang lain.
c. Fase depression (depresi)
Menutup diri, tidak mau bicara. Tandanya susah tidur, letih, dll.
d. Fase acceptance (penerimaan)
Pikiran pada sesuatu yang hilsng berkurang.
5. Askep
Pengkajian
Penilaian keperawatan terhadap klien yang mengalami kerugian mencakup tiga
komponen utama: (1) riwayat keperawatan, (2) penilaian sumber daya pribadi, dan
(3) penilaian fisik. Selama penilaian kesehatan rutin setiap klien, perawat
mengajukan pertanyaan mengenai kerugian sebelumnya dan saat ini. Sifat kerugian
dan signifikansi kerugian tersebut terhadap klien harus dieksplorasi.
Jika ada kerugian saat ini atau baru-baru ini, diperlukan detail yang lebih besar
dalam penilaian. Karena klien tidak selalu mengasosiasikan penyakit fisik dengan
respons emosional seperti kesedihan, perawat mungkin perlu menyelidiki
kemungkinan stres terkait kerugian. Jika klien melaporkan kerugian yang
signifikan, periksa bagaimana klien biasanya mengatasi kerugian dan sumber daya
apa yang tersedia untuk membantu klien dalam menghadapi tantangan. Data
tentang status kesehatan umum; stresor pribadi lainnya; tradisi budaya dan spiritual,
ritual, dan kepercayaan yang terkait dengan kerugian dan duka; dan jaringan
pendukung orang tersebut akan dibutuhkan untuk menentukan rencana perawatan
(lihat Wawancara Penilaian). Dalam menilai respons klien terhadap kerugian saat
ini, perawat dapat mengidentifikasi kesedihan yang rumit, yang paling baik
ditangani oleh ahli profesional perawatan kesehatan dalam membantu klien
semacam itu. Jika penilaian keperawatan menunjukkan tanda dan gejala fisik atau
psikologis yang parah, klien harus dirujuk ke penyedia perawatan yang tepat.
DIagnosa
NANDA Diagnosis keperawatan internasional (Herdman & Kamitsuru, 2014) yang
berkaitan secara khusus untuk berduka adalah sebagai berikut:
Bersedih: proses kompleks yang kompleks yang mencakup emosi, fisik, spiritual,
sosial, dan tanggapan intelektual dan perilaku dimana individu, keluarga, dan
masyarakat memasukkan hal yang aktual, diantisipasi, atau dianggap merugi dalam
kehidupan sehari-hari mereka
Resiko Bersedih untuk kerumitan Bersedih: gangguan yang terjadi setelah
kematian orang lain yang signifikan, di mana pengalaman tertekan yang menyertai
duka cita gagal mengikuti ekspektasi normatif dan bermanifestasi dalam gangguan
fungsional.
Diagnosis keperawatan lainnya mungkin termasuk yang berikut ini:
Proses Keluarga yang Terganggu jika kerugian tersebut berdampak pada
pembagian dividen dan keluarga sehingga peran dan interaksi efektif yang biasa
terkena dampak negative
Perilaku Kesehatan Rawan Resiko jika klien memiliki kesulitan besar dalam
menempatkan kerugian dalam perspektif yang sesuai dengan aktivitas kehidupan
lainnya
Risiko Kesepian berhubungan dengan hilangnya hubungan dengan orang lain.
Perencanaan
Tujuan keseluruhan untuk klien yang berduka kehilangan fungsi tubuh atau bagian
tubuh adalah menyesuaikan diri dengan kemampuan yang berubah dan
mengalihkan energi fisik dan emosional ke dalam rehabilitasi. Tujuan untuk para
pengunjung yang berduka atas kehilangan orang yang dicintai atau sesuatu adalah
mengingat mereka tanpa merasakan rasa sakit yang mendalam dan untuk
mengalihkan energi emosional ke dalam kehidupan seseorang dan menyesuaikan
diri dengan kerugian yang sebenarnya atau yang akan terjadi.
Implementasi
Selain memberikan kenyamanan fisik, menjaga privasi / martabat, dan
mempromosikan kemandirian, keterampilan yang paling relevan dengan situasi
kehilangan dan kesedihan adalah komunikasi efektif: mendengarkan, diam,
bertanya terbuka dan tertutup, parafrase, mengklarifikasi dan merenungkan
perasaan, dan meringkas. Kurang membantu klien adalah tanggapan yang memberi
saran dan evaluasi, pertanyaan yang bisa ditafsirkan dan dianalisis, dan pertanyaan
yang memberi penilaian yang tidak beralasan. Komunikasi dengan klien yang
berduka harus berhubungan dengan tahap kesedihan mereka. Apakah klien marah
atau depresi mempengaruhi bagaimana klien mendengar pesan dan bagaimana
perawat menafsirkan pernyataan klien.
Daftar Pustaka

Yusuf ,Ah. Fitriyasari,, Rizky. Nihayati, Hanik endang.2015. Buku ajar


Keperawatan jiwa. Jakarta Selatan : Salemba Medika
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford:
Wiley Blackwell.
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th ed. United states of America: Mosby Elseiver.
Dochteran, J. M., & Bulechek, G. M. (2013). Nursing Interventions Classification
(NOC). 6th ed. America: Mosby Elseiver

