Anda di halaman 1dari 19

KONSEP DASAR BERDUKA

A. Pengertian
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanefestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur
(Zaini, 2019). Menurut PPNI (2016), berduka merupakan respon psikososial yang
ditunjukkan oleh klien akibat kehilangan (orang, objek, fungsi, status, bagian tubuh, atau
hubungan).
Berduka menurut Yusuf (2015) adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons
emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Seorang
individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam
melalui proses berduka, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang
menyebabkan berduka dan merupakan bagian dari proses kehidupan.
Kesimpulannya, berduka merupakan proses mengalami reaksi psikologis, fisik dan
sosial terhadap kehilangan yang dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan dan
pemikiran seperti keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah
dan marah. Individu yang berduka diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang
efektif, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka
dan merupakan bagian dari proses kehidupan, meskipun dalam fase-fasenya setiap
individu berbeda dalam melaluinya.

B. Etiologi
Menurut PPNI (2016), penyebab terjadinya berduka pada seseorang yaitu:
1. Kematian keluarga atau orang yang berarti.
2. Antisipasi kematian keluarga atau orang yang berarti.
3. Kehilangan (objek, pekerjaan, fungsi, status, bagian tubuh, hubungan sosial).
4. Antisipasi kehilangan (objek, pekerjaan, fungsi, status, bagian tubuh, hubungan
sosial).
Faktor Prediposisi berduka menurut Yusuf, et.al (2015)adalah :
1. Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam keluarga
yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap optimis
dan menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai
kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan yang
tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.
4. Pengalaman kehilangan sebelumnya
Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak akan
memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.
Faktor presipitasi atau pencetus terjadinya berduka menurut Yusuf, et.al (2015) yaitu
perasaan stres nyata atau imajinasi individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-
sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan
pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.

C. Klasifikasi
Berduka dibagi menjadi dua konsep(Zaini, 2019):
1. Berduka disfungsional
Suatu status yang merupakan pengalaman individu dibesar-besarkan aat individu
kehilangan secara actual maupun potensial, hubungan, objek, dan ketidakmampuan
fungsional. (Zaini, 2019).
2. Berduka antisipasi
Respon intelektual dan emosional serta perilaku oleh individu, keluarga, komunitas
yang merupakan proses modifikasi dari konsep diri yang didasari oleh persepsi
potensial kehilangan.
Menurut Nurhalimah (2016), kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
1. Kehilangan aktual atau nyata. Kehilangan ini sangat mudah dikenal atau diidentifikasi
oleh orang lain, seperti hilangnya anggota tubuh sebahagian, amputasi, kematian
orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Kehilangan persepsi. Kehilangan jenis ini hanya dialami oleh seseorang dan sulit
untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK,
menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.

D. Rentang Respon
Rentang respon berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap
berikut:

Maladaptif Adaptif
Penyangkalan Marah (anger) Tawar Depresi Penerimaan
(denial) menawar (depression) (acceptance)
(bargaining)
Sumber: Potter & Perry (2005),

a. TahapPengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar
terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”,“Itu tidak
mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus
menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah
letih, lemah, pucat, mulai, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini
dapat berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa tahun (Yosep dan Sutini,
2016)

b. TahapMarah
Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering
diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang-orang tertentu atau
ditujukan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia menunjukkan perilaku agresif, bicara
kasar, menolak pengobatan, dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus.
Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal (Yosep dan Sutini, 2016).

c. Tahap Tawar Menawar


Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
intensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan
Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “Kalau saja kejadian ini bisa
ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh
keluarga, maka pernyataan sebagai berikut juga sering dijumpai, “Kalau saja yang
sakit bukan anak saya, Ya Allah” (Yosep dan Sutini, 2016).

d. Tahap Depresi
Indiviu pada fase ini seing menunjukkan sikap antara lain menarik diri,
tidak mau bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan
menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak
berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah tidur,
letih, dorongan libido menurun (Yosep dan Sutini, 2016).

e. Tahap Penerimaan
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
yang selalu berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang.
Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai
memandang ke depan. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang akan mulai
dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Fase
menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti “Saya betul-betul
menyayangi anak saya, tetapi Allah lebih sayang dengan anak saya, saya harus bisa
menerimanya.” atau “Apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh?”.
Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan
perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi
perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan masuk ke tahap penerimaan akan
memengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan
selanjutnya (Yosep dan Sutini, 2016).

