Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN DENGAN


KEHILANGAN DAN BERDUKA

Disusun Oleh
Kelompok 2 :
1. Agnes Oksi Filiany
2. Aldi Alfa Ridzie
3. Alfiana Agustin
4. Aulia Reza Nur Fitriani
5. Baity Rachmah
6. Indah Yuliani
7. Mugiyati Lastriningsih
8. Nanda Hendriawan
9. Salamah Rahmawati
10. Tafdiela Amalia
11. Taufiq Hidayah
12. Tri Madani Hidayanti
13. Yeli Nur Indah

AKADEMI PERAWATAN SERULINGMAS 2018/2019

JL.Raya Maos No.505 Telp./Fax. (0282) 695452 Maos 53272 Cilacap

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan Jiwa yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Kehilangan Dan Berduka”.
Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai bagaimana cara member
asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan kehilangan dan berduka. Adapun
tujuan kami menulis makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas dari dosen
mata kuliah Keperawatan Jiwa. Di sisi lain, kami menulis makalah ini untuk
mengetahui lebih rincih mengenai askep jiwa.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kehilangan Dan Berduka ................................................... 3


B. Teori Proses Berduka ........................................................................... 4
C. Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan Berduka....................... 8
D. Tipe Dan Jenis Kehilangan Berduka .................................................... 9
E. Fase Atau Tahapan Kehilangan Dan Berduka ..................................... 13
F. Tada Dan Gejala Kehilangan Dan Berduka ......................................... 18
G. Proses Askep Pada Pasien Dengan Kehilangan Dan Berduka ............. 20
H. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik ...................................... 25

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 30
B. Saran ..................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum
berarti sesuatu yang kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini
dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi/ego dari
diri yang bersangkutan atau disekitarnya. Pandangan-pandangan tersebut
dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang
demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan
perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi
perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe
kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk
memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga
kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak
berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar
artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan
asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan
keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat
memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga,
parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-
perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau
kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi
seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama
kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).

1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas didapatkan beberapa rumusan masalah, sebagai
berikut :
1. Apa Pengertian Kehilangan Dan Berduka ?
2. Bagaimana Teori Proses Berduka ?
3. Apa Saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan Berduka ?
4. Apa Saja Tipe Dan Jenis Kehilangan ?
5. Bagaimana Fase Atau Tahapan Pada Kehilangan ?
6. Bagaimana Tanda Dan Gejala Kehilangan ?
7. Bagaimana Asuha Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Kehilangan
Dan Berduka ?
8. Bagaimana Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik pada Pasien
dengan Kehilangan ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, didapatkan tujuan penulisan sebagai
berikut :
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Kehilangan Dan Berduka ?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Teori Proses Berduka ?
3. Untuk Mengetahui Apa Saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kehilangan Dan Berduka ?
4. Untuk Mengetahui Apa Saja Tipe Dan Jenis Kehilangan ?
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Fase Atau Tahapan Pada Kehilangan ?
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Tanda Dan Gejala Kehilangan ?
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Asuha Keperawatan Jiwa Pada Pasien
Dengan Kehilangan Dan Berduka ?
8. Untuk Mengetahui Bagaimana Strategi Pelaksanaan Komunikasi
Terapeutik pada Pasien dengan Kehilangan ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kehilangan dan Berduka


Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh
setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011).
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau
objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang.
Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera,
pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian
ataupun keseluruhan. Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau
bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatik. Kehilangan sendiri dianggap
sebagai kondisi krisis, baik krisis situasional ataupun krisis perkembangan
(Mubarak & Chayatin, 2007).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu
yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit
dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang
dicintai, dan kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu
respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan
masalah. Seorang individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan
koping yang efektif dalam melalui proses berduka, sehingga mampu
menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan merupakan
bagian dari proses kehidupan.
Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual,
dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek
yang hilang, dapat merupakan objek eksternal, orang yang berarti,
lingkungan, aspek diri, atau aspek kehidupan.Berduka merupakan reaksi

3
terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang normal
(Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini
dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan
perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu,
keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang
diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari
(NANDA, 2011).
Berduka (grieving) Merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan.
Berduka diwujudkan dengan cara yang unuik pada masng-masing orang dan
didasarkan pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan spiritual
yang dianutnya. Berkabung adalah periode penerimaan terhadap kehilangan
dan berduka. Berkabung terjadi dalam masa kehilangan dan sering
dipengaruhi oleh budaya atau kebiasaan.
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka
merupakan suatu reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang
dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial,
maupun intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon yang
normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan yang
dirasakan.

B. Teori Proses Berduka


Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka.
Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana
intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang
perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan
memberikan dukungan dalam bentuk empati. Berikut merupakan teori proses
berduka :

4
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase
yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun
menjelang ajal.
a. Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik
diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan.Reaksi secara fisik termasuk
pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa
istirahat, insomnia dan kelelahan.
b. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan
mungkin mengalami putus asa.Kemarahan, perasaan bersalah,
frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c. Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima
perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan
kehilangan seseorang.
d. Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum.Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e. Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari.Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah
dapat menerima kondisinya.Kesadaran baru telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

5
a. Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi
kehilangan.Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau
“Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b. Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih”
pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah
sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu
untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari
kecemasannya menghadapi kehilangan.
c. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus
atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering
kali mencari pendapat orang lain.
d. Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut.Tahap depresi ini memberi kesempatan
untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut.Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran
diri atau berputus asa.
3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang
mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat
diharapkan.Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang terus menerus

6
dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang
mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
4. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
b. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
c. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-
hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan
mereka.

PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA

KUBLER- MARTOCCHIO RANDO


ENGEL (1964)
ROSS (1969) (1985) (1991)
Shock dan tidak Shock and
Menyangkal Penghindaran
percaya disbelief

Berkembangnya Yearning and


Marah
kesadaran protest
Anguish,
Restitusi Tawar-menawar disorganization Konfrontasi
and despair
Identification in
Idealization Depresi
bereavement
Reorganization / the Reorganization
Penerimaan akomodasi
out come and restitution

7
C. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kehilangan Dan Berduka
Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan adalah genetik,
kesehatan fisik, kesehatan jiwa, pengalaman masa lalu (Suliswati, 2005)
1. Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi biasanya sulit mengembangkan sikap
optimistik dalam menghadapi suatu permasalahan, termasuk menghadapi
kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup yang teratur,
cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stres yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang sedang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan jiwa/mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama mempunyai
riwayat depresi, yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimistik,
selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka
terhadap situasi kehilangan.
4. Pengalaman kehilangan di masa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna di masa
kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi
kehilangan di masa dewasa. Banyak situasi yang dapat menimbulkan
kehilangan dan dapat menimbulkan respon berduka pada diri seseorang
(Carpenito, 2006). Situasi yang paling sering ditemui adalah sebagai
berikut:
a. Patofisiologis
Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat
sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori,
muskuloskeletal, digestif, pernapasan, ginjal dan trauma.

8
b. Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka
waktu yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi,
histerektomi).
5. Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder
akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan dengan
kehilangan gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak
meninggalkan rumah, dan perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan
normalitas sekunder akibat keadaan cacat, bekas luka, dan penyakit.
6. Maturasional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti temanteman,
pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan harapan
dan impian. Rasa berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi
oleh bagaimana cara individu merespon terhadap terjadinya peristiwa
kehilangan. Miller (1999 dalam Carpenito, 2006) menyatakan bahwa
dalam menghadapi kehilangan individu dipengaruhi oleh dukungan sosial
(Support System), keyakinan religius yang kuat, kesehatan mental yang
baik, dan banyaknya sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau
psikososial yang dialami.

D. Tipe dan Jenis Kehilangan Berduka


1. Jenis Kehilangan
Potter dan Perry (2005) menyatakan kehilangan dapat
dikelompokkan dalam 5 kategori: kehilangan objek eksternal, kehilangan
lingkungan yang telah dikenal, kehilangan orang terdekat, kehilangan
aspek diri, dan kehilangan hidup.
a. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana
alam. Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau

9
selimut, bagi seorang dewasa mungkin berupa perhiasan atau suatu
aksesoris pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
tehadap benda yang hilang tergantung pada nilai yang dimiliki orang
tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda
tersebut.
b. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang
telah di kenal mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal
selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya,
termasuk pindah ke kota baru, mendapat pekerjaan baru, atau
perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari
lingkungan yang telah di kenal dan dapat terjadi melalui situasi
maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah
perawatan, atau situasi - situasional, contohnya kehilangan rumah
akibat bencana alam atau mengalami cedera atau penyakit.
c. Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara
sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau
atlet yang telah terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang
muda. Riset telah menunjukkan bahwa banyak hewan peliharaan
sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan,
pindah, melarikan diri, promosi di tempat kerja, dan kematian.
d. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup
anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi
fisiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus,
mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi psikologis
termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri,
kekuatan, respek atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi
akibat penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan atau situasi.

10
Kehilangan seperti ini, dapat menurunkan kesejahteraan individu.
Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan
tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh
dan konsep diri.
e. Kehilangan hidup
Sesorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan,
berpikir, dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai
terjadinya kematian. Perhatian utama sering bukan pada kematian itu
sendiri tetapi mengenai nyeri dan kehilangan kontrol. Meskipun
sebagian besar orang takut tentang kematian dan gelisah mengenai
kematian, masalah yang sama tidak akan pentingnya bagi setiap orang.
Setiap orang berespon secara berbeda-beda terhadap kematian.
orang yang telah hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama
dapat mengalami kematian sebagai suatu perbedaan. Sebagian
menganggap kematian sebagai jalan masuk ke dalam kehidupan
setelah kematian yang akan mempersatukannya dengan orang yang
kita cintai di surga. Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan,
kesepian, atau cedera. Ketakutan terhadap kematian sering menjadikan
individu lebih bergantung.
Maslow (1954 dalam Videback, 2008) tindakan manusia
dimotivasi oleh hierarki kebutuhan, yang dimulai dengan kebutuhan
fisiologis, (makanan, udara, air, dan tidur), kemudian kebutuhan
keselamatan (tempat yang aman untuk tinggal dan bekerja), kemudian
kebutuhan keamanan dan memiliki. Contoh kehilangan yang relevan
dengan kebutuhan spesifik manusia yang diindentifikasi dalam hierarki
Maslow antara lain:
1) Kehilangan fisiologis: kehilangan pertukaran udara yang adekuat,
kehilangan fungsi pankreas yang adekuat, kehilangan suatu
ekstremitas, dan gejala atau kondisi somatik lain yang menandakan
kehilangan fisiologis.

11
2) Kehilangan keselamatan: kehilangan lingkungan yang aman,
seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan publik, dapat
menjadi titik awal proses duka cita yang panjang misalnya,
sindrom stres pasca trauma. Terungkapnya rahasia dalam hubungan
profesional dapat dianggap sebagai suatu kehilangan keselamatan
psikologis sekunder akibat hilangnya rasa percaya antara klien dan
pemberi perawatan.
3) Kehilangan keamanan dan rasa memiliki: kehilangan terjadi ketika
hubungan berubah akibat kelahiran, perkawinan, perceraian, sakit,
dan kematian. Ketika makna suatu hubungan berubah, peran dalam
keluarga atau kelompok dapat hilang. Kehilangan seseorang yang
dicintai mempengaruhi kebutuhan untuk mencintai dan dicintai.
4) Kehilangan harga diri: kebutuhan harga diri terancam atau
dianggap sebagai kehilangan setiap kali terjadi perubahan cara
menghargai individu dalam pekerjaan dan perubahan hubungan.
Rasa harga diri individu dapat tertantang atau dialami sebagai suatu
kehilangan ketika persepsi tentang diri sendiri berubah. Kehilangan
fungsi peran sehingga kehilangan persepsi dan harga diri karena
keterkaitannya dengan peran tertentu, dapat terjadi bersamaan
dengan kematian seseorang yang dicintai.
5) Kehilangan aktualisasi diri: Tujuan pribadi dan potensi individu
dapat terancam atau hilang seketika krisis internal atau eksternal
menghambat upaya pencapaian tujuan dan potensi tersebut.
Perubahan tujuan atau arah akan menimbulkan periode duka cita
yang pasti ketika individu berhenti berpikir kreatif untuk
memperoleh arah dan gagasan baru. Contoh kehilangan yang
terkait dengan aktualisasi diri mencakup gagalnya rencana
menyelesaikan pendidikan, kehilangan harapan untuk menikah dan
berkeluarga, atau seseorang kehilangan penglihatan atau
pendengaran ketika mengejar tujuan menjadi artis atau komposer.

12
2. Jenis Berduka
a. Berduka normal, perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal.
b. Berduka antisipatif, proses melepaskan diri yang muncul sebelum
kehilangan sesungguhnya terjadi.
c. Berduka yang rumit, seseorang sulit maju ke tahap berikutnya.
Berkabung tidak kunjung berakhir.
d. Berduka tertutup, kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka.

E. Fase atau Tahapan Kehilangan dan Berduka


1. Fase Kehilangan dan Berduka
Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang. Berikut
merupakan fase atau tahapan pada kehilangan dan berduka :
a. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang
terdiri atas tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan
kesadaran, serta restitusi.
1) Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat
menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini
sesungguhnya memang dibutuhkan untuk menoleransi
ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan
untuk menerima kenyataan kematian.
2) Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang
lain, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui
berbagai cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam
perasaan yang dalam.

13
3) Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan
keluarga membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima
kenyataan kehilangan.
b. Fase jangka panjang
Fase ini berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang
tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada
beberapa individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri,
sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan
menggunakan alkohol.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase
awal, pertengahan, dan pemulihan.
a. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin,
tidak percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan
tersebut berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu
kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu
merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan
ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu.
b. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan
adanya perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-
ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
c. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk
melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu sudah mulai
berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

14
2. Tahapan proses berduka
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan
(denial), marah (anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan
penerimaan (acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap
individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya
sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan
sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau
depresi.
a. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah
tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari
kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku
seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang
mungkin muncul antara lain sebagai berikut :
1) “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2) “Diagnosis dokter itu salah.”
3) Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas
dalam, panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak,
anoreksia, serta merasa tak nyaman.
4) Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme
pertahanan (defense mechanism) terhadap rasa cemas.
5) Pasien perlu waktu beradaptasi.
6) Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan
menggunakan pertahanan yang tidak radikal.
7) Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang
berkaitan dengan kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.
Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat
kematian orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan
beranggapan bahwa orang yang dicintainya masih hidup, sehingga
sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara seperti biasanya.
Secara fisik akan tampak letih, lemah, pucat, mual, diare, sesak napas,

15
detak jantung cepat, menangis, dan gelisah. Tahap ini membutuhkan
waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun setelah
kehilangan.
b. Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan
kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang
diproyeksikan kepada orang lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik
menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan
tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti
berikut:
1) Emosional tak terkontrol.
“Mengapa aku?”
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
2) Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan
terhadap orang atau lingkungan.
3) Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
“Peraturan RS terlalu keras/kaku.”
“Perawat tidak becus!”
4) Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi
dari sisi pandang keluarga dan staf rumah sakit.
5) Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan
perasaan yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan
stres.
c. Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki
tahap tawar-menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah
“....seandainya saya tidak melakukan hal tersebut.. mungkin semua
tidak akan terjadi ......” atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke
tempat itu ... pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya.
Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut :

16
1) Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa
bersalah pada masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2) Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan
waktu hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau
bertobat.
3) Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua
tawar-menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan
atau diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja
pribadi pendeta.
4) “Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini
dan tidak menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia
mungkin akan lebih berkenan bila aku ajukan permintaan itu
dengan cara yang lebih baik.”
5) “Bila saya sembuh, saya akan…….”
6) Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa,
menyesali perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang
lain.
d. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien
sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi.
Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan
tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur,
letih, dan penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang
yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya
tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya
tanpa kehadiran saya?”
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan
tahap yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal
dalam tahap penerimaan dan damai. Tahap penerimaan terjadi hanya
pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan kegelisahannya.

17
e. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan.
Fokus pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang.
Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga
sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan
dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu akan
mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya yang telah pergi,
tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus
berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.........”
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan
mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada
di satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap
penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat
apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu
untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi
sebuah proses yang disfungsional.

F. Tanda dan Gejala kehilangan dan Berduka


Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala
yang sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass (2010)
menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi,
meliputi:
1. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah,
kecemasan, menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa,
kerinduan.
2. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan
cahaya, mulut kering, kelemahan.
3. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa,
tidaksabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi,
ketidaktegasan.

18
4. Reaksi perilaku, misalnya, gangguan tidur, penurunan nafsu makan,
penarikan sosial, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.
Tanda dan gejala berduka juga dikemukan oleh Videbeck (2008),
yang mencakup ke dalam lima respon, yaitu respon kognitif, emosional,
spiritual, perilaku, dan fisiologis yang akan dijelaskan dalam tabel dibawah

ini:

Tanda dan Gejala Berduka Berdasarkan Respon yang Muncul

Respon Berduka Tanda dan Gejala

Respon Kognitif - Gangguan asumsi dan keyakinan;

- Mempertanyakan dan berupaya menemukan


makna kehilangan;
- Berupaya mempertahankan keberadaan orang
yang meninggal atau sesuatu yang hilang;
Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-
olah orang yang meninggal adalah
pembimbing.
Respon Emosional - Marah, sedih, cemas;

- Kebencian;

- Merasa bersalah dan kesepian;

- Perasaan mati rasa;

- Emosi tidak stabil;

- Keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan


dengan individu atau benda yang hilang.
- Depresi, apatis, putus asa selama fase
disorganisasi dan keputusasaan.

19
Respon Spiritual - Kecewa dan marah pada Tuhan;
- Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa
ditinggalkan atau kehilangan;
- Tidak memiliki harapan, kehilangan makna.
Respon Perilaku - Menangis terisak atau tidak terkontrol;

- Gelisah;

- Iritabilitas atau perilaku bermusuhan;

- Mencari atau menghindar tempat dan


aktivitas yang dilakukan bersama orang yang
telah meninggal;
- Kemungkinan menyalahgunakan obat
atau

alkohol;

Kemungkinan melakukan upaya bunuh diri atau


pembunuhan.
Respon Fisiologis - Sakit kepala, insomnia;
-Gangguan nafsu makan;
-Tidak bertenaga;
-Gangguan pencernaan;
-Perubahan sistem imun dan endokrin.

G. Proses Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Kehilangan dan


Berduka
1. Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan

20
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas
2. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah /
kronis.
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan
koping individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan
pasangan.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
3. Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah /
kronis
1) Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
2) Tujuan Khusus :
a) Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan
perawat.
b) Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
c) Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
d) Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan
terbuka.
e) Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan
perbaikan komunikasi dengan orang lain.

21
3) Intervensi
a) Bina hubungan saling percaya dengan klien. Rasa percaya
merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung
dalam mengatasi perasaannya.
b) Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan
perasaannya. Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
c) Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah. Dengan
mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi
dengan perasaannya.
d) Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak
menghakimi. Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli
terhadap perawatan klien, tetapi tidak terlibat secara emosi.
e) Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan
negatif dari dirinya. Meningkatkan harga diri.
f) Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu
melakukan aktivitasnya. Pujian membuat klien berusaha lebih
keras lagi.
g) Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang mengikut sertakan
klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan
harga diri klien.
b. Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping
individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
1) Tujuan :
a) Klien merasa harga dirinya naik.
b) Klien mengunakan koping yang adaptif.
c) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
2) Intervensi
a) Merespon kesadaran diri dengan cara :
 Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
 Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang
dimilikinya.

22
 Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan
terapeutik.
Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan
terapeutik perawat – klien.
b) Menyelidiki diri dengan cara :
 Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
 Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan
hubungannya dengan orang lain melalui keterbukaan.
 Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan
untuk berubah ada pada klien.
Klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam
penerimaan terhadap dirinya sendiri.
c) Mengevaluasi diri dengan cara :
 Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
 Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif
terhadap masalahnya.
Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian
masalah secara konstruktif.
d) Membuat perencanaan yang realistik.
 Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan
masalah.
 Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang
realistik.
Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi
permasalahannya dengan cara menentukan perencanaan yang
realistik.
e) Bertanggung jawab dalam bertindak.
 Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting
untuk merubah respon maladaptif dan mempertahankan
respon koping yang adaptif.

23
Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses
penyelesaian masalah klien.
f) Mengobservasi tingkat depresi.
 Mengamati perilaku klien.
 Bersama klien membahas perasaannya.
Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana
perawatan selanjutnya disusun dengan tepat.
g) Membantu klien mengurangi rasa bersalah.
 Menghargai perasaan klien.
 Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan
mengaitkan terhadap kenyataan.
 Memberikan kesempatan untuk menangis dan
mengungkapkan perasaannya.
 Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan
perasaan bersalahnya terhadap orang yang hilang.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas
1) Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara
optimal.
2) Tujuan khusus :
a) Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
b) Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
c) Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
d) Klien dapat merawat kukunya sendiri.
3) Intervensi :
a) Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses
menyembuhkannya.
b) Menganjurkan klien untuk mandi.Pengertian yang baik dapat
membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat
melakukan sendiri.

24
c) Menganjurkan pasien untuk mencuci baju. Diharapkan klien
mandiri.
d) Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.
Diharapkan klien mandiri.
e) Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi. Diharapkan
klien mandiri. Terapi kelompok membantu klien agar dapat
bersosialisasi dengan klien yang lain
4. Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang
a. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses
berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap
tahap.
b. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses
berduka dan mengekspresikan perasaan-perasaannya yang
berhubungan denga konsep kehilangan secara jujur.
c. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-
perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka
dan mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara
mandiri.

H. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik pada Pasien dengan


Kehilangan
Contoh Kasus
Strategi pelaksanaan 1 (sp1) pada klien dengan kehilangan dan berduka
Nama klien : Ny. M
Ruangan : Nakula RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
No. MR : 60xxxx
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi Klien
Ny. M, usia 33 tahun mempunyai seorang suami yang bekerja di suatu
perusahaan sebagai tulang punggung keluarga. Seminggu yang lalu,

25
suami Ibu M meninggal karena kecelakaan. Sejak kejadian tersebut,
Ibu M sering melamun dan selalu mengatakan jika suaminya belum
meninggal. Ibu M terlihat sering mengingkari kehilangan, dan
menangis Selain itu, Ibu M juga tidak mau berinteraksi dengan orang
lain dan merasa gelisah sehingga susah tidur.
b. Diagnosa Keperawatan Berduka disfungsional
c. Tujuan khusus
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
dan klien dapat merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan
perawat
2) Klien mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya
3) Klien merasa lebih tenang
d. Tindakan keperawatan
1) Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan cara
mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri perawat
sambil berjabat tangan dengan klien
2) Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Dengarkan setiap perkataan klien. Beri respon, tetapi tidak bersifat
menghakimi
3) Ajarkan klien teknik relaksasi
2. Strategi pelaksanaan
a. Tahap orientasi
1) Salam terapeutik:
“Assalamu’alaikum, selamat pagi Ibu M. Saya Mardhiah, Ibu bisa
memanggil saya suster diah. Saya perawat yang dinas pagi ini dari
pukul 07.00 sampai 14.00 nanti dan saya yang akan merawat Ibu.
Nama Ibu siapa? Ibu senangnya dipanggil apa?”
2) Evaluasi / validasi:
“Baiklah bu, bagaimana keadaan Ibu M hari ini?”

26
3) Kontrak:
Topik : “Kalau begitu, bagaimana jika kita berbincang-
bincang sebentar tentang keadaan ibu? Tujuannya supaya ibu bisa
lebih tenang bu dalam menghadapi keadaan ini, dengan ibu mau
berbagi cerita dengan saya, kesedihan ibu mungkin bisa
berkurang”
4) Waktu : Ibu maunya berapa lama kita berbincang-bincang?
5) Tempat :“Ibu mau kita berbincang-bincang dimana? Di sini
saja? Bai klah.”
b. Tahap kerja
“Baiklah Ibu M, bisa Ibu jelaskan kepada saya bagaimana perasaan
Ibu M saat ini?”
“Saya mengerti Ibu sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi kondisi
sebenarnya memang suami Ibu telah meninggal. Sabar ya, Bu ”
“Saya tidak bermaksud untuk tidak mendukung Ibu. Tapi coba Ibu
pikir, jika Ibu pulang ke rumah nanti, Ibu tidak akan bertemu dengan
suami Ibu karena beliau memang sudah meninggal. Itu sudah menjadi
kehendak Tuhan, Bu. Ibu harus berusaha menerima kenyataan ini.”
“Ibu, hidup matinya seseorang semua sudah diatur oleh Tuhan.
Meninggalnya suami Ibu juga merupakan kehendak-Nya sebagai
Maha Pemilik Hidup. Tidak ada satu orang pun yang dapat
mencegahnya, termasuk saya ataupun Ibu sendiri.”
“Ibu sudah bisa memahaminya?”
“Ibu tidak perlu cemas. Umur Ibu masih muda, Ibu bisa mencoba
mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga Ibu. Saya
percaya Ibu mempunyai keahlian yang bisa digunakan. Ibu juga tidak
akan hidup sendiri. Ibu masih punya saudara-saudara, anak-anak dan
orang lain yang sayang dan peduli sama Ibu.”
“Untuk mengurangi rasa cemas Ibu, sekarang Ibu ikuti teknik
relaksasi yang saya lakukan. Coba sekarang Ibu tarik napas yang
dalam, tahan sebentar, kemudian hembuskan perlahanlahan.”

27
“Ya, bagus sekali Bu, seperti itu.”
c. Tahap terminasi
1) Evaluasi:
a) (Subjektif): “Bagaimana perasaan Ibu sekarang? Apa Ibu
sudah mulai memahami kondisi yang sebenarnya
terjadi?”
b) (Objektif) : “Kalau begitu, coba Ibu jelaskan lagi, hal-hal yang
Ibu dapatkan dari perbincangan kita tadi dan coba
Ibu ulangi teknik relaksasi yang telah kita
lakukan.”
2) Tindak Lanjut :
a) “Ya, bagus sekali Bu. Nah, setiap kali Ibu merasa cemas, Ibu
dapat melakukan teknik tersebut. Dan setiap kali Ibu merasa
Ibu tidak terima dengan kenyataan ini, Ibu dapat mengingat
kembali perbincangan kita hari ini.
b) Bu, ini ada buku kegiatan untuk ibu
c) Bagaimana kalau kegiatan teknik rileksasi ibu masukkan
kedalam jadwal kegiatan ibu?
d) Ibu setuju?
e) Nah, Disini ada kolom kegiatan, tanggal, waktu dan
keterangan Ibu bisa mengisi kegiatan tenik rileksasi pada
kolom kegiatan
f) Kira-kira jam berapa ibu nanti melakukan teknik rileksasi bu?
g) Cara mengisi buku kegiatan ini: jika ibu melakukannya tanpa
dibantu atau diingatkan oleh orang lain ibu tulis “M” disini,
jika ibu di bantu atau diingatkan ibu tulis “B” dan jika ibu
tidak melakukannya ibu tulis “T”
h) Ibu paham Bu?”
i) Nanti ibu jangan lupa mengisi buku kegiatannya ya

28
3) Kontrak yang akan datang:
a) Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincang
selama 30 menit dan sekarang sudah 30 menit bu!
b) Bu, kapan ibu mau kita melanjutkan perbincangan kita?
c) Bagaimana kalau kita besok membicarakan tentang hobi ibu
d) Ibu maunya dimana?
e) Nah, sekarang ibu istirahat dulu
f) Sebelum saya permisi apak ada yang mau ibu tanyakan?
g) Baiklah, kalau tidak ada, saya permisi dulu ya
Bu. Assalamu’alaikum.”

29
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi
dan berduka disfungsional.Berduka diantisipasi adalah suatu status yang
merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual
ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih
dalam batas normal.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku
berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan
dukungan dalam bentuk empati. Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktual
atau nyata dan persepsi. Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:Kehilangan
seseorang seseorang yang dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat
dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada diri
sendiri/aspek diri, dan kehilangan kehidupan/meninggal.

B. Saran
Setiap orang harus dapat menerima suatu kehilangan terhadap seseorang
atau suatu benda dan selalu mensyukuri suatu kehilangan atau berduka . Peran
perawat adalah untuk mendapatkan gambarang tentang perilaku berduka,
mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku serta memberikan dukungan
dalam bentuk empati.

30
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Prabowo E.2014.Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:Nuha Meika

Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,


Kematian danBerduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri,


Pedoman UntukPembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Yusuf dkk.2015.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.Jakarta Selatan:Salemba
Medika

31

Anda mungkin juga menyukai