Konsep Kehilangan dan Berduka


Nama: Septin Srimentari Lely Darma
NIM: 131611133046
Kelas: A1-2016
Kehilangan
Setiap manusia akan mengalami kehilangan terhadap sesuatu seperti harta,
orang disekitar, kesehatan, ataupun hal lain. Kehilangan merupakan proses ketika
sesuatu yang dimiliki menjadi tidak ada/lenyap yang mengakibatkan seseorang
merasakan kehampaan atas sesuatu. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit
dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai,
dan kesempatan.
Respon dari kehilangan setiap individu berbeda dipengaruhi beberapa faktor
antara lain usia, jenis kelamin, pendidikan yang dimiliki, penerapan koping,
spiritual, dan status sosial. Dukungan dari orang sekitar untuk bangkit dari
kehilangan dapat mempengaruhi respon individu. Respon kehilangan individu
adalah sangat variatif, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: usia, jenis
kelamin, status sosial ekonomi, dan pendidikan (Potter & Perry, 2002).
Tahapan dalam kehilangan melipusti dua fase yaitu fase akut dan jangka
panjang. Fase akut terjadi dalam kurun waktu 4 sampai 8 minggu yang terdiri atas
tiga proses yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, dan restitusi.
Syok dan tidak percaya merupakan penyangkalan secara emosi terhadap respon
kehilangan. Perkembangan kesadaran, dalam proses ini individu lebih menyalahkan
orang lain maupun diri sendiri terhadap proses kehilangan. Restitusi merupakan
proses yang dilakukan berupa diberikan dukungan dari orang sekitar untuk
menurunkan perasaan sedih. Fase jangka panjang terjadi apabila perasaan berduka
tidak mengalami penyembuhan dan semakin berkembang dalam jangka waktu lebih
dari satu tahun.
Berduka
Respon dari seseorang yang kehilangan yaitu respon emosi berupa berduka.
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal dan
merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. 1 Proses berduka memilki
respon yang berbeda setiap orangnya, tetapi pada dasarnya setiap orang yang
berduka membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Menurut Bobak
(2005, hlm. 938) “respon berduka terdiri dari respon fisik, respon emosi, dan
respon sosial yang mencakup banyak perasaan dan emosi.”
Lin (2006) mengungkapkan bahwa faktor usia, jenis kelamin, pendidikan,
dukungan sosial, kepuasan dalam perkawinan, pengalaman kehilangan sebelumnya
mempengaruhi respon terhadap kehilangan dan duka cita. Respon dari anak-anak
dan orang dewasa berbeda saat berduka, hal itu disebabkan pemikiran dan
pendidikan yang telah ditempuh berbeda. Antara pria dan wanita memiliki ciri khas
tersendiri dalam mengahadapi rasa duka, pria lebih mengedepankan logika
sedangkan wanita lebih perasa terhadap sesuatu. Dukungan kaluarga tetangga,
teman yang memberikan motivasi kepada seseorang dapat membangkitkan
perasaan seseorang.
Menurut Schulz (1978) “proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase
awal, pertengahan, dan pemulihan.” Fase awal berupa respon syok, tidak percaya,
penyangkalan terhadap sesuatu akibat dari berduka dala jangka waktu beberapa
hari. Fase pertengahan, individu lebih banyak mengulangi perilaku yang dilakukan
seperti menangis dan mengulang memori kejadian bersama orang yang
meninggalkannya. Fase pemulihan, individu memilih untuk melanjutkan hidupnya
dan menjalani apa yang ada sekarang dengan dukungan orag lain dan keluarga.
Tahapan Proses Kehilangan dan Berduka
Di dalam konsep berduka Kubler-Ross (1969, dalam Kozier, et. all., 2004)
yang membagi respon kehilangan menjadi lima tahap, yaitu denial, anger,
bargaining, depresi, dan acceptance.
Pada tahap Denier atau penyangkalan seseorang berespon berupa
penyangkalan, geisah, bingung, tidak percaya dengan keadaan, pura-pura senang,
mengisolasi diri. Apabila seseorang telah menyadari kenyataan yang menyakitkan
bagi dirinya akan memasuki tahapan Anger/ marah. Reaksi fisik berupa nadi cepat,
emosi tidak stabil, susah tidur, dan rewel. Tahapan berikutnya adalah Bergaining/
Penawaran yaitu reaksi melakukan tawaran atau perjanjian untuk mengelak suatu
realita yang da. Tahap depresi apabila individu menarik diri dari lingkungan,
menolak untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Tahap
acceptance/penerimaan merupakan tahapan individu mulai menerima kenyataan
dan fokus terhadap sesuatu yang ada pada kehidupan yang sekarang.

Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka

1
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika. Hal. 74.
Tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap pasien yang mengalami
kehilangan ataupun berduka terdiri atas pengkajian, diagnosis, intervensi,
implementasi rencana, dan evaluasi tindakan.
Pengkajian yang dilakukan perawat meliputi faktor kecenderungan terhadap
sesuatu, faktor pencetus berduka atau kehilangan, perilaku pasien, serta mekanisme
koping yang telah dilakukan. Faktor kecenderungan terhadap sesuatu antara lain
kesehatan fisik, kesehatan mental, pengalaman kehilanagn sebelumnya, dan
genetik. Diagnosis keperawatan yang dimbul pada pasien kehilangan salah satunya
berduka fungsional. Dari diagnosis yang telah didapatkan perawat merencanakan
intervensi kepada pasien sesuai diagnosis yang telah ditemukan.intervensi yang
dilakuakn berdasarkan tahapan proses pada individu yang mengalami
kehilangandan berduka Conton dari intervensi yang berhubungan dengan
kehilangan dan berduka yaitu memberikan dorongan pasien untuk mengungkapkan
perasaan kehilangan pada pasien tahap penyangkalan. Impelementasi tindakan yang
dapat dilakukan berupa berdiskusi pasien dengan cara sharing antara keluarga,
pasien, dan perawat. Setelah dilakukan tindakan, perawat perlu mengevaluasi
tindakan keperawatan dapat mengatasi respon kehilangan dan berduka pada pasien
atau tidak.

Sumber
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati. 2014. Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Nurhidayah , Catur Desi, Made Sumarwati, Hartati. 2008. Hubungan Tingkat
Pendidikan Dengan Respon Terhadap Kehilangan pada Pasien Abortus.
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). Vol.
3. No. 1
Ritanti, Wiwin Wiarsih, Imalia Dewi Asih. 2010. Pengalaman Keluarga Yang
Mempunyai Anak Pengguna Napza dalam Menjalani Kehidupan
Bermasyarakat. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal
of Nursing). Vol.5. No. 3

NAMA : FITRIANTI UMAYROH MAHARDIKA


NIM : 131611133047
KELAS : A1
TANGGAPAN
Definisi kehilangan
Kehilangan adalah pengalaman universal. Kehilangan merupakan pengalaman
yang sangat mengganggu yang biasanya diikuti oleh periode kesedihan akut yang
menyakitkan namun terbatas waktu. Sebuah minoritas yang tidak beruntung dari
individu mengalami berkepanjangan dan mengganggu kesedihan yang rumit,
sindrom yang dapat dikenali yang berbeda dari kesedihan biasa serta depresi
berat. Kehilangan merupakan pengalaman umum pada orang dewasa berusia 60
dan lebih tua. Hilangnya orang yang dicintai biasanya menyebabkan kesedihan
akut yang ditandai oleh kerinduan dan kerinduan, ketertarikan yang menurun
dalam aktivitas yang sedang berlangsung, dan seringnya pikiran orang mati. Bagi
sebagian besar, kesedihan akut secara alami berkembang menjadi keadaan
kesedihan yang terintegrasi, dimana orang yang berduka mampu melakukan
reengage dengan aktivitas sehari-hari.
Shear, M. K., Ghesquiere, A., & Glickman, K. (2013). Bereavement and
Complicated Grief. Current Psychiatry Reports, 15(11), 10.1007/s11920–
013–0406–z. http://doi.org/10.1007/s11920-013-0406-z
Shear K, Shair H. (2005). Attachment, loss, and complicated grief.
International jurnal. Nov;47(3):253-67.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16252293/

Definisi berduka
Dukacita mengacu pada respon psikobiologis terhadap kehilangan. Dukacita,
kehilangan orang yang dicintai, dan kesedihan, kesusahan akibat berkabung,
adalah konsep yang pasien dan orang yang mereka cintai alami untuk memahami
reaksi kehilangan karena musibah yang dialami. Dukacita secara klasik berfokus
pada hilangnya orang yang dicintai. Kesedihan juga telah digunakan untuk
mengkarakterisasi reaksi terhadap kerugian lainnya, namun sejauh ini model
kesedihan biasanya dgunakan pada hilangnya fungsi fisik, peran fungsi sosial atau
pekerjaan dan tujuan hidup. Gejala utama kesedihan seperti kesulitan menerima
kehilangan, mati rasa emosional, menghindari pengingat dan kebingungan tentang
peran seseorang dalam kehidupan.
Kalpakjian, C. Z., Tulsky, D. S., Kisala, P. A., & Bombardier, C. H. (2015).
Measuring grief and loss after spinal cord injury: Development, validation
and psychometric characteristics of the SCI-QOL Grief and Loss item
bank and short form. The Journal of Spinal Cord Medicine, 38(3), 347–
355. http://doi.org/10.1179/2045772315Y.0000000015
Factor kehilangan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan grief, faktor tersebut dikemukakan oleh
(Aiken, 1994: 164), yaitu:
1. Hubungan individu dengan almarhum Yaitu reaksi-reaksi dan rentang
waktu masa berduka yang dialami setiap individu akan berbeda tergantung
dari hubungan individu dengan almarhum, dari beberapa kasus dapat
dilihat hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal
diasosiasikan dengan proses grief yang sangat sulit.
2. Kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan Merupakan
perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan usia orang yang
ditinggalkan. Secara umum grief lebih menimbulkan stress pada orang
yang usianya lebih muda.
3. Proses Kematian Cara dari seseorang meninggal juga dapat menimbulkan
perbedaan reaksi yang dialami orang yang ditinggalkannya. Pada kematian
yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan akan lebih sulit
untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-orang
terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak berdaya
dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam mengatasi grief.

