Anda di halaman 1dari 20

Review Buku Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 By Anthony

Reid
Oleh Firmanda Dwi Septiawan, 121911433046, Ilmu Sejarah, Universitas
Airlangga

Bab I : Pendahuluan : Tanah di Bawah Angin


Asia Tenggara adalah kawasan yang yang terletak di sebelah tenggara
benua Asia. Kebanyakan terdiri atas kepulauan kecil dan pulau yang lebih besar.
Asia Tenggara ini berada di kawasan geologi aktif. Dilalui oleh jalur pegunungan
yang kini menjadi Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Sebagian
besar kawasan Asia Tenggara pun sebenarnya masih satu daratan yang disebut
sebagai Paparan Sunda.
Namun, setelah melewati zaman es hingga terjadinya kenaikan air laut.
Hal ini menyebabkan beberapa tempat yang lebih rendah digenangi air. Sehingga
terbentuk laut dan selat baru. Karena dulunya pernah terhubung sebagai satu
daratan. Maka, flora dan fauna yang ada juga memiliki kesamaan satu dengan
yang lain.
Kawasan Asia Tenggara dikaruniai siklus hujan tahunan yang hampir
separuh dari panjang tahun. Hal ini menyebabkan lingkungan yang lembab karena
curah hujan yang tinggi. Air dan hutan di alam liar Asia Tenggara adalah hal yang
wajar. Air lebih sedikit ditemukan saat kemarau sedangkan sangat berlimpah saat
penghujan. Hutan hujan di alam liar banyak ditemukan terlebih di daerah
pedalaman.
Musim yang ada di Asia Tenggara, kemarau dan penghujan disebabkan
oleh angin musim atau muson. Pada bulan Mei hingga Agustus, angin bertiup dari
arah barat atau selatan. Sedangkan pada bulan Desember hingga Maret, angin
bertiup dari arah barat laut atau timur laut.
Angin musim tersebut sangat mudah ditebak. Para pelaut yang hendak
datang ke Asia Tenggara paling tidak telah mengetahui hal ini. Sehingga
pelayaran menuju Asia Tenggara jauh lebih mudah daripada di daerah Barat juga
di samudra yang lebih luas karena arus dan cuaca yang tidak menentu serta ombak
yang ganas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keragaman bahasa, budaya dan agama di
Asia Tenggara begitu hebat. Bahasa yang hadir di Asia Tenggara kebanyakan
merupakan keturunan dari bahasa yang sama, yaitu Rumpun Bahasa Austronesia.
Meskipun, terdapat beberapa wilayah yang masih diragukan kebenarannya seperti
Vietnam. Bahasa Austronesia yang berkembang luas ini merupakan versi tua
adalah Proto-Austronesia yang ada sekitar lima ribu tahun yang lalu.
Budaya yang ada pun sangat beragam. Meskipun, kebudayaan di Asia
Tenggara juga banyak di pengaruhi oleh India dan Tiongkok. Namun, tidak bisa
dielakkan fakta bahwa mayoritas suku bangsa di Asia Tenggara berbagi budaya
yang mirip bahkan sama. Hal ini kemudian menjadi dasar bahwa kebudayaan
Austronesia juga tetap ada dan lestari di kawasan ini.
Agama memang tidak memiliki keragaman dengan jumlah fantastis.
Agama yang berkembang dipengaruhi oleh perdagangan dan peperangan serta
kolonisasi oleh bangsa dari Eropa. Namun, agama-agama yang masuk kedalam
tiap-tiap wilayah di Asia Tenggara mengalami sinkretisasi. Sinkretisasi tersebut
berbeda-beda tergantung latar belakang budaya tiap tempat. Hal inilah yang
menyebabkan keragaman agama yang tumbuh di Asia tenggara dapat dikatakan
tinggi.
Asia Tenggara tentu saja bukan sebuah wilayah kosong. Pasti terdapat
penghuni lokal. Permasalahan yang muncul adalah jumlah pasti dari penduduk
lokal tersebut. Untuk mengetahui jumlah, pertumbuhan atau penyusutan penduduk
perlu diadakan kajian lebih lanjut. Banyak sekali penelitian yang meneliti tentang
hal tersebut.
Beberapa peneliti yang menghitung jumlah penduduk saat itu adalah
Raffles, La Loubre, Crawfurd, Ricklefs dan masih banyak lagi yang lain.
Bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk di wilayah-wilayah tertentu
sebagian besar dipengaruhi oleh kesejahteraan dan peperangan. Apabila memiliki
kehidupan yang sejahtera, maka akan cenderung bertambah. Sebaliknya saat masa
peperangan, maka akan banyak korban yang gugur. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya jumlah penduduk.
Kesejahteraan akan bisa dilihat dari seberapa banyak tanah yang
dikuasainya. Karena waktu itu belum ada hukum untuk mengatur pertanahan.
Kemudian para penduduk diperbolehkan secara bebas untuk mematok dan
merawat tanah mereka. Tentu saja perawatan yang dimaksud adalah menanam
tumbuh-tumbuhan untuk kebutuhan pangan.

Bab II : Kesejahteraan Fisik (jumlah penduduk, pola pertanian penggunaan


tanah, kuliner, hingga wabah dan penyakit epidemik yang melanda Asia
Tenggara)
Reid menerangkan kondisi kesejahteraan fisik masyarakat Asia Tenggara
dalam bab II. Reid menjabarkan jumlah penduduk di beberapa daerah di Jawa,
Siam, Birma, dan Vietnam yang menunjukkan rendahnya tingkat pertumbuhan
penduduk dan bertentangan dengan perkembangan pesat masyarakat di bagian
lain Asia Tenggara seperti Filipina. Penurunan tingkat pertumbuhan penduduk
secara marjinal disebabkan oleh kebiasaan seks dan pemeliharaan bayi -sebagai
implikasi dari peralihan agama yang berdampak pada bidang lainnya. Berkaitan
dengan pola pertanian, banyak wilayah di Asia Tenggara mulai menanam ubi,
talas, sagu, dan gandum jauh sebelum padi dikenal mudah tumbuh di wilayah
manapun. Tanaman sagu berkembang baik di wilayah Timor, Maluku Selatan,
Kepulauan Aru, Buton, dan Selayar.
Masyarakat Asia Tenggara memiliki beberapa cara untuk menanam padi
seperti pertanian berpindah pada lereng-lereng rendah, menyebar benih di lereng
yang tergenang, dan menanam kembali benih padi di sawah. Selanjutnya, Reid
menerangkan penggunaan tanah di Asia Tenggara yang kebanyakan belum
tergarap di perbukitan dan hutan-hutan. Tanah yang mereka diami dibagi-bagi
dengan warga desanya, dan tidak seorangpun boleh menggarap tanah tersebut
kecuali jika sudah dijual atau diwariskan. Sementara itu tanah di punggung bukit
tidak dibagi-bagi melainkan dimiliki bersama oleh desa. Sub-bab “Peralatan”
mengkaji mengenai peralatan pertanian sangat sederhana dan seragam, yakni
berbahan dasar besi. Untuk persawahan, peralatannya meliputi luku kayu berujung
logam dan garu dari kayu. Sistem pertanian berpindah seperti dijelaskan
sebelumnya, memerlukan parang untuk menebas hutan, pacul atau cangkul, sabit,
dan sebuah linggis. Kaum wanita memerlukan ani-ani untuk memotong padi.
Dalam hal makanan dan pasokan makanan, Reid menyatakan bahwa bahan
makanan utama yang diperdagangkan adalah ikan dan garam, selain bahan
makanan utama berupa beras. Mereka juga mengonsumsi rempah-rempah serta
mengonsumsi daging mentah seperti ayam, babi atau kerbau sebagai bagian dari
ritus mereka. Orang Asia Tenggara juga biasa mengonsumsi air dan anggur
sebagai minuman sehari-hari mereka. Air bersih sering mengalir dari gunung dan
dialirkan ke pemukiman-pemukiman. Masyarakat Asia Tenggara juga memiliki
kebiasaan mencampur air dengan limun, kayu manis, buah pala, dan bahan-bahan
penyedap lainnya. Minuman seperti anggur atau sejenis alkohol hanya dikonsumsi
saat penyelenggaraan pesta. Tradisi Asia Tenggara memiliki keunikan dengan
diadakannya pesta makan yang menu utamanya jauh lebih sederhana, tanpa
daging dan minuman keras. Untuk makan sehari-hari, mereka biasa makan di
lantai dengan menggunakan piring kayu atau daun pisang. Makanan untuk
beramah-tamah di dalam lingkungan masyarakat Asia Tenggara ialah sirih  dan
pinang yang ternyata berguna untuk menenangkan otak dan sistem syaraf sentral.
Selain itu, sirih dan pinang juga kerap digunakan sebagai pelengkap sesaji.
Sementara itu tembakau menjadi lebih populer pada abad berikutnya ketika
dijadikan salah satu bahan untuk membuat sirih-pinang.
Lebih jauh berbicara tentang masyarakat Asia Tenggara, orang Eropa yang
singgah di Asia Tenggara setidaknya hingga penghujung abad ke-18 dibuat takjub
dengan iklim Asia Tenggara yang lebih baik ketimbang di Eropa sehingga
membuat mereka merasa nyaman. Demikian pula dalam hal kesehatan, mereka
takjub dengan masyarakat Asia Tenggara yang tidak seorangpun  mengalami
bongkok, lumpuh, rapuh, ataupun tuli. Kesehatan orang Asia Tenggara relatif baik
dalam masa kurun niaga, dan hal ini sangat berbeda dengan masyarakat Eropa di
zaman Renaisans. Terkait dengan kesehatan, masyarakat Asia Tenggara yang
dilimpahi air lebih sering membersihkan tubuh mereka dengan cara mandi,
sebagai satu syarat kesehatan tubuh. Di kota-kota besarnya, orang Asia Tenggara
mengenal sistem pembuangan kotoran dengan pola rumah terbuka dan bertiang,
yang nantinya diberikan kepada babi, ayam, anjing, atau bahkan mengandalkan
banjir musiman.
Selanjutnya, masih mengenai kesehatan, masyarakat Asia Tenggara
tampak mulai mengenal gejala penyakit seperti demam dan masuk angin, serta
mengenal pula ritus dan obat-obatan penyejuk. Ilmu mengenai obat-obatan
tersebut berasal dari tradisi India dan diterjemahkan dan ditulis kembali di Jawa,
Bali, Birma, Siam, dan Kamboja. Sistem pengobatan yang dilakukan di masa itu
ialah ramuan tumbuhan, mandi, dan pemijatan. Penyakit jiwa juga telah muncul
dalam masa kurun niaga tersebut. Mereka kerap menghubungkan penyakit jiwa
(atau juga penyakit fisik) dengan ilmu sihir atau guna-guna. Wabah penyakit
endemik yang pernah muncul di Asia Tenggara di antaranya terjadi di Ayutthaya
di abad ke-14 sebelum rawa-rawa di sana ditutup, begitu pula dengan yang terjadi
di Nusantara yang dijangkiti gejala penyakit sifilis. Pada abad ke-16 dan ke-17,
wabah yang paling ditakuti adalah cacar dan radang paru-paru.
Bab III : Kebuayaan Material (perabotan, pakaian, kerajinan emas dan
perak, serta berbagai produk fisik berupa logam)
Orang-orang di Asia menganggap mandi sebagai pembersihan tubuh
sementara orang Eropa berkata bahwa mandi itu berbahaya. Orang-orang Eropa
sangat berlawanan dengan sikap dari penduduk di Asia karena kepercayaan orang
Asia terhadap mandi yang dapat memberikan kesehatan yang lebih baik daripada
orang yang tidak mandi. Dalam hal medis orang Asia Tenggara, percaya bahwa
empat unsur yaitu air, tanah, api, dan udara menentukan fungsi tubuh sedangkan
orang Cina percaya atas keseimbangan dalam Yin dan Yang. Tekanan yang
dialami pada orang Asia Tenggara dan Cina merujuk kepada obat-obatan
penyejuk karena kedua aliran tersebut percaya bahwa penyakit muncul karena
panas yang berlebihan atau kemasukan angin panas atau dingin.
Buku-buku obat-obatan yang asalnya dari India diterjemahkan lalu
naskah-naskahnya dibawa kedalam istana ketika rajanya sakit atau sebuah wabah
menyerang. Di Asia Tenggara, ramuan tumbuhan juga dipakai sebagai medis. Hal
ini membuat orang Eropa terkejut bahwa mereka menggunakan ramuan untuk
menyembuhkan penyakit. Keadaan gaya hidup menentukan kesehatan pada
manusia. Kebiasaan mandi yang dimiliki oleh para orang-orang di Asia Tenggara
juga memengaruhi terhadap adanya wabah. Di Eropa, wabah sering melanda
karena siklus wabahnya yang relative lunak, sedangkan di Asia Tenggara, wabah-
wabah yang berada di Eropa tidak sampai kesana karena adanya imunitas yang
sudah dibuat dari kebiasaan mereka. Penyakit di Asia Tenggara tidak terlalu
diketahui selain adanya penyakit cacar dimana penyakit ini sangat ditakuti oleh
orang di Asia Tenggara. Banyak mitos rakyat tentang cacar bermunculan seperti
cacar adalah serangan dari hasil perjanjian dari Tuhan dan roh cacar.
Rumah-rumah dari orang Asia Tenggara sangatlah sederhana. Bahan
bangunan yang terbuat dari pohon dan bamboo serta waktu dan kekayaan menjadi
faktor bahwa rumah bukanlah menjadi prioritas utama orang Asia Tenggara.
Hampir setiap orang adalah tukang kayu, yang membuat rakyat memiliki dasar
untuk membuat rumah. Rumah-rumah disana dibuat dari adanya pertimbangan
agama dan praktisitas. Ketinggian menjadi salah satu faktor pembeda meskipun
bahan untuk membuat rumahnya sama.
Rumah panggung dari raja dan kaum bangsawan dibuat lebih tinggi dari
pada rakyatnya. Jika rumah yang dibangun dengan bahan-bahan yang ringan,
gedung-gedung agama dibuat berbeda karena menggunakan batu dan bata seperti
candi-candi yang ada. Mesjid dibangun menggunakan kayu dan jerami tetapi di
beberapa masjid besar di Aceh, pondasinya dibuat dari batu dan semen. Bentuk
dari masjid-masjid ini sangat khas dari Aceh sampai Maluku. Sebelum tahun
1600, meskipun rumah-rumah rakyat menggunakan bahan-bahan yang gampang
rusak, tetapi saudagar di perkotaan membangun gudang mereka dengan batu bata
dengan alasan untuk menjaga barang dagang mereka agar terjauh dari bahaya
kebakaran. Kaum pedagang Eropa yang ingin memperbesar gudang-gudang kecil
ini menjadi benteng dari serangan bersenjata. Belanda pada tahun 1604
membangun sebuah gudang besar di Banten. Belanda sukses membuat benteng di
Jakarta setelah mendirikan tanpa izin di tahun 1618. Sultan Agung, seorang raja di
Jawa mengatakan bahwa benteng orang Belanda ini menyusahkan karena mereka
dapat membentengi diri mereka sendiri dan tidak menghormati raja maupun
tanahnya. Raja-raja di Asia pun belajar dari hal tersebut dan memberlakukan
aturan kepada rakyat sendiri dan juga orang asing.
Perabotan yang ada di dalam rumah berbeda seperti yang kita kenal
sekarang. Orang-orang lebih senang menggelar tikar di lantai, daun pisang sebagai
piring, sendok garpu tidak ada, dan lainnya. Pakaian menjadi perbedaan dalam
kekayaan dan status. Kebiasaan orang Asia Tenggara dalam hal kebersihan itu
menghitamkan gigi untuk memutihkannya. Pelubangan daun telinga juga menjadi
hiasan yang dilakukan orang-orang disana dan mereka percaya bahwa semakin
membesar kedua lubang telinga itu maka status sosialnya lebih tinggi.
Bab IV : Pengaturan Masyarakat (peperangan, mobilisasi buruh, hukum
perkawinan, hingga peran perempuan)
Pria dan wanita di Bima sebelum abad ke 18 menggunakan gulungan tipis
emas di telinganya sesuai dengan tradisi saat abad ke 14 dimana di Asia Tenggara
menggunakn hiasan di telinga. Penggunaan hiasan di telinga biasa digunakan
dalam pemberian status ketika memasuki usia remaja atau dewasa.
Merajah tubuh juga merupakan bentuk seni khas di Asia Tenggara yang
biasa kita jumpai dengan tato di tubuh, namun pengaruh konfungsianisme, Islam
dan Kisten menghaspus kebiasaan tersebut. Negara Vietnam sudah melarang hal
tersebut sejak abad ke-14 sedangkan pendeta Katolik di Filipina
menghapuskannya sejak abad ke-17. Di aceh juga seperti demikian, sejak
pengaruh Islam masuk maka dilarang penggunaan tato. Berbeda penggunaan
dengan tato di tubuh, orang Jawa lebih memilih menggunakan media batik
sebagai penggati tato. Fungsi utama tato di Asia Tenggara sebagai jimat atau
sebagai simbol keberanian. Pola-pola dalam tato dianggap memiliki kekuatan
magis dan juga penggunaan tato harus memiliki keberanian yang kuat dengan
dibuktikan. Namun beberapa negara banyak yang mengecam tato sebagai
kebiasaan biadab
Rambut bagi orang Vietnam disucikan seperti kepada dalam kepercayaan
orang di Asia Tenggara. Di Birma, orang-ornag berpendapat bahwa rambut
haruslah hitam legam dan terwat dengan baik sehingga banyak masyarakat disana
menggunakan larutan-larutan. Masyarakat lebih menyanjung rambut yang panjang
dan apabila terdapat pemotongan rambut makan dianggap pengorbanan diri
seperti kaum wanita Filipina kerika berkabung atas kematian. Namun berbeda
dengan Pakubuwono I atau Aru Palakka, mereka memotong rambut sebagai
sumpah berkorban setelah kemenangan. Pada abad ke-16 dan ke-17 terdapat
fenomena dimana rambut panjang beralih menjadi rambut pendek. Hal ini
dikarenakan pengaruh agama Islam dan Kristen
Pakaian yang digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara sebelum abad ke-
17 lebih menampilkan diri mereka dengan hiasan emas. Terlebih lagi seperti Raja,
Sultan lebih menggunakan pakaian mewah daari sutra, emas dan cincin permata.
Hal yang mengejutkan berasal dari bangsa luar seperti Eropa, Cina, atau Asia
Barat saat itu lebih cenderung “bertelanjang” berbeda dengan Asia Tenggara yang
lebih tertutup.Suatu pembaharuan terjadi sekiata abad ke-17 dengan pemakaian
pakaian buatan Eropa maupun Asia Barat sebagai ganti. Di Filipina terdapat
pandangan yang sama bahwa perubahan agama menghendaki pula perubahan
gaya pakaian.
Produksi Pakaian dan Perdagangan biasa berasal dari India, Eropa maupun
Cina. Pakaian India dan Cina dibeli oleh kalangan elite yang lebih kaya dan
berkuasa namun penduduknya menggunakan produksi setempat. Di Asia
Tenggara lebih terkenal dengan ekspor kapas yang mana telah ke Cina seperti
Vietnam, Birma maupun Indonesia. Hal yang paling berharga salah satunya yaitu
sutera. Produksi pakaian pun juga berkembang dengan mengandakanl tenaga
lokal. Pada abad ke-17 Sulawesi Selatan bangkit sebagai pengekspor pakaian
terkemuka di kepulauan.
Perhiasan pribadi merupakan barang yang mewah setelah pakaian. Emas
selalu dicari bahkan sebagai simbol kekayaan. Orang-orang Asia Tenggara tidak
menggunakan emas sebagai alat pembayaran, ketika orang Eropa dating untuk
membeli pakaian atau rempah-rempah untuk mengetahui nilai emas dengan
menggunakan timbangan kecil. Pada awal abad ke-17 tambang emas di
Minangkabau, Sumatra merupakan daerah paling kaya di kawasan Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini mendorong perekonomian di Aceh saat itu. Berbeda denga
Jawa yang tidak memiliki sumber-sumber emas tersendiri pada masa itu.
Kedudukan emas dan perak sebagai penentu status serta investasi, bahwa di mana
ada kekayaan, di situ ada tukang emas. Penenunan benang emas dan perak juga
berkembang sebaga kesenian. Kerajaan yang berada di dekat sumber emas
terkenal denga sarung, selendeng mupun kerudung cantik dihiasi emas. Hingga
orang-orang Eropa tertarik kepada perhiasan-perhiasan tersebut
Para pengrajin banyak yang berada di desa-desa namunlebih memilih
pergi ke kota-kota besar dikarenakan daya tariknya yang besar. Di kota konsumen
bisa langsung bertemu dengan produsen sehingga dapat membentuk hubungan
stabil. Kebanyakan produsen lebih menjalankan produksinya dengan bantuan
sanak keluarga. Para pengrajin selalu melakukan proses pengrajinan secara turun-
temurn bahkan sampai keruntuhan kerajaan atau berpindah ke tempat yang
nyaman bagi mereka. Para pandai/tukang tampaknya enggan berisiko
menggunakan logam mahal untuk suatu pekerjaan kalau uang mukanya belum
diberikan.
Keahlian, keindahan dari emas dan perak Asia Tenggara diakui di mana-
mana. Bahkan Crawford yang biasanya ancu mengakui. Kepandaian emas
menandai hampir separuh dari seluruh perbendaharaan perihal menyangkut
kerajinan logam dalam Kamus Tagalog dari tahun 1613. Meskipun kedua puluh
dua barang peralatan pandai emas di Aceh tampaknya sangat sederhana bagi
orang Eropa abad ke- 19, itu memungkinkan orang mengolah emas dalam banyak
cara.
 Spesialisasi Kerajinan
Ramainya perniagaan laut dan, sungai mendorong berlakunya keahlian
produksi bagi hampir semua jenis barang keramik serta logam. Desa yang
sepenuhnya hanya mengerjakan kesenian pot, pecah-belah dari tanah,
pengambilan kapur, atau peleburan logam bisa saja, ditempatkan dekat pada
sumber bahan mentahnya yang terpenting. Pusat-pusat pembuatan pakaian,
penyamakan kulit, atau pembuatan kapal biasanya terletak di daerah yang tidak
begitu cocok untuk menanam padi, seperti halnya daerah kering di Sulawesi
bagian tenggara atau Jawa sebelah timur. Akan tetapi, kota-kota besar pada kurun
niagalah yang rnenarik pemusatan kerajinan. Di sini berdiam para konsumen
terkaya dari kerajinan-kerajinan istimewa, termasuk istana raja-raja.
 Keramik
Keahlian membuat pot dari tanah liat, yang telah berlaku di sebagian besar
wilayah Asia Tenggara selama ribuan tahun, telah berkembang ke daerah-daerah
yang paling terpencil dalam kurun niaga, Setiap tahap proses pembuatan kerajinan
pot sepenuhnya merupakan bidang pekerjaan kaum wanita, setidak-tidaknya di
kepulauan.
 Besi
Rumah dan perahu Asia Tenggara praktis tidak menggunakan besi, suatu
pertanda akan kemahalannya. Pandai-besi dibutuhkan terutama untuk membuat
barang-barang kebutuhan pertanian atau perang-besi bajak, ani-ani, cangkul,
ujung pancing, parang, pedang, ujung tombak, dan keris yang termasyhur di dunia
Melayu. Scbagian besar pasar besar mempunyai bagian yang menjual barang-
barang seperti itu, barang terpenting menyangkut kebutuhan rumah tangga pada
umumnya. Birma, Siam, Kamboja, Vietnam bagian utara, dan bagian tengah
Sumatera, tampaknya cukup swasembada dalam hal besi, meskipun barang impor
dari Cina dan Eropa bagian utara seringkali cukup dihargai.
 Tembaga, Timah, dan Timah Putih
Sejak tahun 1960 para ahli ilmu purbakala yang bekerja di Muangtbai
Timur Laut dan Vietnam, telah memundurkan lebih jauh lagi asal-usul pengerjaan
logam di Asia Tenggara hingga 2000 tahun SM at.au lebih awal lagi, titik masa
yang mendahului metalurgi yang selama ini diterima di Asia Selatan. Kekayaan
timah yang sangat besar di dunia terletak pada jalur utara selatan, mulai dari
perbukitan Birma bagian timur ke Semenanjung Malaya hingga ke Pulau Bangka
dan Beliton. Sumber-sumber timah putih Asia Tenggara yang berarti tampaknya
hanya di Vietnam bagian utara clan Siam. Tunah putih Siam diekspor ke Melaka,
Birma, Cochin China, clan melalui Tenasserim ke Aceh serta mungkin juga
Banten. Sumber-sumber tembaga paling kaya di Asia Tenggara mungkin terdapat
di perbukitan utara Vietnam Utara, dari mana banyak kerajinan perunggu "Dong-
son" di masa praKristen berasal. Angka·angka produksinya 280 dan 220 ton
tembaga setiap tahun dari dua tambang saja di daerah Tulong, dilaporkan untuk
abad ke-18, clan hasilnya pasti sudah sangat banyak di abad-abad sebelumnya.
PENGATURAN MASYARAKAT
Di seluruh Asia Tenggara terdapat paduan hierarki yang sangat berjenjang
dengan kelonggaran struktur politik yang akan mengejutkan para pengunjung dari
Eropa, para pembangun imperium, dan para ahli etnografi selama berabad-abad.
Raja-raja yang memiliki kekuasaan besar tumbuh juga dalam kerangka ini, tapi
mereka melaksanakan kehendaknya pada daerah yang luas hanya berkat kekuatan
pribadinya yang luar biasa serta kekayaan pelabuhan-pelabuhan yang sedang
berjaya. Pola yang mendasarinya tampaknya berupa munculnya salah satu dari
kelompok keturunan yang tidak hentinya memperebutkan kekuasaan. Di bagian
dunia ini yang tanahnya melimpah, perumahan tidak permanen, dan harta
miliknya tidak aman, pada jumlah pengikut kekuasaan serta kekayaan
ditunjukkan. Dalam kelompok ini, keturunan dihitung secara bilateral menurut
status bapak atau ibu, yang mengakibatkan tidak adanya kepastian suksesi.
Cara menghitung lainnya ialah bahwa siapa yang mempunyai banyak
pengikut dengan sendirinya sudah ditakdirkan untuk memerintah. Yang
menentukan ialah ikatan vertikal antara dua orang. Sang tuan menyediakan
perlindungan. Kewajiban para sahaya berbeda-beda menurut kedudukannya, tapi
biasanya mencakup bantuan dalam pesta atau dalam pameran kekuatan,
melakukan perjalanan jauh atau gerakan militer, dan bekerja membuat kapal laut,
rumah, serta bangunan-bangunan lainnya. Ada sahaya lelaki dan perempuan yang
didapatkan sebagai warisan, ada yang sebagai pelengkap jabatan, ada yang
sebagai hadiah perkawinan, yang lainnya dari tawanan perang atau orang yang
mencari perlindungan dari musuh.
Tujuan perang ialah untuk meningkatkan jumlah tenaga manusia, bukan
untuk membuang-buangnya dalam suatu pertumpahan darah mati-matian. dengan
tujuan utama ditujukan untuk memobilisasi kekuatan yang besar clan menakutkan,
membuat musuh kehilangan keseimbangan. semua negeri di Bawah Angin, kaum
tani dan prajuritnya menderita jika negeri itu ikut hancur. Pasukan dibangun
dengan memerintahkan kaum bangsawan dan orang-orang terkemuka di negeri.
Pasukan adalah kunci bagi kedudukannya, sehingga komandan sangat takut
kehilangan mereka.
Penguasa Belanda mempermasalahkan penguasa Johor yang menjadi
sekutu orang melayu karena ragu saat di medan pertempuran nanti. Kemudian
sultan tersebut menjawab “tidaklah seperti Laksamana yang seharusnya memberi
segala keperluan untuk melakukan apa yang dikehendakinya di sini setiap orang
kaya atau bangsawan justru harus membawa sejumlah orang, dan masing-masing
takut kehilangan sahayanya karena itulah satu-satunya kekayaan mereka”.
Scout juga mengemukakan tentang Banten. Bahwa Orang Eropa, Persia,
clan Turki yang sudah terbiasa dengan korban jiwa yang jauh Jebih besar dalam
peperangan di Barat, selama merasa terheran-heran serta enggan untuk
meneruskan pertumpahan darah setelah beberapa orang pertama gugur. Ia
menganggap bahwa orang Siam, Birma, clan Laos melakukan peperangan "seperti
malaikat." yang berperang untuk menggentarkan musuhnya, bukan untuk
membunuhnya, clan berusaha menangkapi seluruh penduduk. Penduduk dalam
jumlah besar kebanyakan meninggal karena kelaparan, penyakit, clan kekacauan
akibat, peperangan, tapi tidak banyak yang gugur di medan perang. Kebiasaan
orang Eropa yang melakukan pertempuran lebih kejam dan ganas menjadi alasan
sejumlah orang Eropa sanggup sejumlah kemenangan yang menentuka daripada
pasukan-pasukan Asia Tenggara yang lebih besar. Orang Asia Tenggara,
khususnya orang Indonesia dari Aceh hingga Maluku, banyak memiliki reputasi
dalam hal keberanian individual, jika bukan untuk kegiatan militer. Adanya
kepercayaan bahwa peperangan merupakan sejenis percobaan dengan menjalani
kesusahan, di mana kekuatan adi kodratilah yang menentukan pihak mana yang
akan menang, maka jatuhnya seorang pemimpin atau juara biasanya serta-merta
mengakhiri peperangan (Sejarah Melayu 1612: 124, 148;Wales 1952: 103).
Hikayat Banar (432-437) menunjukkan, Islamisasi Banjarmasin
berlangsung mulus ketika pihak-pihak yang menghendaki tahta memutuskan
untuk bertarung secara perorangan guna menghindari perang sauclara. Jika kedua
tokoh yang bertarung tersebut boleh dikatakan seimbang, peperangan menjadi
serangkaian pertempuran kecil dan adanya manuver ditandai oleh serangan
perorangan. Di Maluku, pertempuran kecil-kecilan ini tampak seolah-olah
"mereka selalu melancarkan peperangan, karena mereka memang menyukainya;
mereka hidup dan menunjang diri dengan peperangan” (Galvao 1544: 169).
Bagi dunia Melayu unsur kunci dari serangan ialah amok. Sebutan ini
paling sering digunakan dalam kronik Melayu sebagai kata kerja (mengamok),
kata itu dapat berarti semata-mata menyerang, terutama dengan keris atau pedang
secara mati-matian, dengan tujuan untuk membunuh atau menewaskan sejumlah
musuh, meskipun jiwa sendiri harus dikorbankan dalam proses itu. Jika tersebut
berhasil melukai pimpinan pihak lawan, maka itu sudah cukup untuk memutuskan
siapa pemenang perang. Amok di Jawa sangat terkenal, menurut Tome Pires
(1515: 266; cfl76): "Orang mengamuk adalah satria bagi mereka, orang yang
bersedia ma ti, dan melaksanakan keputusan untuk mati tersebut." Serangan
biasanya dimulai oleh para pengamuk dengan memakai pakaian putih sebagai
lambang kerelaannya untuk berkorban (ENJ II: 317).
Kronik dan prasasti di Asia Tenggara suka melebih-lebihkan kebesaran
dan karisma dari rajanya. Karena itu, mereka cenderung mengaitkan kemenangan
pada kekuatan adikodrati, bukan pada faktor-faktor teknis. Contohnya (Hikayat
Patani: 89) yang menyebutkan Kemenangan Patani atas Palembang dihubungkan
dengan daulat ( tuah raja) Sultan Manzur Shah. Karena kekuasaan dipandang
berasal dari sumber-sumber spiritual, maka orang umumnya percaya bahwa para
raja dan satria mencapai keberhasilan lewat persiapan asetis serta ritus, meditasi,
mantramantra, dan tuah berkah Tuhan yang mereka miliki sendiri, sama
pentingnya engan kekuatan pasukannya. Kekebalan terhadap senjata tajam dan
peluru dipandang sebagai pertanda satria besar. Seperti perang saudara Aceh yang
besar di awal abad ke-18, kedua belah pihak dipandang memiliki ahli mantra
untuk menjadi kebal dengan membaca baris-baris bertuah atau dengan melekatkan
ke tubuh para pengikutnya menggunakan jimat ampuh, sehingga mereka kebal
dari senjata logam. Orang Portugis yang berjumpa dengan satria demikian dalam
perjalanan menuju ke Melaka pada tahun 1511, yang tidak jauh dari dunia orang
Melayu menceritakan, bagaimana kepala pasukan Melayu tidak Iuka sedikit pun,
meskipun mereka sudah berkali-kali terkena senjata dan baru meninggal ketika
jimatnya dilepaskan (Albuquerque 1557: 61). Kepercayaan pada kekebalan
perorangan ini, yang masih bertahan hingga sekarang, dan tidak boleh diartikan
bahwa keahlian teknis berperang di kesampingkan demi ilmu magis. Senjata
terpenting dalam peperangan dari orang Asia Tenggara, yakni pedang, keris, dan
tombak, yang biasanya dimiliki oleh setiap orang. Pakaian orang Jawa, orang
Melayu, atau orang Makasar belum lengkap jika tanpa keris.
Keberhasilan dalam peperangan menjadi momentum sendiri bagi seorang
raja, sebab tawanan dan harta rampasan yang diperoleh dengan cara demikian
mengukuhkan kekuasaannya, sama seperti kemenangan untuk meningkatkan
karisma. Begitupun kegagalan dalam peperangan, dapat menjadikan leburnya
negara-negara besar dengan sangat cepat. Hingga abad ke-16, kelebihan para raja
dalam ha! teknik atas para pengikutnya, tidaklah terlalu besar, Raja menguasai di
Benua dan Sumatera. Senjata utama mereka yang lain ialah perahu-perahu yang
pada umumnya disimpan dekat istana oleh raja-raja besar. Faktor kedua ialah
semakin banyaknya pasukan bayaran khusus, yang biasanya berasal dari orang
asing yang khusus dilatih untuk menggunakan senjata api. Raja-raja yang paling
berhasil di masa itu tahu bahwa cara terbaik adalah menggunakan profesionalisme
serdadu Eropa dan Jepang yang ada di tengah-tengah mereka dengan membayar
kaum petualang dan pelarian untuk menjadi tentara bayaran penuh, karena jauh
lebih bersedia membunuh dibandingkan dengan pasukan-pasukan Asia Tenggara.
Ikatan vertikal di Asia Tenggara dipengaruhi oleh tiga faktor utama.
Pertama, penguasaan tenaga kerja dipandang sebagai petunjuk kekuasaan dan
status yang menentukan. Kedua, transaksi manusia umumnya dinyatakan dalam
hitungan uang. Ketiga, perlindungan hukum dan finansial dari negara relatif
rendah, sehingga pelindung maupun yang dilindungi perlu saling bantu dan
dukung. Seorang dari bangsa Cina melaporkan bahwa orang Malaka "berkata
bahwa lebih baik memiliki budak daripada tanah, sebab budak-budak dapat
melinclungi tuannya" (Hwang Chung 1537: 128). Bagi para pedagang awal Eropa
yang berusaha menyewa buruh di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara kabarnya
dibayar dengan harga tinggi dan dinyatakan dalam hitungan harga beras yang
berlaku di kota-kota tersebut. Para budak-budak yang ada juga memiliki kategori-
kategori dan masing-masing memiliki tingkat upah yang berbeda-beda. Penjelasan
dari tingkat-tingkat upah ini ialah bahwa tidak ada tenaga buruh bayaran yang
bebas, kecuali kadang-kadang di antara orang Cina ("pekerja keras clan sangat
rakus uang"-Salazar 1590: 229) atau orang-orang asing lainnya yang berada di
pelabuhan untuk sementara.
Ketentuan-ketentuan hukum Asia Tenggara berisi sejumlah jalan yang
dapat membuat orang menjadi budak. Ini dapat dibuat sistematis sebagai berikut:
1. Mewarisi status budak orangtua,
2. Dijual menjadi budak oleh orangtua, suami, atau diri sendiri,
3. Tertawan dalam perang.
4. Hukuman pengadilan (atau ketidakmampuan untuk membayar denda).
5. Gagal membayar utang.

Utang merupakan penyebab utama perbudakan, ketidakmampuan


membayar mas kawin, kegagalan panen atau malapetaka lainnya, atau lewat judi.
Perbudakan bisa juga dilihat sebagai konsep yang mendasari segenap kategori
lainnya jika tawanan perang dipahami sebagai utang jiwa karena tidak dibunuh di
medan perang. Raja yang kuat hampir selamanya berusaha memperbesar jumlah
budak dan langsung berada di bawah kekuasaannya, dan membatasi jumlah orang
yang terikat padanya secara pribadi, yang bebas dari kewajiban kerja paksa .untuk
raja.
Dalam kota-kota maritim sebagian besar tenaga budak berasal dari
perdagangan atau penaklukan. Tenaga buruh di Melaka dan Patani urnumnya
berasal dari Jawa, yang datang sebagai bagian dari pengikut kaum pedagang Jawa
yang kaya. Sekitar tahun 1500 Jawa merupakan satu-satunya pengekspor budak
terbesar, mungkin sebagai akibat perang pengislaman yang penuh perpecahan.
Jawa memasok banyak tenaga kerja untuk kota·kota di Malaya. Islamisasi
membawa perubahan besar dalam sifat perdagangan budak, karena hukum syari'
ah melarang penjualan atau perbudakan sesama Muslim. Saat Islam menakukkan
atas Jawa pada abad ke-16, pulau itupun berhenti mengekspor penduduknya.
Adanya pandangan perbudakan di kalangan bumi putera tidak
mengandung suatu antitesis tajam antara kategori budak dan orang merdeka,
keadaan pada kurun niaga boleh jadi telah mendorong gerak ke arah itu. Para
saudagar dari berbagai latar belakang memerlukan perlindungan hukum atas
budak-budaknya sebagai hak rnilik, yang mana tidak perlu dilakukan pada sistem
tertutup serta bersandar pada asumsi kebudayaan yang sama atau pada kerajaan-
kerajaan agraris. Aturan-aturan hukum yang diciptakan di kota-kota Asia
Tenggara banyak memberikan perhatian kepada budak-budak. Ketentuan hukum
Melayu secara tersendiri menyediakan seperempat undang-undangnya untuk
mengatur masalah perbudakan (Matheson dan Hooker 1983: 205). Untuk
membangun benteng dan istana mereka, para penguasa cenderung memakai
kategori budak yang paling rendah-tawanan perang. Di Aceh, "raja menggunakan
mereka untuk membabat hutan, menggali batuan, membuat adukan semen dan
membangun" (Beaulieu 1666: l 08).
Mobilisasi kelas pengrajin sangat penting artinya dalam sistem produksi,
sebagaimana yang diketahui dengan baik oleh para penguasa. Sebab para
pengrajin dibutuhkan untuk membuat peralatan perang. Undang-Undang Hirarki
menetapkan sepuluh bagian pengrajin yang berbeda-beda (krom) di antara separuh
dari penduduk yang dikerahkan untuk perang. Kota Makasar yang berkembang
pesat menunjukkan bukti-bukti dalam hal cara para pengrajin seperti ini
dikerahkan oleh suatu negara yang bermula dari nyaris nol di tahun 1500.
Berdasarkan Kronik Goa (Makassar) terdapat pertumbuhan kemampuan
manufaktur yang baru setiap kali raja baru tampil. Di bawah Raja Tunipalangga
(1548-1566), batu bata, mesiu, meriam, dan berbagai barang lainnya dibuat untuk
pertama kalinya di Makasar.
Sistem sosial dan "ekonomi Asia Tenggara sebagai feodalisme atau
perbudakan tidak tepat disebut sebagai feodalisme atau perbudakan. Karena pada
pusat kedua sistem tersebut di Eropa terdapat ikatan hukum yang diakui oleh
negara maupun gereja. Dalam perbandingan, sistem di Asia Tenggara yang lebih
bersifat pribadi dan lebih moneter. Ketaatan menjadi lebih penting daripada
undang-undang, dan tiap orang mempunyai tuan.
Hukum di Asia Tenggara diambil dari sumber-sumber yang beragam
seperti Dharmasastra India kuno. Pada abad ke-16 dan ke-17 kitab-kitab hukum
Islam menjadi sumber berpengaruh. Di sisi lain, tradisi-tradisi lisan setempat
terus-menerus ditafsirkan oleh para tetua di desa-desa. Raja-raja memiliki
kekuatan hukum monolitik, sedangkan di banyak daerah setiap desa dan
komunitas etnis memiliki sistem peradilannya sendiri. Kejahatan pada umumnya
dihukum dengan denda atau hukuman yang lebih berat, dan bisa diringankan
dengan denda. Sehubungan dengan hukum Islam, luasnya bidang pelaksanaannya
berbeda-beda menurut waktu dan tempatnya. Dalam banyak hal penting lainnya,
syari'at berbeda dengan pola Asia Tenggara sejauh, khususnya dalarn hal
hukuman siksaan dan cambukan pada tubuh. Para saudagar muslim juga memiliki
sistem pengadilan sendiri di pelabuhan-pelabuhan untuk non-muslim. Pelaksanaan
hukum Islam untuk perjudian dan minuman keras, serta hukum Islam terhadap
pencuri, memerlukan adanya seorang penguasa kuat yang siap berdampingan
dengan ulama kota dalam berhadapan dengan tradisi setempat.
Keefektifan sistem hukum sangat berbeda-beda. Jika seorang raja yang
kuat memerintah penduduk yang relatif homogen, pengunjung sering terkesan
akan rendahnya tingkat kejahatan. Contohnya di Ternate, Galvao (1544:129)
percaya bahwa "pembunuhan jarang sekali terjadi,". Salah satu penyebab dari
keefektifan ini tidak pelak lagi ialah prinsip tanggung jawab bersama, atas setiap
kejahatan yang dilakukan di dalam lingkungannya. Sebaliknya, beberapa kota
perdagangan yang masyarakatnya beragam nyaris tidak memiliki hukum, di mana
para penguasa tidak bersedia untuk mengendalikan pertikaian antarpelaut di
pelabuhan.
Hubungan antara pria dan wanita merupakan salah satu aspek hubungan
sosial di mana pola Asia Tenggara terlihat dengan jelas. Bahkan semakin
kokohnya pengaruh Islam, Kristen, Budha, dan Kongfusianisme di wilayah
masing-rnasing, tidak menghapuskan pola yang bersama menyangkut otonomi
dan kedudukan ekonomis kaum wanita yang relatif tinggi itu.
Pada bagian ini dijelaskan mengenai hubungan seksual dan sistem
perkawinan di Asia Tenggara. Hubungan seksual yang dimaksud adalah hasrat
dan topik pembicaraan seksual antara wanita dan pria. Hal tersebut tertulis dalam
kesusastraan, Kesusastraan Asia Tenggara pada masa itu cukup jelas
memperlihatkan bahwa kaum wanita memainkan peranan aktif dalam bercumbu
dan berrnain cinta, serta mengharapkan pasangannya bersikap adil dalam hal
kepuasan seksual clan emosional. Kisah-kisah cinta romantis sama saja
masyhurnya dengan kisah cinta dari kesusastraan-kesusastraan dunia lainnya.
Kisah-kisah Panji mengenai birahi pangeran kepada kekasihnya merupakan suatu
contoh yang baik, karena itu sangat populer di Jawa antara abad ke-15 clan ke-17,
menyebar dari sini ke dunia Melayu serta di abad ke-18 ke Muangthai, Birma,
clan Kamboja, di mana kisah-kisah itu mengilhami siklus Inao. Gambaran yang
paling nyata dari kuatnya kedudukan yang dimiliki kaum wanita dalam soal
seksual ialah pembedahan menyakitkan pada alat kelamin yang harus
ditanggungkan pada kaum pria untuk meningkatkan kenikmatan erotis pada kaum
wanita. Sekali lagi, ini merupakan suatu gejala yang penyebarannya di Asia
Tenggara sangat mencolok, meskipun tampaknya tidak ditemukan di bagian-
bagian dunia lainnya.
Pembedahan yang paling menyakitkan ialah memasukkan penis
logam,yang dilengkapi dengan berbagai roda, taji atau kancing, di Filipina bagian
tengah clan selatan serta di beberapa bagian Borneo. Hasil yang sama juga
didapatkan di bagian Asia Tenggara lainnya dengan cara yang tidak begitu
menyakitkan, namun mungkin merupakan suatu pembedahan yang lebih halus
dengan memasukkan bola-bola atau lonceng lonceng kecil pada kulit lepas di
bawah kepala penis.
Pola perkawinan yang dominan ialah yang bersifat monogami,
dengan perceraian yang relatif mudah bagi pria maupun wanita. " Di kalangan
rajaraja terdapat pengecualian yang mencolok terhadap ketentuan monogami ini.
Bagi mereka, banyaknya istri merupakan pertanda status clan sebagai senjata
diplomasi. Para bawahan menawarkan anak-anak gadis mereka untuk menjadi
istri raja. Sangat umum di kalangan orang biasa, bahwa pola monogami
mengukuhkan mudahnya perceraian, cara yang disukai untuk mengakhiri suatu
perkawinan yang tidak memuaskan
Pengamat eropa mengatakan bahwa masyarakat eropa memiliki
tingkat kesucian lebih tinggi daripada masyarakat asia tenggara hal ini
dikarenakan hubungan seksual sebelum kawin tidak begitu dikecam, clan
keperawanan kaum wanita maupun keperjakaan kaum pria di saat pernikahan
tidak diharapkan. Jika hubungan seksual sebelum menikah ini mengakibatkan
kehamilan, pasangan tersebut diharapkan menikah, dan jika hal itu tidak mungkin,
yang bisa dilakukan ialah pengguguran atau (setidak-tidaknya di Filipina)
pembunuhan bayi.
Dalam perkawinan, sebaliknya, kesetiaan clan kejujuran pasangan –
pasangan Asia Tenggara mengherankan orang-orang Eropa. Kaum wanita
Banjarmasin, misalnya, sangat ketat jika kawin, tapi sangat longgar jika masih
sendiri Di Sulawesi Selatan, sebelum masuknya Islam, perzinahan dengan wanita
yang belum bersuami dimaafkan, tapi jika dengan wanita bersuami, akan dihukum
dengan kematian. Seorang pengamat dari abad ke-19 rnungkin benar dalarn
mengaitkan mudahnya perceraian di pedesaan Malaya dengan kasih-sayang yang
rnenandai kehidupan suami-istri Melayu. Yang rnenarik ialah, jika keperawanan
kaum wanita disebutkan sebagai faktor utama dalam perkawinan, hal itu lebih
dipandang sebagai kekurangan daripada sebagai keuntungan seperti di Filipina
sebelum spanyol dan di Burma. Jika orang Eropa bicara tentang usia menikah di
Asia Tenggara, mereka selalu terkejut betapa mudanya usia kedua pengantin.

Bab V : Pesta Keramaian dan Dunia Hiburan (Negara panggung, permainan


rakyat, hingga kesusastraan lisan dan tulisan)
Aksara lama digunakan untuk tujuan pragmatis sehari-hari, bukan untuk
bidang-bidang kegiatan pria menyangkut agama resmi clan pemerintahan Pola
yang tidak biasa ini membuat kita harus menolak setiap perkiraan bahwa prialah
penulis karya-karya klasik Asia Tenggara, kecuali yang lahir dari tradisi
keagamaan di biara. Raja wanita sama-sama merupakan kutukan bagi tradisi bina-
negara Hindu, Buddha, Islam, clan Cina. di abad ke-14 adalah wanita. Tatkala
James Brooke mengunjungi negara Bugistetangganya, Wajo, ia menjumpai bahwa
empat dari enam arung (penguasa) besar adalah wanita. Di mana pengaruh India
(atau di Vietnam, pengaruh Cina) lebih kuat, terutama di istana-istana Benua yang
lebih bermegah-megah, wanita raja jarang terdapat. Siam belum pernah menunjuk
wanita sebagai raja, clan Vi etnam serta Birma jarang sekali melakukannya.
Di Asia Tenggara yang Muslim, model raja Islam yang pria tampak
akhirnya lebih berlaku sekitar tahun 1700; clan sedikit sekali raja wanita sesudah
itu. Akan tetapi, antara abad ke-15 clan ke-17, terdapat kecenderungan besar bagi
negara-negara yang paling giat dalam mengembangkan perdagangan di kawasan
itu untuk diperintah oleh kaum wanita. Banyak negara mengangkat kaum wanita
sebagai raja hanya jika mereka sudah mencapai puncak kehidupan niaganya.
Wanita satu-satunya yang menjadi raja di Birma ialah Shinsawbu (tahun 1453-
1472), yang memimpin kebangkitan Pegu sebagai kota pelabuban utama di Teluk
Bengali. Jepara, di pantai timur Jawa, baru menjadi pusat niaga clan pelayaran
yang penting di bawah raja wanitanya yang terkenal, Kalinyamat, pada perempat
ketiga abad ke-16. Pemerintahan wanita merupakan satu dari sedikit cara yang
digunakan oleh kalangan bangsawan yang mementingkan kegiatan niaga guna
membatasi kekuasaan despotis raja dan membuat negara aman bagi pemiagaan
internasional. karena iklimnya lunak dan makanan pokoknya beras, ikan, serta
buah-buahan tersedia secara lebih pasti dibandingkan dengan sebagian besar dunia
lainnya, maka orang Asia Tenggara mempunyai keuntungan alamiah untuk bebas
dari perjuangan terus-menerus untuk bertahan hidup
Kedatangan orang Eropa bagian utara pastilah memberikan kesan yang
kabur namun sangat menarik bagi fungsi hierarkis yang penting ini. Negara-
negara bersangkutan memandang perlu bahwa orang-orang Eropa membawakan
peranannya seperti para warga kaya lainnya dalam meningkatkan pamor acara-
acara kerajaan, tapi di sana orang-orang dari utara ini cenderung merendahkan
aturan-aturan permainan hierarkis tersebut. Karena oleh kekuatan militer maupun
kegunaan mereka, raja-raja umumnya cenderung memicingkan mata terhadap
pembangkangan mereka atas aturan-aturan status. Di Siam, abad ke-17, orang-
orang Eropa menantang aturan bahwa tidak seorang pun yang boleh memandang
raja tatkala ia berlalu dengan gajah atau kapalnya. Di Jawa, orang Inggris clan
Belanda menolak duduk bersila pada perayaan-perayaan istana. Kalau "untuk
bangsa-bangsa lain, mereka akan menghajarnya jika menolak," pasukan Jawa
umumnya memilih untuk berlalu saja melewati orang-orang Eropa yang berdiri
tegar daripada memulai suatu perkelahian besar-besaran Pasar merupakan bagian
dari tiap pesta keramaian besar.
Membanjirnya orang banyak itu sendiri merupakan jaminan bagi jual-beli
makanan clan baban-baban kebutuban lainnya secara cepat. Kemungkinan
penduduk desa menggunakan pesta-pesta keramaian tahunan untuk memasarkan
basil-basil mereka clan membeli barang-barang impor untuk dipakai sepanjang
tahun sesudahnya. Kedatangan mereka secara berkala ke kota juga dapat dijadikan
sebagai saat menyerahkan upeti atau hasil bumi kepada raja mereka. telah
menyatakan bahwa pekan raya Bubat serta keramaian keagamaan yang
berlangsung satu minggu setelah panen padi di zaman Jawa Hindu pada abad ke-
14, merupakan saat untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dernikian kepada raja
dan kalangan bangsawan. Tr adisi ini juga berlaku pada acara Islam penggantinya,
yakni pesta hari kelahiran Rasul (Maulud), Menurut tradisi Thai yang dicatat oleh
Jeremias van Vliet Rama T'ibodi (1491-1529) merupakan raja Thai yang paling
dicintai, antara lain karena "ia yang pertama-tama menetapkan adanya pesta-pesta
keramaian dan permainan yang besar Siapa saja yang suka Bagi Birma, Siam,
Kamboja, dan Aceh, gajah merupakan hewan kerajaan yang paling tinggi nilainya.
Para raja mengumpulkan gajah dalam jumlah besar, menungganginya
dalam latihan perang maupun peperangan yang sebenarnya, dan
mengidentifikasikan diri dengannya dalam perlombaan dengan hewan-hewan lain.
Raja dan pahlawan Thai, Naresuen (1590-1605), dikabarkan telah mengalahkan
segenap peserta dengan keahliannya menunggang gajah sebagai seorang pemuda
di is tana Pegu (van Vliet 1640: 78); dan pahlawan Aceh Sultan Iskandar Muda di
gambarkan penuh dengan kecakapan yang menakjubkan dalam menunggang
gajah dan kuda selagi masih belia. Begitu menduduki tahta, Iskandar Muda tidak
Jagi menunggangi gajah dalam perlombaan, tapi jelas ia gemar mengadakan
pertunjukan seperti itu Untuk duta Belanda pada tahun 1608.
Pertarungan antargajah yang sangat mirip, diadakan bagi orang Prancis di
Ayutthaya. Seperti di Aceh, di sini pun lusinan lelaki memegang tambang yang
diikatkan ke kaki gajah untuk memisahkan hewanhewan itu jika pertarungan
mereka menjadi kacau. Dibandingkan dengan kerbau yang jauh lebih
bersemangat, gajah tidak begitu membahayakan satu sama lain, dan perkelahian
antargajah jarang membuat penonton asing kagum. Peranan gajah jeias bersifat
simbolis, seperti tampak nyata jika gajah dihadapkan dengan harimau Meskipun
demikian, orang memang mengaitkan pertarungan hewan dengan pertarungan
manusia yang dapat menjelaskan pentingnya acara ini didalam pesta-pesta
kerajaan. Pengaitan demikian paling jelas dalam perlombaan mingguan yang
dilakukan oleh raja Jawa di alun-alun yang selamanya terletak di sebelah utara
istana.
Perlombaan itu biasanya diadakan pada hari Sabtu atau Senin (Senen),
yang membuatnya kemudian disebut Senenan. Meskipun pasukan berkuda tidak
begitu penting artinya dalam peperangan orang Jawa, ini jelas merupakan
perlambang perang di mana bangsawan-bangsawan muda membuktikan clan
menunjukkan kebolehannya. Padanannya di benua mungkin adalah sejenis polo
(tii khlli dalam bahasa Thai) yang dimainkan oleh kaum bangsawan Kamboja,
Siam, clan Birma Perlombaan tombak berkuda seriogkali disusul dengan adu
hewan. selama abad ke-18 clan ke-19, begitu peperangan semakin jarang terjadi
serta istana menjadi semakin hierarkis, adu hewan mengambil tempat utama
dibandingkan dengan perlombaan manusia .
Tampak jelas dari naskah-naskah pra-lslam di Jawa, clan dari praktiknya
yang terus hidup di Bali, bahwa menyabung ayam selalu mempunyai makna
keagamaan clan merupakan bagian penting dalam pesta keramaian candi,
penyucian, serta ziarah Darah ayam sabungan dipandang sebagai korban untuk
menyenangkan dewa-dewa, yang selalu dihimbau sebelum acara sabungan
dimulai. Meskipun di pedesaan acara sabung ayam selalu dikaitkan dengan candi
atau acara keramaian tertentu, namun di pusat-pusat istana hal itu merupakan hak
istimewa raja sebagaimana acara-acara adu hewan lainnya.
Salah satu penyebab dari besarnya perhatian raja untuk melakukan acara-
acara demikian boleh jadi merupakan kebutuhan akan korban darah demi
mengundang kesuburan, demi upacara penyucian, clan demi merayakan
keberhasilan perang. Di masa-masa yang lebih silam, darah hewan aduan,
mungkin telah dipandang sebagai pengganti darah manusia. Akan tetapi, gagasan
lain di balik acara aduan demikian tampaknya ialah kemenangan simbolis bagi
raja itu sendiri.
Dalam tulisannya Reid, Permainan rakyat pada zaman itu identik dengan
yang namanya kecenderungan untuk bertaruhan atau judi. Kerajaan-kerajaan
zaman dahulu terdapat suatu pola dimana kerajaan tersebut mengatur dan
mengeloa banyak tempat perjudian. Ada beberapa permainan atau perlombaan
yang menjadi ajang perjudian diantaranya adalah sabung ayam yang begitu
populer dalam masyarkat karena ayam jantan diidentifikasikan sebagai ambang
ego lelaki. Pertaruhan dalam sabung ayam bukanlah mengenai pertaruhan uang
ataupun materi melainkan pertaruhan status dan harga diri yang hal itu
menyangkut hidup dan mati. Karena hal itulah yang menyebabkan adanya
seseorang yang menempuh jalan kekerasan ataupun menjadi budak agar bisa
melunasi hutang-hutangnya.
Dengan berbagai akibat yang ditimbulkannya maka didapati peraturan
yang melarang adanya sabung ayam begitu pula dengan agama Islam yang
melarang adanya perjudian. Namun banyak raja dalam kurun waktu niaga yang
tidak memasukan praktik sabung ayam sebagai praktik yang dilarang. Seperti
halnya pada masa kesultanan Ala’ad-din di Aceh, beliau menganggap sabung
ayam sebagai perjudian dan melarangnya, tetapi dijalankan kembali praktik
tersebut oleh raja-raja penerusnya termmasuk pada masa sultan Iskandar Muda.
Permainan lain yang digunakan sebagai ajang judi adalah lomba keras-
kerasan biji kemiri yang juga popuer di masyarakat. Perlombaan ini dilakukan
dengan sebuah biji kemiri ditempatkan diatas biji kemiri lainnya dan keduanya
kemudian dipukul dengan tongkat rata yang panjang, biji kemiri yang pecah
duluanlah yang kalah. Raja Mataram pada waktu itu, Sultan Agung menyukai
peermainan ini dan menjadi pelindung utama dari permainana ini. Versi lain dapat
dilihat dari Birma yakni dengan cara meletakan biji datar besar yang didapat dari
tumbuhan menjalar, biji tersebut disusun seperti domino yang kemudian peserta
atau disebut juga gohn-nyin toh pwe harus memuku jatuh semua dengan buah
ataupun bola dari logam. Seperti bowling zaman sekarang.
Selanjutnya ada yang disebut permainan kartu yang dikenalkan oleh orang
Cina yang kemudian diikuti oleh praktik perjudian itu sendiri. Bahkan dalam
permainan ini judi sudah sangat melekat, kalau mau bermain kartu harus
memasang taruhan pula bahkan masyarakat pada zaman itu akan merasa jangga
jika bermain kartu tanpa judi. Sama halnya denga permainan kartu, pada
permainan catur atau juga bisa disebut ‘perainan dam’ juga terdapat judi
didalamnya, namun yang membedakannya adalah permainan ini hanya dinikmati
oleh kalangan bangsawan dan orang orang penting saja sehingga membuat
permainan ini bersifat lebih eksklusif dari permainan lainnya. Ada yang
berpendapat bahwa permainan catur dibawa dari India ke Asia Tenggara, hal itu
memmang tidak bisa dibantah meski ada beberapa istilah Arab maupun Persia.
Dalam perkembangannya catur tidak lagi sebagi permainan milik kalangan istana
namun juga sudah merambah di kalangan masyarakat biasa.
Selain permainan yang mengandung unsur judi, namun tidak sedikit pula
permainan yang berkembang pada waktu itu yang tidak terdapat unsur judi di
dalamnya. Misalnya permainan layang-layang yang menjadi tren di kalangan
orang dewasa pada waktu itu dan dipercaya terdapat kekuatan magis yang
menjamin susutnya banjir dan perubahan musim. Permainan gangsing yang
dipercanya dapat empercepat ranumnya padi dan yang terakhir adalah sepak
takraw atau dalam bahasa melayu disebut sepak raga. Permainan ini difungsikan
untuk melenturkan dan merilekskan tubuh akibat dari pekerjaan yang telah
dilakukan atau bahkan dari terlalu lama duduk akibat bermain catur.
Selain hiburan yang disalurkan lewat berbagai macam permainan diatas.
Masyarakat Asia Tenggara juga mengeksprasikan dirinya lewat jalur lainnya
misalnya menyanyi, menari, dan mementas. Sebagaimana yang terihat oleh orang-
orang Eropa saat mereka dijamu di istana. Mereka disuguhkan tarian-tarian
dengan iringan musik serta pertunjukan sandiwara yang berlangsung siang dan
malam tanpa henti.
Tidak hanya di dalam istana, bentuk-bentuk sandiwara, tarian dan musik
juga dibawakan ke berbagai daerah-daerah oleh para pemain keliling agar supaya
masyarakat biasa juga dapat menikmati kesenian tersebut. Seorang penulis tarikh
istana akan merasa senang jika masyarakatnya terhibur karena kebahagiaan
masyarakat adalah salah satu tujuan pelindung di desa maupun di istana. Ada pada
masa itu di ceritakan dari naskah Melayu bahwa ibu kota lama Banjarmasin
menjadi suram, dengan segera raja mengirim utusan ke Giri di Jawa untuk
didatangkan para pemain seni, karena pada waktu itu di Giri banyak penari,
dalang hingga pemain panggung.
Antara tari, teater, dan musik ketiganya saling berhubungan satu sama
lain. Misalnya tari, dalam ukiran-ukiran yang terdapat di candi Prambanan dan
Angkorwat yang menggambarkan dengan jelas pengaruh India dalam kesenian
tari di Asia Tenggara. Tari juga tidak hanya sebagai seni pertunjukan namun pada
masa itu tari memiliki makna sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan alam
roh serta dewa-dewa untuk membuat mereka hadir dalam pesta. Semakin tinggi
status sosial seseorang, misalnya raja maka diharapkan segala tindakannya sama
dengan tindakan dewa-dewa. Contoh jika seorang raja meninggalkan
singgasananya atau menyatakan perang atau mengamuk maka dia akan menari.
Hal ini dapat diartikan bahwa menari adalah suatu cara dalam menyalurkan emosi,
memusatkan energi, dan mengambil alih beberapa sifat dewa atau roh halus.
Di Asia Tenggara kebanyakan cerita yang digunakan untuk teater adalah
epos-epos dari India, misalnya Ramayana dan Mahabharata. Setelah Islam masuk
di Nusantara khususnya di Jawa, para penyiar dakwah Islamlah yang melakukan
transformasi cerita-cerita dari India menjadi lebih Islami dan dengan
ditambahkannya tokoh lawak asli bumiputera yakni punakawan. Dan merubah
sedikit cara penyampaian yang sebelumnya yang menggunakan gambar orang asli
kemudian dirubah menjadi gambar yang mencerminkan karakter dalam diri
manusia.
Dan yang terakhir mengenai musik, dua kesenian sebelumnya tidak akan
menjadi semarak tanpa adanya alunan musik yang mengiringinya. Salah satu alat
musik yang memiliki nilai yang tinggi di masyarakat pada zaman itu adalah Gong.
Menurut Reid kata “Gong” berasal dari bahasa Jawa yang kemudian dipinjam
oleh sebagian besar bahasa-bahasa Austronesia dan bahasa Thai (Khong). Alat
musik ini seperti apa yang tellah dicatat oleh Alcina hanya orang kalangan atas
saja yang dapat membelinya sehingga sangat erat kaitannya dengan status sosial
seseorang. Sebagai contoh pada saat raja-raja jawa mengadakan suatu perlombaan
atau acara kenegaraan yang mengundang orang penting maka seperangkat gong
perlu di persiapkan untuk memeriahkan suasana.
Bab ini menerangkan tentang antusiasme bangsa di Asia Tenggara
terhadap musik, utamanya di Filipina dan Vietnam. Kemudian dijelaskan pula
mengenai baca-tulis, proses pembelajaran mengenai penulisan, fungsi dari
penulisan, serta alat dan bahan yang digunakan untuk menulis. Para pengunjung
awal Eropa ke Asia Tenggara terpukau tatkala menjumpai bahwa bangsa di Asia
Tenggara sudah mampu dalam membaca dan menulis. Padahal mereka
menganggap orang Asia Tenggara adalah terbelakang karena tidak adanya tradisi
cetak mencetak atau sistem pendidikan formal disana. Dalam perjalanannya ilmu
mengenai baca-tulis diajarkan dan dikembangkan melalui rumah (turun temurun)
dan juga sekolah-sekolah, serta ketika belajar Al-Qur'an (saat masuknya Islam).
Membaca dan menulis bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya
yang menggunakannya untuk menulis syair, menukar catatan, serta dalam menulis
hal utang-piutang.
Abad 15 sistem tulisan utama di Asia Tenggara mulai berakar. Dan dalam
penyesuaiannya diperlukan kecerdasan tinggi dengan sistem-sistem berbagai
bahasa di Asia tenggara yang berbeda dengan abad ke 12 dan abad ke 13.
Tersebarnya tulisan Arab yang berbarengan dengan Islam waktu itu membuat
bahasa Melayu mulai dinyatakan dalam huruf Arab sekitar abad ke 14 dan sejak
saat itu tidak dapat terpisahkan dari tulisan Arab. Justru kemudian tersebar di
banyak bagian Semenanjung Malaya, Borneo, dan pulau-pulau sebelah timur
lainnya. Kemudian pada negara-negara Asia Tenggara yang lebih besar tradisi
mempertahankan dan mengajarkan kitab suci mulai diperluas serta dikembangkan
pada sistem pendidikan zaman modern.
Sebelum abad 16, bahan-bahan tulisan di sebagian besar daerah yang
terpengaruh India terbuat dari potongan-potongan daun lontar dan di tempat lain
pada bilah-bilah bambu. Sementara penduduk menulis dengan menggunakan
ujung pisau atau besi sebagai sebuah pena. Di Kamboja, Champa, dan Siam
menggunakan sejenis kerta yang terbuat dari kulit hewan unguk menulis sampai
tahun 1500. Hal-hal tersebut tidak terlepas dari tersebarnya pengetahuan tentang
pembuatan kertas dari Cina ke bagian-bagian dunia lainnya yang ditemukan pada
abad ke 2. Dari peristiwa tersebut masing-masing wilayah di Asia Tenggara
mampu membuat kertas menurut versi merek sendiri, walaupun masih ada proses
impor kertas dari Cina.

Naskah-naskah tertulis mempunyai peran dalam hal pewarisan


kesusastraan yang sebagian besarnya untuk didengarkan, bukan dibaca. Hikayat
Hang Tuah (291) yang dibaca oleh Hang Jebat atas perintah dari Sultan Melaka
merupakan salah satu contohnya, dimana tidak menyebutkan isi cerita dan
kejadian di dalamnya melainkan terfokus pada keindahan suara Hang Jebat yang
memukau semua wanita di istana Sultan Melaka. Kemudian kesusastraan lain di
Asia Tenggara adalah saling berbalas tempo musik antara dua penyanyi atau
kelompok penyanyi dengan improvisasi yang cerdas dan cermat. Lalu ada pula
perlombaan berbalas pantun yang dilihar sudah sangat tua pada keragaman istilah
rakyat yang dipakai waktu itu. Sebagian besar kesusastraan mengalami
transformasi dalam pewarisan dan penyesuaiannya, yang membuktikan bahwa
kesusastraan mengalami perkembangan yang pesat dan meluas. Kelas terpelajar
juga bertumbuh pesat meliputi sarjana-sarjana, guru agama, sejumlah penulis,
penerjemah, dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya.
Perkembangan sastra yang luar biasa pun terjadi pada kebudayaan lain
yang mengalami Islamisasi, dengan perantara karya-karya berbahasa Melayu.
Kota-kota pelabuhan di pantai Utara Jawa menjadi pusat polemik keagamaan
tentang batas ortodoksi dalam mistisme sufi. Sementara di Makasar yang
penulisannya mungkin menyaksikan tradisi literer pada abad ke 17 terpengaruh
oleh contoh sastra Melayu maupun portugis. Sementara di Kamboja pada abad ke
17 merupakan abad kesusastraan penuh ilham. Dimana pada mas ini pengarang
adalah golongan para literati buddha.
Kurun niaga merupakan masa perubahan besar dalam bentuk kebudayaan
dan pendidikan, kepercayaan, sistem hukum, bahkan gaya pakaian dan bangunan-
bangunan kota layaknya masa renaisans di Eropa. Dan bangsa-bangsa Asia
Tenggara merupakan pelaku utama dalam perluasan niaga abad ke 17.

Anda mungkin juga menyukai