Dosen Pembimbing :
Rr. DianTristiana., S.Kep.Ns.M. Kep
Disusun Oleh:
Seluruh Mahasiswa
Kelas A1 2016
Tanggapan :
Berduka merupakan respon dari perasaan kehilangan. Jadi berduka
merupakan reaksi emosionalnya yang ditunjukkan oleh seseorang atau efek
dari kehilangan. Berduka dapat didasarkan pada pengalaman pribadi,
ekspektasi budaya dan keyakinan spiritual yang dianutnya.
Sumber :
Alimul, Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta. Salemba Medika)
Tanggapan :
Berduka memiliki proses yang terdiri dari 5 proses. Yang pertama yaitu
pengingkaran, hal ini merupakan reaksi pertama individu ketika mengalami
kehilangan., ia tidak percaya dan mengingkari bahwa kehilangan benar-
benar terjadi. Yang kedua yaitu marah, pada saat ini individu menolak untuk
kehilangan. Kemarahan yang timbul sering sekali diproyeksikan pada
dirinya sendiri ataupun orang lain dengan berbagai macam. Lalu yang ketiga
yaitu tawar-menawar, individu menunda kesadaran atas kenyataan yang ia
hadapi dan mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-
terangan seolah-olah kehilangan tersebut dapat dicegah. Yang ke-empat
yaitu depresi, pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
kadang bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputus
asaan, rasa tidak berharga, bahkan bias muncul keinginan bunuh diri. Dan
yang terakhir yaitu penerimaan, individu mampu menerima semua
kenyataan bahwa ia sedang mengalami kehilangan.
Sumber :
Alimul, Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta. Salemba Medika)
Tanggapan :
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka, antara lain :
1. Faktor genetik merupakan faktor keturunan dari riwayat kesehatan
keluarga, apakah keluarga memiliki riwayat depresi ataupun tidak. Jika
ada riwayat keluarga yang depresi akan sulit untuk bersikap optimis
dalam menghadapi kenyataan.
2. Kesehatan fisik merupakan keadaan fisik individu, mental serta pola
hidup yang baik cenderung mempunyai kemampuan dalam mengatasi
stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami
gangguan jasmani.
3. Kesehatan mental seperti individu yang mengalami gangguan jiwa,
terutama yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan
perasaan tidak berdaya dan pesimis, selalu dibayangi masa depan peka
dalam menghadapi situasi kehilangan.
4. Pengalaman kehilangan di masa lalu dengan orang yang dicintai pada
masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam
mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa.
5. Struktur kepribadian individu dengan konsep diri yang negative dan
perasaan rendah diri akan mneyebabkan rasa percaya diri yang rendah
dan tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
6. Adanya stressor perasaan kehilangan dapat berubah stressor yang
nyata ataupun imajinasi individu itu sendiri, seperti kehilangan
biopsikososial yang meliputi kehilangan harga diri, pekerjaan,
seksualitas, posisi dalam masyarakat, milik pribadi.
Sumber :
Alimul, Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta. Salemba
Medika)
Sumber :
Maria, Mega Laluyan. Kanine, Esrom. Wowiling, Ferdinand.
2014.GAMBARAN TAHAPAN KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA
BANJIR PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN PERKAMIL KOTA
MANADO.Universitas Sam Ratulangi Manado.
Yusuf, Ah. Fitryasari, Rizky PK. Endang, Hanik Nihayati. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/buku%20ajar%20kepera
watan%20kesehatan%20jiwa.pdf
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya,
syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri
terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura
senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut.
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak
melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......” atau “misalkan
dia tidak memilih pergi ke tempat itu... pasti semua akan baik-baik saja”, dan
sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut.
a. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa
bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
b. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total,
perpanjangan waktu hidup,
terhindar dari rasa kesakitan secara fsik, atau bertobat.
c. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir
semua tawar-menawar
dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan
secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan
tidak menanggapi
permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih
berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih
baik.”
“Bila saya sembuh, saya akan…….”
d. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa,
menyesali perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang
lain.
4. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan
penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak
mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fsik, individu
menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan
pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak-anak bila
saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa
kehadiran saya?” Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan
tahap yang penting
dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan damai.
Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.
1. Pengkajian
Setiap pasien pertama kali terdiagnosis HIV/ AIDS mengalami stress.
Seorang partisipan mengungkapkan stress saat pertama kali dirinya terdiagnosis
HIV/AIDS yang menyebabkan ketidakseimbangan, gangguan fungsi dan
ketidaknyaman fisik saat pertama kali terdiagnosis HIV/AIDS.
2. Diagnose
Berduka dialami pasien pertaa kali terdiagnosis HIV/AIDS
Semua partisipan dalam studi ini mengawali berduka dengan penolakan terhadap
diagnosis HIV.
Selain itu kebanyakan partisipan mengungkapkan kemarahan dan menyalahkan
orang lain.
3. Intervensi
Berbagai mekanisme koping dan adaptasi pasien pertama kali terdiagnosis
HIV/AIDS.
Beberapa partisipan berupaya terbuka dengan orang lain mengenai kondisinya dan
berusaha untuk mensemangati diri sendiri dari keterpurukan dan dari masalah
yang dihadapi. Ungkapan yang partisipan sampaikan adalah mencoba
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
4. Implementasi
Setiap pasien pertama kali terdiagnosis HIV/ AIDS membutuhkan dukungan dari
lingkungan sekitarnya.
Semua partisipan mengungkapkan pentingnya dukungan keluarga dan merupakan
kelompok pertama yang dihubungi partisipan saat pertama kali terdiagnosis
HIV/AIDS. partisipan membutuhkan dukungan dari pasangannya sebagai orang
yang dapat dipercaya selama ini. Selanjutnya dukungan teman terdekat seperti
teman kantor, bersosialisasi dan teman sesama pengidap HIV/ AIDS merupakan
kelompok berikutnya yang dibutuhkan. Sama halnya dengan yang di atas,
kebutuhan dukungan dari petugas kesehatan merupakan salah satu kelompok yang
dicari oleh partisipan untuk mendapatkan pengobatan terbaik.
5. Evaluasi
Berbagai kebutuhan pelayanan keperawatan dan harapan pasien pertama kali
terdiagnosis HIV/AIDS.
Semua partisipan mengungkapkan penerimaan yang cukup baik pada pelayanan
keperawatan, namun partisipan menaruh harapan kepada perawat untuk lebih
menghargai pasien sebagaimana manusia seutuhnya. Selain itu setiap partisipan
mengungkapkan kebutuhannya terhadap perawat yang bersikap baik dan
komunikatif pada saat pertama kali terdiagnosis. Kemudian partisipan
mengharapkan perlunya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan ke depannya
lebih baik.
Vitriawan, W., Sitorus, R., & Afiyanti, Y. (2007). Pengalaman Pasien Pertama
Kali Terdiagnosis HIV/AIDS: Studi Fenomenologi Dalam Perspektif
Keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia, 11(1), 6-12.
Peran perawat:
Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi
ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan,
penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi
mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya
selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan.
Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan
menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima
kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat
berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita
setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi
masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and Practice.
Jakarta: EGC
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-
BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT
2. Definisi berduka
Berduka adalah respons emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak napas,
susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respons normal pada semua kejadian kehilangan.
Nanda merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespons kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara
aktual maupun potensial, hubungan, objek, dan ketidakmampuan
fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-
BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT
3. Proses berduka
Terdapat banyak macam teori yang menjelaskan tentang proses
berduka, diantaranya :
a. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang
dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun
menjelang ajal.
1) Fase I (syok dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin
menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara
fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat,
tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
2) Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan
mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah,
frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
3) Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima
perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk
mengalihkan kehilangan seseorang.
4) Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang
kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
5) Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari.
Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
b. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai
berikut:
1) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak
akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
2) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak
lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga
mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping
individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi
dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
3) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien
sering kali mencari pendapat orang lain.
4) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan
untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan
masalah.
5) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah pada pengunduran
diri atau berputus asa.
c. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai
lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi
kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang memengaruhi
respons kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan
biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin
berlanjut sampai 3-5 tahun.
d. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respons berduka menjadi 3 kategori :
1) Penghindaran
Pada tahap ini terjadi syok, menyangkal dan tidak percaya.
2) Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3) Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-
hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan
mereka.
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia.
e-BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT
4. Faktor kehilangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-
BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT
5. Tahapan berduka
Menurut Teori Kubler-Ross ada Kerangka kerja yang ditawarkan oleh
Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5
tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang
benar terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya itu terjadi”
atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang
didiagnosis dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi
tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah letih, lemah, pucat, diare,
gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak
tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit
atau beberapa tahun.
b. Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang
meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada
dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara
kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak becus.
Respons fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
c. Fase Tawar-Menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan
pada Tuhan. Respons ini sering dinyatakan dengan kata-kata “kalau saja
kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila
proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah
“kalau saja yang sakit, bukan anak saya”.
d. Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang
sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dan
sebagainya. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain: menolak makan,
susah tidur, letih, dorongan libido manurun.
e. Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
yang selalu berpusat kepada objek atau orang yang hilang akan mulai
berkurang atau hilang. Individu telah menerima kehilangan yang
dialaminya. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang mulai
dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada objek
yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betul
kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang
dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Sumber :
Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-
BOOK STIKES-POLTEKKES MAJAPAHIT
Nama : Locita Artika Isti
NIM : 131611133008
Tanggapan :
1. Pengertian Kehilangan:
Kehilangan adalah hilangnya sesuatu yang pernah dimiliki. Kehilangan
dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual, diersepsikan, atau sesuatu
yang diantisipasi. Kehilangan dapat berupa kehilangan harta benda, tahta,
kesehatan, orang yang dicintai dan disayangi, kehilangan atau apapun yang
sebelumnya telah dimiliki.
2. Pengertian Berduka:
Berduka adalah respon terhadap kehilangan yang merupakan respon
emosional yang normal. Karena orang menyimpan emosi dalam tubuh dan
kesejahteraan mereka, sehingga terjadi perubahan internal ataupun eksternal
dalam melaksanakan aktivitas normalnya. Koping efekif dapat digunakan
untuk melalui proses berduka agar dapat menerima kenyataan
3. Proses Berduka.
Proses berduka menurut Schulz (1978) ada 3 tahapan. Pertama adalah fase
awal, pada fase awal individu mengalami syok, ttidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan bingung, pada fase awal ini berlangsung selama
beberapa hari. Kedua adalah fase pertengahan, pada fase pertengahan
ditandai dengan perilaku yang obsesif, fase ini dimulai pada minggu ketiga.
Yang ketiga adalah fase pemulihan, pada fase pemulihan individu sudah
mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial, dan memilih untuk tidak
mengenang masa lalu dan melanjutkan kehidupan selanjutnya.
5. Faktor Kehilangan
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan yaitu yang
pertama adalah perkembangan anak , anak-anak masih belum bisa
merasakan seperti orang dewasa, atau dengan kata lain kurang peka. Selain
itu, anak-anak bisa mengalami regresi. Kedua adalah keluarga, keluarga
yang mempengaruhi respon anak terhadap kesedihan. Ketiga adalah faktor
sosial ekonomi, jika yang meninggal adalah tulang punggung keluarga,
maka secara tidak langsung kelangsungan hidup yang ditinggal juga akan
terganggu. Ke empat adalah pengaruh kultural, mengekspresikan kesidahan
tidak harus denga menangis dan berteriak-teriak. Kelima adalah agama,
melalui agama yang dianut dan diyakini dapat menyadarkan bahwa
kematian adalah Kuasa Tuhan. Ke enam adalah penyebab kematian,
keluarga yang ditinggal secara tiba-tiba akan sulit untuk menerima
kenyataan bahwa ia telah ditinggalkan.
