Anda di halaman 1dari 5

KISAH SILAHI SABUNGAN

Sabungan tinggal cukup lama bersama adiknya, Oloan, di Siogung-ogung (Pangururan-


Samosir). Setelah dia merasa adiknya sudah dapat berdiri sendiri, Sabungan akhirnya pergi
berkelana sampai akhirnya dia tiba di suatu tempat yang sangat indah, Paropo, di pinggir
sebuah danau Toba yang sampai sekarang masih mempunyai nama sendiri Tao Silalahi. Karena
tertarik dengan keindahannya, dia memilihnya sebagai tempat untuk bermukim. Ketekunannya
bekerja menarik perhatian seorang pengembara yang kebetulan lewat dan datang
memperkenalkan diri. Walaupun pada awalnya mereka sulit berkomunikasi karena bahasa
keduanya sedikit berbeda, karena sering bertemu, akhirnya mereka dapat saling mengerti dan
pembicaraan pun berjalan dengan lancar.

Pengembara tadi merasa prihatin melihat Sabungan masih hidup dalam kesendirian. Dengan
sedikit malu-malu, pengembara tersebut menawarkan kepada Sabungan untuk menjalin suatu
hubungan kekeluargaan. Dia bercerita tentang iboto-nya yang berjumlah tujuh orang. “Kalau
engkau mau, engkau tinggal memilih,” demikian si pengembara menawarkan. Ternyata,
Sabungan tertarik dengan tawaran itu. Dia akhirnya mengikuti ajakan si pengembara untuk
melihat gadis-gadis tersebut. Setiba di kampung si pengembara, Sabungan tertegun melihat
kecantikan ketujuh gadis itu.

Karena semuanya tampak sama-sama cantik, sulit baginya untuk menentukan pilihan.
Akhirnya, Sabungan mendapat suatu akal. Dia meminta ketujuh gadis itu menyeberangi suatu
sungai kecil satu per satu. Dia akhirnya memilih seorang di antara mereka, yaitu gadis yang
menyeberang tanpa mengangkat kain penutup tubuhnya. Gadis itulah yang kemudian
dijadikannya sebagai isteri. Pilihan Sabungan ternyata cukup tepat karena, dari isterinya ini,
Sabungan memperoleh banyak anak. Dengan kelahiran anak-anaknya ini, pupus sudah
anggapan orang yang selama ini meragukan kelaki-lakian Sabungan. Keraguan ini muncul
karena Sabungan tidak kawin dalam tempo yang cukup lama.

Karena cukup lama tidak berumah tangga, orang menganggapnya bukan laki-laki sejati.
Akhirnya, setelah dia mengawini wanita pilihannya dan memperoleh banyak anak, anggapan itu
pupus dengan sendirinya. Sabungan benar-benar adalah lalahi (lelaki). Sesuai dengan kebiasaan
orang Batak, nama pengganti ini lebih populer daripada nama aslinya. Sejak itu, nama
lengkapnya berubah menjadi Silalahi Sabungan atau Silahi Sabungan. Ada banyak cerita yang
berkembang tentang Silahi Sabungan ini. Salah satu di antaranya ialah cerita tentang bagaimana
dia diperdaya oleh Raja Mangatur dari keturunan Sorba Dijae.

Konon, ke wilayah Patane di Onan Porsea datang seorang jagoan yang bernama Rahat Bulu.
Nama ini adalah pemberian orang karena, siapa pun berurusan dengan Rahat Bulu (buluh yang
sangat gatal), dia pasti celaka. Raja Mangatur merasa gerah dengan kehadiran orang ini dan
berpikir keras bagaimana cara untuk menyingkirkannya. Sementara itu, berita tentang
kehebatan Sabungan telah lama didengar oleh Raja Mangatur. Karena itu, dia berkeinginan
untuk mengikat hubungan persaudaraan dengan Sabungan dengan maksud, bila sesuatu terjadi
dengan Rahat Bulu yang suka mencari setori, Sabungan akan dilibatkan. Akan tetapi, dia tidak
mengetahui caranya karena Sabungan telah mempunyai isteri dan anak. Untuk itu, dia mencari
akal dengan mengatakan bahwa anak gadisnya sedang jatuh sakit dan hanya dapat sembuh
apabila diobati oleh Sabungan. Sabungan berhasil dibujuk dan pergi mengikuti Raja Mangatur
ke kampung-halamannya.
Begitu diobati oleh Sabungan, gadis itu pun sembuh. Akan tetapi, begitu dia ditinggal oleh
Sabungan, penyakitnya kambuh lagi. Hal itu terjadi berulang-ulang. Agar penyakitnya benar-
benar sembuh, diambil kesepakatan bahwa anak gadis itu harus dikawinkan dengan Sabungan.
Walaupun usia keduanya terpaut jauh, karena alasan kemanusiaan, Sabungan akhirnya setuju.

Dari isterinya yang masih muda ini, Sabungan memperoleh seorang anak laki-laki yang
rupawan dan diberinya nama Tambun.

Suatu waktu pada hari pekan, dengan bangga anak tersebut dibawa oleh ibunya mangebang ke
pasar. Rahat Bulu kebetulan melihat anak kecil yang rupawan itu, lalu merampasnya dari
gendongan ibunya. Dia mengatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya sendiri sebagai hasil
hubungan gelapnya dengan ibu muda tadi. Sudah tentu, hal ini di protes ibu muda itu karena dia
sama sekali tidak mengenal lelaki ini. Akan tetapi, apa pun yang dikemukakan ibu muda
tersebut, Rahat Bulu tetap mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya. Peristiwa itu dilaporkan
kepada Sabungan. Sabungan datang ke pasar dan mencoba untuk menjelaskan bahwa anak
tersebut adalah anaknya. Rahat Bulu tetap bersikeras dan mengatakan bahwa anak tersebut
adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan wanita muda tersebut.

Untuk jalan keluar, diambil kesepakatan, untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang
salah, keduanya secara bergantian diminta untuk memasuki sebuah batang (peti mati terbuat
dari sebatang pohon kayu besar; di belah dua, sebagian untuk tempat mayat dengan cara
menoreh lobang untuk tempat mayat dan sebagian dijadikan sebagai tutup). Sebelum keduanya
secara bergantian memasuki peti mati, Sabungan bertanya pada banyak orang yang hadir:
‘Porsea do hamu sude ?” (Apakah kalian percaya ?) Hadirin serentak menjawab: “Porsea …
Porsea”. (percaya… percaya). Karena kedua belah pihak sudah setuju, begitu pula orang-orang
yang menyaksikannya, maka dicarilah sebuah batang. Setelahnya sang ibu muda tadi
dipersilahkan masuk lebih dahulu, lalu keluar dengan tidak kurang suatu apa pun.

Orang yang melihat pun ber sorak sorai. Rahat Bulu kemudian menyusul dan dengan rasa yakin
akan bisa keluar dari peti mati itu dengan selamat. Akan tetapi, begitu dia masuk dan
menelentangkan diri, peti mati itu langsung tertutup rapat. Segala upaya dilakukan baik oleh
keluarganya yang turut menyaksikan, peti mati itu tetap saja tidak dapat dibuka. Peti mati itu
kemudian diterbangkan oleh Sabungan ke Dolok Simanuk-manuk dan Rahat Bulu, konon,
menjadi hantu pengganggu di sana. Konon inilah asal mula nama Onan Porsea dekat Patane
tempat raja-raja berkumpul.

Karena khawatir akan terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan, anak kecil ini kemudian
dibawa ke Paropo. Pada awalnya, anak itu ditaruh di suatu tempat yang tersembunyi. Sabungan
tidak ingin kehadiran anak kecil ini akan membawa persoalan baru mengganggu kerukunan
dalam rumah tangganya. Akan tetapi, bagaimana pun pintarnya Sabungan menyembunyikan si
anak kecil ini, rahasianya akhirnya terbongkar.

Hal ini diawali dengan seringnya Sabungan menyisakan makanannya dan membawanya ke
tempat yang tidak diketahui isterinya. Kelakuan ini terasa aneh bagi isterinya yang memintanya
untuk berterus terang, untuk siapa makanan tersebut disembunyikan. Akhirnya, Sabungan
berceritera perihal kepergiannya ke tempat Raja Mangatur dan perkawinannya dengan
puterinya yang menghasilkan anak kecil tersebut. Dia juga menceritakan peristiwa yang
menimpa si anak sehingga, demi keselamatannya, dia terpaksa dibawa ke kampung-halamannya
sendiri. Hati isterinya terenyuh dan dapat menerima hal ini sebagai suatu kenyataan. Dia
akhirnya bertekad akan menganggap anak kecil itu sebagai putera bungsunya dan
memeliharanya sebagai anak sendiri.

Hal itu dikemukakan kepada anak-anaknya dan ternyata tidak seorang pun merasa keberatan.
Mereka sepakat untuk menerimanya sebagai adik bungsu. Untuk memperteguh kesepakatan ini,
si ibu mengumpulkan anak-anaknya dan mereka secara bersama-sama memakan sejenis
makanan yang dikenal dengan sagu-sagu mallangan. Makan bersama inilah yang belakangan
dikenang oleh keturunan Silahi Sabungan dengan sumpah “Sagu-sagu Mallangan,” suatu
sumpah yang mengakui Tambunan sebagai adik bungsu dalam keluarga Silahi Sabungan.

Dan marga Tambunan hingga saat ini merasa lebih nyaman dalam kelompok marga SILAHI
SABUNGAN, hingga merasa tidak perlu membentuk persatuan dalam kelompok marga sendiri.
Silsilah Marga Silahisabungan.

Data yang dikumpulkan dari berbagai buku maupun turi-turian, bahwa Raja Silahisabungan
mempunyai 2(dua) isteri.

Isteri pertama adalah Pinggan Matio boru Padang Batangari dan bermukim di Silalahi
Nabolak dan isteri kedua adalah Milingiling boru Mangarerak.

Dari boru Pinggan Matio, Raja Silahisabungan memiliki tujuh (7) putra dan satu (1) putri.
Sedangkan dari boru Milingiling, Silahisabungan memiliki seorang putra. Kedelapan putra Raja
Silahisabungan dan seorang putri tersebut secara singkat dapat dijelaskan seperti dibawah ini.

Dari isteri pertama lahir sbb:


1. Haloho (Loho Raja)
2. Tungkir (Tungkir Raja)
3. Rumasondi (Sondi Raja)
4. Dabutar (Butar Raja)
5. Dabariba (Bariba Raja)
6. Debang (Debang Raja)
7. Pintubatu (Batu Raja)
8. Siboru Deang Namora.

Dari isteri kedua lahir satu putra yaitu: 1. Tambun (Tambun Raja)

Inilah penjelasan lebih lanjut mengenai keturunan Raja Silahisabungan

1. Haloho (Loho Raja) menikah dengan boru tulangnya Rumbani boru Padang Batangari dan
bermukim di Silalahi nabolak.Keturunannya sebagian pindah ke Paropo, Tolping, Pangururan,
Parbaba. Haloho memiliki 3 putra yaitu : Sinaborno, Sinapuran, dan Sinapitu. Pada umumnya
keturunannya memakai marga Sihaloho, dan hingga dewasa ini belum ada cabang marga
ini.

2. Tungkir (Tungkir Raja) menikah dengan Pinggan Haomasan boru Situmorang dan
bermukim juga di Silalahi nabolak. Pasangan ini juga memiliki 3 putra yaitu : Sibagasan,
Sipakpahan dan Sipangkar. Keturunannya pada umumnya memakai marga Situngkir terutama
Sibagasan dan Sipakpahan, sedangkan keturunan Sipangkar sebagian besar telah memakai
Sipangkar sebagai marga.

3. Rumasondi (Sondi Raja) menikah dengan Nagok boru Purba Siboro. Pasangan ini juga
bermukim di Silalahi nabolak. Keturunannya yaitu Rumasingap membuka perkampungan di
Paropo.Rumasondi memiliki putra sbb : Rumasondi, Rumasingap, dan Rumabolon. Umumnya
keturunannya memakai marga Rumasondi dan sebagaian memakai marga Silalahi (di balige)
dan bahkan Rumasingap juga dipakai sebagai cabang marga. Demikian juga Doloksaribu,
Sinurat, Nadapdap, Naiborhu, telah digunakan sebagai cabang marga dan masuk
rumpun marga Rumasondi.

4. Dabutar (Butar Raja) menikah dengan Lagumora Sagala. Mereka juga tinggal di Silalahi
Nabolak. Dabutar ini mempunyai tiga putra yaitu : Rumabolon, Ambuyak, dan Rumatungkup.
Umumnya keturunannya memakai marga Sinabutar atau Sinamutar bahkan Sidabutar.

5. Dabariba Raja (Baba Raja) menikah dengan Sahat Uli boru Sagala. Mereka bermukim di
Silalahi nabolak. Keturunannya memakai marga Sidabariba atau Sinabariba. Putranya
berjumlah tiga yaitu : Sidabariba Lumbantonga, Sidabariba Lumbandolok, Sidabariba Toruan.
Mereka ini pada umumnya memakai marga Sidabariba.

6. Debang (Debang Raja) menikah dengan Panamenan boru Sagala, juga bermukim di Silalahi
nabolak. Keturunannya sebagaian menyebar ke Paropo. Debang Raja mempunyai 3 putra :
Parsidung, Siari dan Sitao. Umumnya keturunannya memakai marga Sidebang atau Sinabang.

7. Pintu Batu (Batu Raja) menikah dengan Bunga Pandan boru Sinaga, juga tinggal di Silalahi
nabolak. Memiliki 3 putra yaitu : Hutabalian, Lumbanpea, Sigiro. Keturunannya
menggunakan marga Pintu Batu, tetapi keturunan Sigiro sebagian memakai marga
Sigiro.

8. Tambun (Tambun Raja) adalah putra Raja Silahisabungan dari si boru Milingiling. Ketika
masih remaja, Tambun meninggalkan Silalahi nabolak menemui ibu kandungnya di Sibisa
Uluan. Tambun menikah dengan Pinta Haomasan boru Manurung dan bermukim di Sibisa. Dari
Sibisa keturunannya berserak ke Huta Silombu, Huta Tambunan dan Sigotom Pangaribuan.
Putra Raja Tambun berjumlah tiga orang yaitu : Tambun Mulia, Tambun Saribu,
Tambun Marbun. Umumnya keturunannya memakai marga Tambun dan Tambunan,
bahkan diantaranya memakai marga Baruara, Pagaraji, Ujung Sunge,Lumpan Pea.

Disamping marga-marga yang disebut di atas, Anak-anak Raja Silahisabungan dari isteri
pertama memakai marga Silalahi. Sedangkan keturunan Tambun tetap menggunakan
marga Tambun (oleh keturunan Tambun Uluan) atau Tambunan (oleh keturunan
Tambun Koling).

PODA SAGU SAGU MARLANGAN


Poda sagu-sagu marlangan muncul karena munculnya pertengkaran antara Anak-anak Raja
Silahisabungan dengan Si Raja Tambun yang mendapat perhatian lebih dari Ibunya Pinggan
Matio dibandingakan anaknya yang lain, kemudian Raja Silahisabungan menyuruh Pinggan
Mation menempa Sagu – sagu Marlangan berbentuk manusia yang ditaruh di kedalaman
ampang ( Sejenis bakul). Kemudian SilahiSabungan memanggil seluruh putra putrinya dan
Isterinya mengelilingi Sagu-sagu Marlangan dan kemudian menyampaikan pesan (WASIAT)
yang isinya seperti dibawah ini :
HAMU ANAKKU NA UALU :

1. INGKON MASIHAHOLONGAN MA HAMU SAMA HAMU RO DI POMPARANMU,


SISADA ANAK SISADA BORU NA SO TUPA MASIOLIAN, TARLUMOBI
POMPARANMU NA PITU DOHOT POMPARAN NI SI RAJA TAMBUN ON.
2. INGKON HUMOLONG ROHAMU NA PITU DOHOT POMPARANMU TU BORU
POMPARAN NI ANGGIMU SI RAJA TAMBUN ON, SUWANG SONGON I NANG HO
RAJA TAMBUN DOHOT POMPARANMU INKON HUMOLONG ROHAM DI BORU
POMPARAN NI HAHAM NA PITU ON.
3. TONGKA DOHONONMU NA UALU NA SO SAAMA SAINA HAMU TU PUDIAN NI
ARI.
4. TONGKA PUNGKAON BADA MANANG SALISI TU ARI NA NAENG RO
5. MOLO ADONG PARBADAAN MANANG PARSALISIHAN DI HAMU, INGKON SIAN
TONGA – TONGAMU MASI TAPI TOLA, SIBAHEN UMUM NA TINGKOS NA SOJADI
MARDINKAN, JALA NA SO TUPA HALAK NA HASING PASAEHON.
Kemudian Raja Silahisabungan duduk dan menyuruh anak-naknya menjamah sagu – sagu
marlangan itu tanda kesetiaan dan ikrar yang harus djunjung tingga. ke 8 anak Raja
Silahisabungan menjamah Sagu – sagu marlangan itu dan berkata :” Sai dipargogoi Mulajadi
Nabolon ma hami dohot pomparan nami mangulahon poda na nilehonmi amang,” kata mereka
bergantian. Kemudian Raja Silahisabungan berkata, barang siapa yang melanggar wasiat ini
seperti sagu – sagu marlangan inilah tidak berketurunan, ingkon mago jalan pupur.”
Katanya.***v

Anda mungkin juga menyukai