Anda di halaman 1dari 2

NAMA : KRISTI YESTIN TATONTOS

NIM : 19.01.022

PRODI : TEOLOGI AKADEMIK

MATKUL : KEPEMIMPINAN KRISTEN

BETLEHEM VAN JAVA

Pada suatu hari di tahun 1896, dua orang misionaris dari Belanda mendarat di Semarang,
Jawa Tengah. Dia adalah Romo Hoovenaar dan Romo Van Lith. Sama-sama diutus untuk
menyebarkan ajaran Katolik di tanah Jawa, kedua misionaris ini punya pandangan yang berbeda
dalam misi masing-masing.

Bagi Romo Hoovenaar, keberhasilan misinya adalah ketika banyak orang yang dibaptis. Sementara
menurut Van Lith, menghidupi kekatolikan itu lebih penting dari pada sekedar memeluk agama
Katolik. Dalam misinya, Romo Van Lith ingin menyebarkan ajaran Katolik sekaligus
menyejahterakan orang Jawa melalui pendidikan.

Maka dari itu untuk memulai misinya, Romo Van Lith mendirikan banyak sekolah pendidikan
khususnya di daerah Muntilan, Jawa Tengah. Selain itu, dia mulai mempelajari budaya Jawa dan
memisahkan gerakan misi Katolik dari kepentingan politik Kolonial Belanda.
Namun dalam keberhasilan karya seorang misionaris, banyaknya pembaptisan tetaplah menjadi tolak
ukur. Sementara itu Romo Van Lith tak kunjung menghasilkan baptisan dan dianggap gagal, Karena
hal itu sekolah pendidikannya akan ditutup dan dia akan ditarik ke negara asalnya. Hingga pada suatu
hari ada seorang petapa bernama Sarikromo yang mendatangi Romo Van Lith dalam keadaan
menderita penyakit kudis.

Sesampainya di kediaman Romo Van Lith, Sarikromo dirawat hingga sembuh. Tak hanya itu,
Sarikromo yang terlanjur tertarik dengan pribadi Romo Van Lith sering datang ke kediaman sang
pastor untuk belajar mengenai ajaran Katolik. Sarikromo pulang ke kediamannya di Semanggung
dengan dibekali sebuah Kitab Suci Perjanjian Baru berbahasa Jawa. Saat itu banyak orang yang
berdatangan ke rumahnya mengenai penyembuhan penyakitnya. Di sana pulalah Sarikromo bercerita
kepada penduduk setempat mengenai sosok Romo Van Lith dan apa yang diajarkannya tentang
kekatolikan. Pada puncaknya, Romo Van Lith membaptis Sarikromo dan tiga orang lainnya di
Muntilan. Setelah itu Sarikromo-lah yang kemudian mengajarkan ajaran Katolik di daerah
Kalibawang.

Pada puncaknya pada 14 Desember 1904, Romo Van Lith membaptis 171 orang setempat di daerah
Sendangsono. Peristiwa ini dipandang sebagai “kelahiran” Gereja Katolik” di antara orang Jawa.
Dalam menjalankan misinya, Romo Van Lith banyak memasukkan adat istiadat Jawa ke dalam
peribadatan umat Katolik. Sebagai contohnya, dia menambahkan musik gamelan dalam setiap upacara
keagamaan. Selain itu, dia juga menginisiasi pemilihan tempat suci dalam budaya Jawa sebagai
kepentingan peribadatan umat Katolik, salah satunya Sendangsono. Ia pulalah yang menekankan
perubahan doa-doa dan nyanyian Katolik ke dalam Bahasa Jawa. Semua yang dilakukan Romo Van
Lith dalam menyebarkan ajaran Katolik menunjukkan kalau dia terbuka pada “tradisi sinkretis” di
Jawa. Bahkan dia memasukkan mitos-mitos lokal ke dalam ajaran Katolik, seperti yang ia lakukan
saat mengadopsi cerita lokal tentang Dewi Lantamsari, penjaga dan pelindung mata air Sendangsono,
dengan sosok Maria.

Selain menyebarkan ajaran Katolik, Romo Van Lith juga berperan besar dalam memajukan
perekonomian dan pendidikan di Jawa. Dia menginisiasi usaha-usaha seperti sewa tanah, klinik
kesehatan, produksi anyaman bambu, dan jenis usaha lainnya. Selain itu, dia juga mendirikan sekolah
tinggi Katolik di Muntilan bernama Kolese Xavier pada tahun 1904. Seiring waktu, sekolah ini
melahirkan para pemimpin-pemimpin Katolik lokal yang tak hanya bergerak di bidang kegerejaan,
melainkan kepentingan seluruh masyarakat Jawa. Salah satunya lulusan sekolah itu adalah Mgr.
Albertus Soegijapranata S.J, yang kemudian menjadi uskup Indonesia pertama dan menjadi Pahlawan
Nasional karena turut terlibat dalam penyelesaian damai Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Kaitan dengan kepemimpinan kristen:

Ketika ketaatan butuh pengorbanan, ketika kehendak Tuhan begitu berbeda dengan kehendak pribadi,
Van Lith memulai karyanya sebagai misionaris di tanah misi, Hindia Belanda, khususnya tanah Jawa.
Peristiwa penipuan, konflik karena perbedaan visi dan rencana penutupan pusat misi Munstilan
menjadi salib berat bagi Van Lith. Hidupnya menjadi seperti lilin yang meleleh tak berguna dan harus
menyala lagi bagi Tuhan. Di tengah kegalauan hatinya, Tuhan ikut berkarya dengan mengirim 171
babtisan. Peristiwa Sendangsono manjadi penyelenggaraan ilahi bagi Van Lith. Pendidikan guru yang
dicita-citakan Van Lith pun mendapat angin segar. Van Lith menjadi tokoh pendidikan bagi kaum
pribumi.

Pendidikan menjadi penting dalam proses pemerdekaan orang-orang yang ia layani. Ketika domba-
dombanya merdeka dari kebodohan, kemiskinan dan penjajahan, saat itulah spiritualitas kekatolikan
bisa dihidupi. Bagi Van Lith menjadi katolik bukan sekedar memiliki surat babtis, menjadi katolik
berarti menghidupi spiritualitas kekatolikan itu sendiri dengan seluruh martabatnya sebagai manusia.
Penipuan, korupsi, konflik, pelechean martabat manusia masih menjadi pemandangan sehari-hari di
tengah-tengah masyarakat kita. Belajar dari Van Lith, Gereja menjadi tanda keselamatan yang
sungguh hadir di tengah-tengah masyarakatnya.

Menjadi seorang pemimpin yang taat berarti menjadi pelayan dan hamba yang setia dalam
melaksanakan kehendak Tuhan. Kebahagiaan seorang beriman itu tampa dalam kebebasanya
melakukan kehendak Allah. Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan
apa yang kami harus lakukan ( Lukas 17 : 10).

Ketaatan ini merupakan persembahan diri kepada Allah. Dengan demikian secara lebih mantap dan
pasti menyatukan diri dengan kehendak Allah yang menyelamatkan, seperti Yesus Kristus yang
datang melaksanakan kehendak Bapa-Nya. ( Yoh.4:34)

Anda mungkin juga menyukai