Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Jika melihat konteks historis Mathlaul Anwar (MA) didirikan, MA merupakan
organisasi sosial keagamaan dan pendidikan yang mersepon kondisi sosial masyarakat
pada waktu itu. Pertama, kondisi masyarakat Menes, Pandeglang, Banten secara khusus
dan Indoesia secara umum masih di bayang-bayang oleh tekanan penjajah. Kedua,
mayoritas masyarakat Menes, padeglang, Banten tidak terdidik meyebabkan
kebodohan. Ketiga, akibat dibayang-bayang penjajah dan kebodohan membuat
masyarakat terjebak pada perbuatan syirik, bid‘ah dan khurafat. Salah satu contohnya
adalah Pada upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita
sebelum melaksaakan akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka harus terlebih
dahulu mengunjungi leluhurnya untuk memohon do’a restunya, agar tidak terjadi
sesuatu bencana aral melintang yang mungkin mengganggu jalannya upacara tersebut.
Contoh lain misalnya, Setiap orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus
mengucapkan mantera minta izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh
halus yang menempati tempat itu. Misalnya saja dengan kalimat “ampun paralun kanu
luhung”, “sang karuhun anu ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa, ulah ganggu
gunasita, kami incu buyut ki………..” (biasanya dengan menyebutkan nama
leluhurnya). Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki Jaminun dan sebagainya.
Melihat fenomena tersebut, Mathlaul Anwar mencoba memperbaiki keadaan
masyarakat sekitar dengan mendirikan madrasah. Setelah mendapatkan sebidang tanah
yang diwakafkan Ki Demang Entol Djasudin, yang terletak di tepi jalan raya,
dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong-royong oleh seluruh
masyarakat Islam Menes.
Bahkan ketika, pendidikan khusus perempuan masih jarang ada yang
menyentuh, Pada tahun 1929 didirikan madrasah putri Mathla’ul Anwar dengan tiga
tokoh yang menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan
Nyi Aisyah. Disamping kegiatan belajar mengajar di madrasah dan pesantren bagi
murid-murid, juga setiap hari Kamis setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti
pengajian yang diselenggarakan di masjid Soreang, Menes. Di situ KH. Mas
Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai pengajian pusat. Tujuannya adalah dalam
rangka memperluas dan memperdalam ilmu Islam. Dengan cara itu, akhirnya kyai-kyai

1
pimpinan Mathla’ul Anwar dapat berfikir dan berwawasan luas, tidak mengurung diri
dalam satu pendapat seorang ulama saja.
Tetapi jika membicarakan seputar organiasasi sosial keagamaan dan pendidikan,
nama Mathlaul Anwar, kalah popular dibandingkan dua organiasi besar di Indoensia
yatu Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Padahal, jika kita melihat Konteks Historis,
Mathlaul Anwar, sepuluh tahun lebih awal dibandingan dengan Nahdatul Ulama.
Mathlaul Anwar berdiri tahun 1916 setelah sebelumnya Muhammadiyah berdiri tahun
1912, baru kemudian Nahdatul Ulama tahun 1926.
Sekarang usia MA yang hampir satu abad (97 Tahun), sudah tentu banyak
dinamika yang terjadi pada organiasi ini. Makalah ini akan mengangkat dinamika-
dinamika itu termasuk didalamnya, sejarah, perkembangan, friksi, sampai tantangan
MA kedepan. Ini sangat berguna bagi sejarah perkembangan organiasi sosial
keagamaan khususnya di Banten dan di Indoensia pada umumnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis mengambil beberapa rumusan
masalah di antaranya :
1. Bagaimana Sejarah Berdirinya OrganisasiMathlaul Anwar?
2. Bagiaman Peranan Mathlaul Anwar Dalam Bidang Pendidikan Dan Sosial
Kegamaan?
3. Apa Tantangan Kedepan Mathlaul Anwar Dalam Mewujudkan Visi Sosial
Keagamaan Dan Pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui Sejarah Berdirinya OrganisasiMathlaul Anwar.
2. Mengetahui Peranan Mathlaul Anwar Dalam Bidang Pendidikan Dan Sosial
Kegamaan.
3. Mengetahui Tantangan Kedepan Mathlaul Anwar Dalam Mewujudkan Visi Sosial
Keagamaan Dan Pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Mathlaul Anwar
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial
Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin
dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini
merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.1
Pasca akhir Kesultanan Banten inilah penjajah Belanda mulai leluasa
menancapakan jajahanya di Banten. Peridoe inilah periode yang sangat
menghawatirkan.Banyak masyarakat yang tertindas.Cermin ini bisa kita lihat, ketika
Belanda membuat jalan yang membantang Anyar-Panarukan, banyak korban jiwa yang
melayang.Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar
indoensia mengatakan “Aspal yang di buat jalan yang membentang dari Ayar-
Panarukan adalah darah dan air Mata”.Begitulah gambaran Pramoedya Ananta Toer,
melukiskan tentang banyaknya korban jiwa yang meninggal.
Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-
niaga masyarakat pribumi, system ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga
menghancurkan sistem idiologi negara sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan
rakyat di negara jajahan bercerai berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan
peperangan antar golongan dalam kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik
adu domba yang dilancarkan Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan
sengketa politik antar elite dan pewaris kesultanan yang tak jarang melahirkan
peperangan lokal.2
Pada zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai
bentuk simbolisme harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya.
Masyarakat petani yang walaupun sudah memluk agama Islam, jika memulai menuai
padi, terlebih dahulu akan mengadakan upacara “mipit”. Upacara ini adalah membuat
sesajian untuk menyuguh Dewi Sri atau Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi
yang berwenang untuk memberkahi padi. Suatu jangjawokan (mantera dalam bahasa
Sunda) yang sudah menjadi aksioma adalah “mipit” amit ngala menta”. Artinya,
mengambil apa pun dari suatu tempat, berupa apa saja, harus izin terlebih dahulu

1
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banten.

2
http://yudihendriawan.blogspot.com/2009/11/sejarah-berdirinya-mathlaul-Anwar.

3
kepada roh halus yang menguasai tempat tersebut. Kalau setelah melakukan sesuatu
kemudian mendapat musibah, seperti sakit kepala atau demam, atau tersandung apa
saja, kemudian akan dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap sembrono
(sembarangan). Yaitu tidak minta izin kepada yang membahurekso (bahasa Jawa) atau
nu ngageugeuh (bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat akan menanya kepada
orang yang dianggap tua dan mengerti tentang yang gaib, yang biasanya berupa seorang
dukun. Sang dukun kemudian akan memberikan petunjuk tentang apa yang harus
dilakukan sebagai langkah penebusanatas kesalahannya.3
Dibidang pendidikan Di bawah kekuasaan Belanda rakyat Banten bukan
bertambah baik, malah semakin melarat dan terbelakang. Kondisi ini hampir di alami
oleh seluruh rakyat di seluruh nusantara. Guna mengatasi permasalahan tersebut
pemerintah Belanda memberlakukan politik etis. Program politik etis yang dijalankan
oleh pemerintah Belanda, di antaranya membuat irigasi buat mendukung pertanian
rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi bumiputra. Ternyata program tersebut gagal
memberikan manfaat bagi penduduk desa. Hal ini terjadi, karena yang bisa menikmati
sekolah itu hanya sebagian kecil rakyat saja terutama orang-orang yang berada di kota
dan siap jadi calon ambtenar (pegawai Belanda).4
Pendidikan Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang diselenggarakan
oleh para Kyai secara individual dan tradisional. Pendidikan ini penuh dengan segala
keterbatasannya, baik dalam hal sarana, dana, maupun manajemennya. 5 Sehingga secara
singkat kondisi Banten pada waktu itu berikut ini: Pertama, secara politik Banten
sedang mengalami penjajahan. Kedua, secara ekonomi masyarakat hidup dalam
kesusahan. Ketiga, secara sosial keagamaan, masyarakat Banten hidup dalam syirik dan
kurafat. Keempat, kondisi pendidikan yang tidak layak.
B. Kelahiran Mathlaul Anwar
Mersepon kondisi tersebut, para kyai mengadakan musyawarah di bawah
pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Sholeh serta para ulama
yang ada di sekitar Menes, bertempat di kampung Kananga. Akhirnya, setelah
mendapatkan masukan dari para peserta, musyawarah mengambil keputusan untuk
memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar di Makkah al Mukarramah. Ia

3
Ibid.
4
Ibid.
5
Ibid.

4
tengah menimba ilmu Islam di tempat asal kelahiran agama Islam kepada seorang guru
besar yang juga berasal dari Banten, yaitu Syekh Mohammad Nawawi al Bantani.
Ulama besar ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai
seorang fakih, dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam. Dialah
KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun 1868, di kampung
Janaka, Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten Pandeglang, Karesidenan
Banten.
KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah suci sekitar tahun
1910 M. Dengan kehadiran seorang muda yang penuh semangat untuk berjuang
mengadakan pembaharuan semangat Islam, bersama kyai-kyai sepuh, dapatlah
diharapkan untuk membawa umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup
yang terang benderang, sesuai ayat al-Qur’an “Yukhriju hum min al dzulumati ila al
nur”.
Pada tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916
M, para Kyai mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam
dalam bentuk madrasah yang akan dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal
10 Syawwal 1334 H/9 Agustus 1916 M. Sebagai Mudir atau direktur adalah KH. Mas
Abdurrahman bin KH. Mas Jamal dan Presiden Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari
kampung Kaduhawuk, Menes, serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat
di sekitar Menes.Selengkapnya para pendiri Mathla’ul Anwar :
1. Kyai Moh. Tb. Soleh
2. Kyai E.H. Moh Yasin
3. Kyai Tegal
4. Kyai H. Mas Abdurrahman
5. K.H. Abdul Mu’ti
6. K.H. Soleman Cibinglu
7. K.H. Daud
8. K.H. Rusydi
9. E. Danawi
10. K.H. Mustagfiri
Adapun tujuan didirikannya Mathla’ul Anwar ini adalah agar ajaran Islam
menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka disepakati untuk menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam,
mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke

5
berbagai penjuru tanah air yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan
Belanda. Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam
kebodohan dan kemiskinan.6
Mengenai program pendidikan diselenggarakan program pendidikan 9 (sembilan)
tahun. Yaitu mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI dan kelas VII. Belum ada
pemisahan tingkat Ibti-daiyah dan tingkat Tsanawiyah. Disamping pendidikan dengan
sistem klasikal dalam bentuk madrasah, sebagai langkah modernisasi; juga dibuka
lembaga pendidikan dengan sistem pesantren. Model ini tetap dihidup-suburkan,
bahkan dikore-lasikan dengan sistem sekolah. Guru-guru yang mengajar di madrasah
pada pagi hari, pada sore dan malam harinya, di rumah masing-masing, tetap
menyelenggarakan pengajian dengan sistem pesantren dan menampung santri yang
datang dari berbagai daerah untuk belajar di madrasah Mathla’ul Anwar.7
Santriwan dan santriwati yang telah menyelesaikan masa pendidikan selama 9
(sembilan) tahun, yaitu tamat kelas VII, dikirim ke berbagai tempat/daerah untuk
menda’wahkan ajaran Islam dalam bentuk baru, yaitu mendirikan madrasah Mathla’ul
Anwar cabang Menes, dengan diantar oleh Pengurus Mathla’ul Anwar Menes. Mereka
diberi bisluit atau Surat Tugas mengajar dari Presiden of Bestur Mathla’ul Anwar
dengan semangat iman dan keyakinan terhadap janji Allah yang berbunyi : In tanshuru
Allah yanshuru kum. Artinya, jika engkau menolong agama Allah, pasti Allah akan
menolongmu. Maka tidaklah menghe-rankan jika pada tahun 1920-an sampai dengan
tahun 1930-an, di Lampung, Lebak, serang (Kepuh), Bogor, Tangerang, Karawang dan
tempat-temapat lain, sudah berdiri madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, hanya
diizinkan menye-lenggarakan madrasah sampai kelas IV (empat), sedangkan untuk
kelas V, VI dan VII harus belajar di Menes.
Pada tahun 1929 didirikanmadrasah putri Mathla’ul Anwar dengan tiga tokoh
yang menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi
Aisyah. Disamping kegiatan belajar mengajar di madrasah dan pesantren bagi murid-
murid, juga setiap hari Kamis setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti
pengajian yang diselenggarakan di masjid Soreang, Menes.Di situ KH. Mas
Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai pengajian pusat. Tujuannya adalah dalam
rangka memperluas dan memperdalam ilmu Islam. Dengan cara itu, akhirnya kyai-kyai

6
Pengurus Besar (PB) Mathla'ul Anwar, Sejarah Dan Khittah Mathla'ul Anwar, (Jakarta: PB Mathla'ul Anwar,
1996), h. 10.
7
Ibid., h. 11.

6
pimpinan Mathla’ul Anwar dapat berfikir dan berwawasan luas, tidak mengurung diri
dalam satu pendapat seorang ulama saja.
Untuk membangun dan memelihara madrasah Mathla’ul Anwar, diusahakan
dengan cara gotong-royong, baik tenaga manusianya maupun dananya. Untuk itu
dihimpun shadaqoh jariyah, wakaf dan jimpitan (beras remeh), yang diseleng-garakan
oleh jama’ah Majlis Ta’lim ibu-ibu. Caranya, setiap kali hendak masak nasi diambil
satu sendok makan dari beras yang akan dimasak dan ditampung dalam tempat
tersendiri.
Selanjutnya, beras dihimpun oleh petugas yang biasanya terdiri dari seorang janda
miskin dengan mendapat imbalan sepuluh persen dari hasil pungutannya. Para janda
miskin ini kemudian menyetor kepada para kader yang mengikuti pengajian pada setiap
hari Kamis yang menyerahkan lagi kepada kordinator pusat Mathla’ul Anwar. Usaha
yang tidak terasa namun nyata ini, akhirnya mampu menghimpun suatu kekuatan yang
tidak kecil. Diantara sekian tanda bukti yang tidak bisa dilipakan ialah adanya beberapa
bidang tanah yang dibeli dari hasil pungutan beras jimpitan (beras remeh) dan hingga
kini tempat itu dinamakan “Kebon remeh”, milik Mathla’ul Anwar. Bukti ini, tidak
boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya.8
Mathla'ul Anwar dioperasikan sistem semacam ini pendidikan sampai tahun 1950
ketika digantikan sistem sembilan bergradasi dengan sistem reformasi baru sekolah
diperkenalkan oleh pemerintah yang baru merdeka dari Republik Indonesia. Sebagai
kelompok agama, Mathla'ul Anwar mendirikan sendiri sistem pemikiran keagamaan
yang berada di dekade awal sangat mirip dengan NU. Dalam hal teologi, itu terkait
dirinya dengan Ahlussunnah Wal Jamaah (pengikut ajaran nabi dan sebagian dari
mayoritas Muslim, atau dikenal sebagai faksi Sunni) dari aliran Ash'ariyah (salah satu
teologis Sunni sekolah dalam Islam selain Mu'tazilah, Qodariyah, Murjiah, dan
Jabariyah). Namun, tidak seperti kebanyakan kiai Jawa yang dalam berbagai nilai dan
cara-cara menunjukkan toleransi terhadap sikap sinkretis religiusitas masyarakat, kiai
Mathla'ul Anwar sangat menolak segala macam tradisi sesat dan menganggap mereka
sebagai produk warisan Hindu dan Budha. Dalam urusan hukum Islam, itu semata-mata
mengacu pada sekolah Syafi'ite pemikiran (salah satu dari empat sekolah Islam utama
hukum selain Hanafi, Maliki, dan Hanbali) dan tidak mentolerir terhadap gagasan talfiq,
berolahraga ide yang berbeda sekolah hukum Islam dalam praktik keagamaan tertentu,

8
Ibid. http://yudihendriawan.blogspot.com/2009/11/sejarah-berdirinya-mathlaul-Anwar.

7
dan sering mengecam ide-ide keagamaan yang dianjurkan oleh kelompok reformis,
terutama Muhammadiyah, sebagai doktrin palsu, khususnya dalam hal yang berkaitan
dengan latihan agama independen, ijtihad.9
Dalam politik, Mathla'ul Anwar tidak jelas merumuskan poin politik tertentu
karena mengambil kebijakan untuk mengasosiasikan dengan organisasi lain dalam
mendorong aspirasi politiknya. Misalnya, membentuk 1915 hingga 1928, ia bergabung
dengan Syarekat Islam (Liga Islam atau SI), kelompok politik Islam hanya pernah
terbesar dalam sejarah politik Indonesia dan didirikan pada tahun 1912. Dan dari tahun
1928 sampai untuk tahun 1952, bergabung dengan NU. Penarikan Mathla'ul Anwar dari
SI bukan karena ketidakpuasan politik murni dengan yang terakhir lebih karena
ketidaksetujuan dengan dominasi tumbuh dari "modernis" pemikiran keagamaan
dipromosikan oleh para pemimpin Muhammadiyah dalam lingkaran kepemimpinan
SI.10
C. Peranan Mathlaul Anwar dalam Bidang Pendidikan dan Sosial Keagamaan
Peristiwa pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1926
di Menes dan Labuan, tanpa disadari oleh para tokoh dan pimpinannya, telah membuat
Mathla’ul Anwar bertambah besar dan meluas.Pada tahun 1936 jumlah madrasah
Mathla’ul Anwar sudah mencapai 40 buah yang tersebar di tujuh daerah tersebut di
atas. Pada waktu itu perhatian terhadap Mathla’ul Anwar tidak lagi terbatas dari
kalangan kaum pelajar (intelektual) pun mulai ikut berpartisipasi aktif. Karena itu, dan
sesuai pula perkembangan Mathla’ul Anwar, maka timbulah gagasan-gagasan untuk
meningkatkan kualitas perkembangan organisasinya, baik yang bersifat teknis
pedagogis, maupun adsministratif organisasi dan keanggotaannya. 11Perkembangan
pendidikan menunjukan grafik yang signifikan. Ini artinya, banyak masyarakat yang
memperoleh manfaat dari organiasas ini. Bahkan secara langsung tidak langsung, dalam
sekala yang lebih luas, bangsa Indoensia juga turut merasakan manfaat adanya MA.
Tahun 1952 didirikanlah Majlis Fatwa Wat Tabligh.Hal ini merespon Pemahaman
tentang Ahli Sunnah wal Jama’ah menjadi kabur dan dikembangkan menurut versi
masing-masing organisasi bersangkutan.Akibatnya, taqlid buta merambah individu-
individu yang enggan berfikir dan sungkan mengkaji.

9
Didin Nurul Rosidin,Introducing New Religious Ideas to Mathla’ul Anwar:K.H. Uwes Abu Bakar (1939-1973,
(Australia: ANU, tt)
10
Ibid.
11
Ibid. http://yudihendriawan.blogspot.com/2009/11/sejarah-berdirinya-mathlaul-Anwar .

8
Pada bulan Mei 1953 berdasarkan keputusan sidang pleno Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar, Pandu Tjahya Islam disahkan berdirinya. Organiasi ini semacam
organiasi kepramukaan Dalam waktu relatif singkat terbentuklah pasukan-pasukan,
kelompok-kelompok dan cabang-cabang Pandu Cahaya Islam, tetapi di tempat-tempat
lain pun seperti kota Pandeglang, Jakarta, Cisauk berdiri pula pandu cahaya islam. Pada
bulan November 1953 itu pula Pandu Cahaya Islam mengirim M. Nahid Abdurrahman
untuk mengikuti Kursus Kepanduan tingkat yang lebih tinggi di luar negeri, yakni
Kualalumpur, Malaysia.
Selanjuntya Pada tahun1953 itu pula, Mathla’ul Anwar untuk pertama kalinya,
mendirikan sekolah umum SMI (Sekolah Menengah Islam) atau SMP, di
Menes.Ternyata SMI mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat, sehingga pada
tahun ajaran pertama kelas I nya sudah dua kelas paralel. Selanjutnya, SMPI ini
dikembangkan menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama).
Pada Kongres Mathla’ul Anwar IX yang dilangsungkan pada bulan Desember
1953 di Pamoyanan, Bandung, Jawa Barat, dibentuklah muslimat Mathlaul Anwar
Diputuskan pula oleh kongres untuk menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama
“Majalah Madrasah Kita”.12
Pencapaian yang luar biasa Mathla’ul Anwar sebelum kemerdekaan menghadapai
tantangan ketika pergolakan politik internal partai Masyumi pada awal tahun 1950-an
yang berpuncak pada pendirian partai NU yang terpisah dari Masyumi pada tahun 1952
berdampak pada keutuhan internal Mathla’ul Anwar. Pendirian partai NU
memunculkan ketegangan antara para pemimpin Mathla’ul Anwar dalam menyikapi
perkembangan politik tersebut. Sebagian kelompok yang dipelopori oleh kaum muda
menginginkan Mathla’ul Anwar untuk tetap menjadi organisasi non-politik dan
karenanya harus keluar dari hubungan afiliatif dengan NU yang telah berlangsung sejak
tahun 1928. Sementara itu, kelompok tua berupaya untuk mempertahankan hubungan
dengan NU, termasuk dengan mendukung partai NU yang baru dibentuk. Ketika
Mathla’ul Anwar lewat Muktamarnya tahun 1952 memutuskan untuk memilih opsi
yang pertama, perpecahan internal pun tidak bisa terelakkan. Kelompok kedua
kemudian memilih untuk memisahkan diri dan mendirikan madrasah baru yang diberi
nama Al-Ma’arif dan Anwarul Hidayah. Bahkan pada tahun 1960-an dan 1970-an,

12
Penulis Lupa website yang diambil.

9
muncul dua madrasah baru lainnya yaitu Mathla’ul Anwar Li Nahdhatil Ulama atau
Malnu dan Nurul Amal.13

D. Tantangan kedepan Mathlaul Anwar dalam mewujudkan Visi Sosial Keagamaan


dan Pendidikan.
Mathla'ul Anwar memainkan peran besar dalam sejarah NU ketika Madrasah
Pusat di Menes menjadi tempat ke-13 Kongres Nasional NU. Masih di bawah bendera
NU, itu didukung dasar dari Masyumi pada tahun 1945. Namun, hubungan intim
mereka selama lebih dari dua dekade tragis berakhir ketika mereka mengambil sudut
pandang yang berbeda selama fraktur internal dalam Masyumi. NU pada tahun 1952
mendirikan partai politik sendiri, sementara, pada tahun yang sama, Mathla'ul Anwar
menyatakan afiliasi non-politik, yang selama bertahun-tahun yang akan datang akan
tetap menjadi salah satu prinsip-prinsip dasarnya.14Godaan politik praktis, itu tidak
menggoyahkan MA untuk tetap berdiri sesuai dengan khittahnya.
NamunSetelah runtuhnya Soekarno, Mathla'ul Anwar bersama dengan mantan
pendukung lain dari Masyumi membuat hubungan federatif, bernama Badan Koordinasi
Amal Muslimin Indonesia (Dewan Koordinasi Muslim Indonesia Pekerjaan atau
BKAMI) dengan salah satu tujuan utamanya adalah untuk merehabilitasi Masyumi.
Tidak dapat menerapkan tujuan mereka karena resistensi yang kuat dari kekuatan
militer, mereka kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah partai baru, Partai
Muslimin Indonesia (Partai Muslim Indonesia atau Parmusi). Keterlibatan formal dari
dewan pusat Anwar Mathla'ul di dasar partai melahirkan protes luas dari para pemimpin
muda yang melihat pengurus pusat telah mengkhianati komitmen diawetkan lama untuk
menjaga organisasi dari segala bentuk asosiasi politik.15
Namun demikian pasca Kegagalan Kiyai Uwes Abu Bakar, yang pernah menjadi
ketua umum pengurus pusat dari Mathla'ul Anwar sejak 1939, untuk mendapatkan kursi
parlemen dalam pemilu 1971 melaju Kiyai Uwes untuk mengumumkan mengundurkan
diri-Nya dari Parmusi dan peran politik lainnya. Selain itu, ia memerintahkan semua
elemen dalam Mathla'ul Anwar untuk tidak lagi mengaitkan resmi organisasi mereka

13
Didin Nurul Rosidin, Madrasah and Politics in 1950s: A Study of the Rise of New Madrasah in Menes of
Bante, (Australia: ANU, tt)
14
Ibid.
15
Ibid.

10
dengan partai. Kedua keputusan telah kembali membawa Anwar Mathla'ul kembali ke
sikap sebagai sebuah asosiasi afiliasi non-politik.16
Hanya disayangkan saat Mathlaul Anwar dipimpin Kiyai Muslim Abdurrahman
yang pada waktu itu ketua pertama dari dewan pusat ditunjuk sebagai ketua umum baru.
Para pemimpin baru yang sangat menganjurkan penerapan hukum Islam dan menentang
Pancasila sebagai ideologi negara telah membawa pendekatan politik baru Mathla'ul
vis-à-vis pemerintah Orde Baru Anwar. Mathla'ul Anwar tidak hanya mempertahankan
kebijakan non-afiliasi politik tetapi juga bertindak sebagai kekuatan oposisi. Kiyai
kepemimpinan Muslim berumur pendek setelah kematiannya pada tahun 1974. Namun,
pendekatan radikal dalam politik bertahan sebagai pemimpin lain radikal, Haji Nafsirin
Hadi, terpilih sebagai ketua umum baru padakongres tahun 1975. Di bawah
kepemimpinan Nafsirin Hadi, Mathla'ul Anwar sering dalam konflik dengan rezim
Orde Baru karena yang beberapa pemimpin, termasuk Kiyai Haji Nafsirin Hadi, yang
dimasukkan ke dalam penjara. Resistensi politik menempatkan dirinya di bawah
tekanan pahit politik pemerintahan yang berkuasa. Akibatnya, kegiatan menurun, jika
tidak benar-benar berhenti. Dalam keadaan seperti bermusuhan, gagal untuk mengatur
kongres nasional yang telah dijadwalkan pada tahun 1980 di Lampung menyusul
penolakan pemerintah daerah untuk memberikan izin.17
Karena pendekatan radikal ini, Mathla'ul Anwar kemudian dikaitkan dengan
Wahhabi, kelompok terkemuka dari gerakan fundamentalis dalam sejarah Islam.
Pendekatan radikal yang dilakukan oleh kedua pemimpin tetap gagal untuk benar-benar
memberantas semua elemen tradisionalis dalam Mathla'ul Anwar karena beberapa dari
mereka yang mendukung gagasan pemurnian menentang pendekatan radikal. Dengan
demikian, runtuhnya kepemimpinan Haji Nafsirin Hadi pada pertengahan 1980
menyebabkan sedikitnya tiga aliran penting pemikiran keagamaan dalam Mathla'ul
Anwar, radikal, moderat atau reformis, dan tradisionalis.18
Tetapi setelah pimpinan MA di pegang oleh Irsad Djuwaeni. Kelompok-kelompok
pro-Golkar maka semakin kuat karena mereka berhasil dengan cepat mengembangkan
organisasi.Sebelum tahun 1985 kongres, Mathla'ul Anwar yang berada di bawah
tekanan politik dari Orde Baru karena sikapnya menentang hanya memiliki cabang di
tingkat kabupaten di tiga provinsi, Lampung, Jakarta dan Jawa Barat. Selama tahun

16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid.

11
1991 kongres, dilaporkan bahwa Mathla'ul Anwar telah mendirikan cabang-cabangnya
di 14 dari 27 provinsi yang ada. Pada saat Kongres 1996, hanya dalam provinsi seperti
Irian Jaya, Timor Timur dan Bali di mana Muslim merupakan sebuah status minoritas,
Mathla'ul Anwar tidak memiliki cabang-cabangnya.19
Kemesraan MA dengan Golkar berakibat fatal.Hampir semua hirarki sturktur
organiasasi MA dari mulai pusat sampai daerah hamper di pastikan terdapat orang-
orang Golkar (pemerintah) yang menjadi dewan penasihat. Akibatnya MA, dalam hal-
hal tertentu MA di stir oleh Golkar. Banyak Dewan penasihat tidak mengetahui
historitas MA.
Metode perekrutan pemimpin tanpa prosedur memiliki konsekuensi serius bagi
mereka yang secara tradisional anggota Mathla'ul Anwar, khususnya di daerah-daerah
yang dikenal sebagai basis tradisional dari organisasi seperti Banten, Lampung dan
sebagian Jawa Barat.Pemimpin daerah tersebut tumbuh terasing, sebagai tokoh yang
baru direkrut, sebagian besar bahkan tanpa pengetahuan yang cukup tentang Mathla'ul
Anwar.
Pada tahun 1995, dipimpin oleh Humaidi Hasan dan Huriyudin, sejumlah
pemimpin oposisi berkumpul di Perguruan Pusat Mathla'ul Anwar di Menes menuduh
"politisasi" Mathla'ul Anwar demi kepentingan politik Irsyad Djuwaeli dan, dengan
demikian, menuntut penggantian Irsyad Djuwaeli sebagai ketua umum dalam Kongres
1996. Tuntutan mereka gagal terwujud dan Irsyad Djuwaeli terpilih kembali untuk
masa jabatan kedua. Upaya lain untuk mencegah Mathla'ul Anwar dari yang makin
dipolitisasi adalah penciptaan khittah yang ditetapkan. Ini upaya terakhir berhasil
seperti dalam Kongres 1996, khittah itu disahkan sebagai pedoman resmi dari
organisasi bersama dengan statuta (Anggaran Ditempatkan) organisasi.Namun,
beberapa kompromi, terutama dalam kaitannya dengan isu-isu politik, membuat khittah
tidak efektif untuk mencegah dewan pusat untuk lebih membawa organisasi ke dalam
bidang politik praktis.20
Puncaknya, ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Irsad Djuwaeni, membuat
Madrasah yang tergabung dalam MA menarik diri.Ada yang menjalankan Madrasah
sendiri, ada juga yang berafiliasi dengan organiasi lain, seperti bergabung dengan
Dewan Dakwah islam indoensia atau lalinnya. Mereka-mereka yang melepaskan diri
dari MA, kemudia menjadi oposisi.

19
Ibid.
20
Ibid.

12
Pasca lengsernya Soeharto dan perubahan politik sangat drastis, mereka yang
dahulu menjadi oposisi, kemudian tahun 2001 lewat kongres nasional mencoba
menggulingkan Irysad Djuwaini, namun upaya ini juga gagal. Ada setidaknya dua
faktor utama yang berkontribusi terhadap kegagalan ini. Pertama, karena sebagian besar
peserta kongres mewakili cabang baru yang diciptakan oleh Irsyad Djuwaeli, mesin
politik ketua umum menjabat bisa dengan mudah meyakinkan mereka untuk
mempertahankan status quo. Kedua, kurangnya sumber keuangan untuk menjalankan
seperti organisasi besar seperti Mathla'ul Anwar adalah menjadi kendala utama calon
kandidat lainnya. 21

BAB III
21
Ibid.

13
PENUTUP

A. Kesimpulan
Latar belakang kelahiran organiasi sosial keagamaan dan pendidikan Mathlaul
Anwar adalah merespon kondisi Banten pada waktu itu berikut ini: Pertama, secara
politik Banten sedang mengalami penjajahan. Kedua, secara ekonomi masyarakat hidup
dalam kesusahan. Ketiga, secara sosial keagamaan, masyarakat Banten hidup dalam
syirik dan kurafat. Keempat, kondisi pendidikan yang tidak layak.
Peranan Mathlaul Anwar dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan
diantaranya banyak para anggota atau alumni lembanga Pendidikan Mathlaul Anwar
menjadi pejuang saat masa kemerdekaan, mendirikan lembaga Madrasah, melakukan
pemberdayaan masyarakat dan lainnya.
Tantangan kedepan Mathlaul Anwar dalam mewujudkan visi sosial keagamaan
dan pendidikan adalah godaan Mathlaul Anwar dari politik praktis dan penggalian
sumber keuangan untuk organiasasi.

B. Saran
Penulis sungguh sangat menyadari atas segala kekurangan atas pembuatan
makalah ini. Demi menyempurnakan makalah ini,penulis berharap banyak atas kritikan
dan masukan yang bersifat membangun sebagai landasan agar ke depan menjadi lebih
baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

14
Didin Nurul Rosidin,Introducing New Religious Ideas to Mathla’ul Anwar: K.H.

Uwes Abu Bakar (1939-1973,(Australia: ANU, tt)

Madrasah and Politics in 1950s: A Study of the Rise of New Madrasah in Menes

of Banten, (Australia: ANU, tt)

Pengurus Besar (PB) Mathla'ul Anwar, Sejarah Dan Khittah Mathla'ul Anwar,

(Jakarta: PB Mathla'ul Anwar, 1996)

http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banten.

<http://yudihendriawan.blogspot.com/2009/11/sejarah-berdirinya-mathlaul

Anwar>.

15

Anda mungkin juga menyukai