Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH SEJARAH SENI PERTUNJUKAN

“GAMELAN PADA MASA KOLONIAL BELANDA”

Oleh :

1. Manda Firmansyah (121411431066)


2. Sakinah (121411431032)
3. Teddy Agung P. (121411433013)
4. Suci Wulan D. (121411431011)

Kelompok XI

Fakultas Ilmu Budaya


UNIVERSITAS AIRLANGGA

1
BAB I

PENDAHULUAN

Ekologi merupakan faktor utama yang mempengaruhi bentuk dan pola kebudayaan
beserta komponen-komponennya seperti kesenian. Orkes musik merupakan bagian dari
kesenian yang muncul sebagai dampak langsung aktivitas perekonomian dan gaya hidup.
Tradisi musik bercorak lokal tentu berkaitan erat dengan bahan yang tersedia di alam
sekitarnya. Pembuatan alat musik tiup seperti seruling pasti terkait ketersediaan bambu
berlubang yang berkualitas. Selain bambu, lingkungan Asia Tenggara juga menyediakan
kayu dan perunggu. Serangkaian tabung bambu tersusun rapat serta termampatkan oleh kayu
dapat memicu instrumen gambang. Sementara pengelolahan perunggu membutuhkan proses
penempahan dan peleburan, mahal tapi tahan lama. Perunggu menjadi bahan baku untuk
berbaga i intrumen perkusi seperti gong, gong lonceng dan metalofon.

Pada awalnya penciptaan alat musik di Asia Tenggara berkaitan erat dengan
fungsinya sebagai media berkomunikasi dengan dunia roh, roh nenek moyang maupun
tempat keramat. Oleh karena itu, orkes musik akan dipertontonkan dalam upacara
keagamaan, ritual-ritual kerajaan atau pagelaran mistis lainnya. Seiring waktu terjadi
pergeseran fungsi sehingga musik tidak lagi hanya untuk ritual kerajaan ataupun upacara
keagamaan tetapi juga untuk hiburan. Seni pertunjukan tari dan teater melibatkan musik.1
Selama ribuan tahun, ansambel perkusi perunggu telah memainkan peran penting dalam
budaya Jawa dan Bali.

Seni pertunjukandan kesenian berbentuk visual sangat menonjol dalam kebudayaan-


kebudayaan Jawa dan Bali. Pagelaran musik gamelan selalu berhubungan erat dengan seni
pertunjukan wayang. Tradisi-tradisi musik cukup beragam di Nusantara, tetapi paling penting
ialah tradisi musik Jawa yang peninggalannya dari abad XVII masih dapat dijumpai
sekarang. Pada zaman pra-sejarah, Jawa merupakan pusat kebudayaan musik genta-gong.
Terdapat dua jenis gong utama yang dapat ditemukan dalam orkes gamelan yakni bonang dan
gong. Sebuah genta perunggu dengan sebuah tonjolan kecil diatasnya untuk dipukul,
biasanya beberapa biji bonang dijejerkan secara horizontal diatas kerangka yang terbuat dari

1
Henry Spiller, Gamelan; The Traditional Sounds of Indonesia (California; ABC CLIO,2004), hlm. 5-9 & 35-
37.

2
kayu disebut bonang. Selain itu, gong tipe umum yang digantungkan secara vertikal dengan
ukuran beraneka ragam. Gong ageng berarti gong berukuran besar dengan tebal dan memiliki
sisi yang dalam yang bergaris tengah satu meter serta menghasilkan bunyi khas orkes Jawa
yang nyaring.2

Secara keseluruhan gamelan merupakan orkes tabuh, kecuali selingan instrumen


gesek bersenar dua yang disebut rebab. Gamelan terdiri dari 50 alat dalam setiap pagelaran
keraton yang sangat besar, namun untuk pagelaran berskala lebih sedang biasanya hanya
terdiri atas sekitar selusin alat. 3 Orkestra musik gamelan tidak memerlukan jumlah pemain
yang tetap. Dalam orkestra gamelan tidak banyak meminta penyesuaian yang sulit di antara
berbagai pemainnya sehingga cenderung untuk membebaskan pemainnya untuk berekspresi.
Alhasil untuk mengkoordinir para pemain gamelan dan lantunan nada yang mereka
timbulkan maka setiap pagelaran memerlukan dirijen. Pemain gamelan seluruhnya
beranggotakan laki-laki. Puncak kenikmatan anggota orkestra gamelan ialah ketika setiap
anggota merasakan atau bersimpati satu sama lain.

Orkes musik gamelan bagi seni pertunjukan wayang menggambarkan nilai-nilai


keningratan priyayi Jawa. Priyayai merupakan kelas bangsawan dalam masyarakat Jawa.
Kaum priyayi ialah penikmat seni, karya seni, seni pertunjukan maupun produk kesenian
lainnya. Kebudayaan kelas priyayi yang termanifestasi dalam kebiasaan, perilaku, sikap,
karakter, adat istiadat berpakaian maupun lingkungan pergaulan. Pengungkapan nilai-nilai
priyayi dalam seni pertunjukan wayang dengan orkes gamelan yang menyajikan lantunan
nada khas. Orkes gamelan memanjakan telinga pendengar sekaligus mengirim pesan
gambaran kehidupan priyayi, sebagaimana pula tampilan wayang yang mampu tertangkap
oleh indera penglihatan lalu diterjemahkan oleh pikiran.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana posisi, fungsi dan peran gamelan di lingkungan keraton pada masa
kolonial Belanda?
2. Bagaimana dinamika perkembangan musik gamelan pada masa kolonial Belanda?
3. Apa nilai filosofis gamelan sebagai orkes musik populer pada masa kolonial Belanda?

2
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004( Jakarta; Serambi, 2001),hlm.130.
3
Clifford Geertz, Agama Jawa; Santri, Abangan, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, (Depok; Komunitas
Bambu, 2014),hlm.400.

3
BAB II

PEMBAHASAN

Gamelan di Lingkungan Keraton Pada Masa Kolonial Belanda

Dinamika perubahan musik gamelan di Jawa Barat terutama di Cirebon relatif lambat,
agak berbeda dengan di Jawa Tengah, Jawa Timur ataupun Bali. Musik gamelan di Cirebon
bertransformasi melintasi periode Hindu, Buddha, awal kerajaan Islam dan Jawa abad
pertengahan. Musik gamelan di Jawa Tengah jusru mengalami transformasi secara signifikan
selama beberapa abad terakhir sehingga sangat berbeda dengan musik gamelan Cirebon.
Sebagaimana empat keraton pecahan kerajaan Mataram, keraton Cirebon juga mempunyai
cara yang mirip dalam melegitimasi kekuasaan sebagai pewaris kerajaan sebelumnya.
Instrumen gamelan dan upacara sekaten dan seremonial lainnya.

Selama bertahun-tahun kerajaan Mataram dirundung pemberontakan dan konflik atas


suksesi. Pengaruh kekuasaan kolonial Belanda yang signifikan menciptakan beberapa
keraton dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan dan pengaruh penguasa Jawa Tengah
dengan mendirikan penguasa saingan yang berdekatan. Selama abad 19 dan 20 awal, arena
kompetisi di antara para penguasa keraton ialah pengembangan dan perlindungan seni.
Pelukis dan penari Amerika, Hubert Stowitts menghabiskan seumur hidupnya untuk belajar
dan melukis di berbagai keraton Jawa Tengah (1927-1928). Ia mencatat persaingan
pengembangan dan perlindungan seni tersebut dalam buku yang tidak diterbitkan. Ia menulis
“rumah panas instrik Oriental dan misteri”.

Menurut Stowitts Sultan, Susuhunan, Pangeran Pakualaman dan Mangkunegaran


mengenakan seragam Belanda ketika mereka mengunjungi keraton satu sama lain untuk
menghindari tuntutan Jawa tentang etiket yang secara tidak langsung memaksa mereka
mengakui peringkat dan status masing-masing. Para penguasa berlomba-lomba menabur
gengsi dengan mempertontonkan kemewahan orkes musik gamelan dan teater dalam

4
memperingati perayaan acara-acara penting. Ahli waris mereka juga dilatih sebagai
pelindung seni.4

Kepemilikan instrumen gamelan menjadi simbol legitimasi dan kekuasaan. Musik


gamelan berpengertian luas pada struktur alam semesta dan mencerminkan kemajuan ruang
dan waktu. Kinerja musik gamelan terpaut pada model hubungan individu dengan kosmos.
Orkes gamelan mempunyai tekstur musik berlapis meniru budaya stratifikasi sosial kerajaan
Jawa dalam bentuk sonic. Sifat “bertingkat” menggambarkan struktur sosial masyarakat Jawa
sehingga membagi penduduk ke dalam kelas yang berbeda, masing-masing dengan peran
berbeda, tugas dan hak istimewa. Masyarakat bertingkat, kelas sosial sering tumpang tindi
tetapi tatanan sosial tergantung pada masing-masing kelas dalam memenuhi peranna yang
ditunjuk untuk mempertahankan status quo.

Stratifikasi sosial terjadi pula dalam dunia musik, musik gamelan berstatus sosial atas
dengan pujian keindahan dan kedalamannya. Alhasil, musik gamelan menyediakan sarana
untuk menampilkan kekayaan dan prestise sambil terus menerus memperkuas struktur sosial
bertingkat dengan membatasi akses prestise. Dalam upacara kerajaan Jawa, gamelan hanya
mencakup perunggu perkusi kecuali drum besar yang disebut bedug. Tataanan kosmi dan
masyarakat kelas sosial bertingkat dengan legitimasi melalui msik mengakibatkan pelestarian
musik tradisional masif di lingkungan kerajaan.

Sepanjang abad ke-19 hingga abad ke-21, bangsawan Jawa memakai pendekatan baru
untuk musik gamelan. Setiap keraton mempertahankan staf musisi yang terlatih dan
berdedikasi serta seniman-seniman professional lainnnya untuk mengembangkan musik,
teater dan tari menjadi lebih modern. Ada banyak fertilasi silang empat keraton tersebut
sebagai akibat dari politik pernikahan pangeran dan putri keluarga kerajaan, satu sama lain
saling mengambil instrumen dan musisi pengiri mereka sebagai mahar. Terdapat perbedaan
dan persamaan halus antara musik istana keraton satu dengan lainnya. Sejak tahun 1920,
beberapa bangsawan keraton memutukan untuk berbagi pelatihan seni dengan rakyat jelata.

Selama abad kedua puluh, instrumen musik gamelan agak terpengaruh Barat
sekaligus mengabungkan cara lama dengan ide-ide baru. Puncak keemasan musik gamelan di
keraton terjadi pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, sultan dan
pangeran yang menyediakan dana dalam jumlah besar ntuk mendukung seni, penari dan

4
Henry Spiller, Gamelan; The Traditional Sounds of Indonesia (California; ABC CLIO,2004), hlm. 106-107.

5
orkes gabungan yang terdiri dari sepuluh atau lebih orkes simfoni. Penyusunan personil
berdasarkan peringkat dan klasifikasi senioritas dan kemampuan sehingga beberapa musisi
peringkat tinggi dapat dipromosikan ke aristokrasi.

Gamelan merupakan salah satu warisan kebudayaan yang memang harus dilestarikan
agar tidak tergerus oleh kemajuan jaman dan arus globalisasi yang membawa kebudayaan
asing masuk ke Indonesia. Sebagai bentuk perwujudan dilestarikannya gamelan, tentunya
perlu generasi penerus mempelajari terlebih dahulu apa itu gamelan, agar anak cucu kita
nantinya tetap bisa menikmati indah dan merdunya suara yang dihasilkan oleh gamelan ini.

Gamelan sendiri memiliki beberapa definisi, gamelan merujuk pada suatu instrumen
alat musik secara utuh yang dibunyikan secara bersamaan. Kata Gamelan sendiri berasal dari
bahasa Jawa gamel yang berarti memukul atau menabuh,5biasanya gamelan dibunyikan
untuk mengiringi sebuah upacara adat, tarian, ataupun lagu yang sudah diberikan instrumen
gamelan.

Gamelan sendiri memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat Jawa, gamelan


merupakan alat musik tradisional yang ada di Indonesia. Bunyinya yang klasik dan menawan
menjadikan gamelan alat musik yang khas, eksistensi gamelan juga ada di beberapa daerah
seperti Bali dan Lombok. Namun pembahasan kali ini lebih kepada gamelan yang ada di
lingkungan keraton pada masa kolonial,dan lingkungan keraton yang dipilih yakni di daerah
Yogyakarta serta di Surakarta. Pemilihan wilayah keraton diharapkan dapat menjadikan
pembahasan mengenai gamelan lebih spesifik dan tidak melebar.

Di lingkungan keraton Jawa seperti Surakarta dan Yogyakarta, gamelan menjadi suatu
alat musik yang di pusakakan, hal ini karena gamelan yang ada di keraton merupakan
gamelan yang diturunkan dari raja-raja sebelumnya, sehingga perlu adanya perawatan khusus
yang ditujukan kepada seperangkat alat instrumen tersebut. Di lingkungan keraton gamelan
dibunyikan pada saat upacara ritual adat, pada saat acara pertunjukkan tari, maupun hiburan
yang diatur untuk para penghuni keraton. Karena dibunyikan untuk upacara yang sakral,
gamelan juga dianggap sakral.

Raja yang sedang memerintah menjadi penentu bagi nasib seni yang ada pada saat itu,
karena pada masa kerajaan perintah raja dianggap perintah dari dewa. Kultus dea-raja masih

5
Konordius Nobel Eka Saputra, “Jurnal Museum Gamelan dan Tempat Pertunjukan Musik Tradisional di
Bantul”, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 44 Yogyakarta

6
mendominasi dilingkungan istana dan sekitrnya, apalagi sebelum datangnya orang-orang
Barat ke Indonesia. Musik musik istana seperti gamelan dulu hanya boleh di dengarkan dan
dipertontonkan khusus untuk penghuni istana seperti raja dan bangsawan, namun hal ini
mulai berubah apalagi setelah Indonesia masuk kedalam masa penjajahan atau biasa disebut
masa kolonialisme.

Perubahan tersebut bukan tanpa sebab, mengingat ada beberapa faktor yang
mendukung perubahan ini, salah satunya adalah campur tangan dari pihak Barat ke dalam
urusan kerajaan yang pada saat itu telah menjadi wilayah jajahan. Campur tangan itu tidak
hanya dalam bidang politik melainkan juga urusan pribadi kerajaan seperti seni yang
dikonsumsi para elite Jawa. Hal ini dibuktikan dengan mulai adanya penelitian asing yang
diperbolhkan meneliti kesenian khas tradisional Jawa yang ada di lingkungan keraton. Bagi
mereka tentu saja gamlan pada saat itu mejadi alat musik yang memiliki keunikan tersendiri
sehingga perlu adanya kajian mnegenainya. Dengan adanya penelitian yang dilakukan,
lingkungan keraton yang dulunya eksklusif untuk para elite dan raja sudah mulai terbuka
perlahan lahan.

Selain dari campur tangan pihak Barat, faktor perubahan tersebut, lambat laun
lingkungan keraton semakin terbuka dengan kebudayaan asing maupun masyarakat luar
seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Kebudayaan asing yang dibawa oleh bangsa
Barat tentunya sedikit banyak mempengaruhi kesenian yang ada di lingkungan keraton itu
sendiri. Perubahan ini terjadi masa kolonial, dimana kultus dewa-raja semakin lama semakin
memudar, bangsa Barat tidak mau menganggap kerajaan Jawa lebih tinggi dari pemerintahan
induknya, sehingga mereka memperlakukan kerajaan Jawa seperti Mataram yang kemudian
menjadi Yogyakarta dan Surakarta sama seperti wilayah jajahan lainnya, yang berbeda hanya
sistem dan beberapa hak yang diberikan karena telah mendukung pemerintahan kolonial.

Datangnya bangsa Barat tidak hanya membawa perubahan dalam artian musik yang di
mainkan oleh gamelan itu sendiri, melainkan juga pada makna yang terkandung di dalamnya.
Dulu gamelan dilingkungan keraton memiliki makna yang mistis atau bisa dikatakan
memiliki sifat irasional bagi para penghuni keraton maupun masyarakat sekitarnya. Bukan
tanpa sebab melainkan memang masyarakat Jawa selalu mengkaitkn berbagai hal dengan
mistis atau kepercayaan irasionalnya.

7
Hal ini membuat gamelan-gamelan keraton yang dianggap sakral dan memiliki
kemistikan tersendiri diperhatikan sedemikian rupa, dan di “ruwat”6 dengan baik serta hati-
hati, karena jika tidak hal itu akan membuat pertujukkan yang akan dilaksanakan akan
menjadi jelek, atau bencana-bencana kecil lainnya terkait gamelan itu sendiri. Anggapan-
anggapan seperti ini tetap hidup di dalam masyarakat Jawa dan terus dilestarikan tidak
kurang sedikitpun, namun anggapan ini mulai memudar dan berubah saat pada masa
pemerintahan kolonial.

Bangsa Barat yang identik dengan rasionalitasnya mulai masuk ke lingkungan keraton
pada masa penjajahan dan mulai mempengaruhi setiap sendi-sendi kehidupan keraton yang
tak luput juga kesenian gamelan. Ke-rasionalitasan ini tetap ipegang kuat oleh para Bangsa
Barat dalam menghadapi maupun beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan i Indonesia
khususnya dengan kerajaan didalam keraton. Mereka tetap memakai rasionalistas dalam
merespon seni gamelan ini, berbeda dengan masyarakat Jawa tadi. Namun lambat laun
rasionalitas bangsa Barat mampu melemahkan irasional masyarakat Jawa yang telah
diturunkan dari generasi ke generasi, terbukti dengan adanya pemikiran rasionalistas,
gamelan tidak lagi memiliki makna semistik dulu, makna tersebut lama kelamaan mulai
melebur dengan gamelan yang bermakna hanya sebagai “hiburan” semata.

Dalam analisis lebih lanjut seni gamelan menjadi salah satu produk kesenian yang
mencari hal praktis didalamnya, atau mencoba keluar dari “pakem” yang ada, dan dapat
dibahasakan secara mudah dari segala spiritualitas yang muncul ari permainan ini, atau
membahasakan segala hal yang metafisis di dalam permainan gamelan Jawa. Sehingga
membuat permainan gamelan Jawa lebih modern (rasional).7 Melihat hal ini tentunya apat
disimpulkan bahwa rasionalitas yang dibawa oleh Bangsa Barat telah mempengaruhi
irasionalistas masyarakat Jawa dalam memaknai gamelan. Dapat dikatakan ini sebuah
kemajuan atau kemunduran dalam memaknai sebuah benda, pasalanya meski mengarah
kepada ranah modernitas dan rasionalitas, gamelan Jawa tidak lagi dianggap sesakral dulu
dan tidak lagi ianggap memiliki hal yang berkaitan dengan mistik layaknya ulu. Perubahan

6
Dalam artian di perhatikan secara Jawa, di beri sesajen karena dianggap ada yang menunggui dan sakral, serta
dibersihkan atau dimandikan secara teratur dalam kurun waktu dan tanggal yang telah ditentukan, dan bisanya
mengambil hari-hari Jawa sakral seperti selasa kliwon atau jumat kliwon.
7
Skripsi panji prasetya Seni gamelan Jawa sebagai representatif dari tradisi kehidupan manusia jawa: suatu
telaah dari pemikiran coolingwood universitas indonesia fakultas ilmu pengetahuan budaya jurusan ilmu filsafat
tahun 2012

8
ini juga mengakibatkan pada “ruwat-an” yang ilakukan pada gamelan Jawa khususnya i
keraton, meski masih ilakukan namun “ruwat-an” yang ilakukan tidaklah sebermakna dahulu
karena telah tersisipi anggapan tentang rasionalistas sebuah satu set alat musik yang
dinamakan gamelan yang berfungsi untuk menghibur masyarakat maupun tamu undangan
yang ada di keraton.

Perubahan-perubahan ini tentunya juga mempengaruhi gamelan itu sendiri, terdapat


penambahan dalam fungsi estetik, visual dan audio maupun makna. Namun pada dasarnya
tetap sama, yakni gamelan keraton Surakarta dan Yogyakarta memiliki bunyi dan alat yang
khas. Berdasarkan teknik membunyikannya, ricikan dalam satu perangkat gamelan ageng
gaya Surakarta dan Yogyakarta dibagi menjadi 5 kelompok sebagai berikut: (1) Kelompok
pukul, yaitu ricikan yang berbunyinya dengan cara dipukul. Kelompok ini terdiri dari 3
macam, yaitu kelompok bilah, pencon, dan kulit. Kelompok bilah meliputi: gender barung,
gender penerus, gambang, slenthem, demung, saron barung, dan saron penerus. Kelompok
pencon meliputi: bonang penembung, bonang barung, bonang penerus, kenong, kempul, dan
gong. Sedangkan untuk kelompok kulit yaitu ricikan bedhug. Khusus ricikan bedhug sejauh
ini hanya berkembang pada Seni Karawitan Gaya Yogyakarta, itupun tidak semua bentuk
gending menggunakan; (2) Kelompok tiup,yaitu ricikan yang berbunyinya dengan cara
ditiup. Termasuk dalam kelompok ini adalah ricikan suling; (3) Kelompok gesek, yaitu
ricikan yang berbunyinya dengan cara digesek. Termasuk dalam kelompok ini adalah ricikan
rebab; (4) Kelompok petik, yaitu ricikan yang berbunyinya karena dipetik. Termasuk dalam
kelompok ini adalah ricikan siter; clempung dan (5) Kelompok kebuk, yaitu ricikan yang
berbunyinya dengan cara dikebuk. Termasuk dalam kelompok ini adalah ricikan kendang
ageng (bem), batangan (ciblon dan kosek, dan ketipung.8

Pada masa kolonial gamelan keraton tidak lagi menjadi sebuah benda yang amat
sakral sehingga hanya pada saat-saat tertentu saja bisa dimainkan, atau hanya orang-orang
tertentu saja yang bisa mendengarkan permainan kesenian ini. Namun gamelan telah
dipelajari oleh orang di luar keraton yang nantinya juga mempengaruhi perkembangan
gamelan, gamelan keraton juga telah dipertontonkan kepada khalayak umum atau masyarakat
luar iluar kraton. Perubahan zaman, perubhan pemerintahan, perubahan penguasa memiliki
pengaruh yang secara langsung maupun tidak langsung terhadap gamelan itu sendiri, entah
itu perubahan makna, estetika, fungsi, dan sifatnya.

8
Kartiman, “Fungsi Seni Karawitan Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa” , PPPPTK, Seni dan Budaya, hlm. 6-7

9
Historisitas Gamelan Jawa

Menurut Bambang Yudoyono, gamelan Jawa muncul pada sekitar tahun 326 Saka
atau 404 Masehi, dengan ditambahkan sebuah informasi dari pujangga Ranggawarsita dalam
Pustaka Raja Purwa bahwa pada saat itu, banyak masyarakat Jawa yang mendapatkan
transformasi sosial-budaya dari Hindu-Buddha (pengaruh terhadap kehidupan manusia Jawa
yang lebih dominan untuk dapat memunculkan karakter aslinya), yang membawa
pengetahuan tentang bunyi, seperti bunyi dari kicauan burung, kuda, gajah, dan mulailah
dikenal nada pukulan (yang dipukul) pada alat tertentu pada saat itu, seperti kendang,
ketipung, dan sejenisnya. Hal tersebut banyak menginspirasikan mereka di dalam membuat
gamelan Jawa secara utuh, terutama dalam pembawaan alat musik gong dalam bentuk yang
standar pada saat itu,9 dan dalam bagian ini terdapat pada relief di bangunan candi-candi,
misalkan pada candi Prambanan, Borobudur, ataupun Candi Panataran.

Ia juga mengatakan ada sumber lain mengenai sejarah gamelan Jawa. Hal itu ialah
bahwa gamelan Jawa diciptakan oleh “Batara Guru” (nenek moyang atau leluhur manusia
Jawa yang dianggap sangat sakti) yang masih dalam bentuk alat musik Membranofon (alat
musik pukul yang terbuat dari kulit sapi atau kambing) pada tahun 227 Saka atau 355 Masehi,
dan juga alat musik yang dapat di genggam dan dipukul-pukul, yang pada awal mulanya
berbentuk seperti batu. Alat musik Membranofon merupakan alat musik dasar sebelum
terjadinya gamelan Jawa secara utuh (sebelum masyarakat India mulai berdatangan ke
Indonesia).

Gamelan Jawa selalu mengalami perkembangan di dalam sejarahnya, baik sebagai


alat upacara, maupun mediasi berdakwah atau seni. Gamelan jawa yang dimulai dengan
kunci pada permainan gong sebagai seni utamanya, dan setiap nada slendro yang memistikan
suasana, supaya upacara keagamaannya berjalan sakral, dengan tambahan sesaji di dalamnya,
agar ada makhluk halus (secara metafisik) yang dapat benar-benar membantu untuk
melancarkan upacara yang sakral tersebut, dan hal ini ada ketika zaman Hindu-Budhha,
terutama pada zaman Majapahit.

Gagasan mengenai mistik memang mendapat sambutan hangat di Jawa, karena sejak
zaman sebelum masuknya agama Islam, tradisi kebudayaan Hindu-Buddha yang terdapat di
9
Bambang Yudoyono, Gamelan Jawa: Awal-Mula, Makna, dan Masa Depannya (Jakarta: Karya Press, 1984),
hlm. 24.

10
Jawa sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik. Berbagai karya kesustraan Jawa-Islam yang
ditulis pada awal masuknya Islam di pantai utara pulau Jawa, memang menunjukkan kuatnya
unsur-unsur tradisi di dalam Hindu-Buddha, dan hasrat untuk menyiarkan suatu gagasan
mistik, dapat merupakan motivasi bagi para penyiar agama Islam untuk membawa dan
menyiarkan agama Islam kearah Timur. Aceh dan Cirebon telah lebih banyak terpengaruh
oleh aliran mistik sufi, sedangkan kota-kota lain seperti Malaka dan Demak, atau wilayah
yang berdekatan dengan kekuasaan dari kedua kota tersebut, malah lebih banyak mendapat
pengaruh dari penyiar Islam yang tidak beraliran mistik, walaupun para penyiar ajaran agama
Islam dari kedua aliran itu juga sedikit-banyak terlibat dalam perdagangan Asia yang.10

Gamelan Jawa sebagai salah satu kebudayaan Manusia Jawa yang masih bertahan, ketika
zaman Islam mempunyai pembaharuan lebih lanjut. Pada zaman sunan Kalijaga ada
penambahan nada pada Gong, serta lagu Gamelan jawa yang terkenal pada zaman tersebut
adalah Ilir – ilir, dan nilai sufistik juga akan sangat terasa pada zaman sunan Kalijaga,
sebagai proses untuk mengIslamkan Jawa secara perlahan – lahan melalui budaya dan
spiritualitas mereka, walaupun akan ada sinkretisme (perpaduan Islam dengan jawa atau
Islam kejawen) yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sendiri, dan diluar dari keinginan
sunan Kalijaga sendiri, yang ingin suatu budaya terutama Jawa mengikuti agama atau paham
Islam, dan bukan agama atau paham Islam yang mengikuti budaya.

Gamelan yang diwariskan pada sunan Kalijaga biasa digunakan untuk upacara
sekatenan (upacara untuk memperingati maulid nabi), dan selalu ada syarat untuk menonton
permainan Gamelan Jawa yang diwariskan oleh sunan Kalijaga ini, yang terdiri dari
membasuh kedua kaki dan mengucapkan kalimat syahadat, dan kebiasaan ini mulai hilang,
ketika masyarakat Jawa sudah terpengaruh dengan paham Islam itu sendiri, dan Gamelan ini
biasa dimainkan pada malam hari, atau sesudah masyarakat Jawa pulang dari pekerjaan
mereka pada siang hari, dan tidak dimainkan setiap malam jumat, karena memiliki kesakralan
tersendiri bagi Manusia Islam.

Sedangkan pada zaman kolonial belanda atau bangsa Eropa, seni gamelan Jawa yang
bersifat irasional pada zaman dahulu, mulai dirasionalkan pada masa penjajahan Belanda ini,
dan mencari sesuatu hal yang praktis di dalamnya, atau mencoba untuk keluar dari “pakem”
yang ada, dan dapat dibahasakan secara mudah dari segala spiritualitas yang muncul dari

10
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 53-54.

11
permainan ini, atau membahasakan segala hal yang metafisis di dalam permainan gamelan
Jawa, sehingga membuat seni permainan ini menjadi lebih modern (rasional), atau sampai
pada suatu pembaharuan (kontemporer) yang lebih lanjut.

Para seniman Jawa mulai menggunakan cara berseni dari barat sekitar akhir abad 18
atau pada tahun 1811-1815, ketika kekuasaan Inggris mulai memasuki atau mengambil-alih
wilayah jawa,dan mereka mulai melakukan pendekatan dengan masyarakat pribumi Jawa,
ketika kerajaan Inggris melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan di Jawa, dan pada
saat diambil-alih oleh kekuasaan Belanda pun para Raja di Jawa tetap melakukan hubungan
dengan kerajaan Inggris, tetapi tidak semua gaya barat ditiru cara berseninya oleh para
seniman Hindia Belanda (terutama seniman jawa), karena para seniman Jawa masih banyak
mempertahankan identitas asli mereka sebagai sebuah muatan lokal, atau seperti proses
panjang pengaruh luar negeri ke Indonesia yang tidak semua budaya mereka diambil oleh
masyarakat kita.

Seni gamelan Jawa mulai memasuki ranah pendidikan atau kegiatan ekstrakulikuler,
ketika Ki Hajar Dewantara mengangkatnya sebagai salah satu identitas yang perlu dijadikan
pembelajaran akan sesuatu yang baik dari budaya kita sendiri, selain alat musik dari daerah
lain, walaupun Ki Hajar Dewantara lebih mengapresiasi musik gamelan Jawa daripada yang
lainnya, dan ingin dijadikan sebagai perwakilan untuk kesenian atau musik dari daerah yang
lain di Indonesia.

Gamelan Jawa pada masa Ki Hajar Dewantara (kolonial Belanda) mencoba untuk
keluar dari pakem yang ada pada setiap seniman tradisional Jawa, dan mencoba untuk
memainkan musik dari luar negeri atau memainkan suatu musik yang mengikrarkan rasa
kesatuan, seperti musik Indonesia Raya yang dimainkan melalui alat musik gamelan Jawa ini,
walaupun akan banyak kegagalan, karena tangga nada musik modern yang diatonis,
dipadukan dengan musik gamelan Jawa yang pentatonik, tetapi pada akhir dekade 1970-an
beberapa komponis dari dunia pentatonis menggarap karya-karya mereka dengan kredo
instrumen sebagai sumber bunyi, dan dengan kredo ini dilema pentatonis-diatonis dengan
sendirinya dapat dipecahkan. Para komponis ini tidak lagi memusatkan kekuatan musiknya
pada tangga-nada, akan tetapi lebih kepada warna suara yang digali dari segala macam
kemungkinan bentuk dan materi instrumen.

12
Nilai Filosofis yang terkandung Dalam Gamelan

Seni gamelan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa
Indonesia. Dikatakan demikian sebab gamelan Jawa merupakan salah satu seni budaya yang
diwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta ditekuni.
Secara hipotetis, sarjana J.L.A. Brandes (1889) mengemukakan bahwa masyarakat Jawa
sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah
wayang dan gamelan. Menurut sejarahnya, gamelan Jawa juga mempunyai sejarah yang
panjang. Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa dalam
perkembangannya juga mengalami perubahan-perubahan. Perubahan terjadi pada cara
pembuatanya, sedangkan perkembangannya menyangkut kualitasnya. Dahulu pemilikan
gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini, siapapun yang berminat
dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk dalam kategori
pusaka (Timbul Haryono, 2001).

Gamelan saat ini biasanya dilengkapi dengan seruling dan Jazz (drum band) namun pada
dasarnya Gamelan memiliki arti tersendiri dalam filosofi orang Jawa. Yakni nkeselarasan dan
juga nilai gotong royong yang terkandung didalamnya. Nuansa dalam music Gamelan yang
bahannya dari besi, kulit binatang (kendhang) dan Kayu (gambang) serta kawat (rebab)
mengisyaratkan nilai guyub rukun dan nilai Samad Sinamadan atau saling mengingatkan.
Musik Gamelan biasanya disebut juga dengan Karawitan. Makna Ngerawit sendiri adalah
Sangat lembut, sulit Sekali. Bagi seniman Dhalang , Wiyaga (penabuh Gamelan) ibaratnya
seperti seorang Istri atau teman karibnya. Keselarasan antara Dhalang dengan Wiyaga dan
juga Waranggana alias Sinden dalam Gamelan terdapat pengisitilahan ketika Dhalang
meminta iring-iringan wiyaga disebut Wangsalan/Seloka berbentuk pengumpamaan dan
pengandaian. Dhalang memang di ibaratkan seperti Tuhan yang bebas dari rasa malu dan
juga percaya diri (gedegi). Dalam pementasan Wayag yang di iringi Gamelan, wiyaga di
umpamakan seperti Malaikat yang mengiringi Tuhan dan bertugas menjalankan perintah
Dhalang. Dr Seno Sastromidjojo dalam bukunya ‘renungan tentang pertunjukan wayang
kulit’ (1964) fungsi gamelan antara lain:

a. Untuk menguatkan sifat wayang kulit yang sedang digerakkan oleh dhalang
b. Menguatkan karakter gerak tinglkah laku wayang sesuai dengan karakter wayang
c. Untuk menguatkan kedudukan dalam dunia pendhalangan pada umumnya dalam
ceritera yang sedang berlaku pada khusiusnya.

13
Music gamelan dalam pendhalangan misalnya dapat dalam adegan jejeran (adegan
pertama) ternyata berbeda contoh adegan jejeran di Negara dwarawati (prabu kresna)
gendhing nya menggunakan gendhing krawit maknanya ngerawit, pelik, sulit Sekali dan
seterusnya. Ini mengisyaratkan tugas Sri Prabu Kresna sebagai titisan batara Whisnu-yang
dalam lakon pendhalangan sangat sering menceritakan betapa sulitnya dalam merngemban
tugasnya. Yakni memilih berada di sisi Phandawa atau Kurawa sebab mereka berdua adalah
bersaudara yang sama-sama merebutkan Unggul ing Jurit dalam perang Barathayuda. Jika
musik Gamelan digunakan sebagai iringan masuknya tamu baru dalam pendhalanagan juga
disesuaikan jika yang dating adalah seorang kesatria dan Raja maka Gendhing wiyagapuun di
setel pelan sebaaliknya jika tokoh jahat maka mencekam dan keras. Gamelan juga kerap
digunakan Masyarakat Jawa Timur untuk acara pernikahan. Inti daripada Gamelan adalah
jika ada orang yang sedang bersedih suasana hatinya (lewat ghending yang dimainkan)
sebaiknya kita berempati dan tida k acuh tak acuh. Bukan malah larut dalam permasalahan.
Meminjam istilah dari SudjiwoTedjo yang mengisahkan masyarakat Jawa itu tidak suka
berlarut-larut dalam kesedihan maupun kebahagiaan. Hampir identik dengan ungkapan Jawa
“ning ngunu yo ngunu ning ojo ngunu” sebuah bentuk sikap proporsional dan menjaga
keseimbangan dalam diri. Baik secara vertical maupun horizontal. Kepiawaian dan
kecerdasan wong jowo yang di kreasikan melalui music gamelan merupakan seni adiluhung
yang bercitra tinggi dan khas. 11

11
Wawan Susetya, Dhalan, Wayang dan Gamelan. Yogyakarta: Buku Kita, 2014.

14
Daftar Pustaka

Geertz, Clifford Geertz. 2014. Agama Jawa; Santri, Abangan, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa,.
Depok; Komunitas Bambu.

Kartiman, “Fungsi Seni Karawitan Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa” , PPPPTK, Seni dan Budaya.

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa.Jakarta: Balai Pustaka.

M.C Ricklefs. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta; Serambi.

Saputra, Konordius Nobel Eka, “Jurnal Museum Gamelan dan Tempat Pertunjukan Musik Tradisional
di Bantul”, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 44 Yogyakarta

Spiller, Henry.2004. Gamelan; The Traditional Sounds of Indonesia.California; ABC CLIO.

Susetya, Wawan. 2014. Dhalan, Wayang dan Gamelan. Yogyakarta: Buku Kita.

Yudoyono, Bambang. 1984. Gamelan Jawa: Awal-Mula, Makna, dan Masa Depannya. Jakarta:
Karya Press, 1984).

15

Anda mungkin juga menyukai