Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang


bersifat universal dan unik secara individual. Hidup adalah serangkaian kehilangan
dan pencapaian. Penyakit dan perawatan di rumah sakit sering melibatkan berbagai
kehilangan. Perawat bekerjasama dengan klien yang mengalami berbagai tipe
kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
menghadapi dan menerima kehilangan. Dukacita adalah respons alamiah terhadap
kehilangan. Penting artinya untuk diperhatikan bahwa apapun yang dikatakan disini
tentang proses dukacita dan kehilangan yang terdapat dalam perspektif sosial dan
historis mungkin berubah sepanjang waktu dan situasi. Perawat membantu klien
untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga
kehidupan klien dapat berlanjut. Dalam kultur barat, ketika klien tidak berupaya
melewati dukacita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka
akan terjadi masalah emosi, mental, dan sosial yang serius. (Potter & Perry, 2005)

Manusia dapat mengantisipasi kematian. Hal ini dapat menyebabkan banyak


reaksi termasuk ansietas, perencanaan, menyangkal, mencintai, kesepian,
pencapaian, dan kurang pencapaian. Kematian dapat merupakan suatu
pengalamanyang luar biasa sehingga dapat mempengaruhi seseorang menjelang ajal
dan keluarga, teman, dan pemberi asuhan mereka. Cara seseorang meninggal
mencerminkan gaya kehidupan orang tersebut, latar belakang budaya, keyakinan,
dan sikap tentang kehidupan dan kematian. (Potter & Perry, 2005)

Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan
asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga
yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami duka
cita dan kehilangan. Ketika merawat klien dan keluarganya, perawat juga
mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan perawat-klien-keluarga berakhir
karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan, atau kematian. Ketika seseorang
mengalami penyakit terminal, perawat dapat mengingat tetntang kematian mereka
sendiri, Perawat mungkin akan mendapati bahwa akan lebih mudah treda dari gejala
penyakit fisikdan kematian dibandingkan untuk terlibat dalam suatu hubungan
interpersonal yang bermakna untuk mendukung seseorang yang menderita atau
menjelang ajal. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi
seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan
dan kematian. (Potter & Perry, 2005)

Pengkajian diri, menggali sikap, perasaan, dan nilai pribadi penting dilakukan
sebelum perawat merespoins dengan pendekatan yang tulus, sensitif, terapeutik
terhadap orang lain. Mengembangkan kiat tentang menjadi bagian dari berduka dan
menjelang kematian memerlukan suatu kekuatan dari dalam yang timbul dari
pengetahaun dan keyakinan positif dalam diri seseorang. Perkembangan tentang
filosofi kehidupan membantu perawat berfungsi secara suportif selama waktu sulit.
(Potter & Perry, 2005)

Terdapat banyak variasi dalam dukacita dan berkabung. Perawat harus terbuka
untuk belajar dari klien mereka tentang pengalaman mereka dan cara mereka
memahami dunia ini. Perawat dapat membantu klien dengan baik denagn membawa
sikap “tidak mengetahui” terhadap setiap keunikan yang dihadapi dengan klien dan
keluarganya dan sama-sama menggali bagaimana dukacita dan maknanya
ditemukan (Hepburn, 1994). Perawat menggunakan pengetahuan tentang konsep
kehilangan dan dukacita untuk secara kreatif menerapkan intervensi untuk untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan memberi dukungan kepada klien
yang menjelang kematian. (Potter & Perry, 2005)
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari dukacita, berkabung, dan kehilangan?


2. Apa saja jenis kehilangan?
3. Apa saja respons dari dukacita?
4. Apa saja konsep teori mengenai dukacita?
5. Apa saja faktor yang mempengaruhi dukacita?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari dukacita, berkabung, dan kehilangan.


2. Mengetahui jenis-jenis kehilangan.
3. Mengetahui berbagai respons dukacita.
4. Mengetahui konsep teori mengenai dukacita.
5. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita.
BAB II

A. Pengertian
1. Kehilangan

Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan


adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang
tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau dialami. Tipe dari
kehilangan memengaruhi tingkat distres. Namun demikian, setiap individu
berespons terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga
mungkin menyebabkan distres lebih besar dibandingkan kehilangan hewan
peliharaan. Tipe kehilangan penting artinya untuk proses berduka; namun perawat
harus mengenali bahwa setiap interpretasi seseorang tentang kehilangan sangat
bersifat individualistis. (Potter & Perry, 2005)

Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat aktual
dapat dengan mudah diidentifikasi. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan
dapat disalahartikan, seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. Makin dalam
makna dari apa yang hilang, maka makin besar perasaan kehilangan tersebut. Klien
mungkin mengalami kehilangan maturasional (kehilangan yang diakibatkan oleh
transisi kehidupan normal untuk peratama kalinya), kehilangan situasional
(kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam merespons kejadian eksternal
spesifik seperti kematian mendadak dari orang yang dicintai), atau keduanya.
(Potter & Perry, 2005)

Kehilangan dapat dikelompokkan kedalam lima kategori; kehilangan benda


eksternal, kehilangan lingkungan yang telah dikenal, kehilangan orang yang
dicintai, kehilangan aspek diri, dan kehilangan hidup. Perawat merawat klien yang
mengalami banyak tipe kehilangan, seperti klien yang dirawat di rumah sakit yang
mengalami banyak kehilangan termasuk kesehatan, kemandiran, kontrol terhadap
lingkungannya, dan keamanan finansial. Kehilangan mengancam konsep diri, harga
diri, keamanan, dan rasa makna diri. Perawat harus mengenali makna dari setiap
kehilangan bagi klien dan dampaknya pada fungsi fisik dan psikologis. (Potter &
Perry, 2005)
a. Kehilanagan Objek Eksternal (Potter & Perry, 2005)
Kehilangan objek eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi
usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman
berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada
nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan
kegunaan dari benda tersebut.
b. Kehilangan Lingkungan yang Telah Dikenal (Potter & Perry, 2005)
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah
dikenal mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode
tertentu atau kepindahan secara permanen. Kehilangan melalui perpisahan dari
lingkungan yan telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional (ketika
seorang lansia pindah ke rumah perawatan) atau situasi situasional (kehilangan
rumah akibat bencana alam atau mengalami cedera/penyakit). Kesepian akibat
lingkungan yang tidak dikenal dapat mengancam harga diri dan membuat
berduka menjadi lebih sulit.
c. Kehilangan Orang Terdekat (Potter & Perry, 2005)
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan. anak-anak, saudara sekandung,
guru, pendeta, teman, tetangga, rekan kerja. Artis atau atlet yang terkenal
mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah menunjukkan
bahwa banyak orang yang menganggap hewan peliharaan sebagai orang
terdeakt. Kehilangan dapat terajadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri,
promosi di tempat kerja, dan kematian.
d. Kehilangan Aspek Diri (Potter & Perry, 2005)
Kehilangan aspek diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau
psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata,
rambut, gigi. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan kontrol
kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris. Kehilangan
fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya
diri, kekuatan, respeks, atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terajadi akibat
penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan/situasi. Kehilangan seperti ini
dapat menurunkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya
mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan
permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
e. Kehilangan Hidup (Potter & Perry, 2005)
Seseorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan, berpikir,
dan merespons terhadap kejadian dan orang di sekitarnya sapai terjadinya
kematian. Perhatian utama sering bukan kepada kematian itu sendiri tetapi
mengenai nyeri dan kehilangan kontrol. Meskipun sebagian besar orang takut
tentang kematian dan gelisah mengenai kematian, masalah yang sama tidak
akan sama pentingnya bagi setiap orang.
Setiap orang berespons secara berbeda terhadap kematian. Orang yang telah
hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat mengalami kematian
seabagai suatu peredaan. Sebagian menganggap kematian sebagai jalan masuk
ke dalam kehidupan setelah kematian yang akan mempersatukannya dengan
orag yang kita cintai di surga. Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan,
kesepian, atau cedera. Ketakutan terhadap kematian sering menyababkan
individu menjadi lebih bergantung. Keputusasaan dan rasa malu karena
ketergantungan yang dialami oleh sebagian klien menimbulkan tantangan bagi
perawat.

Doka (1993) menggambarkan respons terhadap penyakit yang mengancam


hidup ke dalam empat fase. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala
klien atau faktor risiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnostik. Klien
dihadapkan pada serangkaian keputusan, termasuk medis, interpersonal, psikologis,
seperti halnya cara menghadapi awal krisis penyakit. Dalam fase kronis klien
bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian
krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal. Kadang
dalam fase akut atau kronis seseorang dapat mengalami pemulihan. Klien yang
mencapai fase terminal ketika kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi pasti
terjadi. Pada setiap hal dari penyakit ini klien dan keluarga dihadapkan dengan
kehilangan yang beragam dan terus berubah. (Potter & Perry, 2005)

2. Dukacita, Berkabung, dan Kehilangan karena Kematian

Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan


aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup dukacita dan
berkabung. Dukacita adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial, dan fisik
terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respons ini termasuk keputusasaan,
kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah, dan marah. Berkabung adalah
proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati
dukacita. Proses dukacita dan berkabung bersifat mendalam, internal, menyedihkan,
dan berkepanjangan. Istilah dukacita, berkabung, dan kehilangan karena kematian
sering digunakan secara tumpang tindih.

Dukacita mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku. Tujuan dukacita adalah


untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan mengintegrasikan kehilangan ke
dalam pengalaman hidup klien. Pencapaian ini membutuhkan waktu dan upaya.
Istilah “upaya melewati dukacita”berasal dari seorang psikiater Erich Lindemann
(1965) yang menggambarkan tugas dan proses yang harus diselesaikan dengan
berhasil agar dukacita terselesaikan. Orang yang mengalami dukacita mencoba
berbagai strategi untuk menghadapinya. Worden (1982) menngarisbawahi empat
tugas dukacita yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan, dan
Harper (1987) merancang tugas dengan akronim “TEAR”:

1. T – untuk menerima realitas dari kehilangan


2. E – mengalami kepedihan akibat kehilangan
3. A – menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda, atau
aspek diri yang hilang
4. R – memberdayakan kembali energi emosional ke dalam hubungan yang baru

Tugas ini tidak terjadi dalam urutan yang khusus. Pada kenyataannya, orang
yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut seacara bersamaan, atau
hanya satu atau dua yang menjadi prioritas. Perawat dapat membantu klien dan
keluarganya dalam memahami dan berupaya melewati tugas ini ketika tugas
tersebut sesuai dengan situasi unik mereka.

Masyarakat sering tidak mendorong keterbukaan selama dukacita atau


kehilangan. Perubahan terakhir dalam sikap, keyakinan, dan nilai telah
meningkatkan pengekspresian berduka secara lebih terbuka. Namun demikian,
banyak orang tetap ragu untuk menunjukkan pemikiran, rasa takut, dan perasaan
mereka tentang dukacita, terutama sekali lansia. Berduka dapat mengarah pada
pemahaman baru yang meningkatkan pertumbuhan. Seseorang dapat tumbuh dari
pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan
dukungan yang adekuat.
B. Respons Dukacita Khusus
1. Dukacita Adaptif
Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping, interaksi, perencanaan,
dan pengenalan psikososial. Hal ini dimulai dalam merespons terhadap kesadaran
tentang suatu ancaman kehilangan dan pengenalan tentang kehilangan yang
berkaitan dengan masa lalu, saat ini, dan masa mendatang. Dukacita yang adaptif
terjadi pada mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangak panjang
terhadap fungsi tubuh, seperti pada lupus eritomatosus sistemik. Klien mungkin
merasa sangat sehat ketika didiagnosis tetapi mulai berduka dalam merespons
informasi tentang kehilangan dimasa mendatang yang berkaitan dengan penyakit.
Dalam situasi seperti ini, dukacita adaptif dapat mendalam lama dan dapat terbuka.
Dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal mencakup melepas harapan, impian, dan
harapan terhadap masa depan jangka panjang. Keterlibatan secara kontinu dengan
klien menjelang ajal dan tujuan untuk memaksimalkan kemungkinan hidup bukan
hal yang tidak sesuai dengan pengalaman dukacita adaptif. Dukacita adaptif bagi
klien menjelang ajal mempunyai akhir yang pasti. Hal tersebut akan menghilang
sejalan dengan kematian klien; meskipun dukacita berlanjut, tetapi dukacita tersebut
tidak lagi adaptif. Klien, keluarga, dan perawat dihadapkan dengan serangkaian
tugas adaptasi dalam proses dukacita adaptif (Rando, 1986).
2. Duakcita Terselubung
Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan yang tidak
atau tidak dapat dikenali, rasa berkabungang luas, atau didukung secara sosial.
Konsep mengenali bahwa masyarakat mempunyai serangkaian norma mengenai
“aturan berduka” yang berupaya untuk mengkhususkan siapa, kapan, dimana,
bagaimana, berapa lama, dan kepada siapa orang harus berduka. Dukacita mungkin
terselubung dalam situasi diamana hubungan antara yang berduka dan
meninggalkan tidak didasarkan pada ikatan keluarga yang dikenal. Dalam kasus
lainnya sendiri tidak didefinisikan secara sosial sebagai sesuatu yang signifikan,
seperti halnya kematian perinatal, aborsi, atau adopsi. Seseorang dapat juga
mengungkapan kematian “psikologis” diamana kepribadian seseorang telah berubah
sedemikian signifikan.
C. Konsep Teori Dukacita

Dukacita adalah respon normal terhadap kehilangan. Perilaku dan perasaan yang
berkaitan dengan proses berduka terjadi pada individu yang menderita kehilangan
seperti perubahan fisik atau kematian teman dekat. Proses ini juga terjadi ketika
individu menghadapi kematian mereka sendiri. Seseorang yang mengalami
kehilangan, keluarganya dan dukungan sosial lainnya juga mengalam dukacita.

Tidak terdapat cara yang tepat untuk berduka. Konsep dan teori berduka hanya
cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kebitihan emosional klien dan
keluarganya serta merencanakan intervensi untuk membantu mereka memahami
dukacita dan menghadapinya.

 Teori Berduka dan Berkabung


1. Teori Perilaku Klasik Kubler-Ross (1969)

Teori ini menggambarkan lima tahap kematian. Individu yang berduka tidak akan
mengalami kodisi tersebut dala waktu yang panjang dan sering berpindah kembali
seterusnya dari satu tahap ke tahap lainnya.

a. Tahap penyangkalan (denial) :


- Individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan menolak menerima kenyataan
adanya rasa kehilangan
- Individu seolah-olah tidak memahami apa yang telah terjadi.
b. Tahap Kemarahan (anger) :
- Individu mengungkapkan pertahanan dan terkadang merasakan kemarahan yang
hebat kepada Tuhan, invidu lain, atau situasi.
c. Tahap Tawar-menawar (bargaining) :
- Individu yang berduka membuat janji dengan dirinya sendiri, Tuhan, atau orang
yang di cintainya bahwa mereka dpat dihindarkan dari kehilangan yang
menakutkan itu.
d. Tahap Depresi (depression) :
- Individu merasa sedih, putus asa, dan kesendirian yang berlebihan.
f. Tahap Penerimaan (acceptance) :
- Individu memasukkan rasa kehilangan ke dalam kehidupan dan menemukan cara
untuk bergerak maju.
2. Teori Kasih Sayang ( Bowlby, 1980)

Teori ini menggambarkan pengalaman berkabung. Kasih saying merupakan


perilaku yang berdasarkn naluri, perilaku kasih sayang itu sendiri menjamin
ketahanan hidup karena hal itu juga yang menjaga individu dekat dengan semua
yang menawarkan cinta, perlindungan, dan dukungan. Bowlby menggambarkannya
melalui empat fase berkabung.

a. Fase Mati Rasa (numbing)


- Individu yang berduka menggambarkan fase ini sebagai perasaan “yang
menyebabkan pingsan” atau “tidak nyata”.
- Mati rasa berlangsung paling singkat dan melindungi individu dari dampak
penuh akibat rasa kehilangan.
b. Fase Kerinduan dan Pencarian (yearning and searching)
- Gejala fisik yang ditemukan : sesak di dada, nafas pendek, sulit tidur, dan tidak
nafsu makan.
- Individu juga mengalami kerinduan dari dalam yang hebat terhadap objek yang
hilang.
- Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan atau bisa lebih.
c. Fase Kekacauan dan Keputusasaan (disorganization and despair)
- Individu akhirnya memeriksa mengapa rasa kehilangan terjadi.
- Individu yang berduk menceritakan kembali kisah kehilangan tersebut berulang
kali, dan menyadari bahwa kehilangan itu bersifat permanen.
d. Fase Reorganisasi
- Individu mulai menerima perubahan yang baru, membutuhkan keterampilan
baru, dan membangun hubungan baru.
- Individu mulai membuka dirinya dari hubungan mereka ang hilang.
- Fase ini biasanya memakan waktu satu tahun atau lebih.
 Model Tugas Berduka (Worden, 1982)

Mengajukan empat tugas berkabung dan menyarankan bahwa individu yang


berkabung terikat secara aktif dalam perilaku untuk membantu dirinya sendiri dan
memberikan respon terhadap intervensi ddari luar.

a. Tugas I : Menerima kenyataan akan rasa kehilangan


Melibatkan proses penerimaan bahwa individu atau objek tersebut telah pergi
dan tidak akan kembali.
b. Tugas II : Melewati rasa nyeri akan berduka
Individu memberikan reaksi berupa kesedihan, kesendirian, keputusasaan, atau
penyesalan yang akan bekerja melalui perasaan nyeri dengan menggunakan
mekanisme adaptasi yang paling dikenal.
c. Tugas III : Beradapatasi terhadap lingkungan dimana orang itu meninggal
Individu tidak menyadari sepenuhnya dampak dari rasa kehilangan selama
minimal 3 bulan. Keluarga atau teman memberikan sedikit perhatian kepada
individu yang merasa kehilangan dalam jangka waktu yang sama, individu
mengambil peran yang tadinya diisi oleh orang yang sudah meniggal.
d. Tugas IV : Merelokasi orang yang sudah meninggal secara emosional dan
melanjutkan kehidupan.
Orang yang sudah meninggal tidak dapat dilupakan, individu biasanya takut jika
membuat hubungan baru mereka akan melupakan orang yang mereka cintai atau
terlihat tidak setia, membuat tugas ini jadi sulit untuk diselesaikan.
 Model Proses Rangkap Dua

Tentang cara beradaptasi dengan kehilangan menggambarkan pengalaman hidup


sehari-hari yang berkaitan dengan berduka sebagai pengambilan atau penerusan
antara proses berorientasi-pemulihan dan proses berorientasi kehilangan (Hooyman
dan Kramer, 2006;Strobe dan Schut, 1999). Aktivitas yang berorientasi pada
pemulihan antara lain : menyelesaikan perubahan-perubahan hidup, menemukan
peran atau hubungan baru, dan berpartisipasi dengan gangguan.
D. Pengkajian

Selama pengkajian perawat tidak boleh berasumsi tentang bagaimana atau


bila klien atau keluarganya mengalami dukacita. Perawat harus menghindari
membuat asumsi bahwa perilaku tertentu menandakan dukacita, sebaliknya perawat
harus memberi kesempatan kepada klien untuk menceritakan apa yang sedang
terjadi dengan cara mereka sendiri.

Pengkajian tentang pasien dan keluarganya dimulai dengan menggali makna


kehilangan bagi mereka. Perawat mewawancarai klien dan keluarganya, dengan
menggunakan komunikasi yang tulus dan terbuka; dengan menekankan
keterampilan mendengar; dan mengamati respons dan perilaku. Kesan dari perawat
divalidasi dengan klien sehingga diagnose keperawatan dan intervensi yang efektif
dapat dikembangkan.

Merawat mengkaji bagaimana klien bereaksi dan bukan bagaimana klien


seharusnya bereaksi. Urutan perilaku atau fase dukacita dapat terjadi secara
berurutan, mungkin juga tidak urut, atau bahkan terjadi berulang. Banyak variable
mempengaruhi dukacita. Pertibangan terhadap variable ini memberi perawat data
dasar yang luas sehingga dari data tersebut dapat dibuat perawatan yang sifatnya
individual bagi klien.

Beberapa faktor mempengaruhi cara setiap individu merespons kehilangan.


Karakteristik personal termasuk usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan
pendidikan mempengaruhi respons terhadap kehilangan. Sifat hubungan dengan
objek yang hilang, karakteristik kehilangan, keyakinan kultural, dan spiritual, sistem
pendukung, dan potensi pencapaian tujuan mempengaruhi respons terhadap
kehilangan.

KARAKTERISTIK PERSONAL

Usia. Usia memainkan peran dalam pengenalan dan reaksi terhadap kehilangan.
Respons anak beragam sesuai dengan usia, pengalaman kehilangan sebelumnya,
hubungan dengan yang meninggal, kepribadian, persepsi tentang kehilangan, makna
tertentu dari kehilangan yang mereka miliki, dan yang terpenting, respons keluarga
mereka terhadap kehilangan.
Anak-anak pada setiap kelompok usia dapat merasa bertanggung jawab terhadap
kematian. Kapasitas mereka tentang “berpikir magis”, atau perilaku yang ditujukan
kepada orang yang mereka cintai mungkin menyebabkan kematian. Anak-anak
mungkin merasa bersalah karena tetap hidup,tetap sehat, atau mempunyai
permintaan untuk kematian orang yang mereka cintai (Wheeler 7 Pike, 1993).

Dewasa muda menghubungkan kehilangan dengan signifikansinya terhadap status,


peran, dan gaya hidup. Kehilangan pekerjaan atau kesejahteraan ekonomi,
perceraian, atau kerusakan fisik menyebabkan dukacita lebih mendalam dan
mengancam keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar
merupakan produk dari keyakinan keagamaan dan kultural. Kematian seorang
dewasa muda terutama sekali dipandang sebagai hal yang tragis oleh masyarakat
karena kematian tersebut adalah kehilangan kehidupan seseorang yang disadari
sebagai suatu potensi.

Individu usia baya mulai menyadari bahwa kemudaan dan kebugaran fisik tidak
dapat dijadikan jaminan. Orang dewasa mulai menelaah kembali tentang hidup yang
mempertimbangkan pilihan yang tersedia untuk mencapai kesempuranaan. Individu
mulai sensitive terhadap perubahan fisik karena penuaan. Setiap jenis kehilangan
dalam fungsi fisik dapat menyebabkan dukacita. Kehilangan seseorang yang
mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup.
Orang dewasa yang berorientasi terhadap karier biasanya telah mencapai puncak
profesional. Setiap kehilangan pekerjaan atau kemampuan untuk melakukan
pekerjaan menyebabkan dukacita yang sangat besar. Orang dewasa tengah
mengetahui bahwa waktu adalah hal yang utama dan hidup adalah terbatas.

Lansia sering mengalami banyak kepuasan hidup jika dibandingkan dengan yang
berusia muda. Seorang lansia mengalami menumpukan kedukaan akibat dari banyak
perubahan. Lansia sering takut akan kejadian sekitar kematian melebihi kematian itu
sendiri. Mereka mungkin merasa kesepian, isolasi, kehilangan peran sosial, penyakit
yang berkepanjangan, dan kehilangan determinasi diri dan jati diri sebagai sesuatu
yang lebih buruk dari kematian (Rando, 1986, Kastenbaum, 1991).

Peran Jenis Kelamin. Reaksi kehilangan dipengaruhi oleh harapan sosial tentang
peran pria dan wanita. Dalam banyak budaya di Amerika Serikat dan Kanada,
umumnhya lebih sulit bagi pria dibandingkan dengan wanita untuk
mengekspresikan dukacita secara terbuka. Perawat harus waspada terhadap hal ini
dan memvalidasi perasaan klien, reaksinya, dan makna personal yang melekat
dengan kehilangan tersebut. Pria dan wanita melekatkan makna berbeda terhadap
bagian tubuh, fungsi, hubungan interpersonal, dan benda.

Pendidikan dan status sosioekonomi. Kehilangan adalah universal, dialami oleh


setiap orang, apapun status sosioekonomi mereka. Pengkajian status sosioekonomi
klien penting karena hal tersebut mempengaruhi kemampuan klien untuk
menggunakan pilihan dan dukungan ketika mereka menghadapi kehilangan.
Umumnya, kekurangan sumber finansial, pendidikan, atau keterampilan pekerjaan
memperbesar tuntutan pada pihak yang mengalami dukacita.

SIFAT HUBUNGAN

Karakteristik hubungan dan fungsi kehilangan yang dilakukan oleh almarhum atau
almarhumah dalam kehidupan individu yang ditinggalkan adalah variabel penting
untuk dikaji dalam pengalaman berduka. Pepatah mengatakan bahwa kehilangan
orangtua Anda berarti kehilangan masa lalu Anda, kehilangan pasangan Anda
berarti kehilangan masa kini Anda, dan kehilangan anak Anda berarti kehilangan
masa depan Anda. Literature mendukung keyakinan bahwa kehilangan akan
menciptakan respons dukacita yang paling dalam (Saunders, 1992).

Reaksi terhadap kehilangan orangtua bergantung pada kualitas hubungan. Kematian


orantua yang sudah begitu menyayangi, atau ketika yang dapat bertahan hidup
adalah hanya seorang anak, maka besar kemungkinan menyebabkan duka yang
lebih dalam bagi anak tersebut.

Makna hubungan pada pengalaman duka akan mempengaruhi respons dukacita,


apakah kehilangan tersebut akibat kematian, perpisahan, atau bercerai. Mereka yang
bergantung pada orang yang meninggal sering mempunyai lebih banyak masalah
disbanding orang lain, ketika mereka mencoba untuk berpisah dengan hubungan
yang hilang dan menetapkan hubungan baru. Hubungan yang ditandai dengan
ambivalen yang ekstrem lebih sulit untuk diselesaikan dibandingkan hubungan yang
normal.

Keluarga harus mengintegrasikan pengalaman penyakit dari anggota keluarga ke


dalam kehidupan mereka yang sedang berjalan. Sepanjang masa sakit, keluarga
harus terus berfungsi dan berkembang, untuk mengatasi semua masalah dan
kebutuhan yang terdapat sebelum diagnosis. Keluarga, seperti halnya klien, harus
menghadapi serangkaian tugas sepanjang semua fase penyakit yang mengancam
hidup, dan mereka akan mempunyai berbagai tingkat keberhasilan dalam mengatasi
berbagai masalah yang mereka hadapi (Doka, 1993).

SISTEM PENDUKUNG SOSIAL

Dukungan sosial dapat mempengaruhi respons klien terhadap dukacita. Vasibilitas


kehilangan, seperti kehilangan rumah akibat bencana alam, sering memunculkan
dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan. Vasibilitas kehilangan, seperti
deformitas wajah, dapat menyebabkan kehilangan dukungan dari teman atau
keluarga, sehingga menambah keparahan proses kehilangan tersebut. Seorang yang
mengalami kehilangan yang kurang dapat dilihat atau tidak nampak, seperti
keguguran, atau kehilangan yang secara sosial sering dianggap tidak dapat diterima,
seperti seorang anggota keluarga yang dipenjara atau kematian pasangan gay-nya,
sering mengalami kurang dukungan dari keluarga atau teman. Jika klien tidak
menerima keharuan dan dukungan yang tidak menghakimi, maka mereka
kehilangan bantuan penting yang memungkinkan mereka untuk mengatasi dukacita.
Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalam keberhasilan resolusi
berduka (Rando, 1991).

Ketepatan waktu pemberian dukungan sangat penting. Dukungan harus tersedia


ketika klien yang berduka melalui proses berkabung. Berbagai pengalaman dengan
individu yang pernah berkabung dan pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang
dibutuhkan. Namun, bahkan ketika hal ini diberikan, umumnya klien yang berduka
belum dapat memanfaatkan kesempatan tersebut.

SIFAT KEHILANGAN

Kemampuan untuk menyelesaikan berduka bergantung pada makna kehilangan dan


situasi disekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan mempengaruhi apakah
yang berduka mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruhi
dukungan yang diterima. Durasi perubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat
sementara atau permanen) memengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam
menetapkan kembali ekuilibrium fisik, psikologis, dan sosial.
Rando (1984) menciptakan istilah death surround (seputar kematian) untuk
menggambarkan faktor yang memengaruhi kemampuan orang yang tinggal untuk
melalui proses berduka. Faktor ini mencakup lokasi, tipe, dan alasan kematian serta
tingkat perpisahan dari kematian tersebut. Idealnya yang ditinggal merasa bahwa
situasinya sesuai; misalnya yang meninggal telah mejalani hidupnya dan meninggal
dalam kehadiran keluarga, dan yang berkabung mempunyai peluang dan waktu
untuk menyiapkan kehilangan dan menyelesaikan urusan yang belum terselesaikan.
Namun demikian, kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah
pada pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh
diri, pembunuhan, atau pelalaian-diri akan lebih sulit untuk diterima. Penyakit yang
sangat menyulitkan, berkepanjangan, dapat menyebabkan yang ditinggal mengalami
keletihan secara emosional (Rando, 1984). Penelitian lain menyebutkan bahwa yang
ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang
mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah
dan bermusuhan.

KEYAKINAN SPIRITUAL DAN BUDAYA

Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek kultural yang mempengaruhi
reaksi terhadap kehilangan, dukacita, dan kematian. Latar belakang budaya dan
dinamika keluarga yang mempengaruhi pengekspresian berduka. Kultur
mempengaruhi setiap orang secara berbeda. Perawat menghindari penyamarataan
klien berdasarkan budaya dan menggunakan pengkajian diri sehingga reaksi yang
menghakimi atau memberikan penilaian dapat dihindari.

Keyakinan spiritual mencakup praktik, ibadah, dan ritual. Seorang individu


mungkin akan menemukan dukungan, ketenangan, dan makna dalam kehilangan
melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Sering kali orang yang mengalami dukacita
berbalik pada agama formal untuk mendapat kekuatan dan dukungan. Perawat harus
waspada terhadap makna praktik keagamaan, tidak hanya kepada klien tetapi juga
kepada keluarganya. Dengan menggunakan kata dan tindakan, perawat dapat
sensitive terhadap kebutuhan ini. Melalui respons keterbukaan, perawat dapat
menentukan mekanisme koping yang digunakan dan merencanakan intervensi yang
sesuai.
Bagi sebagian klien kehilangan menimbulkan pertanyaan tentang makna hidup, nilai
pribadi, dan keyakinan. Secara khas hal ini ditunjukkan dengan respons “mengapa
saya?” Konflik internal mengenai keyakinan keagamaan dapat juga terjadi. Perawat
yang ingin melakukan apa yang mereka dapat lakukan untuk memenuhi kebutuhan
spiritual klien menjelang kematian akan bergantung pada keharuan dan kasih saying
dibarengi dengan perasaan apa yang diperlukan untuk mempertahankan integritas
spiritual (Stepnick dan Perry, 1992).

KEHILANGAN TUJUAN HIDUP PRIBADI

Setiap perubahan dalam kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan pribadi dapat
merupakan kehilangan yang signifikan. Penting artinya untuk memahami tujuan
klien dalam kaitannya dengan kehilangan yang sudah dialami. Karakteristik tujuan
yang penting termasuk jumlah tujuan, seberapa terpusatnya tujuan tersebut terhadap
rencana hidup klien, jumlah cara untuk mencapai tujuan, kesesuaian tujuan, dan
perubahan dalam karakteristik tujuan (sementara atau menetap). Makin banyak
tujuan yang dimiliki seseorang, makin besar kemungkinan orang tersebut untuk
mengadaptasi kehilangan. Makin berpusatnya tujuan, maka makin besar dukacita;
misalnya amputasi tungkai bagi seorang wanita yang telah bekerja sepanjang
hidupnya sebagai penari ballet tampak lebih parah dibandingkan kematian. Jika
klien mempunyai banyak cara atau pilihan untuk mencapai tujuan, maka klien
mempunyai lebih dari satu strategi koping. Jika suatu strategi tidak tersedia, maka
klien dapat menggunakan strategi lain. Tujuan berubah sesuai dengan kehilangan
dan perubahan; agar klien membuat perubahan ini, mereka harus mempunyai
harapan.

HARAPAN

Harapan adalah kekuatan hidup multidimensi yang terus berubah. Harapan ditandai
oleh rasa percaya, perkiraan pencapaian tujuan yang belum pasti (Dufault &
Martocchio, 1985). Harapan bukan tindakan tunggal melainkan serangkaian
kompleks dari pikiran, perasaan, dan tindakan yang sering berubah. Harapan tentang
dukacita terletak pada kemampuan kita untuk bertumbuh. Harapan biasanya timbul
sepanjang pengalaman penyakit yang mengancam hidup. Harapan dapat
meningkatkan keterampilan koping dan mempengaruhi pertahanan (Doka, 1993).
Perawat mendengarkan dengan cermat tentang apa yang dikatakan klien mengenai
harapan mereka tentang kehidupan saat ini dan yang akan dating sebagai cara
mengkaji besarnya harapan mereka.

Sepanjang perjalanan penyakit, focus dari harapan mungkin berubah. Sebelum


diagnosis ditegakkan, harapan biasanya berpusat pada gejala baik yang dapat
menghilang atau tidak mempunyai efek serius. Selama fase akut penyakit, harapan
dapat berpusat pada hasil yang paling optimis: yaitu penyakit tidak akan
mengancam hidup. Harapan tentang penyembuhan atau remisi dapat berlanjut
sepanjang fase kronis. Pada akhir periode fase tersebut, harapan mungkin berpusat
pada melambatnya kecepatan penyimpangan atau berkurangnya nyeri. Pada fase
terminal, harapan berpusat pada dapat bertahan di luar batas kejadian atau peristiwa
penting atau pada kehidupan setelah kematian dan janji tentang suatu “tempat yang
lebih baik.”

FASE DUKACITA

Mengamati klien yang berduka memungkinkan perawat mengembangkan


sensitivitas tentang bagaimana kehilangan mempengaruhi seseorang. Orang tidak
mengalami dukacita dengan cara yang tepat sama. Namun demikian, terdapat pola;
misalnya orang dalam keadaan syok atau tidak percaya bertindak secara berbeda
dari mereka yang mencapai reorganisasi. Klien mungkin menunjukkan kemajuan-
kemunduran dalam melewati fase berduka sampai akhirnya terjadi penyesuaian
hidup tanpa kehilangan tujuan.

Kemampuan untuk mengenal perilaku yang menandai berduka membantu perawat


membuat diagnose keperawatan dan mengidentifikasi cara berkomunikasi dan
mendukung klien dan keluarganya.

DUKACITA KLIEN MENJELANG AJAL DAN KELUARGANYA

Makna kematian sangat beragam bagi individu. Perawat terutama sekali merawat
klien menjelang ajal di rumah sakit atau di unit rawat jalan. Namun demikian,
sejalan dengan perkembangan organisasi hospice, perawat makin banyak bekerja
dengan klien sakit terminal di rumah klien. Perawat mengamati perilaku klien yang
ditujukan kepada staf dan keluarganya.
Intensitas koping dan kecepatan di mana klien melewati dukacita dipengaruhi oleh
waktu antara pertama kali mereka menyadari bahwa mereka akan mati dan pada
saat kematian. Di unit perawatan intensif klien biasanya pulih atau mati dengan
cepat. Kematian bersifat mendadak dan tidak dapat diperkirakan, dan klien serta
keluarganya mempunyai sedikit waktu untuk mengekspresikan dukacita.
Sebaliknya, proses menjelang kematian biasanya lebih bertahap di unit yang
merawat klien sakit terminal. Klien mempunyai lebih banyak waktu untuk berupaya
melewati masalah dukacita yang adaptif.

Klien menjelang ajal dan orang terdekat mereka mengalami banyak emosi. Setiap
emosi mempunyai tujuan. Perawat tidak perlu mengidentifikasi fase dukacita klien
dengan dasar perilaku atau emosi tunggal. Namun demikian, respons klien
menunjukkan teknik yang dapat digunakan perawat untuk menghubungkan dengan
klien. Misalnya, ketika klien dan keluarga mulai menghadapi kematian, perawat
dapat memberikan dorongan kepada klien untuk mendiskusikan perasaan mengenai
meninggalkan keluarganya. Hal ini tidak akan berhasil jika klien mengekspresikan
perasaan marah dan putus asa.

Perawat mengamati perilaku dan gejala fisik yang dapat menunjukkan dukacita.
Gangguan saluran cerna seperti salah cerna, mual dan muntah, anoreksia, atau
perubahan berat badan saat ini dapat menunjukkan berduka. Seseorang yang
mengalami kehilangan karena kematian juga mengeluh kesulitan tidur. Keletihan
dan penurunan tingkat aktivitas mungkin juga terjadi. Gejala fisik tunggal, seperti
halnya perilaku, tidak mengarah pada diagnosa keperawatan yang berhubungan
dengan dukacita.

Kematian klien terjadi dalam konteks sosial. Bahkan selama fase menjelang ajal,
keluarga mulai mengatur diri mereka; klien tidak lagi dapat memenuhi jumlah dan
tipe peran yang sama. Perawat mengkaji proses berduka keluarga, mengenali bahwa
mereka mungkin menghadapi aspek berbeda dari dukacita dibanding dengan klien.

FAKTOR RISIKO PADA ORANG YANG DITINGGAL

Sejumlah faktor risiko mempengaruhi apakah seseorang dalam dukacita akan


menderita penyakit psikologis atau fisik selama dukacita. Identifikasi dini tentang
faktor risiko dan kesesuaian intervensi keperawatan dapat meningkatkan
kemampuan orang yang tinggal untuk berduka secara efektif. Rando (1991, 1993)
menyebutkan faktor risiko berikut bagi orang yang ditinggalkan. Faktor berisiko
tinggi mencakup faktor yang berkaitan dengan kematian spesifik, seperti kematian
mendadak, yang tidak diharapkan (terutama ketika kematian tersebut bersifat
traumatis, tindak kekerasan, mutilasi, atau tidak sengaja); kematian akibat penyakit
yang berkepanjangan, kehilangan anak, dan persepsi berduka tentang kematian
sebagai hal yang daoat dicegah. Kategori kedua termasuk variabel sebelumnya dan
selanjutnya; hubungan dengan yang meninggal yang sangat jelas menunjukkan
kemarahan, ambivalen, atau ketergantungan; kehilangan tidak terselesaikan yang
menumpuk, stressor penduka, dan masalah kesehatan mental; dan penduka
merasakan kurangnya dukungan sosial.

DUKACITA PERAWAT

Perawat dapat juga berduka ketika bekerja bersama klien, terutama dengan klien
menjelang ajal; akibatnya, peran perawat dalam mendukung klien dan keluarga
yang berduka menjadi rumit. Perawat yang tidak menyadari masalah dukacita
mereka sendiri mempunyai lebih banyak kesulitan dalam menangani klien sebagai
individu yang unik. Misalnya, klien menjelang ajal mungkin mengingatkan perawat
kepada kakek-nenek yang dicintainya, dan perawat terlibat secara emosional.
Perawat yang bekerja dengan klien menjelang ajal ditantang untuk dapat menguasai
kematian, memahami proses berduka dan menghargai pengalaman klien menjelang
ajal, menggunakan keterampilan mendengarkan yang efektif, menghargai
keterbatasan pribadi, dan mengetahui kapan waktu untuk menjauhi dan menjaga diri
sendiri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai