Anda di halaman 1dari 12

KONSEP PSIKOSOSIAL DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN YANG

MENCAKUP KEHILANGAN, KEMATIAN DAN BERDUKA

Disusun Oleh :
1. Desta Lenta Indah Putri Zebua (032017080)
2. Cindy Nadya Pasaribu (032017081)
3. Fryska Yohana Hutahaean (032017082)
4. Henry Eduward Siregar (032017085)

Dosen pembimbing : Pomarida Simbolon, S.K.M., M.Kes

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
semua limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul Konsep Psikososial Dalam Praktik Keperawatan yang
Mencakup Kehilangan, kematian dan berduka
Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat
sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan
serta pengalaman, sehingga nantinya kami dapat memperbaiki bentuk ataupun isi
makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Medan, 13 Agustus 2018

Kelompok 12
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman manusia
yang bersifat universal dan unik secara individual. Hidup adalah serangkaian
kehilangan dan pencapaian. Seorang anak yang mulai belajar berjalan
mencapai kemandiriannya dengan mobilitas. Seorang lansia dengan perubahan
visual dan pendengaran mungkin kehilangan keterandalan-dirinya. Penyakit
dan perawatan di rumah sakit sering melibatkan berbagai kehilangan.
Perawat bekerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe
kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
menghadapi dan menerima kehilangan. Dukacita adalah respons alamiah
terhadap kehilangan. Penting artinya untuk diperhatikan bahwa apapun yang
dikatakan disini tentang proses dukacita dan kehilangan yang terdapat dalam
perspektif sosial dan historis mungkin berubah sepanjang waktu dan situasi.
Manusia dapat mengantisipasi kematian. Hal ini dapat menyebabkan
banyak reaksi termasuk ansietas, perencanaan, menyangkal, mencintai,
kesepian, pencapaian, dan kurang pencapaian. Kematian dapat merupakan
suatu pengalaman yang luar biasa sehingga dapat mempengaruhi seseorang
menjelang ajal dan keluarga, teman, dan pemberi asuhan mereka. Cara
seseorang meninggal mencerminkan gaya kehidupan orang tersebut, latar
belakang budaya, keyakinan, dan sikap entang kehidupan dan kematian.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Kehilangan
2.1.1 Pengertian Kehilangan
Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan
adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang
tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau dialami. Tipe dari
kehilangan mempengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak
menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita.
Namun demikian, setiap individu berespons terhadap kehilangan secara berbeda.
Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distres lebih besar
dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi seseorang yang hidup sendiri
kematian hewan peliharaan menyebabkan distres emosional yang lebih besar
dibanding saudaranya yang sudah tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun.
Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat
aktual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman
bermainnya pindah rumah atau seorang dewasa yang kehilangan pasangan akibat
bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalahartikan, seperti
kehilangan kepercayaan diri atau prestise. Makin dalam makna dari apa yang hilang,
maka makin besar perasaan kehilangan tersebut. Klien mungkin mengalami
kehilangan maturasional (kehilangan yang diakibatkan oleh transisi kehidupan
normal untuk pertama kalinya), kehilangan situasional (kehilangan yang terjadi
secara tiba-tiba dalam merespons kejadian eksternal spesifik seperti kematian
mendadak dari orang yang dicintai), atau keduanya.
Kehilangan dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori : kehilangan benda
eksternal, kehilangan lingkungan yang telah dikenal, kehilangan orang yang dicintai,
kehilangan aspek diri, dan kehilangan hidup. Perawat merawat klien yang mengalami
banyak tipe kehilangan, seperti klien yang dirawat di rumah sakit yang mengalami
banyak kehilangan termasuk kesehatan, kemandirian, kontrol terhadap
lingkungannya, dan keamanan finansial. Kehilangan mengancam konsep diri, harga-
diri, keamanan dan rasa makna-diri.
2.1.1 Kehilangan Objek Eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilkan yang telah menjadi
usang, berpindah tempat, dicuru, atau rusak karena bencana alam. Bagi seorang anak
benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut; bagi seorang dewasa mungkin
berupa perhiasan atau aksesori pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari
benda tersebut.
2.1.2 Kehilangan Lingkungan Yang Telah Dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah
mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenan selama periode tertentu atau
kepindahan secara permanen. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang
telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia
pindah ke rumah perawatan atau situasi situasional, contohnya kehilangan rumah akibat
bencana alam atau mengalami cedera atau penyakit.
Perawatan dalam suatu institusi mengakibatkan isolasi dari kejadian rutin.
Peraturan rumah sakit menimbulkan suatu lingkungan yang sering bersifat impersonal
dan demoralisasi. Kesepian akibat lingkungan yang tidak dikenal dapat mengancam
harga diri dan membuat berduka menjadi lebih sulit.
2.1.3 Kehilangan Orang Terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung,
guru, pendeta, teman, tetangga dan rekanan kerja. Artis atau atlet yang terkenal
mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah menunjukkan bahwa
banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat
terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi ditempat kerja, dan kematian.
2.1.4 Kehilangan Aspek Diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis,
atau psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata,
rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan kontrol
kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi
psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri, kekuatan,
respeks, atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat, penyakit, cidera, atau
perubahan perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini dapat menurunkan
kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat
kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan
konsep diri.
2.1.5 Kehilangan Hidup
Setiap orang berespons secara berbeda terhadap kematian. Orang yang telah
hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat mengalami kematian sebagai
suatu peredaan. Sebagian menganggap kematian sebagai jalan masuk kedalam
kehidupan setelah kematian yang akan mempersatukannya dengan orang yang kita
cintai disurga. Sedangkan orang lain takut akan perpisahan, dilalaikan, kesepiap, atau
cedera. Ketakutan terhadap kematian sering menyebabkan individu menjadi lebih
bergantung. Keputusasaan dan rasa malu karena ketergantungan yang dialami oleh
sebagian klien menimbulkan tantangan bagi perawat.
Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup
kedalam empat fase. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau
faktor risiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Klien dihadapkan pada
serangkaian keputusan, termasuk medis, interpersonal, psikologis, seperti halnya cara
menghadapi awal krisis penyakit. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit
dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkan.
Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal. Kadang dalam fase akut atau kronis
seseorang dapat mengalami pemulihan. Klien yang mencapai fase terminal ketika
kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi pasti terjadi.
2.2 Kematian
2.2.1 Pengertian Kematian
Kematian adalah suatu keniscayaan bagi makhluk hidup. Semua orang percaya
bahwa pada suatu saat nanti mereka akan meninggal. Tetapi anehnya, kejadian
kematian memberi efek yang berbeda-beda pada setiap individu. Reaksi seseorang
terhadap kematian sangat dipengaruhi oleh cara terjadinya kematian.
Kematian atau mortalitas adalah salah satu dari tiga komponen proses
demografi yang berpengaruh terhadap struktur penduduk. Dua komponen proses
demografi lainnya adalah kelahiran (fertilitas), dan mobilitas penduduk. Tinggi
rendahnya tingkat mortalitas penduduk di suatu daerah tidak hanya mempengaruhi
pertumbuhan penduduk, tetapi juga merupakan barometer dari tinggi rendahnya tingkat
kesehatan masyarakat di daerah tersebut (Bagus, 2008).

Mati ialah hilangnya tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa


terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Dengan demikian keadaan mati selalu
didahului oleh keadaan hidup. Mati tidak pernah ada kalau tidak ada kehidupan.
Sedangkan hidup selalu dimulai dengan lahir hidup (live birth) (Bagas, 2008).

Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti ada acara ritual. Ada
berbagai alasan mengapa kematian harus disikapi dengan acara ritual. Masyarakat Jawa
memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang mati. Segala
status yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan dengan citra kehidupan
luhur. Dalam hal ini makna kematian bagi orang Jawa mengacu kepada pengertian
kembali ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Kematian dalam budaya
Jawa selalu dilakukan acara ritual oleh yang ditinggal mati. Setelah orang meninggal
maka biasanya disertai upacara doa, sesaji, selamatan, pembagian waris, pelunasan
hutang dan sebagainya (Layungkuning, 2013: 98-99).
Kematian dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu: somatic death (kematian
somatik) dan biological death (kematian biologik). Kematian somatik merupakan fase
kematian dimana tidak didapati tandatanda kehidupan lagi, seperti denyut jantung dan
gerakan pernapasan, suhu badan menurun, dan tidak adanya aktivitas listrik otak pada
rekaman EEG. Setelah dua jam, kematian somatik akan diikuti kematian biologik yang
ditandai dengan kematian sel. (Atmadja DS. Thanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1997; p.25-36).
Berdasarkan jenisnya, kematian dapat dikategorikan menjadi:
1. kematian alami yang dapat diantisipasi (misal, mengidap kanker, AIDS, atau
penyakit berat lainnya)
2. kematian alami yang tidak dapat diantisipasi (misal, serangan jantung,
kecelakaan/bencana),
3. kematian “tidak alami” yang disebabkan pembunuhan, atau bunuh diri

(Range, Walston,& Pollard, 1992; Silverman, Range, & Overholser, 1994).


Sebagian ahli menemukan bukti-bukti bahwa jenis kematian tidak bertalian
dengan penyembuhan duka (Campbell, Swank,& Vincent, 1991), tetapi banyak ahli
lainnya menyebutkan bahwa jenis kematian mempengaruhi pengalaman atau reaksi
duka seseorang (Drenovsky, 1994; Ginzburg et al., 2002; Levy et al., 1994; Silverman
et al, 1994).

Kematian pada saat ini tidak hanya merupakan masalah di dalam kedokteran
saja, akan tetapi juga mempunyai aspek legal. Seseorang dinyatakan mati baik dilihat
dari kedokteran maupun dari segi hukum bila dokter atas dasar pengetahuan
kedokteran yang sesuai dengan standar profesi tidak lagi menemukan adanya tanda
kehidupan yang spontan. Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut
selama ini dan juga diatur dalam PP. 18 thun 1981 yang menyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung, paruparu, tidak bisa diperguna-kan. Hal ini disebabkan
karena teknologi resusitasi telah memungkinan jantung dapat dipacu untuk berdenyut
kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk kembang-kempis kembali. (Sampurna B,
Samsu Z, Siswaja TD. Peranan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Penegakan Hukum;
Sebuah Pengantar. Jakarta: Bagian Kedokteran).
Dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medis menentukan terjadinya
kematian pada manusia, apakah kematian somatik secara lengkap harus terlihat sebagai
tanda penentu adanya kematian, atau cukup bila didapati salah satu dari tanda kematian
somatik, seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja, atau henti detak jantung
saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan
penentuan kematian ini sangat penting dalam pengambilan keputusan baik oleh dokter
maupun keluarganya.
2.3 Berduka
2.3.1 Pengertian Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua jenis tipe berduka, yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional (Rachmad, 2011).
Individu yang berduka membutuhkan waktu untuk menerima suatu peristiwa
kehilangan, dan proses berduka merupakan suatu proses yang sangat individual. Fase
akut berduka biasanya berlangsung 6-8 minggu dan penyelesaian respon kehilangan
atau berduka secara menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan sampai 3 tahun (Keliat,
Helena, dan Farida, 2011). Rotter (2009) mengatakan bahwa proses berduka memiliki
karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi tidak dapat
dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti tahap yang dapat diprediksi. Proses
berduka merupakan suatu proses yang unik dan berbeda pada setiap individu. Tidak
ada yang dapat memastikan kapan seseorang dapat melewati semua tahapan dalam
proses berduka, yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi sehingga proses berduka
yang dialami individu dapat sampai pada suatu tahap penerimaan. Sanders dalam
Bobak, Lowdermilk, dan Jeasen (2005) mengatakan bahwa intensitas dan durasi
respon berduka bergantung pada banyak hal dan salah satunya adalah usia. Indriana
(2012) mengatakan bahwa perbedaan usia antara orang tua dan anak-anak
memengaruhi pola pikir mereka tentang kematian, dengan perkembangan anak, maka
merekapun lebih matang menghadapi kematian. Seiring dengan meningkatnya usia
seseorang maka seharusnya mereka akan lebih banyak memiliki pengalaman langsung
mengenai kematian ketika teman-teman atau kerabat mereka menderita sakit dan
meninggal, sehingga peristiwa kematian seharusnya tidak lagi menjadi suatu peristiwa
yang tidak bisa untuk mereka hadapi.
Indikator kepribadian positif yang tampak pada usia dewasa akhir atau lansia
adalah siap menerima kematian (Erikson dalam Nasir dan Muhith, 2011). Semakin
meningkat usia seseorang maka akan semakin meningkat juga pemahaman dan
penerimaan orang tersebut akan kematian, yang menyebabkan akan semakin mudah
juga orang tersebut untuk melalui semua tahapan proses berduka yang harus dilalui
untuk pada akhirnya mencapai suatu tahap penerimaan dari suatu peristiwa kematian.
2.3.2 Tahap Berduka
1. Tahapan berduka menurut Kubler-Ross pada tahun 1969
Elisabeth Kubler-Ross menetapkan lima tahapan berduka, yaitu :
a. Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.
b. Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau
pemberi perawatan kesehatan.
c. Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih
banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat
dihindari.
d. Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
e. Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tandatanda bahwa ia
menerima kematian.
Model ini menjadi prototype untuk pemberi perawatan ketika mereka
mencari cara memahami dan membantu klien dalam proses berduka.

2. Teori Bowlby
Pemahaman Bowlby tentang berduka akan menjadi kerangka berpikir yang
dominan dalam bab ini. Ia mendeskripsikan proses berduka akibat suatu kehilangan
memiliki empat fase :
a. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan.
b. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada.
c. Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
d. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan
hidupnya.

3. Teori John Harvey pada tahun 1998


John Harvey menetapkan 3 tahap berduka, yaitu:
a. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
b. Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif.
c. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara
kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.

4. Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999


Proses dukacita sebagai suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu :
a. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
b. Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan
fisik yang umum.
c. Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan
melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan
bimbingan spiritual.
d. Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti
bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Proses berduka mencakup serangkaian respons emosional, kognitif, dan
perilaku terhadap kehilangan aktual atau yang dirasakan. Berduka mengintegrasi dan
mengakomodasi kehilangan untuk mencapai fungsi yang lebih efektif. Individu
mengalami aspek berbeda dari proses berduka pada waktu yang berbeda pula. Fase
proses berduka beragam di antara teori tetapi berkembang dari distres dan syok
sampai resolusi dan akomodasi. Kehilangan dapat menyebabkan respons dukacita
serupa dengan yang terjadi setelah kematian. Dukungan perawat terhadap harapan
klien dapat membantu meringankan berduka yang berkaitan dengan kehilangan.
Selama pengkajian perawat mempertimbangkan karakteristik fisik dan perilaku yang
menunjukkan klien berduka. Faktor risiko (mis. Kesehatan fisik) menunjukkan
kemungkinan bahwa orang tersebut dalam dukacita akan menderita penyakit
psikologis atau fisik selama proses kehilangan. Komunikasi terapeutik membantu
perawat menolong klien yang berduka dan menjelang kematian dalam mengatasi
kehilangan. Evaluasi asuhan keperawatan untuk klien berduka dan klien menjelang
kematian adalah didasarkan pada perubahan perilaku yang dapat diidentifikasi melalui
proses berduka. Riwayat kehilangan perawat sendiri mempengaruhi respons terhadap
kehilangan klien. Perawat yang bekerja dengan klien sakit terminal atau kritis
mengalami kehilangan dan dukacita. Perawat harus waspada terhadap dan merasakan
dukacita mereka sendiri secara terus-menerus untuk menghindari kehilangan karena
kematian yang berlebihan.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh belum sempurna, oleh
karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya
Daftar Pustaka

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.ed. 4. Jakarta : Penerbit buku


kedokteran EGC
Erikson dalam Nasir dan Muhith, 2011
Keliat, Helena, dan Farida, 2011
Sampurna B, Samsu Z, Siswaja TD. Peranan Ilmu Kedokteran Forensik dalam
Penegakan Hukum; Sebuah Pengantar. Jakarta: Bagian Kedokteran
Atmadja DS. Thanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
1997; p.25-36

Anda mungkin juga menyukai