Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA

TENTANG SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

DISUSUN OLEH :

NAMA : HARYA PRADANA

NIM : 2274201016

DOSEN : DODDY TRI PURNAWINATA. S.H. M.H

FAKULTAS ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SERASAN

2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dasar negara sangat penting bagi suatu bangsa. Tanpa dasar negara, negara akan goyah,
tidak mempunyai tujuan yang jelas dan tidak tahu apa yang ingin dicapai setelah negara tersebut
didirikan. Sebaliknya dengan adanya dasar negara, suatu bangsa tidak akan terombang ambing
dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dapat datang darimana saja.

Kita sebagai bangsa Indonesia mengetahui bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila adalah lima dasar, pancasila sebagai dasar negara memiliki sejarah yang tak lepas dari
kemerdekaan Indonesia. Kita sebagai bangsa Indonesia harus mengenal sejarah pancasila.
BAB II

PEMBAHASAN

MENGENAL SEJARAH PANCASILA

2.1. Kolonialisme Belanda

Sejarah Pancasila tidak bisa dipisahkan dari kisah perjuangan bangsa Indonesia mengusir
kolonialisme dan mendirikan Negara merdeka bernama Republik Indonesia.

Sejarah resmi yang diajarkan di SD menyebut Indonesia dijajah 350 tahun atau tiga setengah
Abad lamanya. Tetapi angka ini masih kontroversi. Sebab, Belanda dengan nama VOC baru muncul
pada 1602 (343 tahun). Sementara ada yang mengatakan, VOC itu hanya kongsi dagang, belum
mewakili Belanda. VOC bubar tahun 1799. Artinya, Belanda secara resmi mengambil-alih
Indonesia pada 1800-an. Tetapi, terlepas dari kontroversi itu, Belanda menjajah Indonesia cukup
lama. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan Belanda menjalankan politik pecah-belah atau
devide et impera.

Sejak kemunculan VOC di Indonesia, hingga berganti nama menjadi Hindia-Belanda,


perlawanan bangsa Indonesia tidak pernah terhenti sama sekali. Aceh baru takluk pada 1904,
sedangkan Bali dikuasai Belanda tahun 1906. Memang, perlawanan sejak kedatangan VOC hingga
1906 itu mengalami kekalahan. Ada beberapa penyebab: pertama, perlawanan itu dilakukan
terpecah-pecah, sendiri-sendiri, di masing-masing daerah; dan kedua, semangat perlawanan itu
masih didorong sentimen yang bersifat primordial, seperti semangat mempertahankan daerah,
tradisi dan agama.

Baru setelah memasuki abad ke-20 muncul semangat perlawanan baru, yaitu kebangsaan
Indonesia atau nasionalisme Indonesia. Alat perlawanannya pun sudah sangat modern, yaitu
organisasi. Dimulai dari gagasan-gagasan Kartini, Tirto Adhisuryo (pendiri Sarekat Priayi tahun
1906 dan Sarekat Dagang Islamiyah/SDI tahun 1909), hingga pendirian Boedi Oetomo.

Sejak saat itu mulai muncul kesadaran baru tentang bangsa (Nation), bahwa manusia yang
mendiami kepulauan Nusantara punya kesamaan nasib, kesamaan kehendak untuk bersatu, dan
punya kesamaan cita-cita (menjadi bangsa Merdeka yang adil dan makmur). Para penjajah Eropa
menyebut daerah jajahannya di Asia tenggara dengan sebutan Hindia timur. Masing-masing
wilayah di Hindia Timur ini disesuaikan dengan nama penjajahnya. Hindia-Belanda untuk wilayah
yang dikuasai oleh Belanda. Ada juga Hindia-Spanyol (Indias Orientales Españolas), dan Hindia-
British (jajahan Inggris).

Pergerakan nasional di masa awal pun masih memakai nama Hindia. Misalnya Indische
Partij, yang didirikan oleh tiga serangkai Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangkukusumo dan
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), menggunakan nama “Hindia”. Nama Indonesia, yang
berasal dari istilah etnologi, baru dipakai tahun 1913 oleh Ki Hajar Dewantara untuk menamai
kantor berita Bumiputera di negeri Belanda: Indonesische Persbureau. Kemudian, pada 1922,
pelajar Indonesia di negeri Belanda sepakat mengadopsi nama Indonesia. Mereka mengubah nama
organisasinya dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging. Kemudian, di tahun
1924, koran organisasi ini, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Setahun
kemudian, giliran nama Indonesische Vereeniging resmi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia
(PI). Di tanah air, organisasi pertama yang memakai nama Indonesia adalah Partai Komunis
Indonesia pada tahun 1924—sebelumnya bernama Perserikatan Komunis Hindia.

2.2. Manipulasi Sejarah Pancasila

Pada masa Orde Baru berlangsung intensif apa yang disebut “De-Sukarnoisasi”, yaitu upaya
menghapus peranan dan pemikiran Sukarno dalam perjuangan bangsanya dalam ingatan rakyat
Indonesia. Salah satu bentuk dari proyek de-Sukarnoisasi itu adalah manipulasi sejarah Pancasila.
Orde baru melalui ideolognya, Nugroho Notosusanto, mulai menyusun sejarah manipulatif yang
menghilangkan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila.

Dalam uraian Nugroho, Soekarno bukanlah penemu Pancasila, orang pertama yang
mempidatokan lima dasar itu adalah Mohammad Yamin. Soekarno hanya memberi nama
“Pancasila”. Nugroho juga menyebut rumusan Pancasila yang otentik adalah yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Klaim Nugroho itu menuai
banyak bantahan. Pada Januari 1975, dibentuk Panitia Lima yang terdiri dari Mohammad Hatta,
Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, A.K. Pringgodidgo, dan Soenario—semua bekas anggota
BPUPKI. Panitia Lima menegaskan bahwa Sukarnolah yang pertamakali berpidato tentang lima
dasar yang kelak dinamai Pancasila. Mereka membantah klaim Yamin dan menuduhkan “pinter
nyulap”.

Yamin sendiri diketahui menyembunyikan dokumen arsip Sidang BPUPKI dari


Pringgodigdo (Pringgodigdo Archief), yang memuat arsip pidato tokoh-tokoh yang berpidato dalam
sidang BPUPKI dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Dokumen itu baru ditemukan kembali oleh
seorang sejarawan UI, AB Kusuma, pada tahun 1990. Dokumen itu membantah klaim Yamin dan
Nugroho Notosutanto. Selain memanipulasi sejarah penemu Pancasila, Orde Baru juga melarang
peringatan Hari Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni sejak tahun 1970. Sebagai gantinya, Orde
Baru menjadikan tanggal 1 Oktober, yang identik dengan keberhasilan Soeharto menumpas G.30
S/PKI, sebagai hari Kesaktian Pancasila. Hari lahirnya Pancasila baru dirayakan kembali tahun
2010 dan dinyatakan hari Libur Nasional oleh Presiden Joko Widodo sejak 2017.

2.3. Penyelewengan Pancasila

Di masa Orde Baru, kendati Pancasila masih diakui sebagai Dasar Negara, tetapi prakteknya
banyak menyimpang. Mulai dari penggunaan Pancasila sekedar sebagai alat “menjaga stabilitas”
hingga penjaga kekuasaan Orde Baru. Di zaman itu, siapapun yang mengeritik kebijakan
pemerintah dicap “anti-Pancasila”.

Di zaman Orba, Pancasila dijadikan doktrin kaku yang disakralkan. Diajarkan secara
dotriner melalui Penataran P4 bagi semua aparatus negara dan pelajar/mahasiswa (dari SD hingga
perguruan tinggi). Akibatnya, Pancasila kehilangan keunggulannya sebagai pengetahuan dan nilai
filosofis yang hidup dan membumi. Di sisi lain, banyak kebijakan orde baru yang menghianati
nilai-nilai Pancasila, mulai dari praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, pembungkaman demokrasi,
pelanggaran HAM, pembangunan yang timpang, dan pengelolaan ekonomi yang hanya
memakmurkan keluarga Soeharto dan kroninya. Setelah Orde Baru tumbang, lahir pemerintahan
reformis yang tetap berjarak dengan Pancasila. Kendati Pancasila tetap diakui sebagai Dasar
Negara, tetapi perilaku dan kebijakan penyelenggara negara tetap memunggungi nilai-nilai
Pancasila.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Bung Karno, sang penggali Pancasila, pernah bicara tentang Pancasila sebagai “Meja Statis”
dan “Leitstar Dinamis”. Pancasila sebagai “meja statis”berarti Pancasila sebagai dasar negara atau
fondasi bernegara yang statis, kokoh, tidak berubah sampai kapan pun. Di sini, nilai-nilai Pancasila
menjadi fondasi atau titik temu berbagai keragaman manusia Indonesia dari suku, agama, ras, adat-
istiadat, dan corak berpikir. Sebagai meja statis, Pancasila menjadi dasar negara yang
mempersatukan Bangsa Indonesia. Tetapi Pancasila juga sebagai leitstar atau bintang pimpinan
yang memberi arah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam menggapai cita-cita nasionalnya.
Ibarat kita sedang menumpang kapal di tengah laut, agar sampai di pelabuhan yang bernama
masyarakat adil dan makmur, maka Pancasila menjadi bintang penuntun arahnya. Dan sebagai
leitstar, Pancasila harus dinamis, harus selalu senapas dengan perkembangan zaman.

Kenapa harus dinamis? Pertama, Pancasila itu harus bisa melakukan appeal, atau
ajakan/seruan, agar rakyat terus mengikuti panggilannya. “Pancasila harus bisa menggerakkan
rakyat untuk berjuang menggapai cita-cita,” kata Bung Karno. Tentu saja, agar Pancasila bisa
menjadi appeal, dia tidak bisa menjadi doktrin yang kaku dan disakralkan seperti dipraktekkan di
zaman Orde Baru. Sebaliknya, Pancasila harus tampil sebagai perangkat gagasan atau pengetahuan
yang senapas dengan perkembangan zaman.

Kedua, Pancasila harus bisa menjawab persoalan kebangsaan setiap zaman. Di sini
Pancasila diharapkan tidak menjadi seperangkat gagasan yang menggantung di langit retorika,
tetapi bisa dipraktekkan sekaligus menjawab berbagai persoalan kebangsaan. Karena itu, sebagai
leitstar yang dinamis, Pancasila tidak perlu dipertentangkan dengan setiap upaya untuk menggali

dan memperkaya Pancasila dengan gagasan-gagasan yang memajukan dan lebih praksis.

Anda mungkin juga menyukai