Anda di halaman 1dari 5

WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM

REVIEW JURNAL

KEBANGKITAN IDENTITAS SUKU BAJO DI KEPULAUAN WAKATOBI

DISUSUN OLEH:

NABILA TAHIRA ALI D101171505

PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018
Judul Jurnal: Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi
ISSN: 1693-167X
Tahun Terbit: 2013
Penulis: Tasrifin Tahara
Reviewer: Nabila Tahira Ali/D101171505
Jurnal ini mengupas kisah asal usul kemunculan suku bajo dan juga menggambarkan tentang
hubungan dan interaksi suku bajo dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat sekitar di
Wakatobi, dimana seperti yang kita ketahui ada sekat diantara hubungan sosial orang-orang suku
bajo dan masyarakat sekitar. Orang-orang suku bajo dilabeli sebagai sekelompok orang-orang
bodoh, perampok, dan orang-orang yang memiliki kondisi fisik yang berbeda dengan kelompok
masyarakat lain.
Si Nursim adalah salah satu putra suku bajo yang sedang menempuh pendidikan sebagai
mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan di Universitas Haluleo. Ia adalah pemuda bajo yang
sedang berjuang untuk menghapuskan sterotip yang selama ini disematkan masyarakat kepada suku
bajo sebagai orang-orang bodoh dan tidak berpendidikan. Ia ingin mengubah citra suku bajo di mata
orang-orang bahwa suku bajo bukan lagi kelompok yang hanya bisa menangkap ikan ataupun
penyelam teripang, tetapi suku bajo kini sudah maju dan bisa mengenyam pendidikan seperti halnya
masyarakat lain. Selain kisah Si Nursim adapula kisah sukses putra bajo lainnya, beliau adalah
Abdul Manan. Berbeda dengan Si Nursim yang baru memulai perjuangannya sebagai mahasiswa
salah, Abdul Manan kini sudah meraih sukses dan berhasil menunjukkan bahwa suku bajo juga bisa
sukses dan keturunan suku bajo tidak melulu menjadi nelayan. Keberaniannya untuk merantau ke
Baubau pada tahun 1976 mengantarkan Abdul Manan menjadi Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dan juga diamanahkan
sebagai Presiden Bajo Indonesia.
Kisah dua putra bajo diatas membuat kita dapat mengetahui bagaimana orang-orang suku
bajo diperlakukan dengan rendah dan seolah-olah diasingkan oleh masyarakat sekitar. Si Nursim
dan Abdul Manan adalah dua contoh pemuda suku bajo yang berusaha untuk membangun dan
menunjukkan bahwa suku bajo tidak serendah seperti yang menjadi paradigma masyarakat dan
menghilangkan stereotip-stereotip negatif yang selama ini melekat pada suku bajo. Si Nursim dan
Abdul Hanan adalah contoh dari pergulatan identitas suku bajo. Suku bajo tidak hanya mengalami
penindasan seperti yang sudah dipaparkan diatas. Sejarah suku bajo pun seakan dilupakan. Banyak
diantara kita yang tidak tahu ataupun tidak mau tahu perihal sejarah kemunculan suku bajo. Padahal
suku bajo adalah suku yang memiliki pengetahuan dan kebudayaan yang berkaitan dengan laut
yang patut kita ketahui sebagai warga negara indonesia, karena indonesia dikenal dengan negara
maritim.
Sejarah kemunculan suku bajo memiliki ragam versi, namun kisah yang paling sering
didengar adalah konon suku bajo merupakan keturunan orang-orang Johor, Malaysia. Nenek
moyang mereka adalah orang-orang yang diberikan perintah oleh raja untuk mencari putrinya yang
melarikan diri. Orang-orang suruhan raja ini mencari sang putri hingga ke sulawesi, namun sang
putri memilih untuk menetap di sulawesi sedangkan orang-orang raja kemudian ikut menetap dan
tidak pernah kembali lagi ke johor. Mereka inilah yang diyakini menjadi cikal bakal terbentuknya
suku bajo. Kehidupan suku bajo dilautan bermula ketika mereka menghindari perang dan kericuhan
didarat, sejak saat itu mereka sepenuhnya hidup di lautan. Suku bajo terkenal sebagai pelaut yang
hebat. Menurut sejarah mereka bukan hanya suku yang sering mencari ikan tetapi dikenal sebagai
pemasok komoditi laut dan pantai. Suku bajo juga dikatakan pernah menjadi bagian dari angkatan
laut kerajaan sriwijaya, sehingga keterampilan dan kehebatan suku bajo dalam mengarungi lautan
tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, suku bajo tidak terlalu terekspos, orang-orang lebih
mengenal Suku Bugis sebagai penguasa lautan.
Meskipun orang bajo memiliki pengetahuan yang banyak tentang kemaritiman dibandingkan
orang-orang di darat, mereka sulit untuk bisa berbaur dengan masyarakat. Hal ini dikarenakan
orang-orang bajo kurang dalam hal ilmu pengetahuan dan pengetahuan tentang teknologi yang
dimiliki oleh orang-orang darat. Maka karena situasi inilah muncul stereotip-stereotip yang
berkembang dalam masyarakat yang bermukim didarat bahwa orang-orang bajo itu terbelakang dan
cenderung menutup diri, sehingga orang-orang bajo terasingkan. Setiap terdengar kata “Bajo”
pemikiran masyarakat langsung menyimpulkan hal-hal negatif, seperti Bajo itu perompak atau
bajak laut, pengebom ikan, dan dianggap bodoh karena tidak pernah menyentuh bangku sekolah.
Selain itu juga yang terbayang oleh masyarakat sekitar jika berbicara tentang orang-orang bajo
adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri fisik yang aneh karena berbeda dengan masyarakat
sekitar, misalnya kulit hitam legam dan rambut kekuningan.
Dalam strata sosial di wakatobi khususnya orang-orang buton kaledupa menggolongkan
orang-orang suku bajo sebagai amai wa’du atau golongan masyarakat yang paling rendah atau
setara dengan papara atau golongan masyarakat budak. Penggolongan ini dilakukan bukan hanya
karena stereotip yang berkembang dimasyarakat, namun juga karena orang bajo hanya dianggap
sebagai pendatang sehingga tidak dianggap dalam sistem sosial masyarakat kaledupa. Selain itu,
orang-orang bajo dianggap sebagai orang-orang rendahan karena mereka pernah terlibat dalam
kelompok DI/TII. Maka dari itu dalam interaksi sehari-hari sering kali diejek dan dihina.
Orang-orang bajo juga tidak memiliki akses dalam hal pemanfaatan sumber daya alam di
wilayah darat Pulau Kaledupa, mereka tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun seperti
di Kampung La Hoa, Kampung Sampela, dan Kampung Mantigola Umala. Mereka hanya bisa
menjadi buruh kebun yang bertugas untuk merawat dan membersihkan tanaman kelapa milik orang
kaledupa. Tidak hanya sampai disitu, perlakuan yang tidak adil juga dialami orang bajo ketika
berdagang. Misalnya, saat orang-orang bajo menjual ikan kemudian orang-orang darat yang
membeli menawar dengan harga murah bahkan terkadang ikan yang dijual dirampas, dicaci maki,
bahkan dipukuli oleh orang-orang darat. Hal ini membuat orang-orang bajo enggan untuk aktif
dalam kegiatan perekonomian di Pulau Kaledupa.
Interaksi yang terjadi antara orang-orang bajo dengan orang-orang darat di Pulau Kaledupa
maupun di Pulau Wangiwangi Wakatobi sebenarnya menghasilkan keuntungan bagi keduanya.
Sejak dulu, orang-orang bajo selalu menjadi pemasok ikan utama di Pulau Kaledupa dan Pulau
Wangiwangi. Sebaliknya, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari terutama kebutuhan seperti
sandang dan papan orang-orang bajo mendapatkannya dari orang-orang darat. Menilik dari interaksi
ekonomi orang-orang bajo dengan orang-orang yang ada didarat yang saling membutuhkan, maka
harusnya hubungan sosial dan kultural keduanya bisa berjalan dengan baik. Namun yang terjadi
pada kehidupan sehari-hari hubungan keduanya tidak simetris antara hubungan ekonomi dan
hubungan sosialnya. Hal ini terjadi karena masih ada pemikiran-pemikiran negatif orang darat
terhadap orang-orang bajo yang menjadi tembok penghalang bagi hubungan sosial dan kultural
mereka sehingga hubungan keduanya tidak berimbang.
Pemikiran-pemikiran negatif orang-orang darat terhadap orang-orang bajo seringkali
menjadi benih-benih konflik yang membuat hubungan mereka tidak harmonis. Konflik-konflik
yang terjadi diantara keduanya mulai dari skala individu hingga kelompok seringkali terjadi.
Konflik terbesar yang pernah terjadi dan meninggalkan memberikan kesan mendalam bagi orang-
orang bajo adalah peristiwa DI/TII pada tahun 1956. Pada tahun tersebut berkembang isu
dimasyarakat darat bahwa orang-orang bajo merupakan anggota kelompok DI/TII. Mulai dari isu
ini terjadilah intimidasi, teror, dan kekerasan yang dilakukan orang-orang darat kaledupa terhadap
orang-orang bajo yang bermukim di Mantigola. Konflik ini memberikan trauma besar bagi orang-
orang bajo dan bahkan masih diingat dengan baik, dan karena konflik ini pula orang-orang bajo
melakukan perpindahan besar-besaran dari Mantigola ke Sampela.
Meskipun seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak manusia dari orang-orang darat,
orang-orang bajo tidak pernah menyimpan dendam ataupun kebencian yang mendalam. Mereka
tetap melakukan interaksi dengan orang-orang darat dan sangat terbuka dengan kehadiran orang-
orang darat di kampung mereka, bahkan mereka mempelajari Bahasa Kaledupa dan Bahasa
Indonesia yang jarang digunakan dalam lingkungan mereka sehari-hari. Konstruksi identitas orang-
orang bajo sampai saat ini masih dibayangi oleh pemikiran dan cara pandang terhadap orang-orang
darat yang beranggapan bahwa orang-orang di daratan memiliki peradaban dan kebudayaan yang
lebih tinggi daripada mereka suku laut. Kenangan-kenangan suram masa lalu masih kuat dalam
ingatan mereka, tambah lagi mereka hidup sebagai kelompok minoritas semakin membuat orang-
orang bajo semakin terasingkan.
Jika merujuk pada masa lalu, saat Wakatobi masih menjadi bagian dari Kesultanan Buton
dimana masyrakat dibedakan menjadi tiga kelompok strata sosial yaitu kelompok pertama atau
kelompok bangsawan disebut Kaomu, kelompok walaka sebagai kelompok menengah, dan
kelompok Papara sebagai kelompok rendah/bawah. Suatu kelompok atau seseorang dapat
dimasukkan kedalam salah satu kelompok starta sosial karena berdasarkan kamia (asal-usulnya).
Melihat dari pembagian kelompok strata sosial ini, sulit menentukan strata yang tepat bagi orang
bajo karena orang-orang wakatobi terutama Liya dan Kaledupa sebagian merupakan keturunan
Kaomu dan keturunan Walaka yang berasal dari Keraton Wolio. Sedangkan orang-orang suku bajo
sampai saat ini tidak diketahui pasti asal-usulnya atau kamia. Maka dari itu suku bajo dimasukkan
kedalam kelompok papara karena menurut konsep kebudayaan masyarakat buton, orang-orang
yang dikategorikan kelompok papara adalah yang susah untuk dirunut asal-usulnya.
Selama ini orang-orang suku bajo yang bermukim di Mola ataupun di Sampela menerima
saja identitas yang diberikan kepada mereka meskipun mereka tidak menghendaki, karena budaya
dominan meskipun karena identitas yang dipaksakan itu membawa kerugian bagi mereka. Stereotip
yang diberikan masyarakat kepada orang-orang bajo sebagai kelompok manusia antah berantah,
selalu berpindah-pindah dan tinggal di laut, tidak berpendidikan makin menegaskan citra orang-
orang suku bajo yang primitif dan terbelakang. Mereka bahkan tidak bisa menyuarakan kehidupan
mereka, aspirasi, kecemasan, kekecewaan, perjuangan, dan prestasi mereka dalam memberikan
warna dalam identitas kewakatobian.
Namun, seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit keberanian untuk melakukan usaha-
usaha komunikasi dengan orang-orang darat membuahkan hasil, kini meskipun tidak semuanya
tetapi orang-orang di Kaledupa mulai menerima kehadiran orang-orang bajo sebagai bagian dari
Wakatobi. Selain karena usaha-usaha komunikasi yang dilakukan, tumbuhnya kesadaran orang-
orang darat bahwa mereka memerlukan orang-orang bajo dalam kehidupan sehari-hari. Sedikit demi
sedikit ejekan dan hinaan terhadap orang-orang bajo saat mereka melakukan aktivitas di darat mulai
hilang. Keterbukaan dan penerimaan terhadap orang-orang bajo tidak hanya terjadi di Kaledupa saja
di Pulau Wangiwangi juga sama.
Respon orang-orang darat yang semakin hari semakin terbuka dan menerima kehadiran
mereka membuat gelombang kebangkita orang-orang bajo dalam berbagai aspek. Seperti dalam
aspek pendidikan bisa dilihat dari cerita Si Nursim dan Abdul Manan. Meskipun orang-orang darat
mulai bisa menerima orang-orang bajo, tetap saja masih ada konflik kecil yang terjadi, hal ini
dikarenakan perbedaan bahasa antara orang-orang bajo dan orang-orang darat. Masalah perbedaan
ini tergambar dari La Toni dan teman-teman sekolahnya yang terlobat perkelahian hanya karena
bahasa dan dialek orang-orang bajo dianggap aneh oleh orang-orang darat. Konflik kecil seperti ini
tidak dipungkiri memang masih terjadi, namun sudah sangat berkurang. Orang-orang bajo juga kini
sudah menganggap pendidikan adalah sesuatu yang penting bagi anak-anaknya. Perkembangan
masyarakat bajo membuat hidup mereka tidak lagi hanya soal laut. Pikiran mereka yang mulai
terbuka dan sudah sama seperti orang darat, maka tidak heran jika saat ini kita dapat menemukan
orang-orang bajo dalam pemerintahan, anggota parpol, anggota legislatif, dan aktivis LSM. Yang
menarik untuk dibahas adalah bagaimana orang-orang bajo dapat mengidentifikasi identitasnya
kini, suku bajo yang dulunya dikenal sebagai orang-orang yang tidak pernah mengenyam
pendidikan dan dikenal sebagai suku pencari ikan sangat bertolak belakang dengan keadaan orang-
orang bajo kini, dimana tidak ada lagi perasaan minder dan malu saat mengaku berasal dari suku
Bajo. Apalagi saat ini banyak dari anak-anak suku bajo yang sudah mengenyam pendidikan
sehingga mereka punya cita-cita dan harapan yang tinggi.
Hubungan orang bajo dan orang darat memasuki babak baru, dimana orang-orang bajo
perlahan lahan beradaptasi dengan kebudayaan orang-orang darat sedangkan orang-orang darat
sekarang lebih terbuka dan merangkul suku bajo agar dapat menyatu dengan semua masyarakat
yang ada di wakatobi. Intensitas interaksi antara orang-orang bajo dan orang-orang darat semakin
intens, yang medapat mengubah paradigma orang-orang bajo bahwa mereka adalah orang-orang
terasingkan. Hal ini membuat orang-orang bajo hendak menjadi diri mereka sendiri ditengah
dinamika kebudayaan yang mereka ciptakan dengan orang darat saat ini.
Meskipun saat ini orang-orang bajo mulai diterima kehadirannya oleh orang-orang darat,
masih ada tantangan sosial yang harus dihadapi suku bajo dalam menjalani kehidupan sosialnya.
Dikenal dengan suku yang tangguh dan laut sebagai pusat kehidupannya membuat sebagian orang-
orang bajo sampai saat ini masih mempertahankan mata pencahariannya sebagai nelayan
tradisional. Namun kemiskinan orang-orang suku bajo yang menjadi nelayan masih terlihat jelas,
rumah-rumah nelayan masih terbuat dari bambu. Tradisi orang-orang bajo sebagai nelayan turun
temurun masih sangat kuat dan pekerjaan utama dengan keterbatasan pengetahuan.
Maka dari itu Abdul Manan, sebagai putra bajo yang dianggap telah sukses, memiliki
pendidikan yang tinggi, dan memiliki posisi penting dalam pemerintahan, memiliki niat mulia
untuk memajukan saudara-saudaranya sesama suku bajo khususnya dalam bidang pendidikan dan
memajukan suku bajo dari ketertinggalannya. Bentuknya dari keinginan beliau adalah dibentuknya
“Kekar Bajo” atau Kerukunan Keluarga Bajo yang memiliki anggota tersebar diseluruh Indonesia.
Bukan hanya di Indonesia, mereka juga membangun hubungan dengan orang-orang bajo yang ada
di negara lain, misalnya Thainland, Filipina, dan Malaysia dengan membentuk sebuah komunitas
bernama BICC atau The Bajau International Communities Confederation. Abdul Manan yang
menjabat sebagai Presiden Bajo Indonesia, dalam rangka untuk mewujudkan keinginannya untuk
memajukan orang-orang Bajo di Indonesia maka ia harus menjalin hubungan dan meminta bantuan
dari suku-suku Bajo yang tersebar ditiga negara.

Satu kata untuk maritim adalah anugerah

Anda mungkin juga menyukai