Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH MATHLA'UL ANWAR

LATAR BELAKANG BERDIRINYA MATHLAUL ANWAR


Kondisi Umum Masyarakat Banten
Sejak dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal
Deandeles, praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda di Banten
memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di Banten mengalami guncangan. Sebab
ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat melalui
pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang berlebihan, dan peraturan yang menindas,
serta tekanan militer yang represif, jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai
kenyataan yang jauh dari apa yang mereka harapkan.
Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki system administrasi yang
sistematis dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik di kawasan kolonial
sesuai dengan keperluan negara jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang diharapkan
dalam bentuk harmoni sosial.
Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-niaga
masyarakat pribumi, system ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga menghancurkan
system idiologi negara sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan
bercerai berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan antar golongan
dalam kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu domba yang dilancarkan
Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik antar elite dan pewaris
kesultanan yang tak jarang melahirkan peperangan local.
Perpecahan politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten.
Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus disertai dengan
marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke daerah-daerah pelosok pedesaan
dan di sinilah pendidikan agama Islam dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan
dengan orientasi yang teramat anti-kolonialisme.
Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami
penghancuran, sebagian mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya
mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat. Demikian ini
sebagian besar yang mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa lalunya, semacam
restorasi tradisi, dengan mencari tulang punggung ketenangan dan ketenteraman teologis
yang pernah dirasakan sebelumnya.
Idiolegi keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap
kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk fron perlawanan terhadap
penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak hanya mengambil jarak dengan
pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu dinyatakan
sebagai jalan jihad melawan kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi buronan yang
selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi pemberontakan
dan perlawanan walau banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten
yang tertangkap dan kemudian dibuang ke negeri orang.
Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang uzlah meninggalkan keramaian kota dan
masuk ke pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara bertani sambil
mengajarkan ilmu agama Islam secara mandiri. Dengan demikian bahkan mereka tetap
mempunyai akar yang kuat dan mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.
Pada zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai bentuk
simbolisme harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Masyarakat petani yang
walaupun sudah memluk agama Islam, jika memulai menuai padi, terlebih dahulu akan
mengadakan upacara mipit. Upacara ini adalah membuat sesajian untuk menyuguh Dewi
Sri atau Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk memberkahi
padi. Suatu jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi aksioma adalah
mipit amit ngala menta. Artinya, mengambil apa pun dari suatu tempat, berupa apa saja,
harus izin terlebih dahulu kepada roh halus yang menguasai tempat tersebut. Kalau setelah
melakukan sesuatu kemudian mendapat musibah, seperti sakit kepala atau demam, atau
tersandung apa saja, kemudian akan dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap
sembrono (sembarangan). Yaitu tidak minta izin kepada yang membahurekso (bahasa Jawa)
atau nu ngageugeuh (bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat akan menanya kepada
orang yang dianggap tua dan mengerti tentang yang gaib, yang biasanya berupa seorang
dukun. Sang dukun kemudian akan memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan
sebagai langkah penebusanatas kesalahannya.
Pada upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita sebelum
melaksaakan akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka harus terlebih dahulu
mengunjungi leluhurnya untuk memohon doa restunya, agar tidak terjadi sesuatu bencana
aral melintang yang mungkin mengganggu jalannya upacara tersebut.
Setiap orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus mengucapkan mantera
minta izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh halus yang menmpati tempat
itu. Misalnya saja dengan kalimat ampun paralun kanu luhung, sang karuhun anu
ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa, ulah ganggu gunasita, kami incu buyut ki..
(biasanya dengan menyebutkan nama leluhurnya). Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki
Jaminun dan sebagainya.
Pengalaman-pengalaman budaya seperti itu merupakan bentuk simbolisme atas harapan
adanya ketenangan dan ketentraman kehidupan, yang pada saat itu tak pernah dirasakan
karena kuatnya tekanan koloni Belanda. Idiologi tradisionalisme itu juga merupakan respon
atas hancurnya idiologi politik dan agama yang mereka anut, setalah kedudukan dan struktur
sosial terganggu dan hancur.
Dalam pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan, perkelahian terjadi
hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan oleh pemerintah Belanda hanya cukup
dengan mendirikan rumah-rumah penjara mulai dari kota besar sampai kota kecil. Rumah
tahanan atau penjara di bangun di kota-kota kewadanaan seperti Menes, Labuan, Malingping,
Balaraja, Mauk dan tempat-tempat lain yang sederajat. Akibatnya, para bekas narapidana
semakin mematangkan diri dalam melakukan aksi kejahatannya, karena selama di dalam
penjara, bukannya semakin baik dan jera, tetapi semakin matang dan kian semakin
menambah kualitasnya.
Walaupun demikian, sebenarnya, kejahatan-kejahatan itu dilakukan hanya dengan
menggunakan senjata tajam tradisional seperti golok, pisau, dan lain-lain. Hal itu ada
kepercayaan atas benda-benda tajam itu yang dianggapnya mengandung kekuatan gaib.
Kondisi Pendidikan
Di bawah kekuasaan Belanda rakyat Banten bukan bertambah baik, malah semakin
melarat dan terbelakang. Kondisi ini hampir dialmai oleh seluruh rakyat di seluruh nusantara.
Guna mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Belanda memberlakukan politik etis.
Program politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, di antaranya membuat irigasi
buat mendukung pertanian rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi bumiputra. Ternyata
program tersebut gagal memberikan manfaat bagi penduduk desa. Hal ini terjadi, karena yang
bisa menikmati sekolah itu hanya sebagian kecil rakyat saja terutama orang-orang yang
berada di kota dan siap jadi calon ambtenar (pegawai Belanda).
Sedangkan di kalangan rakyat kebanyakan, tidak terjangkau oleh sistem pendidikan ini.
Disamping jumlah yang sangat sedikit (hanya di kota-kota kewadanaan saja yang disediakan
sekolah), juga syarat untuk dapat belajar sangat berat, dan cen-derung sengaja dipersulit,
dengan alasan bermacam-macam.
Tujuan Belanda menyelenggarakan sekolah, seperti di-katakan di atas, adalah untuk
menyiapkan calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak perlu banyak. Sebagian besar
rakyat bumi putra hanya dibutuhkan sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan
pengetahuan yang tinggi, yang penting asal bertenaga kuat.
Pendidikan Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang diselenggarakan oleh
para Kyai secara individual dan tradisional. Pendidikan ini penuh dengan segala
keterbatasannya, baik dalam hal sarana, dana, maupun manajemennya. Ditambah pula dengan
kondisi yang tidak aman dari berbagai pengawasan oleh pemerintah Belanda. Pihak penjajah
beranggapan bahwa kharisma keagamaan yang tersimpan dalam jiwa para Kyai itu masih
mengundang semangat anti kafir/ penjajah, yang bila ada peluang pasti meletuskan api
pembe-rontakan terhadap pemerintah penjajah.
Berdirinya Madrasah Pertama
Keadaan tersebut menggelisahkan masyarakat dan mematikan semangat umat dan pada
gilirannya akan menghilangkan ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh para pejuang
terdahulu. Oleh karenanya orang-orang yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji atau
mukim di Mekkah yang lama menimba agama Islam, sudah tentu merupakan sesuatu yang
sangat menarik perhatian bagi masyarakat Banten.
Di tengah hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran di dalam masyarakat yang
dilanda kemiskinan, kebodohan dan kejumudan yang diselimuti pula oleh kabut kegelapan
dan kebingungan muncullah seberkas sinar harapan yang diharapkan akan membawa
perubahan di hari kemudian.
KH.Entol Muhammad yasin salah sorang yang bernasib baik dari sekian ribu
masyarakat Banten yang mendapat kesempatan pendidikan, yang lahir dari keluarga
Terpandang dan terhomat pada saat itu yaitu putra Kidemang Darwis dan sempat belajar di
Timur Tengah, serta pada musim haji K H. Entol Muhammad yasin sering membawa jemaah
Haji dari Banten yang di kenal dengan Seh Muhammad yasin. Beliau Punya Istri yang
bernama Ibu Hj.Nyi Siti Zulmah yang sangat dekat dengan Keluarga Baslamah Turunan
Arab.
Dari Hasil pernikanya dengan Ibu Hj.Siti Zulmah,meninggalkan seorang putra dan
seorang putri yaitu Ibu Nyai Hj Zenab dan KH.Junaedi Yasin. Kedua anaknya pada saat
remaja belajar di Makah dan dilanjutkan di Mesir karena belajar ditanah air tidak kondusip..
Jauh sebelum berdinya MATHLAUL ANWAR KH. Entol Muhammad yasin
memimpin Pengajian di Kampung Menes didapingi seorang Istri Ibu Hj Nyai Siti Zulmah
dan pengajiannya sering di curigai dan diancam oleh antek-antek penjajah bahkan
dipenjarakan,sehingga pengajiannya sering terganggu yang mengakibatkan pengajian yang
dipimpinnya sempat pindah ke Kampung Kadugading menes.
Pengajian dan perjuangan KH.Entol Muhammad Yasin dalam mencerdaskan
Masyarakat Menes pada khususnya dan Banten pada umumnya bisa berjalan berkat bantuan
dan dukungan dua orang tokoh yang sangat disegani dan dihormati pada saat itu, yaitu
KH.Amin yang merupakan sorang jaksa yang kemudian di kenal denga Jaksa amin (Putra
Demang Darwis) dan Kidemang Jasudin yang merupakan saudara Kidemang Darwis dan
seorang Istri Nyai Siti Zulmah.


seberkas sinar, yang kemudian menjadi nama MATHLAUL ANWAR (bahasa Arab,
yang artinya tempat lahirnya cahaya).
Militansi K.H. Entol Moh. Yasin dari Kaduhawuk, Menes ini tak pernah memudar
dalam keinginan untuk memajukan umat melalui pendidikan. Beliau menghendaki kemajuan
umat hanya mungkin melalui pendidikan. Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda :
Barang siapa yang menginginkan dunia haruslah dengan ilmu, barangsiapa meng-inginkan
akhirat haruslah dengan ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya haruslah
dengan ilmu. Dan hadits yang lain : Ilmu itu adalah cahaya.
Beranjak dari sini agaknya pertemuan, akhirnya melahirkan sebuah kata sepakat untuk
mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelola dan diasuh secara jamaah
dengan mengkordinasikan berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu Islam yang dianggap
merupakan kebutuhan yang mendesak.
Perjuangan mengangkat dan membangkitkan umat dari lembah kegelapan dan
kemiskinan yang menimbulkan keterbelakangan, tidak cukup sekedar dengan mengadakan
pengajian bagi generasi tua saja. Untuk itu dituntut langkah lebih lanjut lagi, yaitu lahirnya
generasi berikutnya yang justru merupakan sasaran utama yang diharapkan mampu
mengubah situasi (min al zhulumati ila al nur).
Berdirinya Mathlaul Anwar
Guna mencari pemecahan masalah tersebut, para kyai mengadakan musyawarah di bawah
pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Sholeh serta para ulama yang
ada di sekitar Menes, bertempat di kampung Kananga. Akhirnya, setelah mendapatkan
masukan dari para peserta, musyawarah mengambil keputusan untuk memanggil pulang
seorang pemuda yang sedang belajar di Makkah al Mukarramah. Ia tengah menimba ilmu
Islam di tempat asal kelahiran agama Islam kepada seorang guru besar yang juga berasal dari
Banten, yaitu Syekh Mohammad Nawawi al Bantani.
Ulama besar ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai seorang
fakih, dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam. Siapakah pemuda itu ?
Dialah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun 1868, di kampung
Janaka, Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten Pandeglang, Karesidenan
Banten.
KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah suci sekitar tahun 1910
M. Dengan kehadiran seorang muda yang penuh semangat untuk berjuang mengadakan
pembaharuan semangat Islam, bersama kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan untuk
membawa umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup yang terang benderang,
sesuai ayat al-Quran Yukhriju hum min al dzulumati ila al nur.
Pada tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916 M, para
Kyai mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam dalam bentuk
madrasah yang akan dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10 Syawwal 1334
H/9 Agustus 1916 M. Sebagai Mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurrahman bin KH.
Mas Jamal dan Presiden Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari kampung Kaduhawuk, Menes, serta
dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat di sekitar Menes.
Selengkapnya para pendiri Mathlaul Anwar :
Kyai Moh. Tb. Soleh
Kyai E.H. Moh Yasin
Kyai Tegal
Kyai H. Mas Abdurrahman
K.H. Abdul Muti
K.H. Soleman Cibinglu
K.H. Daud
K.H. Rusydi
E. Danawi
K.H. Mustagfiri
Adapun tujuan didirikannya Mathlaul Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi
dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
disepakati untuk menghumpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah,
memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah air
yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Pemerintah kolonial telah
membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.
Program Pendidikan Mathlaul Anwar
Untuk sementara, kegiatan belajar diselenggarakan di rumah seorang dermawan, di
kota Menes. Beliau merelakan tempat tinggalnya digunakan untuk tempat belajar bagi umat.
Tokoh ini adalah K.H. Mustagfiri.
Selanjutnya, setelah mendapatkan sebidang tanah yang diwakafkan Ki Demang Entol
Djasudin, yang terletak di tepi jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara
gotong-royong oleh seluruh masyarakat Islam Menes. Sampai kini gedung tersebut masih
berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam dan
Taman Kanak-kanak Mathlaul Anwar. Gedung tersebut tidak lain ialah pusat perguruan
Islam Mathlaul Anwar yang terletak di kota Menes, Pandeglang.
Mengenai program pendidikan diselenggarakan program pendidikan 9 (sembilan)
tahun. Yaitu mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI dan kelas VII. Belum ada pemisahan
tingkat Ibti-daiyah dan tingkat Tsanawiyah. Disamping pendidikan dengan sistem klasikal
dalam bentuk madrasah, sebagai langkah modernisasi; juga dibuka lembaga pendidikan
dengan sistem pesantren. Model ini tetap dihidup-suburkan, bahkan dikore-lasikan dengan
sistem sekolah. Guru-guru yang mengajar di madrasah pada pagi hari, pada sore dan malam
harinya, di rumah masing-masing, tetap menyelenggarakan pengajian dengan sistem
pesantren dan menampung santri yang datang dari berbagai daerah untuk belajar di madrasah
Mathlaul Anwar.
Santriwan dan santriwati yang telah menyelesaikan masa pendidikan selama 9
(sembilan) tahun, yaitu tamat kelas VII, dikirim ke berbagai tempat/daerah untuk
mendawahkan ajaran Islam dalam bentuk baru, yaitu mendirikan madrasah Mathlaul Anwar
cabang Menes, dengan diantar oleh Pengurus Mathlaul Anwar Menes. Mereka diberi bisluit
atau Surat Tugas mengajar dari Presiden of Bestur Mathlaul Anwar dengan semangat iman
dan keyakinan terhadap janji Allah yang berbunyi : In tanshuru Allah yanshuru kum. Artinya,
jika engkau menolong agama Allah, pasti Allah akan menolongmu. Maka tidaklah menghe-
rankan jika pada tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, di Lampung, Lebak, \serang
(Kepuh), Bogor, Tangerang, Karawang dan tempat-temapat lain, sudah berdiri madrasah
Mathlaul Anwar cabang Menes, hanya diizinkan menye-lenggarakan madrasah sampai kelas
IV (empat), sedangkan untuk kelas V, VI dan VII harus belajar di Menes.
Pada tahun 1929 didirikan madrasah putri Mathlaul Anwar dengan tiga tokoh yang
menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi Aisyah.
Disamping kegiatan belajar mengajar di madrasah dan pesantren bagi murid-murid, juga
setiap hari Kamis setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti pengajian yang
diselenggarakan di masjid Soreang, Menes. Di situ KH. Mas Abdurrahman menetap dan
sekaligus sebagai pengajian pusat. Tujuannya adalah dalam rangka memperluas dan
memperdalam ilmu Islam. Dengan cara itu, akhirnya kyai-kyai pimpinan Mathlaul Anwar
dapat berfikir dan berwawasan luas, tidak mengurung diri dalam satu pendapat seorang ulama
saja.
Untuk membangun dan memelihara madrasah Mathlaul Anwar, diusahakan dengan
cara gotong-royong, baik tenaga manusianya maupun dananya. Untuk itu dihimpun shadaqoh
jariyah, wakaf dan jimpitan (beras remeh), yang diseleng-garakan oleh jamaah Majlis Talim
ibu-ibu. Caranya, setiap kali hendak masak nasi diambil satu sendok makan dari beras yang
akan dimasak dan ditampung dalam tempat tersendiri.
Selanjutnya, beras dihimpun oleh petugas yang biasanya terdiri dari seorang janda iskin
dengan mendapat imbalan sepuluh persen dari hasil pungutannya. Para janda miskin ini
kemudian menyetor kepada para kader yang mengikuti pengajian pada setiap hari Kamis
yang menyerahkan lagi kepada kordinator pusat Mathlaul Anwar. Usaha yang tidak terasa
namun nyata ini, akhirnya mampu menghimpun suatu kekuatan yang tidak kecil. Diantara
sekian tanda bukti yang tidak bisa dilipakan ialah adanya beberapa bidang tanah yang dibeli
dari hasil pungutan beras jimpitan (beras remeh) dan hingga kini tempat itu dinamakan
Kebon remeh, milik Mathlaul Anwar. Bukti ini, tidak boleh dilupakan oleh generasi
selanjutnya.
Pada tahun 1940 didirikan Madrasah Arabiah (Sekolah Arab) yang khusus memberi
pelajaran bahasa Arab, untuk itu didatangkan seorang guru dari Salatiga yaitu KH. Humaedi
disamping itu beberapa pemuda dikirim ke Jakarta (sekolah Jamiatul Khaer) untuk calon-
calon guru. Dan untuk mempela-jari ilmu Falak didatangkan guru dari Pekalongan (KH.
Syabrawi dan diadakan kursus ilmu falak bagi guru-guru Mathlaul Anwar).
Untuk mencetak para muballig diadakan kursus muballig yang dinamai cm. Yang
diikuti para santri-santri dan guru-guru serta pemuda-pemuda. Disamping adanya kursus
mubalig bagi murid-murid/pelajar madrasah mulai tingkat rendah sampai tingkat atas, pada
tiap-tiap kenaikan kelas Ichtifalan diadakan pidato anak-anak sekolah untuk mendidik mereka
pandai pidato dan tablig.
Untuk menampung para pelajar yang datang dari daerah-daerah, didirikan pondok-pondok
pesantren di sekitar Menes, antara lain di Kananga yang paling besar yang dipimpin oleh KH.
Tb. Ahmad, seorang alumni pertamapendidikan di Mathlaul Anwar. Para santri yang
mondok di Kananga datang dari Bogor, Tangerang, Lampung dan lain-lain, sampai ratusan
jumlahnya. Kananga adalah satu kampung di kaki gunung pulosari merupakan tempat cikal
bakal Mathlaul Anwar, sebab disitulah K. Tb. Moh. Sholeh tinggal dan setibanya KH. Mas
Abdurrahman dari Makkah tinggal di Kananga dan menikah dengan putri dari KH. Tb. Moh.
Sholeh, dan selanjutnya pindah ke Soreang Menes, dan di Soreang inilah dibangun pesantren.
KH. E. Muhamad Yasin adalah seorang ulama intelek yang berwawasan luas, dan ia seorang
putra dari seorang jaksa.
Lahirnya Statuten Mathlaul Anwar
Peristiwa pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1926 di Menes
dan Labuan, tanpa disadari oleh para tokoh dan pimpinannya, telah membuat Mathlaul
Anwar bertambah besar dan meluas. Pemberontakan, yang oleh pihak Belanda disebut
sebagai pemberontakan Komunis, menyebabkan para tokoh dan pimpinan Mathlaul Anwar
selalu dicurigai dan diawasi oleh aparat pemerintahan, terutama pihak P.I.D (polisi rahasia
kolonial Belanda). Hal ini terjadi karena diantara pelaku pemberontakan terdapat tokoh dan
orang-orang Mathlaul Anwar. Meskipun mereka tidak dalam kapasitasnya sebagai tokoh dan
warga Mathlaul Anwar, tetapi dalam kedudukannya sebagai anggota Serikat Islam (?)
Sebagian dari mereka bahkan ada pula yang dibuang ke Boven Degul, Tanah Merah, Irian
antara lain : K. Abdulhadi Bangko, Khusen Cisaat dan lain-lain.
Dengan adanya pengawasan dan kecurigaan yang amat ketat di Pandeglang, Khususnya
di Menes dan Labuan, aktivitas para pimpinan Mathlaul Anwar di daerah tersebut menjadi
berkurang dan terpaksa harus berhati-hati sekali. Para kyai dan ulama Mathlaul Anwar
kemudian bergerak menyebar-luaskan Mathlaul Anwar ke luar daerah, mengirimkan kader-
kader dan para abituren (lulusan) madrasah Mathlaul Anwar Menes ke daerah-daerah di luar
Pandeglang. Diantaranya ke kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor, Karawang dan di
Keresidenan Lampung.
Pada tahun 1936 jumlah madrasah Mathlaul Anwar sudah mencapai 40 buah yang
tersebar di tujuh daerah tersebut di atas. Pada waktu itu perhatian terhadap Mathlaul Anwar
tidak lagi terbatas dari kalangan kaum pelajar (intelektual) pun mulai ikut berpartisipasi aktif.
Karena itu, dan sesuai pula perkembangan Mathlaul Anwar, maka timbulah gagasan-gagasan
untuk meningkatkan kualitas perkembangan organisasinya, baik yang bersifat teknis
pedagogis, maupun adsministratif organisasi dan keanggotaannya.


Sejak dihancurkannya Kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jendral
Deandeles praktis banten dinyatakan daerah jajahan belanda sebab ketika penetrasi kolonial
secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari melalui pajak yang berat. Kolonialisme
sebagai bentuk penguasaan wilayah yang memiliki sistem administrasi yang sistematis
dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial politik di kawasaan kolonial sesuai
dengan keperluan negara jajahan. Kehadiran kolonialisme belanda bukan saja
menghancurkan tata niaga warga pribumi sistem ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga
menghancurkan sistem idiologi negara sebagai pemersatu bangsa. Ketika tata kehidupan
tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami penghancuran sebagian
mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya mitologi keagamaan yang
kian mengental dalam kehidupan masyarakat, idiologi keagamaan itu menimbulkan rasa
kebencian yang dalam terhadap kolonialisme, sehingga sebagian elit keagamaan membentuk
fron perlawanan terhadap belanda. Dalam waktu itu tingkat kejahatan merajalela,
perampokan, pembunuhan, perkelahian, terjadi hampir tiap saat.
Kondisi pendidikan masyarakat banten hampir dialami oleh seluruh rakyat nusantara,
yaitu melarat dalam keterbelakangan, selama mereka dibawah kekuasaan belanda. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah belanda memberlakukan politik etis yang
dijalankan pemerintah belanda diantaranya membuat irigasi untuk pertanian rakyat dan
menyelenggarakan sekolah bagi bumi putra tetapi program tersebut tidak berhasil
memberikan manfaat bagi penduduk desa. Tujuan belanda mendirikan sekolah adalah
menyiapkan pekerja Ambtenar yang jumlahnya tidak terlalu banyak, karena masyarakat
lainnya hanya sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan yang tinngi.
Sementara itu pendidikan islam yang ada hanya sebatas pondok pesantren, oleh para kyai
secara individual dan tradisional. Ditengah hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran
didalam masyarakat yang dilanda kemiskinan, kebodohan, dan kejumudan yang diselimuti
pula oleh kegelapan, muncullah seberkas sinar harapan yang membawa perubahan dihari
kemudian.
Munculah seorang ulama besar yang bernama K.H. E. Muhamad Yasin beliau baru
kembali dari bogor usai menghadiri rapat yang diselenggarakan oleh ulama-ulama guna
menciptakan kehidupan umat islam yang lebih baik ditengah penjajahan. Gerakan ini
dipelopori oleh Haji Saman Hudi dalam langkah mendirikian Syarikat Dagang Islam
(SBI) pada tahun 1908 M. bersama rekan-rekanya di Menes Kyai H. Tb. Moh. Soleh dan
beberapa kyai lainnya mereka melakukan pertemuan dan musyawarah. Dan dari musyawarah
itu lahirlah kata kesepakatan untuk membentuk suatu majlis pengajian yang diasuh bersama,
pengajian tersebut dijadikan lembaga muzakarah dan musyawarah dalam menanggulangi dan
memerangi situasi kegelapan itu dengan munculnya seberkas sinar yang bernama Mathlaul
Anwar.
Dengan kondisi bangsa yang porakporanda dari semua segi, Akhirnya dibawah pimpinan
KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Soleh diadakanlah sebuah Musyawarah
di Menes Kampung Kananga, dan mengasilkan masukan dari para peserta agar memanggil
pulang seorang pemuda yang sedang belajar di Mekkah Al Mukaromah, Yang tengah
menimba ilmu islam kepada seorang guru besar yang juga berasal dari Banten yaitu Syekh
Muhammad Nawawi al Bantani. Pemuda itu bernama KH. Mas Abdurrahman bin Mas
Jamal yang lahir pada tahun 1868 dikampung janaka, Kecamatan Jiput Kewadanaan
Caringin Kabupaten Pandeglang Karesidenan Banten. Dengan kehadiran semangat muda
yang penuh dengan semangat juang mengadakan pembaharuan semangat islam, bersama
kyai-kyai sepuh untuk membawa umat islam keluar dari kegelapan kejalan yang terang
benderang sesuai dengan ayat al-Quran Yukriju hum min al dzulumati ila al nur.
Pada tanggal 10 bulan rhamadhan 1334 H, para kyai tersebut mengadakan musyawarah
untuk membuka sebuah perguruan islam dalam bentuk madrasah yang dimulai kegiatan
belajar mengajarnya pada tanggal 10 syawal 1334 H atau 19 Agustus 1916 M. Sebagai
Direktur atau Mudir KH. Mas Abdurrahman bin KH Mas Jamal, dan Presiden Bistirnya KH.
E. Moh. Yasin dari kampung kadu hawuk Menes dibantu dengan sejumlah tokoh dan kyai
lainnya di Menes yaitu :

Anda mungkin juga menyukai