Anda di halaman 1dari 3

7.

Suku Asmat (Papua)

Orang Asmat tidak mengenal mengubur mayat orang yang telah


meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang
tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena
suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati
pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka
percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian
orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat
Asmat.

Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia
yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik
dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka
mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh
leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran
kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia.

Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi


kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur
dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh
mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota
keluarga yang lain di desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul
mendekati si sakit sambil menangis, sebab mereka percaya ajal akan
menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan
kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena
mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya
untuk menemani.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para


(anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan
sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas
pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal
petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh
orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam
kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung Mbis, yaitu
patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan
jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat
sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut
menuju peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah
mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal.
Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan
jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak
memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di
pinggir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur,
keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.

Suku asmat di Papua juga memiliki tradisi pemakaman dengan


mumifikasi. Namun, ritual ini tidak dilakukan untuk sembarangan orang. Hanya
orang-orang tertentu yang dapat dimumifikasikan, seperti kepala suku atau
orang-orang penting lainnya.

Proses mumifikasi ini dilakukan dengan mengolesi jenazah dengan


ramuan alami yang kemudian jenazah tersebut diletakkan di atas perapian. Hal
ini bertujuan agar jenazah terkena asap hingga kulit pada jasad tersebut
menghitam. Asap tersebut akan membantu proses mumifikasi. Uniknya lagi,
jenazah akan dimumifikasi dengan posisi duduk.

Jenazah yang telah dimumifikasi akan dikeluarkan ketika terdapat acara-


acara penting seperti ritual adat. Mumi ini akan didudukkan dihadapan banyak
orang pada acara itu. Kegiatan ini dilakukan untuk dapat mengenang jasa
mereka.

Anda mungkin juga menyukai