Nim : 121911433046
5. Sikap Ilmiah : Suatu sikap menerima pendapat orang lain dengan baik dan
benar tanpa mengenal putus asa dengan ketekunan dan keterbukaan. Dengan kata
lain sikap ilmiah ini merupakan sikap keterbukaan dalam menerima semua
gagasan yang dikemukakan oleh orang lain tanpa memikirkan keegoisan individu.
Macam-macam sikap ilmiah : 1. Jujur, 2. Terbuka, 3. Toleran, 4. Skeptis, 5.
Optimis. Kemampuan Ilmiah : Berarti berpikir secara rasional dan berpikir
empiris. Bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena
didukung oleh informasi yang telah teruji kebenarannya dan disajikan secara
mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam. Contoh bersikap ilmiah :
Bersikap jujur dan mencintai kebenaran, maksud dari hal ini adalah dalam
kehidupan sehari-hari terutama bermasyarakat perilaku dan bersikap jujur sangat
penting, hal ini karena dari sifat jujurlah seseorang tersebut dinilai
kepercayaannya dalam melakukan segala bentuk kegiatan.
9. Mengapa Positivisme dipercayai sebagai peminjaman dari ilmu alam? Hal ini
karena tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan
pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat
sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan
gawat (crucial-test) dengan cara pengujian "trial and error" (proses penyisihan
terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga "kebenaran" se1alu dibuktikan
melalui jalur konjektur dan reputasi dengan tetap konsisten berdiri di atas
landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Auguste Comte
meminjam pengertian tersebut dari Dialektika Hegel. Contoh Positivisme dalam
studi bahasa fenomena-fenomena yang ditempatkan sebagaimana adanya dalam
riset-riset sosiologi dan antropologi didefinisikan menjadi fungsi kepentingan kita
sendiri, yang berkaitan dengan kehidupan, pendidikan, karier dan kematian
individu seperti kita. Dengan kata lain, keobjektifan mustahil diperoleh ilmuwan
sosial karena objek penelitiannya adalah seorang individu seperti halnya peneliti
itu sendiri. Singkatnya, peneliti ilmu sosial melakukan penelitiannya terhadap
dirinya sendiri sebagai seorang individu. Inilah yang menjadi alasan Wiener
terkait ketiadaan objektivitas di dalam ilmu sosial. Pandangan Wiener mengenai
kemustahilan objektivitas ilmu sosial akhirnya ditolak oleh Levi-Strauss. Ia
meyakini adanya keobjektifan yang terkandung dalam ilmu sosial. Gagasan
Wiener dibantahnya dengan alasan bahwa keobjektifan ilmu sosial mampu dicapai
karena terkandung suatu elemen dalam kebudayaan yang tidak bisa dipengaruhi
oleh si peneliti. Elemen kebudayaan yang dimaksud adalah bahasa. Realitasya
tergambarkan pada fenomena seorang individu ketika berbicara. Tatkala individu
berkomunikasi melalui bahasa, ia sebenarnya tidak menyadari aturan-aturan yang
berlaku dalam pembentukan kalimat yang disampaikan. Aturan-aturan itu acapkali
disebut sebagai tata bahasa.