Disusun Oleh :
1. Desta Lenta Indah Putri Zebua (032017080)
2. Cindy Nadya Pasaribu (032017081)
3. Fryska Yohana Hutahaean (032017082)
4. Henry Eduward Siregar (032017085)
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
semua limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul Konsep Psikososial Dalam Praktik Keperawatan yang
Mencakup Kehilangan, kematian dan berduka
Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat
sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan
serta pengalaman, sehingga nantinya kami dapat memperbaiki bentuk ataupun isi
makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kelompok 12
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti ada acara ritual. Ada
berbagai alasan mengapa kematian harus disikapi dengan acara ritual. Masyarakat Jawa
memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang mati. Segala
status yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan dengan citra kehidupan
luhur. Dalam hal ini makna kematian bagi orang Jawa mengacu kepada pengertian
kembali ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Kematian dalam budaya
Jawa selalu dilakukan acara ritual oleh yang ditinggal mati. Setelah orang meninggal
maka biasanya disertai upacara doa, sesaji, selamatan, pembagian waris, pelunasan
hutang dan sebagainya (Layungkuning, 2013: 98-99).
Kematian dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu: somatic death (kematian
somatik) dan biological death (kematian biologik). Kematian somatik merupakan fase
kematian dimana tidak didapati tandatanda kehidupan lagi, seperti denyut jantung dan
gerakan pernapasan, suhu badan menurun, dan tidak adanya aktivitas listrik otak pada
rekaman EEG. Setelah dua jam, kematian somatik akan diikuti kematian biologik yang
ditandai dengan kematian sel. (Atmadja DS. Thanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1997; p.25-36).
Berdasarkan jenisnya, kematian dapat dikategorikan menjadi:
1. kematian alami yang dapat diantisipasi (misal, mengidap kanker, AIDS, atau
penyakit berat lainnya)
2. kematian alami yang tidak dapat diantisipasi (misal, serangan jantung,
kecelakaan/bencana),
3. kematian “tidak alami” yang disebabkan pembunuhan, atau bunuh diri
Kematian pada saat ini tidak hanya merupakan masalah di dalam kedokteran
saja, akan tetapi juga mempunyai aspek legal. Seseorang dinyatakan mati baik dilihat
dari kedokteran maupun dari segi hukum bila dokter atas dasar pengetahuan
kedokteran yang sesuai dengan standar profesi tidak lagi menemukan adanya tanda
kehidupan yang spontan. Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut
selama ini dan juga diatur dalam PP. 18 thun 1981 yang menyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung, paruparu, tidak bisa diperguna-kan. Hal ini disebabkan
karena teknologi resusitasi telah memungkinan jantung dapat dipacu untuk berdenyut
kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk kembang-kempis kembali. (Sampurna B,
Samsu Z, Siswaja TD. Peranan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Penegakan Hukum;
Sebuah Pengantar. Jakarta: Bagian Kedokteran).
Dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medis menentukan terjadinya
kematian pada manusia, apakah kematian somatik secara lengkap harus terlihat sebagai
tanda penentu adanya kematian, atau cukup bila didapati salah satu dari tanda kematian
somatik, seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja, atau henti detak jantung
saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan
penentuan kematian ini sangat penting dalam pengambilan keputusan baik oleh dokter
maupun keluarganya.
2.3 Berduka
2.3.1 Pengertian Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua jenis tipe berduka, yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional (Rachmad, 2011).
Individu yang berduka membutuhkan waktu untuk menerima suatu peristiwa
kehilangan, dan proses berduka merupakan suatu proses yang sangat individual. Fase
akut berduka biasanya berlangsung 6-8 minggu dan penyelesaian respon kehilangan
atau berduka secara menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan sampai 3 tahun (Keliat,
Helena, dan Farida, 2011). Rotter (2009) mengatakan bahwa proses berduka memiliki
karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi tidak dapat
dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti tahap yang dapat diprediksi. Proses
berduka merupakan suatu proses yang unik dan berbeda pada setiap individu. Tidak
ada yang dapat memastikan kapan seseorang dapat melewati semua tahapan dalam
proses berduka, yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi sehingga proses berduka
yang dialami individu dapat sampai pada suatu tahap penerimaan. Sanders dalam
Bobak, Lowdermilk, dan Jeasen (2005) mengatakan bahwa intensitas dan durasi
respon berduka bergantung pada banyak hal dan salah satunya adalah usia. Indriana
(2012) mengatakan bahwa perbedaan usia antara orang tua dan anak-anak
memengaruhi pola pikir mereka tentang kematian, dengan perkembangan anak, maka
merekapun lebih matang menghadapi kematian. Seiring dengan meningkatnya usia
seseorang maka seharusnya mereka akan lebih banyak memiliki pengalaman langsung
mengenai kematian ketika teman-teman atau kerabat mereka menderita sakit dan
meninggal, sehingga peristiwa kematian seharusnya tidak lagi menjadi suatu peristiwa
yang tidak bisa untuk mereka hadapi.
Indikator kepribadian positif yang tampak pada usia dewasa akhir atau lansia
adalah siap menerima kematian (Erikson dalam Nasir dan Muhith, 2011). Semakin
meningkat usia seseorang maka akan semakin meningkat juga pemahaman dan
penerimaan orang tersebut akan kematian, yang menyebabkan akan semakin mudah
juga orang tersebut untuk melalui semua tahapan proses berduka yang harus dilalui
untuk pada akhirnya mencapai suatu tahap penerimaan dari suatu peristiwa kematian.
2.3.2 Tahap Berduka
1. Tahapan berduka menurut Kubler-Ross pada tahun 1969
Elisabeth Kubler-Ross menetapkan lima tahapan berduka, yaitu :
a. Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.
b. Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau
pemberi perawatan kesehatan.
c. Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih
banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat
dihindari.
d. Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
e. Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tandatanda bahwa ia
menerima kematian.
Model ini menjadi prototype untuk pemberi perawatan ketika mereka
mencari cara memahami dan membantu klien dalam proses berduka.
2. Teori Bowlby
Pemahaman Bowlby tentang berduka akan menjadi kerangka berpikir yang
dominan dalam bab ini. Ia mendeskripsikan proses berduka akibat suatu kehilangan
memiliki empat fase :
a. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan.
b. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada.
c. Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
d. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan
hidupnya.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh belum sempurna, oleh
karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya
Daftar Pustaka