Anda di halaman 1dari 4

Budaya Hawear

Sasi (Hawear) di Kepulauan Kei

Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat
Kepulauan Kei secara turun menurun. Cerita rakyatlagu rakyat, dan berbagai
dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya
termasuk Hawear. Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan daun
kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya. Kemudian janur kuning itu disisipkan
atau diikat di kain seloi yang dipakainya. Gadis tersebut melakukan perjalanan
panjang untuk menemui seorang raja (Raja Ahar Danar). Maksud dari janur kuning
tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia
tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan. Janur kuning tersebut diberikan
oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak dikenal
dalam perjalanannya. Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai
dengan maknanya hingga saat ini.
Batu Pamali

Contoh: Batu Pamali Negeri Saparua

Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku. Selain Baileo, rumah
tua, dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang
ditempati masyarakat adat Maluku.Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar
berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo,
sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam
kehidupan masyarakat. Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri
adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa. Di beberapa
negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang
masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. Seiring dengan perkembangan agama
di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali. Dengan
adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman
sistem pemerintahan desa.
Budaya Arumbae

Lomba Arumbae Manggurebe

Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di


pesisir maupun di pegunungan. Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam
masyarakat Maluku. Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari
terbentuknya suatu masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar dalam
mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah
melewati perjuangan yang sulit di lautan. Perjuangan melintasi lautan
merupakan sejarah keluhuran. Kedatangan para leluhur dari pulau Seram, pulau
Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita
keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku
Tenggara. Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela
Gandong antar negeri. Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol
daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi
tantangan lautan. Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah
masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan
untuk menyongsong masa depan yang gemilang.

Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara pandang
bahwa laut adalah medan kehidupan yang harus dihadapi. Itulah sebabnya,
masyarakat Maluku melihat laut sebagai jembatan persaudaraan yang
menghubungkan satu pulau dengan pulau Berlayar ke suatu pulau, seperti
dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan jalinan hidup orang
bersaudara sebagai pandangan dunia orang Maluku. Kebiasaan papalele, babalu,
maano, dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut dan arumbae
sebagai symbol perjuangan ekonomi.

Arumabae tampak dalam beragam karya seni. Misalnya dalam syair kata tujuh
ya nona, ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang parao Banyak gapura
negeri adat Maluku berbentuk Arumbae. Lagu daerah banyak mengumpamakan
keharmonisan dengan symbol perahu atau Arumbae. Di bidang olahraga,
Arumbae Manggurebe menjadi program pariwisata dan olah raga tahunan yang
diselenggarakan di Teluk Ambon.

Anda mungkin juga menyukai