Tanggapan:
Proses Berduka terdiri dari:
a. Depresi yaitu suatu tahapan dimana seseorang yang menghadapi suatu
peristiwa kematian menghabiskan banyak waktu untuk menangis dan
berduka, dan orang yang berada pada tahap ini dapat berkata “saya
sangat sedih, mengapa peduli dengan yang lainnya?”, “ saya akan
mati...”, “apa keuntungannya?”, “ saya merindukan orang yang saya
cintai”, dan “mengapa saya harus hidup?”
b. Marah (Anger) yaitu suatu tahapan dimana seseorang mengahdapi
suatu peristiwa kematian meresa bahwa penyangkalan tidak mungkin
lagi diteruskan, dan orang tersebut menjadi sulit untuk dirawat, kaena
kemarahan akan diarahan dan diproyeksikan kepada para tenaga
medis, perawat, anggota keluarga, bahkan tuhan.
c. Tawar-menawar merupakan suatu tahap dalam proses berduka dimana
seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian dapat saja di
undur atau ditunda.
d. Mengingkari (denial) mengatakan bahwa penyangkalan merupakan
tahap pertama dari Kubler-Ross’s of dying dimana pada tahap ini
seseorang menyangkal bahwa kemtian ini akan benar-benar datang.
Sumber:
Salim, J., F., C., P., Pasaribu, J., Susilo, W., H. (2014). “Proses Berduka
Akibat Kematian Orang yang Dicintai yang Dialami Oleh Lansia
di Kabupaten Ngada”. Artikel Ilmiah. STIK SINT Carolus, Jakarta.
hal. 6-11
Tanggapan:
Proses atau tahapan berduka menurut teori
Menurut teori Engel (1964) dam Potter & Perry (2005) suatu proses berduka
atau kehilangan melalui 3 fase yaitu: menyangkal kejadian yang ada, mulai
merasa kehilangan lalu mungkin merasa putus asa, mulai menerima
kehilangan yang ada lalu pelan-pelan bangkit unuk menghadapi fakta yang
terjadi. Teori Rando (1991) dalam Potter&Perry (2005) ketika seseorang
kehilangan proses yang dilalui yaitu penghindaran realitas yang ada,
konfrontasi dimana emosi tingkat tinggi lalu akomodasi penurunan emosi
dan kembali menjalani dunia sosial sehari-hari.
Sumber:
Widarini, S., R., A. (2015). “Mekanisme Koping Pada Pasien Terdiagnosa
Kanker Paru di Rumah Sakit Islam Surakarta”. Naskah Publikasi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tanggapan:
Asuhan Keperawatan Klien dengan Kehilangan
1. Pengkajian
Menurut Yosep (2011), pengkajian pada klien dengan kehilangan meliputi :
a. Faktor predisposisi
1) Faktor genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dengan riwayat depresi
akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan,
termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
2) Kesehatan fisik
Individu dengan fisik, mental, serta pola hidup yang teratur cenderung mempunyai
kemampuan dalam mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan jasmani.
3) Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa, terutama yang mempunyai riwayat
depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan pesimis, selalu dibayangi
masa depan peka dalam menghadapi situasi kehilangan.
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang dicintai pada masa kanak-kanak
akan memengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi perasaan kehilangan
pada masa dewasa.
5) Struktur kepribadian
Individu dengan konsep diri yang negatif dan perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri dan tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
b. Faktor presipitasi
2) Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti menangis atau
tidak mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada tanda-tanda
usaha bunuh diri atau ingin membunuh orang lain, sering berganti tempat mencari
informasi yang tidak menyokong diagnosanya.
3) Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai oleh individu dengan respon kehilangan antara lain
denial, represi, intelektualitas, regresi, disosiasi, supresi, dan proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan.
Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam.Keadaan
patologis dalam mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan
tidak tepat.
2. Diagnosa keperawatan
kehilangan meliputi :
a. Duka Cita.
1) Tujuan Umum
Klien dapat berperan aktif melalui proses berduka secara tuntas.
2) Tujuan khusus
e) Klien mampu membina hubungan baru yang bermakna dengan obyek atau
orang yang baru.
3) Intervensi
Rasional : dapat membantu klien mengidentifikasi hal positif dan hikmah dalam
suatu kejadian walaupun hal tersebut menyakitkan.
1) Tujuan :
Rasional : mendiskusikan benda atau orang yang hilang dapat membantu klien
mengidentifikasi dan mengungkapkan kehilangan, makna kehilangan tersebut
baginya dan respon emosionalnya.
e) Dorong klien untuk berbicara dengan anggota keluarga ataupun orang lain.
Rasional : mengembangkan ketrampilan mandiri untuk mengungkapkan perasaan
dan mengungkapkan rasa duka kepada orang lain.
f) Jelaskan kepada klien bahwa waktu berduka dapat menjadi waktu untuk
berkembang, waktu untuk belajar dan bertumbuh guna mengumpulkan kekuatan
untuk maju.
berduka.
Rasional : klien dan keluarga atau orang terdekat dapat memiliki sedikit atau tidak
memiliki pengetahuan tentang berduka atau proses pemulihannya.
1) Tujuan umum
c) Klien dapat menerima kehilangan sebagai bagian dari kehidupan yang nyata
dan harus dilalui.
2) Intervensi
(4) Jelaskan kepada klien bahwa sikapnya itu wajar terjadi pada orang yang
mengalami kehilangan.
Rasional : memberi pengertian kepada klien tentang keadaannya yang wajar terjadi.
(5) Beri dukungan kepada klien secara non verbal, seperti memegang tangan,
menepuk bahu dan merangkul.
(6) Jawab pertanyaan klien dengan bahasa sederhana, jelas dan singkat.
Rasional : mencegah melakukan tindakan menciderai diri sendiri dan orang lain.
Rasional : mencegah melakukan tindakan menciderai diri sendiri dan orang lain.
e) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap penerimaan adalah membantu
klien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dielakan.
(2) Bantu klien/keluarga untuk berbagi rasa, karena biasanya setiap anggota
keluarga tidak berada pada tahap yang sama pada saat yang bersamaan.
4. Evaluasi
e. Apakah klien sudah dapat menilai hubungan baru dengan orang lain dan
objek lain ?
Sumber:
Putri, S. A. (2014). “Kajian Asuhan Keperawatan Pada NY. M Dengan Gangguan
Psikososial: Kehilangan Di Desa Kepanjen RT 01 Rw 03 Kecamatan Delanggu”.
Skripsi. PKU Muhammadiyah Surakarta. hal. 9
1. Pengertian Kehilangan
Nama: Reffy Shania Novianti
NIM: 13611133010
Tanggapan:
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu
tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara
bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau
tidak diharapkan/diduga.
Sumber:
Umah, K., & Handayani, D. R. (2014). Faktor Kesepian, Kemiskinan, dan
Kehilangan Pasangan Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia. Journals of Ners
Community, 5(1).
2. Pengertian berduka
Nama: Reffy Shania Novianti
NIM: 131611133010
Tanggapan:
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respons emosional
yang normal.Hasilpenelitiandiperolehbahwasebag ian besar responden 64,3%
respon penerimaan terhadap penyakit dengan sikap tidak menerima. Hal ini
dikarenakan bahwa individu yang berduka kadang – kadang tidak mampu untuk
menjalani perasaan berduka secara normal. Sebagai contoh individu yang berduka
akan mengalami depresi yang berat dari yang biasa apalagi bila berhubungan rat
dengan ambisi, pengharapan, harga diri, kemampuan atau rasa aman yang dialami
oleh individu dengan konsep diri yang miskin atau harga diri rendah mudah terjatuh
pada kondisi depresi (Suliswati, dkk, 2005)
Sumber:
Supriadi, D. (2017). Hubungan Antara Respon Penerimaan Individu Dengan
Kecemasan Pada Pasien Gangguan Kardiovaskuler Diruang Jantung Rs. Dustira
Cimahi. Hubungan Antara Respon Penerimaan Individu Dengan Kecemasan Pada
Pasien Gangguan Kardiovaskuler Diruang Jantung Rs. Dust, 1(1).
2. PROSES BERDUKA
Tanggapan:
1. Dalam reaksi awal kehilangan/berduka akan muncul penolakan kematian
hingga respon fisik
2. Dampak berikut yang dirasakan adalah munculnya perilaku menarik diri
dari lingkungan sosial
3. Proses menghadapi kehilangan memunculkan dorongan untuk memahami
dan mengatasi kehilangan. Proses dalam memahami kehilangan ini datang
secara internal maupun eksternal.
4. Fase berikutnya yang dirasakan subjek adalah menerima dan keadaan psikis
yang pulih kembali
5. Selanjutnya subjek yang ditinggalkan akan memiliki pengharapan dalam
kehidupannya serta perubahan diri setelah mampu memaknai kematian
Saputra, A., & Abidin, Z. (2016). PENGALAMAN KEHILANGAN ANAK PADA
IBU KORBAN TRAGEDI TRISAKTI 1998. Jurnal Empati, 5(2), 236-240.
5. TAHAPAN BERDUKA
TANGGAPAN:
Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka
Menurut Kubler Ross ( 1969 ) terdapat 5 tahapan proses kehilangan:
1. Denial ( Mengingkari )
1) Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan
“Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”.
2) Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus
menerus mencari informasi tambahan.
3) Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat,
mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu
harus berbuat apa.
2. Anger ( Marah )
1) Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan.
2) Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan
kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada
dirinya sendiri.
3) Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak
pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus.
4) Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
1) Fase ini merupakan fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
2) Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa
ditunda maka saya akan sering berdoa”.
3) Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya
sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”.
4) Cenderung menyelesaikan urusan yang bersifat pribadi, membuat surat
warisan, mengunjungi keluarga dsb.
4. Depression ( Bersedih yang mendalam)
1) Klien dihadapkan pada kenyataan bahwa ia akan mati dan hal itu tidak bias
di tolak.
2) Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri,
tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan
menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak
berharga.
3) Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur,
letih, dorongan libido menurun.
5. Acceptance (menerima)
1) Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.
2) Menerima kenyataan kehilangan, berpartisipasi aktif, klien merasa damai dan
tenang, serta menyiapkan dirinya menerima kematian.
3) Klien tampak sering berdoa, duduk diam dengan satu focus pandang, kadang
klien ingin ditemani keluarga / perawat.
4) Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-
betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau
“Sekarang saya telah siap untuk pergi dengan tenang setelah saya tahu semuanya
baik”.
Sumber:
Ardila, F., & Herdiana, I. (2013). Penerimaan diri pada narapidana wanita. Jurnal
Psikologi Kepribadian dan Sosial, 1(2).
Duka merupakan suatu respon yang dialami oleh individu saat mengalami
kehilangan. Reaksinya dapat berupa reaksi dari kehilangan maupun reaksi dari
ketakutan akan kehilangan. Rasa duka sendiri sudah dapat muncul saat seseorang
akan mengalami kehilangan.
Sumber :
Harison, H. (2009). Anticipatory Grief. Metamorfosis.
Proses kehilangan yang ditemukan oleh Bolwby dan Parkes (1970, dalam Collins,
2008) yang menyatakan proses kehilangan dalam empat tahapan, yaitu syok dan
mati rasa serta ada penyangkalan terhadap kehilngan, hasrat mencari penyelesaian
dan memprotes kehilangan yang teteap ada, disorientasi dan disorganisasi
(Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari), serta reorganisasi dan resolusi
(reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya). (Koesoemo,
2010)
Sumber :
Koesoemo, R. F. (2010). PROSES BERDUKA DAN BEBAN YANG DIALAMI
KELUARGA DALAM MERAWAT ANAK DENGAN AUTISME. Jurnal
Ners Vol. 5 No. 2, 181-190.
Sumber:
Corless, I. B., Limbo, R., Bousso, R. S., Wrenn, R. L., Head, D., Lickiss, N., et al.
(2014). Languages of Grief: a model for understanding the expressions of
the bereaved. Health Psychol Behav Med, 132-143.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4345827/?report=classic
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka
a. Faktor internal:
Mencakup cerita di masa lalu, pendidikan, sifat dari rasa kehilangan,
kecerdasan emosional, spiritual, masalah keuangan, kemampuan
linguistik dan harapan hidup.
b. Faktor interpersonal
Tentang dukungan sosial termasuk jumlah dan ketertarikan dalam
menjalin pertemanan dan hubungan dalam keluarga dan masyarakat.
c. Faktor eksternal
mencakup budaya atau etnik dan negara. (Corless, et al., 2014)
Sumber:
Corless, I. B., Limbo, R., Bousso, R. S., Wrenn, R. L., Head, D., Lickiss, N., et al.
(2014). Languages of Grief: a model for understanding the expressions of
the bereaved. Health Psychol Behav Med, 132-143.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4345827/?report=classic
Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak,
tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum
dilontarkan klien.
2) Kemarahan (Anger)
Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan
marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan manifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
3) Penawaran (Bargaining)
Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain. Individu berupaya
untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk
mencegah kehilangan.
4) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati
kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
5) Penerimaan (Acceptance)
Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri
atau berputus asa. Pada tahap ini reaksi fisiologi menurun dan interaksi
sosial berlanjut.
Sumber
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan,
Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto
Jawaban 3:
Ada banyak teori mengenai proses berduka. Salah satunya adalah Teori
Bowlby. Menurut Bowlby, proses berduka akibat kehilangan sesuatu terdiri dari
empat fase, yaitu:
Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan;
Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada;
Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari; dan
Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan
hidupnya.
Teori yang lainnya adalah Teori Rodebaugh et. al. pada tahun 1999.
Menurut Rodebaugh, proses berduka terdiri dari 4 tahap, antara lain:
Reeling
Merupakan fase penyangkalan, dimana pasien dapat mengalami syok,
merasa tidak percaya akan kehilangan yang baru saja dialaminya, dan
penyangkalan dari keadaan yang ada.
Feeling
Pasien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah, kesedihan
yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur, perubahan
nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan fisik yang umum.
Dealing
Pasien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri
dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan bimbingan
spiritual.
Healing
Pasien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan
penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan
tersebut dilupakan atau diterima
Sumber
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Jawaban 4:
Menurut Elisabeth Kubler-Ross, ada 5 tahapan berduka, yaitu:
Tahap Penyangkalan, syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan yang
baru saja dialaminya.
Tahap Kemarahan, yang dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman
atau pemberi perawatan kesehatan.
Tahap Tawar-menawar, yang terjadi ketika individu menawar untuk
mendapat lebih banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang
tidak dapat dihindari.
Tahap Depresi, yang terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
Tahap Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tandatanda bahwa
ia menerima kematian. Model ini menjadi prototype untuk pemberi perawatan
ketika mereka mencari cara memahami dan membantu klien dalam proses
berduka.
Sumber
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Definisi Kehilangan
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Salemba
Medika
Definisi Berduka
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu seperti respon psikologis, sosial
dan fisik dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Respon
berduka ini dapat berupa keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan,
rasa bersalah dan marah.
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Salemba
Medika
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta.
Salemba Medika
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas
tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta
restitusi.
b. Perkembangan kesadaran
c. Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase
awal,
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan kon ik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif.
3. Fase pemulihan
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Salemba
Medika
2. Proses Berduka
Menurut Rando (1993), ia mendefinisikan respons berduka menjadi tiga
kategori. Yang pertama ialah penghindaran, pada tahap ini individu dapat
mengalami syok, bahkan individu menyangkal dan tidak dapat percaya
bahwa sesuatu telah hilang dari dirinya. Selanjutnya ialah konfrontasi, pada
tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling
dalam dan dirasakan paling akut. Dan yang terakhir ialah akomodasi, pada
tahap ini terjadi penurunan kedukaan akut secara bertahap dan mulai
memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana
klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
3. Tahap Berduka
Pada tahun 1998, John Harvey mengemukakan teori mengenai tahap
berduka. John Harvey menetapkan tiga tahap berduka. Tahap yang pertama,
individu akan mengalami syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
Pada tahap yang kedua, individu akan menginstruksikan pikiran,
mendistraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif. Tahap yang
terakhir, individu akan menceritakan kepada orang lain sebagai cara
meluapkan emosi dan secara kognitif menyusun kembali peristiwa
kehilangan.
Proses berduka merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang dapat
diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah kehilangan. Proses berduka
memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi
tidak dapat dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti tahap yang dapat
diprediksi.
1. Definisi kehilangan
Secara umum kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang pernah
dialami oleh setiap individu kepada suatu objek yang bernilai dalam rentang
kehidupannya dimana kondisi dari individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik kehilangan sebagian
atau kehilangan secara keseluruhan dimana dapat mempengaruhi respons
perilaku dan emsional tiap individu yang mengalami kehilangan.
Kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang berhubungan dengan suatu
objek, orang, kepercayaan, hubungan antar manusia yang bernilai (Dyer,
2001 dalam Ritanti, 2010). Kozier, et al, dalam Ritanti (2010) menerangkan
bahwa kehilangan sebagian situasi saat ini atau yang akan terjadi, dimana
sesuatu yang berbeda nilainya karena hilang keberadaannya. Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda (Yosp, 2010)
2. Definisi berduka
Secara umum berduka adalah proses dimana individu yang memiliki
pengalaman perpisahan dan mengalami respon psikologis, sosial dan fisik
terhadap kehilangan yang dirasakan individu yang berduka dimana
membutuhkan waktu untuk menerima suatu peristiwa kehilangan yang
dihadapinya. Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak
nafas, susah tidur dan lain-lain. Berduka adalah proses kompleks yang
normal yang mencakup respons dan perilaku emosi, fisik, spiritual, social,
dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi
kehilangan actual, kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan
kedalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA, 2011).
3. Faktor kehilangan
1) Patofisiologis
Meliputi kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder individu
akibat kardiovaskuler, trauma, musculoskeletal
2) Tindakan
Meliputi klien yang mengalami dialisis jangka panjang, operasi
(mastektomi, kolostomi, histrektomi)
3) Disfugsional
Meliputi suatu keadaan individu ketika mengalami : penyakit
terminal, kematian, perpisahan, perceraian, pensiun, anak akan
meninggalkan rumah
4) Maturasional
Meliputi klien yang memasuki masa penuaan
4. Proses berduka
Teori Bowlby menjelaskan bahwa proses berduka akibat suatu kehilangan
memiliki empat fase yaitu :
1) Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan
2) Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan
memprotes kehilangan yang tetap ada
3) Kekacauan kognitif dan keputusan emosional, mendapatkan dirinya
sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari
4) Tahap terakhir adalah reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri
sehingga dapat mengembalikan hidupnya.
5. Tahapan berduka menurut teori
Tahapan berduka menurut Kubler-Ross (1969) dalam Videbeck (2008) ada
5 tahap yaitu :
1) Fase pengingkaran (denial)
Merupakan perasaan tidak percaya, syok, biasanya ditandai dengan
menangis, gelisah, lemah, letih dan pucat. Individu bertindak seperti
seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai
bahwa telah terjadi kehilangan.
2) Fase kemarahan (anger)
Merupakan perasaan marah yang diekspresikan pada suatu objek.
Pada fase ini individu akan lebih sensitive sehingga mudah
tersinggung.
3) Fase tawar menawar (bargaining)
Fase ini individu mampu mengungkapkan rasa marah, takut akan
kehilangan. Pada tahap ini individu sering meminta pendapat orang
lain. Peran perawat pada tahap ini adalah diam, mendengarkan, dan
memberikan sentuhan terapeutik. (Kubler- Ross, 1969 dalam
Videbeck, 2008).
4) Fase depresi (depression)
Fase ini terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata
dari makna kehilangan tersebut. Peran perawat pada tahap ini adalah
diam, mendengarkan, dan memberikan sentuhan terapeutik.
(Kubler- Ross, 1969 dalam Videbeck, 2008).
5) Fase penerimaan (acceptance)
fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran
yang berpusat pada objek kehilangan mulai berkurang. Peran
perawat pada tahap ini menemani klien bila mungkin, bicara dengan
pasien, dan menanyakan apa yang dibutuhkan klien. (Kubler-Ross,
1969 dalam Videbeck, 2008).
Sumber :
Kusuma, E. P. (2013). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja Dengan
Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Karya
Ilmiah Akhir Ners, Universitas Indonesia.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf
Sari, R. A. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu
Preeklampasi yang Kehilangan Bayinya. Doctoral dissertation, Faculty of
Medicine, Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/47270/
NAMA : NURUL HIDAYATI
NIM : 131611133022
TANGGAPAN :
2. Pengertian berduka
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
Stroebe dan Stroebe (1987) (dalam Moyle & Hogan, 2006) menganggap
berduka sebagai situasi objektif dari seorang individu yang baru saja
mengalami kehilangan dari sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada.
Berduka mengacu pada respons emosional terhadap kehilangan ini, termasuk
beberapa reaksi psikologis dan fisik (Buglass, 2010).
Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita
adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respons dan perilaku
emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan
komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi, atau
persepsi kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA, 2011).
Selain itu, berduka situasional sendiri diartikan sebagai suatu kondisi
ketika individu atau kelompok mengalami sejumlah reaksi dalam merespon
kehilangan yang bermakna yang berhubungan dengan efek negatif akibat
peristiwa kehilangan sekunder, kehilangan gaya hidup dan kehilangan
normalitas sekunder (Carpenito, 2006).
Sumber :
Moyle, W.P., & Hogan, N.S. (2006). Grief theories and models applications to
hospice nursing practice. Journal Of Hospice And Palliative Nursing,
10(6)
Buglass, E. (2010). Grief and bereavement theories. Nursing Standard, 24(41),
44-47
NANDA. (2011). Nursing diagnoses: Definition & classification. UK: Wiley-
Blackwell.
Carpenito, J., Lynda. (2006). Buku saku diagnosa keperawatan: Handbook of
nursing diagnosis. (10th ed). Jakarta: EGC.
3. Proses berduka
Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas
tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta
restitusi.
a. Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat
menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya
memang dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi
kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain,
perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai
cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang
dalam.
c. Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan
kehilangan.
2. Fase jangka panjang\
a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang
tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada
beberapa individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri,
sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan
menggunakan alkohol.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa
kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan
untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan.
Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan
sosial.
Sumber :
Yusuf, Ah., Hanik Endang Nihayati, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
5. Evaluasi
1. Pasien mampu mengenali peristiwa kehilangan yang dialami.
2. Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan
dirinya.
3. Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.
4. Memanfaatkan faktor pendukung.
5. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
6. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
7. Keluarga mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.
8. Keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
Sumber :
Yusuf, Ah., Hanik Endang Nihayati, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Daftar Pustaka :
Buglass, E. (2010). Grief and bereavement theories. Nursing Standard, 24(41),
44-47
Carpenito, J., Lynda. (2006). Buku saku diagnosa keperawatan: Handbook of
nursing diagnosis. (10th ed). Jakarta: EGC.
Moyle, W.P., & Hogan, N.S. (2006). Grief theories and models applications to
hospice nursing practice. Journal Of Hospice And Palliative Nursing,
10(6)
NANDA. (2011). Nursing diagnoses: Definition & classification. UK: Wiley-
Blackwell.
Yusuf, Ah., Hanik Endang Nihayati, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Definisi Kehilangan :
Kehilangan adalah situasi aktual dan potensial yang yang di dalamnya sesuatu
yang dinilai berharga berubah, tidak lagi ada atau menghilang.
Berduka adalah respon total terhadap pengalaman emosional akibat kehilangan .
berduka dimanifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku yang
berhubungan dengan distres atau kesedian yang mendalam.
Duka Cita adalah respon subjektif yang dialami orang yang ditinggalkan setelah
kematian sesesorang yang amat erat hubungannya dengan mereka.
Kozier et al. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Tahap berduka menurut Engel
1) Syok dan tidak percaya
Respon : tidak mau menerima kehilangan, merasa terkejut, menerima situasi
secara intelektual tetapi menyangkalnya secara emosional
2) Menyadari
Respon : Realita kehilangan mulai menembus kesadaran, rasa marah dapat
ditunjukan pada lembaga, perawat atau orang lain.
3) Restitusi
Respon : melakukan ritual berkabung (pemakaman)
4) Menyelesaikan kehilangan
Respon :
Beruaya mengatasi lepasan yang menyakitkan
Teta tidak mampu menerima objek kasih sayang baru untuk
menggantikan seseorang atau objek yang telah hilang
Daat menerima hubungan yang lebih bergantung dengan orang
endukung
Memikirkan atau membicarakan tentang memori objek yang telah
hilang
5) Idealisasi
Reson :
Menghasilkan gambaran objek yang telah hilang yang hampir
bebas dari gambaran yang tidak diharapkan
Menekan semua perasaan negatif dan permusuhan pada objek yang
telah hilang
Dapat merasa bersalah dan menyesal tentang tindakan yang
menyakiti atau tidak menyenangkan di masa lalu yang dilakukan
terhadap orang yang meninggal tersebut
Secara tidak sadar merasakan kekaguman yang sangat terhadap
objek yang tela h hilang
Ingatan akan objek yang telah hilang menimbulkan beberapa
perasaan sedih
Menumbuhkan kembali perasaan kepada orang lain
6) Hasil akhir
Respon :
Perilaku dipengaruhi beberapa faktor : makna penting objek yang
telah hilang sebagai sumber dukungan, derajat ketergantungan
pada hubungan, derajat ambivalensi pada objek yang telah hilang,
jumlah dan sifat hubungan lain, dan jumlah serta sifat pengalaman
berduka sebelumnya (yang cenderung bersifat kumulatif)
Kozier et al. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Faktor yang mempengaruhi kehilangan dan berduka
1) Usia :
Masa kanak kanak : Kehilangan orang tua atau orang terdekat
dapat mengancam kemampuan anak-anak untuk berkembang dan
kadang kala menimbulkan regresi
Masa dewasa awal dan pertengahan : Kehilangan mulai diagangap
sebagai bagian dari perkembangan normal . misalnya kehilangan
orang tua akibat kematian tampak lebih normal
Masa dewasa akhir : kehilangan yang dialami lansia terdiri atas
kehilangan kesehatan, mobilitas, kemandirian dan peran kerja.
Bagi lansia kehilangan akibat kematian pasangan yang telah
bersamanya dalam waktu yang lama akan amat menyakitkan
2) Makna Kehilangan
Makna kehilangan bergantung pada persepsi orang yang mengalami
kehilangan. Sejumlah faktor yang mempengaruhi makna kehilangan :
Makna orang atau objek, atau fungsi yang hilang
Derajat perubahan yang harus dilakukan karena kehilangan
Keyakinan dan nilai seseorang
3) Budaya
Cara mengungkapkan duka cita kerap ditentukan oleh kebiasaan budaya.
Beberapa kelompok budaya menghargai dukungan sosial dan ekpresi
kehilangan. Dibeberapa kelompok ekspresi berduka dengan meratap,
menangis kepasrahan fisik, dan demonstrasi ekspresi lainnya dapat diterima
atau didorong. Kelompok lain mungkin menganggap demonstrasi ini
sebagai kehilangan kontrol, lebih menyukai ekspresi berduka yang lebih
tenang dan tabah . Dalam kelompok budaya yang memelihara hubungan
kekeluargaan yang erat, dukungan fisik dan emosional serta bantuan
diberikan oleh anggota keluarga
4) Keyakinan spiritual
Sebagian besar kelompok agama memiliki kebiasaan yang berhubungan
dengan menjelang ajal dan penting bagi klien dan orang pendukung
5) Jenis kelamin
Pria seringkali diharapkan untuk bersikap kuat dan tidak banyak
menunjukan emosi selama berduka, sementara wanita diperbolehkan
memujukan rasa berduka
6) Status sosial ekonomi
Jaminan pensiun atau asuransi dapat memberikan adalah pilihan terbaik
untuk mengatasi kehilangan pada janda/duda atau individu yang cacat
contohnya
7) Sistem pendukung
Orang terdekat individu yang sedang berduka sering kali menjadi orang
pertama yang mengetahui dan memberikan bantuan emosional, fisik, dan
fungsional yang dibutuhkan
8) Penyebab kehilangan atau kematian
Cedera atau kematian yang terjadi selama kegiatan yang terhormat seperti
”saat menjalankan tugas” dianggap terhormat. Sementara yang terjadi
selama kegiatan yang terlarang mungkin dianggap sebagai kejadian yang
patut diterima ole individu tersebut.
Kozier et al. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Asuhan Keperawatan
Contoh diagnosa Keperawatan Nanda yang berhubungan dengan dukacita
Diagnosa Keperawatan Dukacita Maladaptif yang berhubungan dengan
kehilangan kesehatan dan penyakit terminal
Definisi : Dukacita Maladaptif adalah keadaan terdapat perasaan aktual atau
potensional tentang objek yang hilang (objek yang hilang digunakan dalam kesan
yang lebih luas). Objek yang hilang tersebut termasuk orang, kepemilikan,
pekerjaan, status, rumah, ideal, dan bagian dari proses dari tubuh (Kim,
McFarland, dan Mclane, 1995)
Tujuan Hasil yang Intervensi Rasional
diharapkan
Klien akan Klien akan Hargai duka cita Menerima
mengalami mengalami klien melalui perasaan klien
peredaan dari kesadaran akan kehadiran yang seperti apa adanya
disfungsi kehilangan dalam 1 bersifat empati memungkinkan
berduka atau minggu penerimaan
menunjukan bertahap tentang
tidak adanya realitas dan semua
penundakaan perasaan duka
reaksi emosional (Rando,1996)
dalam 2 bulan Klien akan Dengarkan klien Ekspresi perasaan
mengekspresikan dan berikan adalah unik untuk
pikiran dan dorongan untuk seorang individu .
perasaan yang berbagi perasaan mendengarkan
berhubungan emosi, seperti klien tanpa
dengan kehilangan marah, rasa memberi penilaian
dalam 2 minggu bersalah,atau meningkatkan
depresi, dalam perkembangan
cara yang paling hubungan
nyaman bagi terapeutik yang
klien (mis verbal akan
atau non verbal, meningkatkan
dalam tulisan rasa percaya dan
atau melalui keterbukaan
karya seni ) (Rando, 1984)
Atur pertemuan Saling berbagi
dengan orang perasaan dengan
lain yang mereka yang
mempunyai mengalami situasi
pengalaman yang
yang sama dapat
sama seperti megurangi
klien perasaan isolasi
(Lewis et ala.
1989)
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktik.Jakarta:EGC
Nama : Arinda Naimatuz Zahriya
NIM: 131611133024
Tanggapan:
Definisi berduka dan Kehilangan
Berduka adalah suatu reaksi normal terhadap kehilangan. Proses berduka
ini memungkinkan individe menyempurnakan kembali citra tubuh dan konsep diri
yang baru. Berduka dapat ditimbulkan dai perubahan dalam hubungan pribadi,
profesi dan sosial. Beberapa orang yang mengalami kehilangan akan mengalami
rasa marah
Kehilangan adalah keadaan aktual maupun potensial yang dapat dialami
oleh individu pada saat adanya perubahan dalam hidup atau berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagaian ataupun keseluruhan. Lingkungan
dapat mempengaruhi nilai dan prioritas individu, sehingga rasa kehilangan
bermacam macam bentuknya. Lingkungan tersebut meliputi keluarga, teman,
masyarakat, dan budaya. Memiliki rasa kehilangan adalah pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu selama kehidupannya. Respon terakhir terhadap
kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu terhadap kehilangan
sebelumnya .
Proses Berduka:
1. Penolakan
Merupakan emosi luar biasa yang menjadi langkah pertama dalam proses
proses berduka. Hal tersebut memungkinkan selama beberapa waktu
mengumpulkan kekuatan dalam dan bersiap menghadapi musibah yang
baru saja menghadang. Sisi penolakan yang negatif dan merugikan
dilakukan orang yang menyangkal untuk berdiri tegak kembali. Pandangan
yang tertutup tidak akan memungkinkan orang bertindak benar, belajar
kecakapan yang perlu, dan menyesuaikan diri dengan kebenaran.
2. Marah
Adalah emosi yang juga luar biasa sangat kuat dan menjadi bagian wajar
dalam proses berduka. Oleh karena itu tidak ada salah apabila marah, namun
marah juga harus dikontrol karena marah bersifat maladaptif dan destruktif
apabila berupaya menyalahgunakan marah pada diri sendiri maupun orang
lain. Kita juga perlu mengingat bahwa depresi dalam bisa saja terjadi.
Namun lebih baik mengeluarkan rasa marah dan kemudian
menghentikannya dengan menciptakan metode terbaik untuk dirinya
sendiri.
3. Menawar
Menawar bisa disebut juga menolak, memberi waktu tertentu bagi individu
untuk menyesuaikan diri.
4. Depresi
Depresi merupakan wujud marah yang berkobar kembali. Gambaran dari
perasaan depresi sendiri yaitu ada masalah yang biasanya merupakan bagian
dari hidup yang biasanya wajar namun beralih seperti gunung yang tidak
terjangkau ketinggannya.
5. Penerimaan
Penerimaan merupakan proses terakhir dalam proses berduka. Istilah ini
perlu diperjelas lagi sedikit karena seringkali orang berpendapat bahwa
dengan menerima seluruh gagasan perubahan didalam organisasi mereka
atau menerima peran penyedia di dalam pekerjaan mereka berarti lompatan
yang luar biasa. Gagasan penerimaan “perubahan hidup” ini tidak realistis.
Namun demikian ada kemungkinan bahwa itu bisa ditanggulangi dan pada
akhirnya dapat menikmati bekerja dengan sekelompok orang untuk
mencapai sasaran mereka.
Sumber:
Bahiyatun. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC.
Engram, B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Hansten, R. (2001). Kecakapan Pendelegasian Klinis: Pedoman untuk Perawat.
Jakarta: EGC.
Hidayat, M., & Hidayat, A. A. (Jakarta). Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk
Kebidanan. 2008: Salemba Medika.
https://books.google.co.id/books?id=aabo4N8QHzQC&pg=PT254&dq=kehilanga
n+adalah&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=kehilangan%20adalah&f=fa
lse
https://books.google.co.id/books?id=bhRB7IeC0JIC&pg=PA727&dq=berduka+a
dalah&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=berduka%20adalah&f=false
https://books.google.co.id/books?id=ZkPup5Ozy8C&pg=PA106&dq=tahap+taha
p+berduka&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=tahap%20tahap%20berdu
ka&f=false
https://books.google.co.id/books?id=bXce31UVNUC&pg=PA97&dq=tahap+taha
p+berduka&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=tahap%20tahap%20berdu
ka&f=false
Tanggapan :
Saya ingin menambahkan tentang definisi berduka :
Berduka adalah reaksi normal terhadap kehilangan. Karena orang menyimpan
emosi dalam tubuh dan kesejahteraan mereka, perubahan internal atau eksternal
mencegah individu melaksanakan aktivitas normalnya seringkali menimbulkan
manifestasi emosi dan perilaku berduka. Perubahan dalam hubungan pribadi,
profesi dan social juga menimbulkan berduka. Jadi, bisa dikatakan bahwa berduka
adalah efek atau dampak dari kehilangan. Ketika seseorang merasakan sesuatu yang
sangat berarti di dalam kehidupannya, maka ia akan berada pada rasa duka yang
dalam.
Sumber :
Engram, Barbara. 1994.Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nama : Verantika Setya Putri
Nim : 131611133026
Menurut teori Bowlby proses berduka akibat kehilangan memiliki 4 fase yaitu :
1. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan
2. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan
memprotes kehilangan yang tetap ada
3. Kekacauan kognitif, keputusasaan emosional dan mendapatkan dirinya
sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari – hari.
4. Reorganisasi dan reinteraksi kesadaran diri
Sari, Rossi Anita and Sudarmiati, Sari and Susilawati, Dwi and Zubaidah, (2015)
PENGALAMAN KEHILANGAN (LOSS) DAN BERDUKA (GRIEF)
PADA IBU PREEKLAMPSI YANG KEHILANGAN BAYINYA.
Undergraduate thesis, Faculty of Medicine
Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung
dalam mengatasi perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi
tidak terlibat secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan
aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan
harga diri klien.
Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat
– klien.
Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.
1. Pengertian Kehilangan
Nama:Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Kehilangan adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada atau dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
Salim, J. F., (2014). PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG
YANG DICINTAI YANG DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN
NGADA. Jakarta. http://ejournal.stik-
sintcarolus.ac.id/file.php?file=mahasiswa&id=488&cd=0b2173ff6ad6a6fb0
9c95f6d50001df6&name=ARTIKEL%20ILMIAH%20JULIAN%20FRITZ
%20CHESAR%20PRATAMA%20SALIM.pdf (19 Sept 2017).
Kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang berhubungan dengan suatu
objek, orang, kepercayaan, hubungan antar manusia yang bernilai (Dyer, 2001
dalam Ritanti, 2010). Kozier, et al, dalam Ritanti (2010) menerangkan bahwa
kehilangan sebagian situasi saat ini atau yang akan terjadi, dimana sesuatu yang
berbeda nilainya karena hilang keberadaannya.
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19 Sept
2017).
Sehingga dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa
kehilangan yaitu suatu keadaan individu, yang dimana individu tersebut
mengalami perpisahan akan sesuatu yang membuat perasaannya menjadi
emosional dan tidak dapat mengontrolnya.
2. Pengertian berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Berduka adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respons dan
perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga,
dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi,
atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA,
2011).
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017).
Menurut Santrock (2004: 272) dukacita (grief) adalah kelumpuhan
emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan
kesepian yang menyertai disaat kita kehilangan orang yang kita cintai. Duka
menurut Papalia, dkk (2008: 957) ialah kehilangan, karena kematian seseorang
yang dirasakan dekat dengan yang sedang berduka dan proses penyesuaian diri
kepada kehilangan. Menurut Parkes and Weiss, 1983 (dalam Stewart, dkk,
1988: 605) dukacita merupakan trauma paling berat yang pernah dirasakan
oleh kebanyakan orang.
Fitria, A., (2013). GRIEF PADA REMAJA AKIBAT KEMATIAN
ORANGTUA SECARA MENDADAK. Semarang.
http://lib.unnes.ac.id/18463/1/1550408014.pdf (19 Sept 2017).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan dari pendapat beberapa ahli, pengertian
berduka merupakan suatu emosional dan respon yang ada diri manusia yang
disertai dengan adanya kehilangan mengenai sesuatu yang disayangi.
3. Faktor yang mempengaruhi kehilangan
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Menurut Potter & Perry (2005), menyatakan bahwa faktor yang
memprngaruhi kehilangan yaitu bagaimana persepsi individu terhadap
kehilangan, tahap perkembangan, kekuatan/koping mekanisme, dan support
system.
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017).
4. Faktor yang mempengaruhi berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Ada beberapa faktor yang menyebabkan grief, faktor tersebut dikemukakan
oleh (Aiken, 1994: 164), yaitu:
a. Hubungan individu dengan almarhum
b. Kepribadian, usia, dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan
c. Proses Kematian
Fitria, A., (2013). GRIEF PADA REMAJA AKIBAT KEMATIAN
ORANGTUA SECARA MENDADAK. Semarang.
http://lib.unnes.ac.id/18463/1/1550408014.pdf (19 Sept 2017).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan proses berduka dapat digolongkan
menjadi patofisiologis (kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder akibat
kardiovaskuler, trauma, muskloskeletal, dan lain-lain); tindakan: dialisis jangka
panjang, operasi (mastektomi, kolostomi, histerektomi); disfungsional:
penyakit terminal, kematian, perpisahan, perceraian, pensiun, anak akan
meninggalkan rumah, dan lain-lain; dan maturasional: penuaan.
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017).
5. Proses berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Menurut Puri, Laking, dan Treasaden (2011) proses berduka merupakan
suatu proses psikologis dan emosional yang dapat diekspresikan secara internal
maupun eksternal setelah kehilangan. Individu yang berduka membutuhkan
waktu untuk menerima suatu peristiwa kehilangan, dan proses berduka
merupakan suatu proses yang sangat individual. Rotter (2009) mengatakan
bahwa proses berduka memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan waktu,
dapat difasilitasi tetapi tidak dapat dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti
tahap yang dapat diprediksi. Pada saat proses berduka, tidak ada yang tahu akan
dilewati sampai berapa lama, yang terpenting adalah memfasilitasi individu
yang sedang dalam proses berduka agar sampai pada proses penerimaan.
Salim, J. F., (2014). PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG
YANG DICINTAI YANG DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN
NGADA. Jakarta. http://ejournal.stik-
sintcarolus.ac.id/file.php?file=mahasiswa&id=488&cd=0b2173ff6ad6a6fb0
9c95f6d50001df6&name=ARTIKEL%20ILMIAH%20JULIAN%20FRITZ
%20CHESAR%20PRATAMA%20SALIM.pdf (19 Sept 2017).
6. Tahapan berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
Menurut oleh Kubler-Ross (1969) dalam Videbeck (2008) menyatakan
bahwa tahapan bedruka adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut lima
tahap, yaitu denial, anger, bargaining, depresi, dan acceptance.
a. Fase pengingkaran (denial) adalah perasaan tidak percaya, syok,
biasanya ditandai dengan menangis, gelisah, lemah, letih, dan pucat.
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
b. Fase kemarahan (anger), dimana perasaan marah dapat diproyeksikan
pada orang atau benda yang ditandai dengan muka merah, suara keras,
tangan mengepal, nadi cepat, gelisah, dan perilaku agresif. Pada fase ini
individu akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan
marah.
c. Fase tawar menawar (Bargaining), pada fase ini individu mampu
mengungkapkan rasa marah akan kehilangan, ia akan mengekspresikan
rasa bersalah, takut dan rasa berdosa. Peran perawat pada tahap ini
adalah diam, mendengarkan, dan memberikan sentuhan terapeutik.
(Kubler-Ross, 1969 dalam Videbeck, 2008).
d. Fase depresi (depression), fase ini terjadi ketika kehilangan disadari dan
timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Peran perawat
pada fase ini tetap mendampingi individu dan tidak meninggalkannya
sendiri.
e. Fase penerimaan (acceptance), dimana fase ini berkaitan dengan
reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran yang berpusat pada objek
kehilangan mulai berkurang. Peran perawat pada tahap ini menemani
klien bila mungkin, bicara dengan pasien, dan menanyakan apa yang
dibutuhkan klien. (Kubler-Ross, 1969 dalam Videbeck, 2008).
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017).
7. Asuhan Keperawatan berduka
Nama: Putri Aulia Kharismawati
NIM: 131611133027
Tanggapan:
a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mengkaji perasaan sedih, menangis,
perasaan putus asa, kesepian, mengingkari kehilangan, kesulitan
mengekspresikan perasaan, konsentrasi menurun, kemarahan yang
berlebihan, tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain,
merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan, reaksi emosional yang
lambat, serta adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas (Videbeck, 2008 dan NANDA, 2011).
b. Diagnosa Keperawatan
Data hasil pengkajian memunculkan diagnosa keperawatan Berduka
disfungsional. Berduka disfungsional adalah sesuatu respon terhadap
kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan dimana individu tetap
terfiksasi dalam satu tahap proses berduka untuk suatu periode waktu yang
terlalu lama, atau gejala berduka yang normal menjadi berlebihlebihan
untuk suatu tingkat yang mengganggu fungsi kehidupan. Faktor yang
berhubungan meliputi antisipasi kehilangan objek yang berarti (misal harta
benda, pekerjaan, status, rumah, bagian dari proses tubuh), antisipasi
kehilangan orang terdekat, kematian orang terdekat, serta kehilangan objek
yang berarti (NANDA, 2011).
c. Rencana Keperawatan
Tentukan pada tahap berduka mana pasien terfiksasi. Identifikasi
perilaku-perilaku yang berhubungan dengan tahap ini. Rasional:
Pengkajian data dasar yang akurat adalah penting untuk
perencanaan keperawatan yang efektif bagi pasien yang berduka.
Kembangkan hubungan saling percaya dengan pasien. Perlihatkan
empati dan perhatian. Jujur dan tepati semua janji. Rasional: Rasa
percaya merupakan dasar untuk suatu kebutuhan yang terapeutik.
Perlihatkan sikap menerima dan membolehkan pasien untuk
mengekspresikan perasaannya secara terbuka. Rasional: Sikap
menerima menunjukkan kepada pasien bahwa anda yakin bahwa ia
merupakan seseorang pribadi yang bermakna sehingga rasa percaya
diri meningkat.
Dorong pasien untuk mengekspresikan rasa marah. Bantu pasien
untuk mengeksplorasikan perasaan marah sehingga pasien dapat
mengungkapkan secara langsung kepada objek atau orang
/pribadiyang dimaksud. Rasional: Pengungkapan secara verbal
perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam dapat
membantu pasien sampai kepada hubungan dengan persoalan-
persoalan yang belum terpecahkan.
Bantu pasien untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam
dengan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas motorik kasar.
Rasional: Latihan fisik memberikan suatu metode yang aman dan
efektif untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam.
Ajarkan tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku
yang berhubungan dengan setiap tahap. Bantu pasien untuk
mengerti bahwa perasaan seperti rasa bersalah dan marah terhadap
konsep kehilangan adalah perasaan yang wajar dan dapat diterima
selama proses berduka. Rasional: Pengetahuan tentang
perasaanperasaan yang wajar yang berhubungan dengan berduka
yang normal dapat menolong mengurangi beberapa perasaan
bersalah menyebabkan timbulnya respon-respon ini.
Dorong pasien untuk meninjau hubungan dengan konsep
kehilangan. Dengan dukungan dan sensitivitas, menunjukkan
realita situasi dalam area-area dimana kesalahan presentasi
diekspresikan. Rasional; Pasien harus menghentikan persepsi
idealisnya dan mampu menerima baik aspek positif maupun negatif
dari konsep kehilangan sebelum proses berduka selesai seluruhnya.
Bantu pasien dalam memecahkan masalahnya sebagai usaha untuk
menentukan metoda-metoda koping yang lebih adaptif terhadap
pengalaman kehilangan. Berikan umpan balik positif untuk
identifikasi strategi dan membuat keputusan. Rasional: Umpan
balik positif meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan
perilaku yang diharapkan;
d. Evaluasi
Evaluasi akhir dari pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
berduka disfungsional, yaitu klien diharapkan mampu untuk menyatakan
secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal dan perilaku yang
berhubungan dengan tiap-tiap tahap; mampu mengidentifikasi posisinya
sendiri dalam proses berduka dan mengekspresikan perasaannya yang
berhubungan dengan konsep kehilangan secara jujur; dan klien tidak terlalu
lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang berlebihan
yang berhubungan dengan berduka disfungsional dan mampu
melaksanakan aktifitasaktifitas hidup sehari-hari secara mandiri (NANDA,
2011).
Kusuma, E. P., (2013). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN BERDUKA
DISFUNGSIONAL PADA KLIEN REMAJA DENGAN
KETERGANTUNGAN AMFETAMIN DI RUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT. Depok.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351455-PR-Erny%20Prian.pdf (19
Sept 2017)
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC). 5th ed. United states of America: Mosby
Elseiver
Dochteran, J. M., & Bulechek, G. M. (2013). Nursing Interventions
Classification (NOC). 6th ed. America: Mosby Elseiver
2. Proses berduka
Berdasarkan teori dukacita yang diungkapkan oleh Bowlby (dalam
Jeffreys, J.S., 2005), ada empat fase atau proses yang terjadi ketika individu
berpisah dari sosok terdekat dalam kehidupan mereka, seperti orangtua,
kekasih, saudara, kerabat maupun binatang peliharaan :
Fase pertama, mati rasa (numbing), individu menutup diri
(shutdown), menyangkal (denial), tidak realistis selama beberapa
hari sampai beberapa minggu.
Fase kedua, kerinduan dan mencari (yearning and searching), yaitu
individu yang berduka mencoba memulihkan keadaan seseorang
yang menjadi objek kehilangan. Ini merupakan “attachment
behavioru”. Orang yang berkabung mengalami hasutan dan distres
seperti, memanggil nama dari orang (almarhum) yang dicintai,
menggunakan pakaian yang merupakan milik almarhum, dan
merenungkan tentang apa yang telah hilang dari kehidupan
pribadinya.
Fase ketiga, kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa
(disorganization and despair), yaitu fase di mana harapan untuk bisa
bertemu kembali dengan almarhum memudar dan individu yang
berkabung mengakui bahwa orang yang dicintai tidak akan pernah
kembali. Rasa putus asa, kelelahan (fatigue), kehilangan motivasi,
dan apatis sudah menjadi kebiasaan umum individu yang berduka.
Fase keempat, pulih kembali (reorganization), yaitu individu
membuat suatu definisni baru mengenai dirinya, membuat pola-pola
baru dalam hal pikiran, perasaan, dan perbuatannya.
Tanggapan :
b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain,
perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan
menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.
c. Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada
perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya
perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang
peristiwa kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk
melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi
kembali dalam kegiatan sosial.
c. Tahapan Proses Kehilangan
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah
(anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui
setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung
pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada
stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
Sumber :
Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika terjadi perubahan dalam hidup atau berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan. Dukacita adalah proses dimana
seseorang mengalami respon psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang
dipersepsikan. Proses dukacita memiliki sifat yang mendalam, internal,
menyedihkan dan berkepanjangan. Dukacita dapat ditunjukkan melalui pikiran,
perasaan maupun perilaku yang bertujuan untuk mencapai fungsi yang lebih
efektif dengan mengintegrasikan kehilangan ke dalam pengalaman hidup. Pada
saat seseorang yang berduka ingin mencapai fungsi yang lebih efektif, maka ia
harus melewati beberapa tahapan berduka, dimana untuk mewujudkannya
membutuhkan waktu yang cukup lama dan upaya yang cukup keras.
Givens JL, Prigerson HG, Kiely DK, Shaffer ML, Mitchell SL. Grief among
Family Members of Nursing Home Residents with Advanced
Dementia. The American journal of geriatric psychiatry : official
journal of the American Association for Geriatric Psychiatry.
2011;19(6):543-550. doi:10.1097/JGP.0b013e31820dcbe0.
Evaluasi
Mengevaluasi keefektifan asuhan keperawatan klien yang berduka sulit
karena sifat transisi kehidupan jangka panjang. Kriteria evaluasi harus didasarkan
pada tujuan yang ditetapkan oleh klien dan keluarga.
Tujuan klien dan hasil yang diinginkan terkait untuk klien yang berduka akan
bergantung pada karakteristik kerugian dan klien. Jika keluar tidak tercapai,
perawat perlu menggali mengapa rencananya tidak berhasil. Eksplorasi semacam
itu dimulai dengan menilai ulang klien jika diagnosis keperawatan tidak
tepat. Contoh pertanyaan yang memandu eksplorasi meliputi:
Apakah perilaku klien yang berduka menunjukkan disfunctional berduka
atau diagnosis keperawatan lainnya?
Apakah hasil yang diharapkan tidak realistis untuk kerangka waktu yang
diberikan?
Apakah klien memiliki tambahan stres yang sebelumnya tidak dianggap
ered yang mempengaruhi resolusi duka cita?
Kozier, B. J., Glenora Erb BScN, R. N., Berman, A. T., Snyder, S., Madeleine
Buck, R. N., & Lucia Yiu, R. N. (2015). Fundamentals of Canadian
nursing: Concepts, process, and practice. Pearson Education Canada.
2. definisi berduka
Konsep berduka menggambarkan emosi dan sensasi yang menyertai
kehilangan seseorang atau sesuatu yang disayanginya. Kata itu sendiri
awalnya berasal dari bahasa Prancis Kuno yang berarti beban berat. Dalam
bahasa Inggris "grief" berkonotasi akan pengalaman duka cita yang dalam,
yang menyentuh setiap aspek eksistensi.Berduka secara harfiah bisa
"menimbang" orang yang harus menghadapi kenyataan kehilangan yang
memilukan, membawa korban baik secara psikologis dan fisik pada orang
yang berduka. Respon fisiologis dan psikologis yang kompleks mungkin
sangat menyakitkan namun dapat diatasi jika dihadapi dan dialami (Jaffe-
Gill, Smith, dan Segal, 2007).
Menurut sumber tersebut dapat disimpulkan berduka merupakan tekanan
mental yang kuat yang disebabkan oleh kehilangan atau kekecewaan.
Berduka juga dapat diartikan sebagai sebuah proses yang melibatkan
serangkaian pemikiran dan perasaan yang datang setelah kehilangan, dan
sering disertai dengan berkabung. Hal ini sering membuat korban
menghadapi kenyataan yang sulit diterima dan berdampak pada psikologis
dan fisik.
Sedangkan berduka menurut Stroebe dan Schut (1998) adalah perasaan
emosi dan reaksi terhadap kerugian seperti itu yang mencakup beragam
gejala psikologis dan fisik (seperti dikutip Horn, Payne, & Relf, 2000). Ini
adalah perpaduan hal yang kompleks dan memiliki dampak yang
menyakitkan termasuk kesedihan, kemarahan, ketidakberdayaan, rasa
bersalah dan keputusasaan (Raphael, 1999).
Sumber :
Liong, S. W. (2008). “Coping skills of children experiencing loss and grief:|
ba descriptive study among chinese children in salvation army,
Kuching who experienced loss and grief” . Samarahan. Journal
Faculty of Cognitive Sciences and Human Development, 1-5.
3. Faktor kehilangan
faktor kehilangan didapat dari diri sendiri dan dari luar dirinya.
Faktor dari dirinya yaitu seperti:
kerentanan kepribadian yaitu kondisi fisik, psikologi, spiritual yang
lemah dan berdampak buruk terhadap koping saat terjadi
kehilangan.
Ciri kepribadian, yaitu terbagi dalam karakter, temperamen, sikap,
stabilitas emosi, responsibilitas, sosiabilitas, realistik, dan baik atau
buruk.
Umur : biasanya koping yang baik dapat dipengaruhi kematangan
pikiran yang biasa diimbangi dengan kematangan usia
Faktor dari luar diri :
Perilaku sosial, yaitu bagaimana seseorang bersikap kepada orang
lain saat terjadi kehilangan
Pola keluarga dalam menghadapi duka cita, yaitu kebiasaan dalam
suatu keluarga saat terjadi kehilangan, hal ini juga merupakan
faktor penting yang mempengaruhi koping
Sumber :
Astuti, Y. D. (2012). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya pada
Kondisi Psikologis Survivor: Tinjauan Tentang Arti Penting
Death Education. HUMANITAS (Jurnal Psikologi Indonesia),
2(1), 41-53.
4. Tahap berduka
Berdasarkan sumber yang saya dapat, tahap berduka yaitu
1. Terjadi suatu musibah
2. Timbul perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain
3. Timbul trauma pada diri individu
4. Adaptasi kembali
Sumber :
Laluyan, M. M., Kanine, E., & Wowiling, F. (2014). GAMBARAN
TAHAPAN KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA
BANJIR PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN
PERKAMIL KOTA MANADO. JURNAL KEPERAWATAN,
2(2).
Penyangkalan (denial),
Kemarahan (anger)
Depresi (depression),
Penerimaan (acceptance).
Sumber :
Sumber
Sumber:
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss)
dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya
(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Proses Berduka
Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999
Proses dukacita sebagai suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu :
1. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
2. Merasa (feeling): klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan
fisik yang umum.
3. Menghadapi (dealing): klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan
melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan
bimbingan spiritual.
4. Pemulihan (healing): klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti
bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.
Sumber:
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss)
dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan Bayinya
(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
2. Definisi Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah
tidur dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua
kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua jenis tipe berduka,
yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional (Rachmad, 2011).
Laluyan, M. M., Kanine, E., & Wowiling, F. (2014). GAMBARAN
TAHAPAN KEHILANGAN DAN BERDUKA PASCA BANJIR PADA
MASYARAKAT DI KELURAHAN PERKAMIL KOTA
MANADO. JURNAL KEPERAWATAN, 2(2).
3. Proses berduka
Proses berduka adalah respon normal pada semua kejadian
kehilangan. Tingkah laku dan perasaan diasosiasikan dengan proses
berduka yang terjadi pada seseorang yang mengalami kehilangan seperti
kematian orang terdekat (Suseno, 2009: 10). Duka cita berarti kelumpuhan
secara emosional, tidak percaya perpisahan, cemas, putus asa, sedih, dan
kesepian yang muncul saat seseorang kehilangan orang yang dicintai.
a) penyangkalan (denial)
individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “tidak
akan terjadi pada saya!” Umum dilontarkan klien.
b) kemarahan (anger)
individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih”
pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah
sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.
c) penawaran (bargaining)
individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus
atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali
mencari pendapat orang lain.
d) depresi (depression)
terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk
berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e) penerimaan (acceptance)
reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran
diri atau berputus asa.
6. askep
1. Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita
klien: apa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui
perilaku.
Beberapa percakapan yang merupakan bagian pengkajian agar mengetahui
apa yang mereka pikir dan rasakan adalah :
Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
Perilaku koping yang adekuat selama proses
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan
adalah:
1) Faktor Genetic : Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di
dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan sulit
mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
2) Kesehatan Jasmani : Individu dengan keadaan fisik sehat, pola
hidup yang teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi
stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik
3) Kesehatan Mental : Individu yang mengalami gangguan jiwa
terutama yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan
perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan
yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.
4) Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu : Kehilangan atau
perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-kanak akan
mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada
masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991).
5) Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif
terhadap stress yang dihadapi.
b. faktor presipitasi
ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan
kehilangan. kehilangan kasih sayang secara nyata
ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-
sosial antara lain meliputi;
1) kehilangan kesehatan
2) Kehilangan fungsi seksualitas
3) Kehilangan peran dalam keluarga
4) Kehilangan posisi di masyarakat
5) Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
6) Kehilangan kewarganegaraan
c. Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon
antara lain: Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi,
Supresi danProyeksi yang digunakan untuk menghindari intensitas
stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan disosiasi
sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan
patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara
berlebihan dan tidak tepat.
d. Respon Spiritual
1) Kecewa dan marah terhadap Tuhan
2) Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
3) Tidak memilki harapan; kehilangan makna
e. Respon Fisiologis
1) Sakit kepala, insomnia
2) Gangguan nafsu makan
3) Berat badan turun
4) Tidak bertenaga
5) Palpitasi, gangguan pencernaan
6) Perubahan sistem imune dan endokrin
f. Respon Emosional
1) Merasa sedih, cemas
2) Kebencian
3) Merasa bersalah
4) Perasaan mati rasa
5) Emosi yang berubah-ubah
6) Penderitaan dan kesepian yang berat
7) Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan
individu atau benda yang hilang
8) Depresi, apati, putus asa selama fase disorganisasi dan
keputusasaan
9) Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri
g. Respon Kognitif
1) Gangguan asumsi dan keyakinan
2) Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna
kehilangan
3) Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
4) Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang
meninggal adalah pembimbing.
h. Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti
:
1) Menangis tidak terkontrol
2) Sangat gelisah; perilaku mencari
3) Iritabilitas dan sikap bermusuhan
4) Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan
bersama orang yang telah meninggal.
5) Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal
padahal ingin membuangnya
6) Kemungkinan menyalahgunakan obat atau alkohol
7) Kemungkinan melakukan gestur, upaya bunuh diri atau
pembunuhan
8) Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fase
reorganisasi
2. Analisa data
a. Data Subjektif
1) Merasa putus asa dan kesepian
2) Kesulitan mengekspresikan perasaan
3) Konsentrasi menurun
b. Data objektif:
1) Menangis
2) Mengingkari kehilangan
3) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
4) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
5) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas
3. Diagnosa keperawatan
Lynda Carpenito (1995), dalam Nursing Diagnostic Application to Clinicsl
Pratice, menjelaskan tiga diagnosis keperawatan untuk proses berduka
yang berdasarkan pada pada tipe kehilangan. NANDA 2011 diagnosa
keperawatan yang berhibungan dengan asuhan keperawatan kehilangan
dan berduka adalah :
a. Duka cita
b. Duka cita terganggu
c. Risiko duka cita terganggu
4. Intervensi
Intervensi untuk klien yang berduka :
a. Kaji persepsi klien dan makna kehilangannya. Izinkan
penyangkalan yang adaptif.
b. Dorong atau bantu klien untuk mendapatkan dan menerima
dukungan.
c. Dorong klien untuk mengkaji pola koping pada situasi
kehilangan masa lalu saat ini.
d. Dorong klien untuk meninjau kekuatan dan kemampuan
personal.
e. Dorong klien untuk merawat dirinya sendiri.
f. Tawarkan makanan kepada klien tanpa memaksanya untuk
makan.
g. Gunakan komunikasi yang efektif.
1) Tawarkan kehadiran dan berikan pertanyaan terbuka
2) Dorong penjelasan
3) Ungkapkan hasil observasi
4) Gunakan refleksi
5) Cari validasi persepsi
6) Berikan informasi
7) Nyatakan keraguan
8) Gunakan teknik menfokuskan
9) Berupaya menerjemahkan dalam bentuk perasaan atau
menyatakan hal yang tersirat
h. Bina hubungan dan pertahankan keterampilan interpersonal
seperti :
1) Kehadiran yang penuh perhatian
2) Menghormati proses berduka klien yang unik
3) Menghormati keyakinan personal klien
4) Menunjukan sikap dapat dipercaya, jujur, dapat diandalkan,
konsisten
5) Inventori diri secara periodik akan sikap dan masalah yang
berhubungan dengan kehilangan
i. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Pasien dengan Respon Kehilangan
1) Bina dan jalin hubungan saling percaya
2) Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu
kejadian yang menyakitkan dengan pemberian makna positif dan
mengambil hikmahnya
3) Identifikasi kemungkinan faktor yang menghambat proses
berduka
4) Kurangi atau hilangkan faktor penghambat proses berduka
5) Beri dukungan terhadap repon kehilangan pasien
6) Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga
7) Ajarkan teknik logotherapy dan psychoreligious therapy
8) Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase berikut :
a) Fase Pengingkaran
Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan
perasaannya.
Dorong pasien untuk berbagi rasa, menunjukkan sikap
menerima, ikhlas dan memberikan jawaban yang jujur terhadap
pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan dan kematian.
b)Fase marah
Beri dukungan pada pasien untuk mengungkapkan rasa
marahnya secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan.
c) Fase tawar menawar
Bantu pasien untuk mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan
takutnya.
d)Fase depresi
Identifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien.
Bantu pasien mengurangi rasa bersalah.
e) Fase penerimaan
Bantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa
dihindari.
j. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Anak dengan Respon
Kehilangan
1) Beri dorongan kepada keluarga untuk menerima kenyataan
serta menjaga anak selama masa berduka.
2) Gali konsep anak tentang kematian, serta membetulkan
konsepnya yang salah.
3) Bantu anak melalui proses berkabung dengan memperhatikan
perilaku yang diperhatikan oleh orang lain.
4) Ikutsertakan anak dalam upacara pemakaman atau pergi ke
rumah duka.
k. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Orangtua dengan Respon
Kehilangan (Kematian Anak)
1) Bantu untuk diakan sarana ibadah, termasuk pemuka agama.
2) Menganjurkan pasien untuk memegang/ melihat jenasah
anaknya.
3) Menyiapkan perangkat kenangan.
4) Menganjurkan pasien untuk mengikuti program lanjutan bila
diperlukan.
5) Menjelaskan kepada pasien/ keluarga ciri-ciri respon yang
patologissertatempatmerekamintabantuanbiladiperlukan.
5. Evaluasi
a. Klien mampu mengungkapkan perasaannya secara spontan
b. Klien menunjukkan tanda-tanda penerimaan terhadap kehilangan
c. Klien dapat membina hubungan yang baik dengan orang lain
d. Klien mempunyai koping yang efektif dalam menghadapi masalah
akibat kehilangan
e. Klien mampu minum obat dengan cara yang benar
Sumber : NANDA.2011. Diagnosis Keperawatan : Defenisi dan Klasifikasi.
Jakarta : EGC
Proses Berduka
Proses berduka itu pada dasarnya tidak mengikuti pola garis linear, secara teratur,
berurutan, dari satu tahap ke tahap yang lain. Proses berduka mungkin lebih tepat
digambarkan sebagai cekungan-cekungan lingkaran yang terus berubah-ubah.
Secara psikologis pada umumnya dinamika mental orang yang diterpa sang duka
adalah kacau-balau (chaotic). Dengan kata lain, proses psikologis berduka tidak
berjalan secara mekanis.
Gejala-Gejala Umum Proses Berduka:
Air mata dan kepedihan hati
Menangis adalah gejala yang normal dalam proses berduka.
Menangis adalah sebuah tindakan yang manusiawi dalam kedukaan.
Menangis bukan suatu kesalahan fatal atau dosa. Sebaliknya, kalau
seseorang yang mengalami kedukaan tidak menangis mungkin ada sesuatu
yang tidak beres.
Stres
Stres merupakan reaksi terhadap bahaya atau ancaman yang ada.
Dalam situasi ini sistem syaraf dan tubuh kita secara otomatis memobilisasi
energi yang ada untuk menghadapi bahaya yang ada. Hubungan antara
situasi kehilangan dan kedukaan dengan penyakit secara fisik diebut sebagai
stres.
Penolakan
Penolakan berarti orang yang mengalami kehilangan belum atau
tidak mau mengakui atau menerima keadaan yang sebenarnya. Dia tidak
percaya bahwa fakta itu benar-benar terjadi. Penolakan ini sering dikaitkan
dengan perasaan terkejut.
Marah
Perasaan marah dan benci juga bisa muncul dalam proses kehilangan dan
kedukaan. Elizabeth Kubler Ross menyebut gejala ini sebagai “mengapa
saya”.
Sumber :
Astuti, Y. D. (2012). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya pada Kondisi
Psikologis Survivor: Tinjauan Tentang Arti Penting Death Education.
HUMANITAS (Jurnal Psikologi Indonesia), 2(1), 41-53.
http://scholar.googleusercontent.com/scholar?q=cache:e4reaTrO74oJ:scho
lar.google.com/+definisi+kehilangan+dan+berduka+menurut+para+ahli&
hl=id&as_sdt=0,5
Wiryasaputra, T. S. (2003). Mengapa Berduka, Kreatif Mengelola Perasaan
Duka. Kanisius. https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=-
elUHizIGnEC&oi=fnd&pg=PA5&dq=proses+berduka&ots=8TNJe_gM9
S&sig=NEvH1GZHXKIckAo5ywfIXlVcWug&redir_esc=y#v=onepage&
q=proses%20berduka&f=false
1. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak
mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap
orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang
akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan
menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
c) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas
untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat
orang lain.
d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati
kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu.
Tahapan kehilangan dan berduka
Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak
jantung cepat, menangis, gelisah.
2. Fase anger / marah
a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar.
a. Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit bukan
saya “ seandainya saya hati-hati “.
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah,
akhirnya saya harus operasi “
Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung
dalam mengatasi perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi
tidak terlibat secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan
aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan
harga diri klien.
Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat
– klien.
Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri,
Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
Nama : Hanum Amalia Zulfa
NIM : 131611133040
Kelas : A1-2016
Kehilangan (Loss) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika terjadi perubahan dalam hidup atau berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan. Rasa kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda. Setiap individu akan bereaksi terhadap kehilangan. Respons
terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu
terhadap kehilangan sebelumnya (Potter dan Perry 1997).
Berduka (Grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan, biasanya
disebabkan oleh perpisahan dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku,
perasaan dan pikiran.
Menurut Kubbler-Rose (1969, dalam Kozier et al, 2004) yang membagi respon
kehilangan menjadi lima tahapan yaitu denial, anger, bargaining, depression
dan acceptance.
Dafpus:
Hidayat, M. U. (2008). Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan, Edisi
2. Jakarta: Salemba Medika.
Proses berduka
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa
kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada
fase ini
individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
sumber :
Sari, R. A. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief)
pada Ibu Preeklampsi yang Kehilangan Bayinya. Skripsi
Bibliography
Hansten, R. I., & Washburn, M. J. (2001). KECAKAPAN
PENDELEGASIAN KLINIS. Jakarta: Kedokteran EGC.
Hidayat, M., & Hidayat, A. A. (2008). Keterampilan Dasar Praktik Klinik
untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Putri, R. (2013). Asuhan Keperawatan Berduka Situasional pada Ibu A yang
Mengalami Stroke Non-Hemoragik Di Ruang Rawat Antasena
Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir Ners,
28-29.
Sari, R. A. (2015). Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief)
pada Ibu Preeklampsi yang Kehilangan Bayinya. Skripsi
NAMA : KUSNUL OKTANIA
NIM : 131611133043
1. Definisi kehilangan dan berduka
Kehilangan adalah suatu kondisi terpisah atau memulai sesuatu
tanpa sesuatu hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau tidak
diharapkan, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
(Perry & Potter, 2005).
Berduka adalah proses dimana seseorang mengalami respon
psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon
ini dapat berupa keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa
bersalah dan marah. Berduka merupakan respon normal pada semua
kejadian kehilangan.
Dapat disimpulkan bahwa kehilangan dan berduka merupakan bagian
integral yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan.
Laluyan, M. M., Kanine, E., & Wowiling, F. 2014. Gambaran Tahapan
Kehilangan dan Berduka Pasca Banjir Pada Masyarakat di Kelurahan
Perkamil Kota Manado. JURNAL KEPERAWATAN, 2(2)
2. Proses berduka
Schneider pada tahun 1984 mengklasifikasikan dimensi proses berduka
menjadi lima bagian, yaitu :
1) Respons Kognitif terhadap Dukacita
Penderitaan saat berduka dalam beberapa hal merupakan akibat
gangguan keyakinan. Asumsi dan keyakinan dasar tentang makna dan
tujuan hidup terganggu, bahkan mungkin hancur. Berduka sering kali
menyebabkan keyakinan individu tentang dirinya dan dunia berubah,
misalnya persepsi individu tentang hal-hal yang baik di dunia, makna
hidup ketika berhubungan dengan keadilan, dan makna takdir atau garis
kehidupan.
2) Respons Emosional
Perasaan marah, sedih, dan cemas adalah pengalaman emosional
yang dominan pada kehilangan. Kemarahan dan kebencian dapat ditujukan
kepada individu yang meninggal dan praktik kesehatan yang
dilakukannya, pada anggota keluarga, dan pemberi perawatan kesehatan
atau institusi.
3) Respons Spiritual
Ketika kehilangan terjadi, individu mungkin paling terhibur,
tertantang, atau hancur dalam dimensi spiritual pengalaman manusia.
Individu yang berduka dapat kecewa dan marah kepada Tuhan atau tokoh
agama yang lain. Penderitaan karena ditinggalkan, kehilangan harapan,
atau kehilangan makna merupakan penyebab penderitaan spiritual yang
dalam.Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan spiritual individu yang
berduka merupakan aspek asuhan keperawatan yang sangat penting.
4) Respons Perilaku
Respons perilaku sering kali merupakan respons yang paling
mudah diobservasi.
5) Respons Fisiologis
Klien dapat mengeluh insomnia, sakit kepala, gangguan nafsu
makan, berat badan turun, tidak bertenaga, palpitasi dan gangguan
pencernaan, serta perubahan sistem imun dan endokrin
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. 2015. Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
1
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika. Hal. 74.
Tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap pasien yang mengalami
kehilangan ataupun berduka terdiri atas pengkajian, diagnosis, intervensi,
implementasi rencana, dan evaluasi tindakan.
Pengkajian yang dilakukan perawat meliputi faktor kecenderungan terhadap
sesuatu, faktor pencetus berduka atau kehilangan, perilaku pasien, serta mekanisme
koping yang telah dilakukan. Faktor kecenderungan terhadap sesuatu antara lain
kesehatan fisik, kesehatan mental, pengalaman kehilanagn sebelumnya, dan
genetik. Diagnosis keperawatan yang dimbul pada pasien kehilangan salah satunya
berduka fungsional. Dari diagnosis yang telah didapatkan perawat merencanakan
intervensi kepada pasien sesuai diagnosis yang telah ditemukan.intervensi yang
dilakuakn berdasarkan tahapan proses pada individu yang mengalami
kehilangandan berduka Conton dari intervensi yang berhubungan dengan
kehilangan dan berduka yaitu memberikan dorongan pasien untuk mengungkapkan
perasaan kehilangan pada pasien tahap penyangkalan. Impelementasi tindakan yang
dapat dilakukan berupa berdiskusi pasien dengan cara sharing antara keluarga,
pasien, dan perawat. Setelah dilakukan tindakan, perawat perlu mengevaluasi
tindakan keperawatan dapat mengatasi respon kehilangan dan berduka pada pasien
atau tidak.
Sumber
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati. 2014. Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Nurhidayah , Catur Desi, Made Sumarwati, Hartati. 2008. Hubungan Tingkat
Pendidikan Dengan Respon Terhadap Kehilangan pada Pasien Abortus.
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). Vol.
3. No. 1
Ritanti, Wiwin Wiarsih, Imalia Dewi Asih. 2010. Pengalaman Keluarga Yang
Mempunyai Anak Pengguna Napza dalam Menjalani Kehidupan
Bermasyarakat. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal
of Nursing). Vol.5. No. 3
Definisi berduka
Dukacita mengacu pada respon psikobiologis terhadap kehilangan. Dukacita,
kehilangan orang yang dicintai, dan kesedihan, kesusahan akibat berkabung,
adalah konsep yang pasien dan orang yang mereka cintai alami untuk memahami
reaksi kehilangan karena musibah yang dialami. Dukacita secara klasik berfokus
pada hilangnya orang yang dicintai. Kesedihan juga telah digunakan untuk
mengkarakterisasi reaksi terhadap kerugian lainnya, namun sejauh ini model
kesedihan biasanya dgunakan pada hilangnya fungsi fisik, peran fungsi sosial atau
pekerjaan dan tujuan hidup. Gejala utama kesedihan seperti kesulitan menerima
kehilangan, mati rasa emosional, menghindari pengingat dan kebingungan tentang
peran seseorang dalam kehidupan.
Kalpakjian, C. Z., Tulsky, D. S., Kisala, P. A., & Bombardier, C. H. (2015).
Measuring grief and loss after spinal cord injury: Development, validation
and psychometric characteristics of the SCI-QOL Grief and Loss item
bank and short form. The Journal of Spinal Cord Medicine, 38(3), 347–
355. http://doi.org/10.1179/2045772315Y.0000000015
Factor kehilangan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan grief, faktor tersebut dikemukakan oleh
(Aiken, 1994: 164), yaitu:
1. Hubungan individu dengan almarhum Yaitu reaksi-reaksi dan rentang
waktu masa berduka yang dialami setiap individu akan berbeda tergantung
dari hubungan individu dengan almarhum, dari beberapa kasus dapat
dilihat hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal
diasosiasikan dengan proses grief yang sangat sulit.
2. Kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan Merupakan
perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan usia orang yang
ditinggalkan. Secara umum grief lebih menimbulkan stress pada orang
yang usianya lebih muda.
3. Proses Kematian Cara dari seseorang meninggal juga dapat menimbulkan
perbedaan reaksi yang dialami orang yang ditinggalkannya. Pada kematian
yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan akan lebih sulit
untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-orang
terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak berdaya
dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam mengatasi grief.
Adina Fitria S. (2013). Grief Pada Remaja Akibat Kematian Orangtua Secara
Mendadak. Skripsi, Universitas Negeri Semarang.
4. Proses berduka
Julian Fritz Chesar Pratama Salim, J. P. (2014, Maret). Proses Berduka Akibat
Kematian Orang Yang Dicintai Yang Dialami Oleh Lansia Di Kabupaten
Ngada. Artikel Ilmiah, STIK SINT Carolus, Jakarta.
Faktor presipitasi :
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi
individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit,
kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan,
kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
Perilaku
1. Menangis atau tidak mampu menangis.
2. Marah.
3. Putus asa.
4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.
Mekanisme koping
1. Denial
2. Regresi
3. Intelektualisasi/rasionalisasi
4. Supresi
5. Proyeksi
2. Diagnosis keperawatan
Masalah keperawatan yang sering timbul pada pasien kehilangan adalah
sebagai berikut.
1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual.
2. Berduka disfungsional.
3. Berduka fungsional.
3. Rencana intervensi
Prinsip intervensi
1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial)
adalah memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan
perasaannya dengan cara berikut.
a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang
kenyataan kehilangan pasien secara emosional.
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan
menghukum dan menghakimi.
d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran
pada individu yang mengalami kehilangan.
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang
tangan, menepuk bahu, dan merangkul.
f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang
sederhana, jelas, dan singkat.
g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
2. prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah
dengan memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk
mengungkapkan marahnya secara verbal tanpa melawan
kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah
adalah ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan
(marah, menangis).
b. Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
c. Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining)
adalah membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan
perasaan takutnya.
a. Amati perilaku pasien.
b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
c. Tingkatkan harga diri pasien.
d. Cegah tindakan merusak diri.
4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah
mengidentifikasi tingkat depresi, risiko merusak diri, dan membantu
pasien mengurangi rasa bersalah.
a. Observasi perilaku pasien.
b. Diskusikan perasaan pasien.
c. Cegah tindakan merusak diri.
d. Hargai perasaan pasien.
e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
g. Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance)
adalah membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat
dihindari dengan cara berikut.
a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
4. Tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan pada pasien
1. Tujuan:
a) Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan
perawat.
b) Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami
pasien.
c) Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang
dialami dengan keadaan dirinya.
d) Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka
yang dialaminya.
e) Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung
2. Tindakan:
a) Membina hubungan saling percaya dengan pasien.
b) B. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi
pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan spiritual
sebelum/sesudah mengalami peristiwa kehilangan serta
hubungan antara kondisi saat ini dengan peristiwa
kehilangan yang terjadi).
c) C. Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami. 1) cara
verbal (mengungkapkan perasaan). 2) cara fisik (memberi
kesempatan aktivitas fisik). 3) cara sosial (sharing melalui
self help group). 4) cara spiritual (berdoa, berserah diri).
d) D. Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas
yang tersedia untuk saling memberikan pengalaman dengan
saksama.
e) E. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal
harian.
f) F. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.
Definisi Kehilangan
Definisi dari kehilangan memiliki banyak pengertian. Kehilangan adalah
suatu keadaan berpisahnya individu dengan sesuatu yang sebelumnya dimiliki/ada.
Kehilangan adalah pengalaman perpisahan yang berhubungan dengan suatu objek,
orang, kepercayaan, hubungan antar manusia yang bernilai (Dyer, 2001 dalam
Ritanti, 2010).
Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap, bersifat
sementara atau meentap. Setiap orang yang akan atau sedang mengalami
kehilangan menunjukkan respons psikologis yang secara umum sama. Menangis,
memanggil nama orang yang sudah meninggal secara terus-menerus, marah, sedih
dan kecewa merupakan beberapa respon yang tampak saat seseorang
mengalami peristiwa kehilangan, terutama akibat kematian orang yang dicintai.
Definisi Berduka
Berduka merupakan dampak dari kehilangan. Reaksi emosi dari kehilangan
akibat perpisahan. Dimanifestasikan dalam perilaku, perbuatan dan pemikiran.
Berduka adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respons dan
perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga,
dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi,
atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA,
2011). Sehingga disimpulkan bahwa kehilangan dan berduka adalah suatu
bentuk perpisahan yang mencangkup respons perilaku dan emosional.
Berduka adalah reaksi normal terhadap kehilangan. Orang menyimpan
emosi dalam tubuh dan kesejahteraan mereka. Perubahan psikologis dalam proses
berduka memungkinkan individu menyempurnakan kembali citra tubuh dan konsep
diri yang baru
Faktor Kehilangan
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita pada seseorang, faktor
tersebut antara lain:
1. Hubungan individu dengan almarhum
2. Kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan
3. Proses kematian
Pendapat yang dikemukakan oleh Rando dalam Rotter (2009) yang
mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan dimana
seseorang akan sulit menerima suatu peristiwa kehilangan diantaranya adalah
arti kehilangan serta sifat kehilangan yang tiba-tiba (tidak dapat diramalkan) dan
tidak diharapkan.
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan proses berduka dapat
digolongkan menjadi:
- Patofisiologis (kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder akibat
kardiovaskuler, trauma, muskloskeletal, dan lain-lain);
- Tindakan: dialisis jangka panjang, operasi (mastektomi, kolostomi,
histerektomi);
- Disfungsional: penyakit terminal, kematian, perpisahan, perceraian, pensiun,
anak akan meninggalkan rumah, dan lain-lain;
- Maturasional: penuaan.
Sedangkan dalam menghadapi kehilangan, individu dipengaruhi oleh bagaimana
persepsi individu terhadap kehilangan, tahap perkembangan, kekuatan/koping
mekanisme dan support system (Potter & Perry, 2005).
Julian Fritz Chesar Pratama Salim, J. P. (2014, Maret). Proses Berduka Akibat
Kematian Orang Yang Dicintai Yang Dialami Oleh Lansia Di Kabupaten
Ngada. Artikel Ilmiah, STIK SINT Carolus, Jakarta.
Proses Berduka
Proses berduka merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang
dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah kehilangan. Rotter
(2009) mengatakan bahwa proses berduka memiliki karakteristik yang unik,
membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi tidak dapat dipaksakan, tetapi pada
umumnya mengikuti tahap yang dapat diprediksi. Proses kehilangan menurut
Klaus dan Kennell (1982) meliputi tahapan :
1. Schock (Lupa Peristiwa)
2. Denial (Menolak)
3. Depresi (Menangis, sedih)
4. Equilibrium dan acceptance (Penurunan reaksi emosional, kadang menjadi
kesedihan yang kronis)
5. Reorganization (Dukungan mutual antar orang tua)
Sedangkan pendapat lain, mengatakan berbeda mengenai proses berduka.
Proses dukacita menurut Parkes (dalam Niven, 2013) menyebutkan antara lain:
1. Mati rasa atau mengingkari
2. Kerinduan atau pining
3. Putus asa atau depresi
4. Penyembuhan atau reorganisasi
Bahiyatun, S. S. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Julian Fritz Chesar Pratama Salim, J. P. (2014, Maret). Proses Berduka Akibat
Kematian Orang Yang Dicintai Yang Dialami Oleh Lansia Di Kabupaten
Ngada. Artikel Ilmiah, STIK SINT Carolus, Jakarta.
Pendapat lain dikemukakan oleh Teori John Harvey pada tahun 1998. John
Harvey menetapkan 3 tahap berduka, yaitu:
1. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
2. Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif.
3. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara
kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.
2. Nursing Diagnosis
1) Disfunctional Grieving
Individu tidak dapat mengekspresikan rasa berdukanya secara normal
2) Impaired Adjustment
Individu tidak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan status
kesehatan
3) Social Isolation
Individu menarik diri dari lingkungan atau trauma yang dialaminya
3. Intervensi
1) Berikan kesempatan pada individu untuk mengungkapkan perasaannya
2) Kenali dan terima berbagai emosi yang diekspresikan klien atau keluarga
akibat kehilangan yang dialaminya
3) Berikan support agar individu atau keluarga mengekspresikan perasaan-
perasaan yang sulit, sadness, anger: Individu atau keluarga melakukannya
dengan cara mereka.
4) Sertakan juga anak-anak dalam proses
5) Anjurkan individu atau keluarga untuk mempertahankan atau tetap
berhubungan dengan orang lain
4. Evaluasi
Outcomes Kriteri:
1) Secara verbal mengemukakan perasaannya sadness, anger dan sorrow
2) Secara verbal memahami mengapa harus mengekspresikan perasaannya
3) Dapat menyimpulkan pentingnya aktivitas yang biasa dijalaninya
4) Membina hubungan baru dengan orang lain
Psikososial – Bu RR Dian
Nama: Mudrika Novita Sari
NIM: 136111133050
Tanggapan:
1. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik,
diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa
kembali atau tidak dapat kembali. Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir
individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya
kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia:
Kehilangan, Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta:
Sagung Seto.
2. Berduka dalam arti yang paling sederhana identik dengan kesedihan atas
kematian seseorang, baik itu keluarga, teman, maupun kerabat dekat. Cara
berduka dapat digambarkan dengan pakaian gelap, berkurung diri
menyendiri, dimana seseorang merasa begiru kehilangan orang yang sangat
dicintai akan merasakan perlunya waktu sendiri dan menarik diri dari
pergaulan untuk waktu tertentu.
Henny, Ikhdah. (2011). Ms. Complaint’s Therapy. Yogyakarta: B First.
https://books.google.co.id/books?id=cGdpAwAAQBAJ&pg=PT53&d
q=berduka&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi7hfeHorDWAhWLpZQK
Ha6KDZ0Q6AEITTAI#v=onepage&q=berduka&f=false
3. Menurut Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999, proses dukacita sebagai
suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu:
a. Reeling: klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
b. Merasa (feeling): klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan
ketidaknyamanan fisik yang umum.
c. Menghadapi (dealing): klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan
dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita,
membaca dan bimbingan spiritual.
d. Pemulihan (healing): klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti
bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.
Sari, R. A., Sudarmiati, S., & Susilawati, D. (2015). Pengalaman Kehilangan
(Loss) dan Berduka (Grief) Pada Ibu Preeklampsi Yang Kehilangan
Bayinya (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
6.
ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL
Pengkajian:
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas