Anda di halaman 1dari 23

BAB II

HIDUP DAN KARYA JACQUES DERRIDA

Latar belakang hidup seorang tokoh, pada dasarnya membantu seseorang

untuk memahami karya-karyanya. Sebuah pertanyaan berkaitan dengan urgensitas

biografi hidup seorang tokoh dilontarkan Jacques Derrida ketika memberikan

ceramah di Universitas New York, pada Oktober 1996. Pada kesempatan itu,

Derrida melontarkan pertanyaan demikian, “Apakah seorang filosof memiliki

sebuah kehidupan? Apakah Anda mampu menulis biografi seorang filosof?” 1

Pertanyaan Derrida lahir dari sebuah permenungan yang mendalam. Derrida

menyadari betapa pentingnya biografi hidup seorang tokoh. Dalam sebuah

pernyataan yang cukup provokatif ia mengatakan:

“Seperti yang Anda ketahui bahwa filsafat tradisional mengecualikan


biografi hidup seorang tokoh. Filsafat tradisional mempertimbangkan
biografi sebagai sesuatu yang berada di luar filsafat. Kalian akan
mengingat bagaimana referensi Martin Heiddeger atas Aristoteles:
Bagaimana kehidupan Aristoteles? Jawabannya ada pada kalimat
singkat ini: ia dilahirkan, berkarya dan mati.”2

Latar belakang kehidupan seorang tokoh selalu membentuk horizon berpikirnya di

kemudian hari. Pengalaman perjumpaan dengan lingkungan, budaya, agama, dan

sebagainya membentuk formasi berpikir dan perilaku hidup. Proses interaksi

dengan lingkungan, pada akhirnya melahirkan beragam cara pandang yang unik.

1
Benoît Peeters, Derrida – A Biography, Polity Press, Cambridge, 2013, 1.
2
Benoît Peeters, Derrida – A Biography, ibid.

1
Sebagaimana para pemikir lainnya, Jacques Derrida juga memiliki latar

belakang hidup yang menarik untuk didalami. Konstruksi pemikirannya gamblang

terlihat dari gagasan-gagasannya yang kritis. Dalam kerangka memahami tulisan-

tulisan Derrida, maka potret kehidupan tokoh menjadi penting untuk ditelusuri.

Pada bagian ini, penulis akan menguraikan latar belakang hidup Jacques Derrida,

tokoh-tokoh yang memengaruhi horizon berpikirnya, karya-karya dan rangkuman

atas sub bab yang yang diuraikan.

2.1 Potret Hidup Jacques Derrida

Jacques Derrida adalah seorang pemikir postmodern yang sangat

kontroversial. Pada tahun 1992, ia mendapat gelar doctor honoris causa dari

Universitas Cambridge.3 Gagasan-gagasannya sangat kritis dan teliti. Banyak

konsep pengetahuan tertentu sezamannya didobrak dan mulai dibongkar untuk

ditata kembali. Menurut Derrida, kultur berpikir hirarkis yang dibangun dalam

horizon berpikir filsafat menyimpan benih kekuasaan yang diwariskan hingga

sekarang. Hal ini tampak dalam kritikanya atas metafisika kehadiran yang memuat

logocentrisme.4

Jacques Derrida lahir El Biar, daerah pinggiran Aljazair – Afrika Utara

pada tanggal 15 Juli 1930. Ia dilahirkan dengan nama Jackie Elie Derrida. 5 Ayah

Derrida bernama Aimé Derrida berkebangsaan Aljazair sedangkan ibunya


3
Madsen Pirie, 101 Great Philosophers, Continuum, London and New York, 2009, 199.
4
“Jika sumber linguistik logosentrisme atau ontologi adalah satu-satunya yang disediakan bagi
kita, dan jika jejak sepenuhnya dikonotasikan sebagai bahasa yang lain dari Ada; hal ini sejatinya
merupakan sebuah interpretasi yang dominan atas bahasa,” Simon Critchley, The Ethics of
Deconstruction: Derrida and Levinas, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1999, 122.
5
Mario Vergani, Jaques Derrida, Bruno Mondadori, Milan, 2000, 1.

2
bernama Georgette Sultana Esther Safar.6 Derrida memiliki empat saudara, yakni

René Abraham, Paul Moîse, Janine dan Norbert. Keluarga Derrida berasal dari

keturunan Yahudi. Pengaruh tradisi Yahudi membentuk prilaku dan relasinya

dengan lingkungan tempat ia berinteraksi. Latar belakang keluarganya yang

berdarah Prancis-Yahudi membuatnya semakin kritis dan agresif dalam berelasi.

Pada tanggal 24 Oktober 1870, Perdana Menteri Prancis, Adolphe

Crémieux memberikan hak kewarganegaraan Prancis kepada 35.000 orang

Yahudi yang tinggal di Aljazair. Akan tetapi, gelombang anti-Semitis tetap hidup

setelah keputusan ini. Konsekuensi dari keputusan Adolphe Crémieux tentunya

meningkatkan proses asimilasi orang Yahudi ke dalam gaya hidup orang Prancis.

Hal ini dialami oleh keluarga Derrida. Proses transformasi cara berpikir dan gaya

hidup mulai dipengaruhi oleh kebudayaan Prancis. Mengenai hal ini, Derrida

mengatakan:

“Saya adalah bagian dari sebuah transformasi yang luar biasa dari
keluarga Yahudi-Prancis yang ada di Aljazair. Kakek dan nenek saya
masih dekat dengan kultur Arab, di mana mereka masih
mempertahankan bahasa dan adat-istiadat. Akan tetapi, di akhir abad
XIX, ketika Crémieux mengeluarkan dekritnya, mulai muncul
perubahan di mana generasi berikutnya semakin borjuis. Sampai pada
generasi kedua orangtuaku, ada yang menjadi pemikir, menjadi
pengusaha sukses, serta menjadi pejabat-pejabat publik.”7

Derrida adalah seorang murid yang cerdas. Ia selalu menjuarai kompetisi

akademis di kelas. Akan tetapi, latar belakang kewarganegaan Prancis-Yahudi

membuatnya selalu mendapat perlakuan tidak adil di kelas. Ia banyak kali

6
David Mikics, Who Was Jacques Derrida?, Yale University Press, New Haven & London, 2009,
15.
7
Jacques Derrida, Learning to Live Finally: The Last Interview. An Interview with Jean Birnbaum,
Palgrave Macmillan, Basingstoke, 2007, 35.

3
berhenti dan berpindah-pindah sekolah hanya karena latar belakang keluarga dan

identitasnya. Pengaruh diskriminasi orang-orang Yahudi di Prancis dan

keterhubungan antara Prancis-Aljazair, akhirnya membuat Derrida juga ikut

mendapat perlakuan yang sama, yakni dipinggirkan. Penampakan yang sangat

jelas terjadi ketika tentara Prancis dikalahkan oleh kekuatan tentara Jerman. Di

bawah kepemimpinan Marshal Pétain orang-orang Yahudi di Aljazair semakin

diperlakukan secara tidak adil dan bahkan orang-orang Yahudi dianggap sebagai

ras yang seharusnya dimusnahkan seperti anjing-anjing rabies.

"Selama beberapa tahun, anti-Semitisme berkembang di Aljazair


daripada di wilayah manapun di Prancis metropolitan. Hak yang
ekstrem berkampanye atas keputusan pengadilan dihapuskan,
sementara berita utama di Petit Oranais diulang dari hari ke hari: 'Kita
perlu menghujani sinagoga dan sekolah Yahudi dengan belerang dan
jika mungkin melempar mereka ke api neraka, untuk menghancurkan
rumah orang Yahudi, merebut ibu kota mereka dan mengusir mereka
ke ladang seperti anjing-anjing rabies.”8

Pada tahun 1952, Derrida melanjutkan pendidikannya di École Normale

Supérieure (ENS), Prancis – sekolah yang dikelola oleh Michael Foucault, Louis

Althusser, dan sejumlah filosof ternama lainnya. Banyak filosof ternama

mendapat pengetahuan dan dibesarkan di École Normale Supérieure.9 Ketika

bergabung di École Normale Supérieure, hanya empat mahasiswa yang

mengambil jurusan filsafat, yakni Michel Serres and Derrida dari Louis-le-Grand

dan dua dari Henri-IV (Pierre Hassner and Alain Pons). Karena keempatnya selalu

terpisah, hal ini tentunya membuat mereka selalu mencari pengetahuan tambahan
8
Benoît Peeters, Derrida – A Biography, 16-17.

9
“Henri Bergson, Jean Jaures, Émile Durkheim, Charles Péguy, Léon Blum, Jean-Paul Sartre,
Raymond Aron, and a host of others had, over several generations, ensured the celebrity of this
institution by the time it was Derrida’s turn to enter it,” Benoît Peeters, Derrida – A Biography, 59.

4
secara personal. Derrida selalu mengikuti kuliah ekstra di Sorbonne, yang

diberikan oleh Henri Gouhier, Maurice de Gandillac, Ferdinand Alquié, dan

Vladimir Jankélévitch. Pada hari pertama kuliah, Derrida diberi kesempatan untuk

menjumpai Louis Althusser – saat itu belum terlalu terkenal dan belum

mempublikasikan karya apapun. Dalam beberapa Minggu, Derrida mulai

mengikuti kuliah psikologi bersama Michel Foucault. Derrida sangat mengagumi

Foucault. Ia bahkan memuji Foucault: “Kata-katanya, pendiriannya serta

kepandaiannya sungguh mengesankan.”10

Pada bulan Juli 1961, Derrida berhasil merampungkan tulisannya

mengenai komentar atas tulisan Edmund Husserl. Ketika mempublikasikan karya

pertamanya The Origin of Geometry (1963), Derrida berusaha menghapus nama

depannya Jackie. Ia menulis demikian:

Saya mengubah nama depan saya ketika saya mulai memasuki ruang
legitimasi sastra atau filosofis. Saya menemukan bahwa Jackie tidak
mungkin sebagai nama depan seorang penulis. Untuk itu, saya
memilih beberapa cara, tentu saja, sebuah nama samaran, tapi sangat
Prancis, Kristen, dan sederhana.”11

Kecintaannya pada pengetahuan membuat ia berusaha untuk mempelajari

banyak karya. Salah satu karya yang diberhasil ditulis adalah mengenai

komentarnya atas tulisan Edmund Husserl berjudul Ideas Pertaining to a Pure

Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy. Karya ini berhasil

diterjemahkan oleh Derrida dan diberi pengantar dan komentar oleh Paul Ricoeur.

Derrida disebut sebagai pembaca Husserl paling menakjubkan daripada Jean-Paul

10
“His eloquence, authority and brilliance were impressive,” Benoît Peeters, Derrida – A
Biography, 64.
11
Benoît Peeters, Derrida – A Biography, 127.

5
Sartre dan Merleau-Ponty. Disertasi Derrida juga mengangkat tema mengenai

fenomenologi Husserl, The Problem of Genesis in Husserl’s Philosophy, di bawah

bimbingan Maurice de Gandillac – mahasiswa senior Sartre di École Normale

Supérieure, dan menjadi profesor bidang filsafat di Sorbonne sejak 1946.12

Sejatinya Derrida tidak menempatkan Husserl sebagai tokoh filsafat yang

mengesankan dirinya. Ada banyak tokoh-tokoh lain yang juga ikut membentuk

horizon berpikirnya, antara lain Plato, Nietzsche, Heidegger, Emmanuel Levinas,

Ferdinand de Saussure dan lain-lain. Husserl banyak dikagumi oleh para

mahasiswa di Prancis, termasuk Pierre Bourdieu. Derrida berusaha mengangkat

gaya fenomenologi Prancis yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Sartre dan

Merleau-Ponty. Ketertarikannya pada pemikiran Husserl membuat Derrida berani

mempelajari arsip-arsip Husserl. Pada bulan Januari 1954, ia diizinkan untuk

mempelajari arsip-arsip Husserl di Louvain, Prancis.13 Di sana ia bekerja sama

dengan seorang filosof muda asal Jerman – Rudolf Boehm – untuk menerjemah

dan mengedit tulisan Husserl. Keduanya terlibat diskusi serius mengenai

fenomenologi Husserl, Sartre dan Merleau-Ponty. Melalui Boehm, Derrida

mengenal pemikiran Heidegger.14

Nama Derrida mulai dikenal ketika ia diundang menyampaikan sebuah

ceramah di Universitas John Hopkins, Amerika pada tahun 1966, di bawah tajuk

“Structure, Sign and Play in the Discourse of Human Sciences.” 15 Derrida secara
12
Benoît Peeters, Derrida – A Biography, 67.
13
Ibid.
14
“As soon as he could, Derrida would bring the conversation round to Heidegger, whose work
was becoming increasingly important to him – Boehm, a former student of Hans-Georg Gadamer,
had an excellent knowledge of it,” Benoît Peeters, Derrida – A Biography, 68.
15
A Sudiarja, “Jacques Derrida: Setahun Sesuadah Kematiannya,” dalam Basis, Nomor 11-12,
tahun ke-54, November-Desember, 2005, 4.

6
terus terang mengakui bahwa pemikirannya sangat berutang budi kepada

Heidegger16, Nietzsche, Adorno, Levinas, Husserl, Freud, Plato dan Saussure. 17

Segala kerja keras Derrida akhirnya berakhir pada hari Sabtu, 9 Oktober 2004. 18

Derrida meninggal dengan tenang di Paris setelah dua tahun berjuang melawan

kanker pankreas yang dideritanya.

2.2 Tokoh-tokoh yang Memengaruhi Pemikiran Derrida

Pemikiran Derrida hingga sekarang tetap diadopsi sebagai basis dalam

memperkuat argumen. Mempertahankan sebuah ide, gagasan atau konsep

tentunya tidak hanya lahir dari kelola pengetahuan personal. Untuk memperkuat

sebuah gagasan, argumen, konsep, atau jika hendak menawarkan sebuah gagasan

baru, seorang pemikir selalu mencari dasar-dasar argumennya. Jacques Derrida

dalam hal ini pun tidak pernah lepas dari pengaruh tokoh-tokoh yang lain. Pada

bagian ini, penulis akan menguraikan beberapa pemikir yang ikut membantu

persalinan karya-karya Derrida. Tokoh-tokoh yang akan diulas pada bagian ini

antara lain Plato, Frederich Nietzsche, Martin Heidegger dan Emmanuel Levinas.

Mereka adalah para pemikir yang menginspirasi gagasan-gagasan Derrida.

2.2.1. Plato: Pharmakon dan Khora

16
Derrida mengakui, “Apa yang saya usahakan tak akan mungkin tanpa membuka pertanyaan-
pertanyaan Heidegger mengenai perbedaan antara Ada dan Mengada,” Jacques derrida, Positions,
diterj. Alan Bass, The University of Chicago, Chicago, 1981, 9.
17
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, LkiS, Yogyakarta, 2015, 6.
18
David Mikics, Who Was Jacques Derrida?, 244.

7
Berbicara mengenai Jacques Derrida sejatinya, tidak pernah terlepas dari

konsep utamanya, yakni dekonstruksi.19 Istilah dekonstruksi memiliki beragam

makna dengan keluasan pengertiannya. Dekonstruksi bukanlah sebuah tindakan

yang diproduksi atau dikontrol oleh seorang subjek; juga bukan sebuah proyek

yang mengatur sebuah teks atau sebuah insititusi.20 Artinya, dekonstruksi

melampaui segala upaya hermeneutik normal – merekonstruksi makna asali dari

sebuah teks.

Pengaruh Plato sangat membentuk koridor berpikir Derrida. Kritiknya atas

metafisika kehadiran dimulai dari esai Plato’s Phamarcy. Derrida berusaha

membaca dengan teliti dialog Plato-Timaeus, terutama penggunaan kata

pharmakon yang berusaha mendiskreditkan tulisan (writing) dan menganggapnya

sebagai dirupsi terhadap logos. Kata pharmakon dalam bahasa Yunani berarti

obat-obatan (remedy) atau racun (poison).21 Akan tetapi, dalam teks Plato, istilah

itu digunakan secara berlebihan untuk mengisyaratkan bahwa tulisan berbahaya

bagi ingatan. Menurut Plato, dengan adanya tulisan, manusia tidak perlu lagi

mencari kebenaran (logos) melalui jiwa dan ingatannya. Selain mereduksi fungsi

jiwa sebagai cermin kebenaran, tulisan merupakan perlawanan langsung terhadap

pengetahuan yang berbasis pada kehadiran absolut. Adanya tulisan merupakan

ancaman langsung terhadap logosentrisme.

19
Penjelasan mengenai istilah ini akan diulas dalam bab III. Istilah dekonstruksi akan dipakai
sebagai “dalang” di balik pembentukan uraian provokatif Derrida mengenai keadilan yang diramu
dalam tulisannya Force of Law.
20
“Deconstruction is not an act produced and controlled by a subject; nor is it an operation that
sets to work on a text or an institution,” Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida
and Levinas, Edinburgh University Press, Edinburg, 1999, 22.
21
Jacques Derrida, Dissemination, diterj. Barbara Johnson, The Athlone Press, London, 1981, 70.

8
Dalam dialognya dengan Phaedrus, Sokrates menyebut tulisan sebagai

pharmakon. Akan tetapi, istilah pharmakon yang diungkapkan Sokrates tidak

begitu jelas. Maksud Sokrates bisa dimengerti dari penggalan dialognya dengan

Phaedrus. Dalam percakapan keduanya, dikisahkan bahwa di Naucratis, Mesir

hiduplah seorang dewa kuno yang memiliki burung bernama ibis dan nama

kebesarnnya adalah Theuth. Dialah yang pertama kali menemukan angka,

hitungan, geometri, astronomi, dan lebih dari itu adalah tulisan. Theuth

memamerkan temuannya kepada Thamus raja Mesir saat itu dan sang raja

memujinya. Ketika sampai pada temuannya mengenai tulisan, Theuth berkata,

“Keahlian ini akan membuat orang-orang Mesir lebih bijaksana dan akan

memperbaiki ingatan mereka; penemuanku adalah resep (pharmakon) bagi

ingatan dan kebijaksanaan mereka.”22 Akan tetapi, Thamus menolak temuan

Theuth karena ia menganggap temuan Theuth dapat merusak ingatan. Tulisan,

menurut Thamus, akan membuat orang malas untuk meraih kebenaran sejati.

Kecemasan akan pharmakon mencontohkan dengan baik betapa mendalam

kecemasan metafisika atas hilangnya kehadiran (loss of presence) oleh karena

racun tulisan. Metafisika kemudian membangun dinding untuk membentengi diri

dari kontaminasi tulisan. Menempatkan yang satu ke posisi yang pertama, dengan

sendirinya akan membangun sebuah hirarkisasi makna dan kedudukan. Menurut

Derrida, pharmakon adalah differance. Maka, differance merupakan sebuah upaya

penundaan terhadap pembacaan teks yang pasti. Pharmakon berusaha

menggerakkan kembali kekuatan-kekuatan teks yang berusaha dihentikan Plato.

22
Jacques Derrida, Dissemination, 75.

9
Ambiguitas makna pharmakon ini, dipakai Derrida dalam

mendekonstruksi sebuah teks. Menurut Derrida, makna tidak bisa distabilkan

begitu saja tanpa mencurigai tendensi-tendensi tersembunyi dari sebuah teks.

Sebuah teks selalu menyembunyikan makna yang melampaui apa yang diutarakan

pengarang. Maka, upaya menunda untuk memastikan makna asali sebuah teks,

mendorong seseorang untuk tidak hanya mengikuti logika diam pengarang, tetapi

berusaha menggugat lebih jauh pembentukan alur berpikir pengarang. Dengan

kecermatan luar biasa, Derrida menelusuri rangkaian penanda, pembentukan

istilah pharmakon dan genealogi linguistiknya, dan struktur pembedaan yang

membuat pharmakon tampak problematis dan paradoksal. Semuanya itu, berujung

pada dekonstruksi logika biner dalam teks yang memfungsikan kembali logika

lain yang direpresi oleh logika dominan. Istilah lain yang juga dikritisi dalam

dialog Plato-Timeaus adalah mengenai penggunaan istilah khora.23 Khora

menunjuk pada ‘yang lain’ dari nama. Yang lain dari nama tersebut tidak begitu

saja dapat dipahami. Karena tidak begitu saja dapat dipahami, Khora berada

dalam kawasan asing. Keasingan Khora ini bagi Derrida sudah ditangkap oleh

Plato ketika ia memaknai Khora sebagai genus ketiga (triton genus). Melalui

Khora Plato tampaknya ingin menolak logic of non-contradiction of the

23
Istilah ini memiliki banyak makna dan makna yang dikenakan padanya (wadah) juga merupakan
sebuah upaya pembatasan pengertian. Khora, sejatinya lebih dari sekedar nama. Khora melampaui
nama yang disematkan kepadanya, yakni wadah (the receptacle). Khora adalah triton genus yang
ditambahkan setelah genus pertama (dunia yang tetap) dan genus kedua (dunia yang selalu
berubah) – ilustrasi dalam kisah terbentuknya alam semesta. things. “Of course, khora is not really
a wife or a nurse but sui generis, a third thing (triton genos), an individual (a "this") and not even a
genus.” Dari gambaran khora di atas, kesimpulan yang dapat ditarik tentang essensi khora adalah
(1) tidak memiliki kualitas yang dapat diindrai; (2) Khora adalah medium dimana benda-benda
indrawi mengalami proses menjadi dan (3) Khora bukan sekedar ruang tetapi sebuah matrix, ’the
stuff without property’, bdk. John D Caputo, Deconstruction in A Nutshell, Fordham University
Press, New York, 1997, 82, 84, 91.

10
philosophers. Dalam logika non-kontradiksi terdapat dua kutub yakni “itu” dan

“bukan itu”. Logika non-kontradiksi ini dapat dimengerti juga sebagai logika

biner atau logika ‘ya’ atau ‘tidak’. Dengan menolak logika biner Khora dengan itu

tidak dapat dijelaskan dengan mengatakan ‘Khora merupakan sebuah wadah’ atau

‘Khora bukan merupakan sebuah wadah.’ Khora bagi Derrida tidak lahir dari

logika yang alami dan legitim. Ia berasal dari sebuah “hybrid, or even corrupted

reasoning.” Sebagai hasil dari rasio yang korup, maka Khora tidak bisa

dimasukkan dalam genus pertama maupun genus kedua. Genus pertama adalah

yang abadi (paradigma, model), sedangkan genus yang kedua adalah yang

berubah (indrawi). Khora adalah genus yang ketiga (triton genus). Genus yang

ketiga tersebut neither intelligible nor sensible; both intelligible and sensible.24

Pemahaman tentang khora bagi Derrida harus diletakkan dalam proses

pemaknaan yang terus menerus. Itu artinya, tidak ada sebuah nama yang tepat,

bagi Khora karena setiap penamaan atas khora akan beresiko pada sebuah

anakronisme. Tidak adanya finalitas bagi pemaknaan atas Khora harus dipahami

karena Khora bukanlah suatu nama; ia melampaui nama. Sesuatu yang ingin

dihindari Khora ialah nama itu sendiri. Gambaran tentang keadilan sebagai

sesuatu yang tidak mungkin, atau melampaui keterputusannya dapat dipahami dari

kaca mata ilustrasi khora.

2.2.2 Nietzsche: Kehendak Berkuasa

24
John D Caputo, Deconstruction in A Nutshell, 91.

11
Pemikiran Derrida juga sangat dipengaruhi oleh gaya berpikir Nietzsche.

Melalui Nietzsche, pandangan mengenai differance memperoleh aksentuasi yang

radikal. Nietzsche memperingatkan bahwa apa yang kita asumsikan sebagai

kebenaran muncul dari perbedaan kita dalam mempersepsi sesuatu 25 dan

merupakan bagian yang terelakkan dari sejarah yang dibentuk oleh akumulasi

kesalahan-kesalahan (history of error). Dalam kebenaran yang falible, kekeliruan

tidak lagi dipandang sebagai antitesis atau konsekuensi logis dari oposisinya

dengan kebenaran. Differance bekerja dalam falibitas kebenaran semacam ini.

Derrida mengakui bahwa paradoks-paradoks Nietzschean berperan besar dalam

pengembangan dekonstruksi.

Nietzsche memelopori gerakan yang membebaskan metafisika dari beban

kehadiran dan masa lalu dengan mempermainkan ambisi besar filsafat. Dalam

upayanya itu, Nietzsche berangkat dari moralitas Dyonisian yang mengagungkan

semangat pembebasan atas naluri-naluri bawah sadar yang direpresi oleh

kesadaran dan pusat-pusat yang distabilkan oleh filsafat.26 Nietzsche, sebagaimana

Derrida, menolak dengan sinis ontologi yang terlalu memusatkan diri pada

pencarian logos.27 Bagi Derrida, Nietzsche telah memulai sebuah dekonstruksi

yang benar-benar berbeda dengan destruksi Heideggerian. Dalam hal ini destruksi

Heidegger masih mengandaikan adanya kebenaran asli (original truth) dan

berusaha memulihkan keadaan ontos dalam metafisika. Sebaliknya, Nietzsche

25
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, 119-120.
26
Nietzsche mengkritik corak berpikir zaman Plato yang berusaha mencari arche segala sesuatu
dan menempatkannya sebagai tolok ukur. Menurutnya, kehendak berkuasa lahir dari penemuan
mengenai the idea of Good ini, Catherine H Zuckert, Posmodern Platos, The University of
Chicago Press, London, 1996, 17.
27
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, 121.

12
menolak status kebenaran sebagai origin. Kebenaran ditafsirkan sebagai

ketidakmungkinan mencapai origin itu sendiri.

Bagi Derrida, nihilisme Nietzsche hanyalah satu bentuk dari

ketidakmungkinan kita untuk mencapai kebenaran lantaran différance yang terus-

menerus terjadi melalui bahasa dan tanda. Perkataan Nietzsche bahwa “Gott ist

tot” menunjukkan bahwa kita sepenuhnya tidak mampu berbicara mengenai

Tuhan. Derrida juga melihat undangan Nietzsche untuk selalu terbuka –

menyadari keterbatasan sebagai manusia – menuju sebuah teologi negatif. Teologi

ini menunjukkan bahwa manusia sama sekali tidak dapat berbicara tentang Tuhan

karena kemustahilan-Nya untuk diketahui. Pengetahuan manusia tentang Tuhan

hanyalah reduksi terselubung terhadap kebenaran-Nya yang tak terbatas (infinite).

Agar kebenaran tentang Tuhan tidak tereduksi, teologi negatif mengajarkan

bahwa klaim atas kebenaran selalu dimulai dengan negativitas. Dengan kata lain,

kita harus menunda apa yang kita yakini sebagai kebenaran. Ketidakmungkinan

untuk mengklaim kebenaran mendorong kita untuk tetap terbuka terhadap

kemungkinan yang lain. Dengan différance, ketidakmungkinan itu diradikalkan

hingga tahap yang benar-benar tidak mungkin utnuk dibayangkan.28

2.2.4 Martin Heidegger: Destruksi Metafisika

Dalam paragraf VI dari Sein und Zeit, martin Heidegger berbicara

mengenai sebuah “destruksi” metafisika, yakni mengenai sebuah interpretasi yang

28
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, 122.

13
ia lakukan untuk mengatasi metafisika Barat sebagai suatu keseluruhan. 29 Melalui

pemikirannya, Heidegger mencoba merahabilitasi fungsi ontologi dalam filsafat

sekaligus melakukan kritik terhadap metafisika klasik. Pertama, Heidegger

berusaha memikirkan kembali Ada (ontos) yang terlupakan oleh metafisika dan

dikesampingkan sebagai struktur keberadaan Dasein. Upaya pemulihan kembali

fungsi ontologi bertujuan membiarkan Ada kembali tersingkap dari pelupaan

dalam metafisika klasik. Puncak dari pelupaan ini ada dalam paradigma Cartesian

yang mensubordinasi ontos di bawah cogito. Hal ini sangat gamblang terlihat dari

seruan Descartes, “Cogito ergo sum,” saya berpikir, maka saya ada. Dari

pernyataan ini, pelupaan mengenai Ada terlihat, di mana Descartes

memprioritaskan cogito atas sum dan menjadikan “berpikir” sebagai kunci utama

keberadaan Dasein. Kedua, Heidegger berusaha merestorasi kaitan antara waktu

dan Ada, juga kaitan antara waktu dan cara-mengada Dasein serta persentuhan

Dasein dengan mengada-mengada lain – benda-benda dan orang lain.30 Secara

sederhana, gambaran mengenai destruksi metafisika Heideggerian menunjukkan

dua, yakni uapaya mempertanyakan Ada dan menunjukkan bahwa Ada

menampakkan diri kepada Dasein.

Untuk menyingkapkan Ada, pertama-tama harus diasumsikan bahwa Ada

telah dilupakan. Oleh karena itu, untuk memulai sejarah baru ontologi, pelupaan
29
Sebagaimana jelas dalam analisisnya mengenai waktu, Heidegger menganggap metafisika
sebagai sutau pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran (presence), yaitu sebagai sesuatu yang
“memahami” (masa kini atau kehadiran) dengan mengingat modus waktu tertentu. Hal ini tentunya
berkaitan dengan pemikiran yang biasa disebut orang “interpretasi”, yakni menghadirkan ke masa
kini makna sebuah teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulisnya. Heidegger ingin
melampaui interpretasi makna Ada seperti itu dengan mencoba memikirkan sesuatu yang ada di
luar tradisi metafisika Barat. Dengan cara ini, sejatinya Heidegger tengah mempersiapkan
penyelesaian suatu era yang ia sebut “metafisika.”F Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, 163-
164.
30
Masykur Arif Rahman, Sejarah Filsafar Barat, IRCiSoD, Yogyakarta, 2013, 387-388.

14
akan Ada harus segera diakhiri dengan fase penyingkapan, yakni dengan

mengingat kembali Ada dan membedakan Ada dan Mengada. Dalam pemikiran

Heidegger, terhapusnya Ada, selalu berada dalam kemungkinan untuk disingkap –

epoché yang terus-menerus menandai perbedaan ontologis anatara Ada dan

Mengada. Pada tahap ini, Ada menyingkapkan diri pada Dasein. Menurut

Heidegger, Ada dilihat sebagai yang tampak atau “ketaktersembunyian.”31

Menurut Derrida, penyingkapan akan Ada tidak akan meninggalkan apa-

apa selain jejak-jejak. Yang tersisa dari penghadiran adalah jejak yang terus

menunda kehadiran (defférance) namun pada saat yang sama juga menunda

penyingkapan Ada dengan kelupaan-kelupaan yang baru. Perbedaan ontologis

antara kehadiran Ada dan penghadiran Ada, murni lahir dari différance. Di sini,

différance dipahami sebagai penunjuk atau nama bagi yang-tidak-hadir. Akan

tetapi, différance tetap menjadi nama metafisik – nama bagi sesuatu yang tidak

dapat dinamai (the unnameable). Nama metafisik bagi yang-tidak-ternamai, tidak

berarti bahwa différance adalah nama sementara bagi yang-tidak-ternamai itu.

Dengan kata lain, kita tidak akan pernah menemukan nama bagi yang-tidak-

ternamai.32

2.2.5 Emmanuel Levinas: Relasi dengan yang lain

31
Selanjutnya kata “ketidaktersembunyian” ini dipakai Heidegger sebagai interpretasi untuk
kebenaran. Kata alétheia (Yunani): a: tidak dan léthe: ketersembunyian. Jadi, alétheia berarti
ketidaktersembunyian un-hiddenness atau ketersingkapan, Vladislav Suvák, “The Essence of
Truth (aletheia) and the Western Tradition in the Thought of Heidegger and Patocka. In: Thinking
Fundamentals,” dalam IWM Junior Visiting Fellows Conferences, Vol. 9: Vienna 2000, 10,
diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, 12.17.
32
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, 142-143.

15
Buku Force of Law juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Emmanuel

Levinas – Totality and Infinity (1969). Pemikiran Levinas sangat menunjukkan

karakter etika dalam relasi.33 Latar belakang ke-Yahudia-an antara keduanya,

mendorong mereka untuk mengekplorasi tema yang sama. Dalam différance34,

Derrida menegaskan bahwa ‘pemikiran mengenai différance menunjukkan

keseluruhan kritik ontologi klasik yang dilakukan Levinas, khususnya gagasan

Levinas tentang jejak (trace) yang kemudian dipakai Derrida sebagai

kesederhanaan absolut, yakni mengenai yang lain.’35 Istilah ‘jejak’ ini, kemudian

menunjukkan kemungkinan gaya berpikir yang melampaui oposisi biner

mengenai yang hadir (presence) dan yang tidak hadir (absence). Selain itu,

Levinas juga memberi orientasi mengenai diskursus dalam Of Gramatology

melalui peran istilah ‘bekas atau jejak’ dalam mendekonstruksi kehadiran. Derrida

mengakui bahwa gagasannya sangat dipengaruhi oleh kondisi kemungkinan etis.

Menurut Derrida, “Tidak ada etika tanpa kehadiran yang lain, akan tetapi,

konsekuensinya, tanpa ketidakhadiran, disimulasi, jalan memutar, différance dan

mengakui tulisan.”36 Artinya, segala yang ditempatkan pada hitungan kelas kedua

dan yang dilupakan menjadi diakui. Konsep keadilan yang ditawarkan Derrida

mengadopsi gagasan Emmanuel Levinas mengenai ke-lain-an dari yang lain.

Derrida mengatakan demikian,

33
“Levinas’s concern for the Other in which what Derrida calls his ‘ethics of ethics,” James K. A
Smith, Jacques Derrida Live Theory, 76.
34
Kata yang memiliki keluasan makna. Kata ini kemudian diterjemahkan sebagai “menunda,
menangguhkan, memberi waktu rehat, F Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, 166.
35
Jacques Derrida, Speech and Phenomena - And Other Essays on Husser vs Theory of Signs,
Northwestern University Press, Evanston 1973, 152.
36
Jaques Derrida, Of Gramatology, diterj. Gayatri Chakravorty Spivak, The Johns Hopkins
University Press, Baltimore and London, 1997, 139-140.

16
“Saya akan melakukannya hanya karena ketakterbatasan ini dan
karena hubungan yans tergantung pada yang lain (autrui), menuju
wajah orang lain yang memerintahkan saya, di mana
ketakterbatasannya, tidak dapat dipahami dan akhirnya menyandera
saya.”37

Dalam Totality and Infinity, Levinas mengatakan “the relation with the

other – that is to say, justice.” 38 Inilah keadilan yang didefinisikan sebagai

kegamblangan (Inggris: the straightforwardness) atas penerimaan terhadap yang

lain. Ungkapan keterus-terangan atau kegamblangan ini tidak bisa direduksi ke

dalam hukum.39 Levinas juga berbicara mengenai sebuah hak ketakberhinggaan,

di mana ia menyebutnya dengan istilah “humanisme Yahudi.” Basis dari konsep

ini tidak bermuara dari gagasan mengenai manusia, tetapi mengenai yang lain:

keluasan hak yang lain ini, secara praktis tidak terhingga. 40 Menurut Levinas,

istilah kesetaraan tidak berarti sama, tidak berkaitan dengan jumlah yang dapat

diperhitungkan, tidak berhubungan dengan distribusi yang sewajarnya, juga tidak

berhubungan dengan keadilan distributif, tetapi lebih berhubungan dengan relasi

asimetris (absolute dissymmetry).41

Bagi Levinas, keadilan dan kebajikan dilaksanakan sebagai penghormatan

akan orang lain dan yang sama sekali lain (the wholly other), yakni Allah. Wajah

mengilang dari tatapan kita ketika saya menghampiri wajah dengan konsep atau

37
“I would do so just because of this infinity and because of the heteronomic relation to the other
(autrui), to the face of the other that commands me, whose infinity I cannot thematize and whose
hostage I am.”, Jacques Derrida, Force the Law, 250.
38
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, diterj. A. Lingis, Duquesne University Press,
Pittsburgh, 1969, 89.
39
Jacques derrida, Force the Law, 250.
40
Emmanuel Levinas, Nine Talmudic Readings, diterj. Annette Aronowicz, Indiana University
Press, Bloomington, 1990, 98.
41
Jacques Derrida, Force of Law, 250.

17
kategori yang saya miliki. Dalam hal ini, percakapan yang saya mulai tidak lagi

menjadi momen etis untuk berdialog, tetapi menjadi kesempatan untuk

menaklukan orang lain ke dalam konsep atau kategori yang saya bangun. Pada

momen ini, kekerasan mulai muncul dengan menempatkan kotegori yang ada

pada saya kepada orang lain. Menurut Derrida, wajah tidak dapat direduksi,

karena ia tidak berasal dari kategori yang ada pada kesadaran. Wajah adalah jejak

dari kehadiran orang lain yang tertunda – différance yang tidak memiliki asal

usul. Wajah melampau segala kategori, konsep, dan makna. Alteritasnya tidak

berasal dari ego. Kekerasan metafisik berlangsung justru karena relasi kita dengan

orang lain bersifat disimetris – saya mengandaikan bahwa saya adalah archia42

bagi orang lain. kita tidak bisa membangun hubungan dengan orang lain kecuali

jika kita mengakui différance yang menunda kehadiran dan totalitas saya sebagai

ego.

2.3 Karya-karya Jacques Derrida43

Derrida muda adalah seorang yang rakus membaca. Sejak kecil, ia sudah

terbiasa untuk membaca banyak buku. Kecintaannya pada dunia membaca

menyekolahkannya menjadi seorang penulis yang handal di kemudian hari. Hal

ini ditandai dengan banyaknya karya yang ditulis Derrida selama hidupnya.

Karya-karyanya selalu menjadi rujukan bagi berbagai penelitian atau studi pustaka

atas sebuah tulisan. Ide-ide cemerlang dan kritis yang kini menjadi basis

42
Kata ini berarti asal usul atau sumber kebenaran yang dipakai untuk membangun asumsi-asumsi
filosofis, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, 26.
43
Karya-karya Derrida dirangkum dari berbagai sumber, terutama dari tulisan Benoît Peeters
mengenai biografi Jacques Derrida dan rangkuman talusian James K. A Smith mengenai komentar
atas pemikiran Derrida, Benoît Peeters, Derrida – A Biography, Polity Press, Cambridge, 2013 dan
James K. A Smith, Jacques Derrida Live Theory, Continuum, New York & London, 2005, 120-
125.

18
eksplorasi pengetahuan akademis, tentunya tidak terlepas dari situasi dan kondisi

yang melingkari kehidupan Derrida. Tulisan-tulisan Derrida, seringkali lahir dari

sebuah ungkapan “perlawanan” atas rezim yang menguasai saat itu. Perjumpaan

Derrida dengan para pemikir lainnya, seperti Michel Foucault, Levinas, Husserl,

dll, mendorongnya untuk melahirkan karya-karya baru. Adapun karya-karya

Derrida, antara lain: The Origin of Geometry, (1962), diterj. John P. Leavey,

Paris: Universitas Prancis; Of Gramatology, (1967), diterj. Gayatri Chakravorty

Spivak, Baltimore: John Hopkins University Press; Writing and Difference,

(1967), diterj. Alan Bass, Chicago: University of Chicago Press; Speech and

Phenomena, (1967), diterj. David B. Allison, Evanston: Northwestern University

Press; Dissemination, (1972), diterj. Barbara Johnson, Chicago: University of

Chicago; Margins of Philosophy, (1972), diterj. Alan Bass, Chicago: University of

Chicago; Glas, (1974), diterj. John P. Leavey dan R Rand, Lincoln: University of

Nebraska; The Post Card: From Socrates to Freud and Beyond, (1980), diterj.

Alan Bass, Chicago: University of Chicago; The Problem of Genesis in Husserl’s

Philosophy, (1990), diterj. Marian Hobson, Chicago: University of Chicago;

Given Time: I. Counterfeit Money, (1991), diterj. Peggy Kamuf, Chicago:

University of Chicago; The Gift of Death, (1992), diterj. David Wills, Chicago:

University of Chicago; Force of Law: The Mystical Foundation of Authority,

(1992) dalam Cardozo Law Review, dicetak ulang menjadi Deconstruction and

the Possibility of Justice, Drucilla Cornell, Michael Rosenfeld dan David Gray

Carlson (ed), New York: Routledge; Specters of Marx, (1993), diterj. Peggy

Kamuf, New York: Routledge; Limited Inc., (1988), diterj. Samuel Weber,

19
Evanston: Northwestern University Press; Politics of Friendship, (1994), diterj.

George Collins, London: Verso; Passions – On the Name, (1993), diterj. David

Wood, John P Leavey dan Ian McLeod, Stanford: Stanford University Press;

Resistances of Psychoanalysis, (1996), diterj. Peggy Kamuf, Pascale-Anne Brault

dan Michael Naas, Stanford: Stanford University Press; Of Hospitality, (1997),

diterj. Rachel Bowlby, Stanford: Stanford University Press; Adieu to Emmanuel

Levinas, (1997), diterj. Pascal-Anne Brault dan Michael Naas, Stanford: Stanford

University Press; Veils, (1998), diterj. Geoffrey Bennington, Stanford: Stanford

University Press; Deconstruction Engaged: The Sydney Seminars, (2001), Paul

Patton dan Terry Smith (ed), Sydney: Power Publications; On Cosmopolitanism

adn Forgiveness, (2001), diterj. Mark Dooley, London: Routledge; Without Alibi,

(2002), diterj. Peggy Kamuf, Stanford: Stanford University Press.

Selain karya-karya di atas, tulisan Derrida juga dapat ditemukan dalam

hasil wawancaranya dengan tokoh-tokoh tertentu, diantaranya Positions, 1972

(Paris: Editions de Minuit), diterj. Alan Bass, Chicago: Chicago University Press;

Points....: Interviews, 1974-1994, (1992), diterj. Elisabeth Weber, Stanford:

Stanford University Press dan For What Tomorrow: A Dialogue, (2001), diterj.

Jeff Fort, Stanford: Stanford University Press. Derrida juga aktif menulis di jurnal

Critique dan Tel Quel.

Karya-karya Jaques Derrida merambah ke seluruh tema. Banyak tema

diangkat ke dalam sebuah maha-karya yang membangkitkan impuls akademis

seseorang. Konsep inti yang terus dipakai hingga saat ini adalah mengenai

dekonstruksi. Istilah ini – dengan keluasan definisi dan maknanya – mengantar

20
orang untuk memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan analisis teks.

Derrida memperkenalkan dekonstruksi sebagai sebuah cara baru membaca teks

tanpa berpegangan pada maksud dan latar belakang sebuah teks. Berbeda dari

hermeneutik normal yang mencoba merekonstruksi kembali isi asli sebuah makna

atau suatu jaringan makna, dekosntruksi justru meninggalkan usaha rehabilitasi

yang demikian. Alih-alih menampilkan kehadiran makna asli sebuah teks,

dekonstruksi justru mengandaikan ketidakhadiran makna primordial (ursinn).44

Derrida merombak segala rezim kepastian dengan gagasannya mengenai

dekonstruksi.

2.4 Rangkuman

Jacques Derrida adalah pemikir yang kritis. Karakter horizon berpikirnya,

tentunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya, yakni sebagai orang

Yahudi. Sebagai seorang Yahudi, ia banyak kali diperlakukan tidak adil dalam

masyarakat dan sering dikucilkan dari lingkungannya. Latar belakang ke-Yahudi-

an Derrida, akhirnya mendorong dia mencari jalan keluar sendiri untuk

“melawan” tradisi dan kebiasaan anti-Semit yang mengungkung mereka.

Gagasan-gagasan yang lahir dari upaya ”perlawanan” atau “pemberontakan” ini

akhirnya justru memengaruhi kultur akademis banyak orang.

Pemikiran Derrida lahir dari sebuah perjumpaan akademis dengan tokoh-

tokoh ternama lainnya. Dalam mengeksplorasi gagasan-gagasannya, Derrida juga

sangat dipengaruhi tokoh-tokoh, seperti Plato, Frederich Nietzsche, Edmund


44
F Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, 163.

21
Husserl, Heidegger, Levinas, Sigmund Freud, Ferdinand de Saussure, dll.

Gagasannya tentang dekonstruksi lahir dari pembacaan ulang atas teks Plato

mengenai istilah khora dan pharmakon. Kedua istilah ini dipakai Derrida untuk

menunjukkan bagaimana makna sebuah kata tidak bisa distabilkan. Selain Plato,

Derrida juga dipengaruhi oleh Frederich Nietzsche. Kehendak berkuasa

Nietzschean melumpuhkan segala model pembakuan makna. Menurut Nietzsche,

tidak ada kebenaran final – yang ada hanyalah interpretasi atas interpretasi. Segala

bentuk interpretasi melahirkan bentuk interpretasi berikutnya, tanpa finalitas.

Melalui Heidegger, Derrida melanjutkan upaya destruksi atas metafisika

yang berusaha melupakan Ada. Dalam ontoteologi Heideggerian, metafisika

diklaim sebagai upaya mereduksi Ada yang sesungguhnya. Kebenaran yang

sesungguhnya dimanipulasi oleh metafisika Barat dengan mencerabut sebagian

dari unsur kebenaran itu sendiri dan menempatkannya sebagai realitas yang

sesungguhnya. Derrida sepakat dengan Heidegger bahwa dalam sebuah upaya

pemecahan persoalan, selalu ada hal yang tidak terputuskan. Dengan kata lain,

dari sesuatu yang terputuskan, selalu ada hal yang masih belum terputuskan secara

sempurna. Maka, keterbukaan untuk menerima berbagai interpretasi baru selalu

dimungkinkan. Penerimaan yang lain ini, kemudian ditegaskan lagi oleh Levinas.

Menurut Levinas, keterbukaan untuk menerima yang lain adalah panggilan

menuju keadilan. Yang lain dengan segala kekayaannya – sungguh berbeda dari

aku – memerintahku untuk menerimanya. Bagi Derrida, menerima yang lain, yang

tidak mungkin adalah keadilan.

22
Derrida menulis banyak karya. Kecintaannya pada dunia tulis dan gaya

berpikirnya yang kritis melahirkan banyak karya baru. Selain menulis banyak

buku, Derrida juga aktif menulis di berbagai majalah, kolom, jurnal, esai dan rajin

memberikan ceramah di berbagai universitas. Sejak 1986, Derrida berturut-turut

menerima gelar doktor kehormatan dari universitas Cambridge, Universitas

Colombia, the New School for Social Research, Universitas Essex, Universitas

Loovain, dan Williams College.

23

Anda mungkin juga menyukai