Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Kampung Kauman

By Rifai Shodiq Fathoni / 08 Jun, 2018

Kampung Kauman adalah nama kampung yang terletak di tengah-tengah kota,


berdekatan dengan Masjid Agung dan Alun-alun Keraton atau Alun-alun
Kabupaten. Nama Kauman sendiri berasal dari bahasa Arab qaum yang berarti
masyarakat.

Kampung Kauman Surakarta


Hampir di setiap Kabupaten atau Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah,
Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur terdapat nama Kampung Kauman.
Namun Kampung Kauman yang berada di Kota Surakarta, memiliki cerita
tersendiri karena merupakan kampung kauman pertama yang berdiri.

Nama Kauman di Surakarta memiliki keterkaitan dengan keberadaan Keraton


Kasunanan Surakarta. Kampung Kauman di Surakarta berdiri bersamaan
dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta oleh Pakubuwono III pada tahun
1757 M.

Masjid Agung Surakarta

Masjid ini dibangun oleh raja sebagai bentuk kewajiban raja dalam memimpin
rakyatnya dimana raja sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah, yang berarti
raja selain menjadi pemimpin negara (kerajaan) raja juga sebagai pemimpin
agama agar rakyat dapat hidup damai dan sejahtera.
Setelah Masjid berdiri, maka berfungsilah masjid tersebut sebagai pusat
dakwah Islam bagi Keraton Kasunanan Surakarta.

Untuk melaksanakan tugas raja sebagai Sayyidin Panatagama


Khalifatullah maka raja mengangkat dan menempatkan
seorang penghulu (seorang ahli di bidang agama sekaligus penasehat raja) di
Masjid tersebut. Penghulu tersebut diberi hak pakai atas sebidang tanah yang
terletak di sebelah utara Masjid. Tanah disekitar masjid ini oleh keraton hanya
boleh ditempati oleh rakyat yang beragama Islam.
Kemunculan kampung Kauman dimulai dengan adanya penempatan abdi
dalem pamethakan yang bertugas dalam bidang keagamaan dan kemasjidan
yaitu Kanjeng Kyai Penghulu Mohammad Thohar Hadiningrat (Penghulu
dalem ing keraton dalem Surakarta), yang bermukim di sekitar masjid Agung.
Penghulu membawahi tanah disekitar masjid yang warganya terdiri dari abdi
dalem pamethakan dan ulama sebagai pembantu/mewakili tugas penghulu
apabilaberhalangan.
Tanah yang ditempati penghulu adalah pemberian dari Sunan PB III dengan
status tanah anggaduh, yang berarti hanya berhak ditempati atau nglungguhi
dan tidak punya
hak milik. Oleh keraton, tanah yang ditempati penghulu dan para abdi dalem
mutihan tersebut diberi nama Perkauman, artinya tanah tempat tinggal para
kaum dan akhirnya dikenal sebagai Kampung Kauman. RM Sajid dalam
kutipan Babad Sala menjelaskan bahwa “Panggenahing abdi dalem ngulama,
saking pangkat bupati sak-andhahanipun sadaya, dumugi kaum, naminipun
kampung kauman“
Penghulu, dalam bidang kemasjidan, khususnya di Masjid Agung, dalam
melaksanakan tugasnya dibantu oleh para ahli agama yang terdiri dari :

1. Ketib / Khotib, yaitu ulama yang bertugas memberikan khotbah pada


saat sholat jumat dan sebagai Imam sholat rowatib.
2. Modin, yaitu orang yang bertugas memukul bedhug atau kenthongan
saat tanda waktu sholat wajib telah tiba, kemudian mengumandangkan
adzan. Namun dalm kehidupan sehari-hari modin juga melaksanakan
tugas untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dan
kematian, memberikan doa dalam acara selamatan, memandikan
jenasah dsb.
3. Qoyyim, yaitu orang yang bertugas membantu tugas dan pekerjaan
modin.
4. Merbot, yaitu orang yang bertugas sebagai juru bersih dan mengelola
fisik Masjid, seperti menyediakan air, tikar dan alat-alat perkakas
masjid.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan kampung kauman itu
ada karena memang dikehendaki oleh keraton sebagai bagian dari 4
komponen pola kota pemerintahan kerajaan Mataram Islam yang terdiri dari
Keraton, Alun-alun, Masjid dan pasar. Para abdi dalem pamethakan inilah yang
mencitrakan kauman sebagai kampung yang didominasi oleh para priyayi dari
golongan ulama atau santri yang ditempatkan oleh pihak kerajaan (atas
kehendak raja) untuk “meng-Islamkan“ masyarakat.

Kampung Kauman Yogyakarta


Pendirian Kampung Kauman kemudian diikuti oleh Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Setelah menyelesaikan pembangunan keraton pada 1756, Sultan
Hamengkubuwono I kemudian mulai membangun Masjid Agung pada 1773.

Masjid Agung Yogyakarta

Dengan dibangunnya Masjid Agung, maka institusi agama yang dipimpin oleh
penghulu juga dibentuk. Penghulu dan keluarganya tinggal di area di sebelah
utara masjid yang diberi nama pengulon. Sementara Ketib, Modin dan
keluarganya tinggal di barat masjid. Masyarakat sekitar masjid ini lantas
dikenal dengan masyarakat Kauman dan lokasi tempat mereka tinggal
disebut sebagai Kampung Kauman.

Kauman di Yogyakarta juga mempunyai cerita tersendiri, karena kampung itu


menjadi tempat lahir dan berkembangnya ajaran Muhammadiyah yang dibawa
oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Masuknya ajaran ini membuat berbagai
perubahan dalam kehidupan masyarakat Kauman. Perubahan-perubahan
tersebut mencakup bidang agama, pendidikan, kebudayaan serta ekonomi.

Kehidupan di Kampung Kauman


Bidang Agama
Pada awalnya kehidupan agama masyarakat Kauman tergolong jauh dari
ajaran yang tertuang dalam Kitab suci Al Qur’an. Masyarakat Kauman dahulu
lebih condong mengamalkan ajaran agama Islam secara tradisional yang
bersumber pada kitab-kitab karangan para ulama terdahulu.

Hal itu tercermin dalam kebiasaan masyarakat Kauman menjalankan agama


secara sinkretis yaitu mencampuradukkan upacara ibadah Islam dengan
kepercayaan dari luar ajaran Islam seperti melaksanakan ritual membakar
kemenyan, mempercayai kekuatan jimat, dan meminta-minta kepada makam
leluhur.

Kebiasaan-kebiasaan tersebut lama kelamaan berubah sejak masuknya


ajaran Islam Muhammadiyah yang dibawa oleh KH.Ahmad Dahlan.

Bidang Pendidikan
Pola pendidikan di dalam masyarakat Kauman sebelumnya ialah model
pesantren yang hanya membatasi pengajarannya seputar bidang keagamaan
saja tanpa adanya pengajaran dari bidang umum lainnya. Akibatnya para anak
didik hanya memperoleh pengetahuan tentang agama Islam.

Pada masa itu pola pengajaran yang berlaku di kehidupan masyarakat


Kauman ialah pola pesantren dimana para anak didik diajar oleh para ulama
yang memiliki langgar. Langgar tersebut berfungsi sebagai tempat ibadah dan
mengaji kitab. Hingga pada akhirnya terjadi perubahan pendidikan di dalam
masyarakat Kauman sebagai akibat karena adanya perubahan bidang agama
yang membawa paham reformis dengan gerakan Muhammadiyah.

Masyarakat yang semula berorientasi pada pendidikan pondok pesantren


yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam berubah
orientasinya menjadi pendidikan sekolah umum. Pendidikan sekolah ini tetap
diselenggarakan dan dikelola oleh masyarakat Kauman sehingga tetap
adanya kurikulum pendidikan agama Islam. Dengan adanya sekolah umum ini
membuat pemikiran masyarakat Kauman menjadi lebih terbuka.

Bidang Kebudayaan
Sebelum munculnya gerakan pembaharuan yang menginginkan adanya
reformasi terhadap ajaran Islam di dalam masyarakat Kauman berkembang
berbagai bentuk kesenian tradisional seperti Shalawatan, Samrohan, dan
Dziba’an.

Berbagai kesenian tersebut merupakan ciri khas kampung pesantren,


mengingat dahulu kampung Kauman yang lebih berorientasi kepada
pendidikan pondok pesantren dan menolak masuknya ilmu pengetahuan
umum sehingga hal ini pun berimbas pada kehidupan budaya masyarakatnya.
Namun semenjak masuknya Muhammadiyah berbagai bentuk kesenian
tersebut lama kelamaan hilang.
Masyarakat Kauman juga mempunyai kebiasaan dalam menjalankan upacara-
upacara adat seperti selamatan siklus kehidupan yang didalamnya terdapat
upacara Mitoni, Selapanan yang diselenggarakan dengan berjanjen, tedak
siten, serangkaian upacara tetakan , mantenan, serta upacara kematian.
Berbagai upacara tersebut disertai dengan doa-doa tahlil dalam Islam
sehingga adanya percampuran antara ajaran agama Islam dengan
kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu masyarakat memperlakukan upacara-
upacara tersebut sebagai ibadah dan dianggap sebagai perintah dalam ajaran
Islam.

Seiring perkembangan zaman dan kemajuan pola pikir masyarakat Kauman


yang sudah membuka diri untuk menerima pengetahuan dari berbagai bidang
ilmu membuat kebudayaan-kebudayaan yang dianggap sinkretis tersebut
perlahan hilang walaupun tetap ada beberapa upacara yang masih
dipertahankan hingga kini.

BIBLIOGRAFI

Pusponegoro, Ma’mun dkk. 2007. Kauman: Religi,Tradisi & Seni.  Surakarta:


Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman.
Sairin, Sjafri. 1998. “Kauman: A Moslem Neighborhood of Yogyakarta”. Jurnal
Humaniora. No. 8.
http://wawasansejarah.com/sejarah-kampung-kauman/

Anda mungkin juga menyukai