Adina Fitria S. (2013). Grief Pada Remaja Akibat Kematian Orangtua Secara
Mendadak. Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

4. Proses berduka

Proses berduka menurut teori kubbler-ross tahun 1969 ada 5, yaitu


denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Dari hasil verbatim
wawancara didapatkan hasil bahwa ada beberapa gambaran proses berduka
yang dialami oleh lansia akibat kematian orang yang dicintai yaitu : depresi,
marah, tawar-menawar, dan mengingkari.
1. Mengingkari (Denial). pada tahap ini seseorang menyangkal bahwa
kematian
itu akan benar-benar datang. merupakan sebuah fase dimana seseorang
yang
mengalami peristiwa kematian orang yang ia cintai merasa kaget dan tidak
percaya dengan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. fase penyangkalan
(denial) merupakan reaksi individu terhadap kehilangan dimana pada fase
ini individu tidak percaya, menolak, atau tidak menerima kehilangan yang
terjadi dan seseorang yang mengalami kehilangan karena kematian orang
yang berarti baginya, tetap merasa bahwa orang tersebut masih hidup.
2. Tawar-menawar. dimana seseorang mengembangkan harapan bahwa
kematian dapat saja diundur atau ditunda. seseorang yang berada pada
tahapan ini, dengan berbagai alasan beranggapan bahwa kematian yang
sudah terjadi itu merupakan suatu kejadian yang belum seharusnya terjadi
pada saat itu, oleh karena itu kematian orang yang ia cintai tersebut masih
bisa dirundingkan dan dipindahkan ke waktu yang lain.
3. Marah (Anger). dimana seseorang yang menghadapi suatu peristiwa
kematian merasa bahwa penyangkalan tidak mungkin lagi diteruskan, dan
orang tersebut menjadi sulit untuk dirawat, karena kemarahan akan
diarahkan dan diproyeksikan kepada para tenaga medis, perawat, anggota
keluarga, bahkan Tuhan. Riyadi dan Purwanto (2009) mengatakan bahwa
seseorang yang berada ditahapan marah akan memunculkan ekspresi
seperti bicara kasar dan agresif. ketika berada pada tahap marah dalam
suatu proses
berduka, individu akan menyadari bahwa ia tidak dapat senantiasa
menyangkal, oleh karena itu, orang tersebut akan sangat sulit untuk
diperhatikan karena perasaan marah yang dirasakan.
4. Depresi. Dimana seseorang yang menghadapi suatu peristiwa kematian
menghabiskan banyak waktu untuk menangis dan berduka serta perasaan
putus asa, perasaan kesepian dan kesedihan. Dimana individu yang
mengalami depresi akan menunjukan gejala seperti
sedih yang berkepanjangan, perasaan tidak ada harapan lagi, sensitif,
hilang rasa percaya diri dan munculnya pikiran tentang kematian yang
berulang. Episode depresi pada
umumnya berlangsung 6 hingga 9 bulan, namun pada beberapa orang
dapat berlangsung
dalam rentang waktu 2 tahun bahkan lebih.
5. Penerimaan (acceptance). Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan
mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan
secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru. Seorang
individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses
berdukanya dengan baik.

Julian Fritz Chesar Pratama Salim, J. P. (2014, Maret). Proses Berduka Akibat
Kematian Orang Yang Dicintai Yang Dialami Oleh Lansia Di Kabupaten
Ngada. Artikel Ilmiah, STIK SINT Carolus, Jakarta.

Tahap berduka menurut teori


Tahapan berduka menurut Kubler-Ross pada tahun 1969 Elisabeth Kubler-Ross
menetapkan lima tahapan berduka, yaitu :
1. Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.
2. Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau
pemberi perawatan kesehatan.
3. Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih
banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat
dihindari.
4. Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
5. Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tandatanda bahwa
ia menerima kematian.
Teori John Harvey pada tahun 1998 John Harvey menetapkan 3 tahap berduka,
yaitu :
1. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
2. Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau kembali kehilangan secara
obsesif.
3. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara
kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.

Sari, R. A. (2015, Desember). Pengalaman Kehilangan (Loss) Dan Berduka (Grief)


Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya. Skripsi, Universitas
Diponegoro.

Proses Asuhan Keperawatan pada Klien yang Kehilangan dan berduka


(Pengkajian – Evaluasi)
1. Pengkajian keperawatan
Faktor predisposisi :
1. Genetik seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau
dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan
mengalami kesulitan dalam bersikap optimis dan menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan
teratur mempunyai kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik
dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan mental individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental
memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan
berisiko untuk kambuh kembali.
4. Pengalaman kehilangan sebelumnya kehilangan dan perpisahan dengan
orang berarti di masa kanak-kanak akan memengaruhi kemampuan individu
dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.

Faktor presipitasi :
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi
individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit,
kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan,
kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.

Perilaku
1. Menangis atau tidak mampu menangis.
2. Marah.
3. Putus asa.
4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.

Mekanisme koping
1. Denial
2. Regresi
3. Intelektualisasi/rasionalisasi
4. Supresi
5. Proyeksi
2. Diagnosis keperawatan
Masalah keperawatan yang sering timbul pada pasien kehilangan adalah
sebagai berikut.
1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual.
2. Berduka disfungsional.
3. Berduka fungsional.
3. Rencana intervensi
Prinsip intervensi
1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial)
adalah memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan
perasaannya dengan cara berikut.
a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang
kenyataan kehilangan pasien secara emosional.
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan
menghukum dan menghakimi.
d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran
pada individu yang mengalami kehilangan.
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang
tangan, menepuk bahu, dan merangkul.
f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang
sederhana, jelas, dan singkat.
g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
2. prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah
dengan memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk
mengungkapkan marahnya secara verbal tanpa melawan
kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah
adalah ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan
(marah, menangis).
b. Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
c. Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining)
adalah membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan
perasaan takutnya.
a. Amati perilaku pasien.
b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
c. Tingkatkan harga diri pasien.
d. Cegah tindakan merusak diri.
4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah
mengidentifikasi tingkat depresi, risiko merusak diri, dan membantu
pasien mengurangi rasa bersalah.
a. Observasi perilaku pasien.
b. Diskusikan perasaan pasien.
c. Cegah tindakan merusak diri.
d. Hargai perasaan pasien.
e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
g. Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance)
adalah membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat
dihindari dengan cara berikut.
a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
4. Tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan pada pasien
1. Tujuan:
a) Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan
perawat.
b) Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami
pasien.
c) Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang
dialami dengan keadaan dirinya.
d) Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka
yang dialaminya.
e) Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung
2. Tindakan:
a) Membina hubungan saling percaya dengan pasien.
b) B. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi
pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan spiritual
sebelum/sesudah mengalami peristiwa kehilangan serta
hubungan antara kondisi saat ini dengan peristiwa
kehilangan yang terjadi).
c) C. Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami. 1) cara
verbal (mengungkapkan perasaan). 2) cara fisik (memberi
kesempatan aktivitas fisik). 3) cara sosial (sharing melalui
self help group). 4) cara spiritual (berdoa, berserah diri).
d) D. Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas
yang tersedia untuk saling memberikan pengalaman dengan
saksama.
e) E. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal
harian.
f) F. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.

Tindakan keperawatan untuk keluarga


1. Tujuan
a. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan
berduka.
b. Keluarga memahami cara merawat pasien
berduka berkepanjangan.
c. Keluarga dapat mempraktikkan cara merawat
pasien berduka disfungsional.
d. Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang
tersedia di masyarakat
2. Tindakan :
a. Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah
kehilangan dan berduka dan dampaknya pada
pasien.
b. Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi
berduka yang dialami oleh pasien.
c. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat
pasien dengan berduka disfungsional.
d. Berdiskusi dengan keluarga sumber-sumber
bantuan yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga
untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh
pasien.
5. Evaluasi
1. Pasien mampu mengenali peristiwa kehilangan yang dialami.
2. Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan
keadaan dirinya.
3. Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.
4. Memanfaatkan faktor pendukung.
5. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
6. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
7. Keluarga mempraktikkan cara merawat pasien berduka
disfungsional.
8. Keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.

Yusuf, A ,Fitryasari, R, Nihayati, H, E. (2015, Oktober). Buku Ajar Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Nama : Gita Shella Madjid


NIM : 131611133049
Kelas : A1 – 2016
Tanggapan :

Definisi Kehilangan
Definisi dari kehilangan memiliki banyak pengertian. Kehilangan adalah
suatu keadaan berpisahnya individu dengan sesuatu yang sebelumnya dimiliki/ada.
Kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang berhubungan dengan suatu objek,
orang, kepercayaan, hubungan antar manusia yang bernilai (Dyer, 2001 dalam
Ritanti, 2010).
Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap, bersifat
sementara atau meentap. Setiap orang yang akan atau sedang mengalami
kehilangan menunjukkan respons psikologis yang secara umum sama. Menangis,
memanggil nama orang yang sudah meninggal secara terus-menerus, marah, sedih
dan kecewa merupakan beberapa respon yang tampak saat seseorang
mengalami peristiwa kehilangan, terutama akibat kematian orang yang dicintai.

Kusuma, E. P. (2013, Juli). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan


Masyarakat Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja Dengan
Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Karya
Ilmiah Akhir Ners, Universitas Indonesia.

Ns. Rochimah, S. K. (2010). Keterampilan Dasar Praktik Klinik (KDPK). Jakarta:


CV. Trans Info Medika

Definisi Berduka
Berduka merupakan dampak dari kehilangan. Reaksi emosi dari kehilangan
akibat perpisahan. Dimanifestasikan dalam perilaku, perbuatan dan pemikiran.
Berduka adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respons dan
perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga,
dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi,
atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA,
2011). Sehingga disimpulkan bahwa kehilangan dan berduka adalah suatu
bentuk perpisahan yang mencangkup respons perilaku dan emosional.
Berduka adalah reaksi normal terhadap kehilangan. Orang menyimpan
emosi dalam tubuh dan kesejahteraan mereka. Perubahan psikologis dalam proses
berduka memungkinkan individu menyempurnakan kembali citra tubuh dan konsep
diri yang baru

Engram, B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. (Vol. 3).


Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Kusuma, E. P. (2013, Juli). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan


Masyarakat Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja Dengan
Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Karya
Ilmiah Akhir Ners, Universitas Indonesia.

Ns. Rochimah, S. K. (2010). Keterampilan Dasar Praktik Klinik (KDPK). Jakarta:


CV. Trans Info Medika

Faktor Kehilangan
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita pada seseorang, faktor
tersebut antara lain:
1. Hubungan individu dengan almarhum
2. Kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan
3. Proses kematian
Pendapat yang dikemukakan oleh Rando dalam Rotter (2009) yang
mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan dimana
seseorang akan sulit menerima suatu peristiwa kehilangan diantaranya adalah
arti kehilangan serta sifat kehilangan yang tiba-tiba (tidak dapat diramalkan) dan
tidak diharapkan.
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan proses berduka dapat
digolongkan menjadi:
- Patofisiologis (kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder akibat
kardiovaskuler, trauma, muskloskeletal, dan lain-lain);
- Tindakan: dialisis jangka panjang, operasi (mastektomi, kolostomi,
histerektomi);
- Disfungsional: penyakit terminal, kematian, perpisahan, perceraian, pensiun,
anak akan meninggalkan rumah, dan lain-lain;
- Maturasional: penuaan.
Sedangkan dalam menghadapi kehilangan, individu dipengaruhi oleh bagaimana
persepsi individu terhadap kehilangan, tahap perkembangan, kekuatan/koping
mekanisme dan support system (Potter & Perry, 2005).
Julian Fritz Chesar Pratama Salim, J. P. (2014, Maret). Proses Berduka Akibat
Kematian Orang Yang Dicintai Yang Dialami Oleh Lansia Di Kabupaten
Ngada. Artikel Ilmiah, STIK SINT Carolus, Jakarta.

Kusuma, E. P. (2013, Juli). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan


Masyarakat Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja Dengan
Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Karya
Ilmiah Akhir Ners, Universitas Indonesia.

Proses Berduka
Proses berduka merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang
dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah kehilangan. Rotter
(2009) mengatakan bahwa proses berduka memiliki karakteristik yang unik,
membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi tidak dapat dipaksakan, tetapi pada
umumnya mengikuti tahap yang dapat diprediksi. Proses kehilangan menurut
Klaus dan Kennell (1982) meliputi tahapan :
1. Schock (Lupa Peristiwa)
2. Denial (Menolak)
3. Depresi (Menangis, sedih)
4. Equilibrium dan acceptance (Penurunan reaksi emosional, kadang menjadi
kesedihan yang kronis)
5. Reorganization (Dukungan mutual antar orang tua)
Sedangkan pendapat lain, mengatakan berbeda mengenai proses berduka.
Proses dukacita menurut Parkes (dalam Niven, 2013) menyebutkan antara lain:
1. Mati rasa atau mengingkari
2. Kerinduan atau pining
3. Putus asa atau depresi
4. Penyembuhan atau reorganisasi

Bahiyatun, S. S. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Julian Fritz Chesar Pratama Salim, J. P. (2014, Maret). Proses Berduka Akibat
Kematian Orang Yang Dicintai Yang Dialami Oleh Lansia Di Kabupaten
Ngada. Artikel Ilmiah, STIK SINT Carolus, Jakarta.

Tahapan Berduka Menurut Teori


Ada beberapa ahli yang menjabarkan mengenai tahapan berduka. Tahapan
berduka menurut Kubler-Ross pada tahun 1969. Model ini menjadi prototype
untuk pemberi perawatan ketika mereka mencari cara memahami dan membantu
klien dalam proses berduka. Elisabeth Kubler-Ross menetapkan lima tahapan
berduka, yaitu :
1. Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.
2. Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau
pemberi perawatan kesehatan.
3. Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih
banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat
dihindari.
4. Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
5. Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tandatanda bahwa ia
menerima kematian.

Pemahaman Bowlby tentang berduka ia mendeskripsikan proses berduka


akibat suatu kehilangan memiliki empat fase, yaitu:
1. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan.
2. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada.
3. Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya
sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
4. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan
hidupnya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Teori John Harvey pada tahun 1998. John
Harvey menetapkan 3 tahap berduka, yaitu:
1. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
2. Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif.
3. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara
kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.

Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Teori Rodebaugh et al. pada tahun


1999. Proses dukacita sebagai suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu :
1. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
2. Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan
fisik yang umum.
3. Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan
dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita,
membaca dan bimbingan spiritual.
4. Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti
bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.

Sari, R. A. (2015, Desember). Pengalaman Kehilangan (Loss) Dan Berduka (Grief)


Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya. Skripsi, Universitas
Diponegoro.

Proses Asuhan Keperawatan pada Klien yang Kehilangan dan berduka


(Pengkajian – Evaluasi)
1. Pengkajian
1) Tahap perkembangan
a. Persepsi tentang kehilangan
b. Efek kehilangan: regresi
2) Kebudayaan/kebiasaan-kebiasaan: Physical dan emotional
3) Kepercayaan/spiritual
4) Kondisi sosisal ekonomi sebagai support system
5) Penyebab kematian
6) Tanda-tanda klinis
a. Sakit dada
b. Rasa sesak
c. Napas pendek
d. Sering mengeluh
e. Merasa lemah
7) Kondisi psikologis

2. Nursing Diagnosis
1) Disfunctional Grieving
Individu tidak dapat mengekspresikan rasa berdukanya secara normal
2) Impaired Adjustment
Individu tidak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan status
kesehatan
3) Social Isolation
Individu menarik diri dari lingkungan atau trauma yang dialaminya

3. Intervensi
1) Berikan kesempatan pada individu untuk mengungkapkan perasaannya
2) Kenali dan terima berbagai emosi yang diekspresikan klien atau keluarga
akibat kehilangan yang dialaminya
3) Berikan support agar individu atau keluarga mengekspresikan perasaan-
perasaan yang sulit, sadness, anger: Individu atau keluarga melakukannya
dengan cara mereka.
4) Sertakan juga anak-anak dalam proses
5) Anjurkan individu atau keluarga untuk mempertahankan atau tetap
berhubungan dengan orang lain

4. Evaluasi
Outcomes Kriteri:
1) Secara verbal mengemukakan perasaannya sadness, anger dan sorrow
2) Secara verbal memahami mengapa harus mengekspresikan perasaannya
3) Dapat menyimpulkan pentingnya aktivitas yang biasa dijalaninya
4) Membina hubungan baru dengan orang lain

Ns. Rochimah, S. K. (2010). Keterampilan Dasar Praktik Klinik (KDPK). Jakarta:


CV. Trans Info Medika

Psikososial – Bu RR Dian
Nama: Mudrika Novita Sari
NIM: 136111133050
Tanggapan:

1. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik,
diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa
kembali atau tidak dapat kembali. Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir
individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya
kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia:
Kehilangan, Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta:
Sagung Seto.

2. Berduka dalam arti yang paling sederhana identik dengan kesedihan atas
kematian seseorang, baik itu keluarga, teman, maupun kerabat dekat. Cara
berduka dapat digambarkan dengan pakaian gelap, berkurung diri
menyendiri, dimana seseorang merasa begiru kehilangan orang yang sangat
dicintai akan merasakan perlunya waktu sendiri dan menarik diri dari
pergaulan untuk waktu tertentu.
Henny, Ikhdah. (2011). Ms. Complaint’s Therapy. Yogyakarta: B First.
https://books.google.co.id/books?id=cGdpAwAAQBAJ&pg=PT53&d
q=berduka&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi7hfeHorDWAhWLpZQK
Ha6KDZ0Q6AEITTAI#v=onepage&q=berduka&f=false

3. Menurut Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999, proses dukacita sebagai
suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu:
a. Reeling: klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
b. Merasa (feeling): klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan
ketidaknyamanan fisik yang umum.
c. Menghadapi (dealing): klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan
dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita,
membaca dan bimbingan spiritual.
d. Pemulihan (healing): klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti
bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

4. Faktor yang mempengaruhi kehilangan adalah:


Faktor Perkembangan
a. Pada Anak-anak
 Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.
 Belum menghambat perkembangan.
 Bisa mengalami regresi.
b. Pada Orang dewasa
 Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup,
tujuan hidup.
 Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa
dihindari.
Faktor Keluarga
Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar
biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara
terbuka.
Faktor Sosial Ekonomi
Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga,
berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi.
Dan hal ini bisa mengganggu kelangsungan hidup.
Faktor Kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat menganggap
kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan
pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain
menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan
menangis keras-keras.
Faktor Agama
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan
bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada juga yang
menyalahkan Tuhan akan kematian.
Faktor Penyebab Kematian
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih
lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan
diasosiasikan dengan kesialan.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia :
Kehilangan, Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Sagung Seto