E. Psikopatologi

Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti
atau kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama,
perhiasan, uang atau pekerjaan, dapat diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan
yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang dalam waktu satu periode
atau bergantian secara permanen, seseorang dapat mengalami mati baik secara
perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada
kematian yang sesungguhnya. Rasa harga diri rendah dan ketidakberdayaan turut ikut
andil dalam penyebab berduka. Sehingga efek dari berduka ini adalah terjadi penurunan
minat dan motivasi diri yang menyebabkan defisit perawatan diri. Pada tahap marah,
seseorang yang berduka akan berisiko melakukan perilaku kekerasan dan menjadi
isolasi sosial (Zaini, 2019)

F. Tanda dan Gejala


Berduka dapat ditandai dengan beberapa gejala diantaranya adalah (PPNI, 2016):
1. Mayor
a. Subjektif: merasa sedih, merasa bersalah atau menyalahkan orang lain, tidak
menerima kehilangan, dan merasa tidak ada harapan.
b. Objektif: menangis, pola tidur berubah, dan tidak mampu berkonsentrasi.
2. Minor
a. Subjektif: mimpi buruk atau pola mimpi berubah, merasa tidak berguna, dan
fobia.
b. Objektif: marah, tampak panik, dan fungsi imunitas terganggu.
Menurut Nurhalimah (2016), gejala yang timbul pada pasien dengan kehilangan antara
lain:
a. Adaptasi terhadap kehilangan yang tidak berhasil
b. Depresi, menyangkal yang berkepanjangan
c. Reaksi emosional yang lambat
d. Tidak mampu menerima pola kehidupan yang normal,
Tanda yang mungkin dijumpai pada pasien kehilangan antara lain:
a. Isolasi sosial atau menarik diri
b. Gagal untuk mengembangkan hubungan/ minat-minat baru
c. Gagal untuk menyusun kembali kehidupan setelah kehilangan
ASUHAN KEPERAWATAN BERDUKA

PENGKAJIAN
Untuk mencegah terjadinya berduka yang berkepanjangan, tahapan dalam berduka
harus diintervensi dengan adekuat. Apabila individu dapat melalui tahapan-tahapan tersebut
maka klien akan mudah mengatasi perasaan kehilangan dengan tuntas (Zaini, 2019).
Biasanya hasil observasi didapatkan bahwa klien sering mengungkapkan adanya
kehilangan, menangis, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan sulit berkonsentrasi.
A. Kaji klien dan anggota keluarga yang berduka dan tentukan tingkat berduka.
B. Kaji gejala klinis berduka seperti sesak di dada, nafas pendek, kehilangan kekuatan
otot, dan distress perasaan yang hebat.
C. Kaji karakteristik berduka.
D. Kaji respon fisiologis dan respon tubuh terhadap kehilangan (reaksi stres).
E. Kaji faktor yang memengaruhi reaksi stress: usia, budaya, keyakinan, status sosial
ekonomi.
F. Faktor predisposisi
1) Genetik: riwayat keluarga depresi akan sulit mengembangkan sikap optimistik dalam
menghadapi permasalahan.
2) Kesehatan fisik: keadaan fisik sehat cenderung mampu mengatasi stres.
3) Kesehatan mental: individu dengan riwayat depresi akan merasa masa depan suram
dan biasanya peka dengan situasi kehilangan.
4) Pengalaman kehilangan masa lalu: kehilangan masa kanak-kanak memengaruhi
kemampuan menghadapi kehilangan di masa dewasa.
G. Struktur kepribadian
Individu dengan konsep diri negatif, perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa
percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.

H. Faktor Presipitasi
Stress yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata,
ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi:
kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga,
kehilangan posisi di masyarakat, kehilangan milik pribadi seperti: kehilangan harta
benda atau orang yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya (Yosep
dan Sutini, 2016).

I. Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti: menangis atau
tidak mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada tanda-tanda
usaha bunuh diri atau ingin membunuh orang lain. Juga sering berganti tempat mencari
informasi yang tidak menyokong diagnosisnya (Yosep dan Sutini, 2016).

J. Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai oleh individu dengan respon kehilangan/berduka antara lain
denial, represi, intelektualisasi, regresi, disosiasi, supresi, dan proyeksi, di mana hal ini
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan.
Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam
keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan
tidak tepat (Yosep dan Sutini, 2016).

DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Berdasarkan SDKI
Berduka b.d kematian atau kehilangan ditandai dengan perasaan sedih dan belum bisa
menerima kehilangan.
Berdasarkan NANDA
Dukacita
RENCANA INTERVENSI
KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA (BERDUKA)

1. Diagnosa Keperawatan :
SDKI NANDA
Berduka b.d kematian atau kehilangan ditandai dengan perasaan Dukacita
sedih dan belum bisa menerima kehilangan
Tujuan :Setelah diberikan tindakan asuhan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan tingkat berduka klien membaik.
Kriteria Hasil :

SLKI NOC
Tingkat Berduka Resolusi berduka
1. Verbalisasi menerima kehilangan meningkat Indikator 1 2 3 4 5
Menyampaikan perasaan akan
2. Verbalisasi harapan meningkat
penyelesaian mengenai
3. Verbalisasi perasaan sedih menurun
kehilangan
4. Menangis menurun Mengekspresikan pandangan
5. Verbalisasi mimpi buruk menurun spiritualnya
6. Fobia menurun Menyatakan fakta tentang
kehilangan
7. Marah menurun
Menjelaskan arti kehilangan
8. Panik menurun Melaporkan penurunan
9. Pola tidur membaik kecemasan mengenai kehilangan
Melaporkan intake nutrisi yang
10. Konsentrasi membaik
cukup
Membagi perasaan kehilangan
dengan orang terdekat
Melewati fase berduka
Mengekspresikan harapan positif
mengenai masa depan
Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan

Rencana Intervensi :

SIKI NIC
Dukungan Proses Berduka Fasilitasi Proses Berduka
Observasi 1. Identifikasi kehilangan
1. Identifikasi kehilangan yang dihadapi. 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi kealamiahan ketertarikan
2. Identifikasi proses berduka yang dialami. klien dengan obyek atau orang yang hilang
3. Identifikasi reaksi awal terhadap kehilangan. 3. Bantu pasien untuk mengidentifikasi reaksi awal terhadap
Terapeutik kehilangan
1. Tunjukkan sikap menerima dan empati. 4. Dukung pasien untuk mengekspresikan perasaan mengenai
2. Motivasi agar mau mengungkapkan perasaan kehilangan. kehilangan
3. Motivasi untuk menguatkan dukungan keluarga atau orang 5. Dengarkan ekspresi berduka
terdekat. 6. Dukung pasien untuk mendiskusikan pengalaman kehilangan
4. Fasilitasi mengekspresikan perasaan dengan cara yang aman sebelumnya
(misalnya dengan membaca buku, menulis, menggambar, atau 7. Buat pernyataan empatik mengenai duka cita
bermain). 8. Dukung identifikasi adanya rasa takut yang paling besar terkait
5. Diskusikan strategi koping yang dapat digunakan. dengan kehilangan.
Edukasi 9. Berikan intruksi dalam proses berduka
1. Jelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa sikap 10. Dukung kemajuan dalam proses berduka, dengan tepat.
mengingkari, marah, tawar menawar, depresi, dan menerima
adalah hal yang wajar dalam menghadapi kehilangan.
2. Anjurkan mengidentifikasi ketakutan terbesar pada kehilangan.
3. Anjurkan mengekspresikan perasaan tentang kehilangan.

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA (BERDUKA)

Nama : Ny. F
Ruangan : 22
RM No. : 141414
Diagnosis
No. Implementasi Respon Klien Evaluasi
Keperawatan
1. Berduka SP 1 Pasien 1. Klien bersedia S:
1. Orientasi berinteraksi dengan Klien mengatakan bahwa
a. Salam terapeutik raut wajah sedih. apa terjadi adalah
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya Perawat 2. Klien sering diam saat kehendak Allah dan
X. Saya adalah mahasiswa keperawatan dari diberi pertanyaan. masih merasa kehilangan
Universitas Brawijaya yang sedang praktik di 3. Klien menjawab suaminya.
sini. Nama Ibu siapa? Senangnya dipanggil pertanyaan perawat
apa? Oh, jadi Ibu senang dipanggil Ibu F, ya.” namun tidak sesusai O:
b. Evaluasi/Validasi dengan pertanyaan - Klien tampak diam
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Apakah tidur yang diberikan. dengan raut wajah
semalam nyenyak? Saya lihat Ibu F sering 4. Klien memulai sedih.
tampak sedih dan sering menangis, apakah hari memahami tentang - Klien tampak
ini masih merasa sedih?” apa yang dilakukan itu mengerti apa yang
c. Kontrak tidak benar dan harus dilakukan
Topik : “Bagaimana kalau kita merugikan orang lain selanjutnya.
berbincang tentang hal yang dan diri sendiri.
membuat Ibu F sedih dan 5. Klien mulai memahami A:
bagaimana cara mengurangi Diagnosis: Berduka
caramengontrolnya?” perasaan berduka Tindakan: Perawat
Waktu : “Berapa lama kira-kira ibu ingin
dengan pendekatan melakukan pendekatan
mengobrol? Oke, jadi Ibu F budaya yang sesuai di budaya untuk
mau kita berbincang sekitar 15 wilayah tempat menyelesaikan fase
menit, ya.” tinggalnya. berduka klien.
Tempat : “Baiklah, di mana kita
berdiskusi, Bu? Di mana saja
P:
boleh kok, yang terpenting Ibu
- Mengadakan acara
merasa nyaman. Baiklah kita
tahlilan dengan
ngobrolnya di ruang ini saja,
jadwal 7 hari, 40 hari,
ya.”
100 hari, dan 1000
2. Kerja
hari pasca kematian
“Ibu, bisa bercerita kepada saya apa yang sedang
alm. suami dari klien.
terjadi? Ibu percayakan kepada saya, saya akan
menjaga privasi ibu sebagai klien saya. Jangan
khawatir ya, Bu. Silahkan Bu..”
“Baik kalau seperti itu kejadiannya, sebelumnya
saya turut berduka cita atas meninggalnya Bapak
sebulan yang lalu, ya Bu. Saya turut merasakan
kesedihan yang ibu alami. Ini semua kuasa Allah
nggih, Bu, hidup dan mati seseorang sudah diatur
oleh Yang Maha Kuasa. Nah, bagaimana cara ibu
yang selama ini ibu lakukan untuk mengatasi
berduka Ibu?”
“Baik, apakah cara itu cukup efektif untuk Ibu dalam
mengatasi rasa berduka? Bagaimana perasaan Ibu
setelah berdiam diri di kamar dan menangis jika
teringat alm. Bapak? Apakah rasa rindu kepada
alm. Bapak terobati?”
“Jika belum bisa mengatasi, mari saya bantu untuk
menetapkan rencana lain yang InsyaAllah dapat
membuat perasaan berduka Ibu berkurang.”
“Ibu, disini ada 3 cara untuk mengurangi perasaan
berduka, pertama dalam pendekatan budaya, kedua
pendekatan agama, dan ketida pendekatan sosial.
Hari ini kita diskusi cara pertama nggih, Bu. Dalam
budaya tradisi Jawa, jika ada seseorang yang
meninggal, biasanya diadakan tradisi “mendak
kematian” di mana hal ini diperuntukkan untuk
memperingati kematian seseorang. Mungkin jika di
masyarakat lebih dikenal dengan tahlilan. Apakah
Ibu bisa menyebutkan biasanya pada keluarga ibu
diterapkan di hari ke berapa saja tahlilannya?”
“Jadi, tahlilan diadakan setelah 7 hari, 40 hari, 100
hari, dan 1000 hari pasca meninggalnya seseorang
tersebut, ya Bu. Hal ini bisa Ibu terapkan di rumah,
insyaAllah jika semakin banyak yang berdoa untuk
alm. Bapak, maka amalan Bapak akan bertambah
dan semakin tenang juga hati Ibu.”
“Apakah kira-kira Ibu dan sekeluarga sanggup untuk
mengadakan kembali tahlilan di rumah?”
“Bagus sekali, Ibu bisa melakukan ini demi
ketenangan alm.Bapak..”
3. Terminasi
“Bagaimana perasaan Ibu setelah kita berbincang-
bincang tadi, Bu? Alhamdulillah, kelihatannya Ibu F
terlihat lebih rileks, ya.”
“Coba Ibu sebutkan kembali ada berapa cara untuk
mengurangi perasaan berduka? Wah..bagus sekali
Ibu F masih ingat semuanya.”
“Bagaimana jika kegiatan tahlilan ini rutin dilakukan
sesuai dengan jadwal pasca alm. Bapak
meninggal? Jadwal tahlilan ini nanti akan ditulis
dalam jadwal harian Ibu F, ya.”
“Cara yang kita bincangkan tadi baru salah satunya
saja, ya Bu. Pada pertemuan selanjutnya, mari
berbincang mengenai cara kedua yaitu pendekatan
melalui agama. Pertemuan selanjutnya, Ibu F mau
berbincang di mana? Oh jadi di dalam ruangan ini
ya.”
“Untuk waktunya, Bu? Baik, jadi besuk Selasa jam
09.00 WIB kita mulai ya, Bu.”
“Terima kasih, Ibu S. Selamat pagi.”
SP 1 Keluarga 1. Keluarga klien bersedia S:
1. Orientasi untuk berinteraksi Keluarga klien
a. Salam terapeutik dengan perawat. mengatakan sudah
“Selamat pagi, Bu. Perkenalkan saya Perawat 2. Ekspresi wajah memahami cara merawat
X, perawat dari ruangan 22, tempat Ibu F keluarga klien tampak dan mengontrol perasaan
dirawat di rumah sakit. Nama Ibu siapa? khawatir dengan kondisi berduka klien.
Senangnya dipanggil apa?” ibu sejak ditinggal
b. Evaluasi/Validasi selamanya oleh alm. O:
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Apakah Bapak. 1. Ekspresi wajah Ibu
selama ini Ibu ada kendala saat merawat Ibu 3. Keluarga klien klien tampak lega
F ?” memberikan jawaban karena sudah
c. Kontrak sesuai dengan mengetahui cara
Topik : “Baik Bu, bisakah kita pertanyaan perawat. mengurangi rasa
berbincang-bincang sekarang 4. Keluarga klien tampak berduka pada klien.
tentang masalah yang Ibu mengerti mengenai cara 2. Ibu klien memberikan
alami saat merawat Ibu F menyelesaikan fase jawaban sesuai
selama ini?” berduka dari Ibu. dengan pertanyaan
Waktu : “Berapa lama Ibu ingin
5. Ibu dapat menyebutkan perawat.
berbincang-bincang?
kembali bagaimana 3. Ibu klien tampak
Bagaimana kalau 30 menit?”
cara-cara mengurangi mengerti tentang
Tempat : “Baiklah, mau di mana kita
perasaan berduka. tanda gejala dan fase
ngobrolnya, Bu? Di mana saja
berduka.
boleh kok, yang terpenting Ibu
4. Ibu dapat
merasa nyaman. Baiklah kita
menyebutkan kembali
ngobrolnya di ruang ini saja,
cara menurunkan
ya.” rasa berduka.
2. Kerja
“Ibu, apa saja kendala yang Ibu hadapi dalam
A:
merawat Ibu Anda? Apa yang keluarga lakukan?
Diagnosis: Berduka
Baik, saya akan coba jelaskan tentang fase berduka
Tindakan: Perawat
dan tanda gejala berduka yang perlu diperhatikan.”
mengedukasi tentang
“Bu, berduka adalah sesuatu yang tidak bisa kita
tanda gejala dan fase
hindari. Tanda gejala dari berduka yaitu pola tidur
berduka serta cara
yang berubah, sering menangis, sedih, dan sulit
mengurangi perasaan
untuk berkonsentrasi. Fase berduka ada 5 yaitu dari
berduka pada klien.
penyangkalan, marah, tawar menawar, depresi, dan
penerimaan. Mungkin saat ini Ibu Anda masih
P:
berada di fase penyangkalan, karena Ibu Anda
Mengadakan acara
masih belum percaya ini semua bisa terjadi. “
tahlilan dengan jadwal 7
“Nah, Bu, tadi saya sudah menjelaskan dan
hari, 40 hari, 100 hari,
memberi masukan Ibu S cara untuk mengurangi
dan 1000 hari pasca
perasaan berdukanya. Cara-caranya yaitu dengan
kematian alm. suami dari
pendekatan budaya, agama, dan sosial. Tadi saya
klien
sudah menjelaskan tentang pendekatan budaya dan
sepakat untuk melakukan tahlilan karena sesuai
dengan lingkungan wilayah Ibu Anda, nggih.Jadwal
tahlilah juga mengikuti budaya setempat, yaitu 7
hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari pasca
kematian.”
“Jadi, Ibu atau keluarga dapat membantu Ibu F
dengan cara mengadakan acara tahlilan atau doa
bersama untuk alm. Bapak.”
“Kalau Ibu F dapat melakukan latihannya dengan
baik, jangan lupa dipuji ya, Bu.”
3. Terminasi
“Bagaimanan perasaan Ibu setelah kita bercakap-
cakap tentang cara merawat Ibu F ?”
“Coba Ibu sebutkan lagi cara mengurangi perasaan
berduka?”
“Setelah ini coba Ibu ingatkan jadwal tahlilannya,
nggih.”
“Bagaimana kalau kita bertemu 2 hari lagi untuk
diskusi cara kedua dengan pendekatan agama?”
“Tempatnya disini saja lagi ya, Bu?”
“Kalau begitu pertemuan kita sampai disini dulu,
terima kasih, Bu.”
“Selamat pagi. Selamat beraktivitas kembali, Bu..”
EVALUASI
Evaluasi dilakukan pada klien dan keluarga di mana evaluasi pada klien meliputi
kemampuan dalam mengungkapkan perasaan kehilangannya, kemampuan mengungkapkan
realita kehilangan, dan kemampuan berpartisipasi dalam merencanakan kehidupannya.
Evaluasi pada keluarga dilakukan untuk mengetahui kemampuan mengenal masalah berduka,
menunjukkan cara merasat klien, dan kemampuan merujuk klien (Zaini, 2019).
DOKUMENTASI
Dokumentasi keperawatan dilakukan perawat disetiap proses asuhan keperawatan mulai
dari pengkajian, rencana keperawatan, implementasi keperawatan hingga evaluasi
keperawatan. Sebagai seorang tenaga kesehatan professional, perawat hendaknya selalu
mendokumentasikan dengan baik dan rinci sesuai format yang telah ada sebagai bukti tertulis
tindakan yang akan dan telah diberikan termasuk terapi, obat obatan dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions
Classification (NIC), Edisi 6. Philadelpia: Elsevier.
Herdman, T.H. dan Kamitsuru. 2018. NANDA –I Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2018 – 2020. Jakarta : EGC
Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, M.L., & Swanson, Elizabeth. 2016. Nursing
Outcomes Classification (NOC), Edisi 5. Philadelpia: Elsevier.
Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Kemenkes.http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/.
Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
PPNI, T. Pokja S. D. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi
1 Cetakan II.Jakarta : DPD PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan
Edisi 1 Cetakan II. Jakarta : DPD PPNI
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan
Edisi 1 Cetakan II.Jakarta : DPD PPNI
Prabowo, E. 2014.Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Nuha Medika.
Yosep dan Sutini.(2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Bandung: Refika Aditama.
Yosep dan Sutini. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
Yusuf, Ah., dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Zaini, Mad. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Masalah Psikososial di Pelayanan Klinis dan
Komunitas.Yogyakarta: Deepublish.
Zaini, Mad. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa Masalah Psikososial di Pelayanan Klinis dan
Komunitas.Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai