PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan
asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga
yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami duka
cita dan kehilangan. Ketika merawat klien dan keluarganya, perawat juga
mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan perawat-klien-keluarga berakhir
karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan, atau kematian. Ketika seseorang
mengalami penyakit terminal, perawat dapat mengingat tetntang kematian mereka
sendiri, Perawat mungkin akan mendapati bahwa akan lebih mudah treda dari gejala
penyakit fisikdan kematian dibandingkan untuk terlibat dalam suatu hubungan
interpersonal yang bermakna untuk mendukung seseorang yang menderita atau
menjelang ajal. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi
seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan
dan kematian. (Potter & Perry, 2005)
Pengkajian diri, menggali sikap, perasaan, dan nilai pribadi penting dilakukan
sebelum perawat merespoins dengan pendekatan yang tulus, sensitif, terapeutik
terhadap orang lain. Mengembangkan kiat tentang menjadi bagian dari berduka dan
menjelang kematian memerlukan suatu kekuatan dari dalam yang timbul dari
pengetahaun dan keyakinan positif dalam diri seseorang. Perkembangan tentang
filosofi kehidupan membantu perawat berfungsi secara suportif selama waktu sulit.
(Potter & Perry, 2005)
Terdapat banyak variasi dalam dukacita dan berkabung. Perawat harus terbuka
untuk belajar dari klien mereka tentang pengalaman mereka dan cara mereka
memahami dunia ini. Perawat dapat membantu klien dengan baik denagn membawa
sikap “tidak mengetahui” terhadap setiap keunikan yang dihadapi dengan klien dan
keluarganya dan sama-sama menggali bagaimana dukacita dan maknanya
ditemukan (Hepburn, 1994). Perawat menggunakan pengetahuan tentang konsep
kehilangan dan dukacita untuk secara kreatif menerapkan intervensi untuk untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan memberi dukungan kepada klien
yang menjelang kematian. (Potter & Perry, 2005)
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
A. Pengertian
1. Kehilangan
Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat aktual
dapat dengan mudah diidentifikasi. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan
dapat disalahartikan, seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. Makin dalam
makna dari apa yang hilang, maka makin besar perasaan kehilangan tersebut. Klien
mungkin mengalami kehilangan maturasional (kehilangan yang diakibatkan oleh
transisi kehidupan normal untuk peratama kalinya), kehilangan situasional
(kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam merespons kejadian eksternal
spesifik seperti kematian mendadak dari orang yang dicintai), atau keduanya.
(Potter & Perry, 2005)
Tugas ini tidak terjadi dalam urutan yang khusus. Pada kenyataannya, orang
yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut seacara bersamaan, atau
hanya satu atau dua yang menjadi prioritas. Perawat dapat membantu klien dan
keluarganya dalam memahami dan berupaya melewati tugas ini ketika tugas
tersebut sesuai dengan situasi unik mereka.
Dukacita adalah respon normal terhadap kehilangan. Perilaku dan perasaan yang
berkaitan dengan proses berduka terjadi pada individu yang menderita kehilangan
seperti perubahan fisik atau kematian teman dekat. Proses ini juga terjadi ketika
individu menghadapi kematian mereka sendiri. Seseorang yang mengalami
kehilangan, keluarganya dan dukungan sosial lainnya juga mengalam dukacita.
Tidak terdapat cara yang tepat untuk berduka. Konsep dan teori berduka hanya
cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kebitihan emosional klien dan
keluarganya serta merencanakan intervensi untuk membantu mereka memahami
dukacita dan menghadapinya.
Teori ini menggambarkan lima tahap kematian. Individu yang berduka tidak akan
mengalami kodisi tersebut dala waktu yang panjang dan sering berpindah kembali
seterusnya dari satu tahap ke tahap lainnya.
KARAKTERISTIK PERSONAL
Usia. Usia memainkan peran dalam pengenalan dan reaksi terhadap kehilangan.
Respons anak beragam sesuai dengan usia, pengalaman kehilangan sebelumnya,
hubungan dengan yang meninggal, kepribadian, persepsi tentang kehilangan, makna
tertentu dari kehilangan yang mereka miliki, dan yang terpenting, respons keluarga
mereka terhadap kehilangan.
Anak-anak pada setiap kelompok usia dapat merasa bertanggung jawab terhadap
kematian. Kapasitas mereka tentang “berpikir magis”, atau perilaku yang ditujukan
kepada orang yang mereka cintai mungkin menyebabkan kematian. Anak-anak
mungkin merasa bersalah karena tetap hidup,tetap sehat, atau mempunyai
permintaan untuk kematian orang yang mereka cintai (Wheeler 7 Pike, 1993).
Individu usia baya mulai menyadari bahwa kemudaan dan kebugaran fisik tidak
dapat dijadikan jaminan. Orang dewasa mulai menelaah kembali tentang hidup yang
mempertimbangkan pilihan yang tersedia untuk mencapai kesempuranaan. Individu
mulai sensitive terhadap perubahan fisik karena penuaan. Setiap jenis kehilangan
dalam fungsi fisik dapat menyebabkan dukacita. Kehilangan seseorang yang
mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup.
Orang dewasa yang berorientasi terhadap karier biasanya telah mencapai puncak
profesional. Setiap kehilangan pekerjaan atau kemampuan untuk melakukan
pekerjaan menyebabkan dukacita yang sangat besar. Orang dewasa tengah
mengetahui bahwa waktu adalah hal yang utama dan hidup adalah terbatas.
Lansia sering mengalami banyak kepuasan hidup jika dibandingkan dengan yang
berusia muda. Seorang lansia mengalami menumpukan kedukaan akibat dari banyak
perubahan. Lansia sering takut akan kejadian sekitar kematian melebihi kematian itu
sendiri. Mereka mungkin merasa kesepian, isolasi, kehilangan peran sosial, penyakit
yang berkepanjangan, dan kehilangan determinasi diri dan jati diri sebagai sesuatu
yang lebih buruk dari kematian (Rando, 1986, Kastenbaum, 1991).
Peran Jenis Kelamin. Reaksi kehilangan dipengaruhi oleh harapan sosial tentang
peran pria dan wanita. Dalam banyak budaya di Amerika Serikat dan Kanada,
umumnhya lebih sulit bagi pria dibandingkan dengan wanita untuk
mengekspresikan dukacita secara terbuka. Perawat harus waspada terhadap hal ini
dan memvalidasi perasaan klien, reaksinya, dan makna personal yang melekat
dengan kehilangan tersebut. Pria dan wanita melekatkan makna berbeda terhadap
bagian tubuh, fungsi, hubungan interpersonal, dan benda.
SIFAT HUBUNGAN
Karakteristik hubungan dan fungsi kehilangan yang dilakukan oleh almarhum atau
almarhumah dalam kehidupan individu yang ditinggalkan adalah variabel penting
untuk dikaji dalam pengalaman berduka. Pepatah mengatakan bahwa kehilangan
orangtua Anda berarti kehilangan masa lalu Anda, kehilangan pasangan Anda
berarti kehilangan masa kini Anda, dan kehilangan anak Anda berarti kehilangan
masa depan Anda. Literature mendukung keyakinan bahwa kehilangan akan
menciptakan respons dukacita yang paling dalam (Saunders, 1992).
SIFAT KEHILANGAN
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek kultural yang mempengaruhi
reaksi terhadap kehilangan, dukacita, dan kematian. Latar belakang budaya dan
dinamika keluarga yang mempengaruhi pengekspresian berduka. Kultur
mempengaruhi setiap orang secara berbeda. Perawat menghindari penyamarataan
klien berdasarkan budaya dan menggunakan pengkajian diri sehingga reaksi yang
menghakimi atau memberikan penilaian dapat dihindari.
Setiap perubahan dalam kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan pribadi dapat
merupakan kehilangan yang signifikan. Penting artinya untuk memahami tujuan
klien dalam kaitannya dengan kehilangan yang sudah dialami. Karakteristik tujuan
yang penting termasuk jumlah tujuan, seberapa terpusatnya tujuan tersebut terhadap
rencana hidup klien, jumlah cara untuk mencapai tujuan, kesesuaian tujuan, dan
perubahan dalam karakteristik tujuan (sementara atau menetap). Makin banyak
tujuan yang dimiliki seseorang, makin besar kemungkinan orang tersebut untuk
mengadaptasi kehilangan. Makin berpusatnya tujuan, maka makin besar dukacita;
misalnya amputasi tungkai bagi seorang wanita yang telah bekerja sepanjang
hidupnya sebagai penari ballet tampak lebih parah dibandingkan kematian. Jika
klien mempunyai banyak cara atau pilihan untuk mencapai tujuan, maka klien
mempunyai lebih dari satu strategi koping. Jika suatu strategi tidak tersedia, maka
klien dapat menggunakan strategi lain. Tujuan berubah sesuai dengan kehilangan
dan perubahan; agar klien membuat perubahan ini, mereka harus mempunyai
harapan.
HARAPAN
Harapan adalah kekuatan hidup multidimensi yang terus berubah. Harapan ditandai
oleh rasa percaya, perkiraan pencapaian tujuan yang belum pasti (Dufault &
Martocchio, 1985). Harapan bukan tindakan tunggal melainkan serangkaian
kompleks dari pikiran, perasaan, dan tindakan yang sering berubah. Harapan tentang
dukacita terletak pada kemampuan kita untuk bertumbuh. Harapan biasanya timbul
sepanjang pengalaman penyakit yang mengancam hidup. Harapan dapat
meningkatkan keterampilan koping dan mempengaruhi pertahanan (Doka, 1993).
Perawat mendengarkan dengan cermat tentang apa yang dikatakan klien mengenai
harapan mereka tentang kehidupan saat ini dan yang akan dating sebagai cara
mengkaji besarnya harapan mereka.
FASE DUKACITA
Makna kematian sangat beragam bagi individu. Perawat terutama sekali merawat
klien menjelang ajal di rumah sakit atau di unit rawat jalan. Namun demikian,
sejalan dengan perkembangan organisasi hospice, perawat makin banyak bekerja
dengan klien sakit terminal di rumah klien. Perawat mengamati perilaku klien yang
ditujukan kepada staf dan keluarganya.
Intensitas koping dan kecepatan di mana klien melewati dukacita dipengaruhi oleh
waktu antara pertama kali mereka menyadari bahwa mereka akan mati dan pada
saat kematian. Di unit perawatan intensif klien biasanya pulih atau mati dengan
cepat. Kematian bersifat mendadak dan tidak dapat diperkirakan, dan klien serta
keluarganya mempunyai sedikit waktu untuk mengekspresikan dukacita.
Sebaliknya, proses menjelang kematian biasanya lebih bertahap di unit yang
merawat klien sakit terminal. Klien mempunyai lebih banyak waktu untuk berupaya
melewati masalah dukacita yang adaptif.
Klien menjelang ajal dan orang terdekat mereka mengalami banyak emosi. Setiap
emosi mempunyai tujuan. Perawat tidak perlu mengidentifikasi fase dukacita klien
dengan dasar perilaku atau emosi tunggal. Namun demikian, respons klien
menunjukkan teknik yang dapat digunakan perawat untuk menghubungkan dengan
klien. Misalnya, ketika klien dan keluarga mulai menghadapi kematian, perawat
dapat memberikan dorongan kepada klien untuk mendiskusikan perasaan mengenai
meninggalkan keluarganya. Hal ini tidak akan berhasil jika klien mengekspresikan
perasaan marah dan putus asa.
Perawat mengamati perilaku dan gejala fisik yang dapat menunjukkan dukacita.
Gangguan saluran cerna seperti salah cerna, mual dan muntah, anoreksia, atau
perubahan berat badan saat ini dapat menunjukkan berduka. Seseorang yang
mengalami kehilangan karena kematian juga mengeluh kesulitan tidur. Keletihan
dan penurunan tingkat aktivitas mungkin juga terjadi. Gejala fisik tunggal, seperti
halnya perilaku, tidak mengarah pada diagnosa keperawatan yang berhubungan
dengan dukacita.
Kematian klien terjadi dalam konteks sosial. Bahkan selama fase menjelang ajal,
keluarga mulai mengatur diri mereka; klien tidak lagi dapat memenuhi jumlah dan
tipe peran yang sama. Perawat mengkaji proses berduka keluarga, mengenali bahwa
mereka mungkin menghadapi aspek berbeda dari dukacita dibanding dengan klien.
DUKACITA PERAWAT
Perawat dapat juga berduka ketika bekerja bersama klien, terutama dengan klien
menjelang ajal; akibatnya, peran perawat dalam mendukung klien dan keluarga
yang berduka menjadi rumit. Perawat yang tidak menyadari masalah dukacita
mereka sendiri mempunyai lebih banyak kesulitan dalam menangani klien sebagai
individu yang unik. Misalnya, klien menjelang ajal mungkin mengingatkan perawat
kepada kakek-nenek yang dicintainya, dan perawat terlibat secara emosional.
Perawat yang bekerja dengan klien menjelang ajal ditantang untuk dapat menguasai
kematian, memahami proses berduka dan menghargai pengalaman klien menjelang
ajal, menggunakan keterampilan mendengarkan yang efektif, menghargai
keterbatasan pribadi, dan mengetahui kapan waktu untuk menjauhi dan menjaga diri
sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan