0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
79 tayangan8 halaman
Tiga kalimat:
1. Pendidikan Islam di Banten pada zaman kolonial hanya terbatas pada pondok pesantren yang dikelola kyai secara individual dan terbatas.
2. Masyarakat Banten mengalami kemunduran ekonomi, pendidikan, dan keagamaan di bawah penjajahan Belanda.
3. KH. Entol Muhammad Yasin mendirikan madrasah pertama di Banten untuk menanggapi kebutuhan pendidikan agama masyarakat.
Tiga kalimat:
1. Pendidikan Islam di Banten pada zaman kolonial hanya terbatas pada pondok pesantren yang dikelola kyai secara individual dan terbatas.
2. Masyarakat Banten mengalami kemunduran ekonomi, pendidikan, dan keagamaan di bawah penjajahan Belanda.
3. KH. Entol Muhammad Yasin mendirikan madrasah pertama di Banten untuk menanggapi kebutuhan pendidikan agama masyarakat.
Tiga kalimat:
1. Pendidikan Islam di Banten pada zaman kolonial hanya terbatas pada pondok pesantren yang dikelola kyai secara individual dan terbatas.
2. Masyarakat Banten mengalami kemunduran ekonomi, pendidikan, dan keagamaan di bawah penjajahan Belanda.
3. KH. Entol Muhammad Yasin mendirikan madrasah pertama di Banten untuk menanggapi kebutuhan pendidikan agama masyarakat.
Kondisi Umum Masyarakat Banten Sejak dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal Deandeles, praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda di Banten memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di Banten mengalami guncangan. Sebab ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang berlebihan, dan peraturan yang menindas, serta tekanan militer yang represif, jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai kenyataan yang jauh dari apa yang mereka harapkan. Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki system administrasi yang sistematis dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik di kawasan kolonial sesuai dengan keperluan negara jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang diharapkan dalam bentuk harmoni sosial. Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-niaga masyarakat pribumi, system ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga menghancurkan system idiologi negara sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan bercerai berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan antar golongan dalam kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu domba yang dilancarkan Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik antar elite dan pewaris kesultanan yang tak jarang melahirkan peperangan local. Perpecahan politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten. Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus disertai dengan marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke daerah-daerah pelosok pedesaan dan di sinilah pendidikan agama Islam dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan dengan orientasi yang teramat anti-kolonialisme. Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami penghancuran, sebagian mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat. Demikian ini sebagian besar yang mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa lalunya, semacam restorasi tradisi, dengan mencari tulang punggung ketenangan dan ketenteraman teologis yang pernah dirasakan sebelumnya. Idiolegi keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk fron perlawanan terhadap penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak hanya mengambil jarak dengan pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu dinyatakan sebagai jalan jihad melawan kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi buronan yang selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi pemberontakan dan perlawanan walau banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten yang tertangkap dan kemudian dibuang ke negeri orang. Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang uzlah meninggalkan keramaian kota dan masuk ke pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara bertani sambil mengajarkan ilmu agama Islam secara mandiri. Dengan demikian bahkan mereka tetap mempunyai akar yang kuat dan mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat. Pada zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai bentuk simbolisme harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Masyarakat petani yang walaupun sudah memluk agama Islam, jika memulai menuai padi, terlebih dahulu akan mengadakan upacara mipit. Upacara ini adalah membuat sesajian untuk menyuguh Dewi Sri atau Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk memberkahi padi. Suatu jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi aksioma adalah mipit amit ngala menta. Artinya, mengambil apa pun dari suatu tempat, berupa apa saja, harus izin terlebih dahulu kepada roh halus yang menguasai tempat tersebut. Kalau setelah melakukan sesuatu kemudian mendapat musibah, seperti sakit kepala atau demam, atau tersandung apa saja, kemudian akan dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap sembrono (sembarangan). Yaitu tidak minta izin kepada yang membahurekso (bahasa Jawa) atau nu ngageugeuh (bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat akan menanya kepada orang yang dianggap tua dan mengerti tentang yang gaib, yang biasanya berupa seorang dukun. Sang dukun kemudian akan memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan sebagai langkah penebusanatas kesalahannya. Pada upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita sebelum melaksaakan akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka harus terlebih dahulu mengunjungi leluhurnya untuk memohon doa restunya, agar tidak terjadi sesuatu bencana aral melintang yang mungkin mengganggu jalannya upacara tersebut. Setiap orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus mengucapkan mantera minta izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh halus yang menmpati tempat itu. Misalnya saja dengan kalimat ampun paralun kanu luhung, sang karuhun anu ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa, ulah ganggu gunasita, kami incu buyut ki.. (biasanya dengan menyebutkan nama leluhurnya). Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki Jaminun dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman budaya seperti itu merupakan bentuk simbolisme atas harapan adanya ketenangan dan ketentraman kehidupan, yang pada saat itu tak pernah dirasakan karena kuatnya tekanan koloni Belanda. Idiologi tradisionalisme itu juga merupakan respon atas hancurnya idiologi politik dan agama yang mereka anut, setalah kedudukan dan struktur sosial terganggu dan hancur. Dalam pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan, perkelahian terjadi hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan oleh pemerintah Belanda hanya cukup dengan mendirikan rumah-rumah penjara mulai dari kota besar sampai kota kecil. Rumah tahanan atau penjara di bangun di kota-kota kewadanaan seperti Menes, Labuan, Malingping, Balaraja, Mauk dan tempat-tempat lain yang sederajat. Akibatnya, para bekas narapidana semakin mematangkan diri dalam melakukan aksi kejahatannya, karena selama di dalam penjara, bukannya semakin baik dan jera, tetapi semakin matang dan kian semakin menambah kualitasnya. Walaupun demikian, sebenarnya, kejahatan-kejahatan itu dilakukan hanya dengan menggunakan senjata tajam tradisional seperti golok, pisau, dan lain-lain. Hal itu ada kepercayaan atas benda-benda tajam itu yang dianggapnya mengandung kekuatan gaib. Kondisi Pendidikan Di bawah kekuasaan Belanda rakyat Banten bukan bertambah baik, malah semakin melarat dan terbelakang. Kondisi ini hampir dialmai oleh seluruh rakyat di seluruh nusantara. Guna mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Belanda memberlakukan politik etis. Program politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, di antaranya membuat irigasi buat mendukung pertanian rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi bumiputra. Ternyata program tersebut gagal memberikan manfaat bagi penduduk desa. Hal ini terjadi, karena yang bisa menikmati sekolah itu hanya sebagian kecil rakyat saja terutama orang-orang yang berada di kota dan siap jadi calon ambtenar (pegawai Belanda). Sedangkan di kalangan rakyat kebanyakan, tidak terjangkau oleh sistem pendidikan ini. Disamping jumlah yang sangat sedikit (hanya di kota-kota kewadanaan saja yang disediakan sekolah), juga syarat untuk dapat belajar sangat berat, dan cen-derung sengaja dipersulit, dengan alasan bermacam-macam. Tujuan Belanda menyelenggarakan sekolah, seperti di-katakan di atas, adalah untuk menyiapkan calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak perlu banyak. Sebagian besar rakyat bumi putra hanya dibutuhkan sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan yang tinggi, yang penting asal bertenaga kuat. Pendidikan Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang diselenggarakan oleh para Kyai secara individual dan tradisional. Pendidikan ini penuh dengan segala keterbatasannya, baik dalam hal sarana, dana, maupun manajemennya. Ditambah pula dengan kondisi yang tidak aman dari berbagai pengawasan oleh pemerintah Belanda. Pihak penjajah beranggapan bahwa kharisma keagamaan yang tersimpan dalam jiwa para Kyai itu masih mengundang semangat anti kafir/ penjajah, yang bila ada peluang pasti meletuskan api pembe-rontakan terhadap pemerintah penjajah. Berdirinya Madrasah Pertama Keadaan tersebut menggelisahkan masyarakat dan mematikan semangat umat dan pada gilirannya akan menghilangkan ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh para pejuang terdahulu. Oleh karenanya orang-orang yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji atau mukim di Mekkah yang lama menimba agama Islam, sudah tentu merupakan sesuatu yang sangat menarik perhatian bagi masyarakat Banten. Di tengah hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran di dalam masyarakat yang dilanda kemiskinan, kebodohan dan kejumudan yang diselimuti pula oleh kabut kegelapan dan kebingungan muncullah seberkas sinar harapan yang diharapkan akan membawa perubahan di hari kemudian. KH.Entol Muhammad yasin salah sorang yang bernasib baik dari sekian ribu masyarakat Banten yang mendapat kesempatan pendidikan, yang lahir dari keluarga Terpandang dan terhomat pada saat itu yaitu putra Kidemang Darwis dan sempat belajar di Timur Tengah, serta pada musim haji K H. Entol Muhammad yasin sering membawa jemaah Haji dari Banten yang di kenal dengan Seh Muhammad yasin. Beliau Punya Istri yang bernama Ibu Hj.Nyi Siti Zulmah yang sangat dekat dengan Keluarga Baslamah Turunan Arab. Dari Hasil pernikanya dengan Ibu Hj.Siti Zulmah,meninggalkan seorang putra dan seorang putri yaitu Ibu Nyai Hj Zenab dan KH.Junaedi Yasin. Kedua anaknya pada saat remaja belajar di Makah dan dilanjutkan di Mesir karena belajar ditanah air tidak kondusip.. Jauh sebelum berdinya MATHLAUL ANWAR KH. Entol Muhammad yasin memimpin Pengajian di Kampung Menes didapingi seorang Istri Ibu Hj Nyai Siti Zulmah dan pengajiannya sering di curigai dan diancam oleh antek-antek penjajah bahkan dipenjarakan,sehingga pengajiannya sering terganggu yang mengakibatkan pengajian yang dipimpinnya sempat pindah ke Kampung Kadugading menes. Pengajian dan perjuangan KH.Entol Muhammad Yasin dalam mencerdaskan Masyarakat Menes pada khususnya dan Banten pada umumnya bisa berjalan berkat bantuan dan dukungan dua orang tokoh yang sangat disegani dan dihormati pada saat itu, yaitu KH.Amin yang merupakan sorang jaksa yang kemudian di kenal denga Jaksa amin (Putra Demang Darwis) dan Kidemang Jasudin yang merupakan saudara Kidemang Darwis dan seorang Istri Nyai Siti Zulmah.
seberkas sinar, yang kemudian menjadi nama MATHLAUL ANWAR (bahasa Arab, yang artinya tempat lahirnya cahaya). Militansi K.H. Entol Moh. Yasin dari Kaduhawuk, Menes ini tak pernah memudar dalam keinginan untuk memajukan umat melalui pendidikan. Beliau menghendaki kemajuan umat hanya mungkin melalui pendidikan. Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda : Barang siapa yang menginginkan dunia haruslah dengan ilmu, barangsiapa meng-inginkan akhirat haruslah dengan ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya haruslah dengan ilmu. Dan hadits yang lain : Ilmu itu adalah cahaya. Beranjak dari sini agaknya pertemuan, akhirnya melahirkan sebuah kata sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelola dan diasuh secara jamaah dengan mengkordinasikan berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu Islam yang dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak. Perjuangan mengangkat dan membangkitkan umat dari lembah kegelapan dan kemiskinan yang menimbulkan keterbelakangan, tidak cukup sekedar dengan mengadakan pengajian bagi generasi tua saja. Untuk itu dituntut langkah lebih lanjut lagi, yaitu lahirnya generasi berikutnya yang justru merupakan sasaran utama yang diharapkan mampu mengubah situasi (min al zhulumati ila al nur). Berdirinya Mathlaul Anwar Guna mencari pemecahan masalah tersebut, para kyai mengadakan musyawarah di bawah pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Sholeh serta para ulama yang ada di sekitar Menes, bertempat di kampung Kananga. Akhirnya, setelah mendapatkan masukan dari para peserta, musyawarah mengambil keputusan untuk memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar di Makkah al Mukarramah. Ia tengah menimba ilmu Islam di tempat asal kelahiran agama Islam kepada seorang guru besar yang juga berasal dari Banten, yaitu Syekh Mohammad Nawawi al Bantani. Ulama besar ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai seorang fakih, dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam. Siapakah pemuda itu ? Dialah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun 1868, di kampung Janaka, Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten. KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah suci sekitar tahun 1910 M. Dengan kehadiran seorang muda yang penuh semangat untuk berjuang mengadakan pembaharuan semangat Islam, bersama kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan untuk membawa umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup yang terang benderang, sesuai ayat al-Quran Yukhriju hum min al dzulumati ila al nur. Pada tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916 M, para Kyai mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam dalam bentuk madrasah yang akan dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10 Syawwal 1334 H/9 Agustus 1916 M. Sebagai Mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal dan Presiden Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari kampung Kaduhawuk, Menes, serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat di sekitar Menes. Selengkapnya para pendiri Mathlaul Anwar : Kyai Moh. Tb. Soleh Kyai E.H. Moh Yasin Kyai Tegal Kyai H. Mas Abdurrahman K.H. Abdul Muti K.H. Soleman Cibinglu K.H. Daud K.H. Rusydi E. Danawi K.H. Mustagfiri Adapun tujuan didirikannya Mathlaul Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghumpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah air yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan. Program Pendidikan Mathlaul Anwar Untuk sementara, kegiatan belajar diselenggarakan di rumah seorang dermawan, di kota Menes. Beliau merelakan tempat tinggalnya digunakan untuk tempat belajar bagi umat. Tokoh ini adalah K.H. Mustagfiri. Selanjutnya, setelah mendapatkan sebidang tanah yang diwakafkan Ki Demang Entol Djasudin, yang terletak di tepi jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong-royong oleh seluruh masyarakat Islam Menes. Sampai kini gedung tersebut masih berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam dan Taman Kanak-kanak Mathlaul Anwar. Gedung tersebut tidak lain ialah pusat perguruan Islam Mathlaul Anwar yang terletak di kota Menes, Pandeglang. Mengenai program pendidikan diselenggarakan program pendidikan 9 (sembilan) tahun. Yaitu mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI dan kelas VII. Belum ada pemisahan tingkat Ibti-daiyah dan tingkat Tsanawiyah. Disamping pendidikan dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah, sebagai langkah modernisasi; juga dibuka lembaga pendidikan dengan sistem pesantren. Model ini tetap dihidup-suburkan, bahkan dikore-lasikan dengan sistem sekolah. Guru-guru yang mengajar di madrasah pada pagi hari, pada sore dan malam harinya, di rumah masing-masing, tetap menyelenggarakan pengajian dengan sistem pesantren dan menampung santri yang datang dari berbagai daerah untuk belajar di madrasah Mathlaul Anwar. Santriwan dan santriwati yang telah menyelesaikan masa pendidikan selama 9 (sembilan) tahun, yaitu tamat kelas VII, dikirim ke berbagai tempat/daerah untuk mendawahkan ajaran Islam dalam bentuk baru, yaitu mendirikan madrasah Mathlaul Anwar cabang Menes, dengan diantar oleh Pengurus Mathlaul Anwar Menes. Mereka diberi bisluit atau Surat Tugas mengajar dari Presiden of Bestur Mathlaul Anwar dengan semangat iman dan keyakinan terhadap janji Allah yang berbunyi : In tanshuru Allah yanshuru kum. Artinya, jika engkau menolong agama Allah, pasti Allah akan menolongmu. Maka tidaklah menghe- rankan jika pada tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, di Lampung, Lebak, \serang (Kepuh), Bogor, Tangerang, Karawang dan tempat-temapat lain, sudah berdiri madrasah Mathlaul Anwar cabang Menes, hanya diizinkan menye-lenggarakan madrasah sampai kelas IV (empat), sedangkan untuk kelas V, VI dan VII harus belajar di Menes. Pada tahun 1929 didirikan madrasah putri Mathlaul Anwar dengan tiga tokoh yang menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi Aisyah. Disamping kegiatan belajar mengajar di madrasah dan pesantren bagi murid-murid, juga setiap hari Kamis setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti pengajian yang diselenggarakan di masjid Soreang, Menes. Di situ KH. Mas Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai pengajian pusat. Tujuannya adalah dalam rangka memperluas dan memperdalam ilmu Islam. Dengan cara itu, akhirnya kyai-kyai pimpinan Mathlaul Anwar dapat berfikir dan berwawasan luas, tidak mengurung diri dalam satu pendapat seorang ulama saja. Untuk membangun dan memelihara madrasah Mathlaul Anwar, diusahakan dengan cara gotong-royong, baik tenaga manusianya maupun dananya. Untuk itu dihimpun shadaqoh jariyah, wakaf dan jimpitan (beras remeh), yang diseleng-garakan oleh jamaah Majlis Talim ibu-ibu. Caranya, setiap kali hendak masak nasi diambil satu sendok makan dari beras yang akan dimasak dan ditampung dalam tempat tersendiri. Selanjutnya, beras dihimpun oleh petugas yang biasanya terdiri dari seorang janda iskin dengan mendapat imbalan sepuluh persen dari hasil pungutannya. Para janda miskin ini kemudian menyetor kepada para kader yang mengikuti pengajian pada setiap hari Kamis yang menyerahkan lagi kepada kordinator pusat Mathlaul Anwar. Usaha yang tidak terasa namun nyata ini, akhirnya mampu menghimpun suatu kekuatan yang tidak kecil. Diantara sekian tanda bukti yang tidak bisa dilipakan ialah adanya beberapa bidang tanah yang dibeli dari hasil pungutan beras jimpitan (beras remeh) dan hingga kini tempat itu dinamakan Kebon remeh, milik Mathlaul Anwar. Bukti ini, tidak boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya. Pada tahun 1940 didirikan Madrasah Arabiah (Sekolah Arab) yang khusus memberi pelajaran bahasa Arab, untuk itu didatangkan seorang guru dari Salatiga yaitu KH. Humaedi disamping itu beberapa pemuda dikirim ke Jakarta (sekolah Jamiatul Khaer) untuk calon- calon guru. Dan untuk mempela-jari ilmu Falak didatangkan guru dari Pekalongan (KH. Syabrawi dan diadakan kursus ilmu falak bagi guru-guru Mathlaul Anwar). Untuk mencetak para muballig diadakan kursus muballig yang dinamai cm. Yang diikuti para santri-santri dan guru-guru serta pemuda-pemuda. Disamping adanya kursus mubalig bagi murid-murid/pelajar madrasah mulai tingkat rendah sampai tingkat atas, pada tiap-tiap kenaikan kelas Ichtifalan diadakan pidato anak-anak sekolah untuk mendidik mereka pandai pidato dan tablig. Untuk menampung para pelajar yang datang dari daerah-daerah, didirikan pondok-pondok pesantren di sekitar Menes, antara lain di Kananga yang paling besar yang dipimpin oleh KH. Tb. Ahmad, seorang alumni pertamapendidikan di Mathlaul Anwar. Para santri yang mondok di Kananga datang dari Bogor, Tangerang, Lampung dan lain-lain, sampai ratusan jumlahnya. Kananga adalah satu kampung di kaki gunung pulosari merupakan tempat cikal bakal Mathlaul Anwar, sebab disitulah K. Tb. Moh. Sholeh tinggal dan setibanya KH. Mas Abdurrahman dari Makkah tinggal di Kananga dan menikah dengan putri dari KH. Tb. Moh. Sholeh, dan selanjutnya pindah ke Soreang Menes, dan di Soreang inilah dibangun pesantren. KH. E. Muhamad Yasin adalah seorang ulama intelek yang berwawasan luas, dan ia seorang putra dari seorang jaksa. Lahirnya Statuten Mathlaul Anwar Peristiwa pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1926 di Menes dan Labuan, tanpa disadari oleh para tokoh dan pimpinannya, telah membuat Mathlaul Anwar bertambah besar dan meluas. Pemberontakan, yang oleh pihak Belanda disebut sebagai pemberontakan Komunis, menyebabkan para tokoh dan pimpinan Mathlaul Anwar selalu dicurigai dan diawasi oleh aparat pemerintahan, terutama pihak P.I.D (polisi rahasia kolonial Belanda). Hal ini terjadi karena diantara pelaku pemberontakan terdapat tokoh dan orang-orang Mathlaul Anwar. Meskipun mereka tidak dalam kapasitasnya sebagai tokoh dan warga Mathlaul Anwar, tetapi dalam kedudukannya sebagai anggota Serikat Islam (?) Sebagian dari mereka bahkan ada pula yang dibuang ke Boven Degul, Tanah Merah, Irian antara lain : K. Abdulhadi Bangko, Khusen Cisaat dan lain-lain. Dengan adanya pengawasan dan kecurigaan yang amat ketat di Pandeglang, Khususnya di Menes dan Labuan, aktivitas para pimpinan Mathlaul Anwar di daerah tersebut menjadi berkurang dan terpaksa harus berhati-hati sekali. Para kyai dan ulama Mathlaul Anwar kemudian bergerak menyebar-luaskan Mathlaul Anwar ke luar daerah, mengirimkan kader- kader dan para abituren (lulusan) madrasah Mathlaul Anwar Menes ke daerah-daerah di luar Pandeglang. Diantaranya ke kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor, Karawang dan di Keresidenan Lampung. Pada tahun 1936 jumlah madrasah Mathlaul Anwar sudah mencapai 40 buah yang tersebar di tujuh daerah tersebut di atas. Pada waktu itu perhatian terhadap Mathlaul Anwar tidak lagi terbatas dari kalangan kaum pelajar (intelektual) pun mulai ikut berpartisipasi aktif. Karena itu, dan sesuai pula perkembangan Mathlaul Anwar, maka timbulah gagasan-gagasan untuk meningkatkan kualitas perkembangan organisasinya, baik yang bersifat teknis pedagogis, maupun adsministratif organisasi dan keanggotaannya.
Sejak dihancurkannya Kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jendral Deandeles praktis banten dinyatakan daerah jajahan belanda sebab ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari melalui pajak yang berat. Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilayah yang memiliki sistem administrasi yang sistematis dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial politik di kawasaan kolonial sesuai dengan keperluan negara jajahan. Kehadiran kolonialisme belanda bukan saja menghancurkan tata niaga warga pribumi sistem ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga menghancurkan sistem idiologi negara sebagai pemersatu bangsa. Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami penghancuran sebagian mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat, idiologi keagamaan itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap kolonialisme, sehingga sebagian elit keagamaan membentuk fron perlawanan terhadap belanda. Dalam waktu itu tingkat kejahatan merajalela, perampokan, pembunuhan, perkelahian, terjadi hampir tiap saat. Kondisi pendidikan masyarakat banten hampir dialami oleh seluruh rakyat nusantara, yaitu melarat dalam keterbelakangan, selama mereka dibawah kekuasaan belanda. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah belanda memberlakukan politik etis yang dijalankan pemerintah belanda diantaranya membuat irigasi untuk pertanian rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi bumi putra tetapi program tersebut tidak berhasil memberikan manfaat bagi penduduk desa. Tujuan belanda mendirikan sekolah adalah menyiapkan pekerja Ambtenar yang jumlahnya tidak terlalu banyak, karena masyarakat lainnya hanya sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan yang tinngi. Sementara itu pendidikan islam yang ada hanya sebatas pondok pesantren, oleh para kyai secara individual dan tradisional. Ditengah hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran didalam masyarakat yang dilanda kemiskinan, kebodohan, dan kejumudan yang diselimuti pula oleh kegelapan, muncullah seberkas sinar harapan yang membawa perubahan dihari kemudian. Munculah seorang ulama besar yang bernama K.H. E. Muhamad Yasin beliau baru kembali dari bogor usai menghadiri rapat yang diselenggarakan oleh ulama-ulama guna menciptakan kehidupan umat islam yang lebih baik ditengah penjajahan. Gerakan ini dipelopori oleh Haji Saman Hudi dalam langkah mendirikian Syarikat Dagang Islam (SBI) pada tahun 1908 M. bersama rekan-rekanya di Menes Kyai H. Tb. Moh. Soleh dan beberapa kyai lainnya mereka melakukan pertemuan dan musyawarah. Dan dari musyawarah itu lahirlah kata kesepakatan untuk membentuk suatu majlis pengajian yang diasuh bersama, pengajian tersebut dijadikan lembaga muzakarah dan musyawarah dalam menanggulangi dan memerangi situasi kegelapan itu dengan munculnya seberkas sinar yang bernama Mathlaul Anwar. Dengan kondisi bangsa yang porakporanda dari semua segi, Akhirnya dibawah pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Soleh diadakanlah sebuah Musyawarah di Menes Kampung Kananga, dan mengasilkan masukan dari para peserta agar memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar di Mekkah Al Mukaromah, Yang tengah menimba ilmu islam kepada seorang guru besar yang juga berasal dari Banten yaitu Syekh Muhammad Nawawi al Bantani. Pemuda itu bernama KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal yang lahir pada tahun 1868 dikampung janaka, Kecamatan Jiput Kewadanaan Caringin Kabupaten Pandeglang Karesidenan Banten. Dengan kehadiran semangat muda yang penuh dengan semangat juang mengadakan pembaharuan semangat islam, bersama kyai-kyai sepuh untuk membawa umat islam keluar dari kegelapan kejalan yang terang benderang sesuai dengan ayat al-Quran Yukriju hum min al dzulumati ila al nur. Pada tanggal 10 bulan rhamadhan 1334 H, para kyai tersebut mengadakan musyawarah untuk membuka sebuah perguruan islam dalam bentuk madrasah yang dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10 syawal 1334 H atau 19 Agustus 1916 M. Sebagai Direktur atau Mudir KH. Mas Abdurrahman bin KH Mas Jamal, dan Presiden Bistirnya KH. E. Moh. Yasin dari kampung kadu hawuk Menes dibantu dengan sejumlah tokoh dan kyai lainnya di Menes yaitu :