Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH

STRATEGI KULTURAL WALISONGO DALAM PENYEBARAN ISLAM PADA


MASYARAKAT JAWA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Islam Budaya dan Lokal
Dosen pengampu: Ilmi Hidayah,M.S.I

Oleh kelompok 11 kelas C1MD :

Aldi Handoyono (21403100

A.Nur Said (21403100

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebelum masuknya agama Islam di Indonesia khususnya di tanah Jawa, wilayah


Indonesia didominasi oleh agama Hindu dan Buddha yang terlebih dahulu memasuki
Indonesia pada masa sekitar abad ke-4 Masehi. Orang-orang dari Gujarat datang ke
kepulauan Jawa dan Sulawesi membawa agama serta peradaban mereka. Kepercayaan
yang berkembang dikalangan masyarakat pada waktu itu yaitu kepercayaan akan adanya
sebuah unsur yang di dewakan, maka kemudian banyak sekali ditemukan peninggalan-
peninggalan yang berbentuk bangunan. Memasuki abad ke-7 ajaran agama Islam mulai
masuk ke Indoneisa berdasarkan toeri Makkah. Proses masuknya ajaran agama Islam di
Indonesia pertama kali melalui masyarakat pesisir pantai utara seperti Sunda Kelapa,
Banten, Demak, Jepara, dan Gresik. Ajaran agama Islam disebarkan oleh
pedagangpedagang muslim dari Timur Tengah maupun dari Gujarat dalam rangka urusan
dagang. Mereka singgah di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pesisir pantai utara Jawa,
selain untuk urusan dagang para saudagar muslim tersebut juga berdakwah mensyiarkan
agama Islam di kalangan mayarakat Jawa.

B. Rumusan masalah
1.
C. Tujuan masalah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah walisongo

Walisongo berarti sembilan orang wali. Sembilan orang wali yang dimaksud
adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati.
Meski mereka tidak hidup di zaman yang persis sama. Namun satu sama lain
mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga ada hubungan erat
seperti hubungan guru dan murid.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya


Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Mereka mempunyai peranan
penting seperti Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi
Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang dianggap oleh kolonialis sebagai "paus
dari 12 Timur" serta Sunan Kalijaga telah mencipta karya kesenian dengan
menggunakan gaya dan cara yang dapat dipahami oleh masyarakat Jawa dengan tidak
meninggalkan kebudayaan Hindu dan Budha.

Sejarah walisongo berkaitan dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah


Jawa. Kesuksesan perjuangan para Wali ini tercatat dengan tinta emas. Dengan
didukung penuh oleh kesultanan Demak Bintoro, Agama Islam kemudian dianut oleh
sebagian besar masyarakat Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan.
Islam benarbenar menjadi agama yang mengakar. Para wali ini mendirikan masjid,
baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan agama. Konon,
mereka mengajarkan agama di serambi masjid yang kelak dijadikan sebagai lembaga
pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis.

Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu dewan dakwah atau dewan


mubaligh. Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera
diganti oleh wali lainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-
Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka
adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak
tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain. Berikut ini beberapa sejarah singkat dan
kiprah dari masing-masing anggota dari Walisongo, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim (Wafat 1419)

Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan


lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Ibrahim adalah anak dari
seorang ulama Persia yang menetap di Samarkand yang bernama Maulana Jumadil
Kubro. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa,sekarang Kambojaselama
tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia menikahi seorang putri raja dan dikaruniai
dengan dua orang putra yaitu Raden Rahmat (kelak dikenal dengan nama Sunan
Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Setelah merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim
pun memutuskan untuk berhijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Daerah
yang ditujunya pertama kali yakni Desa Sembalo yang pada saat itu masih merupakan
wilayah kekuasaan Majapahit. Aktifitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung, yang menyediakan kebutuhan pokok
dengan harga murah. Selain itu, secara khusus Malik Ibrahim juga bekerja sebagai
tabib yang membantu mengobati masyarakat secara gratis. Bahkan konon katanya,
beliau pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar
kemungkinan permaisuri yang dimaksudkan itu masih memiliki hubungan kerabat
dengan istrinya. Selain berdagang dan menjadi tabib, Maulana Malik Ibrahim juga
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam kepada masyarakat kelas bawah yang
selama ini disisihkan oleh ajaran Hindu. Hal ini membuatnya telah berhasil
mendapatkan simpati dari masyarakat yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi
dan perang saudara. Beliau meninggal pada tahun 1419 M setelah selesai membangun
dan menata pondok pesantren yang akan digunakan sebagai tempat belajar agama di
Leran. Hingga saat ini, makamnya yang berada di kampung Gapura, Gresik, Jawa
Timur itu pun masih menjadi tujuan wisata Walisongo.

Anda mungkin juga menyukai