5. Kubler-Ross pada tahun 1969 berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5


tahap, yaitu:
1. Penyangkalan (Denial): Reaksi pertama individu yang mengalami
kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau mengingkarikenyataan
bahwa kehilangan benar-benar terjadi.
2. Kemarahan (Anger): Pada tahap ini individu menolak kehilangan.
Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau
dirinya sendiri
3. Penawaran (Bargaining): Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran
atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat
kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut
dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-
menawar dengan memohon kemurahan Tuhan
4. Depresi (Depression): Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap
menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat menurut, tidak mau bicara,
menyatakan keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul
keinginan bunuh diri
5. Penerimaan (Acceptance): Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi
perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yg hilang
akan mulai berkurang atau bahkan hilang. Perhatiannya akan beralih
pada objek yg baru.
Tidak selalu terjadi pada setiap orang. Beberapa orang yang
mengalami kehilangan akan mengalami rasa marah dan tidak akan
pernah merasakan rasa kehilangan.
Dewi, Sofia Rhosma. (2014). Buku Ajar: Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:
Deepublish.
https://books.google.co.id/books?id=3FmACAAAQBAJ&pg=PA106
&dq=kehilangan+dan+berduka&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepag
e&q=kehilangan%20dan%20berduka&f=false

6.
ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL
Pengkajian:
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

Diagnosa keperawatan: Berduka disfungsional


Definisi: sesuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan
dimana individu tetap terfiksasi dalam satu tahap proses berduka untuk suatu
periode waktu yang terlalu lama, atau gejala berduka yang normal menjadi
berlebih-lebihan untuk suatu tingkat yang mengganggu fungsi kehidupan.

Kemungkinan Etiologi (“yang berhubungan dengan”)


 Kehilangan yang nyata atau dirasakan dari beberapa konsep nilai untuk
individu
 Kehilangan yang terlalu berat (penumpukan rasa berduka dari kehilangan
multiple yang belum terselesaikan)
 Menghalangi respon berduka terhadap suatu kehilangan
 Tidak adanya antisipasi proses berduka
 Perasaan bersalah yang disebabkan oleh hubungan ambivalen dengan
konsep kehilangan.
Sasaran/Tujuan
Sasaran jangka pendek
 Pasien akan mengekspresikan kemarahan terhadap konsep kehilangan
dalam 1 minggu.
Sasaran jangka panjang
 Pasien akan mampu menyatakan secara verbal perilaku-perilaku yang
berhubungan dengan tahap-tahap berduka yang normal. Pasien akan mampu
mengakui posisinya sendiri dalam proses berduka sehingga ia mampu
dengan langkahnya sendiri terhadap pemecahan masalah.

Intervensi dengan Rasional Tertentu


1. Tentukan pada tahap berduka mana pasian terfiksasi. Identifikasi perilaku-
perilaku yang berhubungan dengan tahap ini. Rasional: Pengkajian data
dasar yang akurat adalah penting untuk perencanaan keperawatan yang
efektif bagi pasien yang berduka.
2. Kembangkan hubungan saling percaya dengan pasien. Perlihatkan empati
dan perhatian. Jujur dan tepati semua janji. Rasional: Rasa percaya
merupakan dasar unutk suatu kebutuhan yang terapeutik.
3. Perlihatkan sikap menerima dan membolehkan pasien untuk
mengekspresikan perasaannya secara terbuka. Rasional: Sikap menerima
menunjukkan kepada pasien bahwa anda yakin bahwa ia merupakan
seseorang pribadi yang bermakna. Rasa percaya meningkat.
4. Dorong pasien untuk mengekspresikan rasa marah. Jangan menjadi defensif
jika permulaan ekspresi kemarahan dipindahkan kepada perawat atau
terapis. Bantu pasien untuk mengeksplorasikan perasaan marah sehingga
pasien dapat mengungkapkan secara langsung kepada objek atau
orang/pribadi yang dimaksud. Rasional: Pengungkapan secara verbal
perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam dapat membantu
pasien sampai kepada hubungan dengan persoalan-persoalan yang belum
terpecahkan.
5. Bantu pasien untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam dengan
berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas motorik kasar (mis, joging, bola
voli,dll). Rasional: Latihan fisik memberikan suatu metode yang aman dan
efektif untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam.
6. Ajarkan tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku yang
berhubungan dengan setiap tahap. Bantu pasien untuk mengerti bahwa
perasaan seperti rasa bersalah dan marah terhadap konsep kehilangan adalah
perasaan yang wajar dan dapat diterima selama proses berduka. Rasional:
Pengetahuan tentang perasaan-perasaan yang wajar yang berhubungan
dengan berduka yang normal dapat menolong mengurangi beberapa
perasaan bersalah menyebabkan timbulnya respon-respon ini.
7. Dorong pasien untuk meninjau hubungan dengan konsep kehilangan.
Dengan dukungan dan sensitivitas, menunjukkan realita situasi dalam area-
area dimana kesalahan presentasi diekspresikan. Rasional: Pasien harus
menghentikan persepsi idealisnya dan mampu menerima baik aspek positif
maupun negatif dari konsep kehilangan sebelum proses berduka selesai
seluruhnya.
8. Bantu pasien dalam memecahkan masalahnya sebagai usaha untuk
menentukan metoda-metoda koping yang lebih adaptif terhadap
pengalaman kehilangan. Berikan umpan balik positif untuk identifikasi
strategi dan membuat keputusan. Rasional: Umpan balik positif
meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan perilaku yang
diharapkan.

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang


1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka
yang normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan
mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep
kehilangan secara jujur.
3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-
perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan
mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.

Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri,


Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai